Hubungan Antara Otitis Media Supuratif Kronik dengan Meningitis di RSUP H. Adam Malik Medan 2010.

(1)

HUBUNGAN ANTARA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK DENGAN MENINGITIS DI RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN 2010

Oleh:

TODUNG ANTONY WESLIAPRILIUS 070100119

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

HUBUNGAN ANTARA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK DENGAN MENINGITIS DI RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN 2010

KARYA TULIS ILMIAH INI DIAJUKAN SEBAGAI SALAH

SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH KELULUSAN

SARJANA KEDOKTERAN

Oleh:

TODUNG ANTONY WESLIAPRILIUS 070100119

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Hubungan antara Otitis Media Supuratif Kronik dengan Meningitis di RSUP H. Adam Malik Medan

2010

Nama : TODUNG ANTONY WESLIAPRILIUS NIM : 070100119

Pembimbing Penguji I

(dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K)) (dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc.CM-FM, M.Pd.Ked.)

NIP: 19681117 199702 1 002 NIP: 19670527 199903 2 001 Penguji II

(Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K))

NIP: 19471130 198003 1 002

Medan, 29 November 2010 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP: 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Terdapat 65-330 juta penderita Otitis Media Supuratif Kronik di dunia dan 60% menderita kehilangan pendengaran yang signifikan. Otitis Media Supuratif Kronik tipe ganas dapat menimbulkan komplikasi ke dalam tulang temporal dan intrakranial yang dapat berakibat fatal, seperti meningitis. Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien.

Meningitis adalah penyakit radang selaput otak (meningen). Penyebab meningitis antara lain adalah adanya rhinorea, otorhea pada basis kranial yang memungkinkan kontaknya cairan serebrospinal dengan lingkungan luar. Angka kejadian meningitis di dunia adalah 1-3 orang per 100.000 orang. Terdapat 11 pasien penderita meningitis dari 4160 kasus Otitis Media Supuratif Kronik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Otitis Media Supuratif Kronik dengan meningitis di bagian neurologi RSUP H. Adam Malik Medan dalam kurun waktu bulan Juli sampai Oktober 2010. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional dan teknik sampling consecutive sampling. Jumlah sampel 20 orang dan dianalisis dengan menggunakan uji fisher exact test.

Dari 20 sampel yang diteliti, didapatkan 40% merupakan penderita meningitis dan 60% bukan penderita meningitis. Umur rata-rata pasien meningitis adalah 33,5 (SD 15,19) tahun. Terdapat 50% laki-laki dan 50% perempuan. Penderita meningitis dengan Otitis Media Supuratif Kronik sebanyak 62,5% sedangkan yang tanpa Otitis Media Supuratif Kronik sebanyak 37,5%. Terdapat hubungan antara Otitis Media Supuratif Kronik dengan meningitis dengan p= 0.004.

Angka kejadian meningitis adalah 2,39 %. Angka kejadian meningitis yang disebabkan oleh Otitis Media Supuratif Kronik adalah 1,83 %. Terdapatnya hubungan antara Otitis Media Supuratif Kronik dengan meningitis.

Kata kunci: Otitis Media Supuratif Kronik, meningitis, komplikasi, perforasi membran timpani.


(5)

ABSTRACT

There are 65-330 million cases of Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM) worldwide and 60% of them suffer from significan hearing loss. Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM) of aticoanteral type may complicate to temporal bone and intracranial cavity which can be fatal, such as meningitis. Data from polyclinic of Ear Nose Throat department of H. Adam Malik public hospital in 2006 show that 26% of all the patients came with Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM).

Meningitis is an inflammatory disease of brain lining (meningen). Possible cause of meningitis is rhinorea or otorhea at the base of cranial cavity which allow Cerebrospinal Fluid to be contaminated by the environment. The prevalence rate of meningitis is 1-3 persons per 100.000 people. There are 11 meningitis patients of 4160 Chronic Suppurative Otitis Media patients.

This research had a pupose of knowing the relation between Chronic Suppurative Otitis Media and meningitis on Neurology Department of H. Adam Malik public hospital on July to October 2010. This research was an analytical research with cross-sectional design and consecutive sampling for taking sample. The quantity of sample were 20 samples and the hipothesis test used was fisher exact.

Among 20 samples, 40% were meningitis and the other 60% werenot meningitis. The mean age of meningitis samples was 33,5 (SD 15,19) year of age. 50 % were male and the other 50% were female. Meningitis sample with Chronic Suppurative Otitis Media was around 62,5% and meningitis sample without Chronic Suppurative Otitis Media was around 37,5%. There was a relationship between Chronic Suppurative Otitis Media and meningitis with p= 0,004.

Prevalence rate of meningitis is 2,39%. Prevalence rate of meningitis caused by Chronic Suppurative Otitis Media is 1,83%. There was a relationship between meningitis and Chronic Suppurative Otitis Media.

Keyword: Chronic Suppurative Otitis Media, meningitis, complication, tympanic membrane perforation.


(6)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali, penulis ingin mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya berkat rahmat-Nya yang berlimpah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan KTI (Karya Tulis Ilmiah) ini yang berjudul “Hubungan Antara Otitis Media Supuratif Kronik

dengan Meningitis di RSUP H. Adam Malik Medan 2010”. Karya tulis ilmiah

ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedoteran Universitas Sumatera Utara.tepat pada waktunya.

Dengan selesainya penelitian dan penulisan KTI (Karya Tulis Ilmiah) ini, perkenankanlah saya untuk mengucapkan terima kasih kepada:

Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp. S (K), selaku pembimbing yang telah memberikan petunjuk dan perhatian, serta bimbingan selama penulisan Karya Tulis Ilmiah sampai ini sehingga saya dapat menyelesikan penelitian dan penulisan KTI (Karya Tulis Ilmiah) ini.

Kepada Seluruh dosen-dosen Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran USU yang telah membantu penulis dalam penulisan laporan penelitian Karya Tulis Ilmiah.

Tidak lupa saya juga berterima kasih kepada suster-suster di ruangan neurologi RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membantu saya dalam pengambilan data.

Lalu saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Krisnarta Sembiring , Leli Ophine Sinulingga, Johannes yang telah memberikan banyak masukan dalam penelitian dan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.

Kepada orang tua penulis, Ayahanda Milton Hasibuan, SH, MH. dan Ibunda Dra. Anitha Emma Lidya Sihombing, karena telah telah mengasuh,


(7)

membesarkan, dan mendidik penulis dari kecil hingga dewasa dan selalu mendoakan penulis dalam setiap harinya. Terima kasih juga saya tujukan kepada saudara penulis, Claudia Kurniaty , yang telah memberikan dukungan.

Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca.

Medan, 29 November 2010 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Persetujuan ………. 0iii

Abstrak ………. iv

Abstract ………... v

Kata Pengantar ………... vi

Daftar Isi ………. viii

Daftar Tabel …….………... xi

Daftar Gambar ..……… xii

Daftar Lampiran ..………. xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ……...………... 001

1.1. Latar Belakang ………. 001

1.2. Rumusan Masalah ……… 004

1.3. Tujuan Penelitian ………. 004

1.3.1. Tujuan Umum ………. 004

1.3.2. Tujuan Khusus ……… 004

1.4. Manfaat Penelitian ………... 004

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 005

2.1. Definisi Meningitis ……….. 005

2.2. Definisi Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) ………… 005

2.3. Anatomi Tulang Tengkorak ………. 005

2.3.1. Gambaran Anterior Tulang Tengkorak …………... 006 2.3.2. Gambaran Lateral Tulang Tengkorak ………. 008 2.3.3. Gambaran Posterior Tulang Tengkorak ………….. 008 2.3.4. Gambaran Superior Tulang Tengkorak ………….. 009 2.3.5. Gambaran Inferior Tulang Tengkorak ……… 010

2.4. Anatomi Lapisan Meningens ………... 012

2.5. Anatomi Telinga Tengah ………. 013

2.5.1. Membran Timpani ……….. 014

2.5.2. Kavum Timpani ……….. 015

2.5.3. Tuba Eustachius ……….. 016

2.5.4. Prosesus Mastoideus ………... 019

2.6. Klasifikasi Meningitis ……….. 021

2.6.1. Meningitis Bakterial ……… 021

2.6.2. Meningitis Tuberkulosa ……….. 021

2.6.3. Meningitis Viral ……….. 022

2.6.4. Meningitis Jamur ……… 024


(9)

2.7.1. Meningitis bakterial ……… 025 2.7.2. Meningitis Tuberkulosa ……….. 026

2.7.3. Meningitis Viral ……….. 027

2.7.4. Meningitis Jamur ……… 028

2.8. Klasifikasi Otitis Media ………... 029

2.8.1. Otitis Media Akut ………... 029

2.8.2. Otitis Media Supuratif Kronik ……… 031 2.8.2.1. Klasifikasi Otitis Media Supuratif

Kronik

..……. 031

2.8.2.2. Patogenesis Otitis Media Supuratif Kronik

……. 031

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL … 033

3.1. Kerangka Konsep ………. 033

3.2. Variabel dan Definisi Operasional ………... 033

3.2.1. Variabel Bebas ……… 033

3.2.2. Variabel Terikat ……….. 034

3.2.3. Hipotesis ………. 034

BAB 4 METODE PENELITIAN ……… 035

4.1. Jenis Penelitian ………. 035

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian …...……….. 035

4.3. Populasi dan Sampel ……… 035

4.4. Teknik Pengumpulan Data ………... 036

4.5. Pengolahan dan Analisa Data ……….. 036

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 037

5.1. Hasil Penelitian ……… 037

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ……… 037 5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel ………... 037 5.1.3. Distribusi Sampel yang Menderita Meningitis

Berdasarkan Umur

... 038

5.1.4. Distribusi Sampel yang Menderita Meningitis akibat OMSK Berdasarkan Umur

... 039 5.1.5. Distribusi Sampel yang Menderita Meningitis

Berdasarkan Jenis Kelamin

….. 039

5.1.6. Distribusi Sampel yang Menderita Meningitis akibat OMSK Berdasarkan Jenis Kelamin

….. 040 5.1.7. Hubungan Otitis Media Supuratif Kronik dengan

Meningitis

. 040


(10)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ………. 043

6.1. Kesimpulan ……….. 043

6.2. Saran ………. 043

DAFTAR PUSTAKA ……….. 044


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Virus yang dapat menyebabkan meningitis ………. 22 Tabel 5.1. Karakteristik sampel penelitian ………... 38 Tabel 5.2. Distribusi sampel yang menderita meningitis berdasarkan

umur

….. 39

Tabel 5.3. Distribusi sampel yang menderita meningitis akibat OMSK berdasarkan umur

