Hubungan Jenis Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) Dengan Gangguan Pendengaran

(1)

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF

KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN

PENDENGARAN

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah satu

Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala Leher

Oleh : SRI MELLA TALA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

Lembar Pengesahan

Tanggal 29 September 2010

Disetujui untuk diajukan ke sidang ujian oleh:

Pembimbing 1

Dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL NIP: 195609111984032001

Pembimbing 2

Prof. Askaroellah Aboet, dr. Sp. THT-KL(K) NIP: 194603051975031001

Pembimbing 3

Dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp. THT-KL NIP: 195401261984031001

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. Askaroellah Aboet, dr, SpTHT-KL(K) NIP: 194603051975031001


(3)

Medan, 29 September 2010

Tesis dengan judul

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF

KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN

PENDENGARAN

Diketahui Oleh :

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof. Abdul Rachman Saragih,dr.Sp.THT-KL(K) Prof. Askaroellah Aboet dr.Sp.THT-KL(K)

Telah disetujui dan diterima baik oleh pembimbing

Ketua

dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL Anggota

Prof. Askaroellah A, dr. Sp.THT-KL(K) dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Bismillahirahmanirrahim, saya sampaikan rasa syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah kepala leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasannya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian tentang Hubungan Jenis Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) dengan Gangguan Pendengaran.

Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, begitu juga kepada Prof. Askaroellah Aboet, dr. Sp.THT-KL(K), dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL sebagai anggota pembimbing dan dr. Arlinda Sari Wahyuni, MKes sebagai konsultan ahli. Ditengah kesibukan beliau , dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.


(5)

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Syahril Pasaribu, dr. SpA(K) DTM&H dan mantan Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr. SpA(K) DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Gontar Alamsyah Siregar, dr. Sp.PD(KGEH) dan mantan Dekan Fakultas Kedokteran USU Prof. Sutomo Kasiman, dr. Sp.JP(K) dan Prof T. Bahri Anwar, dr. SpJP(K) atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran USU.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Direktur RS Tembakau Deli Medan, Direktur RSUD Lubuk Pakam dan Direktur Rumkit TK I Medan dan Direktur RSUD F.L. Tobing Sibolga yang telah mengizinkan dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.

Yang terhormat Ketua Departemen / Staf Radiologi FK.USU / RSUP. H.Adam Malik Medan, Ketua Departemen / Staf Anestesi FK.USU RSUP. H.Adam Malik Medan, Ketua Departemen / Staf Patologi Anatomi FK.USU Medan , yang telah memberikan bimbingan kepada kami selama menjalani


(6)

stase asisten di bagian tersebut dan kami ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Abdul Rachman Saragih, dr. Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, Prof. Askaroellah Aboet, dr. Sp.THT-KL(K) yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti pendidikan spesialisasi sampai selesai.

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP. H.Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet, Sp.THT-KL, Prof. Ramsi Lutan, dr. Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof. Askaroellah Aboet, dr. Sp.THT-KL(K), Prof. Abdul Rachman Saragih, dr. Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr.T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K), Dr. Dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr.Linda I Adenin,Sp.THT-KL, dr.Hafni,Sp.THT-KL (K), dr. Ida Sjailandrawati Hrp, SpTHT-KL, dr.Adlin Adnan,Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL, (Almh) dr. Ainul Mardhiah, Sp.THT-KL, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL, dr.Harry Agustaf Asroel, Sp.THT-KL, dr. Farhat, Sp.THT-KL, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Asri Yudhistira, Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, SpTHT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, SpTHT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, SpTHT-KL, dan dr. Ferryan Sofyan, SpTHT-KL MKes Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.


(7)

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.

Yang terhormat perawat/paramedis dan seluruh karyawan/karyawati RSUP H. Adam Malik Medan , khususnya Departemen/SMF THT-KL yang selalu membantu dan bekerjasama dengan baik dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan selama ini.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda Zulfikri Tala, S.H. dan Ibunda Nirwisna Martias, S.H. ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta diberikan suri tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh dalam menghadapi kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kehadirat Allah SWT, Ya Allah ampuni dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, serta kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sejak kecil.

Yang tercinta Bapak mertua dr. H. Moeharman Idham, SpPD KPTI (Alm) dan Ibu mertua Hj. Sulastri yang selama ini telah memberikan dorongan dan restu untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Kepada suamikuku tercinta dr. Marwan Moeharman, serta buah hati kami tersayang Muhammad Zaki Moeharman, tiada kata yang lebih indah yang dapat saya ucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan tiada tara, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat


(8)

yang tiada henti-hentinya kepada ayahanda sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada Kakak dan Abang ipar penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan kami selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada kami selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang maha pemurah, maha pengasih dan maha penyayang. Amin.

Medan, September 2010 Penulis


(9)

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN

Abstrak

Latar Belakang: Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terbesar pada beberapa populasi di dunia yang menyebabkan gangguan pendengaran. Sebagian dari pasien OMSK datang oleh karena ketulian yang sudah mengganggu komunikasi atau sudah disertai tanda-tanda komplikasi. Gangguan pendengaran yang terjadi dapat bervariasi dan beratnya ketulian dapat dipengaruhi oleh jenis dari OMSK itu sendiri, besar dan letak perforasi membran timpani dan juga lamanya sakit. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan jenis OMSK, lamanya sakit dan jenis perforasi membran timpani dengan gangguan pendengaran.

Metode Penelitian: Penelitian dilakukan dengan studi potong lintang (cross sectional study) di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, secara Non Probability Consecutive Sampling mulai bulan Mei 2009. Dilakukan pemeriksaan THT rutin dan audiometri nada murni terhadap penderita OMSK untuk menentukan jenis dan derajat ketuliannya. Data dianalisa dengan uji Chi Square, Anova dan uji korelasi Spearman dengan tingkat kemaknaan 5%.

Hasil Penelitian: Dari 47 sampel penderita OMSK didapat 64 telinga yang diperiksa, jenis OMSK yang terbanyak diderita adalah jenis maligna sebanyak 37 telinga (57,8%). Ketulian yang terbanyak diderita adalah tuli


(10)

konduktif sebanyak 40 telinga (62,5%) diikuti oleh tuli campur sebanyak 23 telinga (35,9%) dan tuli saraf sebanyak satu telinga (1,6%). Dijumpai hubungan yang bermakna antara jenis OMSK, lamanya sakit dan jenis perforasi membran timpani dengan gangguan pendengaran (p < 0,05).

Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis OMSK, lamanya sakit dan jenis perforasi menbran timpani dengan gangguan pendengaran.

Kata Kunci: Jenis OMSK, lama sakit, jenis perforasi membran timpani, gangguan pendengaran.

Abstract:

Background: Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM) is a major problem in some population in the world causing hearing impairment. Most of CSOM patients seek medical attention because of communication difficulty caused by hearing impairment. The hearing impairment can be vary due to type of CSOM, size and location of the tympanic membrane perforation and also the length of the disease. The aim of this study is to learn correlation of type of CSOM, length of the disease and type of tympanic membrane perforation with hearing impairment.

Study Design and Method: This is a cross sectional study performed in ENT-HNS Department of Medical School of University of Sumatera Utara / H. Adam Malik Hospital. Sample was collected by Non Probability Consecutive Sampling, starting from May 2009. CSOM patients underwent routine ENT


(11)

examination and Pure Tone Audiometry to determine type and degree of hearing impairment. Data was analysed by Chi Square Test, Anova and Spearman’s Correlation Test.

Results: From 47 sample of CSOM patients we found 64 examinated ears, the most type of CSOM was malignant type about 37 ears (57,8%). The most type of hearing impairment was conductive hearing loss about 40 ears (62,5%) followed by mix hearing loss about 23 ears (35,9%) and one of sensoryneural hearing loss (1,6%). Significance correlation was found between CSOM type, length of the disease, and type of tympanic membrane perforation with hearing impairment.

Conclusion: Significance correlation was found between CSOM type, length of the disease, and type of tympanic membrane perforation with hearing impairment.

Key Words: CSOM type, length of the disease, type of tympanic membrane perforation, hearing impairment.


(12)

DAFTAR ISI

Daftar isi ..………... i

Abstrak ………. iii

BAB 1 PENDAHULUAN ……… ………….. 1

1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Perumusan Masalah ………. 8

1.3 Tujuan Penelitian ………... 8

1.3.1 Tujuan Umum …... 8

1.3.2 Tujuan Khusus ………... 8

1.4 Hipotesa ……….. 9

1.5 Manfaat Penelitian ………... 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………... 10

2.1 Embriologi Telinga Tengah………... 10

2.1.1 Perkembangan membran timpani ………. 11

2.1.2 Perkembangan tulang-tulang pendengaran…… 13

2.2 Anatomi Telinga Tengah ………... 15

2.3 Fungsi Telinga Tengah ………. 19

2.4 Fisiologi Pendengaran ……….. 20

2.5 Otitis Media Supuratif Kronis ……… 21

2.5.1 Definisi ……… 21

2.5.2 Kekerapan ………. 21

2.5.3 Patogenesis ……….. 23

2.5.4 Patologi ………. 24

2.5.5 Etiologi ……….. 26

2.5.6 Klasifikasi ………. 28

2.5.7 Gejala dan Tanda ……… 29

2.5.8 Diagnosis ………. 31

2.5.9 Komplikasi ……… 33

2.5.10 Penatalaksanaan ………. 34


(13)

2.7 Audiometri Nada Murni ……… 39

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL ……… 44

BAB 4 METODE PENELITIAN ……….. 45

4.1 Rancangan Penelitian ………. 45

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 45

4.2.1 Lokasi penelitian ………. 45

4.2.2 Waktu penelitian ………. 45

4.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel, Teknik Pengambilan Sampel ………... 46

4.3.1 Populasi ……… 46

4.3.2 Sampel Penelitian ……….. 46

4.3.3 Besar Sampel ………... 47

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 47

4.4 Variabel Penelitian ……….. 48

4.4.1 Klasifikasi Variabel Penelitian ……….. 48

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ……….. 48

4.5 Bahan/Alat Penelitian ………. 50

4.6 Pelaksanaan Penelitian …...……….. 50

4.7 Kerangka Kerja ………... 51

4.8 Cara Analisis Data ……….. 51

BAB 5 ANALISIS HASIL PENELITIAN... 52

BAB 6 PEMBAHASAN ………... . 62

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ……… ………. . 69

7.1 Kesimpulan ………. . 69


(14)

KEPUSTAKAAN ……… 70

LAMPIRAN ………... 76

Lampiran 1 Data Sampel Penelitian ……… 76


(15)

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN

Abstrak

Latar Belakang: Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terbesar pada beberapa populasi di dunia yang menyebabkan gangguan pendengaran. Sebagian dari pasien OMSK datang oleh karena ketulian yang sudah mengganggu komunikasi atau sudah disertai tanda-tanda komplikasi. Gangguan pendengaran yang terjadi dapat bervariasi dan beratnya ketulian dapat dipengaruhi oleh jenis dari OMSK itu sendiri, besar dan letak perforasi membran timpani dan juga lamanya sakit. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan jenis OMSK, lamanya sakit dan jenis perforasi membran timpani dengan gangguan pendengaran.

