BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi - Karakteristik Penderita Tumor Ganas Laring di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2011

  2.1. Definisi

  Tumor ganas (neoplasma) secara harfiah berarti pertumbuhan baru. Dengan kata lain, neoplasma merupakan massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya berlebihan dan tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan jaringan normal meskipun rangsangan yang memicu perubahan tersebut telah berhenti (Kumar et

  

al , 2007). Tumor ganas (kanker) laring merupakan suatu neoplasma yang

  ditandai dengan sebuah tumor yang berasal dari epitel struktur laring (Kamus Saku Mosby, 2008).

  2.2. Etiologi dan Faktor Risiko Tumor Ganas Laring

  Penyebab utama kanker laring belum sepenuhnya diketahui, namun diperkirakan berkaitan dengan kebiasaan merokok, konsumsi alkohol berlebihan, paparan radiasi serta sekuensi HPV (Human Papiloma virus) pada sebagian kecil kasus (Kumar dan Maitra, 2007). Menurut Shangina et al (2006) dan Becher et al (2005) dalam Ramroth (2011), terdapat beberapa etiologi lain terjadinya kanker laring diantaranya karena terpapar bahan atau substansi berbahaya misalnya asbes,

  

Polycyclic Aromatic Hydrocarbons, debu dan larutan berbahaya lainnya.

  Menurut Negri E (2009) dalam Ramroth H (2011), terdapat beberapa bukti yang menunjukkan peningkatan risiko terjadinya kanker laring yaitu jika terdapat keluarga yang memiliki riwayat menderita kanker kepala dan leher.

  Risiko terjadinya tumor ganas laring ini akan meningkat seiring dengan berat dan diantaranya adalah: a.

  Usia Kanker laring merupakan kanker yang sering terjadi pada usia pertengahan dan usia tua dengan puncak insidensi terjadi pada dekade ke enam sampai dekade ke delapan (Robin et al, 1991 dalam Ratiola, 2000).

  Lee, 2003 menyebutkan bahwa insidensi penderita tumor ganas laring terbanyak pada dekade 70. American Cancer Society (2011), lebih dari setengah kasus kanker laring terjadi pada usia 65 tahun.

  Berdasarkan National Cancer Institute’s Surveilance Epidemiology and End Result Cancer Statistic Review (2012), dari tahun 2005-2009 rata-rata penderita tumor ganas laring adalah pada usia 65 tahun, tidak ditemukan (0%) pada usia kurang dari dua puluh tahun. Namun ditemukan 0,4% antara usia 20-34 tahun; 2,7% antara usia 35-44 tahun; 16,3% antara usia 45-54 tahun; 29,8% antara usia 55-64 tahun; 28,6% antara usia 65-74 tahun, 17,3% pada usia 75-84 tahun dan 4,8% pada usia 85 tahun keatas.

  b.

  Jenis Kelamin Angka kejadian masih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita adalah karena masih tingginya kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol pada laki-laki (American cancer Society, 2011)

  Insidensi tertinggi kanker laring ini lebih banyak terjadi pada laki- laki dibandingkan dengan wanita yaitu sekitar 5:1 (Lee, 2003). 1 Januari 2008, di

  

United States diperkirakan jumlah tumor ganas laring 88.941 kasus, yang terdiri

dari 71.273 laki-laki dan 17.668 wanita (National Cancer Institute, 2012).

  c.

  Ras Tumor ganas laring lebih sering pada ras African American dan kulit putih dibandingkan dengan ras asia dan latin (American Cancer Society, 2011). Data

  National Cancer Institute (2012), insidensi terjadinya kanker laring berdasarkan ras yang telah didiagnosis pada 18 area SEER (San Francisco, Connecticut,

  Los Angeles, Alaska Native Registry, Rural Georgia, California excluding terdapat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Insidensi kanker laring berdasarkan ras.

  

Incidence Rates by Race

Race/Ethnicity Male Female All Races 6.2 per 100,000 men 1.3 per 100,000 women White 6.1 per 100,000 men 1.3 per 100,000 women Black 9.9 per 100,000 men 1.8 per 100,000 women Asian/Pacific Islander 2.3 per 100,000 men 0.3 per 100,000 women American Indian/Alaska 4.2 per 100,000 men

  Nati

  Hispanic 4.7 per 100,000 men 0.6 per 100,000 women

  National Cancer Institute’s Surveilance Epidemiology and End Result Cancer Statistic Review, 2012. Cancer Statistic: Cancer of the Larynx. Available from: [Accessed 26 Mei 2012].

  d.

  Merokok Sebagian besar (88-89%) penderita tumor ganas laring adalah perokok. Kebiasaan merokok merupakan hal penting yang dapat meningkatnya risiko terjadinya tumor ganas laring. Peningkatan itu juga tergantung dari lama dan intensitas seseorang itu merokok (Ramroth, 2011; Rothman, 1980 dalam Adams, 2005; dan Lee, 2009). La Vecchia (1990) dalam Adams (2005) menyebutkan bahwa merokok dengan >22 mg tar memiliki insidensi 2 kali lebih tinggi menderita kanker laring dibandingkan dengan orang yang tidak merokok atau perokok dengan tar yang rendah. Kandungan yang terdapat dalam rokok merupakan bahan karsinogenik. Berdasarkan Brunneman dan Hoffman (1992) dalam World Health Organization International Agency for Research on Cancer (IARC, 2007) telah menyebutkan bahwa terdapat 28 jenis bahan karsinogen yang terkandung dalam rokok.

