Upaya dan Strategi Penyelesaian Sengketa

TUGAS KELOMPOK MAKALAH SOSIOLOGI HUKUM UPAYA DAN STRATEGI PENYELESAIAN SENGKETA PEMBANGUNAN PABRIK SEMEN REMBANG PASCA PUTUSAN PK MELALUI PENGEFEKTIFAN KOMUNIKASI DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM

Dosen: Kayus Kayowuan Loweleba, S.H., M.H.

Disusun oleh:

KELOMPOK 4

1. Risya Hadiansyah

2. Belly Astatantica Stanio

3. Silmi Hanifah

4. Rarenzan Widita

5. Nada Siti Salsabila

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM 2017

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam tercurah pada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Alhamdulillah, berkat kemudahan serta petunjuk dari-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hukum Dagang yang berjudul “Makalah tentang Upaya dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pembangunan Pabrik Semen Rembang Pasca Putusan PK Melalui Pengefektifan Komunikasi dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dalam Perspektif Sosiologi Hukum dapat selesai seperti waktu yang telah ditentukan. Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari peran serta berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara materil dan spiritual, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini mungkin masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Seperti peribahasa “Tak ada gading yang tak retak.” Maka penulis mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan di masa yang akan datang dan dapat membangun kami.

Jakarta, November 2017

Penulis

ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat dan lingkungan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. masyarakat Perilaku dan tindakan manusia dalam kehidupan keseharian berpengaruh pada kualitas lingkungan dimana ia tinggal. Kerusakan lingkungan telah menjadi ancaman yang sangat serius di semua belahan bumi dan telah dirasakan dengan adanya perubahan iklim dan efek- efek yang ditimbulkannya. Di Indonesia, lingkungan yang mengalami kerusakan yang parah dapat dilihat pada penggundulan hutan, polusi udara, maupun pencemaran sungai.

Berkaitan dengan masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, perspektif sosiologis tidak dapat dipungkiri menjadi sangat penting dalam kajian tentang lingkungan. Selain bersinggungan dengan kondisi geografis, biologis, teknologi, maupun ekonomi, kajian lingkungan tidak dapat dilepaskan dari fenomena sosial-budaya sebuah masyarakat. Inilah mengapa kajian lingkungan selalu menjadi kajian yang interdisipliner. Berkaitan dengan interdisipliner, Dickens berpendapat tentang pentingnya pembagian kerja para intelektual untuk mengatasi problema kerusakan lingkungan tersebut. Tiga ranah ilmu pengetahuan –biologis, fisik dan sosial –memiliki keterkaitan dan problema lingkungan harus menjadi kajian di tiga ranah ilmu pngetahuan ini. Di era sosiologi kontemporer dewasa ini, sosiologi lingkungan didominasi oleh analisis kritis dan konstruksi sosial.

Disisi lain, dapat kita ketahui bahwasannya nilai-nilai dan norma tradisional khususnya hukum adat, tanah bukanlah befungsi sebagai suatu aset ekonomi, melainkan lebih dari itu

tanah dipandang secara metafisik sebagai sosok “ibu” bagi semua makhluk hidup yang hidup dan tinggal di atasnya. Pandangan filosofis tentang tanah atau bumi sebagai ibu ini adalah nilai paling fundamental dalam kaidah-kaidah hukum adat tentang tanah dalam masyarakat tradisional khususnya masyarakat tradisional-agraris. Ketersediaan sumber daya alam berjalan beriringan dengan pertumbuhan manusia di dunia. Akan tetapi jumlah populasi yang semakin meningkat tidak seimbang dengan ketersediaan sumber daya alam dibumi. Garret Hardin di dalam artikelnya yang berjudul The Tragedy of the Commons, mencoba membahas persoalan populasi dan sumber daya alam. Berfokus pada sumber daya alam yang tidak berkepemilikan; yang bisa dinikmati siapa saja (commons). Sumber daya alam semacam ini contohnya adalah padang rumput, udara, air, ikan di laut, dll. Berkaitan dengan hal tersebut seiring dengan perkembangan masyarakat yang dinamis timbul sebuah gesekan yang dapat dikatakan sebagai konflik sosial kaitan dengan pengelolaan sumber tanah dipandang secara metafisik sebagai sosok “ibu” bagi semua makhluk hidup yang hidup dan tinggal di atasnya. Pandangan filosofis tentang tanah atau bumi sebagai ibu ini adalah nilai paling fundamental dalam kaidah-kaidah hukum adat tentang tanah dalam masyarakat tradisional khususnya masyarakat tradisional-agraris. Ketersediaan sumber daya alam berjalan beriringan dengan pertumbuhan manusia di dunia. Akan tetapi jumlah populasi yang semakin meningkat tidak seimbang dengan ketersediaan sumber daya alam dibumi. Garret Hardin di dalam artikelnya yang berjudul The Tragedy of the Commons, mencoba membahas persoalan populasi dan sumber daya alam. Berfokus pada sumber daya alam yang tidak berkepemilikan; yang bisa dinikmati siapa saja (commons). Sumber daya alam semacam ini contohnya adalah padang rumput, udara, air, ikan di laut, dll. Berkaitan dengan hal tersebut seiring dengan perkembangan masyarakat yang dinamis timbul sebuah gesekan yang dapat dikatakan sebagai konflik sosial kaitan dengan pengelolaan sumber

Secara filosofis konflik sosial yang mengiringi suatu rencana usaha industri yang memanfaatkan sumber daya alam (SDA) dan secara potensial bisa menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Konflik sosial tersebut pada umumnya melibatkan masyarakat lokal (termasuk masyarakat adat) dan korporasi yang didukung pemerintah daerah. Konflik antara masyarakat lokal yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) dan PT Jogja Magasa Iron (JMI) terjadi sejak korporasi tersebut mengumumkan rencana penambangan pasir besi di Kulon Progo pada pertengahan tahun 2000-an. Sementara korporasi yang didukung pemerintah pusat dan daerah tersebut berhasil membangun pabrik pengolahan pasir besi, PPLP yang didukung Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) terus menolaknya.. Masyarakat lokal berhadapan dengan korporasi (PT Panggon Sarkarya Sukses Mandiri) terjadi di Kota Batu, Jawa Timur seiring rencana pembangunan hotel yang mengancam kelestarian mata air Umbul Gemulo. Meskipun masyarakat setempat sempat memenangkan gugatan di Pengadilan Negeri Malang, pada akhirnya mereka dikalahkan oleh pengajuan kasasi ke MA oleh perusahaan tersebut.

