Ketentuan Syirkah dalam Lembaga Keuangan
KETENTUAN SYIRKAH DALAM LEMBAGA KEUANGAN
SYARIAH
Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas Mata Fiqh
Kontemporer Perbankan
Dosen Pengampu: Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.
Disusun Oleh :
Eka Muhaimin
141261010
S1-PBS (C)
JURUSAN STRATA SATU (S1) PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
TAHUN 1438 H/ 2017 M
1
A. Pendahuluan
Syirkah atau sering juga disebut dengan syarikahadalah bentuk
perseroan dalam Islam yang pola operasionalnya melekat prinsip kemitraan
usaha dan bagi hasil.
Secara prinsip syirkah berbeda dengan model perseroan dalam sistim
ekonomi kapitalisme. Perbedaaan-perbedaan yang ada tidak hanya terletak
pada tidak adanya praktik bunga dalam model ini, tetapi juga berbeda dalam
hal
transaksi
pembentukannya,
operasionalnya
maupun
pembentukan
keuntungan dan tanggungjawab kerugian (Faruq, 2000).
Model syirkah merupakan sebuah konsep yang secara tepat dapat
memecahkan permasalahan permodalan. Satu sisi, prinsip Islam menyatakan
bahwa segala setuatu yang dimanfaatkan oleh orang lain berhak memperoleh
kompensasi yang saling menguntungkan, baik terhadap barang modal, tenaga
atau barang sewa. Di sisi lain Islam menolak dengan tegas kompensasi atas
barang modal berupa bunga (Chapra, 1999).
Para ahli ekonomi Islam mendukung pentingnya peranan syirkah
dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat. Kemandekan ekonomi sering terjadi
karena
pemilik modal tidak mampu mengelola modalnya sendiri atau
sebaliknya mempunyai kemampuan mengelola modal tetapi tidak memiliki
modal tersebut. Semua hal tersebut dapat terpecahkan dalam syirkahyang
dibenarkan dalam syariahIslam (Qardawi, 1997).1
1
Deny Setiawan, “Kerja Sama (Syirkah) dalam Ekonomi Islam”, Jurnal Ekonomi,
Volume 21, Nomor 3, September 2013, (1-8) h.1
2
B. Ketentuan Syirkah dalam Lembaga Keuangan Syariah
1. Fatwa DSN-MUI Tentang Syirkah / Musyarakah2
FATWA
DEWAN SYARI‟AH NASIONAL
Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
Pembiayaan Musyarakah
بِس ِْم ه
ٱلر ِح ِيم
ٱلر ْح ٰم ِن ه
ٱَِ ه
Menetapkan:FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
Beberapa Ketentuan:
1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para
pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan halhal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit
menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat
kontrak.
c. Akad
dituangkan
secara
tertulis,
melalui
korespondensi, atau dengan menggunakan caracara komunikasi modern.
2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan
kekuasaan perwakilan.
b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan
2
Drs. Madani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h.226-232
3
pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja
sebagai wakil.
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset
musyarakah dalam proses bisnis normal.
d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra
yang lain untuk mengelola aset dan masingmasing dianggap telah diberi wewenang untuk
melakukan
aktifitas
memperhatikan
melakukan
musyarakah
kepentingan
kelalaian
dan
dengan
mitranya,
tanpa
kesalahan
yang
disengaja.
e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan
atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya
sendiri.3
3. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a. Modal
1) Modal yang diberikan harus uang tunai,
emas, perak atau yang nilainya sama.
Modal dapat terdiri dari asset perdagangan,
seperti
barang-barang,
properti,
dan
sebagainya. Jika modal berbentuk aset,
harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai
dan disepakati oleh para mitra.
2) Para
pihak
meminjamkan,
tidak
boleh
meminjam,
menyumbangkan
atau
menghadiahkan modal musyarakah kepada
pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
3) Pada
prinsipnya,
dalam
pembiayaan
musyarakah tidak ada jaminan, namun
3
Ibid h.227
4
untuk
menghindari
penyimpangan,
LKS
terjadinya
dapat
meminta
jaminan.
b. Kerja
1) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan
merupakan dasar pelaksanaan musyarakah;
akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah
merupakan syarat. Seorang mitra boleh
melaksanakan kerja lebih banyak dari yang
lainnya, dan dalam hal ini ia boleh
menuntut bagian keuntungan tambahan
bagi dirinya.
2) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam
musyarakah atas nama pribadi dan wakil
dari mitranya. Kedudukan masing-masing
dalam organisasi kerja harus dijelaskan
dalam kontrak.
c. Keuntungan
1) Keuntungan harus dikuantifikasi dengan
jelas untuk menghindarkan perbedaan dan
sengketa pada waktu alokasi keuntungan
atau penghentian musyarakah.
2) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan
secara proporsional atas dasar seluruh
keuntungan dan tidak ada jumlah yang
ditentukan di awal yang ditetapkan bagi
seorang mitra.4
4
Ibid h.228
5
3) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa
jika keuntungan melebihi jumlah tertentu,
kelebihan atau prosentase itu diberikan
kepadanya.