  Secara garis besar terdapat tiga jenis nitroso dalam rokok, diantaranya 1)

  Non-volatile TSNA ( Tobacco-Specific N-nitrosamin Acids) yang terdiri atas 4-(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanon (NNK) dan N2- nitrosonornicotine (NNN).

  2) N-nitrosamino acids yang terdiri dari N-nitrososarcosine (NSAR), 3

  (methylnitrosamino) propionic acids (MNPA) dan 4-(methylnitrosamino) butyric acids (MNBA). 3)

  Volatile N-nitrosamin yang terdiri atas N-nitrosodimethylamine (NMDA),

  N-nitrosopyrrolidine (NPYR), N-nitrosopiperidine (NPIP) dan N- nitrosomorpholine (NMOR).

  Kandungan lain yang terdapat dalam rokok diantaranya adalah benzene, arsenik, dan hidrokarbon. Selain dari kandungan rokok tersebut, bahan karsinogenik juga dihasilkan dari pembakaran rokok (tembakau) oleh para perokok aktif diantaranya adalah nikotin, karbon monoksida, hydrogen sianida dan ammonia. Pemaparan bahan-bahan tersebut baik pada perokok aktif maupun pasif dapat menyebabkan kerusakan dari mukosa laring dimana sel-selnya akan bermetaplasia dan akan berkembang kearah keganasan. Hal tersebut akan meningkat jika seseorang juga mengkomsumsi alkohol.

  e.

  Alkohol Alkohol bukan merupakan faktor risiko tunggal yang menyebabkan terjadinya kanker laring, namun kombinasi antara penggunaan rokok dan konsumsi alkohol serta faktor lain yang memicu terjadinya karsinogenik memiliki risiko tinggi terjadinya kanker laring (American Cancer Society, 2011). Sebuah penelitian di Perancis menunjukkan bahwa peningkatan terjadinya tumor ganas laring dijumpai pada perokok dengan peminum alkohol (anggur) lebih dari 1,5 L per hari ( Andrew, 1995) f. Virus terjadinya kanker. Infeksi virus tersebut tidak secara langsung menyebabkan kanker laring namun menyebabkan kanker secara umum. Pada awalnya virus akan melekatkan dirinya dalam mekanisme genetik sel yang abnormal dan akan memodifikasinya menjadi sel yang abnormal. Kemudian virus yang dorman dan bersembunyi didalam sel akan teraktivasi jika terpapar agen eksternal seperti X- rays sehingga sel akan tumbuh menjadi malignan.

  g.

  Paparan terhadap substansi (bahan) berbahaya dilingkungan kerja.

  Bahan karsinogen yang berhubungan dengan terjadinya kanker laring dapat berupa asbestos, komponen nikel, dan beberapa minyak mineral, radiasi (Adams, 2005). Penelitian di Italia disebutkan bahwa, Serbuk kaca juga dapat meningkatkan angka kematian pada penderita kanker laring (Bertazzi, 1980 dalam Adams, 2005).

2.3. Patofisiologi Tumor Ganas Laring

  Tumor atau sering dikenal dengan neoplasma, sesuai definisi Willis dalam kumar et al (2007), adalah massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya berlebihan dan tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan jaringan normal dan terus demikian walaupun rangsangan yang memicu perubahan tersebut telah berhenti. Hal mendasar tentang asal neoplasma adalah hilangnya responsivitas terhadap faktor pengendali pertumbuhan yang normal.

  Tumor ganas atau neoplasma ganas ditandai dengan differensiasi yang beragam dari sel parenkim, dari yang berdiferensiasi baik (well differentiated) sampai yang sama sekali tidak berdiferensiasi. Neoplasma ganas yang terdiri atas sel tidak berdiferensiasi disebut anaplastik.

  Tidak adanya diferensiasi, atau anaplasia dianggap sebagai tanda utama destruksi dan penetrasi progresif ke jaringan sekitar. Kanker tidak membentuk kapsul yang jelas. Cara pertumbuhannya yang infiltratif menyebabkan perlu dilakukannya pengangkatan jaringan normal disekitar secara luas apabila suatu tumor ganas akan diangkat secara bedah (Kumar et al, 2007).

2.3.1. Dasar Molekular Kanker: Karsinogenesis

  Kanker berhubungan dengan dua hal yaitu genetik dan perubahan epigenetik yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang memicu aktivasi atau inaktivasi yang tidak semestinya dari gen spesifik sehingga menyebabkan transformasi neoplastik (IARC/ International agency for Research on Cancer, 2007). Perkembangan kanker ini dikendalikan karena adanya perubahan dari struktur dan fungsi genom (IARC, 2007) .

  Berdasarkan Kumar et al, 2007, pada awalnya kerusakan genetik nonletal merupakan hal sentral dalam karsinogenesis. Kerusakan genetik ini mungkin dapat dipengaruhi oleh llingkungan seperti zat kimia, radiasi, virus atau diwariskan dalam sel germinativum. Terdapat suatu hipotesis genetik pada kanker bahwa massa tumor terjadi akibat adanya ekspansi klonal satu sel progenitor yang telah mengalami kerusakan genetik. Sasaran utama kerusakan genetik tersebut adalah tiga kelas gen regulatorik yang normal yaitu protoonkogen yang mendorong pertumbuhan, gen penekan kanker (tumor supresor gen) yang menghambat pertumbuhan (antionkogen), dan gen yang mengatur kematian sel yang terencana (programmed cell death), atau apoptosis. Selain gen-gen tersebut terdapat juga gen yang mengatur perbaikan DNA yang rusak, berkaitan dengan karsinogenesis. Gen yang memperbaiki DNA mempengaruhi proliferasi atau kelangsungan hidup sel secara tidak langsung dengan mempengaruhi kemampuan organisme memperbaiki kerusakan nonletal di gen lain, termasuk protoonkogen, gen penekan tumor dan gen yang mengendalikan apoptosis. Kerusakan pada gen yang memperbaiki DNA dapat memudahkan terjadinya mutasi luas digenom dan transformasi neoplastik.