Sementara itu masyarakat adat di Bali yang didukung OMS, akademisi, dan budayawan, berhadapan dengan PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) yang telah memiliki rujukan legal Peraturan Presiden (Perpres) No. 51/2014 untuk melakukan proyek reklamasi Teluk Benoa, Bali. Sementara tahapan proses menuju konstruksi proyek tersebut berjalan, aksi-aksi penolakan oleh masyarakat adat di Bali terus terjadi, dan belum ada indikasi penyelesaian konflik. Kasus-kasus konflik serupa yang mengiringi rencana pengembangan atau ekspansi industri terjadi di berbagai daerah.

Salah satu kasus yang menarik perhatian publik secara luas adalah konflik sosial yang mengiringi rencana pembangunan pabrik semen dengan memanfaatkan batu kapur atau batu gamping (karst) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Konflik sosial ini memperhadapkan antara masyarakat lokal atau adat dan korporasi semen yang telah berlangsung sejak tahun 2008. Pada awalnya, masyarakat adat berhadapan dengan PT Semen Gresik (kemudian berubah menjadi PT Semen Indonesia) pada tahun 2008-2009. Setelah kemenangan gugatan masyarakat adat di PTUN Semarang dan PT Semen Gresik membatalkan investasinya pada tahun 2009, korporasi semen yang lain, PT Sahabat Mulia Sakti (SMS) berupaya melakukan investasi semen di Pati sejak 2010. Konflik yang memperhadapkan masyarakat adat dan korporasi semen pun kembali terjadi hingga kini.

Konflik ini mendapatkan perhatian publik secara luas, sebagaimana tampak dari liputan media online dan cetak, dan tanggapan publik melalui media sosial. Seiring dengan itu, sejumlah analisis konflik pun ditawarkan terutama oleh para aktivis OMS. Novianto melihat bahwa rencana pembangunan pabrik semen adalah bagian dari ekspansi kapitalisme yang didukung negara (pemerintah) dan kemudian dilawan oleh masyarakat setempat yang terancam. Aktivis WALHI, Ning Fitri menyatakan bahwa rencana pendirian pabrik semen oleh PT SMS telah menimbulkan konflik antara kelompok yang pro dan kontra di dalam masyarakat, dan dengan mempertimbangkan potensi dampak lingkungan yang akan terjadi, maka rencana tersebut harus dihentikan. Bahkan sebuah rumah produksi, Watchdog, menggambarkan konflik ini melalui film dokumenter di laman Youtube “SAMIN vs SEMEN”.

Lebih lanjut, pembangunan pabrik semen oleh P.T. Semen Gresik di Pegunungan Kendeng Utara yang menjadikan areal karst mendapat penolakan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan pabrik yang dibangun menggunakan penambangan batu karst di Pegunungan Kendeng sebagai bahan baku. PegununganKendeng merupakan pemasok kebutuhan air bagi kawasan pertanian di daerah sekitarnya. Warga melakukan penolakan terhadap apapun terkait pembangunanpabrik semen di area tersebut. Pembangunan dinilai merusak sumber daya air danmematikan sektor pertanian di daerah sekitarnya.

Penggunaan kawasan karst Watuputih sebagai tempat penambangan batu kapur,melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah nomor06/2010. Pasal 63 perda tersebut menetapkan areal menjadi kawasan lindung. Keprihatinan yang membuat para petani melakukan “protes keras” atas ketidakadilan. Ketidakadilan terhadap para nasib petani kendeng, ketidakadilan kepada lingkungan, ketidakadilan pada masa depananak cucu dan ketidakadilan pada masyarakat luas karena ancaman bencana ekologis

Seperti halnya yang telah dipaparkan sebelumnya menurut Garret Hardin di dalam artikelnya yang berjudul The Tragedy of the Commons, mencoba membahas persoalan populasi dan sujmber daya alam. Berfokus pada sumber daya alam yang tidak berkepemilikan; yang bisa dinikmati siapa saja (commons). Sumber daya alam semacam inicontohnya adalah padang rumput, udara, air, ikan di laut, dll. TragediKepemilikan Bersama timbul saat setiap manusia berusaha mengambil kekayaan alam yang menjadi milik bersama untuk kepentingan pribadinya sehingga merugikan mahkluk hidup lain. Oleh karena itu, Tragedi Kepemilikan Bersama ini umumnya terjadi pada sumber daya alam yang merupakan milik bersama.

Pembangunan pabrik semen dimulai tahun 2005 yang diawali oleh PT.Semen Gresik yang akan mendirikan pabrik di empat kecamatan diantaranya Sukolilo, Kayen, Gabus, dan Margorejo , yang terbagi dalam empat belas desa dengan total luas lahan 1350 hektar. Rencana P.T. Semen Gresik ini mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Daerah setempat, baik itu Pemerintah Provisi Jawa Tengah yang mengeluarkan Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2030 yang menetapkan Pegunungan Kendeng Utara di Desa Sukolilo Kabupaten Pati sebagai area industri dan pertambangan, maupun PemerintahKabupaten Pati yang mengeluarkan Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD) kepadaP.T. Semen Gresik dalam Joeni. Namun, PT. Semen Gresik gagal melakukan kegiatan eksplorasi di kawasan Kendeng karena penolakan warga.

Adanya komunitas “Sedulur Sikep” yang menjadimotor utama penolakan atas rencana pembangunan pabrik semen. Gunretno, tokohmuda komunitas Sedulur Sikep di Desa Sukolilo, adalah sosok yang memiliki peranpenting dalam gerakan perlawanan warga Sukolilo atas rencana pendirian pabriksemen di desa Sukolilo. Ia lah yang kemudian menjadi koordinator sebuah wadah yang didirikan dalam rangka untuk memfasilitasi gerakan seluruh warga (tidak hanya meliputi anggota komunitas Sedulur Sikep, melainkan juga termasuk warganon Sedulur Sikep) untuk menyelematkan Pegunungan Kendeng Utara dari rencanapertambangan yang dinamakan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK).