Metode Penelitian: Penelitian dilakukan dengan studi potong lintang (cross sectional study) di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, secara Non Probability Consecutive Sampling mulai bulan Mei 2009. Dilakukan pemeriksaan THT rutin dan audiometri nada murni terhadap penderita OMSK untuk menentukan jenis dan derajat ketuliannya. Data dianalisa dengan uji Chi Square, Anova dan uji korelasi Spearman dengan tingkat kemaknaan 5%.

Hasil Penelitian: Dari 47 sampel penderita OMSK didapat 64 telinga yang diperiksa, jenis OMSK yang terbanyak diderita adalah jenis maligna sebanyak 37 telinga (57,8%). Ketulian yang terbanyak diderita adalah tuli


(16)

konduktif sebanyak 40 telinga (62,5%) diikuti oleh tuli campur sebanyak 23 telinga (35,9%) dan tuli saraf sebanyak satu telinga (1,6%). Dijumpai hubungan yang bermakna antara jenis OMSK, lamanya sakit dan jenis perforasi membran timpani dengan gangguan pendengaran (p < 0,05).

Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis OMSK, lamanya sakit dan jenis perforasi menbran timpani dengan gangguan pendengaran.

Kata Kunci: Jenis OMSK, lama sakit, jenis perforasi membran timpani, gangguan pendengaran.

Abstract:

Background: Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM) is a major problem in some population in the world causing hearing impairment. Most of CSOM patients seek medical attention because of communication difficulty caused by hearing impairment. The hearing impairment can be vary due to type of CSOM, size and location of the tympanic membrane perforation and also the length of the disease. The aim of this study is to learn correlation of type of CSOM, length of the disease and type of tympanic membrane perforation with hearing impairment.

Study Design and Method: This is a cross sectional study performed in ENT-HNS Department of Medical School of University of Sumatera Utara / H. Adam Malik Hospital. Sample was collected by Non Probability Consecutive Sampling, starting from May 2009. CSOM patients underwent routine ENT


(17)

examination and Pure Tone Audiometry to determine type and degree of hearing impairment. Data was analysed by Chi Square Test, Anova and Spearman’s Correlation Test.

Results: From 47 sample of CSOM patients we found 64 examinated ears, the most type of CSOM was malignant type about 37 ears (57,8%). The most type of hearing impairment was conductive hearing loss about 40 ears (62,5%) followed by mix hearing loss about 23 ears (35,9%) and one of sensoryneural hearing loss (1,6%). Significance correlation was found between CSOM type, length of the disease, and type of tympanic membrane perforation with hearing impairment.

Conclusion: Significance correlation was found between CSOM type, length of the disease, and type of tympanic membrane perforation with hearing impairment.

Key Words: CSOM type, length of the disease, type of tympanic membrane perforation, hearing impairment.


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terbesar pada beberapa populasi di dunia, yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Penyakit ini berdampak nyata pada kerugian ekonomi dan sosial. Hal ini umumnya terjadi pada komunitas miskin pada suatu negara berkembang dan tentunya menimbulkan kerugian pada negara berkembang (WHO, 1996).

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari tiga bulan baik terus menerus ataupun hilang timbul (Telian dan Schmalbach, 2002). Penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksi kronis bidang THT di Indonesia yang masih sering menimbulkan ketulian dan kematian (Djaafar, 2001).

Terjadinya otitis media akut menjadi awal penyebab OMSK yang merupakan invasi mukoperiosteum organisme yang virulen, terutama berasal dari nasofaring yang terdapat paling banyak pada masa anak-anak (Kenna dan Latz, 2006).

Angka kejadian OMSK jauh lebih tinggi di negara-negara sedang berkembang dibandingkan dengan negara maju, karena beberapa hal misalnya higiene yang kurang, faktor sosioekonomi, gizi yang rendah,


(19)

kepadatan penduduk serta masih ada pengertian masyarakat yang salah terhadap penyakit ini sehingga mereka tidak berobat sampai tuntas (Mills, 1997; Djaafar, 2003).

Berdasarkan hasil survei epidemiologi yang dilakukan di tujuh propinsi di Indonesia tahun 1994-1996, didapati bahwa prevalensi OMSK secara umum adalah 3,8%. Disamping itu pasien OMSK merupakan 25% dari pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia. Angka kejadian OMSK yang rendah, di negara maju ditemukan pada pemeriksaan berkala, pada anak sekolah yang dilakukan oleh School Health Service di Inggris Raya sebesar 0,9%, tetapi prevalensi OMSK yang tinggi juga masih ditemukan pada ras tertentu di negara maju, seperti Native American Apache

8,2%, Indian Kanada 6%, dan Aborigin Australia 25% (Djaafar, 2005). Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien (Aboet, 2007), sedangkan pada tahun 2007 dan 2008 sebesar 28 dan 29%.

Survei prevalensi diseluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi dalam hal definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban dunia akibat OMSK melibatkan 65–330 juta orang dengan telinga berair, 60% di antaranya (39–200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan (Aboet, 2007).

Pasien OMSK yang datang ke RSCM Jakarta (2001) kurang lebih 90% berasal dari masyarakat sosioekonomi lemah. Namun demikian sebagian besar (± 80%) dari mereka secara tidak teratur sudah pernah berobat ke


(20)

dokter umum, dokter THT, atau diobati sendiri berulang-ulang dengan obat tetes. Sebagian dari pasien ini datang oleh karena ketulian yang sudah mengganggu komunikasi atau sudah disertai tanda-tanda komplikasi (Djaafar, 2001).

Gangguan pendengaran yang terjadi dapat bervariasi. Pada umumnya gangguan pendengaran yang terjadi berupa tuli konduktif namun dapat pula bersifat tuli saraf atau tuli campuran apabila sudah terjadi gangguan pada telinga dalam misalnya akibat proses infeksi yang berkepanjangan atau infeksi yang berulang. Beratnya ketulian bergantung kepada besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara di telinga tengah (Djaafar, 2004). Perforasi yang lebih besar dapat menyebabkan lebih banyak kehilangan suara yang ditransmisikan ke telinga dalam (Maqbool, 1993). Suri dkk dalam penelitiannya terhadap penderita OMSK tipe benigna di R.S. Sardjito Yogyakarta menjumpai adanya hubungan yang bermakna antara besarnya perforasi dengan derajat ketulian (Suri, Soekardono & Hulu, 1999). Hal yang sama juga dijumpai oleh Rambe dalam penelitiannya terhadap penderita OMSK di RSUP. H. Adam Malik Medan, bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara besarnya perforasi dengan derajat ketulian (Rambe, 2002).

Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi seringkali kolesteatoma bertindak sebagai penghantar suara ke foramen ovale sehingga gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologis sangat hebat


(21)

(Djaafar, 2004). Pasien akan merasakan pendengaran yang makin buruk apabila liang telinga dipenuhi oleh sekret dan akan berkurang apabila sekret dibersihkan (Ramalingam, 1990).

Pada kenyataannya, gangguan pendengaran pada OMSK tidak seluruhnya tuli konduktif murni. Tidak sedikit penderita OMSK menderita tuli sensorineural atau tuli campur. Setiap kali ada infeksi didalam telinga tengah, maka ada kemungkinan produk-produk infeksi akan menyebar melalui fenestra rotundum ke telinga dalam, dan akan mengakibatkan ketulian sensorineural (Sari dan Samiharja, 1999).

Rambe pada penelitiannya yang dilakukan antara April 2002 – Juli 2002 di RSUP. H. Adam Malik Medan terhadap 94 sampel telinga penderita OMSK, mendapatkan jenis gangguan pendengaran yang terbanyak dijumpai adalah tuli konduktif sebanyak 75 telinga (79,8%), tuli campur sebanyak 16 telinga (17%) dan tuli saraf sebanyak 3 telinga (3,2%) (Rambe, 2002).

Wisnubroto pada penelitian retrospektif di RS. Soetomo Surabaya antara tahun 1999 – 2002, dari data rekam medis penderita OMSK yang telah menjalani pembedahan telinga, tercatat hanya ada 475 rekam medis yang dilengkapi hasil audiogram prabedah. Yang mengalami tuli konduktif terdiri dari 93 (19,6%) kasus OMSK reversibel, 140 (29,5%) kasus OMSK benigna dan 115 (24,2%) sebagian kasus OMSK maligna. Sisanya sebanyak 127 (26,7%) kasus OMSK maligna sudah mengalami tuli perseptif berat sampai total (Wisnubroto, 2003).