  Karsinogenesis memiliki beberapa proses baik pada tingkat fenotipe maupun pertumbuhan berlebihan, sifat invasif lokal dan kemampuan metastasis jauh. Sifat ini diperoleh secara bertahap yang disebut sebagai tumor progression. Pada tingkat molekular, progresi ini terjadi akibat akumulasi kelainan genetik yang pada sebagian kasus dipermudah oleh adanya gangguan pada perbaikan DNA.

  Perubahan genetik tersebut melibatkan terjadinya angiogenesis, invasi dan metastasis. Sel kanker juga akan melewatkan proses penuaan normal yang membatasi pembelahan sel. Tiap gen kanker memiliki fungsi spesifik, yang disregulasinya ikut berperan dalam asal muasal atau perkembangan keganasan.

  Gen yang terkait dengan kanker perlu dipertimbangkan dalam konteks enam perubahan mendasar dalam fisiologi sel yang menentukan fenotipe ganas, diantaranya: a. Self-sufficiency (menghasilkan sendiri) sinyal pertumbuhan.

  Gen yang meningkatkan pertumbuhan otonom pada sel kanker adalah onkogen. Gen ini berasal dari mutasi protoonkogen dan ditandai dengan kemampuan mendorong pertumbuhan sel walaupun tidak terdapat sinyal pendorong pertumbuhan yang normal. Produk gen ini disebut onkoprotein. Pada keadaan fisiologik, proliferasi sel awalnya terjadi karena terikatnya suatu faktor pertumbuhan ke reseptor spesifiknya di membran sel. Aktivasi reseptor pertumbuhan secara transien dan terbatas, yang kemudian mengaktifkan beberapa protein transduksi sinyal di lembar dalam plasma. Transmisi sinyal ditransduksi melintasi sitosol menuju inti sel melalui perantara kedua. Induks i dan aktivasi faktor regulatorik inti sel yang memicu transkrip DNA. Selanjutnya sel masuk kedalam dan mengikuti siklus sel yang akkhirnya menyebabkan sel membelah. Dengan latar belakang ini, kita dapat mengidentifikasi berbagai strategi yang digunakan sel kanker untuk memperoleh self-sufficiency dalam sinyal pertumbuhan (Kumar et al, 2007). b. Insensitivitas Terhadap Sinyal yang Menghambat Pertumbuhan. tumor TP53 (dahulu p53). TP53 ini dapat menimbulkan efek antiproliferatif, tetapi yang tidak kalah penting gen ini juga dapat mengendalikan apoptosis. Secara mendasar, TP53 dapat dipandang sebagai suatu monitor sentral untuk stres, mengarahkan sel untuk memberikan tanggapan yang sesuai, baik berupa penghentian siklus sel maupun apoptosis.

  Berbagai stres yang dapat memicu jalur respon TP53, termasuk anoksia, ekspresi onkogen yang tidak sesuai (misalnya MYC) dan kerusakan pada integritas DNA. Dengan mengendalikan respon kerusakan DNA, TP53 berperan penting dalam mempertahankan integritas genom.

  Apabila terjadi kerusakan TP53 secara homozigot, maka kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki dan mutasi akan terfiksasi disel yang membelah sehingga sel akan masuk jalan satu-satunya menuju transformasi keganasan (Kumar et al, 2007).

  c. Menghindar dari Apoptosis Pertumbuhan dan kelangsungan hidup suatu sel dipengaruhi oleh gen yang mendorong dan menghambat apoptosis. Rangkaian kejadian yang menyebabkan apoptosis yaitu melalui reseptor kematian CD95 dan kerusakan DNA. Saat berikatan dengan ligannya, CD95L, CD95 mengalami trimerisasi, dan domain kematian sitoplasmanya menarik protein adaptor intrasel FADD. Protein ini merekrut prokaspase (prokaspase) 8 untuk membentuk kompleks sinya penginduksi kematian. Kaspase 8 mengaktifkan kaspase di hilir sepersi kaspase 3, suatu kaspase eksekutor tipikan yang memecah DNA dan substrat lain yang menyebabkan kematian. Jalur lain dipicu oleh kerusakan DNA akibat paparan radiasi, bahan kimia dan stres . Mitokondria berperan penting dijalur ini dengan membebaskan sitokrom c. Pembebasan sitokrom c ini diperkirakan merupakan kejadian kunci dalam apoptosis, dan hal ini dikendalikan oleh gen famili BCL2.

