BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga Tengah - Hubungan Jenis Otitis Media Supuratif Kronis dengan Gangguan Pendengaran di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga Tengah

  Telinga tengah adalah ruang kecil yang berisi udara yang berada pada os

petrosus tulang temporal . Telinga tengah dipisahkan dengan telinga luar oleh

membran timpani, dan dengan telinga dalam oleh fenestra vestibuli dan fenestra

rotunda (Tortora dan Derrickson, 2009).

  Secara umum, telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, dan recessus epitympani.

2.1.1. Membran Timpani

  Membran timpani adalah selaput tipis dan halus yang merupakan bagian

awal dari sistem konduksi pada telinga tengah. Bentuk membrannya oval dengan

  bagian superior lebih lebar. Membran ini memiliki panjang vertikal rata-rata 9-10 mm dan diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm dengan ketebalannya rata-rata 0,1 mm. Pada bagian tepi membran ini terdapat bagian yang mengalami penebalan, suatu bagian yang disebut dengan annulus fibrocartilago. Membran timpani dapat dibagi menjadi dua bagian, bagian superior, tempat dimana annulus fibrocartilago terbuka terdapat area dengan ketebalan membran yang lebih tipis dan lebih longgar disebut dengan pars flaksida. Bagian lain yang menyusun mayoritas dari membran timpani terdiri dari pars tensa, yang ukurannya lebih tebal dan kaku (Bruns et al., 2011).

2.1.2. Kavum Timpani

  Secara umum kavum timpani adalah suatu ruang yang berbatasan dengan :

  a. Paries tegmentalis Merupakan bagian atap dari telinga tengah yang terdiri dari selapis tulang tipis yang memisahkan telinga tengah dengan fossa cranii

  media .

  b. Paries jugularis Adalah bagian telinga tengah yang terdiri dari selapis tulang untuk memisahkan telinga tengah dengan vena jugularis interna.

  c. Paries membranacea Dibentuk oleh membran timpani, terutama oleh annulus fibrocartilago tempat membran ini melakukan insersi. Annulus fibriocartilago yang merupakan lingkaran yang terbuka pada bagian atasnya membentuk notch of rivinus.

  d. Paries mastoideum Membentuk dinding posterior telinga tengah, bagian superior recessus epitympani berlanjut ke pembukaan (aditus) antrum mastoideum.

  e. Dinding anterior Terdiri dari tulang tipis yang memisahkan kavum timpani dengan arteri carotis interna, bagian superiornya terdapat dua ostium tuba eustachius dan ostium tempat insersi musculus tensor timpani (Drake et al., 2009). Pada telinga tengah juga terdapat tiga buah tulang pendengaran. Maleus

yang melekat ke dinding posterior membran timpani, yang kemudian berartikulasi

dengan incus, incus kemudian berartikulasi dengan stapes, dan akhirnya basis

stapes berinsersi ke fenestra vestibuli, membentuk suatu rantai cincin

pendengaran yang utuh (Tortora dan Derrickson, 2009).

Gambar 2.2. Kavum Timpani (Drake, et al., 2009)

  2.1.3. Area Mastoid Di bagian posterior recessus epitympani terdapat auditus ke antrum

mastoideum . Antrum mastoideum merupakan suatu kavitas yang terdiri dari

ruangan-ruangan kecil berisi udara yang disebut sel mastoid. Antrum mastoideum

dipisahkan dengan fossa cranii media oleh tegmentum timpani (Drake et al.,

2009).

  2.1.4. Tuba Eustachius Tuba eustachii disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani,

  berbentuk seperti huruf “S”. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan antara kavum timpani dengan nasofaring.

  Tuba eustachii terdiri dari 2 bagian yaitu : bagian tulang yang terdapat

  pada bagian belakang (1/3 bagian) dan bagian tulang rawan yang terdapat pada bagian depan (2/3 bagian).

  

Tuba eustachii berfungsi untuk ventilasi telinga yang mempertahankan

  keseimbangan tekanan udara di dalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring menuju ke kavum timpani.

Gambar 2.3. Tuba Eustachius (Netter, 2003)

  2.1.5. Pembuluh Darah

  Suplai arteri berasal dari cabang-cabang kecil arteri faringeal asenden, yang merupakan cabang dari arteri karotis eksterna. Perdarahan juga berasal dari dua buah cabang arteri maksilaris, yakni arteri meningea media dan arteri vidianus. Drainase vena bermuara pada pleksus pterigoid di fossa infratemporal (Moore, Dalley, dan Agur, 2008).