(22)

Morisson (1969) melaporkan bahwa 25% dari kasus dengan peradangan telinga tengah mengalami tuli sensorineural (Yeoh, 1997).

English et al (1973) pada penelitian terhadap 404 pasien dengan OMSK, menjumpai adanya suatu hubungan antara lamanya penyakit dengan derajat tuli sensorineural (Yeoh, 1997).

Cusimano et al (1989) juga melaporkan bahwa lamanya penyakit mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tuli sensorineural dan tidak dijumpai adanya hubungan dengan umur sewaktu terjadinya serangan (Yeoh, 1997).

Nani dkk pada penelitiannya untuk mendeteksi ketulian sensorineural terhadap penderita OMSK unilateral di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Ujung Pandang antara April 1996 – September 1996 menemukan dari 22 penderita yang ditemukan, terdapat 9 (40,9%) kasus yang terdeteksi adanya ketulian sensorineural (Nani, Mangape & Sedjawidada, 1996).

De Azevedo et al pada penelitiannya terhadap 115 penderita OMSK dengan dan tanpa kolesteatoma, mendapatkan 78 penderita OMSK dengan kolesteatoma dan sebanyak 15 penderita (13%) mengalami tuli sensorineural (De Azevedo et al, 2007).

Data subdivisi otologi THT-KL RSCM Jakarta antara Januari 2002 – Desember 2006, dari 212 penderita OMSK tipe maligna yang menjalani pembedahan telinga, didapatkan 53 penderita (25%) mengalami tuli sensorineural (Restuti, 2007).


(23)

Insiden tuli campur (mixed hearingloss = MHL) pada OMSK telah dilaporkan oleh banyak penulis. Paparella et al, sebagaimana dikutip oleh Shenoi (1987) mendapatkan 279 kasus MHL diantara 500 telinga dengan OMSK. Gardenghi melaporkan insiden MHL pada OMSK adalah 42%. Sementara Bluvesteis melaporkan insiden MHL pada OMSK ini adalah 38%. Nani (1996) melaporkan terdapat sekitar 5% dari 22 penderita OMSK mengalami MHL. Di RSUP Dr. Kariadi Semarang, insiden MHL juga pernah dilaporkan oleh Pradipto sebesar 12,75% dan Dullah (1996) mendapatkan

MHL sebanyak 44,5% dari 54 telinga dengan OMSK (Sari dan Samiharja, 1999).

Santoso dan Ahadiah pada penelitiannya terhadap penderita OMSK tipe maligna dengan komplikasi ekstrakranial antara Januari 2004 – Desember 2006 di RS. Dr. Soetomo Surabaya, mendapatkan dari 163 penderita ditemukan 56 penderita (34,36%) mengalami komplikasi ekstrakranial dan jenis ketulian yang terbanyak ditemukan adalah MHL

(46,43%) (Santoso dan Ahadiah, 2007).

Terjadinya MHL pada OMSK ini menunjukkan bahwa lesi fungsional telah terjadi di telinga tengah dan juga telinga dalam (Sari dan Samiharja, 1999).

Djafaar dalam penelitiannya yang dilakukan antara 1991–1993 di RSCM Jakarta, menjumpai dari 145 pasien OMSK tipe berbahaya yang berobat ditemukan 88 penderita (60%) tuli konduktif sedang berat, 8 orang penderita (6%) dengan tuli campur, 18 penderita (12%) dengan tuli saraf


(24)

berat, dan sisanya 31 penderita (22%) tidak ada audiogramnya (Djaafar, 2001).

Evaluasi audiometri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi koklea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang, besarnya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan, dan manfaat dari operasi rekonstruksi telinga tengah terhadap perbaikan pendengaran dapat ditentukan (Ballenger, 1997; Djaafar, 2000).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara jenis OMSK dengan gangguan pendengaran.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana hubungan jenis OMSK dengan gangguan pendengaran?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan jenis OMSK dengan gangguan pendengaran. 1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan antara jenis OMSK dengan jenis dan derajat ketulian.


(25)

derajat ketulian.

c. Mengetahui hubungan antara jenis perforasi membran timpani dengan jenis dan derajat ketulian.

1.4 Hipotesa

a. Ada hubungan antara jenis OMSK dengan jenis dan derajat ketulian.

b. Ada hubungan antara lamanya sakit dengan jenis dan derajat ketulian.

c. Ada hubungan antara jenis perforasi membran timpani dengan jenis dan derajat ketulian.

1.5 Manfaat Penelitian

a. Untuk memotivasi penderita OMSK agar dilakukan operasi Mastoidektomi dan Timpanoplasti.

b. Sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan rekonstruksi dari telinga tengah.

c. Sebagai pengembangan keilmuan di bidang Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.


(26)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Embriologi Telinga Tengah

Telinga tengah berasal dari bagian endoderm kantong faringeal pertama, disamping itu bersama-sama dengan telinga luar, telinga tengah juga mempunyai komponen mesodermal dari lengkung faringeal pertama dan kedua. Kavum timpani dibentuk dari kantong faringeal pertama. Kantong faringeal ini telah nyata terlihat pada minggu ke–3 perkembangan dan pada minggu ke–6 telah memanjang dan menjadi pipih pada ujung distalnya dan bersandar pada lekuk brankial pertama. Jaringan ikat segera tumbuh diantara kedua permukaan yang saling berdekatan tersebut dan akan membentuk tunika propria membran timpani dan manubrium maleus. Menjelang minggu ke–8, fundus kantong faringeal yang telah mendatar akan meluas membentuk awal ruang telinga tengah. Ruang ini hanya terdapat pada setengah bagian bawah telinga tengah sedang sisanya berisi jaringan ikat (Austin, 1997).

Pada akhir bulan ke–2, bagian proksimal kantong tersebut mengecil dan memanjang disebabkan oleh karena pertumbuhan kepala dan membentuk tuba eustachius sejati. Tuba eustachius mempunyai panjang 17-18 mm dan terletak mendatar pada saat lahir dan menjadi dua kali lebih panjang yaitu sekitar 35 mm serta terletak dengan posisi 450 pada usia dewasa (Austin, 1997; Wright, 1997).


(27)

2.1.1 Perkembangan membran timpani

Membran timpani dibentuk oleh pertemuan antara meatal plug dengan bagian endodermal resesus tubo timpanikus. Daerah pertemuan tersebut miring, sehingga membuat membran timpani terletak miring sesuai dengan sumbu dari liang telinga luar (Anson, 1991). Saraf korda timpani, handle dari stapes dan lapisan mesoderm terdapat diantara meatal plug dan resesus tubo timpanikus (Anson, 1991; Wright, 1997).

Membran timpani terdiri dari tiga lapisan :

1. Lapisan luar : lapisan epitel berasal dari ektodermal yang merupakan lanjutan dari kulit liang telinga luar

2. Lapisan tengah : lapisan fibrosa berasal dari mesodermal yang berisi korda timpani dan manibrium maleus

3. Lapisan dalam : lapisan mukosa berasal dari endodermal yang merupakan lanjutan dari membran mukosa telinga tengah (Anson, 1991; Wright, 1997).

Pada awal minggu ke – 12 di dalam rongga telinga tengah, terbentuk 4 sakus mukosa yang membentuk formasi dari telinga tengah, terdiri dari :


(28)

a. Sakus antikus yang akan membentuk kantong anterior dari Von Troltsch

b. Sakus medius membentuk resesus epitimpanikus dan mengalami pneumatisasi pada bagian petrosa dari tulang temporal

c. Sakus superior membentuk kantong posterior dari Von Troltsch

dan ruang inkuidal inferior serta mengalami pneumatisasi pada bagian mastoid tulang temporal

d. Sakus posterior (sakus postikus), meluas ke posterior membentuk tonjolan foramen rotundum, tonjolan foramen ovale dan sinus timpanikus (Wright, 1997).

Lipatan mukosa kavum timpani terbentuk ketika kantong-kantong mukosa tersebut berhubungan satu sama lain. Pada saat terbentuk kavum timpani berisi cairan mukoid yang secara perlahan-lahan diabsorbsi. Pada saat lahir kavum timpani dan struktur tang terdapat didalamnya sebagaimana telinga dalam telah mempunyai bentuk dan ukuran dewasa (Wright, 1997).

2.1.2 Perkembangan tulang-tulang pendengaran

Stapes, maleus dan inkus berasal dari mesodermal dari dua buah lengkung faringeal pertama. Tulang-tulang pendengaran tersebut


(29)

berkembang secara ekstra mukosa walaupun dia tetap berada di dalam kavum timpani. Tulang rawan lengkung faringal I (tulang rawan Meckel’s)

terletak sebelah anterior dari resesus tubo timpanikus (kantong faringeal I) dan tulang rawan lengkung faringeal II (tulang rawan Reichert’s) terletak sebelah posterior dari resesus tubo timpanikus (Anson, 1991). Bagian superior dari tulang rawan Meckel’s membentuk maleus, inkus, ligamentum maleus anterior dan ligamentum speno-mandibular (Austin, 1997).

Pada mulanya maleus dan inkus berupa massa yang tunggal, kemudian pada minggu ke–8 dari kehidupan fetus terpisah dengan terbentuknya sendi diantara maleus dan inkus tersebut. Tulang rawan lengkung ke II (Reichert’s) membentuk manubrium maleus dan prosesus longus dari inkus. Prosesus anterior meleus terbentuk secara terpisah dari tulang membran, manubrium maleus meluas ke bawah dan terjepit diantara ektoderm celah faringeal pertama dengan resesus tubo timpanikus sepanjang saraf korda timpani, akhirnya tertanam di dalam setengah atas dari membran timpani. Muskulus tensor timpani juga berasal dari mesodermal lengkung faringeal pertama sehingga mempunyai hubungan dengan maleus (Austin, 1997).