  Dengan kata lain bahwa peran BCL2 dapat melindungi sel tumor dari apoptosis (Kumar et al, 2007). d. Kemampuan Replikasi Tanpa Batas dan setelah itu sel akan kehilangan kemampuan membelah diri dan masuk masa nonreplikatif. Hal ini terjadi karena pemendekan progresif telomer di ujung kromosom. Namun pada sel tumor akan menciptakan cara untuk menghindar dari proses penuaan yaitu dengan mengaktifkan enzim telomerase sehingga telomer tetap panjang. Hal inilah yang menyebabkan replikasi sel tanpa batas (Kumar et al, 2007).

  e. Terjadinya Angiogenesis Berkelanjutan Angiogenesis merupakan aspek biologik yang sangat penting pada keganasan. Angiogenesis tidak hanya untuk kelangsungan pertumbuhan tumor, tetapi juga untuk bermetastasis.

  Faktor angiogenetik terkait tumor (tumor associated angiogenic factor) mungkin dihasilkan oleh sel tumor atau mungkin berasal dari sel radang (misal, makrofag). Terdapat dua faktor angiogenik terkait tumor yang palling penting yaitu vascular endothelial growth factor (VEGF, faktor pertumbuhan endotel vaskular) dan basic fibroblast growth factor. Paradigma menyatakan bahwa pertumbuhan tumor dikendalikan oleh keseimbangan antara faktor angiogenik dengan faktor yang menghambat angiogenesis (antiangiogenesis). Faktor antiangiogenesis tersebut diantaranya trombospondin-1 yang diinduksi oleh adanya gen TP53 wild-type, angiostatin, endostatin dan vaskulostatin. Mutasi gen

  

TP53 wild-type ini menyebabkan penurunan kadar trombospondin-1 sehingga

keseimbangan condong ke faktor angiogenik (Kumar et al, 2007).

  g. Kemampuan Melakukan Invasi dan Metastasis.

  Pada awalnya invasi terjadi karena peregangan dari sel tumor. Peregangan ini dapat terjadi oleh karena mutasi inaktivasi gen E-kaderin. Secara fisiologis gen E-kaderin bekerja sebagai lem antarsel agarsel tetap menyatu. Proses selanjutnya adalah degradasi lokal membran basal dan jaringan interstitium. Invasi ini mendorong sel tumor berjalan menembus membran basal yang telah rusak dan matriks yang telah lisis (Kumar et al, 2007).

2.4. Gejala Klinis Tumor Ganas Laring

  diantaranya suara serak, disfagia, hemoptisis, adanya massa di leher, nyeri tenggorok, nyeri telinga, gangguan saluran nafas dan aspirasi (Concus et al, 2008). Gejala klinis kanker laring ini bermacam-macam sesuai dengan sruktur laring yang terkena (Johnson, 2012).

  2.4.1. Suara Serak

  Sebagian besar penderita kanker laring datang ke rumah sakit atau dokter spesialis THT dengan mengeluhkan suara serak atau perubahan suara (Lee, 2003). Serak disebabkan oleh gangguan fungsi fonasi laring.

  Pada tumor ganas laring, pita suara tidak berfungsi dengan baik disebabkan oleh ketidakteraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glottik, terserangnya otot-otot vokalis, sendi, ligamen krikotiroid dan kadang menyerang saraf. Serak menyebabkan kualitas suara mennjadi kasar, menganggu, sumbang dan nadanya rendah dari biasa ( Hermani dan Abdurrachman, 2007).

  Timbulnya suara serak tergantung dari letak tumor pada laring. Apabila tumor timbul pada pita suara asli, serak merupakan gejala dini dan menetap. Tumor yang tumbuh di daerah ventrikel laring, dibagian bawah plika ventrikularis atau dibatas bawah plika ventrikularis atau dibatas inferior pita suara, serak akan timbul kemudian. Namun tumor yang tumbuh pada daerah supraglottis dan subglottis, serak akan timbul kemudian atau bahkan tidak timbul (Hermani dan Abdurrachman, 2007).

  2.4.2. Obstruksi Saluran Nafas

  Obstruksi saluran nafas oleh karena massa tumor dapat menyebabkan dispnea dan stridor. Keluhan ini dapat timbul pada setiap lokasi laring yang terlibat, baik tumor supraglottis, glottis dan subglottis (Lee, 2003 dan Hermani & Abdurrachman, 2007).

  2.4.3. Disfagia dan Odinofagia

  tumor ganas lanjut yang mengenai struktur ekstra laring (Lee, 2003 dan Hermani & Abdurrachman, 2007).

  2.4.4. Batuk dan Hemoptisis

  Batuk jarang ditemukan pada pada tumor ganas glottis, biasanya timbul dengan tertekannya hipofaring disertai sekret yang mengalir kedalam laring. Hemoptisis sering terjadi pada tumor glottis dan supraglottis (Hermani dan Abdurrachman, 2007).

  2.4.5. Nyeri Tenggorok

  Keluhan nyeri tenggorokan yang persisten berhubungan dengan lokasi tumor pada daerah faring misalnya pada sinus piriform, ariepiglottis dan bagian dasar lidah. Keluhan ini juga dihubungkan dengan lesi epiglottis (Concus, 2008). Nyeri tenggorok ini dapat bervariasi dari rasa goresan sampai rasa nyeri yang tajam (Hermani dan Abdurrachman, 2007).

  2.4.6. Benjolan dileher

  Benjolan di leher tumor ganas laring berhubungan dengan pembesaran kelenjar getah bening leher. Hal ini menunjukkan adanya metastasis tumor pada stadium lanjut (Hermani dan abdurrachman, 2007; dan Lee, 2003).

  2.4.7. Gejala Lain

  Gejala lain dapat berupa nyeri alih ke telinga ipsilateral, halitosis, batuk, hemoptisis, dan penurunan berat badan menandakan perluasan tumor ke luar laring atau metastasis jauh ( Hermani dan abdurrachman, 2007).