Pabrik Semen selanjutnya akan membatasi ruang hidup warga dan akan menyebabkan permasalahan sosial. Dalam keyakinan warga,operasi pabrik semen akan menggangu CAT (cekungan air tanah) yang menjadisandaran warga yang sebagian berprofesi sebagai petani untuk memenuhi kebutuhanhidup sehari-hari. Penolakan dari warga kendeng juga didukung oleh aktivis“Sedulur Sikep” yang menganut kepercayaan Samin. Sedulur Sikep merupakan wargaasli yang tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsiantara Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur.

Pada 12 April 2016, media massa di Indonesia serentak memberitakan Kartini Pegunungan Kendeng. Dalam sebuah aksi teaterikal di depan Istana Merdeka Jakarta, sembilan orang perempuan Kendeng merelakansemen mengecor kaki mereka. Sembilan ibu-ibu dari Pegunungan Kendeng menyemenkedua kaki. Mereka adalah Sukinah, Sutini, Murtini, Ngadinah, Giyem, Karsupi,Surani, Deni, Ambarwati. Sebuah simbol dari pemaknaan semiotik keberadaanpabrik semen akan mengikat kehidupan mereka.

Petani dari kawasan pegunungan Kendeng, kabupaten Rembang Jawa Tengah, kembali menggelar aksi mencor kaki dengan semendi depan Istana Negara dimana terdapat lima petani yang melakukan cor kedua kaki, yaitu dua laki-laki dan tiga perempuan. Pada hari, Kamis 16 Maret 2017 Patmi dan puluhan peserta lain mulai mengecor kaki. Patmiwarga Pegunungan Kendeng, yang ikut dalam aksi melakukan cor kaki didugameninggal dunia karena serangan jantung. Munculnya gerakan perempuan Kendeng, dikupasdari pemikiran ekofeminisme tak lepas dari kegelisahan perempuan terhadap praktik-praktik perusakan ekologis yang berujung pada ketidakadilan gender. Ekofeminismemerupakan aliran feminis gelombang ketiga yang menjelaskan keterkaitan alam danperempuan, dengan titik fokus pada kerusakan alam dan penindasan perempuan.Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh penulis Prancis Françoise d’Eaubonne dalam bukunya, Le Féminisme ou la Mort (1974). Ekofeminisme membahasdi satu pihak, eksploitasi dan dominasi perempuan terhadap lingkungan; dan dipihak lain, berpendapat bahwa sesungguhnya ada hubungan historis antaraperempuan dan alam. Para Ekofeminis percaya bahwa hubungan ini di gambarkan melalui nilai timbal balik ‘perempuan’ secara tradisional, pemeliharaan dankerjasama, yang terjadi baik di kalangan perempuan maupun di alam. Perempuan dan alam juga bersatu dalam sejarah mereka, yang sama-sama pernah mengalamipenindasan oleh masyarakat patriarki. Adapun tujuan dan gerakan ini adalah untuk mendekonstruksi keterpurukan ekologis yang dilakukan dan didominasi olehkaum laki-laki.

Dalam pandangan ini, alam dianggap sebagai representasi dan simbol perempuan yang selama ini tunduk dalam dominasilaki-laki. Dalam Kasus Kendeng dominasi diwakili oleh kuasa negara yang tidakhadir untuk memberi persetujuan pelestarian alam, alih-alih terlihat pro pada agen eksploitatif. Akibatnya perempuan lalu teralienasi, kehilangan ruang hidup, terpisah dari alam, yang disimbolkan dalam pemasungan kaki di depanIstana Merdeka. Keputusan Presiden Joko Widodo saat melakukanaudiensi dengan warga Kendeng ,bahwa akan dilakukan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) di pegunugan Kendeng yang melibatkan 5 kabupaten dengan 5butir keputusan juga tidak ditaati oleh pemerintah daerah. Dalam butirkeputusan tersebut, sudah jelas disebutkan bahwa selama proses KLHS berlangsung 1 tahun, semua keggiatan pertambangan harus dihentikan, tidak boleh ada izin baru yang keluar dan semua proses harus terbuka. Walaupun Surat Keputusan KLHStelah keluar, justru gubernur melakukan tindakan yang kontraproduktif denganmengeluarkan izin lingkungan baru. Gubernur berarti telah melawan putusan pemimpin tertinggi, kepala Negara dan kepala pemerintahan di negeri ini yaitupresiden RI, 2 Agustus 2016. Berkaitan dengan pokok permasalahan tersebut maka kami mengangkat sebuah topik makalah dengan Dalam pandangan ini, alam dianggap sebagai representasi dan simbol perempuan yang selama ini tunduk dalam dominasilaki-laki. Dalam Kasus Kendeng dominasi diwakili oleh kuasa negara yang tidakhadir untuk memberi persetujuan pelestarian alam, alih-alih terlihat pro pada agen eksploitatif. Akibatnya perempuan lalu teralienasi, kehilangan ruang hidup, terpisah dari alam, yang disimbolkan dalam pemasungan kaki di depanIstana Merdeka. Keputusan Presiden Joko Widodo saat melakukanaudiensi dengan warga Kendeng ,bahwa akan dilakukan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) di pegunugan Kendeng yang melibatkan 5 kabupaten dengan 5butir keputusan juga tidak ditaati oleh pemerintah daerah. Dalam butirkeputusan tersebut, sudah jelas disebutkan bahwa selama proses KLHS berlangsung 1 tahun, semua keggiatan pertambangan harus dihentikan, tidak boleh ada izin baru yang keluar dan semua proses harus terbuka. Walaupun Surat Keputusan KLHStelah keluar, justru gubernur melakukan tindakan yang kontraproduktif denganmengeluarkan izin lingkungan baru. Gubernur berarti telah melawan putusan pemimpin tertinggi, kepala Negara dan kepala pemerintahan di negeri ini yaitupresiden RI, 2 Agustus 2016. Berkaitan dengan pokok permasalahan tersebut maka kami mengangkat sebuah topik makalah dengan

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana upaya dan strategi penyelesaian sengketa pembangunan pabrik semen Rembang pasca Putusan PK dalam perspektif sosiologi hukum?

2. Bagaimana pengefektifan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Sosial Responsibility) bila dikaitkan dengan kasus semen Rembang?