Ujung atas dari tulang rawan Reichert’s membentuk sebagian besar stapes, prosesus stiloideus, ligamentum stilohioid dan bagian atas dari badan hioid. Fiksasi kongenital dari stapes terjadi oleh karena kegagalan pemisahan telapak kaki stapes (segretion of the foot plate) dari otik kapsul dan harus dibedakan dari otosklerosis (Austin, 1997).


(30)

Selama minggu ke–4 embriologi, lengkung kedua mesodermal membentuk blastema yang oleh saraf ketujuh dibagi menjadi stapes, interhiale dan laterohiale. Pada minggu ke–5 dan ke–6 arteri stapedius yang merupakan arteri dari lengkung brankial ke–2 menembus stapes primitif dan berubah bentuk menjadi lingkaran, kemudian arteri ini mengalami regresi tapi sering juga persisten, inilah yang sering mengakibatkan perdarahan pada saat operasi telinga tengah. Dalam minggu ke–8 sendi inkudostapedial terbentuk dan pada minggu ke–10 stapes digambarkan berbentuk seperti sanggurdi. Tulang interhiale akhirnya menjadi muskulus stapedius beserta tendonnya sedangkan hubungan antara laterohiale dengan kapsul otik mebentuk dinding anterior kanalis fasialis dari prosesus piramidalis (Wright, 1997).

Proses terbentuknya inkus dimulai pada usia 16 minggu, leher maleus terbentuk usia 17 minggu dan stapes usia 19 minggu. Bentuk dan ukuran maleus, inkus dan stapes sama pada saat lahir dan dewasa. Manubrium maleus tidak pernah menjadi tulang dan tetap sebagai tulang rawan. Perubahan bentuk dari maleus dan inkus berlanjut setelah lahir dengan pembentukan tulang sekunder dan tersier sedangkan stapes tetap (Wright, 1997).

2.2 Anatomi Telinga Tengah

Telinga adalah organ fungsi pendengaran dan pengatur keseimbangan. Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu


(31)

telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Soetirto, Hendarmin, Bashiruddin, 2004). Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius dan prosesus mastoideus (Dhingra, 2007).

Membran Timpani

Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani yang memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran timpani ini berbentuk oval dan mempunyai ukuran panjang vertikal rata-rata 9-10 mm, dan diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm, tebal kira-kira 0,1 mm. Membran ini tipis, licin dan berwarna putih mutiara (Dhingra, 2007). Membran timpani terdiri dari tiga lapisan, lapisan luar terdiri dari epitel skuamosa, bagian medial merupakan lanjutan dari mukosa telinga tengah. Lapisan tengah merupakan lapisan fibrosa yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan radial dan sirkuler (sirkumferensial). Lapisan dalam dilapisi epitel kuboidal (Yates dan Anari, 2008).

Secara anatomis membran timpani dibagi dalam dua bagian yaitu: 1. Pars Tensa, merupakan bagian terbesar dari membran timpani

merupakan suatu permukaan yang tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di anulus timpanikus pada sulkus timpanikus pada tulang dari tulang temporal.

2. Pars Flaksida atau membran Sharpnell, letaknya di bagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida dibatasi oleh


(32)

dua lipatan yaitu plika maleolaris anterior (lipatan muka) dan plika maleolaris posterior (lipatan belakang) (Dhingra, 2007).

Kavum Timpani

Kavum timpani mempunyai bentuk ireguler, bagian lateral terdapat lekukan, antara dinding lateral dan dinding medial kavum timpani terisi udara. Kavum timpani terdiri dari tiga bagian yaitu supero-inferior berhubungan dengan membran timpani disebut epitimpani atau atik, yang terletak dipinggir atas dari membran timpani. Setentang membran timpani adalah mesotimpani dan dibawah pinggir membran timpani disebut hipotimpani (Colman, 1993; Yates dan Anari, 2008).

Kavum timpani mempunyai enam dinding yaitu bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior dan dinding posterior (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Atap kavum timpani dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani. Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fossa media (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Lantai kavum timpani dibentuk oleh tulang tipis yang memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus vena jugularis yang dinding superiornya dibatasi oleh lempeng tulang yang mempunyai ketebalan yang bervariasi, bahkan kadang-kadang hanya dibatasi oleh mukosa dengan kavum timpani (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).


(33)

Dinding medial kavum timpani memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini juga merupakan dinding lateral dari telinga dalam. Dinding ini pada mesotimpani menonjol kearah kavum timpani yang disebut promontorium. Tonjolan ini oleh karena didalamnya terdapat koklea (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Dinding posterior kavum timpani dekat keatap, mempunyai satu saluran disebut aditus yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpani. Pada bagian posterior ini, dari medial ke lateral terdapat eminensia piramidalis yang terletak di bagain supero-medial dinding posterior, kemudian sinus posterior yang membatasi eminensia piramidalis dengan tempat keluarnya korda timpani (Helmi, 2005; Dhingra 2007).

Dinding anterior kavum timpani sebagian besar berhadapan dengan arteri karotis, dibatasi lempengan tulang tipis. Dibagian atas dinding anterior terdapat semikanal nervus tensor timpani yang terletak persis di atas muara tuba eustachius (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani, sedangkan dibagian epitimpani dinding lateralnya adalah skutum yaitu lempeng tulang yang merupakan bagian pars skuamosa tulang temporal (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Isi kavum timpani terdiri dari :

1. Tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, stapes).


(34)

3. Saraf korda timpani, merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani dari kanalikulus posterior yang menghubungkan dinding lateral dan posterior.

4. Saraf pleksus timpanikus adalah berasal dari nervus timpani cabang dari nervus glosofaringeus dan dengan nervus karotikotimpani yang berasal dari pleksus simpatetik di sekitar arteri karotis interna (Dhingra, 2007).

Tuba Eustachius

Tuba eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan antara kavum timpani dengan nasofaring (Helmi, 2005).

Tuba eustachius terdiri dari dua bagian yaitu bagian tulang yang terdapat pada bagian belakang dan pendek (sepertiga bagian) dan bagian tulang rawan yang terletak pada bagian depan dan panjang (duapertiga bagian) (Helmi, 2005).

Fungsi tuba eustachius adalah sebagai ventilasi telinga yang mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring menuju ke kavum timpani (Healy dan Rosbe, 2003; Helmi, 2005).


(35)

Prosesus mastoideus baru terbentuk pada usia satu tahun, antrum mastoideum adalah ruangan pertama dan yang terbesar yang terdiri dari sel-sel mastoid. Sel-sel-sel ini berhubungan satu dengan lain dan pertumbuhan dari sel-sel mastoid tiap orang berbeda. Pneumatisasi prosesus mastoideus menurut tipe perkembangannya dibagi atas prosesus mastoideus sklerotik, diploik dan pneumatik. Bila drainase tidak baik pada mastoid akan mudah terjadi radang (Helmi, 2005).

2.3 Fungsi Telinga Tengah

Telinga tengah sangat penting karena berfungsi sebagai penghantar gelombang suara dari telinga luar ke telinga dalam. Suara yang ditangkap dan dikumpulkan oleh pinna (daun telinga) diarahkan ke liang telinga, kemudian diteruskan ke membran timpani. Gelombang suara ini membentuk suatu tekanan yang kemudian menggetarkan membran timpani. Getaran ini akan menggerakkan tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, stapes). Pergerakan tulang-tulang pendengaran ini selanjutnya akan menggetarkan foramen ovale sehingga mengakibatkan bergetarnya cairan yang berada di telinga dalam. Dari peristiwa ini dapat disimpulkan bahwa telinga tengah berfungsi merubah getaran suara di udara yang ditangkap oleh membran timpani, menjadi getaran mekanis pada tulang-tulang pendengaran dan selanjutnya melalui foramen ovale merubah getaran cairan di dalam labirin (Moore, Ogren & Yonkers, 1989).


(36)

2.4 Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Gelombang tersebut menggetarkan membran timpani, diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang-tulang pendengaran. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reisner yang mendorong endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter kedalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2004).

2.5 Otitis Media Supuratif Kronis 2.5.1 Definisi

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari


(37)

telinga (otorea) lebih dari tiga bulan baik terus menerus ataupun hilang timbul (Acuin, 2002; Telian dan Schmalbach, 2002). Penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksi kronis bidang THT di Indunesia yang masih sering menimbulkan ketulian dan kematian (Djaafar, 2001).

2.5.2 Kekerapan

Angka kejadian OMSK jauh lebih tinggi di negara-negara sedang berkembang dibandingkan dengan negara maju, karena beberapa hal misalnya higiene yang kurang, faktor sosioekonomi, gizi yang rendah, kepadatan penduduk serta masih ada pengertian masyarakat yang salah terhadap penyakit ini sehingga mereka tidak berobat sampai tuntas (Mills, 1997; Djaafar, 2003).

Berdasarkan hasil survei epidemiologi yang dilakukan di tujuh propinsi di Indonesia tahun 1994-1996, didapati bahwa prevalensi OMSK secara umum adalah 3,8%. Disamping itu pasien OMSK merupakan 25% dari pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia. Angka kejadian OMSK yang rendah, di negara maju ditemukan pada pemeriksaan berkala, pada anak sekolah yang dilakukan oleh School Health Service di Inggris Raya sebesar 0,9%, tetapi prevalensi OMSK yang tinggi juga masih ditemukan pada ras tertentu di negara maju, seperti Native American Apache

8,2%, Indian Kanada 6%, dan Aborigin Australia 25% (Djaafar, 2005). Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien


(38)

OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien (Aboet, 2007), sedangkan pada tahun 2007 dan 2008 adalah 28 dan 29%.

Survei prevalensi diseluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi dalam hal definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban dunia akibat OMSK melibatkan 65–330 juta orang dengan telinga berair, 60% di antaranya (39–200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan (Aboet, 2007).