4) Sistem
pembagian
keuntungan
harus
tertuang dengan jelas dalam akad.
d. Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara
proporsional
menurut
saham
masing-masing
dalam modal.
4. Biaya Operasional dan Persengketaan
a. Biaya
operasional
dibebankan
pada
modal
bersama.
b. Jika
salah
satu
pihak
tidak
menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara
para
pihak,
maka
penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.5
2. Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah6
Ketentuan Umum Syirkah
Pasal 134
Syirkah dapat dilakukan dalam bentuk syirkah amwal, syirkah abdan, dan
syirkah wujuh.
5
6
Ibid h.232
M. Fauzan, Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah , (Jakarta: Kencana, 2009), h.50-62
6
Pasal 135
Syirkah amwal dan syirkah abdan dapat dilakukan dalam bentuk syirkah
„inan, syirkah mufawwadhah, dan syirkah mudharabah.
Pasal 136
Kerjasama dapat dilakukan antara dua pihak pemilik modal atau lebih
untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang tidak sama,
masing-masing pihak berpartisipasti dalam perusahaan, dan keuntungan atau
kerugian dibagi sama atau atas dasar proporsi modal.
Pasal 137
Dapat dilakukan antara dua pihak pemilik modal atau lebih untuk
melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang sama dan keuntungan
atau kerugian dibagi sama.
Pasal 138
Kerjasama dapat dilakukan antara dua pihak atau lebih yang memiliki
keterampilan untuk melakukan usaha bersama.
Pasal 139
(1)
Kerjasama dapat dilakukan antara pemilik modal dengan pihak yang
mempunyai keterampilan untuk menjalankan usaha.
(2)
Dalam kerjasama mudharabah, pemilik modal tidak turut serta dalam
menjalankan perusahaan.
(3)
Keuntungan dalam kerjasama mudharabah dibagi berdasarkan
kesepakatan; dan kerugian ditanggung hanya oleh pemilik modal.
Pasal 140
(1)
Kerjasama dapat dilakukan antara pihak pemilik benda dengan pihak
pedagang karena saling percaya.7
7
Ibid h.52
7
(2)
Dalam kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, pihak
pedagang boleh menjual benda milik pihak lain tanpa menyerahkan
uang muka atau jaminan berupa benda atau surat berharga lainnya.
(3) Pembagian
keuntungan
dalam
syirkah
al-wujuh
ditentukan
berdasarkan kesepakatan.
(4) Benda yang tidak laku dijual, dikembalikan kepada pihak pemilik.
(5)
Apabila barang yang diniagakan rusak karena kelalaian pihak
pedagang, maka pihak pedagang wajib mengganti kerusakan
tersebut.
Pasal 141
(1)
Setiap anggota syirkah mewakili anggota lainnya untuk melakukan
akad dengan pihak ketiga dan atau menerima pekerjaan dari pihak
ketiga untuk kepentingan syirkah.
(2)
Masing-masing anggota syirkah bertanggung jawab atas resiko yang
diakibatkan oleh akad yang dilakukannya dengan pihak ketiga dan
atau menerima pekerjaan dari pihak ketiga untuk kepentingan
syirkah.
(3)
Seluruh anggota syirkah bertanggung jawab atas risiko yang
diakibatkan oleh akad dengan pihak ketiga yang dilakukan oleh salah
satu anggotanya yang dilakukan atas persetujuan anggota syirkah
lainnya.
Pasal 142
Dalam semua bentuk akad syirkah disyaratkan agar pihak-pihak yang
bekerjasama harus cakap melakukan perbuatan hukum.8
Pasal 143
Suatu akad kerjasama dengan saham yang sama, terkandung syarat suatu
akad jaminan/kafalah.
8
Ibid h.56
8
Pasal 144
Suatu kerjasama dengan saham yang tidak sama, hanya termasuk akad
keagenan/wakalah, dan tidak mengandung akad jaminan/kafalah.9
Pasal 145
Setelah suatu akad diselesaikan yang tidak dicantumkan adanya suatu
bentuk jaminan, maka para pihak tidak saling menjamin antara yang satu
dengan yang lain.
Syirkah dalam (KHES) pasal 20 didefinisikan sebagai berikut:
“Adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan,
keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian
keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang
berserikat.”10
3. Ketentuan Pembiayaan Musyarakah
Ketentuan umum pembiayaan musyarakah adalah sebagai berikut:
a. Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah
dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut
serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh
pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan
proyek musyarakah dan tidak boleh melakukan tindakan seperti :
1) Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.
2) Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa
izin pemilik modal lainnya.
3) Memberi pinjaman kepada pihak lain.
4) Setiap pemilik modal dapat mengalihkan pernyertaan atau
digantikan oleh pihak lain.