….. 39

Tabel 5.4. Distribusi sampel yang menderita meningitis berdasarkan jenis kelamin

….. 40

Tabel 5.5. Distribusi sampel yang menderita meningitis akibat OMSK berdasarkan jenis kelamin

….. 40

Tabel 5.6. Hubungan antara Otitis Media Supuratif Kronik dengan meningitis


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. Gambaran anterior tulang tengkorak ………. 007

Gambar 2.2. Gambaran lateral tulang tengkorak ………... 008

Gambar 2.3. Gambaran posterior tulang tengkorak ………... 009

Gambar 2.4. Gambaran superior tulang tengkorak ……….... 010

Gambar 2.5. Gambaran inferior tulang tengkorak ………. 012

Gambar 2.6. Gambaran lapisan meningens ………... 013

Gambar 2.7. Aliran cairan serebrospinal dari pembentukan sampai penyerapan di sinus dura

……. 013

Gambar 2.8. Gambaran membran timpani ………. 015

Gambar 2.9. Skema pembagian otitis media ………. 029

Gambar 3.1. Kerangka konsep hubungan antara kejadian Otitis Media Supuratif Kronik dengan kejadian meningitis


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Riwayat hidup

Lampiran 2 Surat ijin penelitian

Lampiran 3 Ethical clearance

Lampiran 4 Lembar checklist


(14)

ABSTRAK

Terdapat 65-330 juta penderita Otitis Media Supuratif Kronik di dunia dan 60% menderita kehilangan pendengaran yang signifikan. Otitis Media Supuratif Kronik tipe ganas dapat menimbulkan komplikasi ke dalam tulang temporal dan intrakranial yang dapat berakibat fatal, seperti meningitis. Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien.

Meningitis adalah penyakit radang selaput otak (meningen). Penyebab meningitis antara lain adalah adanya rhinorea, otorhea pada basis kranial yang memungkinkan kontaknya cairan serebrospinal dengan lingkungan luar. Angka kejadian meningitis di dunia adalah 1-3 orang per 100.000 orang. Terdapat 11 pasien penderita meningitis dari 4160 kasus Otitis Media Supuratif Kronik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Otitis Media Supuratif Kronik dengan meningitis di bagian neurologi RSUP H. Adam Malik Medan dalam kurun waktu bulan Juli sampai Oktober 2010. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional dan teknik sampling consecutive sampling. Jumlah sampel 20 orang dan dianalisis dengan menggunakan uji fisher exact test.

Dari 20 sampel yang diteliti, didapatkan 40% merupakan penderita meningitis dan 60% bukan penderita meningitis. Umur rata-rata pasien meningitis adalah 33,5 (SD 15,19) tahun. Terdapat 50% laki-laki dan 50% perempuan. Penderita meningitis dengan Otitis Media Supuratif Kronik sebanyak 62,5% sedangkan yang tanpa Otitis Media Supuratif Kronik sebanyak 37,5%. Terdapat hubungan antara Otitis Media Supuratif Kronik dengan meningitis dengan p= 0.004.

Angka kejadian meningitis adalah 2,39 %. Angka kejadian meningitis yang disebabkan oleh Otitis Media Supuratif Kronik adalah 1,83 %. Terdapatnya hubungan antara Otitis Media Supuratif Kronik dengan meningitis.

Kata kunci: Otitis Media Supuratif Kronik, meningitis, komplikasi, perforasi membran timpani.


(15)

ABSTRACT

There are 65-330 million cases of Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM) worldwide and 60% of them suffer from significan hearing loss. Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM) of aticoanteral type may complicate to temporal bone and intracranial cavity which can be fatal, such as meningitis. Data from polyclinic of Ear Nose Throat department of H. Adam Malik public hospital in 2006 show that 26% of all the patients came with Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM).

Meningitis is an inflammatory disease of brain lining (meningen). Possible cause of meningitis is rhinorea or otorhea at the base of cranial cavity which allow Cerebrospinal Fluid to be contaminated by the environment. The prevalence rate of meningitis is 1-3 persons per 100.000 people. There are 11 meningitis patients of 4160 Chronic Suppurative Otitis Media patients.

This research had a pupose of knowing the relation between Chronic Suppurative Otitis Media and meningitis on Neurology Department of H. Adam Malik public hospital on July to October 2010. This research was an analytical research with cross-sectional design and consecutive sampling for taking sample. The quantity of sample were 20 samples and the hipothesis test used was fisher exact.

Among 20 samples, 40% were meningitis and the other 60% werenot meningitis. The mean age of meningitis samples was 33,5 (SD 15,19) year of age. 50 % were male and the other 50% were female. Meningitis sample with Chronic Suppurative Otitis Media was around 62,5% and meningitis sample without Chronic Suppurative Otitis Media was around 37,5%. There was a relationship between Chronic Suppurative Otitis Media and meningitis with p= 0,004.

Prevalence rate of meningitis is 2,39%. Prevalence rate of meningitis caused by Chronic Suppurative Otitis Media is 1,83%. There was a relationship between meningitis and Chronic Suppurative Otitis Media.

Keyword: Chronic Suppurative Otitis Media, meningitis, complication, tympanic membrane perforation.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Meningitis adalah penyakit infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan

spinal cord (Meningitis Foundation of America). Classic triad dari meningitis

adalah demam, leher kaku, sakit kepala, dan perubahan di status mental (van de Beek, 2004). Sistem saraf pusat manusia dilindungi dari benda-benda asing oleh

Blood Brain Barrier dan oleh tengkorak, sehingga apabila terjadi gangguan pada

pelindung tersebut, sistem saraf pusat dapat diserang oleh benda-benda patogen (van de Beek, 2010). Angka kejadian meningitis mencapai 1-3 orang per 100.000 orang (Centers for Disease Control and Prevention).

Penyebab paling sering dari meningitis adalah Streptococcus pneumonie (51%) dan Neisseria meningitis (37%) (van de Beek, 2004). Vaksinasi berhasil mengurangi meningitis akibat infeksi Haemophilus dan Meningococcal C (Tidy, 2009). Faktor resiko meningitis antara lain: pasien yang mengalami defek dural, sedang menjalani spinal procedure, bacterial endocarditis, diabetes melitus, alkoholisme, splenektomi, sickle cell disease, dan keramaian (Tidy, 2009).

Patogen penyebab meningitis berbeda pada setiap grup umur. Pada neonatus, patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah Group B beta-haemolitic

streptococcus, Listeria monocytogenes, dan Escherichia coli. Pada bayi dan

anak-anak, patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah Haemophilus

influenza (bila lebih muda dari 4 tahun dan belum divaksinasi), meningococcus

(Neisseria meningitis), dan Streptococcus pneumonie (pneumococcus). Pada orang remaja dan dewasa muda, patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah

S. pneumonie, H. influenza, N. meningitis, gram negative Bacilli, Streptococci,

dan Listeria monocytogenes. Pada dewasa tua dan pasien immunocompromised, patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah Pneumococcus, Listeria

monocytogenes, tuberculosis, gram negative organis, dan Cryptococcus.

Sedangkan penyebab meningitis bukan infeksi yang paling sering antara lain sel-sel malignan (leukemia, limpoma), akibat zat-zat kimia (obat intratekal,


(17)

kontaminan), obat (NSAID, trimetoprim), Sarkoidosis, sistemis lupus eritematosus (SLE), dan Bechet’s disease (Tidy, 2009).

Meningitis juga dapat disebabkan oleh tindakan medis. 0,8 sampai 1,5% pasien yang menjalani craniotomy mengalami meningitis. 4 sampai 17% pasien yang memakai I.V. Cath. mengalami meningitis. 8% pasien yang memakai E. V.

Cath. mengalami meningitis. 5% pasien yang menjalani lumbar catheter

mengalami meningitis. Dan meningitis terjadi 1 dari setiap 50.000 kasus pasien yang menjalani lumbar puncture (van de Beek, 2010).

Secara keseluruhan, mortality rate pasien meningitis adalah 21%, dengan kematian pasien pneumococcal meningitis lebih tinggi dari pasien meningococcal

meningitis (van de Beek, 2004). Di Afrika, antara tahun 1988 dan 1997,

dilaporkan terdapat 704.000 kasus dengan jumlah kematian 100.000 orang. Di antara tahun 1998 dan 2002 dilaporkan adanya 224.000 kasus baru meningococcal

meningitis. Tetapi angka ini dapat saja lebih besar di kenyataan karena kurang

bagusnya sistem pelaporan penyakit. Sebagai tambahan, banyak orang meninggal sebelum mencapai pusat kesehatan dan tidak tercatat sebagai pasien meninggal di catatan resmi (Centers for Disease Control and Prevention).

Otitis media merupakan penyakit peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid (Soepardi, 2008). Di Amerika Serikat, otitis media terdiagnosis lebih dari 5 juta kali setiap tahunnya, dan merupakan alasan paling banyak dituliskannya resep antibiotik untuk anak-anak (Hendley, 2002). Otitis media biasanya diikuti dengan infeksi virus di nasofaring yang kemudian mengganggu fungsi dari tuba Eustachius, yang kemudian mengganggu ventilasi dan menimbulkan tekanan negatif di telinga tengah (Hendley, 2002).

Di Australia, 3-5% anak meninggal tiap tahunnya akibat komplikasi otitis media dan 15 anak menderita kehilangan pendengaran permanen akibat otitis media (O'Connor, 2009). Komplikasi otitis media yang paling sering terjadi adalah yang ekstrakranial yang berupa antara lain mastoiditis, kolesteatoma, dan otitis media dengan perforasi. Sedangkan komplikasi intrakranial, yang jarang terjadi, antara lain meningitis, abses otak, dan trombosis sinus lateral. 60% anak


(18)

yang menderita otitis media akan mengalami komplikasi, baik itu ekstrakranial maupun intrakranial (O'Connor, 2009).

Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani disertai sekret yang terus menerus atau hilang timbul (Nursiah, 2003). Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi OMSK apabila prosesnya telah berlangsung lebih dari 2 bulan (Soepardi, 2008). Gejala klinisnya berupa otorrhoea disertai kehilangan pendengaran konduktif. Di dunia, terdapat 65-330 juta penderita OMSK dan 60%-nya menderita kehilangan pendengaran yang signifikan (Borton, 2009).