2.4. Lokasi Terjadinya Kanker Laring.

  supraglottis, glottis dan subglottis. Masing-masing bagian laring memiliki subbagian yang telah ditentukan oleh UICC (Union International Centre le Cancer). Subbagian tersebut adalah sebagai berikut:

  2.5.1. Supraglottis

  a. Suprahyoid epiglottis (tip, lingual anterior, laryngeal surface)

  b. Aryepiglottis fold, laryngeal aspect

  c. Arytenoid

  d. Infrahyoid epiglottis

  e. Ventricular bands (false cords) Tumor supraglottis ini terbatas mulai dari tepi atas epiglottis sampai batas atas glottis termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring (Hermani dan

  Abdurrachman, 2007).

  2.5.2. Glottis

  a. Vocal cords

  b. Anterior commisure

  c. Posterior commisure Tumor glottis mengenai pita suara asli. Batas inferior glottis adalah 10 mm dibawah tepi bebas pita suara, 10 mm merupakan batas inferior otot-otat intrinsik pita suara. Batas superior adalah ventrikel laring. Oleh sebab itu, tumor glottis dapat mengenai satu atau kedua pita suara, dapat meluas ke subglottis sejauh 10 mm, dan dapat mengenai komisura anterior atau posterior atai prosesus vokalis kartilagi aritenoid (Hermani dan Abdurrachman, 2007).

  2.5.3. Subglottis

  Tumor subglottis tumbuh lebih dari 10 mm dibawah tepi bebas pita suara asli sampai batas inferior krikoid. Tumor yang menyeberangi ventrikel dan mengenai pita suara asli dan pita suara palsu ataupun meluas ke subglottis lebih dari 10 mm merupakan tumor ganas transglottis (Hermani dan Abdurrachman,

2.6. Diagnosis Tumor Ganas Laring

  Anamnesis mengenai perjalanan penyakit dan faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya tumor ganas laring seperti merokok, konsumsi alkohol serta faktor lain seperti usia, jenis kelamin dan riwayat pekerjaan (Lee, 2003 dalam Sofyan, 2011).

2.6.2. Pemeriksaan Fisik

  Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan. Pemeriksaan ini meliputi penilaian saluran nafas jika pasien mengeluhkan sesak nafas, melihat kondisi pasien apakah tampak sakit berat, serta menilai status nutrisi yang terlihat dari penurunan berat badan. Selain itu juga untuk menilai status fisik untuk tindakan biopsi, pembedahan, radioterapi dan kemoterapi (Concus et al, 2008; Lee, 2003 dan Sofyan, 2011).

  Pada saat kanker laring telah dicurigai maka pemeriksaan kepala dan leher lengkap juga harus dilakukan, khususnya pada laring dan leher. Kualiatas suara juga perlu diperhatikan. Suara nafas bisa menunjukkan adanya paralisis pita suara dan suara yang meredam adanya lesi di supraglottis (Concus et al, 2008).

  a. Pemeriksaan Laring Pemeriksaan laring dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan indirect laryngoscopy (kaca laring) atau secara langsung dengan

  

direct laryngoscopy (Ballenger, 1977 dan Hermani & abdurrachman, 2007).

  Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat batas yang irregular, warna, karakteristik dan mobilitas pita suara. Lesi pada kanker laring akan tampak seperi kembang kol, lunak, ulseratif atau terdapat perubahan warna mukosa (Concus et al, 2008).

  Dalam Sofyan (2011), dengan pemeriksaan laringoskopi langsung kita dapat i) Tumor supraglottis akan tampak tepi tumor yang meninggi dan banyak bagian sentral yang ulseratif atau kemerahan dan sering kali meluas. ii) Tumor glottis akan tampak lebih proliferatif daripada ulseratif. Gambaran khas lesi menyerupai kembang kol dan berwarna keputihan. iii) Tumor subglottis akan tampak lebih difus dan memiliki ulkus yang superfisial dengan tepi yang lebih tinggi.

  b. Pemeriksan Leher Pemeriksaan leher dilakukan dengan palpasi, hal ini untuk menentukan apakah terdapat pembesaran kelenjar limfa dan metastasis tumor ke ekstra laring

  (Concus et al, 2008 dan Probst et al, 2006). Palpasi dilakukan dengan sistematis dimulai dari submental berlanjut kearah angulus mandibula, sepanjang muskulus sternokleimastoid, klavikula dan diteruskan sepanjang saraf assesorius. Pada saat pemeriksaan perlu diperhatikan mengenai lokasi, ukuran, batas, dan mobilitas tumor.

2.6.3. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang

  a. Pemeriksaan Histopatologi Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan biopsi pada lesi laring dengan laringoskop langsung. Hal ini perlu dilakukan untuk menilai keganasan (Concus

  

et al , 2008 dan Ballenger, 1977) dan membedakannya dengan lesi jinak atau lesi

  lain misalnya oleh karena infeksi bakteri, virus dan jamur (Sofyan, 2011 dan Adams, 2005). Selain itu pemeriksaan biopsi ini juga dapat mengidentifikasi tipe tumor dan diferensiasinya (Sofyan, 2011). Biopsi dilakukan diruang operasi dan pasien diberikan anestesi umum serta diberi neuromuskular paralisis sebelum dilakukan operasi. b. Pencitraan Toraks setelah itu akan bermetastasis ke paru. Oleh karena itu, pasien dengan kanker kepala dan leher harus dilakukan foto toraks rutin sekali atau dua kali dalam setahun untuk evaluasi dan skrining metastasis tumor. Jika terdapat abnormalitas yang signifikan maka computed tomography (CT) scan dada harus dilakukan untuk konfirmasi lesi. Bronkoskopi dengan evaluasi apusan bronkial atau biopsi transbronkial harus dilakukan jika dicurigai adanya lesi (Concus et al, 2008 dan Adams, 2005).