9
Ibid h.62
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Konntemporer, (Jakarta:Rajawali Pers, 2016), h.128
10
9
5) Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerja sama
apabila:
a) Menarik diri dari perserikatan.
b) Meninggal dunia.
c) Menjadi tidak cakap hukum.
b. Biaya yang timbul dalam pelaksanaa proyek dan jangka waktu
proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi
kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi
kontribusi modal.
c. Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah
proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi
hasil yang telah disepakati untuk bank.11
4. Sifat Akad Perkongsian dan Kewenangan
a.
Hukum Kepastian (Luzum) Syirkah
Kebanyakan ulama fiqih berpendapat bahwa akad syirkah
dibolehkan, tetapi tidak lazim. Oleh karena itu, salah seorang yang
bersekutu dibolehkan membatalkan akad atas sepengetahuan rekannya
untuk menghindari kemadaratan.
b. Kewenangan Syarik (yang Berserikat)
Para ahli fiqih sepakat bahwa kewenangan syarik perkongsian
adalah amanah, seperti dalam titipan, karena memegang atau
menyerahkan harta atas izin rekannya.
11
Ir.Adiwarman A Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan,(Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 2014), h.102-103
10
5. Hal yang Membatalkan Syirkah
Perkara yang membatalkan syirkah terbagi atas dua hal. Ada perkara yang
membatalkan syirkah secara umum dan ada pula yang membatalkan sebagian
yang lainnya.
a. Pembatalan Syirkah Secara Umum
1) Pembatalan dari salah seorang yang bersekutu.
2) Meninggalnya salah seorang syarik.
3) Salah seorang syarik murtad atau membelot ketika perang.
4) Gila.
b. Pembatalan Secara Khusus Sebagian Syirkah
1) Harta Syirkah Rusak
Apabila harta syirkah rusak seluruhnya atau harta
salah seorang rusak sebelum dibelanjakan, perkongsian
batal. Hal ini terjadi pada syirkah amwal.
2) Tidak Ada Kesamaan Modal
Apabila tidak ada kesamaan modal dalam syirkah
mufawidhah pada awal transaksi, perkongsian batal sebab
hal itu merupakan syarat transaksi mufawidhah.12
6. Mengakhiri syirkah
Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut.
a. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan
pihak yang lainnya sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas
dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada
kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak
menginginkannya lagi. Hal ini menunjukkan pencabutan kerelaan
syirkah oleh salah satu pihak.
b. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf
(keahlian mengelola harta), baik karena gila maupun karena alesan
lainnya.
12
DR. H. Rachmat Syafe‟I, Fiqih Muamalah ,(Bandung: pustaka setia, 2001), h.201
11
c. Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah
lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja.
Syirkah berjalan terus pada anggota-anggota yang masih hidup.
Apabila ahli waris anggota yang meninggal menghendaki turut
serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan perjanjian baru bagi
ahli waris yang bersangkutan.
d. Salah satu pihak ditaruh di bawah pengampuan, baik karena boros
yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun
sebab yang lainnya.
e. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi
atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan
oleh mazhab Maliki, Syafi‟I, dan Hanbali. Hanbali berpendapat
bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang
dilakukan oleh yang bersangkutan.
f. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas
nama syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi
pencampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi, yang
menanggung risiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila harta
lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa dipisahpisahkan lagi, menjadi risiko bersama. Kerusakan yang terjadi
setelah dibelanjakan, menjadi risiko bersama. Apabila masih ada
sisa harta, syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang
masih ada.13
7. Aplikasi Syirkah dalam Perbankan
a. Pembiayaan Proyek
Al-musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek
dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk
membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah
13
H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.133-134
12
mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati
untuk bank.
b. Model Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan
investasi dalam kepemilikan perusahaan, al-musyarakah diterapkan
dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk
jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan investasi atau
menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.14
8. Manfaat al-Musyarakah / Syirkah
Terdapat banyak manfaat dari pembiayaan secara musyarakah ini,
diantaranya sebagai berikut.
a. Manfaat al-Musyarakah / Syirkah
1) Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu
pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2) Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu
kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan
dengan pendapatan / hasil usaha bank, sehingga bank tidak
akan pernah mengalami negative spread.
3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash
flow / arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan
nasabah.
4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari
usaha yang benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini
kerena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah
yang akan dibagikan.
5) Prinsip bagi hasil dalam mudharabah / musyarakah ini
berbeda dengan prinsipbungan tetap di mana bank akan
menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah
14
Hasan Nurul, Perbankan Syariah Sebuah Pengantar, (Ciputat: GP Press Group, 2014)
h. 197
13
bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan,
bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
b. Risiko
Risiko yang terdapat dalam mudharabah / musyarakah, terutama
pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, yaitu sebagai
berikut.
1) Side streaming; nasabah menggunakan dana itu bukan
seperti yang disebut dalam kontrak.
2) Lalai dan kesalahan yang disengaja.
3) Penyembunyian
keuntungan
oleh
nasabah,
bila
nasabahnyatidak jujur.