  2.1.6. Persarafan

  Tuba eustachius, membran timpani, antrum mastoideum dan sel mastoid menerima persarafan dari pleksus timpani yang dibentuk oleh cabang nervus glossofaringeus. Muskulus tensor timpani diinervasi oleh cabang mandibular nervus trigeminus dan muskulus stapedius diinervasi oleh nervus fasialis (Moore, Dalley, dan Agur 2008).

2.1.7. Fisiologi Pendengaran

  Telinga manusia adalah sistem indera khusus yang berespon terhadap gelombang suara. Gelombang suara sendiri akan dihasilkan dari setiap objek yang bervibrasi. Suara yang dapat didengar didengar oleh manusia adalah suara yang dihasilkan oleh benda yang bervibrasi dengan frekuensi 20-20000 hertz. Selain frekuensinya suara juga ditentukan oleh intensitas atau amplitudonya, semakin besar amplitudo suara, semakin kuat pula suara tersebut terdengar oleh manusia. Intensitas suara ditentukan dengan satuan desibel (Tortora dan Derrickson, 2009).

  Proses pendengaran dimulai ketika gelombang suara yang datang mencapai telinga manusia, kemudian suara tersebut difokuskan oleh daun telinga menuju kanalis auditori eksterna. Ketika gelombang suara mengenai membran timpani, membran ini akan bergetar sesuai dengan frekuensi dan intensitas gelombang suara yang datang. Selanjutnya getaran ini akan diteruskan oleh tulang-tulang pendengaran, hingga akhirnya tulang stapes akan menggetarkan

  

fenestra vestibuli dengan frekuensi dua puluh kali lebih tinggi, hal ini disebabkan

  karena tulang pendengaran secara efisien mentransmisikan getaran kecil dari daerah dengan permukaan yang lebih luas menuju daerah dengan permukaan lebih sempit (Tortora dan Derrickson, 2009).

  Pergerakan fenestra vestibuli maju dan mundur akibat menerima transmisi getaran ini akan menyebabkan perubahan tekanan pada perilimfe di koklea, dan menyebabkan pergerakan skala vestibuli dan skala tympani, juga mendorong membran vestibular maju dan mundur sehingga tekanan di dalam endolimfe juga turut berubah. Perubahan tekanan di endolimfe ini akan menyebabkan membran basiler untuk bervibrasi sehingga menyebabkan hair cell bergerak melawan membran tektorial. Pergerakan yang berlawanan arah ini akan menyebabkan proses transduksi energi mekanis menjadi potensial reseptor yang selanjutnya akan menghasilkan potensial aksi dan yang menjalar sepanjang nervus cochearis. Proses konduksi gelombang suara melalui jalur diatas merupakan jalur utama dari pendengan normal. Proses ini disebut dengan ossicular conduction. Gelombang suara juga menyebabkan getaran pada fenestra rotunda di telinga tengah, proses ini disebut dengan atau air conduction atau konduksi udara. Tipe konduksi ketiga berasal dari transmisi getaran melalui tulang tengkorak langung menuju ke telinga tengah, proses ini disebut dengan bone conduction (Ganong, 2003).

2.2. Otitis Media Supuratif Kronik

  2.2.1. Definisi

  Otitis media supuratif kronik adalah infeksi kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah secara terus menerus. Sekret mungkin encer, kental, bening, atau berupa nanah (Djaafar, 2007).

  2.2.2. Etiologi Infeksi merupakan penyebab terjadinya otitis media supuratif kronik.

  Agen infeksi yang paling sering menyebabkan OMSK adalah bakteri, bakteri aerob yang terbanyak adalah Staphylococcus aureus 36,1%, diikuti Eschericia

  

coli 27,7 % dan Proteus 19,4%, Pseudomonas aeruginosa 2,8 % (Nursiah, 2000).

  Diantara bakteri ini Pseudomonas aeruginosa dipercaya sebagai bakteri yang sering menyebabkan kerusakan telinga tengah dan area mastoid yang parah (WHO, 2004).

  2.2.3. Patofisiologi

  Otitis media supuratif kronik dimulai dengan episode infeksi akut. Iritasi dan inflamasi pada mukosa telinga tengah akan menyebabkan edema mukosa. Proses inflamasi yang berkelanjutan pada akhirnya akan menyebabkan ulserasi mukosa dan kerusakan permukaan epitel membran timpani. Sistem pertahanan pejamu yang bertujuan untuk mengeliminasi proses infeksi akan menyebabkan terbentuknya jaringan granulasi dan polip pada telinga tengah. Siklus inflamasi, ulserasi, dan pembentukan jaringan granulasi yang terus berulang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan pada struktur tulang pendengaran.