1.3 Tujuan Masalah

Berdasarkan pernyataan masalah maka tujuan yang ingin dicapai oleh penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk mengkaji upaya dan strategi penyelesaian sengketa pembangunan pabrik semen Rembang pasca Putusan PK dalam perspektif sosiologi hukum.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengefektifan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Sosial Responsibility) bila dikaitkan dengan kasus semen Rembang.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Lingkungan

Menurut UURI No.4 Tahun 1982 & UURI No. 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, lingkungan didefinisikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, kedaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perkehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Menurut Soerjono Soekanto, lingkungan dibedakan dalam kategori-kategori sebagai berikut:

a. Lingkungan fisik, yakni semua benda mati yang ada di sekeliling manusia.

b. Lingkungan biologi, yakni segala sesuatu di sekeliling manusia yang berupa organisme yang hidup (manusia termasuk juga di dalamnya).

c. Lingkungan sosial yang terdiri dari orang-orang, baik individual maupun kelompok yang berada di sekita manusia.

2.2 Definisi Ekologi

Ekologi berasal dari bahasa Yunani, yangterdiri dari dua kata, yaitu oikos yang artinya rumah atau tempat hidup, dan logos yang berarti ilmu. Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam ekologi, kita mempelajari makhluk hidup sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya. Definisi ekologi seperti di atas, pertama kali disampaikan oleh Ernest Haeckel (zoologiwan Jerman, 1834-1914).

Ekologi adalah cabang ilmu biologi yangbanyak memanfaatkan informasi dari berbagai ilmu pengetahuan lain, seperti : kimia, fisika, geologi, dan klimatologi untuk pembahasannya. Penerapan ekologi di bidang pertanian dan perkebunan di antaranya adalah penggunaan kontrol biologi untuk pengendalian populasi hama guna meningkatkan produktivitas.

Ekologi berkepentingan dalam menyelidiki interaksi organisme dengan lingkungannya. Pengamatan ini bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip yang terkandung dalam hubungan timbal balik tersebut.

Dalam studi ekologi digunakan metoda pendekatan secara rnenyeluruh pada komponenkornponen yang berkaitan dalam suatu sistem. Ruang lingkup ekologi berkisar pada tingkat populasi, komunitas, dan ekosistem.

2.3 Definisi Ekosistem

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.

Ilmu yang mempelajari ekosistem disebut ekologi. Ekologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu oikos dan logos. Oikos artinya rumah atau tempat tinggal, dan logos artinya ilmu. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834 – 1914).

Ekologi merupakan cabang ilmu yang masih relatif baru, yang baru muncul pada tahun 70-an. Akan tetapi, ekologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap cabang biologinya. Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antarmakhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat hidupnya atau lingkungannya.

Para ahli ekologi mempelajari hal berikut:

a. Perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan faktor-faktor yang menyebabkannya.

b. Perubahan populasi atau spesies pada waktu yang berbeda dalam faktor-faktor yang menyebabkannya

c. Terjadi hubungan antarspesies (interaksi antarspesies) makhluk hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah: Komponen hidup (biotik)

Komponen tak hidup (abiotik). Kedua komponen tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Misalnya, pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan, tumbuhan air, plankton yang terapung di air sebagai komponen biotik, sedangkan yang termasuk komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlarut dalam air.

2.4 Definisi dan Perspektif Sosiologi Lingkungan

Sosiologi lingkungan (environment sociology) didefenisikan sebagai cabang sosiologi yang memusatkan kajiannya pada adanya keterkaitan antara lingkungan dan perilaku sosial manusia.

Sosiologi lingkungan merupakan kajian dalam disiplin ilmu sosiologi yang perkembangannya menjadi keniscayaan di abad 21 ini. Kajian tentang lingkungan menjadi kajian interdisipliner karena fenomena lingkungan bersinggungan dengan kondisi geografis, biologis, teknologi, politik, maupun sosial-budaya. Persinggungan lingkungan dengan kondisi sosial dijelaskan oleh Dunlap dan Marshall sebagai berikut:

There is little doubt that environmental problems will be one of humanity’s major concerns in the twenty-first century, and it is becoming apparent that sociologists can play an important role in shedding light on these problems and the steps that need to be taken to cope with them. While the study of environmental issues is an inherently interdisciplinary project, spanning the natural and social sciences as well as humanities ………… This stems from growing awareness of the fact that environmental problems are fundamentally social problems: They result from human social behavior, they are viewed as problematic because of their impact on humans (as well as other species), and their solution requires societal effort.

Dengan perspektif sosiologi lingkungan, sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu sesungguhnya telah melakukan perubahan “mainstream” sosiologi yang telah lama

berkembang sebagai ilmu yang mempelajari tentang fakta sosial. “To legitimize sociology as a discipline, it was important to move away from explanations of, for example, racial and cultural differences in terms of biological and geographical factors, respectively”.

Lebih lanjut, dalam jurnal The American Sociologists (1994), Dunlap & Catton mengemukakan pentingnya melihat faktor sosial dalam mengkaji masalah lingkungan;

The emergence of environmental sociology in the 1970s, the decline of interest it experienced in the the early 1980s, and its revitalization since the late 1980s are described and linked to trends in societal interest in environmental problems. We suggest that the status of the field has been heavily dependent upon societal attention to environmental problems, in part due to the larger discipline’s ingrained assumption that the welfare of modern societies is no longer linked to the physical environment.

Mengapa dibutuhkan sosiologi lingkungan juga diungkap dalam Introduction buku Environmental Sociology, from Analysis to Action (2009: 2-3) oleh McCarthy and Leslie King bahwa analisis sosiologis diperlukan dalam mengkaji lingkungan karena pemecahan problem yang berbeda dengan ilmu-ilmu alam;

Sociologists, by focusing their research on questions of inequality, culture, power and politics, the relationship between government and economy, and other societal issues, bring a perspective to environmental problem-solving that is quite different from that of most natural and physical scientists.