Secara umum, aplikasi perbankan dari al-musyarakah dapat
digambarkan dalam skema berikut ini.15
Skema al-Musyarakah
Bank Syariah Parsial
Nasabah Parsial Asset Value
Pembiayaan
PROYEK
USAHA
KEUNTUNGAN
Bagi hasil keuntungan sesuai porsi kontribusi
modal (nisbah)
M Syafi‟I Antonio, ISLAMIC BANKING BANK SYARIAH : Dari Teori Ke Praktik,
(Jakarta : Gema Insani Pers, 2001), h.93-94.
15
14
9. Syirkah dalam Konteks Lembaga Keuangan Syariah
Secara umum, bank syariah memiliki dua aktivitas:
Pertama, aktivitas perdagangan (a’mal tijariyah) yang diklaim sebagai
pengganti aktivitas Ribawi. Ini dijalankan dengan melalui berbagai macam
akadnya, seperti: mudharabah, murabahah (pembelian barang lewat lembaga)
dan
musyarakah
(patungan) dalam sektor-sektor pertanian, industri,
perdagangan dan lain-lain.
Kedua, aktivitas jasa perbankan dalam berbagai bentuknya dengan
menarik imbalan jasa, misal jasa transfer uang dan pertukaran mata uang,16
Menurut Siddik al-Jawi, Dosen STEI Hamfara Jogja, aktivitas yang
pertama memiliki subhat pada realitasnya, karena terdapat beberapa
penyimpangan yang terjadi: Pertama, secara teori, syirkah mudharabah
berlaku prinsip bagi hasil dan bagi rugi (profit and loss sharing) sesuai kaidah
fikih, “Al-ghurmu bi al-ghunmi (Risiko kerugian diimbangi hak mendapat
keuntungan).” Namun pada faktanya, tidak pernah satu kali pun ada bank
syariah yang mengumumkan dirinya rugi. Ini menunjukkan suatu keanehan.
Karena pada teori, harusnya bank syariah bisa saja mengalami kerugian.
(Sya‟rawi, 2007: 510-514). Kedua, kurangnya SDM yang cakap untuk
mengelola keuangan syariah. Akibatnya, bank syariah mengambil pegawainya
dari bank konvesional (berbasis riba) yang terindikasi masih memiliki pola
pikir dan budaya kerja non syariah.
Adapun aktivitas yang kedua, merupakan aktivitas yang dibolehkan
syariah, asal dijalankan sesuai syarat dan rukunnya. (Siddiq al-Jawi, 2010:43).
16
https://kuliahpemikiran.wordpress.com/2011/02/25/syirkah-kerjasama-bisnis-dalam
islam/ diunduh tanggal 9 maret 2017
15
10. Mekanisme Pembiayaan Musyarakah dalam Perbankan Syari’ah
Dari sekian banyak jenis musyarakah tersebut diatas hanya syirkah ‘inan
yang paling tepat dan dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah. Dimana,
bank dan nasabah keduanya memiliki modal. Modal bank dan modal nasabah
digunakan oleh pengelola sebagai modal untuk mengerjakan proyek.
Pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari proyek dibagikan
berdasarkan nisbah yang telah disepakati bersama.
Adapun mekanismenya yaitu:
a. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha
dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk
membiayai suatu kegiatan usaha tertentu;
b. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra
usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan
tugas dan wewenang yang disepakati seperti melakukan review,
meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh
nasabah
berdasarkan
bukti
pendukung
yang
dapat
dipertanggungjawabkan;
c. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam
bentuk nisbah yang disepakati;
d. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang
jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak;
e. Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk
uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau
tagihan;
f. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan
dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya;17
g. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan
dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar
17
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk
dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta : Djambatan, 2001), h. 184-186
16
harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas
jumlahnya;
h. Jangka
waktu
Pembiayaan
atas
dasar
Akad Musyarakah,
pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah;
i. Pengembalian Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah dilakukan
dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir
periode Pembiayaan, sesuai dengan jangka waktu Pembiayaan atas
dasar Akad Musyarakah;
j. Pembagian hasil usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah
berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan;
dan
k. Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional
menurut porsi modal masing-masing.18
18
Ibid h. 184-186
17
DAFTAR PUSTAKA
Deny Setiawan, “Kerja Sama (Syirkah) dalam Ekonomi Islam”, Jurnal
Ekonomi, Volume 21, Nomor 3, September 2013, (1-8)
Drs. Madani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta:
Kencana, 2012)
M. Fauzan, Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana,
2009)
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Konntemporer, (Jakarta:Rajawali
Pers, 2016)
Ir.Adiwarman A Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan ,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014)
DR. H. Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah ,(Bandung: pustaka setia,
2001)
H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013)
Hasan Nurul, Perbankan Syariah Sebuah Pengantar, (Ciputat: GP
Press Group, 2014)
M Syafi‟I Antonio, ISLAMIC BANKING BANK SYARIAH : Dari Teori
Ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani Pers, 2001)
https://kuliahpemikiran.wordpress.com/2011/02/25/syirkah-kerjasamabisnis-dalam islam/ diunduh tanggal 9 maret 2017
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia,
Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta :
Djambatan, 2001)
18
SYARIAH
Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas Mata Fiqh
Kontemporer Perbankan
Dosen Pengampu: Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.