Tipe klinik OMSK dibagi atas dua, yaitu tipe tubotimpanal (tipe rinogen atau tipe sekunder atau OMSK tipe jinak) dan tipe atikoanteral (tipe primer atau tipe mastoid atau OMSK tipe ganas). Otitis media supuratif kronik (OMSK) tipe ganas ini dapat menimbulkan komplikasi ke dalam tulang temporal dan ke intrakranial yang dapat berakibat fatal (Aboet, 2007).

Insiden OMSK ini bervariasi pada setiap negara. Secara umum, insiden OMSK dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. Misalnya, OMSK lebih sering dijumpai pada orang Eskimo dan Indian Amerika. Walaupun demikian, lebih dari 90% beban dunia akibat OMSK ini dipikul oleh negara-negara di Asia Pasifik. Kehidupan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan kumuh, status kesehatan serta gizi yang jelek merupakan faktor yang menjadi dasar meningkatnya prevalensi OMSK pada negara yang sedang berkembang (Aboet, 2007).

Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien (Aboet, 2007).

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara otitis media supuratif kronik dengan meningitis.


(19)

1.2.Rumusan Masalah

Apakah ada hubungannya antara otitis media supuratif kronik dengan kejadian meningitis.

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara otitis media supuratif kronik dengan kejadian meningitis.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui angka kejadian meningitis di RSUP H Adam Malik. 2. Mengetahui angka kejadian meningitis akibat Otitis Media Supuratif Kronik di RSUP H Adam Malik.

1.4.Manfaat Penelitian

1)Memberikan informasi tentang kejadian meningitis yang disebabkan oleh otitis media supuratif kronik di RSUP H Adam Malik, medan.

2)Bagi peneliti, untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam penerapan ilmu yang diperoleh semasa perkuliahan.

3)Dapat digunakan sebagai bahan informasi dan masukan bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan penulis.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Definisi meningitis

Definisi dari meningitis adalah infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan spinal cord (Meningitis Foundation of America). Mengetahui meningitis disebabkan oleh bakteri atau virus dapat membantu dalam menentukan keparahan penyakit dan pengobatannya. Viral meningitis biasanya kurang parah dan dapat sembuh tanpa pengobatan spesifik, sementara bacterial meningitis biasanya cukup parah dan dapat menimbulkan kerusakan fungsi otak (Meningitis Foundation of

America).

Terdapat pula definisi lain yang menyebutkan bahwa meningitis adalah reaksi inflamasi dari membran yang membungkus otak dan spinal cord. Inflamasi ini menimbulkan perubahan di cairan serebrospinal (CSS) yang mengelilingi otak dan spinal cord (Dugdale).

2. 2. Definisi otitis media supuratif kronik (OMSK)

Yang disebut dengan otitis media supuratif kronik ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer, bening, atau berupa nanah (Soepardi, 2008).

2. 3. Anatomi tulang tengkorak

Tengkorak dibentuk oleh sejumlah tulang, sebagian besar tulang-tulang tengkorak merupakan tulang-tulang pipih dan saling terikat oleh sendi-sendi kaku yang disebut sutura. Jaringan pengikat antara tulang-tulang disebut sutura ligamentum. Bentuk sutura tidak rata dan terlihat seperti gerigi. Sutura yang terpanjang dan sangat penting yaitu sutura koronalis, sutura sagitalis, sutura squamosa, dan sutura lambdoidea yang menghubungkan tulang-tulang kranium (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009; Marleb, 2001 dalam Irwan, 2009).


(21)

Tengkorak terdiri dari 22 buah tulang, 21 buah tulang terikat secara bersama-sama dan 1 buah tulang mandibula atau tulang rahang bawah yang dapat bergerak dan berhubungan dengan tengkorak oleh sepasang sendi sinovial. Tulang-tulang tengkorak dapat dibagi menjadi dua, yaitu tulang-tulang kranium dan tulang-tulang fasial. Tulang–tulang kranium menutupi dan melindungi otak dan tempat melekatnya otot-otot kepala dan leher. Tulang-tulang fasial membentuk kerangka wajah, membentuk rongga tempat organ-organ sensori, tempat lewatnya makanan dan organ-organ pernapasan, tempat tumbuhnya gigi, dan tempat melekatnya otot-otot wajah (Hollinshead, 1985 dalam Irwan, 2009; Snell, 1995 dalam Irwan, 2009; Marleb, 2001 dalam Irwan, 2009).

Tulang-tulang kranial terdiri dari: tulang frontale (1 buah), tulang parietale (2 buah), tulang occipital (1 buah), dan tulang temporal (2 buah). Tulang-tulang fasial terdiri dari: tulang zigomatikum (2 buah), maksila (2 buah), tulang nasale (2 buah), tulang lakrimale (2 buah), vomer (1 buah), tulang palatinum (2 buah), tulang konkhae nasalis inferior (2 buah), dan mandibula (1 buah) (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009; Marleb, 2001 dalam Irwan, 2009).

2. 3. 1. Gambaran anterior tulang tengkorak

Tulang frontale melengkung kearah bawah membentuk batas atas orbita. Pada bagian medial, tulang frontale bersendi dengan prosessus frontalis maxilla dan tulang nasale. Pada bagian lateral, tulang frontale bersendi dengan tulang zigomatikum. Orbita dibatasi oleh superior: tulang frontale, lateral: tulang zigomatikum, inferior: maksila, dan medial: prosessus maksila dan tulang frontale (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Punggung hidung dibentuk oleh dua buah tulang nasale. Pinggir bawahnya berbatasan dengan maksila, membentuk aperture nasalis anterior. Kavum nasi dibagi menjadi dua oleh tulang septum nasal, yang sebagian besar adalah vomer. Konkhae nasalis superior dan media menonjol ke kavum nasi berasal dari tulang ethmoidale, konkhae nasalis inferior merupakan tulang tersendiri (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).


(22)

Dua buah tulang maksila membentuk rahang atas, bagian anterior palatum durum, bagian dinding lateral kavum nasi, dan dasar kavum orbita. Kedua tulang-tulang ini bertemu di garis tengah pada sutura intermaksilaris dan membentuk batas bawah aperture nasalis (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Tulang zigomatikum membentuk penonjolan pipi, dinding lateral, dan dasar kavum orbita. Pada bagian medial tulang zigomatikum bersendi dengan maksila dan lateral bersendi dengan prosessus zigomatikum tulang temporal untuk membentuk arkus zigomatikum. Mandibula atau rahang bawah, terdiri dari korpus horizontal dan dua ramus vertikal. Korpus bertemu dengan ramus pada angulus mandibula. Batas atas mandibula adalah bagian alveolaris yang terdapat gigi-gigi bawah (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).


(23)

2. 3. 2. Gambaran lateral tulang tengkorak

Tulang frontale membentuk bagian sisi anterior tengkorak dan bersendi dengan tulang parietale oleh sutura koronalis. Tulang parietale membentuk bagian samping dan atap tengkorak, kemudian bersendi dengan tulang parietale lainnya pada garis tengah oleh sutura sagitalis. Dan bersendi dengan tulang occipitale pada bagian belakang oleh sutura lambdoidela (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Tengkorak bagian lateral dibentuk secara keseluruhan oleh bagian squamousa tulang occipital; bagian-bagian tulang temporal yaitu squamousa

tympanic, prosessus mastoideus, prosessus stiloideus, dan prosessus zigomatikum,

dan ala major tulang spenoidea. Ramus dan korpus mandibula terdapat di inferior (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Gambar 2.2. Gambaran lateral tulang tengkorak (Strandring, 2008).

2. 3. 3. Gambaran posterior tulang tengkorak

Pada bagian posterior kedua tulang parietale dibagi oleh sutura sagitale di sebelah atas. Pada bagian bawah, tulang parietale bersendi dengan bagian bagian squamousa tulang occipitalle oleh sutura lambdoidea. Pada setiap sisi tulang occipitale bersendian dengan tulang temporal. Pada garis tengah tulang occipitale terdapat tonjolan kasar yang disebut protuberanta occipitalis externa, yang merupakan tempat melekatnya otot dan ligamentum nukhae. Pada setiap sisi


(24)

protuberanta membentuk linea nukhae superior yang meluas ke lateral ke arah tulang temporal (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Gambar 2.3. Gambaran posterior tulang tengkorak (Strandring, 2008).

2. 3. 4. Gambaran superior tulang tengkorak

Pada bagian anterior, 1 buah tulang frontale yang bersendi dengan 2 buah tulang parietale oleh sutura koronalis. Pada bagian belakang, diantara kedua tulang parietale membentuk sendi di garis tengah oleh sutura sagitale. Pada bagian tengah tulang parietale terbentuk tonjolan kecil disebut eminentia parietale (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).


(25)

Gambar 2.4. Gambaran superior tulang tengkorak (Strandring, 2008).

2. 3. 5. Gambaran inferior tulang tengkorak

Jika mandibula dibuang, maka pada bagian anterior dibentuk oleh palatum durum. Prosessus palatines maksilla dan bidang horizontal dari tulang palatinum dapat dikenali. Pada anterior garis tengah terdapat fossa dan foramen incisivum. Pada posterolateral terdapat foramen major dan minor. Di atas pinggir posterior palatum durum terdapat khoana. Ujung inferior lamina pterygoideus medial memanjang seperti ujung tulang yang melengkung disebut hamulus pterygoldeus, ujung superior melebar membentuk fossa scapoid (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).


(26)

Posterolateral dari lamina pterygoideus lateral, pada bagian ala major sphenoid terdapat foramen ovale dan foramen spinosum. Posterolateral dari foramen spinosum terdapat spina ossis spenoidalis. Di atas pinggir medial fossa scaphoid, tulang spenoidale ditembus oleh canalis pterygoideus. Di belakang spina ossis spenoidalis, di antara tulang sphenoid dan bagian petrosus tulang temporal terdapat lekukan tempat bagian tulang rawan tuba eustachius dan ostium bagian tulang tuba eustachius (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Fossa mandibularis dari tulang temporal dan tuberkulum articulare membentuk permukaan atas sendi temporomandibularis. Prosessus stiloideus permukaan dari tulang temporal menonjol ke arah bawah dan ke arah depan. Ostium kanalis karoticus terdapat pada permukaan inferior bagian petrosus tulang temporal (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).

Lempeng timpani, yang merupakan bagian dari tulang temporal, berbentuk seperti C dan membentuk bagian tulang meatus akustikus externus. Di antara processus styloideus dan processus mastoideus terdapat foramen stylomastoideum. Posterior dari foramen magnum pada garis tengah terdapat krista occipitalis externa menuju ke arah atas dan belakang ke protuberantia occipitalis externa (Snell, 1995 dalam Irwan, 2009).