Berdasarkan hal tersebut di atas, sosiologi menurut Hannigan (1995:15), dapat memberi kontribusi positif pada kajian lingkungan karena masalah lingkungan perlu pemecahan dari perspektif sosial-masyarakat, dan hal tersebut tidak semata urusan ilmu- ilmu alam atau eksak;

………..sociologists can make a positive contribution to the environmental debate by both incorporating and engaging. The former suggests that pockets or niches of environmental research can enrich mainstream sociological theory even if they do not as yet have the capacity to transform the discipline as a whole. The latter recognises that there is much to gain in applying the sociological imagination to the extra-disciplinary study of contemporary environmental issues; for example, through political economy models or via the sociology of science and knowledge. Alas, sociologists far to o often end up as ‘underlabourers’ in this endeavour, being viewed as supporting actors in a cast dominated by natural scientists and environmental policymakers.

Melalui kajian sosiologis, problema lingkungan akan dikaji dari aspek perilaku, tindakan maupun budaya masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungan. Sebagai contoh, tindakan sesorang yang menginginkan efisiensi.

Bahwa kajian lingkungan adalah interdisipliner, Dickens (1996: 29-34) berpendapat tentang pentingnya pembagian kerja para intelektual untuk mengatasi problema kerusakan lingkungan tersebut. Tiga ranah ilmu pengetahuan – biologis, fisik dan sosial – memiliki keterkaitan dan problema lingkungan harus menjadi kajian di tiga ranah ilmu pengetahuan ini;

A key result is our failure to understand how social processes as understood by the social sciences combine with ecological and natural systems as understood by the natural and physical sciences. We are back to the question of’one science’ briefly mentioned by Marx a century and a half ago and later attempted by Engels. The A key result is our failure to understand how social processes as understood by the social sciences combine with ecological and natural systems as understood by the natural and physical sciences. We are back to the question of’one science’ briefly mentioned by Marx a century and a half ago and later attempted by Engels. The

2.5 Konsep Sosiologi Lingkungan

Sosiologi lingkungan (environment sociology) didefenisikan sebagai cabang sosiologi yang memusatkan kajiannya pada adanya keterkaitan antara lingkungan dan perilaku sosial manusia. Menurut Dunlop dan Catton, sebagaimana dikutip Rachmad, sosiologi lingkungan dibangun dari beberapa konsep yang saling berkaitan, yaitu:

a. Persoalan-persoalan lingkungan dan ketidakmampuan sosiologi konvensional untuk membicarakan persoalan-persoalan tersebut merupakan cabang dari pandangan dunia yang gagal menjawab dasar-dasar biofisik struktur sosial dan kehidupan sosial.

b. Masyarakat modern tidak berkelanjutan (unsustainable) karena mereka hidup pada sumberdaya yang sangat terbatas dan penggunaan di atas pelayanan ekosistem jauh lebih cepat jika dibandingkan kemampuan ekosistem memperbaharui dirinya. Dan dalam tataran global, proses ini diperparah lagi dengan pertumbuhan populasi yang pesat

c. Masyarakat menuju tingkatan lebih besar atau lebih kurang berhadapan dengan kondisi yang rentan ekologis.

d. Ilmu lingkungan modern telah mendokumentasikan kepelikan persoalan lingkungan tersebut dan menimbulkan kebutuhan akan penyelesaian besar-besaran jika krisis lingkungan ingin dihindari.

e. Pengenalan dimensi-dimensi krisis lingkungan yang menyumbang pada ‘pergeseran paradigma’ dalam masyarakat secara umum, seperti yang terjadi dalam sosiologi berupa penolakan terhadap pandangan dunia Barat yang dominan dan penerimaan sebuah paradigma ekologi baru.

f. Perbaikan dan reformasi lingkungan akan dilahirkan melalui perluasan paradigma ekologi baru di antara publik, massa dan akan dipercepat oleh pergeseran paradigma yang dapat dibandingkan antara ilmuan sosial dan ilmuan alam. Ilmuan sosial mengabaikan konsep daya dukung, namun dengan mengabaikan konsep

ini sama saja berasumsi bahwa daya dukung lingkungan selalu enlargeable dengan yang kita butuhkan, Dengan demikian sosiologist telah menolak kemungkinan kelangkaan. Meskipun tidak menyangkal bahwa manusia adalah spesies yang luar biasa, para ilmuan sosiologi lingkungan berpendapat bahwa keterampilan khusus dan kemampuan tetap gagal untuk membebaskan masyarakat dari batasan-batasan lingkungan alam.

Dalam tahapan hubungan manusia dan lingkungan, ditunjukan bahwa seluruh aspek budaya, perilaku bahkan “nasib” manusia dipengaruhi, ditentukan dan tunduk pada lingkungan. Dalam kehidupan berkelompok, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa bentuk- bentuk persekutuan hidup manusia muncul sebagai akibat dari interaksi iklim, geografi dan ekonomi. Ketiga bagian dari lingkungan itu juga bersifat sangat menentukan corak temperamen manusia (Ibnu Khaldun dalam Madjid Fakrhy, 2001:126).

Sementara itu, Donald L. Hardisty yang mendukung dominasi lingkungan menyatakan lingkugan fisik memainkan peran dominan sebagai pembentuk kepribadian, moral, budaya, politik dan agama, pandangan ini muncul tidak lepas dari asumsi dalam tubuh manusia ada tiga komponen dasar, yakni bumi, air, dan tanah yang merupakan unsur-unsur penting lingkungan.

Lebih lanjut, dalam kajian sosiologi lingkungan, beragam perilaku sosial seperti konflik dan integrasi yang berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan, adaptasi terhadap perubahan lingkungan atau adanya pergeseran nilai-nilai sosial yang merupakan efek dari perubahan lingkungan harus dapat dikontrol. Hal ini dilakukan agar kemunculan pengaruh- pengaruh berupa faktor-faktor yang tidak berkaitan dengan kondisi lingkungan (eksogen) dapat terdeteksi atau dikenali dengan jelas. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sosiologi lingkungan adalah cabang sosiologi yang mengkaji aspek-aspek lingkungan, seperti pemanfaatan sumberdaya alam serta pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh manusia dengan beragam alasan sebagai dampak ikutannya.