2.5.3 Patogenesis

Hingga saat ini patogenesis OMSK masih belum diketahui dengan jelas. Goodhill dan Paparella menyatakan bahwa OMSK merupakan penyakit yang sebagian besar sebagai komplikasi infeksi saluran pernapasan bagian atas, kelanjutan dari otitis media akut yang tidak sembuh. Kemungkinan besar proses primer terjadi pada sistem tuba eustachius, telinga tengah dan selulae mastoidea. Proses ini khas, berjalan perlahan-lahan secara kontinu dan dinamis, berakibat hilangnya sebagian mambran timpani sehingga memudahkan proses menjadi kronik (Ballenger, 1997; Sheahan, Donnelly & Kane, 2001). Faktor-faktor yang menyebabkan proses infeksi menjadi kronik sangat bervariasi, antara lain :

1. Gangguan fungsi sistem tuba eustachius yang kronik akibat infeksi hidung dan tenggorok yang kronik atau berulang, atau adanya obstruksi tuba eustachius parsial atau total.


(39)

2. Perforasi membran timpani yang menetap.

3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik yang menetap pada telinga tengah.

4. Gangguan aerasi telinga tengah atau rongga mastoid yang sifatnya menetap. Hal ini disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulasi atau timpanoslerosis.

5. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelembaban umum atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh (Ballenger, 1997; Antonelli, 2006).

2.5.4 Patologi

Infeksi kronis maupun infeksi akut berulang pada hidung dan tenggorok dapat menyebabkan gangguan fungsi tuba eustachius sehingga rongga timpani mudah mengalami gangguan fungsi hingga infeksi dengan akibat mengeluarkan sekret terus-menerus atau hilang timbul (Adhikari, 2007).

Peradangan pada membran timpani menyebabkan proses kongesti vaskuler, sehingga terjadi suatu daerah iskemi, selanjutnya terjadi daerah nekrotik yang berupa bercak kuning, yang bila disertai tekanan akibat penumpukan sekret dalam rongga timpani dapat mempermudah terjadinya perforasi membran timpani. Perforasi yang menetap akan menyebabkan rongga timpani selalu berhubungan dengan dunia luar, sehingga kuman dari


(40)

kanalis auditorius eksternus dan dari luar dapat dengan bebas masuk ke dalam rongga timpani, menyebabkan infeksi mudah berulang atau bahkan berlangsung terus-menerus. Keadaan kronik ini lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman gambaran patologi ini disebabkan oleh proses yang bersifat kambuhan atau menetap, efek dari kerusakan jaringan, serta pembentukan jaringan parut (Lasisi, 2008; Lin, Lin, Lee et al, 2009).

Selama fase aktif, epitel mukosa mukosa mengalami perubahan menjadi mukosa sekretorik dengan sel goblet yang mengekskresi sekret mukoid atau mukopurulen. Adanya infeksi aktif dan sekret persisten yang berlangsung lama menyebabkan mukosa mengalami pross pembentukan jaringan granulasi dan atau polip. Jaringan patologis dapat menutup membran timpani, sehingga menghalangi drainase, menyebabkan penyakit menjadi persisten (Kenna dan Latz, 2006).

Perforasi membran timpani ukurannya bervariasi. Pada proses penutupannya dapat terjadi pertumbuhan epitel skuamosa masuk ke telinga tengah, kemudian terjadi proses deskuamasi normal yang akan mengisi telinga tengah dan antrum mastoid, selanjutnya membentuk kolesteatoma akuisita sekunder, yang merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kuman patogen dan bakteri pembusuk. Kolesteatoma ini mampu menghancurkan tulang di sekitarnya termasuk rangkaiain tulang pendengaran oleh reaksi erosi dari enzim osteolitik atau kolegenase yang dihasilkan oleh proses kolesteatoma dalam jaringan ikat subepitel. Pada


(41)

proses penutupan membran timpani dapat juga terjadi pembentukan membran atrofi dua lapis tanpa unsur jaringan ikat, dimana membran bentuk ini akan cepat rusak pada periode infeksi aktif (Kenna dan Latz, 2006; Bhat dan Manjunath, 2007).

2.5.5 Etiologi

OMSK dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

a. Lingkungan

Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi, dimana kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet dan tempat tinggal yang padat.

b. Genetik

Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.


(42)

Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi keadaan kronis.

d. Infeksi

Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah baik aerob ataupun anaerob menunjukkan organisme yang multipel. Organisme yang terutama dijumpai adalah gram negatif,

bowel-type flora dan beberapa organisme lainnya.

e. Infeksi saluran napas atas

Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah dan menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.

f. Autoimun

Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap otitis media kronis.


(43)

Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang bukan alergi.

h. Gangguan fungsi tuba eustachius.

Pada otitis media supuratif kronis aktif, tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi apakah hal ini merupakan fenomena primer atau sekunder masih belum diketahui (Ballenger, 1997; Kenna dan Latz, 2006; Akinpelu, Amusa, Komolafe et al, 2007).

2.5.6 Klasifikasi

Secara klinis OMSK dapat dibagi atas dua tipe yaitu:

a. Tipe Tubotimpanal

Disebut juga tipe aman/benigna, karena jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Biasanya tipe ini didahului oleh gangguan fungsi tuba yang menyebabkan kelainan di kavum timpani. Tipe ini disebut juga dengan tipe mukosa karena proses peradangannya biasanya hanya pada mukosa telinga tengah. Perforasi pada tipe ini biasanya letaknya sentral.

b. Tipe Atikoantral

Disebut juga tipe maligna/berbahaya karena dapat menimbulkan komplikasi yang serius dan mengancam jiwa penderita. Biasanya


(44)

dapat juga terjadi proses erosi tulang atau kolesteatoma, granulasi atau osteitis. Perforasi letaknya marginal atau atik (Ballenger, 1997, Lasisi, Olaniyan, Mulbi et al, 2007).

2.5.7 Gejala dan Tanda a. Telinga berair (otore)

Otore (aural discharge) merupakan manifestasi otitis media kronis yang paling sering dijumpai (Mills, 1997). Pada OMSK tipe benigna, cairan yang keluar biasanya bersifat mukopurulen yang tidak berbau busuk. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Sedangkan pada OMSK tipe maligna, sekret yang keluar bersifat purulen dan berbau busuk, berwarna abu-abu kotor kekuning-kuningan oleh karena adanya kolesteatoma yang menyebabkan proses degenerasi epitel dan tulang (Mills, 1997; Djaafar, 2004).

Keluarnya sekret dapat didahului oleh infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang (Mills, 1997). Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatoma yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer tanpa disertai rasa nyeri mengarahkan kemungkinan suatu tuberkulosis (Paparella, Adams & Levine, 1997).


(45)

Pada umumnya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatoma dapat menghantarkan bunyi dengan efektif ke fenestra ovale (Paparella, Adams & Levine, 1997).

c. Nyeri

Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan suatu tanda yang serius. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya duramater atau dinding sinus lateralis atau ancaman pembentukan abses otak (Paparella, Adams & Levine, 1997).

d. Vertigo

Hal ini merupakan gejala serius lainnya. Gejala ini memberikan kesan adanya suatu fistula, berarti ada erosi pada labirin tulang dan sering terjadi pada kanalis semisirkularis horizontal (Paparella, Adams & Levine, 1997; Helmi, 2005).

e. Perforasi membran timpani

Perforasi membran timpani dapat bersifat sentral, subtotal, total, atik ataupun marginal. Pada perforasi atik atau marginal perlu dicurigai adanya kolesteatoma. Jaringan granulasi atau polip dapat juga ditemukan. (Helmi, 2005).


(46)

Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna:

a. Terdapat abses atau fistel retroaurikuler.

b. Terdapat polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam telinga tengah.

c. Terlihat kolesteatoma pada telinga tengah terutama di epitimpani. d. Sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma).

e. Terlihat bayangan kolesteatoma pada foto Rontgen mastoid (Djaafar, 2004).

2.5.8 Diagnosis

Diagnosis OMSK dapat ditegakkan berdasarkan :

a. Anamnesis

Anamnesis yang lengkap sangat membantu menegakkan diagnosis OMSK. Biasanya penderita datang dengan riwayat otore menetap atau berulang lebih dari tiga bulan. Penurunan pendengaran juga merupakan keluhan yang paling sering. Terkadang penderita juga mengeluh adanya vertigo dan nyeri bila terjadi komplikasi.

b. Pemeriksaan otoskopi

Pemeriksaan otoskopi dapat melihat lebih jelas lokasi perforasi, kondisi sisa membran timpani dan kavum timpani. OMSK ditegakkan jika ditemukan perforasi membran timpani.


(47)

Pemeriksaan audiometri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi koklea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan hantaran tulang serta penilaian diskriminasi tutur, besarnya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan dan bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan pendengarannya.

d. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi dari mastoid perlu untuk melihat perkembangan pneumatisasi mastoid dan perluasan penyakit. Foto polos dan CT Scan dapat menunjukkan adanya gambaran kolesteatoma dan keadaan tulang-tulang pendengaran juga dapat diperhatikan.

e. Pemeriksaan mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan bakteri penyebab OMSK dan antibiotika yang tepat (Ballenger, 1997; Mills, 1997; Helmi, 2005).

2.5.9 Komplikasi

Adams (1989) mengemukakan klasifikasi komplikasi sebagai berikut : A. Komplikasi di telinga tengah :

1. Perforasi membran timpani persisten 2. Erosi tulang pendengaran


(48)

B. Komplikasi di telinga dalam : 1. Fistula labirin

2. Labirinitis supuratif 3. Tuli saraf (sensorineural) C. Komplikasi di ekstradural :

1. Abses ekstradural

2. Trombosis sinus lateralis 3. Petrositis

D. Komplikasi ke susunan saraf pusat 1. Menigitis

2. Abses otak

3. Hidrosefalus otitis (Kenna dan Latz, 2006).

2.5.10 Penatalaksanaan

Ada dua hal yang penting diperhatikan apabila kita merawat penderita OMSK yaitu kelainan patologi yang berperan sebagai sumber infeksi di dalam telinga tengah serta seberapa jauh kelainan patologi tersebut sudah mengganggu fungsi pendengaran (Wang, Nadol, Austin et al, 2000; Yuen, Ho, Wei et al, 2000).