  Proses kerusakan membran timpani, terbentuknya jaringan granulasi, dan kerusakan tulang pendengaran akan menyebabkan gangguan transmisi gelombang suara ke telinga dalam sehingga bermanifestasi sebagai tuli konduktif (Parry et al., 2011). Tuli sensorineural dapat muncul ketika proses inflamasi melibatkan

  

fenestra rotunda , yang merupakan membran semipermeabel, menyebabkan

lewatnya material toksin sehingga mengakibatkan perubahan biokimia pada

perilimfe dan endolimfe dan menyebabkan gangguan pada organ of Corti

(Allabasi, Alsaimary dan Najim, 2010; Kasliwal, Joshi, dan Pareeket, 2004).

  Durasi penyakit pada OMSK juga berhubungan dengan jenis dan derajat gangguan pendengaran yang muncul. Pada OMSK yang telah berlangsung selama 26 tahun, insidensi tuli sensorineuralnya sebesar 33,33% (Kaur, Sonkhya, dan

  

Bapna, 2003). Tala (2010) mendapatkan kemunculan tuli sensorineural setelah

OMSK yang berlangsung diatas 15 tahun. Sebanyak 50% pasien dengan derajat

gangguan dengar sedang dan sedang berat adalah penderita OMSK diatas 10

tahun (Maharjan, 2009). Hal ini disebabkan karena proses peradangan telinga

tengah yang berlangsung lama cenderung akan berlanjut semakin parah dan

melibatkan struktur disekitarnya termasuk telinga dalam dan tulang pendengaran.

2.2.4. Faktor Resiko

  • Otitis media rekuren
  • Disfungsi tuba eustachius

  Tuba eustachius biasanya tertutup dan baru akan terbuka melalui kontraksi

  

muskulus tensor veli palatini saat mengunyah, menguap, dan menelan. Disfungsi

  tuba estachius bisa bermanifestasi sebagai kondisi obstruksi yang menyebabkan gangguan drainase sekret telinga tengah ke nasofaring. Gangguan patensi, berupa tidak menutupnya tuba secara sempurna, menyebabkan perpindahan bakteri ke telinga tengah (Paparella dan Levine, 1997).

  • Usia muda

  Tuba eustachius merupakan salah satu struktur yang masih belum berkembang sempurna. Pada balita, panjang tuba lebih pendek, lebar, dan horizontal, sehingga translokasi bakteri dari daerah tenggorokan ke telinga tengah lebih mudah terjadi. Balita juga kerap dihubungkan dengan penggunaan botol susu, yang dapat menjadi sumber infeksi (Paparella dan Levine, 1997).

  • Penurunan sistem kekebalan (HIV, kemoterapi,dll)

  Pasien HIV akan mengalami penurunan jumlah CD4+, yang akan menyebabkan penurunan sekresi IL-4, IL-5, dan IFN- γ dan pembentukan imunoglobulin sehingga respon imun spesifik dan non spesifik akan terganggu

  (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009; Lasisi, 2005).

  Agen kemoterapi bekerja dengan cara menggangu mitosis dan menyebabkan apoptosis sel, sel- sel normal dengan kemampuan membelah yang cepat seperti sel retikuloendotelial akan turut mengalami efek ini (Rasmussen dan Arvin, 1982).

  • Alergi dengan manifestasi di sistem pernafasan

  Alergi dapat menimbulkan otitis media adalah melalui reaksi inflamasi alergi pada mukosa hidung yang meluas ke tuba eustachius. Reaksi inflamasi ini akan menyebabkan edema mukosa yang lebih lanjut akan mempengaruhi fungsi tuba, yaitu ventilasi, proteksi dan drainase telinga tengah. Edema mukosa tuba eustachius dapat disebabkan langsung oleh alergen inhalan yang menimbulkan respon alergi lokal ataupun karena adanya respon imun di tuba eustachii (Susilo, 2010).

  • Riwayat pemberian ASI

  Pemberian ASI telah diketahui akan memberikan kekebalan humoral berupa IgA, pemberiannya yang tidak adekwuat akan meningkatkan resiko infeksi terutama pada balita (Antonelli, 2004)

  • Merokok atau perokok sekunder

  Pajanan nikotin diketahui dapat menurunkan ekspresi sitokin pro- inflamasi (TNF- α, IL-1β, dan IL-6) dan kemokin ( RANTES dan IL-8) (Chen et al., 2007; Kum-Nji, Melloy, dan Herrold, 2006).

  • Tempat tinggal di lingkungan kumuh

  Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi terdapat hubungan erat antara penderita dengan OMSK dengan kondisi sosioekonomi, lingkungan tempat tinggal, dan status gizi dimana kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden OMSK yang lebih tinggi (Tala, 2010).