Disusun Oleh :
Eka Muhaimin
141261010
S1-PBS (C)
JURUSAN STRATA SATU (S1) PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
TAHUN 1438 H/ 2017 M
1
A. Pendahuluan
Syirkah atau sering juga disebut dengan syarikahadalah bentuk
perseroan dalam Islam yang pola operasionalnya melekat prinsip kemitraan
usaha dan bagi hasil.
Secara prinsip syirkah berbeda dengan model perseroan dalam sistim
ekonomi kapitalisme. Perbedaaan-perbedaan yang ada tidak hanya terletak
pada tidak adanya praktik bunga dalam model ini, tetapi juga berbeda dalam
hal
transaksi
pembentukannya,
operasionalnya
maupun
pembentukan
keuntungan dan tanggungjawab kerugian (Faruq, 2000).
Model syirkah merupakan sebuah konsep yang secara tepat dapat
memecahkan permasalahan permodalan. Satu sisi, prinsip Islam menyatakan
bahwa segala setuatu yang dimanfaatkan oleh orang lain berhak memperoleh
kompensasi yang saling menguntungkan, baik terhadap barang modal, tenaga
atau barang sewa. Di sisi lain Islam menolak dengan tegas kompensasi atas
barang modal berupa bunga (Chapra, 1999).
Para ahli ekonomi Islam mendukung pentingnya peranan syirkah
dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat. Kemandekan ekonomi sering terjadi
karena
pemilik modal tidak mampu mengelola modalnya sendiri atau
sebaliknya mempunyai kemampuan mengelola modal tetapi tidak memiliki
modal tersebut. Semua hal tersebut dapat terpecahkan dalam syirkahyang
dibenarkan dalam syariahIslam (Qardawi, 1997).1
1
Deny Setiawan, “Kerja Sama (Syirkah) dalam Ekonomi Islam”, Jurnal Ekonomi,
Volume 21, Nomor 3, September 2013, (1-8) h.1
2
B. Ketentuan Syirkah dalam Lembaga Keuangan Syariah
1. Fatwa DSN-MUI Tentang Syirkah / Musyarakah2
FATWA
DEWAN SYARI‟AH NASIONAL
Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
Pembiayaan Musyarakah
بِس ِْم ه
ٱلر ِح ِيم
ٱلر ْح ٰم ِن ه
ٱَِ ه
Menetapkan:FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
Beberapa Ketentuan:
1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para
pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan halhal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit
menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat
kontrak.
c. Akad
dituangkan
secara
tertulis,
melalui
korespondensi, atau dengan menggunakan caracara komunikasi modern.
2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan
kekuasaan perwakilan.
b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan
2
Drs. Madani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h.226-232
3
pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja
sebagai wakil.
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset
musyarakah dalam proses bisnis normal.
d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra
yang lain untuk mengelola aset dan masingmasing dianggap telah diberi wewenang untuk
melakukan
aktifitas
memperhatikan
melakukan
musyarakah
kepentingan
kelalaian
dan
dengan
mitranya,
tanpa
kesalahan
yang
disengaja.
e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan
atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya
sendiri.3
3. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a. Modal
1) Modal yang diberikan harus uang tunai,
emas, perak atau yang nilainya sama.
Modal dapat terdiri dari asset perdagangan,
seperti
barang-barang,
properti,
dan
sebagainya. Jika modal berbentuk aset,
harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai
dan disepakati oleh para mitra.
2) Para
pihak
meminjamkan,
tidak
boleh
meminjam,
menyumbangkan
atau
menghadiahkan modal musyarakah kepada
pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
3) Pada
prinsipnya,
dalam
pembiayaan
musyarakah tidak ada jaminan, namun
3
Ibid h.227
4
untuk
menghindari
penyimpangan,
LKS
terjadinya
dapat
meminta
jaminan.
b. Kerja
1) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan
merupakan dasar pelaksanaan musyarakah;
akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah
merupakan syarat. Seorang mitra boleh
melaksanakan kerja lebih banyak dari yang
lainnya, dan dalam hal ini ia boleh
menuntut bagian keuntungan tambahan
bagi dirinya.
2) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam
musyarakah atas nama pribadi dan wakil
dari mitranya. Kedudukan masing-masing
dalam organisasi kerja harus dijelaskan
dalam kontrak.
c. Keuntungan
1) Keuntungan harus dikuantifikasi dengan
jelas untuk menghindarkan perbedaan dan
sengketa pada waktu alokasi keuntungan
atau penghentian musyarakah.
2) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan
secara proporsional atas dasar seluruh
keuntungan dan tidak ada jumlah yang
ditentukan di awal yang ditetapkan bagi
seorang mitra.4
4
Ibid h.228
5
3) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa
jika keuntungan melebihi jumlah tertentu,
kelebihan atau prosentase itu diberikan
kepadanya.