Prinsip terapi OMSK tipe benigna adalah konservatif atau medikamentosa. Bila sekret keluar terus-menerus, maka diberikan obat pencuci telinga berupa larutan H2O2 3% selama tiga sampai lima hari. Setelah


(49)

telinga yang mengandung antibiotika. Secara oral diberikan antibiotika sesuai kultur dan tes sensitivitas (Alper, Dohar, Gulhan et al, 2000; Djaafar, 2004).

Bila sekret telah kering tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran (Djaafar, 2004).

Prinsip pengobatan pada OMSK tipe maligna adalah pembedahan, yaitu mastoidektomi. Jadi bila terdapat OMSK tipe maligna maka terapi yang tepat adalah dengan melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses retroaurikular, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi (Veldman, Braunius, 1998; Djaafar, 2004).

2.6 Gangguan Pendengaran pada Otitis Media Supuratif Kronis

Gangguan pendengaran yang terjadi dapat bervariasi. Pada umumnya gangguan pendengaran yang terjadi berupa tuli konduktif namun dapat pula bersifat tuli saraf atau tuli campuran apabila sudah terjadi gangguan pada telinga dalam misalnya akibat proses infeksi yang berkepanjangan atau infeksi yang berulang. Beratnya ketulian bergantung kepada besar dan letak


(50)

perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara di telinga tengah (Djaafar, 2004). Perforasi yang lebih besar dapat menyebabkan lebih banyak kehilangan suara yang ditransmisikan ke telinga dalam (Maqbool, 1993). Suri dkk dalam penelitiannya terhadap penderita OMSK tipe benigna di R.S. Sardjito Yogyakarta menjumpai adanya hubungan yang bermakna antara besarnya perforasi dengan derajat ketulian (Suri, Soekardono & Hulu, 1999). Hal yang sama juga dijumpai oleh Rambe dalam penelitiannya terhadap penderita OMSK di RSUP. H. Adam Malik Medan, bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara besarnya perforasi dengan derajat ketulian (Rambe, 2002).

Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi seringkali kolesteatoma bertindak sebagai penghantar suara ke foramen ovale sehingga gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologis sangat hebat (Djaafar, 2004). Pasien akan merasakan pendengaran yang makin buruk apabila liang telinga dipenuhi oleh sekret dan akan berkurang apabila sekret dibersihkan (Ramalingam, 1990).

Pada kenyataannya, gangguan pendengaran pada OMSK tidak seluruhnya tuli konduktif murni. Tidak sedikit penderita OMSK menderita tuli sensorineural atau tuli campur. Setiap kali ada infeksi didalam telinga tengah, maka ada kemungkinan produk-produk infeksi akan menyebar melalui fenestra rotundum ke telinga dalam, dan akan mengakibatkan ketulian sensorineural (Sari dan Samiharja, 1999).


(51)

Rambe pada penelitiannya yang dilakukan antara April 2002 – Juli 2002 di RSUP. H. Adam Malik Medan terhadap 94 sampel telinga penderita OMSK, mendapatkan jenis gangguan pendengaran yang terbanyak dijumpai adalah tuli konduktif sebanyak 75 telinga (79,8%), tuli campur sebanyak 16 telinga (17%) dan tuli saraf sebanyak 3 telinga (3,2%) (Rambe, 2002).

Wisnubroto pada penelitian retrospektif di RS. Soetomo Surabaya antara tahun 1999 – 2002, dari data rekam medis penderita OMSK yang telah menjalani pembedahan telinga, tercatat hanya ada 475 rekam medis yang dilengkapi hasil audiogram prabedah. Yang mengalami tuli konduktif terdiri dari 93 (19,6%) kasus OMSK reversibel, 140 (29,5%) kasus OMSK benigna dan 115 (24,2%) sebagian kasus OMSK maligna. Sisanya sebanyak 127 (26,7%) kasus OMSK maligna sudah mengalami tuli perseptif berat sampai total (Wisnubroto, 2003).

Morisson (1969) melaporkan bahwa 25% dari kasus dengan peradangan telinga tengah mengalami tuli sensorineural (Yeoh, 1997).

English et al (1973) pada penelitian terhadap 404 pasien dengan OMSK, menjumpai adanya suatu hubungan antara lamanya penyakit dengan derajat tuli sensorineural (Yeoh, 1997).

Cusimano et al (1989) juga melaporkan bahwa lamanya penyakit mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tuli sensorineural dan tidak dijumpai adanya hubungan dengan umur sewaktu terjadinya serangan (Yeoh, 1997).


(52)

Nani dkk pada penelitiannya untuk mendeteksi ketulian sensorineural terhadap penderita OMSK unilateral di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Ujung Pandang antara April 1996 – September 1996 menemukan dari 22 penderita yang ditemukan, terdapat 9 (40,9%) kasus yang terdeteksi adanya ketulian sensorineural (Nani, Mangape & Sedjawidada, 1996).

De Azevedo et al pada penelitiannya terhadap 115 penderita OMSK dengan dan tanpa kolesteatoma, mendapatkan 78 penderita OMSK dengan kolesteatoma dan sebanyak 15 penderita (13%) mengalami tuli sensorineural (De Azevedo et al, 2007).

Data subdivisi otologi THT-KL RSCM Jakarta antara Januari 2002 – Desember 2006, dari 212 penderita OMSK tipe maligna yang menjalani pembedahan telinga, didapatkan 53 penderita (25%) mengalami tuli sensorineural (Restuti, 2007).

Insiden tuli campur (mixed hearingloss = MHL) pada OMSK telah dilaporkan oleh banyak penulis. Paparella et al, sebagaimana dikutip oleh Shenoi (1987) mendapatkan 279 kasus MHL diantara 500 telinga dengan

OMSK. Gardenghi melaporkan insiden MHL pada OMSK adalah 42%.

Sementara Bluvesteis melaporkan insiden MHL pada OMSK ini adalah 38%. Nani (1996) melaporkan terdapat sekitar 5% dari 22 penderita OMSK mengalami MHL. Di RSUP Dr. Kariadi Semarang, insiden MHL juga pernah dilaporkan oleh Pradipto sebesar 12,75% dan Dullah (1996) mendapatkan

MHL sebanyak 44,5% dari 54 telinga dengan OMSK (Sari dan Samiharja, 1999).


(53)

Santoso dan Ahadiah pada penelitiannya terhadap penderita OMSK tipe maligna dengan komplikasi ekstrakranial antara Januari 2004 – Desember 2006 di RS. Dr. Soetomo Surabaya, mendapatkan dari 163 penderita ditemukan 56 penderita (34,36%) mengalami komplikasi ekstrakranial dan jenis ketulian yang terbanyak ditemukan adalah MHL

(46,43%) (Santoso dan Ahadiah, 2007).

Terjadinya MHL pada OMSK ini menunjukkan bahwa lesi fungsional telah terjadi di telinga tengah dan juga telinga dalam (Sari dan Samiharja, 1999).

Djafaar dalam penelitiannya yang dilakukan antara 1991–1993 di RSCM Jakarta, menjumpai dari 145 pasien OMSK tipe berbahaya yang berobat ditemukan 88 penderita (60%) tuli konduktif sedang berat, 8 orang penderita (6%) dengan tuli campur, 18 penderita (12%) dengan tuli saraf berat, dan sisanya 31 penderita (22%) tidak ada audiogramnya (Djaafar, 2001).

2.7 Audiometri Nada Murni

Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur sensitivitas pendengaran dengan alat audiometer yang mengunakan nada muni (pure tone) yaitu bunyi yang hanya mampunyai satu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per detik (Feldman dan Grimes, 1997).


(54)

Walaupun pemeriksaan audiometri nada murni tidak sepenuhnya objektif, tetapi sampai sekarang masih merupakan yang paling banyak dipakai untuk keperluan klinis oleh karena prosedurnya yang sederhana namun dapat banyak memberi informasi tentang keadaan sistem pendengaran (Feldman dan Grimes, 1997).

Audiometer yang tersedia di pasaran umumnya terdiri dari enam komponen utama, yaitu:

a. Oskilator, yang menghasilkan berbagai nada murni

b. Amplifier, untuk menaikkan intensitas nada murni sampai dapat terdengar

c. Pemutus (interrupter), yang memungkinkan pemeriksa menekan dan mematikan tombol nada murni secara halus tanpa terdengar bunyi lain (klik)

d. Attenuator, agar pemeriksa dapat menaikkan atau menurunkan intensitas ke tingkat yang dikehendaki

e. Earphone, yag mengubah gelombang listrik yang dihasilkan oleh audiometer menjadi bunyi yang dapat didengar

f. Sumber suara penganggu (masking), yang sering diperlukan untuk meniadakan bunyi ke telinga yang tidak diperiksa (Feldman dan Grimes, 1997).


(55)

Pada pemeriksaan audiometri nada murni perlu dipahami hal-hal berikut ini :

Nada murni (pure tone) : merupakan bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per detik.

Bising : merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari

narrow band (spektrum terbatas) dan white noise (spektrum luas).

Frekuensi : nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion). Jumlah getaran per detik dinyatakan dalam Hertz.

Intensitas bunyi : dinyatakan dalam dB (decibel), dikenal dB HL (hearing level), dB SL (sensation level) dan dB SPL (sound pressure level).

Ambang dengar : bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi tulang (BC). Bila ambang dengar ini dihubung-hubungkan dengan garis, baik AC maupun BC, maka akan didapatkan audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian.