  2.2.5. Epidemiologi

  Insidensi OMSK diperkirakan sebesar 39 kasus per 100,000 ribu orang (Parry et al., 2009). Prevalensi OMSK di Asia tenggara diperkirakan sebanyak 5,2% (Uddin et al., 2009). Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran, Departemen Kesehatan tahun 1993-1996 prevalensi OMSK adalah 3,8% populasi (Aboet, 2007).

  2.2.6. Klasifikasi

  OMSK dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : 1. Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen.

  Pada bentuk ini peradangan umumnya hanya terbatas pada mukosa saja dan biasanya tidak mengenai tulang. Umumnya perforasi terletak di sentral atau pars tensa. Otore umumnya mukopurulen dan tidak berbau, dan biasanya tidak disertai dengan kolesteatoma. Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dari kavum timpani, bentuk ini dibagi lagi menjadi :

  a. Penyakit aktif : OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif.

  b. Penyakit tidak aktif (tenang) : Keadaan kavum timpani terlihat basah atau kering (Djaafar, 2007).

Gambar 2.4. OMSK Tipe Tubotimpani (Ludman, 2007)

  2. Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang Bentuk ini umumnya disertai dengan perforasi di marginal ataupun di atik atau pars flaksid. Bentuk ini selalu disertai dengan terbentuknya kantong retraksi yang dapat menyebabkan penumpukan keratin sehingga menghasilkan kolesteatom (Djaafar, 2007).

Gambar 2.5. OMSK Tipe Atikoantral (Ludman, 2007)

  Bentuk perforasi pada membran timpani :

  1. Perforasi sentral Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero- superior, kadang-kadang sub total (Helmi, 2005).

Gambar 2.6. Perforasi Sentral (Ludman, 2007)

  2. Perforasi marginal Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari annulus

  

fibrosus yang sering disertai jaringan granulasi. Perforasi marginal yang sangat

  besar digambarkan sebagai perforasi total. Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan dengan kolesteatom (Helmi, 2005).

Gambar 2.7. Perforasi Marginal (Ludman, 2007)

  3. Perforasi atik Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma (Helmi, 2005).

Gambar 2.8. Perforasi Atik (Ludman, 2007)

  2.2.7. Gejala Klinis

  a.Telinga berair (Otore) Sekret yang dihasilkan dapat bersifat purulen ( kental, putih) atau mukoid ( encer) tergantung stadium peradangan. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar berupa mukus yang tidak berbau dan yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya intermiten. Jika berbau busuk kemungkinan telah terjadi abses atau fistel retroaurikuler, polip atau jaringan granulasi di liang telinga, terlihat kolestetoma pada telinga tengah tanda ini biasanya merupakan tanda dini dari OMSK tipe maligna (Nursiah, 2000). b.Gangguan pendengaran

  Terjadi gangguan pendengaran disebabkan oleh karena putusnya rantai pendengaran dan kerusakan pada membran timpani. Derajat gangguan pendengaran ini ditentukan oleh ukuran dan posisi defek pada membran timpani, rantai osikular, dan derajat edema dan jaringan granulasi (Islam et al., 2010). c.Nyeri telinga (otalgia)

  Nyeri adalah keluhan yang tidak lazim, Kemunculan keluhan ini menunjukkan adanya komplikasi intrakranial atau intratemporal ataupun otitis eksterna sekunder (Bruns, 2011). d.Vertigo

  Keluhan vertigo merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom, kondisi ini dapat juga disebabkan akibat komplikasi intrakranial ke serebelum (Paparella dan Levine, 1997; Helmi, 2005).

  2.2.8. Diagnosis

  Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan THT terutama dengan menggunakan otoskop. Adapun pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan antara lain :

  a. Tes garpu penala Tes sederhana ini dapat digunakan untuk menentukan ada tidaknya sederhana, efisien, dan relatif murah, namun kekurangannya, tes ini hanya dapat menentukan tipe gangguan pendengaran, tanpa mengetahui derajatnya, dan pemeriksaan ini sangat subjektif.

  b. Tes audiometri Tes audiometri dapat digunakan untuk membedakan jenis gangguan pendengaran beserta dengan derajatnya. Derajat gangguan pendengaran dan nilai ambang pendengaran menurut WHO:

  • 0 – 25 dB : normal
  • 26 – 40 dB : ringan
  • 41 – 60 dB : tuli sedang
  • 61 – 80 dB

  : tuli sedang berat

  • > 81 dB : tuli berat

  c. Pemeriksaan radiologi Bertujuan untuk melihat ada tidaknya komplikasi intrakranial maupun intratemporal. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain :

  • Foto polos : Pada foto polos, proyeksi yang sering digunakan adalah : • Posisi Schuller.
  • Proyeksi Mayer dan Owen.
  • Proyeksi Stenver.
  • Proyeksi Chausse III.
  • CT scan dan MRI (Lee, 2008).

  c. Kultur bakteri dan uji sensitifitas Kultur bakteri bertujuan untuk menentukan agen penyebab infeksi pada

  OMSK, Bakteri merupakan agen penyebab utama OMSK, Bakteri yang umum ditemukan antara lain bakteri aerob seperti Pseudomonas aeruginosa, Escherichia

  

coli, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus mirabilis,

Klebsiella species ataupun jenis bakteri anaerob seperti Bacteroides,

Peptostreptococcus, Proprionibacterium (WHO, 2004). Pada kultur bakteri

  sebaiknya diikuti oleh uji sensitifitas, hal ini penting dilakukan karena

  

Pseudomonas sebagai salah satu bakteri penyebab utama (Mansoor, 2009)

  ternyata telah resisten terhadap beberapa golongan antibiotik yang sering digunakan seperti β-laktam, Penisilin, Sefalosporin, Aminoglikosida, Imipinem,

  Aztreonam, dan Meropenem (Mesaros et al., 2007; Poole, Krebes, dan Neshat, 1993).

  2.2.9. Komplikasi

  Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada OMSK, antara lain : gangguan pendengaran, petrositis, paralisis fasial, labirinitis, tromboflebitis sinus

  ( ).

  lateral, meningitis, dan abses intrakranial Bales et al., 2009; Parry et al., 2011

  2.2.10. Penatalaksanaan

  Penatalaksanaan pada OMSK perlu memperhatikan jenis OMSK serta komplikasi yang telah menyertainya. Dengan demikian pada waktu pengobatan haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan penyakit menjadi kronis, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat di telinga. Terdapat dua prinsip utama dalam terapi OMSK. Pertama adalah eradikasi infeksi, karena keberadaan agen infeksius di telinga tengah dan di kavum mastoideum menentukan tingkat mortalitas dan morbiditas OMSK. Kedua, tertutupnya perforasi membran timpani yang menentukan perbaikan kehilangan pendengaran (WHO, 2004). Secara umum pengobatan OMSK dapat dibagi menjadi dua, konservatif dan operatif.

  Tatalaksana konservatif berupa toilet telinga dan pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik diberikan sesuai dengan hasil kultur bakteri dan uji sensitivitas, namun hal ini tidak bisa selalu dilakukan, oleh karena itu pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan pertimbangan bahwa antibiotik yang dipilih haruslah mencakup spektrum bakteri gram positif terutama

  

Staphylococcus. aureus dan gram negatif terutama Pseudomonas. Antibiotik yang

  memenuhi kriteria ini adalah golongan Aminoglikosida, Florokuinolon, dan β- laktam (Parry et al., 2011).

  Tatalaksana operatif umumnya ditujukan untuk OMSK tipe maligna. Operasi yang dapat dilakukan antara lain: mastoidektomi sederhana, mastoidektomi radikal, mastoidektomi radikal dengan modifikasi, miringoplasti, timpanoplasti, dan timpanoplasti pendekatan ganda (Combined approach tympanoplasty ) (Djaafar, 2007; Aboet, 2007).

2.3. Gangguan pendengaran

  2.3.1. Definisi

  Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan total atau parsial untuk mendengar suara di salah satu atau kedua telinga (Vorvick, 2011).

  2.3.2. Epidemiologi

  Diperkirakan terdapat 250 juta individu di dunia yang mengalami gangguan pendengaran. Lima puluh persen gangguan pendengaran yang mereka alami termasuk gangguan pendengaran yang dapat dicegah. Penelitian yang lebih mendalam dilakukan WHO yang melibatkan beberapa negara didapatkan data sebagai berikut :

  1. Gangguan pendengaran sedang, sedang-berat, dan berat melibatkan sekitar 5-8 % populasi atau diperkirakan sekitar 110 juta.

  2. Presbiakusis sebanyak 5-10 % menjadi penyebab nomor satunya, disusul oleh tuli akibat kebisingan sebanyak 2-6% ( Mathers, Smith, dan Marisol, 2000).

  2.3.3. Klasifikasi

  Secara umum, gangguan pendengaran dapat dibagi atas tiga jenis :

  a. Tuli konduktif Tuli konduktif terjadi oleh karena berkurangnya transmisi gelombang suara ke koklea. Gangguan ini disebabkan karena terganggunya kerja sistem konduksi penghantaran suara.

  b. Tuli sensorineural

  Tuli sensorineural disebabkan oleh karena terganggunya proses transmisi gelombang suara di telinga bagian dalam maupun pada nervus koklearis.

  c. Tuli campuran Tuli campuran adalah tuli yang memiliki komponen tuli konduktif dan tuli sensorineural (Shah, 2011).