2.6.4. Studi Pencitraan

  Pencitraan radiologis secara umum dilakukan pada kanker laring stadium lanjut untuk menentukan stadium dan rencana terapi. CT scan atau MRI bermanfaat dalam mengidentifikasi invasi preepiglottis dan paraglottis, erosi pada kartilago laring dan metastasis servikal. Kedua modalitas pencitraan ini sangat berguna untuk menilai karakteristik kelainan oleh kanker laring. MRI lebih sensitif untuk menilai abnormalitas jaringan lunak sedangkan CT scan lebih baik untuk menilai defek tulang ataupun kartilago (Concus et al, 2008).

  Pencitraan lain yang digunakan untuk menegakkan diagnosis kanker laring adalah positron emmision tomography (PET) scan. Pencitraan ini digunakan untuk mengidentifikasi metastasis yang tersembunyi, membedakan keganasan yang rekuren dari radionekrosis atau sekuele pengobatan yang telah direncanakan. Selain itu, PET scan juga digunakan untuk mengidentifikasi lokasi kanker primer yang tidak diketahui. Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa PET scan mampu mendeteksi kanker laring superfisial yang pada pencitraan CT scan tidak dapat terdeteksi (Concus et al, 2008).

  2.7. Gambaran Histopatologi Penderita Tumor Ganas Laring

  Lebih dari 90% penderita tumor ganas laring memiliki gambaran histopatologi karsinoma sel skuamosa dan berhubungan dengan penggunaan rokok dan konsumsi alkohol berlebihan. Secara histologi karsinogenesis menunjukkan perubahan dari fenotipe normal menjadi hiperplasia, displasia, karsinoma in-situ, karsinoma invasif. Karsinoma sel skuamosa invasif dapat berdifferensiasi dengan baik, sedang dan buruk. Varian karsinoma sel skuamosa terdiri dari verrucous carcinoma, spindle carcinoma, basaloid squamous cell

  carcinoma dan adenosquamous carcinoma (Concus et al, 2008). verrucous

carcinoma memiliki insidensi 1-2 % dari seeluruh kasus keganasan pada laring

  (Lee, 2003).

  2.7.2. Salivary Gland Cancers Keganasan ini dapat muncul dari kelenjar saliva minor pada mukosa laring.

  Karsinoma kistik adenoid dan karsinoma mukoepidermoid paling sering terjadi. Laki-laki dan perempuan memiliki rasio yang sama untuk terjadinya karsinoma kistik adenoid laring. Pembedahan dapat dipilih sebagai terapi untuk dua jenis karsinoma ini, serta terapi adjuvan radiasi seperti pada keganasan kelenjar saliva mayor (Concus et al, 2008).

  2.7.3. Sarkoma

  Keganasan yang berasal dari pertumbuhan sel mesenkim ini sangat jarang terlihat. Sarkoma yang paling sering terjadi adalah kondrosarkoma. Kondrosarkoma laring ini muncul paling sering dari kartilago krikoid dan massa submukosa glottis posterior. Diagnosis keduanya sangat sulit. Kondrosarkoma memiliki sifat yang non-agresif sehingga terapinya dapat dilakukan pembedahan parsial laring. Radiasi secara umum tidak efektif untuk kondrosarkoma (Concus et al, 2008).

2.7.4. Neoplasma lain

  neuroendokrin seperti tumor karsinoid, limfoma dan metastasis dari tumor primer lain. Tumor ganas tiroid dapat menginvasi laring dengan atau tanpa paralisis pita suara (Concus et al, 2008).

2.8. Stadium Tumor Ganas Laring

  Berdasarkan UICC (Union International Centre le Cancer) atau AJCC (American Joint Committe on Cancer) 1995, dalam Lee (2003) dan Probst et al (2006) klasifikasi tumor ganas laring adalah sebagai berikut:

  Tumor Primer (T) Supraglottis:

  Tis : Karsinoma insitu T1 : Tumor terbatas pada satu sisi supraglottis dengan gerakan (mobilitas) pita suara masih normal.

  T2 : Tumor menginvasi mukosa lebih dari satu sisi supraglottis tanpa ada fiksasi dari laring. T3 : Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi pita suara dan/ atau telah menginvasi area postcricotiroid, jaringan pre-epiglottis dan bagian dasar lidah. T4 : Tumor telah menginva si tulang rawan tiroid dan/ atau meluas kedalam jaringan lunak leher, tiroid dan/ atau esofagus.

  Glottis

  T1 : Tumor terbatas pada pita suara (bisa melibatkan komisura anterior ataupun posterior), mobilitas pita suara normal. T1a : Tumor terbatas pada satu pita suara. T1b : Tumor melibatkan kedua pita suara. T2 : Tumor meluas sampai ke supraglottis dan/ atau subglottis dan/ atau dengan gangguan mobilitas pita suara. T3 : Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi pita suara. T4 : Tumor menginvasi tulang rawan tiroid dan/ atau meluas ke jaringan lain selain laring: trakea, jaringan lunak leher, tiroid, faring.