Nilai nol audiometrik (audiometric zero) : dalam dB HL dan dB SL, yaitu intensitas nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu yang masih


(56)

dapat didengar oleh telinga rata-rata orang dewasa muda yang normal (18-30 tahun).

Notasi pada audiogram : untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC, yaitu dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz) dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (intensitas yang diperiksa antara 250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan untuk telinga kanan dipakai warna merah (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2004).

Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (N) atau tuli. Jenis ketulian yaitu tuli konduktif, sensorineural atau tuli campur juga dapat ditentukan (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2004).

Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu:

Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz 3

Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000 Hz berperan penting untuk pendengaran, sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga derajat ketulian dihitung dengan menambahkan ambang dengar 4000 Hz dengan ketiga ambang dengar di atas, kemudian dibagi 4 (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2004).


(57)

Ambang dengar (AD) =

AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz 4

Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran udara (AC) saja (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2004).

Derajat ketulian ISO (International Standard Organization) : 0 – 25 dB : normal

>25 – 40 dB : tuli ringan >40 – 55 dB : tuli sedang >55 – 70 dB : tuli sedang berat >70 – 90 dB : tuli berat >90 dB : tuli sangat berat

(Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2004).

Manfaat audiometri nada murni :

a. Keadaan fungsi pendengaran masing-masing telinga secara kualitatif (pendengaran normal, tuli konduktif, tuli sensorineural dan tuli campur)


(58)

b. Derajat gangguan pendengaran (kuantitatif) yaitu normal, tuli ringan, tuli sedang dan tuli berat (Feldman dan Grimes, 1997).


(59)

BAB 3


(60)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan desain studi potong lintang (cross sectional study) yang bersifat analitik.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan di beberapa lokasi seperti :

1. Poliklinik THT-KL FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan untuk memeriksa dan mendiagnosis pasien secara klinis.

2. Pemeriksaan audiometri nada murni dilakukan di KASOEM

Hearing Center.

4.2.2 Waktu penelitian

Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2009.

4.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 4.3.1. Populasi

4.3.1.1 Populasi target : semua penderita OMSK.

4.3.1.2 Populasi terjangkau : semua penderita OMSK yang berobat ke RSUP. H. Adam Malik Medan mulai bulan Mei 2009 – Agustus 2010.


(61)

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:

Kriteria inklusi:

a. Usia antara 12 sampai 40 tahun

b. Penderita yang sama sekali belum pernah dilakukan operasi timpanomastoidektomi

c. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian.

Kriteria eksklusi:

a. Tuli sejak lahir (kongenital).

b. Menderita penyakit yang dapat menyebabkan tuli sensorineural. c. Riwayat/sedang menggunakan obat-obatan yang bersifat

ototoksik.

d. Riwayat terpapar bising yang lama atau terpapar bunyi yang sangat keras.

4.3.3. Besar Sampel

Penentuan jumlah minimal sampel berdasarkan pengamatan pendahuluan dengan menggunakan rumus :

n > Z2α. P (1- P) d2

n > (1,96)2 . 0,86 . 0,14 (0,1)2


(62)

n > 46,25 Æ 47

n : jumlah sampel

Z : nilai standar distribusi statistik pada kesalahan tertentu α adalah 5% = 1,96

P : Proporsi gangguan pendengaran pada penderita OMSK = 86% (Sheahan, Donnelly & Kane, 2001)

d : tingkat akurasi nilai estimasi dengan nilai sebenarnya = 10% Besar sampel yang didapat minimal 47 orang.

4.3.4. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel penelitian adalah secara non probability consecutive sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan kedalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 1995).

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi Variabel Penelitian

4.4.1.1 Variabel tergantung (dependent) : jenis dan derajat ketulian.

4.4.1.2 Variabel bebas (independent) : jenis OMSK, lama sakit, jenis perforasi membran timpani.


(63)

4.4.2. Definisi Operasional Variabel

a. Otitis media supuratif kronis adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari tiga bulan baik terus menerus ataupun hilang timbul.

b. Otitis media supuratif kronis tipe benigna:

1). Perforasi letaknya sentral pada pars tensa, perforasi dapat subtotal atau total. Bila perforasi total, masih nampak pinggir membran timpani (annnulus timpanikus).

2). Jarang terdapat granulasi atau polip.

3). Sekret mukoid atau mukopurulen dan baunya tidak seberapa. c. Otitis media supuratif kronis tipe maligna:

1). Perforasi letaknya di marginal atau atik. Bila perforasi total, maka annulus timpanikus tidak ada lagi.

2). Sering terdapat granulasi dan polip. 3). Sekret purulen dan berbau busuk.

d. Gangguan pendengaran adalah gangguan proses mendengar yang berdasarkan letak lokasi kelainannya terbagi atas tiga jenis yaitu: 1). Tuli konduktif, dimana kelainannya terletak mulai dari telinga

luar sampai ke telinga tengah.

2). Tuli sensorineural, dimana kelainannya terletak pada telinga dalam dan pusat pendengaran.


(64)

3). Tuli campur, dimana kelainannya merupakan gabungan dari tuli konduktif dan sensorineural.

e. Derajat gangguan pendengaran berdasarkan Derajat ketulian ISO (International Standard Organization) :

0 – 25 dB : normal >25 – 40 dB : tuli ringan >40 – 55 dB : tuli sedang >55 – 70 dB : tuli sedang berat >70 – 90 dB : tuli berat

>90 dB : tuli sangat berat

(Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin,2004)

f. Untuk menentukan perforasi membran timpani digunakan cara Booth seperti yang dikutip oleh Irwan (1995):

Perforasi sentral : perforasi < 50% dari lebar membran timpani Perforasi subtotal: perforasi 50%-75% dari lebar membran timpani Perforasi total : perforasi > 75% dari lebar membran timpani Perforasi atik : perforasi yang letaknya di pars plasida

g. Lama sakit adalah mulai penderita mengalami keluhan sampai datang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan dinyatakan dalam bulan dan tahun.

4.5 Bahan/Alat Penelitian


(65)

b. Formulir persetujuan penelitian c. Lampu kepala merek Riester d. Spekulum telinga tipe Hartmann e. Otoskop merek Heine Mini 2000

f. Spekulum hidung, spatel lidah, kaca laring g. Alat penghisap/suction merk Thomas Medipump h. Kanul penghisap nomor 6 dan nomor 8 tipe Fergusson i. Kapas lidi (cotton applicator)

j. Audiometer nada murni merek Interacoustic seri ad 228

4.6 Pelaksanaan Penelitian

Semua sampel penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi terlebih dahulu telinganya dibersihkan dengan menggunakan kapas lidi atau suction. Selanjutnya pendengaran penderita diperiksa dengan audiometer nada murni merek Interacoustic seri ad 228 dengan menggunakan frekuensi 125Hz – 8000Hz untuk hantaran udara dan frekuensi 250Hz – 4000Hz untuk hantaran tulang. Derajat ketulian ditentukan dengan mengukur nilai rata-rata ambang pendengaran pada frekuensi percakapan (500Hz, 1000Hz, 2000Hz dan 4000 Hz) terhadap skala ISO 1964.


(66)

4.7 Kerangka Kerja

4.8 Cara Analisis Data

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dan untuk menilai hubungan kebermaknaan dilakukan uji Chi square, Anova dan uji korelasi Spearman dengan tingkat kemaknaan 5%.


(67)

BAB 5

ANALISIS HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher RSUP H. Adam Malik Medan mulai bulan Mei 2009 sampai bulan Agustus 2010. Sampel dikumpulkan sebanyak 47 orang yang memenuhi kriteria penelitian.

Tabel 5.1 Distribusi Penderita OMSK Berdasarkan Umur

Usia (tahun) n %

11 – 20 11 23,4

21 – 30 20 42,6

31 – 40 16 34,0

Total 47 100,0

Dari tabel di atas diketahui penderita OMSK terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun yaitu 20 kasus (42,6%) diikuti kelompok umur 31-40 tahun yaitu 16 kasus (34,0%). Usia termuda 12 tahun sedangkan usia tertua adalah 40 tahun.


(68)

Tabel 5.2 Distribusi Penderita OMSK Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin n %

Laki – laki 20 42,6

Perempuan 27 57,4

Total 47 100,0

Dari tabel di atas diperoleh penderita OMSK terbanyak adalah perempuan yaitu sebanyak 27 kasus (57,4%) sementara laki-laki sebanyak 20 kasus (42,6%). Perbandingan antara laki-laki dengan perempuan 1 : 1,35.

Tabel 5.3 Distribusi Penderita OMSK Berdasarkan Telinga yang Sakit

Telinga n %

Bilateral 17 36,2

Unilateral 30 63,8

Total 47 100,0

Dari tabel di atas diperoleh penderita OMSK terbanyak adalah yang sakit pada satu telinga saja (unilateral) yaitu sebanyak 30 kasus (63,8%) sementara yang sakit pada kedua telinga (bilateral) sebanyak 17 kasus (36,2%), sehingga didapatkan jumlah telinga yang diperiksa adalah sebanyak 64 telinga.


(69)

n mean SD

Lama sakit (thn) 64 9,69 7,04

Dari tabel di atas terlihat bahwa rata-rata lamanya sakit penderita OMSK adalah 9,69 ( SD = 7,04 ) tahun.

Tabel 5.5 Distribusi Penderita OMSK Berdasarkan Jenis OMSK

Jenis OMSK n %

Benigna 27 42,2

Maligna 37 57,8

Total 64 100,0

Dari tabel di atas diperoleh penderita OMSK terbanyak adalah tipe maligna yaitu sebanyak 37 telinga (57,8%) sementara tipe benigna sebanyak 27 telinga (42,2%).