2.3.4. Derajat Gangguan Pendengaran

  Derajat gangguan pendengaran dapat ditentukan setelah dilakukan pemeriksaan audiometer, pasien kemudian diklasifikasikan menurut tabel berikut:

Tabel 2.1. Derajat Gangguan Pendengaran (WHO, 2012) Derajat Ambang Interpretasi

  Gangguan Pendengaran 0: Normal 0 – 25 dB Tidak ada / sedikit gangguan,

  dapat mendengar bisikan

  

1: Ringan 26 – 40 dB Dapat mendengar dan

  mengulangi kata yang diucapkan dengan suara normal pada jarak 1 meter

  

2: Sedang 41 – 60 dB Dapat mendengar dan

  mengulangi kata yang diucapkan dengan suara keras pada jarak 1 meter

  3: Sedang- 61 – 80 dB Dapat mendengar beberapa kata Berat yang diteriakkan pada telinga

  yang lebih sehat

  4: Berat >81 dB Tidak bisa mendengar dan memahami kata walaupun dengan suara teriak

   Beratnya gangguan pendengaran bergantung kepada besar dan letak

  perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara di telinga tengah. Perforasi pada membran timpani akan menyebabkan gangguan transmisi suara ke tulang-tulang pendengaran sehingga penghantaran suara dari telinga luar ke telinga tengah akan berkurang (Djaafar, 2007).

  Lokasi perforasi juga menentukan derajat gangguan pendengaran pada individu dengan gangguan pendengaran. Perforasi pada kuadran posterior diketahui akan menyebabkan gangguan pendengraan yang lebih parah daripada perforasi pada bagian anterior, oleh karena terpaparnya fenestra rotunda terhadap gelombang suara secara langsung. Perforasi pada lokasi insersi manubrium mempunyai efek terburuk, karena secara langsung berefek pada mobilitas sistem tulang pendengaran (Bhusal, Ghuragain, dan Shirastav, 2007; Ibekwe, Nwaorgu, dan Ijaduola, 2009; Maharjan et al., 2009).

  Beratnya gangguan pendengaran juga dipengaruhi oleh ukuran perforasi. Perforasi sebesar 1.51%–89.05% berkorelasi positif dengan derajat gangguan pendengaran, hal ini disebabkan karena perforasi yang lebih besar dapat menyebabkan lebih banyak kehilangan suara yang ditransmisikan ke telinga dalam (Ibekwe, Nwaorgu, dan Ijaduola, 2009).

2.3.5. Etiologi

  a. Tuli konduktif

  • Kelainan telinga: anotia/mikrotia, atresia, abnormalitas daun telinga, miringosklerosis, timpanosklerosis
  • Impaksi serumen atau benda asing
  • Perforasi membran timpani

  Perforasi membran timpani dapat terjadi karena trauma dan penyakit telinga tengah. Sebanyak 85% pasien yang mengalami perforasi membran timpani disebabkan oleh OMSK (Nepal et al., 2001). Perforasi membran timpani akan menyebabkan gangguan pendengaran hingga 60 dB (Bhusal, Ghuragain, dan Shirastav, 2007).

  Membran timpani mempunyai peran penting dalam pendengaran, yakni sebagai suatu pelindung agar gelombang suara tidak langsung mencapai fenestra

  

rotunda dan fenestra vestibuli. Perforasi pada membran timpani akan mengurangi

  luas permukaan membran timpani yang tersedia untuk transmisi gelombang suara, sehingga gelombang suara akan langsung mencapai telinga tengah. Tanpa mengenai membran timpani proses amplifikasi gelombang suara tidak akan maksimal. Luas perforasi akan berbanding lurus dengan derajat gangguan pendengaran (Mehta et al., 2006).

  Secara umum, perforasi pada membran timpani dapat dibagi atas : - Perforasi sentral, perforasi yang tidak melibatkan bagian annulus.

  • Perforasi subtotal, perforasi yang melibatkan pars tensa dengan lebar lebih dari 50% dan hanya menyisakan bagian annulus yang utuh.
  • Perforasi total, perforasi yang melibatkan seluruh pars tensa termasuk bagian annulus.
  • Perforasi atik, perforasi yang melibatkan pars flaksid (Islam et al., 2010; Nepal et al., 2001).
    • Inflamasi/infeksi : otitis eksterna, otitis media akut, otitis media serosa, otitis media kronik, otomikosis, furunkulosis, herpes zoster otikus, perikondritis, selulitis.
    • Trauma : komplikasi operasi, trauma kepala, dan barotrauma.
    • Kelainan tulang : otosklerosis, osteogenesis imperfecta, dan osteopetrosis (Shah, 2011).

  b. Tuli sensorineural Penyebab tuli sensorineural secara umum dapat dibagi menjadi dua, yakni : (i) Tuli sensorineural yang didapat: • Proses infeksi.