(27)

Gambar 2.5. Gambaran inferior tulang tengkorak (Strandring, 2008).

2.4. Anatomi lapisan meningens

Otak dikelilingi oleh lapisan mesodermal yang disebut dengan meningens. Lapisan terluar disebut dura mater, lapisan tengah disebut arachnoid, dan lapisan terdalam disebut pia mater (Kahle, 2003).

Lapisan dura mater merupakan lapisan yang terkuat dan melekat ke tengkorak. Lapisan tengah, arachnoid, penting untuk aliran normal dari cairan


(28)

serebrospinal (CSS). Bagian terdalam, piamater, penting untuk mengarahkan pembuluh darah di otak (Narins, 2003).

Lapisan diantara arachnoid dan piamater diisi oleh cairan serebrospinal (CSS), yang melindungi otak dari trauma (Narins, 2003).

Gambar 2.6. Gambaran lapisan meningens (Strandring, 2008).

Gambar 2.7. Aliran cairan serebrospinal dari pembentukan sampai penyerapan di sinus dura (Saladin, 2003).

2. 5. Anatomi telinga tengah

Telinga berfungsi sebagai organ pendengaran dan pengatur keseimbangan. Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, telinga


(29)

tengah, dan telinga dalam (Soetirto, 2004 dalam Irwan, 2009). Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius, dan prosessus mastoideus (Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

2. 5. 1. Membran timpani

Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani yang memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran timpani ini berbentuk oval dan mempunyai ukuran panjang vertkal rata-rata 9-10 mm dan diameter anteroposterior kira-kira 8-9 mm, tebal kira-kira 0,1 mm. membran ini tipis, licin, dan berwarna putih mutiara (Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009). Membran timpani terdiri dari tiga lapisan: lapisan luar terdiri dari epitel skuamosa, bagian dalam merupakan lanjutan dari mukosa telinga tengah yang dilapisi epitel kuboidal. Lapisan tengah merupakan lapisan fibrosa yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan radial dan sirkuler (sikumferensial) (Yates, 2008 dalam Irwan, 2009).

Secara anatomis, membran timpani dibagi dalam dua bagian:

1. Pars tensa, merupakan bagian terbesar dari membran timpani, merupakan suatu permukaan yang tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di annulus timpanikus pada tulang temporal.

2. Pars flaksida atau membran sharpnell. Letaknya di bagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida dibatasi oleh dua lipatan yaitu plika maleolaris anterior (lipatan muka) dan plika maleolaris posterior. (lipatan belakang) (Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).


(30)

Gambar 2.8. Gambaran membran timpani (Strandring, 2008).

2. 5. 2. Kavum timpani

Kavum timpani mempunyai bentuk irregular, antara dinding lateral dan dinding medial kavum timpani berisi udara. Kavum timpani terdiri dari tiga bagian yaitu bagian superior yang berhubungan dengan membran timpani disebut epitimpani atau atik, yang terletak dipingir atas dari membran timpani. Setentang membran timpani adalah mesotimpani dan dibawah pinggir membran timpani disebut hipotimpani (Colman, 1993 dalam Irwan, 2009; Yates, 2008 dalam Irwan, 2009).

Kavum timpani mempunyai enam dinding yaitu bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dan dinding posterior (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Atap kavum timpani dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani. Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fosa kranial media (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Lantai kavum timpani dibentuk oleh tulang tipis yang memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus vena jugularis yang dinding superiornya dibatasi oleh lempeng tulang yang mempunyai ketebalan yang bervariasi, bahkan kadang-kadang hanya dibatasi oleh mukosa dengan kavum timpani (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).


(31)

Dinding medial kavum timpani memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini juga merupakan dinding lateral dari telnga dalam. Dinding ini pada mesotimpani menonjol kearah kavum timpani yang disebut promontorium. Tonjolan ini karena didalamnya terdapat koklea (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Dinding posterior kavum timpani ke arah superior, terdapat sebuah saluran disebut aditus yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpani. Pada bagian posterior ini, dari medial ke lateral terdapat

eminentia pyramidalis yang terletak di bagian supero-medial dinding posterior,

kemudian sinus posterior yang membatasi eminentia pyramidalis dengan tempat keluarnya khorda timpani. Terdapat juga fosa inkudis yang terletak persis diatas sinus lateral (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Dinding anterior kavum timpani sebagian besar berhadapan dengan arteri karotis, dibatasi lempengan tulang tipis. Di bagian atas dinding anterior terdapat semikanal otot tensor timpani yang terletak persis diantara muara tuba eustachius (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani, sedangkan dibagian epitimpani dinding lateralnya adalah skutum yaitu lempeng tulang yang merupakan bagian pars skuamosa tulang temporal (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Ada 5 faktor yang mengatur tekanan pada kavum timpani, yaitu (Ahmed, 2004 dalam Irwan, 2009):

1. Fungsi ventilasi tuba eustachius,

2. Proses keluar masuknya gas dari sirkulasi melalui difusi, 3. Ketebalan mukosa telinga tengah,

4. Elastistas membran timpani, dan 5. Ukuran pneumatisasi mastoid.

2. 5. 3. Tuba eustachius

Tuba eustachius disebut juga tuba auditoria atau tuba faringotimpani, bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan


(32)

antara kavum timpani dengan nasofaring. Tuba eustachius terdiri dari dua bagian yaitu bagian tulang yang terdapat pada bagian belakang dan pendek (sepertiga bagian) dan bagian tulang rawan yang terletak pada bagian depan dan panjang (duapertiga bagian) (Helmi, 2005).

Fungsi tuba eustachius adalah sebagai ventilasi telinga tengah yang mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret ke nasofaring menuju ke kavum timpani (Healy, 2003 dalam Irwan, 2009; Helmi, 2005).

Lumen tuba eustachius menghubungkan antara nasofaring (proksimal) dengan telinga tengah (distal). Pada pertengahan terdapat penyempitan yang disebut isthmus. Penelitian yang terbaru dengan menggunakan pencitraan tiga dimensi pada 9 sampel tulang temporal manusia oleh Sudo menunjukkan bahwa isthmus berada pada ujung distal bagian tulang rawan dan bukan pada pertemuan bagian tulang rawan dengan bagian tulang tuba eustachius. Pertemuan antara bagian tulang rawan dan bagian tulang tuba eustachius ini dinamakan junctional

portion, pada setiap orang dewasa panjangnya 3 mm. pada dinding lateral

nasofaring terdapat penonjolan disebut torus tubarius, yang menonjol ke nasofaring. Penonjolan ini dibentuk oleh sekumpulan jaringan lunak yang melapisi tulang rawan tuba eustachius (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009).

Pada orang dewasa, tuba eustachius lebih panjang dibandingkan dengan bayi dan anak-anak. Panjang tuba eustachius yang terpendek 30 mm dan yang terpanjang 40 mm, tetapi berdasarkan literatur rata-rata panjang tuba eustachius adalah 31-38 mm. pada sepertiga posterior tuba eustachius orang dewasa merupakan bagian tulang yang panjangnya 11-14 mm, dan duapertiga anterior merupakan bagian tulang rawan yang panjangnya 20-25 mm. pada orang dewasa tuba eustachius membentuk sudut 45o terhadap bidang horizontal dan pada anak-anak hanya 10o. Anatomi basis kranial sangat berhubungan dengan panjang tuba eustachius, yang juga berhubungan dengan faktor predisposisi terjadinya penyakit telinga tengah (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009).


(33)

Bagian tulang tuba eustachius (protympanum) seluruhnya berada pada bagian petrosus tulang temporal dan dilanjutkan dengan dinding anterior dari bagian superior telinga tengah. Pertemuan antara bagian tulang dan epitimpanum kira-kira 4 mm di atas kavum timpani. Hubungan antara tuba eustachius dan telinga tengah ini sangat penting pada fungsi pembersihan cairan telinga tengah (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009; Yoshida, 2007 dalam Irwan, 2009).

Bagian tulang tuba eustachius mempunyai arah anteromedial, mengikuti apex petrosus dan sedikit menyimpang dari bidang horizontal. Bentuk lumen kira-kira seperti segitiga, ukuran diameter vertikal 2-3 mm dan horizontal 3-4 mm. Pada keadaan normal bagian tulang tuba eustachius tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan tertutup pada waktu istirahat dan terbuka pada waktu menelan atau dipaksa membuka seperti pada waktu valsava maneuver. Bagian tulang dan tulang rawan tuba eustachius bertemu pada permukaan tulang yang tidak rata dan membentuk sudut 160o

Bagian tulang rawan tuba eustachius mempunyai arah anteromedial dan inferior, membentuk sudut 30

. Dinding medial bagian tulang tuba eustachius terdiri dari dua bagian, yaitu posterolateral (labyrinthine) dan aterolateral (karotis), dimana ukuran dan bentuknya tergantung pada posisi arteri karotis interna. Ukuran rata-rata ketebalan bagian anteromedial adalah 1,5-3 mm dan pada 2% populasi tidak terbentuk dinding dan terpapar dengan ateri karotis interna (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009).

o

-40o terhadap bidang transversal dan membentuk sudut 45o terhadap bidang sagital. Bagian ini melekat dengan kuat ke orifisium bagian tuba eustachius dengan jaringan ikat (fibrous) dan meluas ke bagian tulang tuba eustachius kira-kira 3 mm. pada ujung onferomedial melekat ke tuberkulum pada pinggir posterior lamina pterygoideus medial. Lumen tuba berbentuk seperti dua buah kerucut yang saling berhubungan pada ujung-ujungnya. Pada lumen ini terdapat titik yang paling sempit disebut isthmus. Posisi isthmus bisanya pada atau sekitar pertemuan bagian tulang dan bagian tulang rawan tuba eustachius. Diameter lumen isthmus tinggi 2 mm dan lebar 1 mm. Dari sejak lahir sampai pubertas panjang bagian tulang rawan tuba eustachius semakin bertambah,


(34)

perkembangan ini mempunyai implikasi fisiologik (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009).