4) Sistem
pembagian
keuntungan
harus
tertuang dengan jelas dalam akad.
d. Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara
proporsional
menurut
saham
masing-masing
dalam modal.
4. Biaya Operasional dan Persengketaan
a. Biaya
operasional
dibebankan
pada
modal
bersama.
b. Jika
salah
satu
pihak
tidak
menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara
para
pihak,
maka
penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.5
2. Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah6
Ketentuan Umum Syirkah
Pasal 134
Syirkah dapat dilakukan dalam bentuk syirkah amwal, syirkah abdan, dan
syirkah wujuh.
5
6
Ibid h.232
M. Fauzan, Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah , (Jakarta: Kencana, 2009), h.50-62
6
Pasal 135
Syirkah amwal dan syirkah abdan dapat dilakukan dalam bentuk syirkah
„inan, syirkah mufawwadhah, dan syirkah mudharabah.
Pasal 136
Kerjasama dapat dilakukan antara dua pihak pemilik modal atau lebih
untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang tidak sama,
masing-masing pihak berpartisipasti dalam perusahaan, dan keuntungan atau
kerugian dibagi sama atau atas dasar proporsi modal.
Pasal 137
Dapat dilakukan antara dua pihak pemilik modal atau lebih untuk
melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang sama dan keuntungan
atau kerugian dibagi sama.
Pasal 138
Kerjasama dapat dilakukan antara dua pihak atau lebih yang memiliki
keterampilan untuk melakukan usaha bersama.
Pasal 139
(1)
Kerjasama dapat dilakukan antara pemilik modal dengan pihak yang
mempunyai keterampilan untuk menjalankan usaha.
(2)
Dalam kerjasama mudharabah, pemilik modal tidak turut serta dalam
menjalankan perusahaan.
(3)
Keuntungan dalam kerjasama mudharabah dibagi berdasarkan
kesepakatan; dan kerugian ditanggung hanya oleh pemilik modal.
Pasal 140
(1)
Kerjasama dapat dilakukan antara pihak pemilik benda dengan pihak
pedagang karena saling percaya.7
7
Ibid h.52
7
(2)
Dalam kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, pihak
pedagang boleh menjual benda milik pihak lain tanpa menyerahkan
uang muka atau jaminan berupa benda atau surat berharga lainnya.
(3) Pembagian
keuntungan
dalam
syirkah
al-wujuh
ditentukan
berdasarkan kesepakatan.
(4) Benda yang tidak laku dijual, dikembalikan kepada pihak pemilik.
(5)
Apabila barang yang diniagakan rusak karena kelalaian pihak
pedagang, maka pihak pedagang wajib mengganti kerusakan
tersebut.
Pasal 141
(1)
Setiap anggota syirkah mewakili anggota lainnya untuk melakukan
akad dengan pihak ketiga dan atau menerima pekerjaan dari pihak
ketiga untuk kepentingan syirkah.
(2)
Masing-masing anggota syirkah bertanggung jawab atas resiko yang
diakibatkan oleh akad yang dilakukannya dengan pihak ketiga dan
atau menerima pekerjaan dari pihak ketiga untuk kepentingan
syirkah.
(3)
Seluruh anggota syirkah bertanggung jawab atas risiko yang
diakibatkan oleh akad dengan pihak ketiga yang dilakukan oleh salah
satu anggotanya yang dilakukan atas persetujuan anggota syirkah
lainnya.
Pasal 142
Dalam semua bentuk akad syirkah disyaratkan agar pihak-pihak yang
bekerjasama harus cakap melakukan perbuatan hukum.8
Pasal 143
Suatu akad kerjasama dengan saham yang sama, terkandung syarat suatu
akad jaminan/kafalah.
8
Ibid h.56
8
Pasal 144
Suatu kerjasama dengan saham yang tidak sama, hanya termasuk akad
keagenan/wakalah, dan tidak mengandung akad jaminan/kafalah.9
Pasal 145
Setelah suatu akad diselesaikan yang tidak dicantumkan adanya suatu
bentuk jaminan, maka para pihak tidak saling menjamin antara yang satu
dengan yang lain.
Syirkah dalam (KHES) pasal 20 didefinisikan sebagai berikut:
“Adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan,
keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian
keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang
berserikat.”10
3. Ketentuan Pembiayaan Musyarakah
Ketentuan umum pembiayaan musyarakah adalah sebagai berikut:
a. Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah
dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut
serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh
pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan
proyek musyarakah dan tidak boleh melakukan tindakan seperti :
1) Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.
2) Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa
izin pemilik modal lainnya.
3) Memberi pinjaman kepada pihak lain.
4) Setiap pemilik modal dapat mengalihkan pernyertaan atau
digantikan oleh pihak lain.