  • Proses penuaan (presbiaskusis).
  • Kebisingan dan trauma akustik.

  • Obat Sitotoksik.
  • Penyakit yang menyerang sistem saraf.
  • Penyakit kelainan tulang.
  • Trauma kepala, dan barotrauma (Arts, 2005; Frymark, 2010; Kirchner, 2012; Loh, 2005).

  (ii) Tuli sensorineural kongenital c. Tuli campuran.

  • Pasien tuli sensorineural yang mengalami tuli konduktif.
  • Infeksi telinga tengah.
  • Otosklerosis.
  • Large Vestibular Aqueduct Syndrome (Berkiten, 2011; Young, 2001).

  2.3.6. Gejala Klinis

  Pasien yang mengalami gangguan pendengaran tidak akan merasakan gejala apapun pada awalnya, hanya saja ia akan merasakan suara-suara yang didengarnya menjadi lebih halus, sehingga meminta lawan berbicara untuk berbicara lebih keras, menaikkan volume televisi dan radio, dan pada akhirnya ia akan mengalami kesulitan untuk memahami kata-kata dalam kalimat lawan bicaranya.

  Penderita gangguan pendengaran dengan onset sejak masa kanak-kanak akan mengalami gejala yang lebih serius berupa keterlambatan bicara, gangguan intelektual, dan bahkan gangguan psikologis berupa penarikan diri dari lingkungan karena ketidakmampuan untuk melakukan interaksi sosial (Ashitani et al., 2011).

  2.3.7. Diagnosis

  a. Anamnesis Pada anamnesis perlu digali hal-hal berupa usia saat onset penyakit, onset penyakit (tiba –tiba/ bertahap), sifat ketulian progresif atau intermiten, lama penyakit, gejala tambahan seperti tinitus, vertigo, rasa penuh di telinga, nyeri, riwayat keluarga yang mengalami ketulian, riwayat pajanan suara keras, trauma, riwayat pembedahan telinga, riwayat pemakaian obat-obatan, dan penyakit penyerta lainnya (Arts, 2005).

  b. Pemeriksaan fisik Pasien dengan gangguan pendengaran harus mendapat evaluasi berupa inspeksi ada tidaknya kelainan telinga luar yang dapat mengganggu konduksi gelombang suara, obstruksi liang teling oleh benda asing maupun serumen, perforasi membran timpani, kolesteatoma, maupun cairan di telinga tengah (Shah, 2011).

  c. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan dengan menggunakan CT scan dan MRI untuk menemukan penyebab retrokoklea, pemeriksaan genetik juga dapat dilakukan untuk mentukan defek genetik terutama pada tuli sensorineural. Salah satunya dalah Connexin-26 yang merupakan marker untuk tuli genetik. BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry), OAE (Otoacoustic Emission), dan Audiometri dapat digunakan untuk menentukan derajat ketulian (Kemperman et al., 2002; Shah, 2011).

2.4. Pemeriksaan Pendengaran

2.4.1. Audiometri

  Sistem pendengaran dapat terstimulasi oleh gelombang suara melalui dua cara. Pertama, gelombang suara yang berasal dari udara kemudian ditransmisikan ke telinga luar, telinga tengah hingga akhirnya mencapai telinga dalam, proses ini disebut hantaran udara. Kedua, melalui gelombang suara yang menyebabkan vibrasi tulang tengkorak, vibrasi kemudian ditransmisikan secara langsung menuju telinga dalam, proses ini disebut dengan hantaran tulang. Audiometer adalah alat pemeriksaan pendengaran yang bekerja berdasarkan prinsip ini.

  Audiometer nada murni adalah suatu alat elektronika yang menghasilkan bunyi yang relatif bebas bising ataupun energi suara pada kelebihan nada, oleh karenanya disebut nada “murni”. Terdapat beberapa pilihan nada terutama dari skala oktaf C : 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000, dan 8000 hertz. Tersedia pula nada dengan interval setengah oktaf : 750, 1500, 3000, dan 6000 hertz. Rentang intensitas yang dapat dihasilkan alat ini adalah -10 dB hingga 110 dB (Martin dan Greer, 2009).