2.6 Paham-Paham Yang Memperjuangkan Lingkungan

a. Paham Biosentrisme

Paham biosentrisme menyatakan bahwa bukan hanya manusia dan kumunitasnya yang pantas mendapatkan pertimbangan moral, melainkan juga dunia binatang. Akibat pertimbangan moral hanya ditunjukkan pada kepentingan manusia saja, hewan-hewan Paham biosentrisme menyatakan bahwa bukan hanya manusia dan kumunitasnya yang pantas mendapatkan pertimbangan moral, melainkan juga dunia binatang. Akibat pertimbangan moral hanya ditunjukkan pada kepentingan manusia saja, hewan-hewan

Williuam Chang menyamakan biosentrisme dengan animal centered ethic (animalsentrisme). Artinya, semua binatang perlu dipertimbangkan secara moral, sekalipun tidak perlu mendudukkan semua jenis hewan pada jenjang yang sama.ini berarti animal centrism memberikan penghargaan atas spesies binatang, tetapi pada saat yang sama ia memberikan makna yang berbeda-beda antar jenis binatang itu.

Paham biosentrisme mimiliki pokok-pokok pandangan sebagai berikut. Pertama, Alam memilik nilai pada dirinya sendiri (intristik) lepas dari kepentingan manusia. Ini berarti bahwa, setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri, tanpa harus dihubungkan pada persoalan bagaiman hubungan makhluk hidup dengan kebutuhan manusia.

Kedua, Alam diperlukan sebagai moral, terlepas bagi manusia ia bermanfaat atau tidak, sebab alam adalah komunitas moral. Dalam kaitan ini, biosentrisme menganjurkan bahwa kehidupan di alam semesta ini akan dihormati seperti manusia menghormati sistem sosial yang terdapat dalam kehidupan mereka. Ini berarti bahwa terdapat nilai-nilai kebaikan, tata krama dan orientasi hidup dari alam semesta yang harus mulai dihargai.

Paham ini mengajarkan pula perubahan etika yang selama ini baik secara sadar/tidak telah kita yakini. Jika etika sebelumnya menyatakan bahwa nilai-nilai kebaikan, tata krama dan orientasi hidup hanya berlaku pada lingkungan manusia, biosentrisme mengajak dan memperluas etika manusia yang dihubungkan dengan keadaan alam semesta. Lebih luas Sony Keraf mengatakan bahwa paham biosentrisme berpegangan pada pilar-pilar teori sebagai berikut.

1) Teori Lingkungan yang Berpusat pada Kehidupan Teori ini menyatakan bahwa manusia memiliki kewajiban moral terhadap alam. Albert Schweitzer menyatakan, penghargaan yang harus dilakukan manusia tidak hanya pada diri sendiri saja, tetapi juga kepada semua bentuk kehidupan. Dari gagasan- gagasan di atas karenanya ada kewajiban utama manusia sebagai pelaku moral terhadap

alam. Sebagai subjek moral, manusia bisa menghormati “moral” alam dengan beragam cara, seperti:

a) Kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu yang merugikan alam dengan segala isinya.

b) Kewajiban untuk tidak menghambat kebebasan organisme lain untuk berkembang sesuai dengan hakikatnya.

c) Kesediaan untuk tidak menjebak, memperdaya, atau menjerat binatang liar.

2) Etika bumi Bumi dilihat tidak sebagai hak milik (property), sebagai mana halnya manusia dengan budak-budaknya pada zaman primitif. Akan tetapi, seperti komunitas manusia, bumi dengan segala isisnya adalah subjek moral. Oleh karena itu, ia bukan objek dan alat yang bisa digunakan sesuka hati sebab bumi memiliki banyak keterbatasan sama dengan manusia. Dengan demikian, bumi harus dihargai bernilai pada dirinya sendiri. Etika ini diperluas ke luar batas kumunitas agar mencakup pula tanah, air, tumbuh- tumbuhan, binatang atau secara kolektif di bumi.

3) Anti Spesiesisme Peter Singer dan James Rachels mengkritik antroposentrisme, sebagai paham yang bersifat rasisme dan spesiesisme. Rasisme menganggap dan menjustifikasi ras tertentu sebagai ras yang lebih unggul dibandingkan ras lain. Sementara itu, spesiesisme, yang ditolak oleh biosentrisme di sini sebab ia menganggap bahwa spesies manusia lebih unggul dibandingkan spesies lain (binatang dan tumbuh-tumbuhan).

Karena ide ini belum diketahui dengan baik, sosialisasi biosentrisme harus dilakukan sebagai upaya menciptakan para pejuang lingkungan. Hingga mereka meyakini paham biosentrisme dan merasakan penghormatan moral atas alam sesungguhnya adalah tindakan yang paling beradab dan bermoral yang dilakukan oleh manusia atas makhluk hidup lain.

b. Paham Ekosentrisme (The Deep Ecology) : Memperjuangkan Keseimbangan

Dibanding biosentrisme, ekosentrisme memiliki pandangan lebih luas. Menurut penganut paham ini sama dengan biosentrisme perjuangan penyelamatan dan kepedulian terhadap lingkungan alam tidak hanya mengutamakan penghormatan atas spesies (makhluk hidup saja), tetapi yang tidak kalah penting pula adalah perhatian setara atas seluruh kehidupan.

Sebagai paham yang peduli terhadap lingkungan, ke munculan ekosentrisme tidak lepas dari dua latar belakang. Kemunculannya merupakan tanggapan atas pandangan-pandangan filsafat antroposentrisme yang terbukti tidak ramah atau tidak bijak mengatur hubungan manusia dengan alam. Fenomena krisis ekologi tidak lepas dari semakin kuatnya antroposentrisme dalam mengarahkan hubungan manusia dengan lingkungan yang dalam kenyataannya memproduksi kerusakan-kerusakan.

Gerakan penyalamatan lingkungan, yang menjadikan ekosentrisme, sebagai landasan gerakan, merupakan cara hidup orang-orang primitif seluruh dunia dan taoisme (alam romantis yang berorientasi budaya tanding abad ke-19, dengan akar-akarnya dalam

Spinoza dan Zen Buddhisme dari Alan Watts dan Gary Snyder) sebagai “ruh”nya. Ia emrupakan salah satu gerakan dari the deep ecology. Oleh karena itu, membicarakan the

deep ecology sama dengan mengkaji fisafat ekosentrisme. Perpanjangan atau pengembangan biosentrisme ini tidak hanya berhenti pada dunia tumbuh-tumbuhan atau binatang, melainkan diperluas dengan memberi cakupan komunitas ekologis secara keseluruhan. Berkaitan dengan ini, banyak kalangan menyatakan bahwa ekosentrisme adalah paham lingkungan yang holistik. Makhluk hidup dengan benda-benda abiotis memiliki hubungan saling berkaitan. Tanggung jawab moral berlaku bagi semua reakita ekologis. Deep ecology, sebagai bagian ekosentrisme adalah etika yang berpusat pada makhluk hidup secara keseluruhan dalam kaitan memberikan penghormatan terhadap semua spesies.