2. 5. 4. Prosesus mastoideus

Bagian terbesar tulang temporal dibentuk oleh bagian mastoid di sebelah posterior dan inferior. Namun demikian, karena bagian ini mengalami pneumatisasi yang luas, massanya tidak melebihi bagian-bagian tulang temporal lainnya. Prosesus mastoid menonjol ke arah inferior dibelakang meatus acusticus

externus. Bagian ini berperan sebagai tempat perlekatan otot-otot sternokleidomastoide, splenius capitis, dan longisimus capitis. Pada bagian

inferior terdapat suatu lekukan yang dalam yaitu fossa digastricus, tempat melekatnya otot digastricus. Pada bagian dalam prosesus mastoideus, lekukan ini membentuk meinentia digastricus yang merupakan suatu patokan penting pada saat operasi mastoidektomi, karena foramen stilomastoid merupakan tempat lewatnya nervus fasialis terletak pada ujung anterior eminentia digastricus tersebut. Permukaan superior mastoid merupakan suatu lempengan tipis terletak di atas antrum timpanika yang dikenal dengan tegmen mastoid. Di posterior, bersama-sama dengan permukaan posterior tulang membentuk batas anterior fosa cranial posterior. Di sini terdapat suatu lekukan dalam yang dibentuk oleh sinus lateral atau sinus sigmoid. Dua buah saluran lain yang lebih kecil menuju ke medial, berisi sinus petrosa inferior dan superior (Austin, 1994 dalam Irwan, 2009).

Prosesus mastoideus baru terbentuk pada usia satu tahun, antrum mastoideum adalah ruangan pertama dan terbesar yang terdiri dari sel udara mastoid. Sel udara ini berhubungan satu dengan yang lain dan pertumbuhan dari sel udara mastoid tiap orang berbeda. Pneumatisasi prosesus mastoideus menurut tipe perkembangannya dibagi atas prosesus mastoideus sklerotik, diploik, dan pneumatik. Bila drainase tidak baik pada mastoid akan mudah terjadi radang (Helmi, 2005).

Luasnya pneumatisasi tulang temporal bervariasi untuk masing-masing individu. Hal ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor herediter dan faktor


(35)

lingkungan. Terjadinya otitis media pada masa bayi dan anak-anak dapat menghambat pneumatisasi dan mengakibatkan sklerosis. Di lain pihak terdapat bukti bahwa pneumatisasi yang terbatas merupakan faktor predisposisi untuk infeksi telinga tengah (Austin, 1994 dalam Irwan, 2009). Sel udara mastoid mempunyai peranan penting terhadap fungsi fisiologis telinga tengah. Tumarkin dan Holmquist menyatakan bahwa sel udara mastoid berperan sebagai rongga udara pada telinga tengah dan bertanggungjawab terhadap pengaturan tekanan telinga tengah. Menurut Wittmaack’s (teori endodermal), terjadinya pneumatisasi normal sel udara mastoid, tetapi proses tersebut dapat dihambat oleh inflamasi atau kelainan fungsi tuba eustachius (Virapongse, 1985 dalam Irwan, 2009; Ahmet, 2004 dalam Irwan, 2009).

Berdasarkan ukuran sistem sel udara mastoid, telinga dibagi atas 2 kelompok, telinga dengan pneumatisasi rendah (low-pneumatized ears) dan telinga dengan pneumatisasi baik (well pneumatized ears). Low-pneumatized ears mempunyai ukuran sistem sel udara mastoid <8 cm2 dan well pneumatized ears mempunyai ukuran sistem sel udara mastoid >8 cm2

Faktor predisposisi terjadinya otitis media supuratif adalah telinga dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (<8 cm

(Seth, 2006 dalam Irwan, 2009).

2

Sade melaporkan pada 72 penderita OMSK dewasa didapatkan 52,2 % dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (<8 cm

). Menjadi kroniknya otitit media supuratif menunjukkan tidak berfungsinya struktur sel udara mastoid dalam mengatur dan mempertahankan fluktuasi tekanan telinga tengah. Pada berbagai bentuk otitis media, terjadinya tekanan negatif di telinga tengah dan pengaturan tekanan ini tidak dapat dilakukan pada kasus dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (Ahmet, 2004 dalam Irwan, 2009).

2

) dan 20 % dengan pneumatisasi sel udara mastoid baik (>8 cm2). Pada 150 telinga normal mendapatkan rata-rata volume pneumatisasi sel udara mastoid 12,9±4 cm2. Sade berpendapat bahwa otitis media supuratif dan komplikasinya terjadi setelah perkembangan dan maturasi sistem sel udara mastoid. Dia juga berpendapat bahwa proses inflamasi (seperti pada otitis media supuratif) menyebabkan


(36)

terjadinya keseimbangan negatif gas-gas di telinga tengah. Menurut Sade dan Hadas, prognosis otitis media sangat tergantung pada volume sel udara mastoid. Semua penelitian menunjukkan bahwa tingkat pneumatisasi sel udara mastoid merupakan faktor penting dalam prognosis otitis media (Ahmet, 2004 dalam Irwan, 2009).

2. 6. Klasifikasi meningitis

2. 6. 1. Meningitis bakterial

Meningitis bakterial merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyerang susunan saraf pusat, mempunyai resiko tinggi dalam menimbulkan kematian, dan kecacatan. Diagnosis yang cepat dan tepat merupakan tujuan dari penanganan meningitis bakteri (Pradana, 2009).

Meningitis bakterial selalu bersifat purulenta (Mardjono, 1981). Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari septikemia. Pada meningitis meningokokus, prodomnya ialah infeksi nasofaring, oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di nasofaring. Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi dari otitis media akibat infeksi kuman-kuman tersebut (Mardjono, 1981).

Etiologi dari meningitis bakterial antara lain (Roos, 2005): 1. S. pneumonie

2. N. meningitis

3. Group B streptococcus atau S. agalactiae 4. L. monocytogenes

5. H. influenza

6. Staphylococcus aureus

2. 6. 2. Meningitis tuberkulosa

Untuk meningitis tuberkulosa sendiri masih banyak ditemukan di Indonesia karena morbiditas tuberkulosis masih tinggi. Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis primer, biasanya di


(37)

paru. Terjadinya meningitis tuberkulosa bukanlah karena terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsung tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah kedalam rongga arakhnoid (Pradana, 2009).

Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama pada batang otak tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis (Pradana, 2009). Etiologi dari meningitis tuberkulosa adalah Mycobacterium

tuberculosis (Pradana, 2009)

2. 6. 3. Meningitis viral

Disebut juga dengan meningitis aseptik, terjadi sebagai akibat akhir / sequel dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus seperti campak, mumps, herpes simpleks, dan herpes zooster. Pada meningitis virus ini tidak terbentuk eksudat dan pada pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) tidak ditemukan adanya organisme. Inflamasi terjadi pada korteks serebri, white matter, dan lapisan menigens. Terjadinya kerusakan jaringan otak tergantung dari jenis sel yang terkena. Pada herpes simpleks, virus ini akan mengganggu metabolisme sel, sedangkan jenis virus lain bisa menyebabkan gangguan produksi enzim neurotransmiter, dimana hal ini akan berlanjut terganggunya fungsi sel dan akhirnya terjadi kerusakan neurologis (Pradana, 2009).

Etiologi dari meningitis viral antara lain :

Tabel 2.1. Virus yang dapat menyebabkan meningitis (Swartz , 2007). COMMON

NONARTHROPOD VIRUSES

Picornavirus (RNA) Enterovirus

Echovirus Coxsackie A Coxsackie B


(38)

Enterovirus 70, 71 Poliovirus

Herpes simplex type 2 (HSV-2) (DNA)

ARTHROPOD-BORNE VIRUSES (ARBOVIRUSES)

Togavirus (Alphavirus, RNA) Eastern equine encephalitis (EEE) Western equine encephalitis (WEE) Venezuelan equine encephalitis (VEE) Flavivirus (RNA)

St. Louis encephalitis (SLE) West Nile virus (WNV) Bunyavirus (RNA) California encephalitis

UNCOMMON

Arenavirus (RNA)

Lymphocytic choriomeningitis (LCM) Paramyxovirus RNA)

Mumps

Retrovirus (RNA)

Human Immunodeficiency virus (HIV-1)

RARE

Herpes virus (DNA)

Herpes simplex type 1 (HSV-1) Epstein-Barr virus (EBV) Cytomegalovirus (CMV) Varicella-Zoster virus (VZV)

Human herpes virus type 6 (HHV-6) Adenovirus (DNA)

Coltivirus (RNA) Colorado tick fever Bunyavirus (RNA)


(39)

2. 6. 4. Meningitis jamur

Meningitis oleh karena jamur merupakan penyakit yang relatif jarang ditemukan, namun dengan meningkatnya pasien dengan gangguan imunitas, angka kejadian meningitis jamur semakin meningkat. Problem yang dihadapi oleh para klinisi adalah ketepatan diagnosa dan terapi yang efektif. Sebagai contoh, jamur tidak langsung dipikirkan sebagai penyebab gejala penyakit / infeksi dan jamur tidak sering ditemukan dalam cairan serebrospinal (CSS) pasien yang terinfeksi oleh karena jamur hanya dapat ditemukan dalam beberapa hari sampai minggu pertumbuhannya (Pradana, 2009).

Etilogi dari meningitis jamur antara lain: 1. Cryptococcus neoformans

2. Coccidioides immitris

2. 7. Patofisiologi

Secara umum patofisiologi dari meningitis adalah sebagai berikut Agen penyebab

Invasi ke susunan saraf pusat melalui aliran darah ↓

Bermigrasi ke lapisan subarakhnoid ↓

Respon inflamasi di piamater, arakhnoid, cairan serebrospinal, dan ventrikuler ↓

Eksudat menyebar di seluruh saraf kranial dan saraf spinal ↓

Kerusakan neurologis

Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur, maupun protozoa, point

d’entry masuknya kuman juga dapat melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan


(40)

basis kranial yang memungkinkan kontaknya CSS dengan lingkungan luar (Pradana, 2009).

2. 7. 1. Meningitis bakterial

Bacterial meningitis merupakan tipe meningitis yang paling sering terjadi.

Tetapi tidak setiap bakteri mempunyai cara yang sama dalam menyebabkan meningitis. H. influenza dan N. meningitidis biasanya menginvasi dan membentuk koloni di sel-sel epitel faring. Demikian pula S. pneumonie, hanya saja S.

pneumonie dapat menghasilkan immunoglobulin A protease yang mennonaktifkan

antibodi lokal (Swartz, 2007).

Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis adalah S. pneumonie dan N. meningitis. Bakteri tersebut menginisiasi kolonisasi di nasofaring dengan menempel di sel epitel nasofaring. Bakteri tersebut berpindah menyeberangi sel epitel tersebut menuju ke ruang intravaskular atau menginvasi ruang intravaskular dengan menciptakan ruang di tight junction dari sel epitel kolumnar. Sekali masuk aliran darah, bakteri dapat menghindari fagositosis dari neutrofil dan komplemen dengan adanya kapsul polisakarida yang melindungi tubuh mereka. Bloodborne

bacteria dapat mencapai fleksus koroideus intraventrikular, menginfeksi langsung

sel epitel fleksus koroideus, dan mencapai akses ke cairan serebrospinal. Beberapa bakteri seperti S. pneumonie dapat menempel di sel endotelial kapiler serebral dan bermigrasi melewati sel tersebut langsung menuju cairan serebrospinal. Bakteri dapat bermultiplikasi dengan cepat di cairan serebrospinal karena kurang efektifnya sistem imun di cairan serebrospinal (CSS). Cairan serebrospinal (CSS) normal mengandung sedikit sel darah putih, sedikit protein komplemen, dan immunoglobulin. Kekurangan komplemen dan immunoglobulin mencegah opsonisasi dari bakteri oleh neutropil. Fagositosis bakteri juga diganggu oleh bentuk cair dari cairan cerebrospinal itu sendiri (Roos, 2005).

Peristiwa yang penting dalam patogenesis meningitis bacterial adalah reaksi inflamasi diinduksi oleh bakteri. Manifestasi-manifestasi neurologis yang terjadi dan komplikasi akibat meningitis bacterial merupakan hasil dari respon imun tubuh terhadap zat patogen yang masuk dibandingkan dengan kerusakan


(41)

jaringan langsung oleh bakteri. Sehingga cedera neurologis dapat terus terjadi meskipun bakteri telah ditangani dengan antibiotik (Roos, 2005).

Lisis dari bakteri dan dilepaskannya komponen-komponen dinding sel di ruang subaraknoid merupakan langkah awal dari induksi respon inflamasi dan pembentukan eksudat di ruang subarakhnoid. Komponen dinding sel bakteri, seperti molekul lipopolisakarida (LPS) bakteri gram negatif dan asam teikhoic dan peptidoglikan S. pneumonie, menginduksi inflamasi selaput meningens dengan menstimulasi produksi sitokin-sitokin inflamasi dan kemokin-kemokin oleh mikroglia, astrosit, monosit, dan sel leuko sit CSS. Kemudian, setelah 1-2 jam LPS dilepaskan di cairan serebrospinal (CSS), sel sel endotelial dan meningeal, makrofag, dan mikroglia akan mengeluarkan Tumor Necrosis Factor (TNF) dan

Interleukin-1 (IL-1) (Swartz, 2007). Lalu kemudian setelah dilepaskannya sitokin

tersebut, akan terjadi peningkatan kandungan protein CSS dan leukositosis. Kemokin (yang turut menginduksi migrasi leukosit) dan berbagai sitokin inflamasi lainnya juga diproduksi dan diskresi oleh leukosit dan jaringan yang diinduksi oleh IL-1 dan TNF (Roos, 2005).

Kebanyakan patofisiologi dari bacterial meningitis merupakan akibat dari meningkatnya sitokin CSS dan kemokin. TNF dan IL-1 bekerja sinergis meningkatkan permeabilitas Blood-Brain Barrier (BBB), yang mengakibatkan edema vasogenik, bocornya protein serum ke ruang subarakhnoid. Eksudat di ruang subarakhnoid mengganggu aliran CSS di sistem ventrikular dan mengurangi reabsorbsi dari CSS di sinus dura, sehingga dapat menyebabkan communicating

edema dan concomitant interstitial edema (Roos, 2005).

2. 7. 2. Meningitis tuberkulosa

BTA masuk tubuh ↓

Tersering melalui inhalasi, jarang pada kulit, saluran cerna ↓

Multiplikasi ↓


(42)

Infeksi paru/focus infeksi lain ↓

Penyebaran homogen ↓

Meningens ↓

Membentuk tuberkel ↓

BTA tidak aktif/dorman

Bila daya tahan tubuh lemah ↓

Ruptur tuberkel meningen ↓

Pelepasan BTA ke ruang subarakhnoid ↓

Meningitis

Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (piamater dan arakhnoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung terkumpul di daerah basal otak (Pradana, 2009).

2. 7. 3. Meningitis viral

Ada 2 rute virus menyerang sistem saraf pusat manusia, yaitu hematogenus (infeksi enterovirus) dan limfogenus (infeksi Herpes Simpleks Virus (HSV)). Enterovirus pertama kali menuju ke lambung, bertahan dari keasaman asam lambung, dan berlanjut ke saluran pencernaan di bawahnya lagi. Beberapa virus bereplikasi di nasofaring dan menyebar ke kelenjar limfe regional. Setelah virus menempel ke reseptor di enterosit, virus menembus lapisan epitelialnya dan melakukan replikasi di sel enterosit tersebut. Dari situ, virus menuju peyer


(43)

patches, dimana replikasi yang lebih lanjut terjadi. Kemudian dari situ viremia

enterovirus berkembang ke sistem saraf pusat (SSP), hati, jantung, dan sistem retikuloendotelial. Dan kemudian virus bereplikasi dengan cepat di tempat-tempat tersebut. Mekanisme enterovirus memasuki SSP diduga dengan cara menembus

BBB tight junction dan memasuki cairan serebrospinal (CSS) (Swartz, 2007).

Berlawanan dengan enterovirus, infeksi HSV mencapai SSP dengan jalur neuronal. Pada HSV-1 ensepalitis, virus masuk lewat jalur oral menuju nervus trigeminal dan olfaktori, sedangkan di HSV-2 aseptic meningitis, virus menyebar dari lesi genital menuju sacral nerve roots menuju meninges. Dari situ, HSV-2 menjadi fase laten dan menunggu untuk reaktivasi menjadi episode aseptik meningitis (Swartz, 2007).

2. 7. 4. Meningitis jamur

Ada tiga pola dasar infeksi jamur pada susunan saraf pusat yaitu, meningitis kronis, vaskulitis, dan invasi parenkimal. Pada infeksi Cryptococcal jaringan menunjukkan adanya meningitis kronis pada leptomeningen basal yang dapat menebal dan mengeras oleh reaksi jaringan penyokong dan dapat mengobstruksi aliran likuor dari foramen luschka dan magendi sehingga terjadi hidrosepalus. Pada jaringan otak terdapat substansia gelatinosa pada ruang subarakhnoid dan kista kecil di dalam parenkim yang terletak terutama pada ganglia basalis pada distribusi arteri lentikulostriata. Lesi parenkimal terdiri dari agregasi atau gliosis. Infiltrat meningens terdiri dari sel-sel inflamasi dan fibroblast yang bercampur dengan Cryptococcus. Bentuk granuloma tidak sering ditemukan, pada beberapa kasus terlihat reaksi inflamasi kronis dan reaksi granulomatosa sama dengan yang terlihat pada Mycobacterium tuberculosa dengan segala bentuk komplikasinya (Pradana, 2009).


(44)

2. 8. Klasifikasi otitis media

Secara mudah, otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media nonsupuratif (= otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis media musinosa, otitis media efusi/OME) (Soepardi, 2007).

Skema pembagian otitis media:

Gambar 2.9. Skema pembagian otitis media (Soepardi, 2007)

2. 8. 1. Otitis media akut

Otitis medis akut (OMA) terjadi karena faktor pertahanan tubuh terganggu. Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan (Soepardi, 2007).

Dikatakan juga bahwa pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran napas atas (Soepardi, 2007).

Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik, seperti

Streptococcus hemolitikus, Staphilococcus aureus, pnemokokus. Selain itu kadang

kadang ditemukan juga Hemophilus influenza, Eschericia coli, Streptococcus

anhemoliticus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aurugenosa (Soepardi, 2007).

Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas 5 stadium:


(45)

1. Stadium oklusi tuba eustachius

Tanda adanya oklusi tuba eustachius adalah gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah akibat absorbsi udara (Soepardi, 2007).

2. Stadium hiperemis

Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat (Soepardi, 2007).

3. Stadium supurasi

Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani, menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar (Soepardi, 2007).

Pada keadaan ini pasein tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat (Soepardi, 2007).

4. Stadium perforasi

Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar (Soepardi, 2007).

5. Stadium resolusi

Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan-lahan akan normal kembali (Soepardi, 2007).

OMA berubah menjadi otitis media supuratif kronik (OMSK) bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul (Soepardi, 2007).


(46)

2. 8. 2. Otitis media supuratif kronik

Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media supuratif kronik apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila infeksi kurang dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif subakut (Soepardi, 2007).

Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi yang tidak adekuat, terapi yang terlambat diberikan, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (Soepardi, 2007).

2. 8. 2. 1. Klasifikasi otitis media supuratif kronik

Otitis media supuratif kronik (OMSK) dibagi menjadi 2 tipe, tipe jinak dan tipe bahaya. Nama lain dari tipe jinak (benigna) adalah tipe tubotimpanik karena biasanya didahului dengan gangguan fungsi tuba yang menyebabkan kelainan di kavum timpani; disebut juga tipe mukosa karena proses peradangannya biasanya hanya pada mukosa telinga tengah, disebut juga tipe aman karena jarang menyebabkan komplikasi yang berbahaya. Nama lain dari tipe bahaya adalah tipe atiko-antral karena proses biasanya dimulai di daerah itu; disebut juga tipe tulang karena penyakit menyebabkan erosi tulang. Di indonesia tipe bahaya lebih dikenal dengan tipe maligna (Helmi, 2005).

2. 8. 2. 2. Patogenesis otitis media supuratif kronik

Terjadinya otitis media supuratif kronik hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai pada dewasa. Terjadinya otitis media disebabkan multifaktor antara lain inveksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkingan, dan sosial ekonomi (Helmi, 2005).

Fokus infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba eusatachius. Kadang-kadang infeksi berasal dari telinga luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi membran timpani. Maka terjadilah proses inflamasi. Bila terbentuk pus akan terperangkap di dalam kantong mukosa di telinga tengah. Dengan pengobatan yang cepat dan adekuat dan dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah,


(47)

biasanya proses patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal (Helmi, 2005).

Bila terjadi perforasi membran timpani yang permanen, mukosa telinga tengah akan terpapar ke dunia luar sehingga memungkinkan terjadinya infeksi berulang setiap waktu. Hanya saja pada beberapa kasus keadaan telinga tengah tetap kering dan pasien tidak sadar akan penyakitnya. Bila tidak terjadi infeksi maka mukosa telinga tengah tampak tipis dan pucat (Helmi, 2005).