  Subglottis

  Tis : Karsinoma insitu T1 : Tumor terbatas pada subglotis. T2 : Tumor meluas ke pita suara dengan mobilitas normal atau terdapat gangguan. T3 : Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi pita suara. T4 : Tumor menginvasi krikoid atau tulang rawan tiroid dan/ atau meluas ke jaringan lain selain laring: trakea, jaringan lunak leher, tiroid, esofagus.

  Penjalaran ke Kelenjar Limfa (N) N0 : Tidak ada metastasis regional/ secara klinis tidak teraba.

  N1 : Metastasis pada satu kelenjar limfa ipsilateral dengan ukuran diameter 3 cm atau kurang. N2a : Metastasis pada satu kelenjar limfa ipsilateral dengan ukuran diameter lebih dari 3 cm tapi tidak lebih dari 6 cm. N2b : Metastasis pada multipel kelenjar limfa ipsilateral dengan diameter tidak lebih dari 6 cm. N2c : Metastasis bilateral atau kontralateral kelenjar limfe dengan ukuran diameter tidak lebih dari 6 cm. N3 : Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm.

  Metastasis Jauh (M) Mx : Metastasis jauh tidak dapat dinilai.

  M0 : Tidak ada metastasis. M1 : Terdapat metastasis jauh.

  Stadium

  Stadium 0 : Tis N0 M0 Stadium I : T1 N0 M0 Stadium II : T2 N0 M0 Stadium III : T1, T2 N1 M0

  T3 N0, N1 M0 Stadium IVA : T4 N0, N1 M0

  T mana saja N2 M0 Stadium IVB : T mana saja N3 M0 Stadium IVC : T mana saja N mana saja M1

2.9. Pengobatan Tumor Ganas Laring

  kondisi umum, keputusan pribadi pasien, fasilitas institusi yang melakukan terapi, lokasi dan stadium tumor. Sehingga keputusan manajemen kanker laring melibatkan penilaian multidisiplin (Lee, 2003 dan Concus et al, 2008).

  Pengobatan tumor ganas laring dapat berupa operasi, terapi radiasi atau keduanya (Dolowitz, 1964), dapat juga dengan kemoterapi atau obat-obat sitostatistika (Hermani dan abdurrachman, 2007). Sebagai patokan dikatakan stadium 1 dikirim untuk mendapatkan radiasi, stadium 2 dan 3 dilakukan operasi sedangkan stadium 4 dilakukan operasi dengan rekonstruksi, bila masih memungkinkan dapat dikirim untuk mendapatkan radiasi (Hermani dan Abdurrachman, 2007). Pengobatan dengan operasi tergantung pada lokasi lesi primer dan stadium kanker.

  a.

  Pengobatan Kanker Laring Stadium Awal Kanker laring stadium awal (stadium I dan II) dapat diterapi dengan pembedahan atau radiasi sebagai terapi single modaliti. Pada stadium ini kanker masih memberikan respon baik terhadap radiasi, reseksi laser transoral atau operasi laring parsial. Angka kesembuhan primer diperkirakan sekitar 80-85% dan jika ditambahkan pengobatan lini kedua angka kesembuhan >90% (Concus et al, 2008 dan Lee, 2003).

  Terapi radiasi diberikan pada penderita kanker laring glottis dan supraglottis stadium awal. Terapi ini dilakukan lebih dari 5 sampai 8 minggu. Dengan terapi radiasi tentu saja akan menurunkan angka kesakitan akibat operasi dan kualitas suara yang lebih baik setelah terapi meskipun suara tidak akan kembali seutuhnya seperti semula. Terapi radiasi ini dapat menyebabkan terjadinya kondronekrosis, edem laring dan kadang- kadang akan menginduksi tumor yang baru (Lee, 2003).

  Reseksi laser transoral menggunakan cairan mikrolaringoskop dimana tumor laring parsial merupakan modalitas primer untuk kanker laring stadium awal untuk beberapa tahun dengan hasil yang memuaskan, namun operasi ini memiliki angka kegagalan yang masih tinggi tergantung dari kondisi pasien dan keahlian dokter yang menangani (Lee, 2003).

  b.

  Pengobatan kanker laring stadium lanjut.

  Kanker laring stadium lanjut ( stadium III dan IV) dapat diterapi dengan dual-modality yaitu terapi pembedahan dan radiasi.

2.9.1. Terapi Bedah Tumor Ganas Laring a.

  Bedah Mikrolaring Pembuangan jaringan kanker melalui endoskopi kanker laring dapat dipilih dengan aman dan efektif dengan penggunaan mikroskop bedah dan instrumen pembedahan mikrolaringeal.

  Laser karbondioksida digunakan dengan laringoskop langsung dan mikroskop sebagai petunjuk sekaligus digunakan sebagai alat pembedahan. Pada umumnya pembedahan ini dilakukan untuk lesi supraglottis (Concus et al, 2008).

  b.

  Hemilaringektomi Pembedahan ini dapat dilakukan jika (1) tumor subglottis tidak lebih dari 1 cm dibawah pita suara asli, (2) pita suara yang terlibat masih mobil, (3)

  Keterlibatan unilateral atau keterlibatan komisura anterior dan kontralateral anterior pita suara asli dapat diterapi dengan hemilaringektomi vertikal secara luas, (4) tumor belum menginvasi kartilago, dan (5) tidak ada keterlibatan jaringan lunak ekstralaring (Concus et al, 2008). c.