9
Ibid h.62
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Konntemporer, (Jakarta:Rajawali Pers, 2016), h.128
10
9
5) Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerja sama
apabila:
a) Menarik diri dari perserikatan.
b) Meninggal dunia.
c) Menjadi tidak cakap hukum.
b. Biaya yang timbul dalam pelaksanaa proyek dan jangka waktu
proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi
kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi
kontribusi modal.
c. Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah
proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi
hasil yang telah disepakati untuk bank.11
4. Sifat Akad Perkongsian dan Kewenangan
a.
Hukum Kepastian (Luzum) Syirkah
Kebanyakan ulama fiqih berpendapat bahwa akad syirkah
dibolehkan, tetapi tidak lazim. Oleh karena itu, salah seorang yang
bersekutu dibolehkan membatalkan akad atas sepengetahuan rekannya
untuk menghindari kemadaratan.
b. Kewenangan Syarik (yang Berserikat)
Para ahli fiqih sepakat bahwa kewenangan syarik perkongsian
adalah amanah, seperti dalam titipan, karena memegang atau
menyerahkan harta atas izin rekannya.
11
Ir.Adiwarman A Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan,(Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 2014), h.102-103
10
5. Hal yang Membatalkan Syirkah
Perkara yang membatalkan syirkah terbagi atas dua hal. Ada perkara yang
membatalkan syirkah secara umum dan ada pula yang membatalkan sebagian
yang lainnya.
a. Pembatalan Syirkah Secara Umum
1) Pembatalan dari salah seorang yang bersekutu.
2) Meninggalnya salah seorang syarik.
3) Salah seorang syarik murtad atau membelot ketika perang.
4) Gila.
b. Pembatalan Secara Khusus Sebagian Syirkah
1) Harta Syirkah Rusak
Apabila harta syirkah rusak seluruhnya atau harta
salah seorang rusak sebelum dibelanjakan, perkongsian
batal. Hal ini terjadi pada syirkah amwal.
2) Tidak Ada Kesamaan Modal
Apabila tidak ada kesamaan modal dalam syirkah
mufawidhah pada awal transaksi, perkongsian batal sebab
hal itu merupakan syarat transaksi mufawidhah.12
6. Mengakhiri syirkah
Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut.
a. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan
pihak yang lainnya sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas
dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada
kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak
menginginkannya lagi. Hal ini menunjukkan pencabutan kerelaan
syirkah oleh salah satu pihak.
b. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf
(keahlian mengelola harta), baik karena gila maupun karena alesan
lainnya.
12
DR. H. Rachmat Syafe‟I, Fiqih Muamalah ,(Bandung: pustaka setia, 2001), h.201
11
c. Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah
lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja.
Syirkah berjalan terus pada anggota-anggota yang masih hidup.
Apabila ahli waris anggota yang meninggal menghendaki turut
serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan perjanjian baru bagi
ahli waris yang bersangkutan.
d. Salah satu pihak ditaruh di bawah pengampuan, baik karena boros
yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun
sebab yang lainnya.
e. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi
atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan
oleh mazhab Maliki, Syafi‟I, dan Hanbali. Hanbali berpendapat
bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang
dilakukan oleh yang bersangkutan.
f. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas
nama syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi
pencampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi, yang
menanggung risiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila harta
lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa dipisahpisahkan lagi, menjadi risiko bersama. Kerusakan yang terjadi
setelah dibelanjakan, menjadi risiko bersama. Apabila masih ada
sisa harta, syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang
masih ada.13
7. Aplikasi Syirkah dalam Perbankan
a. Pembiayaan Proyek
Al-musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek
dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk
membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah
13
H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.133-134
12
mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati
untuk bank.
b. Model Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan
investasi dalam kepemilikan perusahaan, al-musyarakah diterapkan
dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk
jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan investasi atau
menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.14
8. Manfaat al-Musyarakah / Syirkah
Terdapat banyak manfaat dari pembiayaan secara musyarakah ini,
diantaranya sebagai berikut.
a. Manfaat al-Musyarakah / Syirkah
1) Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu
pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2) Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu
kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan
dengan pendapatan / hasil usaha bank, sehingga bank tidak
akan pernah mengalami negative spread.
3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash
flow / arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan
nasabah.
4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari
usaha yang benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini
kerena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah
yang akan dibagikan.
5) Prinsip bagi hasil dalam mudharabah / musyarakah ini
berbeda dengan prinsipbungan tetap di mana bank akan
menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah
14
Hasan Nurul, Perbankan Syariah Sebuah Pengantar, (Ciputat: GP Press Group, 2014)
h. 197
13
bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan,
bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
b. Risiko
Risiko yang terdapat dalam mudharabah / musyarakah, terutama
pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, yaitu sebagai
berikut.
1) Side streaming; nasabah menggunakan dana itu bukan
seperti yang disebut dalam kontrak.
2) Lalai dan kesalahan yang disengaja.
3) Penyembunyian
keuntungan
oleh
nasabah,
bila
nasabahnyatidak jujur.