Episode berulang otorea dan perubahan mukosa menetap ditandai juga dengan osreogenesis, erosi tulang, dan osteitis yang mengenai tulang mastoid dan osikel (Helmi, 2005).

OMSK tipe bahaya adalah OMSK yang mengandung kolesteatoma. Disebut bahaya karena sering menimbulkan komplikasi berbahaya. Kolesteatoma adalah epitel gepeng dan debris tumpukan pengelupasan keratin yang terjebak di dalam rongga timpanomastoid. Bila telah terbentuk akan terus meluas. Kolesteatoma mengerosi tulang yang terkena baik akibat efek penekanan oleh tumpukan debris keratin, maupun akibat aktifitas mediasi enzim osteoklas. Resorpsi tulang dapat menyebabkan destruksi trabekula mastoid, erosi osikel, fistula labirin, pemaparan nervus fasialis, dura serta sinus lateralis (Helmi, 2005).

Job dkk (1998) melaporkan bahwa komplikasi intrakranial dapat terjadi pada kejadian OMSK baik itu yang tipe aman/ tipe rinogen/ tanpa kolestetoma (42%) maupun yang tipe tidak aman/ ganas/ tipe atikoanteral/ dengan kolesteatoma (58%)


(48)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3. 1. Kerangka Konsep

Pada penelitian ini, kerangka konsep tentang hubungan antara kejadian otitis media supuratif dengan meningitis dapat dijabarkan sebagai berikut:

Variabel bebas Variabel terikat Kejadian otitis media

supuratif kronik

Kejadian meningitis

Gambar 3.1. Kerangka konsep hubungan antara kejadian otitis media

supuratif kronik dengan kejadian meningitis.

3. 2. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel-variabel yang akan diteliti mencakup variabel bebas dan variabel terikat, yaitu:

3. 2. 1. Variabel Bebas

Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani disertai sekret yang terus menerus atau hilang timbul (Nursiah, 2003) dan ditegakkan diagnosisnya oleh dokter di ruangan.

Cara menilai OMSK pada penelitian ini adalah dengan melihat keadaan telinga dari pasien dan dibantu oleh dokter ruangan di Bagian Neurologi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar checklist yang dilampirkan pada bagian lampiran.

Hasil dari pengukuran ini berupa ada tidaknya OMSK. Skala pengukuran adalah skala nominal.


(49)

3. 2. 2. Variabel Terikat

Meningitis adalah penyakit infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan

spinal cord (Meningitis Foundation of America) dan ditegakkan oleh dokter di

ruangan.

Cara untuk menilai pasien dengan meningitis adalah dengan gejala klinis, yaitu demam, sakit kepala, dan kaku leher (Lindsay, 2004) dan dibantu oleh dokter ruangan di Bagian Neurologi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar checklist yang akan dilampirkan pada bagian lampiran.

Hasil dari pengukuran ini berupa ada tidaknya meningitis. Skala pengukuran adalah skala nominal.

3. 2. 3. Hipotesis


(50)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4. 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian analitik yang menilai hubungan antara kejadian otitis media supuratif kronik dengan kejadian meningitis. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah cross sectional, dimana dilakukan pengumpulan data dari pasien rawat inap dengan meningitis di rumah sakit.

4. 2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK-USU/RS H. Adam Malik Medan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan 19 Juli 2010 - 15 Oktober 2010.

4. 3. Populasi dan Sampel

Polulasi penelitian ini adalah pasien rawat inap dengan meningitis di RS H. Adam Malik Medan. Perkiraan besar sampel minimal diambil berdasarkan rumus dibawah ini (Sastroasmoro):

dimana:

n = Besar sampel minimum.

Zα = Tingkat kepercayaan. Digunakan 95% (0,05), nilai dalam rumus: 1,96. P = Proporsi pasien meningitis di populasi. Didapati proporsi pasien

meningitis tahun 2009 di bagian rawat inap Bagian Neurologi sebesar 0,0369.

Q = 1-P → 0,9631


(51)

Berdasarkan rumus tersebut, jumlah sampel minimal adalah 13 orang. Jumlah sampel dibulatkan menjadi 20 orang.

Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik

consecutive sampling, dimana semua pasien yang dirawat inap di Bagian Ilmu

Penyakit Saraf FK-USU/R. S. H. Adam Malik Medan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel mencapai 20 orang.

Kriteria inklusi pasien adalah pasien dewasa dengan rentang umur antara 17 sampai 60 tahun sedangkan kriteria eksklusinya adalah pasien dengan riwayat makan Obat Anti Tuberkulosis.

4. 4. Teknik pengumpulan Data

Data diperoleh dari pengamatan terhadap pasien meningtis yang dirawat inap di Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK-USU/RS H. Adam Malik Medan.

4. 5. Pengolahan dan Analisa Data

Data yang telah terkumpul, diolah dan dianalisis dengan bantuan program

SPSS for Windows. Analisis statistik yang digunakan untuk menilai hubungan


(52)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau no. 17, kelurahan Kemenangan Tani, kecamatan Medan Tuntungan. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 355/ Menkes/ SK/ VII/ 1990. Dengan predikat rumah sakit kelas A, RSUP Haji Adam Malik Medan telah meiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang kompeten. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/ Menkes/ IX/ 1991 tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

RSUP Haji Adam Malik Medan memiliki instalasi rawat inap untuk bagian neurologi, yaitu Rawat Inap Terpadu (Rindu) A-4. Ruangan tersebut merupakan lokasi pengambilan data pada penelitian ini.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Sampel yang diperoleh selama masa pengambilan data dari 19 juli 2010 sampai 15 oktober 2010 adalah sebanyak 20 sampel. Dari 20 sampel, 65% merupakan laki-laki dan 35% merupakan perempuan. Umur sampel yang paling muda adalah 18 tahun dan yang paling tua adalah 66 tahun dengan rata-rata umur 35,05 (SD 14,08).


(53)

Tabel 5.1. Karakteristik sampel penelitian

No Karakteristik sampel Kelompok Jumlah

Meningitis Bukan meningitis

N % N % N %

1. Jenis Kelamin:

a. Laki-laki 4 50 9 75 13 65

b. Perempuan 4 50 3 25 7 35

Jumlah: 8 100 12 100 20 100

2. Umur:

a. 18-27 tahun 3 37,5 4 17,6 7 31,8

b. 28-37 tahun 2 25 4 11,8 6 27,3

c. 38-47 tahun 2 25 2 17,6 4 18,2

d. 48-57 tahun 0 0 1 17,6 1 4,5

e. 58-67 tahun 1 12,5 1 5,9 2 9,1

Jumlah: 8 100 12 100 20 100

5.1.3. Distribusi Sampel yang Menderita Meningitis Berdasarkan Umur

Umur rata-rata sampel yang menderita meningitis pada panelitian ini adalah 33,5 (SD 15,19) tahun, dimana umur sampel yang paling tua adalah 65 tahun dan yang paling muda adalah 19 tahun. Sampel yang menderita meningitis dan berumur <20 tahun dijumpai sebanyak 12,5%, yang berumur 20-39 tahun sebanyak 62,5% dan yang berumur >40 tahun sebanyak 25%. Distribusi terbanyak penderita meningitis yang diteliti adalah pada kelompok 20-39 tahun, yaitu sebanyak 62,5%.


(54)

Tabel 5.2. Distribusi sampel yang menderita meningitis berdasarkan umur

No. Umur Frekuensi Persentase

1. <20 tahun 1 12,5

2. 20-39 tahun 5 62,5

3. >40 tahun 2 25

Jumlah 8 100

5.1.4. Distribusi Sampel yang Menderita Meningitis Akibat OMSK Berdasarkan Umur

Umur rata-rata sampel yang menderita meningitis akibat OMSK pada panelitian ini adalah 37,2 (SD 17,75) tahun, dimana umur sampel yang paling tua adalah 65 tahun dan yang paling muda adalah 19 tahun. Sampel yang menderita meningitis akibat OMSK dan berumur <20 tahun dijumpai sebanyak 20%, yang berumur 20-39 tahun sebanyak 40% dan yang berumur >40 tahun sebanyak 40%. Distribusi terbanyak penderita meningitis akibat OMSK yang diteliti adalah pada kelompok 20-39 dan >40 tahun, yaitu sebanyak 20%.

Tabel 5.3. Distribusi sampel yang menderita meningitis akibat OMSK berdasarkan umur

No. Umur Frekuensi Persentase

1. <20 tahun 1 20

2. 20-39 tahun 2 40

3. >40 tahun 2 40

Jumlah 5 100

5.1.5. Distribusi Sampel yang Menderita Meningitis Berdasarkan Jenis Kelamin

Menurut jenis kelaminnya, dijumpai sampel yang menderita meningitis yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 50% dan perempuan sebanyak 50%.


(55)

Tabel 5.4. Distribusi sampel yang menderita meningitis berdasarkan jenis kelamin

No. Jenis kelamin Frekuensi Persentase

1. Laki-laki 4 50

2. Perempuan 4 50

Jumlah 8 100

5.1.6. Distribusi Sampel yang Menderita Meningitis Akibat OMSK Berdasarkan Jenis Kelamin

Menurut jenis kelaminnya, dijumpai sampel yang menderita meningitis akibat OMSK yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 40% dan perempuan sebanyak 60%.

Tabel 5.5. Distribusi sampel yang menderita meningitis akibat OMSK berdasarkan jenis kelamin

No. Jenis kelamin Frekuensi Persentase

1. Laki-laki 2 40

2. Perempuan 3 60

Jumlah 5 100

5.1.7. Hubungan Otitis Media Supuratif Kronik Dengan Meningitis

Pada penelitian ini, dijumpai penderita meningitis dengan Otitis Media Supuratif Kronik 100% sedangkan penderita meningitis tanpa Otitis Media Supuratif Kronik sebanyak 20%. Sampel yang tidak menderita meningitis dengan Otitis Media Supuratif Kronik sebanyak 0% sedangkan sampel tanpa meningitis dan Otitis Media Supuratif Kronik sebanyak 80%.

Hubungan antara Otitis Media Supuratif Kronik dengan meningitis dinilai dengan analisis statistik fisher exact test menggunakan program komputer SPSS

for Windows. Dari hasil uji statistik, dijumpai ada hubungan antara yang

signifikan antara Otitis Media Supuratif Kronik dengan meningitis pada penelitian ini.