  Laringektomi Supraglottis supraglottis atau bagian atas laring. Pembedahan ini dapat dipertimbangkan jika (1) tumor dengan stadium T1, T2, atau T3 dengan hanya melibatkan preepiglottis, (2) pita suara masi mobil, (3) kartilago tidak terlibat, (4) komisura anterior tidak terlibat, (5) pasiem memiliki status pulmonologi yang baik, (6) bagian dasar lidah tidak terlibat, (7) sinus piriform pre-apex tidak terlibat, dan (8) FEV 1 diprediksikan lebih dari 50% (Concus et al, 2008).

  d.

  Suprakrikoid Laringektomi Pembedahan ini masih terbilang baru dan merupakan pengembangan dari prosedur pembedahan laringektomi supraglottis. Terapi ini dilakukan jika tumor di lokasi glottis anterior, komisura, atau keterlibatan ruang pre-epiglottis yang lebih luas (Concus et al, 2008).

  e.

  Near-Total Laryngectomy Terapi pembedahan ini merupakan laringektomi parsial yang lebih luas dimana hanya satu aritenoid yang diselamatkan dan kanal transesofageal dikonstruksi untuk fungsi bicara. Pembedahan ini di indikasikan untuk pasien dengan lesi T3 dan T4 tanpa keterlibatan satu aritenoid, atau dengan tumor tranglottis unilateral dengan fiksasi pita suara (Concus et al, 2008).

  f. Laringektomi Total Pembedahan ini di lakukan untuk membuang seluruh jaringan laring yang terkena, terdiri atas tiroid dan kartilago tiroid, mungkin juga beberapa cincin trakea bagian atas dan tulang hyoid. Indikasi laringektomi total adalah (1) lesi T3 dan T4 tidak dapat dilakuka parsial laringektomi atau terapi penyelatan organ dengan kemoterapi, (2) keterlibatan tiroid dan kartilago tiroid secara luas, (3) terdapat invasi langsung pada jaringan lunak dileher, dan (4) keterlibatan bagian dasar lidah sampai papila sirkumvalata (Concus et al, 2008).

2.9.2. Terapi Non-Bedah Tumor Ganas Laring

  Terapi Fotodinamik Terapi ini menggunakan photosensitizing agent yang diberikan secara intravena. Kemudian sinar laser digunakan untuk mengaktifkan photosensitizing

  

agent dan menginduksi destruksi jaringan tumor. Terapi ini efektif untuk

  pengobatan tumor ganas laring stadium awal. Efek samping terapi fotodinamik ini adalah pasien menjadi sangat sensitif terhdap cahaya, hal ini akan menetap hingga beberapa minggu setelah pemberian photosensitizing agent. Oleh sebab itu, pasien harus memakai baju pelindung untuk menghindari sinar matahari selama terapi (Concus et al, 2008).

  b.

  Terapi Radiasi Radiasi diberikan sebagai terapi primer untuk kanker laring atau terapi tambahan setelah pembedahan. Terapi ini sering dilakukan dengan tekhnik penyinaran eksternal dengan dosis 6000-7000 cGy yang diberikan pada lokasi primer tumor. Terapi radiasi pos-operatif dilakukan pada kanker dengan stadium lanjut, penyebaran tumor ke ekstrkapsular dalam nodus limfa, penyebaran ke perineural atau angiolimfatik, keterlibatan nodus secara multipel ditingkan leher (terutama level IV dan V, atau mediastinuum). Efek samping terapi radiasi dalam jangka pendek akan berakhir sampai 6 minggu setelah terapi.

  Efek samping tersebut diantaranya adalah terjadinya mukositis, odinofagia, disfagia, eritema, dan edema. Efek jangka panjang diantaranya xerostomia, fibrosis dan edema. Kadang-kadang efek samping dapat berupa hipotiroidisme, kondroradionekrosis dan osteoradionekrosis (Concus et al, 2008). c.

  Kemoterapi pengobatan kanker laring. Kemoterapi dapat digunakan sebagai neoadjuvan secara simultan dengan radiasi dan juga sebagai adjuvan. Penelitian dengan neoadjuvan dan kemoterapi intra arterial secara simultan menunjukkan respon lokal tumor yang bagus pada kasus tertentu, namun juga dapat menyebabkan lokal toksisitas. Kemoterapi juga dapat digunakan sebagai terapi paliatif pada tumor ganas laring stadium lanjut. Kemoterapi ini bukanlah terapi lini pertama atau terapi standar untuk kanker laring stadium awal ( stadium I dan II) (Concus et al, 2008).

  3.0. Komplikasi Tumor Ganas Laring Komplikasi kanker laring menggambarkan modalitas terapi yang digunakan.

  Adapun komplikasi tersebut diantaranya (Concus et al, 2008): a.

  Gangguan vokal b.

  Gangguan menelan c. Kehilangan penciuman dan perasa d.

  Timbulnya fistula e. Gangguan saluran nafas f. Kerusakan saraf cranial g.

  Kerusakan vaskular h. Fibrosis jaringan i. Hipotiriodisme j. Komplikasi lain seperti hematom dan infeksi.

  3.1 Pencegahan Tumor Ganas Laring

  Tahun 1991, peserta International Works on Perspectives on Secondary

  

Prevention of Laryngeal Cancer menyebutkan bahwa berhenti merokok dan

  mengurangi konsumsi alkohol serta menghindari bahan-bahan karsinogenik dapat menurunkan terjadinya kanker laring (Adams, 2005).