Tabel 5.6 Distribusi Penderita OMSK Berdasarkan Jenis Perforasi Membran Timpani


(70)

Jenis Perforasi n %

Sentral 26 40,6

Subtotal 1 1,6

Total 36 56,2

Atik 1 1,6

Total 64 100,0

Dari tabel di atas diperoleh jenis perforasi terbanyak pada penderita OMSK yaitu perforasi total sebanyak 36 telinga (56,2%) diikuti oleh perforasi sentral yaitu sebanyak 26 telinga (40,6%) dan sub total serta atik masing-masing sebanyak satu telinga (1,6%).

Tabel 5.7 Distribusi Penderita OMSK Berdasarkan Jenis Ketulian

Jenis Ketulian n %

Konduktif 40 62,5

Saraf 1 1,6

Campur 23 35,9


(71)

Dari tabel di atas diperoleh jenis ketulian terbanyak pada penderita OMSK yaitu tuli konduktif sebanyak 40 telinga (62,5%) diikuti oleh tuli campur sebanyak 23 telinga (35,9%) dan tuli saraf sebanyak satu telinga (1,6%).

Tabel 5.8 Hubungan Jenis OMSK dengan Jenis Ketulian

Jenis Ketulian Jenis

OMSK Kondukti f n %

Saraf n %

Campur n %

Total

n %

X2 P

Benigna Maligna 27 (67,5) 13 (32,5) 0 (0,0) 1 (100,0) 0 (0,0) 23 (100,0) 27 (42,2) 37 (57,8) 28,02 2 0,000 1

Total 40(100,0) 1(100,0) 23(100,0) 64(100,0)

Dari tabel di atas terlihat bahwa seluruh penderita OMSK benigna menderita tuli konduktif yaitu sebanyak 27 telinga. Pada penderita OMSK maligna didapati tuli konduktif sebanyak 13 telinga, tuli saraf sebanyak satu telinga dan tuli campur sebanyak 23 telinga. Dengan uji Chi Square didapat nilai X2 = 28,022 dimana nilai p = 0,0001 (p < 0,05), terdapat hubungan yang bermakna antara jenis OMSK dengan jenis ketulian yang diderita oleh pasien.


(72)

Tabel 5.9 Hubungan Jenis OMSK dengan Derajat Ketulian

Derajat Ketulian Total X2 p

Jenis

OMSK Ringan Sedang Sedang Berat

Berat Sangat

Berat

n % n % n % n % n % n %

Benigna 5 (71,4) 15 (78,9) 7 (53,8) 0 (0,0) 0 (0,0) 27 (42,2)

31,949 0,0001

Maligna 2 (28,6) 4 (21,1) 6 (46,2) 14 (100,0) 11 (100,0) 37 (57,8)

Total 7

(100,0) 19 (100,0) 13 (100,0) 14 (100,0) 11 (100,0) 64 (100,0)

Dari tabel di atas terlihat bahwa tuli derajat sedang adalah derajat ketulian terbanyak pada penderita OMSK benigna yaitu sebanyak 15 telinga diikuti oleh tuli derajat sedang berat sebanyak tujuh telinga dan tuli derajat ringan sebanyak lima telinga. Tidak dijumpai tuli derajat berat dan sangat berat pada penderita OMSK benigna. Pada penderita OMSK maligna tuli derajat berat merupakan derajat ketulian terbanyak yaitu sebanyak 14 telinga diikuti oleh tuli derajat sangat berat sebanyak 11 telinga, tuli derajat sedang berat sebanyak enam telinga, tuli derajat sedang sebanyak empat telinga dan tuli derajat ringan sebanyak dua telinga.


(1)

Kiri ya/tidak c. Telinga berdengung Kanan ya/tidak

Kiri ya/tidak d. Telinga terasa sakit Kanan ya/tidak

Kiri ya/tidak e. Hoyong ya/tidak

f. Sakit kepala ya/tidak

g. Mulut mencong Kanan ya/tidak Kiri ya/tidak

h. Kejang ya/tidak

III. Pemeriksaan Klinis

a. Telinga Kanan Kiri

daun telinga normal/abnormal normal/abnormal liang telinga sekret (..) sekret (..)

membran timpani utuh/perforasi sentralutuh/perforasi sentral perforasi marginal perforasi marginal perforasi subtotal perforasi subtotal perforasi total perforasi total retroaurikular fistel (..) fistel (..) b. Hidung

rinoskopi anterior rinoskopi posterior c. Orofaring

tonsil faring d. Laringoskopi

IV. Pemeriksaan Penunjang Foto Polos Mastoid:

Audiogram: Jenis ketulian : Derajat ketulian :


(2)

Lampiran 3

PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN

“ HUBUNGAN GANGGUAN PENDENGARAN DENGAN KELAINAN-KELAINAN PADA PENDERITA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DI

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN ” Bapak/ibu Yth,

Saya dr. Sri Mella Tala saat ini sedang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan THT di RSUP H. Adam Malik Medan dan saya sedang melakukan penelitian yang berjudul :

“HUBUNGAN GANGGUAN PENDENGARAN DENGAN KELAINAN-KELAINAN PADA PENDERITA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN “

Penelitian ini mengenai penentuan jenis dan derajat ketulian orang yang menderita penyakit teleran / tungkian ( Otitis Media Supuratif Kronik ) yang diperoleh dengan cara pemeriksaan audiometri nada murni. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara gangguan pendengaran dengan kelainan-kelainan pada penyakit teleran / tungkian.

Bapak/Ibu Yth.

Perlu bapak/ibu ketahui, bahwa pada orang yang menderita penyakit teleran / tungkian akan terjadi perubahan ataupun kelainan-kelainan pada telinga bagian tengah maupun telinga dalam ataupun kedua-duanya dimana semuanya itu akan mengakibatkan terjadinya gangguan pada pendengaran.

Bapak /Ibu Yth.

Pada penelitian ini akan dilakukan pencatatan identitas bapak/ibu pada lembar penelitian. Selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan Telinga Hidung Tenggorok ( pemeriksaan THT rutin ) dan pemeriksaan audiometri nada murni untuk menentukan jenis dan derajat ketulian bapak/ibu. Hanya bapak/ibu yang memenuhi syarat saja yang akan diikut sertakan pada penelitian ini. Semua data yang diperoleh akan dicatat pada pada status penelitian.


(3)

Bapak/Ibu Yth,

Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni yang telah umum / biasa dilakukan, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang dapat membahayakan bapak/ibu. Namun bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama penelitian berlangsung, bapak/ibu dapat menghubungi saya dr. Sri Mella Tala ( HP. 061-77587738 / 085664062121 ) Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan jam 08.00 s/d 14.30 wib ( hari Senin s/d Kamis ) dan jam 08.00 s/d 12.00 wib ( hari Jumat dan Sabtu ) setiap hari kerja atau setiap waktu dapat menghubungi nomor telepon / HP peneliti untuk mendapatkan pertolongan. Peneliti akan bertanggung jawab untuk memberikan biaya pelayanan / pengobatan / membantu untuk mengatasi masalah / efek samping tersebut sesuai dengan masalah / efek samping yang terjadi.

Bapak/Ibu Yth,

Partisipasi bapak/ibu bersifat sukarela, semua biaya penelitian ini tidak dibebankan kepada bapak/ibu. Tidak akan terjadi perubahan mutu pelayanan dari dokter, apabila bapak/ibu tidak bersedia mengikuti penelitian ini. Bapak/ibu akan tetap mendapat pelayanan kesehatan standar rutin sesuai dengan standar prosedur pelayanan. Bila bapak/ibu masih belum jelas menyangkut tentang penelitian ini, maka setiap saat dapat ditanyakan langsung kepada saya (dr. Sri Mella Tala)

Setelah bapak/ibu memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan bapak/ibu yang telah terpilih pada penelitian ini dapat mengisi dan menandatangani lembar persetujuan penelitian.

Medan,………2010

Peneliti


(4)

Lampiran 4

NASKAH PENJELASAN

Apakah tujuan penelitian ini ?

Saya mengikutsertakan anda dalam penelitian ini yang bertujuan untuk melihat hubungan gangguan pendengaran dengan kelainan-kelainan pada penderita Otitis Media Supuratif Kronis.

Apa saja yang akan dilakukan pada penelitian ini ?

Identitas bapak/ibu akan dicatat pada lembar penelitian. Selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan THT dan pemeriksaan audiometri nada murni. Dari hasil audiometri nada murni akan ditentukan jenis dan derajat ketulian bapak/ibu.

Bagaimana jika tidak ingin berpartisipasi ?

Partisipasi anda dalam penelitian ini bersifat sukarela. Tidak akan terjadi perubahan mutu pelayanan dari dokter anda bila anda tidak bersedia mengikuti penelitian ini. Anda akan tetap mendapatkan pelayanan kesehatan standar rutin sesuai dengan standar prosedur pelayanan.

Bagaimana kerahasiaan hasil penelitian ?

Pada penelitian ini, identitas bapak/ibu akan dirahasiakan, hanya dokter peneliti dan anggota peneliti serta anggota komisi etik yang bisa melihat data anda. Kerahasiaan data anda akan sepenuhnya dijamin.


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Setelah mendapat penjelasan secara lengkap, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menandatangani dan menyatakan bersedia berpartisipasi pada penelitian ini. Bila saya ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut, saya akan bisa mendapatkannya dari dokter peneliti.

Medan,……….2010

Dokter peneliti Peserta penelitian

(dr. Sri Mella Tala) (Nama:……… ) Dep. THT-KL FK-USU/RSHAM


(6)

Lampiran 5

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN ( INFORMED CONSENT )

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Alamat :

Setelah mendapat penjelasan dan memahami dengan penuh kesadaran mengenai penelitian ini, maka dengan ini saya menyatakan bersedia untuk ikut serta. Apabila dikemudian hari saya mengundurkan diri dari penelitian ini, maka saya tidak akan dituntut apapun.

Demikian surat pernyataan ini saya buat, agar dapat dipergunakan bila diperlukan.

Medan,………2010

Peserta penelitian