(56)

Tabel 5.6. Hubungan antara Otitis Media Supuratif Kronik dengan meningitis

Meningitis OMSK Nilai p*

Ya Tidak

Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase

0.004

Ya 5 100 3 20

Tidak 0 0 12 80

Jumlah 5 100 15 100

* uji statistik Fisher exact test

5.2. Pembahasan

Pada penelitian ini, didapatkan 8 pasien (40%) merupakan pasien meningitis. Meningitis merupakan komplikasi intrakranial paling sering dari Otitis Media Supuratif Kronik (Friedland, 2009). Menurut Acharya (2006), 40% pasien abses otak merupakan komplikasi dari otitis media atau mastoiditis. Pengabaian atau penundaan penatalaksanaan Otitis Media Supuratif Kronik dapat menyebabkan komplikasi intrakranial yang berbahaya, seperti meningitis. Dari 8 sampel pasien meningitis, lima disebabkan oleh Otitis Media Supuratif Kronik.

Hal ini juga dilaporkan oleh Ostergaard (2005) dan Herdiana, Bogi S. (1999). Ostergaard (2005) melaporkan bahwa dari 187 pasien meningitis, 30% (57 orang) diantaranya disebabkan oleh fokus infeksi dari telinga. Herdiana dan Bogi S. (1999, dalam Ritarwan 2006) melaporkan bahwa lewat penelitian yang mereka lakukan di Bandung, terdapat 11 kasus meningitis dari 4160 kasus Otitis Media Supuratif Kronik.

Berdasarkan jenis kelamin, didapati jumlah pasien meningitis laki-laki berjumlah empat dan yang perempuan berjumlah empat. Hasil ini sedikit berbeda dengan Razonabel (2010) yang menyatakan setiap 3,3 orang laki-laki dari 100.000 populasi mengalami meningitis, dan setiap 2,6 orang perempuan dari 100.000 populasi mengalami meningitis.

Perbandingan jumlah ini juga sedikit berbeda dengan Ostergaard (2005) dimana didapatkan perbandingan laki-laki dengan perempuan yang menderita meningitis adalah 96:91.


(57)

Pada penelitian ini, perbandingan jumlah pasien meningitis akibat Otitis Media Supuratif Kronik laki-laki dengan perempuan adalah 2:3.

Perbandingan jumlah ini sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan Ostergaard (2005), dimana dalam penelitiannya didapatkan perbandingan jumlah pasien meningitis akibat Otitis Media Supuratif Kronik laki-laki dengan perempuan adalah 23:34.

Kondisi ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Bandung (Herdiana, Bogi S., 1999 dalam Ritarwan, 2006), yang menunjukkan bahwa perbandingan pasien laki-laki dengan perempuan penderita Otitis Media Supuratif Kronik yang mengalami komplikasi meningitis adalah 8:3.

Umur rata-rata pasien yang terserang meningitis pada penelitian ini adalah 33,5 (SD 15,19) tahun. Menurut Razonabel (2010) meningitis dapat terjadi pada berbagai lapisan umur manusia, tetapi paling sering pada anak-anak dan orang tua (lebih dari 60 tahun).

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Ostegaard (2005), umur rata-rata pasien yang menderita meningitis adalah 55 tahun.

Umur rata-rata pasien meningitis akibat Otitis Media Supuratif Kronik adalah 37,2 (SD 17,75) tahun.

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Ostegaard (2005), umur rata-rata pasien yang menderita meningitis akibat Otitis Media Supuratif Kronik adalah 56 tahun.

Dalam penelitian ini, dengan menggunakan uji statistik fisher exact test, didapati bahwa Otitis Media Supuratif Kronik mempunyai hubungan dengan meningitis.


(58)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai hubungan antara Otitis Media Supuratif Kronik dengan meningitis di RSUP H. Adam Malik Medan 2010, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Angka kejadian meningitis pada waktu pelaksanaan penelitian di bagian neurologi RSUP H. Adam Malik Medan selama penelitian, adalah 2,39 (%).

2. Angka kejadian meningitis yang disebabkan oleh Otitis Media Supuratif Kronik pada waktu pelaksanaan penelitian di bagian neurologi RSUP H. Adam Malik Medan adalah 1,83 (%).

3. Terdapatnya hubungan antara Otitis Media Supuratif Kronik dengan meningitis ( p = 0.004).

6.2. Saran

1. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan besar sampel yang kecil dan waktu penelitian yang pendek. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan waktu penelitian yang lebih panjang dengan melibatkan beberapa rumah sakit di dalam suatu daerah.

2. Kepada masyarakat luas untuk memperhatikan gejala-gejala awal dari otitis media agar segera mencari pengobatan supaya tidak sampai terjadi komplikasi, seperti meningitis.

3. Peneliti berharap agar penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam melakukan penelitian selanjutnya.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Aboet, A., 2007. Radang Telinga Tengah Menahun. Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara . Available from:

2010].

Acharya, A. cs. 2006. Brain abscess due to Scedosporium apiospermum in a non immunocompromised child. Indian Journal of Medical Microbiology, 24(3): 231-232.

Borton, C., 2009. Chronic Suppurative Otitis Media. Leeds: Patient UK. Available from:

Centers for Disease Control and Prevention. Meningitis in Other Countries. Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Available from:

Dinarello, C.A., Gelfand, C.A., 2005. Fever and Hyperthermia. In: Kasper, D.L., Braunwald, E., Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo, D.L., and Jameson, J.L.

Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw-Hill, 104-108.

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashirrudin, J., Restuti, R.D., Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi keenam.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI, halaman 64-77.

Dugdale, D.C., Vyas, J.M., 2010, Meningitis. MedlinePlus. maret 2010].

Friedland, D.R., Pensak, M.L., Kveton, J.F., 2009. Cranial and Intracranial Complications of Acute and Chronic Otitis Media. In: Snow, J.B., Wackym, P.A., Ballenger’s Otorhinolaryngology: Head and Neck Surgery. 17th ed. Washington: BC Baker Inc, 229-238.


(60)

Hendley, J.O., 2002. Otitis Media. N Engl J Med, 347 (15): 1169-1174.

Irwan. 2009. Hubungan Parameter Kraniofasial dan Otitis Media Supuratif

Kronik Pada Penderita Dewasa. Bagian Ilmu Kesehatan Teling Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Job, A., Jacob, A., Kurien, M., Mathew, J., 1998. Bilateral Simultaneous Hearing

Preservation Mastoidectomy in Otogenic Meningitis. The Annals of Otology,

Rhinology, and Laryngology, 107 (10): 872.

Kahle,W., Frotscher, M., 2003. Color Atlas and Textbook of Human Anatomy. Vol. 3. 5th ed. Stuttgart: Thieme.

Lindsay, K.W., Bone, I., 2004. Neurology and Neurosurgery Illustrated. 4th ed. UK: Churcill Livingstone.

Nursiah, S. 2003. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan Terhadap

Beberapa Antibiotika di Bagian THT FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Bagian Ilmu Kesehatan Teling Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Marcovitch, H., 2005. Black’s Medical Dictionary. 41th ed. London: A & C Black. Mardjono, M. Sidharta, P., 1988. Neurologi Klinis Dasar. Edisi kelima. Jakarta:

Dian Rakyat.

Meningitis Foundation of America. What is Meningitis?. USA: Meningitis Foundation of America. Available from:

Narins, B., 2003. World of Microbiology and Immunology. USA: Gale.

O’Connor, T.E., Perry, C.F., Lannigan, F.J., 2009. Complications of otitis media in Indigenous and non-Indigenous children. Med J Aust, 191 (9): 60-64. {abstract}.

Ostegaard, C., Konradsen, H.B., Samuelsson, S., 2005. Clinical Presentation and Prognostic Factor of Streptococcus pneumonie Meningitis According to The Focus of Infection. BioMed Central, 93 (5): 1-11.

Pradhana, D., 2009. Referat Meningitis. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih. Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta.


(1)

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

Nama : Todung Antony Wesliaprilius

Tempat/ Tanggal Lahir : Jakarta/ 29 April 1989

Pekerjaan : Mahasiswa

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Rakyat lorong karto No. 39A medan

Nomor Telepon : (061)6612889 / 08994948705

Orang Tua : Milton Hasibuan, SH. MH.(Bapak)

Dra. Anitha Emma Lidya Sihombing (Ibu)

RIWAYAT PENDIDIKAN:

• TK St. Bellarminus II Bekasi tahun 1993-1995. • SD St. Bellarminus II Bekasi tahun 1995-2001. • SMP St. Bellarminus II Bekasi tahun 2001-2004. • SMA Marsudirini Bekasi Bekasi tahun 2004-2007. • Fakultas Kedokteran USU tahun 2007-sekarang. RIWAYAT ORGANISASI:

-

RIWAYAT PELATIHAN: -


(2)

(3)

(4)

LEMBAR CHECKLIST

NO Nama Jenis Kelamin Umur Meningitis OMSK


(5)

DATA INDUK PENELITIAN

NO Nama

Jenis

Kelamin Umur Meningitis OMSK

1 V A Laki-Laki 31 Tidak Tidak

2 M Laki-Laki 21 Ya Tidak

3 M S Laki-Laki 18 Tidak Tidak

4 J Laki-Laki 19 Ya Ya

5 D Perempuan 22 Tidak Tidak

6 Y S Perempuan 31 Ya Ya

7 Z K Laki-Laki 34 Tidak Tidak

8 A Perempuan 28 Ya Ya

9 S Laki-Laki 38 Ya Tidak

10 D N Laki-Laki 36 Tidak Tidak

11 N M Perempuan 65 Ya Ya

12 E S Laki-Laki 26 Tidak Tidak

13 A M Laki-Laki 43 Ya Ya

14 O S Laki-Laki 66 Tidak Tidak

15 N S Laki-Laki 40 Tidak Tidak

16 R Perempuan 23 Ya Tidak

17 S Laki-Laki 54 Tidak Tidak

18 N Perempuan 33 Tidak Tidak

19 MHD Z Laki-Laki 47 Tidak Tidak

20 S Perempuan 26 Tidak Tidak


(6)

OUTPUT SPSS

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

meningitis * omsk 20 90.9% 2 9.1% 22 100.0%

meningitis * omsk Crosstabulation

omsk

Total

Ya Tidak

meningitis Ya Count 5 3 8

% within omsk 100.0% 20.0% 40.0%

Tidak Count 0 12 12

% within omsk .0% 80.0% 60.0%

Total Count 5 15 20

% within omsk 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 10.000a 1 .002

Continuity Correctionb 6.944 1 .008

Likelihood Ratio 11.908 1 .001

Fisher's Exact Test .004 .004

Linear-by-Linear Association

9.500 1 .002

N of Valid Cases 20

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.00. b. Computed only for a 2x2 table