Ekosentrisme memandang hubungan antara alam dan kehidupan sosial dengan pokok- pokok gagasan sebagai berikut:

1) Manusia dan kepentingannya bukan lagiukuran bagi sesuatu yang lain. Ia tidak hanya melihat spesies manusia saja, tetapi juga memandang spesies lain. Pernyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa ekosentrisme tidak setuju dengan nilai-nilai dominatif yang dibawa oleh antroposentrisme.

2) Pandangan tentang lingkungan harus bersifat praktis. Artinya, etika ini menuntut suatu pemahaman baru tentang relasi yang etis dalam alam semesta(terutama antara manusia dengan makhluk lain) disertai prinsip-prinsip yang diterjemahkan dalam gerakan lingkungan. The deep ecology bertindak dalam dua ranah, yakni ranah praktis dan ranah filosofis.

Bill Devall meletakkan komitmen deep ecology dalam tindakan praktis. Ia mempraktikkan hidup dalam tempat tinggal dengan entropi dan gaya hidup mengomsumsi yang sangat sedikit. Dalam ranah filosofis, the deep ecology bisa juga debut sebagai ecosophy (eikos = rumah tangga, sophy = kearifan). Ecosophy adalah kearifan yang mengatur kehidupan selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dala arti luas. Ia meliputibentuk pergeseran dari bentuk ilmu kepada bentuk kearifan. The deep ecology adalah penggabungan anatara pendekatan ekologi sebagai ilmu dengan filsafat sebagai studi pencarian kearifan. Gabungan dari dua pendekatan ini bisa dijelaskan sebagai berikut.

1) Realisasi diri manusia berlangsung dalam komunitas ekologi. Ini berarti bahwa manusia bisa berkembang menjadi penuh dan utuh justru dalam relasi dengan semua kenyataan kehidupan dan alam. Manusia tidak hanya memiliki hubungan- hubungan dengan manusia saja.

2) Realisasi manusia seharusnya memperhatikan dirnya sebagai ecological self. Dalam artian bahwa manusia harus menyadari, ia akan berhasil menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) hanya dalam kesatuan asasi dengan alam atau melalui intraksi positif manusia dengannya secara keseluruhan dan dengan bagian lain dari alam.

c. Paham Ekofeminisme : Melawan Androsentrism

Kemunculan paham dan gerakan lingkungan yang berideologi ekofeminisme merupakantahapan bagian yang tidak lepas dari perkembangan ideologi feminisme. Istilah ekofeminismemuncul pertama kali tahun 1974 dalam buku tulisan Franciose d’eaubonneyang berjudul le feminisme ou la mort.dalam karya ini dungkapkan pandangan tentang hubungan lansung antara eksploitasi alam dengan penindasan pada perempuan. Pembebasan salahsatunya tidak bisa dilakukan tanpa membebaskan penindasan yang lain. Kedua-duanya tidak bisa dipisahkan sebab persoalan lingkungan dan perempuan sangat ditentukan keterpusatan yang terletak pada laki-laki (androsentrisme). Adapun definisi ekofeminisme seperti dinyatakan Ariel Salleh ialah sebagai berikut.

“Eco-feminism adalah pengembangan kini dalam pemikiran feminisme yang menyatakan bahwa krisis lingkungan global akhir-akhir ini adalah diramalkan hasil dari kebudayaan patriarkhal”(Salleh, 1988).

Ekofeminisme (ada yang menggunakan bahasa inggris, sebagai ecological feminism) bukan gerakan atau filsafat feminisme umum, tetapi feminisme yang membatasi diri khusus fokusvkepadabisu-isu lingkungan. Baik dengan memanfaatkan model gerakan akar rumput (grass root movement), wacana (discourse) maupun perombakan/penguatan ide-ide filosofis. Bahkan, sama seperti biosentrisme maupun ekosentrisme, ekofeminisme juga memiliki rumusan jelas tentang risalah etikalingkungan.

Ekofeminisme memberikan penghormatan atas bentuk-bentuk kehidupan non-manusia. Artinya, tidak hanya kehidupan manusia saja yang harus dihormati, tetapi juga menghormati kehidupan binatang, tumbuh-tumbuhan dan habitat-habitat di sekitar. Ekofeminisme juga menegaskan bahwa akar kerusakan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari berkembangnya paham antroposentrisme, sebagai kepanjangan tangan sistem kapitalis Ekofeminisme memberikan penghormatan atas bentuk-bentuk kehidupan non-manusia. Artinya, tidak hanya kehidupan manusia saja yang harus dihormati, tetapi juga menghormati kehidupan binatang, tumbuh-tumbuhan dan habitat-habitat di sekitar. Ekofeminisme juga menegaskan bahwa akar kerusakan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari berkembangnya paham antroposentrisme, sebagai kepanjangan tangan sistem kapitalis

Ekosentrime adalah bentuk penggabungan antara ekologi dengan filsafat, ekofeminisme merupakan produk penggabungan antara feminisme dengan ekologi. Kedua pandangan ini memungkinkan untuk disatukan sebab memiliki visi sama dalam melihat masyarakat dan lingkungan yang sama-sama sedang mengalami krisis. Baik feminisme maupun ekologi memiliki satu visi, yakni hendak membangun pandangan dunia dan praktiknya yang tidak berdasarkan pada model dominasi. Jika ekologi memperlakukan baik makhluk hidup maupun makhluk yang tidak hidup sama dan sederajat, sama halnya dengan itu, feminisme pun memperjuangkan relasi sosial atau hubungan kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Gerakan ekofeminisme membangun sebuah teori dan praktik yang memberi perhatian kepada manusia dan alam lingkungan dan tidak bias laki-laki. Keadilan ekonomi dan keadilan sosial, kesetaraan gender dan lingkungan hidup, semuanya saling terhubung (intan Darmawati dalam Jurnal Perempuan, No. 21, 2000).