Secara umum, aplikasi perbankan dari al-musyarakah dapat
digambarkan dalam skema berikut ini.15
Skema al-Musyarakah
Bank Syariah Parsial
Nasabah Parsial Asset Value
Pembiayaan
PROYEK
USAHA
KEUNTUNGAN
Bagi hasil keuntungan sesuai porsi kontribusi
modal (nisbah)
M Syafi‟I Antonio, ISLAMIC BANKING BANK SYARIAH : Dari Teori Ke Praktik,
(Jakarta : Gema Insani Pers, 2001), h.93-94.
15
14
9. Syirkah dalam Konteks Lembaga Keuangan Syariah
Secara umum, bank syariah memiliki dua aktivitas:
Pertama, aktivitas perdagangan (a’mal tijariyah) yang diklaim sebagai
pengganti aktivitas Ribawi. Ini dijalankan dengan melalui berbagai macam
akadnya, seperti: mudharabah, murabahah (pembelian barang lewat lembaga)
dan
musyarakah
(patungan) dalam sektor-sektor pertanian, industri,
perdagangan dan lain-lain.
Kedua, aktivitas jasa perbankan dalam berbagai bentuknya dengan
menarik imbalan jasa, misal jasa transfer uang dan pertukaran mata uang,16
Menurut Siddik al-Jawi, Dosen STEI Hamfara Jogja, aktivitas yang
pertama memiliki subhat pada realitasnya, karena terdapat beberapa
penyimpangan yang terjadi: Pertama, secara teori, syirkah mudharabah
berlaku prinsip bagi hasil dan bagi rugi (profit and loss sharing) sesuai kaidah
fikih, “Al-ghurmu bi al-ghunmi (Risiko kerugian diimbangi hak mendapat
keuntungan).” Namun pada faktanya, tidak pernah satu kali pun ada bank
syariah yang mengumumkan dirinya rugi. Ini menunjukkan suatu keanehan.
Karena pada teori, harusnya bank syariah bisa saja mengalami kerugian.
(Sya‟rawi, 2007: 510-514). Kedua, kurangnya SDM yang cakap untuk
mengelola keuangan syariah. Akibatnya, bank syariah mengambil pegawainya
dari bank konvesional (berbasis riba) yang terindikasi masih memiliki pola
pikir dan budaya kerja non syariah.
Adapun aktivitas yang kedua, merupakan aktivitas yang dibolehkan
syariah, asal dijalankan sesuai syarat dan rukunnya. (Siddiq al-Jawi, 2010:43).
16
https://kuliahpemikiran.wordpress.com/2011/02/25/syirkah-kerjasama-bisnis-dalam
islam/ diunduh tanggal 9 maret 2017
15
10. Mekanisme Pembiayaan Musyarakah dalam Perbankan Syari’ah
Dari sekian banyak jenis musyarakah tersebut diatas hanya syirkah ‘inan
yang paling tepat dan dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah. Dimana,
bank dan nasabah keduanya memiliki modal. Modal bank dan modal nasabah
digunakan oleh pengelola sebagai modal untuk mengerjakan proyek.
Pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari proyek dibagikan
berdasarkan nisbah yang telah disepakati bersama.
Adapun mekanismenya yaitu:
a. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha
dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk
membiayai suatu kegiatan usaha tertentu;
b. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra
usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan
tugas dan wewenang yang disepakati seperti melakukan review,
meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh
nasabah
berdasarkan
bukti
pendukung
yang
dapat
dipertanggungjawabkan;
c. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam
bentuk nisbah yang disepakati;
d. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang
jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak;
e. Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk
uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau
tagihan;
f. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan
dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya;17
g. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan
dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar
17
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk
dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta : Djambatan, 2001), h. 184-186
16
harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas
jumlahnya;
h. Jangka
waktu
Pembiayaan
atas
dasar
Akad Musyarakah,
pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah;
i. Pengembalian Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah dilakukan
dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir
periode Pembiayaan, sesuai dengan jangka waktu Pembiayaan atas
dasar Akad Musyarakah;
j. Pembagian hasil usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah
berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan;
dan
k. Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional
menurut porsi modal masing-masing.18
18
Ibid h. 184-186
17
DAFTAR PUSTAKA
Deny Setiawan, “Kerja Sama (Syirkah) dalam Ekonomi Islam”, Jurnal
Ekonomi, Volume 21, Nomor 3, September 2013, (1-8)
Drs. Madani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta:
Kencana, 2012)
M. Fauzan, Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana,
2009)
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Konntemporer, (Jakarta:Rajawali
Pers, 2016)
Ir.Adiwarman A Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan ,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014)
DR. H. Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah ,(Bandung: pustaka setia,
2001)
H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013)
Hasan Nurul, Perbankan Syariah Sebuah Pengantar, (Ciputat: GP
Press Group, 2014)
M Syafi‟I Antonio, ISLAMIC BANKING BANK SYARIAH : Dari Teori
Ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani Pers, 2001)
https://kuliahpemikiran.wordpress.com/2011/02/25/syirkah-kerjasamabisnis-dalam islam/ diunduh tanggal 9 maret 2017
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia,
Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta :
Djambatan, 2001)
18