  Pemeriksaan dilakukan pada masing-masing telinga secara terpisah. Pemeriksaan hantaran udara menggunakan earphone, sementara pemeriksaan hantaran tulang menggunakan vibrator yang ditempelkan pada mastoid atau dahi melalui suatu head band, vibrator ini akan menyebabkan osilasi tulang tengkorak dan menggetarkan cairan dalam koklea.

  Hasil pemeriksaan audiometri dipresentasikan ke dalam audiogram. Audiogram berbentuk suatu grafik yang menunjukkan ambang pendengaran sebagai suatu fungsi frekuensi. Simbol hantaran udara dihubungkan dengan menggunakan garis penuh, sementara simbol hantara tulang dihubungkan dengan menggunakan garis putus-putus. Terdapat 3 variabel yang perlu diketahui dalam audiogram. Frekuensi suara yang dipajankan (Hz), intensitas suara yang dipajankan (dB HL), dan metode presentasi suara ( udara atau tulang). Skala dB HL (Decibels Hearing Loss) digunakan dalam klinis. Skala 0 menunjukkan frekuensi suara pada intensitas terendah yang masih dapat didengar oleh individu normal yang berusia 18 tahun. Ambang 30 dB HL menunjukkan suara baru dapat didengar setelah intensitasnya ditingkatkan 30 dB diatas ambang batas normal.

  Tujuan pemeriksaan adalah menentukan tingkat intensitas terendah dalam desibel dari tiap frekuensi yang masih dapat didengar (ambang dengar) ( Bess dan Humes, 2008).

  Prosedur untuk menentukan ambang pendengaran dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Persiapan pasien :

  1. Diawali dengan melakukan pemeriksaan otoskop untuk melihat kondisi liang telinga agar tidak terjadi kesalahan interpretasi beda hantaran tulang-udara (Air- Bone Gap).

  2. Pasien duduk sedemikian rupa sehingga ia tidak melihat panel kontrol maupun pemeriksanya.

  3. Benda-benda yang dapat mengganggu pemasangan earphone, seperti anting- anting, kacamata, wig, topi, permen karet harus disingkirkan.

  4. Instruksi harus jelas dan tepat. Pasien perlu mengetahui apa yang didengar dan apa yang diharapkan sebagai jawabannya. Pasien harus didorong untuk memberi jawaban terhadap bunyi terlemah yang masih dapat didengarnya.

  5. Lubang earphone harus tepat menempel pada lubang telinga.

  b. Penentuan ambang pendengaran Periksalah telinga yang lebih baik terlebih dahulu menggunakan rangkaian frekuensi berikut : 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz, 1000 Hz (diulang), 500 Hz, 250 Hz.

  1. Mulailah dengan intensitas 0 dB, kemudian intensitas dinaikkan selama 1-2 detik supaya jelas didengar oleh pasien.

  2. Sesudah itu kembali ke 0 dB atau paling sedikit sampai pasien tidak dapat mendengar lagi.

  3. Intensitas dinaikkan lagi sampai penderita dapat mendengar lagi.

  4. Dengan perlahan-lahan intensitas diturunkan 5 dB kembali sampai penderita tidak dapat mendengar lagi.

  5. Kemudian dinaikkan 10 dB kembali hingga penderita mendengar.

  6. Setelah menentukan ambang pendengaran untuk frekuensi pengujian awal, cantumkan simbol yang sesuai pada audiogram.

  7. Lanjutkan dengan frekuensi berikutnya dalam rangkaian. Mulailah nada tersebut pada tingkatan yang lebih rendah 15-20 dB dari ambang frekuensi sebelumnya (Humes dan Bess, 2003).

  Ketika suara dipajankan ke satu telinga, maka gelombang suara tersebut juga akan mencapai telinga kontralateral. Hal ini tentunya harus dihindari dengan menggunakan masking. Masking adalah mengaburkan suatu bunyi dengan menggunakan bunyi lainnya atau peninggian ambang pendengaran suatu sinyal yang diakibatkan terdengarnya sinyal kedua. Bising frekuensi sempit (narrowband noise) merupakan penyamar yang paling efisien untuk nada-nada murni (Martin dan Greer, 2009).

  Peranan terpenting dalam interpretasi audiogram terdapat pada hubungan antara ambang hantaran udara dan hantaran tulang, yaitu ada tidaknya beda udara- tulang (Air-Bone Gap). Secara garis besar hubungan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Bila ambang hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih dan normal, maka tuli bersifat konduktif.
  • Bila ambang hantaran tulang sama dengan ambang hantaran udara dan keduanya tidak normal, maka tuli bersifat sensorineural.
  • Bila ambang hantaran tulang berkurang, namun masih lebih baik dari hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih, maka tuli bersifat campuran.( Lassman, 1997).