2.7 Interaksi Antara Masyarakat Dan Lingkungan

Sosiologi lingkungan didefinisikan sebagai studi tentang hubungan antara masyarakat manusia dan lingkungan fisik mereka atau, lebih sederhana,''sosial-lingkungan interaksi'' (Dunlap dan Catton 1979).

Interaksi tersebut termasuk cara-cara di mana manusia mempengaruhi lingkungannya serta cara-cara di mana kondisi lingkungan (sering dimodifikasi oleh tindakan manusia) mempengaruhi urusan manusia, ditambah dengan cara di mana interaksi sosial tersebut ditafsirkan dan ditindaklanjuti.

Relevansi dari interaksi ini untuk sosiologi berasal dari fakta bahwa populasi manusia tergantung pada lingkungan biofisik untuk kelangsungan hidup, dan ini pada gilirannya memerlukan melihat lebih dekat pada fungsi-fungsi yang melayani lingkungan bagi manusia.

Tiga fungsi dasar lingkungan hidup bagi kehidupan manusia , yaitu :

a. Lingkungan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk hidup, mulai dari udara dan air untuk makanan untuk bahan yang dibutuhkan untuk tempat tinggal, transportasi, dan berbagai macam barang ekonomis.

b. Lingkungan berfungsi sebagai penyerap limbah. Untuk repositori limbah ini, baik menyerap atau daur ulang, lingkungan berfungsi menyerap zat berbahaya zat (seperti ketika pohon menyerap karbon dioksida kemudian oksigen kembali ke udara).

c. Manusia, seperti spesies lainnya, juga harus memiliki tempat untuk betahan hidup, dan lingkungan menyediakan rumah-di mana manusia dqapat hidup, bekerja, bermain, perjalanan, dan menghabiskan hidup kita. Jadi, ketiga fungsi lingkungan hidup adalah untuk memberikan kehidupan ruang atau

habitat bagi populasi manusia. Tapi ketika manusia/masyarakat berlebihan dalam memanfaatkan ketiga fungsi lingkungan maka akan terjadi permasalahan. Masalah lingkungan dalam bentuk polusi, kelangkaan sumber daya, dan kepadatan penduduk dan / atau kelebihan penduduk. Dampak dari terganggunya satu fungsi lingkungan berakibat pula pada fungsi lainnya sehingga permasalahan lingkungan inipun bisa semakin kompleks.

Sebagai contoh suata area/daerah yang fungsi lingkungannya dialihkan untuh TPA sapah atau limbah berbahaya, membuat fungsi kawasan lingkungan ini tidak layak huni, karna bahan berbahaya/limbah ini mencemari tanah, air, dan udara. Daerah ini tidak bisa lagi berfungsi sebagai depot pasokan untuk air minum atau untuk produk pertanian tumbuh. Akhirnya, konversi lahan pertanian atau hutan menjadi subdivisi perumahan menciptakan ruang yang lebih hidup untuk manusia, tetapi itu berarti bahwa tanah tidak lagi dapat berfungsi sebagai depot pasokan untuk makanan atau kayu (atau sebagai habitat satwa liar).

Masalah lingkungan baru terus muncul sebagai hasil dari kegiatan manusia. Contoh issue global adalah pemanasan global, hal ini terjadi akibat dari peningkatan pesat karbon dioksida di atmosfer bumi yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan manusia-terutama pembakaran bahan bakar fosil (batubara, gas, dan minyak), kayu, dan lahan hutan. Sehingga meningkatkan suhu atmosfer bumi. perubahan fungsi lingkungan ini yang membuat planet bumi kita kurang cocok sebagai ruang hidup (tidak hanya bagi manusia, tetapi terutama untuk bentuk-bentuk lain dari kehidupan).

Penipisan ozon, misalnya, berasal dari kemampuan terbatas melebihi atmosfer untuk menyerap chlorofluorocarbons (CFC) dan polutan lainnya. Munculnya masalah seperti penipisan ozon, perubahan iklim, kepunahan spesies, dan perusakan hutan hujan adalah indikasi bahwa masyarakat modern mengubah lingkungan mereka dan cara-cara di mana perubahan tersebut akhirnya menciptakan kondisi bermasalah bagi masyarakat.

2.8 Hubungan Antara Manusia Dengan Lingkungan

Kenyataan yang tak terbantahkan yang dapat kita saksikan saat ini adalah bahwa umat manusia hidup di muka bumi ini terkotak-kotak dalam batas-batas negara, satu negara bisa jadi terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan. Bersamaan dengan itu kita juga menyaksikan terjadinya perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara yang lain baik yang sifatnya sementara maupun permanen.

Hubungan antara manusia dengan lingkungan antara lain:

a. Bentuk Adaptasi Manusia dengan Lingkungan Lingkungan fisik, biologis, maupun sosial senantiasa mengalami perubahan-perubahan. Agar dapat memper-tahankan hidup, manusia melakukan penyesuaian atau adaptasi yang dibedakan sebagai manusia:

1) Adaptasi genetis, yakni penyesuaian yang dilakukan dengan membantu struktur tubuh yang spesifik, bersifat turum temurun dan permanen.

2) Adaptasi somatis, yakni penyesuaian secara fungsional yang sifatnya sementasa. Jika dibandingkan makhluk lain mempunyai kemampuan beradaptasi yang lebih besar.

b. Bentuk-Bentuk Hubungan Manusia dengan Lingkungan Dalam hubungan dengan organisme hidup lainnya dalam lingkungan hidup, hubungan tersebut mungkin terjadi secara sadar atau bahkan tidak disadari. Namun demikian dibedakan sebagai berikut:

1) Hubungan simbiosis, yakni hubungan timbal balik antara organisme-organisme hidup yang berbeda spesisnya:

a) Simbiosis parasitisme, 1 pihak untung dan 1 pihak rugi.

b) Simbiosis komensalisme, 1 pihak untung dan 1 pihak tidak dirugikan.

c) Simbiosis mutualisme, kedua belah pihak diuntungkan.

2) Hubungan sosial yang merupakan hubungan timbal balik antara organisme- organisme hidup yang sama spesisnya. Bentuk-bentuknya antara lain:

a) Kompetisi/persaingan.

b) Kooperatif/kerjasama.

2.9 Arti Penting Lingkungan Bagi Manusia