Profil Penderita Tumor Ganas Sinonasal Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2005-2009

(1)

PROFIL PENDERITA TUMOR GANAS SINONASAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2005-2009

   

 

TESIS

 

Oleh: Dr. AGUSSALIM

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN BEDAH

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

PROFIL PENDERITA TUMOR GANAS SINONASAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2005-2009

   

 

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah

Kepala Leher

Oleh: dr. Agussalim

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN BEDAH

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

Medan, 17 Maret 2011

Tesis dengan judul

PROFIL PENDERITA TUMOR GANAS SINONASAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2005-2009

 

Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing Ketua

dr. Hafni, Sp.THT-KL(K) NIP: 19560911 198403 2 001 

Anggota

dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K) dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K) NIP: 19610716 198803 2 001 NIP: 19510428 197802 2 001

Diketahui oleh Ketua Program Studi

dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Bismillahirahmanirrahim, saya sampaikan rasa syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh Magister dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasannya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian tentang Profil

Penderita Tumor Ganas Sinonasal di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2005-2009

Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

dr. Hafni, Sp.THT-KL(K) atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, begitu juga kepada dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K) dan dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K) sebagai anggota pembimbing serta dr. Bisara L. Tobing, MPH sebagai konsultan ahli. Ditengah kesibukan beliau , dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :


(5)

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Syahril Pasaribu, dr. SpA(K) DTM&H dan mantan Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr. SpA(K) DTM&H yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Gontar Alamsyah Siregar, dr. Sp.PD(KGEH) atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pendidikan program Magister Kedokteran Klinik di Fakultas Kedokteran USU.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Abdul Rachman Saragih, dr. Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL serta mantan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, Prof. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K) yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti pendidikan magister sampai selesai.

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP. H.Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet, Sp.THT-KL, Prof. Ramsi Lutan, dr. Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof. Askaroellah Aboet, dr. Sp.THT-KL(K), Prof. Abdul Rachman Saragih, dr. Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K), Dr. Dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr. Linda I Adenin,Sp.THT-KL, dr. Hafni, Sp.THT-KL (K), dr. Ida Sjailandrawati Hrp, SpTHT-Adenin,Sp.THT-KL, dr.Adlin


(6)

Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), (Almh) dr. Ainul Mardhiah, Sp.THT-KL, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf Asroel, Sp.THT-KL, dr. Farhat, Sp.THT-KL, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Asri Yudhistira, Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, SpTHT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, SpTHT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, SpTHT-KL dan dr. Ferryan Sofyan, Sp.THT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.

Yang terhormat perawat/paramedis dan seluruh karyawan/karyawati RSUP H. Adam Malik Medan , khususnya Departemen/SMF THT-KL yang selalu membantu dan bekerjasama dengan baik dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan selama ini.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda H. Anwar dan Hj. Masyitah Br Sitepu, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta diberikan suri tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh dalam menghadapi kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kehadirat Allah SWT, Ya Allah ampuni dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, serta kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sejak kecil.


(7)

Yang tercinta Bapak mertua Prof. H. M. Nadjib Dahlan Lubis, dr. Sp.PA(K) dan Ibu mertua Hj. Sainah Lubis yang selama ini telah memberikan dorongan dan restu untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Kepada istriku tercinta dr. Humairah Medina Liza Lubis, M. Ked (PA), Sp.PA, serta buah hati kami tersayang Qatrunnada Medina Salim, Mhd. Fathurridha Arabia Salim, Mhd. Fathir Aththariq Salim dan Mhd. Fardhan Al Zaidi Salim, tiada kata yang lebih indah yang dapat saya ucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan tiada tara, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya kepada ayahanda sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada Kakak dan Abang ipar seta Adik-adik dan Adik-adik ipar, penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan kami selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada kami selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.


(8)

Medan, Maret 2011 Penulis

Agussalim

                               


(9)

PROFIL PENDERITA TUMOR GANAS SINONASAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2005-2009

Abstrak

Latar Belakang. Tumor nasal dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Kebanyakan tumor ganas ini berkembang dari sinus maksilaris. Di Indonesia dan luar negeri didapatkan hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh dan 3% dari keganasan di kepala dan leher. Paparan terhadap substansi-substansi seperti serbuk kayu, debu tekstil dan kulit binatang, nikel, isopropyl oil, formaldehid dan lain sebagainya, terlibat sebagai faktor predisposisi keganasan sinonasal ini. Gejala klinis bergantung pada letak dan luasnya tumor. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral, rinorea, sekret bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tanda dan gejala ini sering diabaikan oleh penderita dan sering sulit dibedakan dari lesi benigna dan inflammatory disorder. serta hanya diterapi dengan antibiotika biasa sehingga tumor ganas sinonasal ini selalu terdiagnosis dalam stadium lanjut. Pemeriksaan penunjang seperti CT scan, MRI,

Positron emission tomography (PET) dan angiography sangat menolong dalam

diagnosis banding, sedangkan pemeriksaan histopatologi merupakan diagnosis pasti. Tumor ganas sinonasal merupakan penyebab kesakitan dan kematian di bidang otorinolaringologi di seluruh dunia. Untuk itu diperlukan suatu profil penderita tumor ganas sinonasal sehingga dapat dilakukan tindakan deteksi dini dan pengobatanpsesegerapmungkin. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang profil penderita tumor

ganas sinonasal di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2009.

Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan memaparkan data penderita yang diperoleh dari rekam medik penderita yang telah dilakukan pemeriksaan

CT scan dan histopatologi pada bulan Januari 2005 sampai Desember 2009 di RSUP H.

Adam Malik Medan.

Hasil. Hasil penelitian menunjukkan penderita tumor ganas sinonasal paling banyak ditemukan pada laki-laki (58,8%), kelompok umur 41-50 tahun (35,2%), suku Batak (49,0%), keluhan utama berupa hidung tersumbat (56,9%), lokasi pada kavum nasi dan sinus paranasal (60,8%), tipe histologi non keratinizing squamous cell carcinoma (56,9%) dan penderita dengan stadium klinis IV (56,9%).


(10)

Abstract

Background. Nasal and paranasal sinus tumors also called sinonasal tumors are rare, whether benign or malignant. Most of this malignancies are growing from the maxillary sinus. In Indonesia and worldwide get only about 1% of malignancies throughout the body and 3% of malignancies in the head and neck. Exposure to substances such as wood dust, textile or leather dusts, nickel, isopropyl oils, among others, has been implicated as a predisposing factor to sinonasal malignancies. The symptoms depend on the site and extent of tumor involvement.  Nasal symptoms of unilateral nasal obstruction, rinorea, mixed with blood or secretions occurred epistaxis. Signs and symptoms are often ignored by patients and often difficult to distinguish from benign lesions and inflammatory disorder, and only treated with common antibiotics, that tend to diagnosed at advanced stage. Ancillary examinations such as CT scans, MRI, positron emission tomography (PET) and angiography are helpful in differential diagnosis, whereas histopathologic examination is the definitive diagnosis. Sinonasal malignancy is a cause of otorhinolaryngologic morbidity and mortality in worldwide. With an accurate profile sinonasal malignancy, we can make anpearlypdetectionpandptreatment. The purpose of this research is to get data about patient’s profile of sinonasal malignancy at H. Adam Malik General Hospital Medan on 2005-2009.

Methods. This research was designed a descriptive research, explaining data was getting from patient of sinonasal malignancy’s medical record was done CT scan and histopathological examination on Januari 2005 until December 2009 from H. Adam Malik in Medan.

Results. The result of this research shows that patient of sinonasal malignancy mostly found on male (58,8%), age group is 41-50 (35,2%), the main complain is nasal obstruction (56,9%), tumor location is nasal cavuty and paranasal sinus (60,8%) histological type is non keratinizing squamous cell carcinoma (56,9%) and on patient with clinical stage is IV (56,9%).

Keywords : profile, sinonasal malignancy, location, histological subtype, clinical stage.

         


(11)

DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN……… KATA PENGANTAR……… ABSTRAK………..… ABSTRACT……… DAFTAR ISI……….. DAFTAR TABEL………..…….. DAFTAR GAMBAR………..……..

BAB 1. PENDAHULUAN……….…….………

1.1.Latar Belakang Penelitian………..……… 1.2. Rumusan Masalah………..……. 1.3. Tujuan Penelitian...

1.3.1. Tujuan Umum... 1.3.2. Tujuan Khusus... 1.4. Manfaat Penelitian...

i ii vii viii ix xiv xv . 1 1 4 4 4 4 4


(12)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 2.1. Tumor Ganas Sinanasal... 2.2. Anatomi... 2.2.1. Septum Nasi... 2.2.2. Perdarahan... 2.2.3. Sinus Paranasal... 2.3. Epidemiologi... 2.4. Etiologi... 2.5. Gambaran Klinis... 2.6. Diagnosis... 2.6.1. Pemeriksaan Fisik... 2.6.2. Radiologic Imaging... 2.7. Tumor Ganas Regio Nasal dan Sinonasal………. 2.7.1. Karsinoma Sel Skuamosa………..….. 2.7.1.1. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma…..….. 2.7.1.2. Mikroskopik Non-Keratinizing (Cylindrical Cell,

Transitional) Carcinoma………..………

5 5 5 5 6 7 9 11 11 13 13 13 15 16 17 17


(13)

2.7.2. Undifferentiated Carcinoma………....…….… 2.7.3. Limfoma Maligna………... 2.7.4. Adenokarsinoma………. 2.7.5. Melanoma Maligna………. 2.8. Klasifikasi TNM dan Sistem Staging……… 2.9. Penatalaksanaan……… 2.9.1. Pembedahan………. 2.9.1.1. Drainage/Debridement……….….. 2.9.1.2. Resection……….……… 2.9.2. Rehabilitasi………..… 2.9.3. Terapi Radiasi………..….. 2.9.4. Kemoterapi………..… 2.10. Prognosis………. 2.11. Kerangka Konsepsional………..….

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN... 3.1. Rancangan Penelitian... 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian...

18 19 20 20 21 30 30 30 30 31 31 31 32 33 34 34 34


(14)

3.2.1. Tempat Penelitian... 3.2.2. Waktu Penelitian... 3.3. Kerangka Kerja... 3.4. Populasi, Sampel dan Besar Sampel Penelitian……… 3.4.1. Populasi... 3.4.2. Sampel... 3.4.3. Besar Sampel... 3.5. Definisi Operasional………. 3.6. Analisis Data... 3.6.1. Analisis Univariat... 3.6.2. Analisis Bivariat... 3.7. Cara Kerja...

BAB 4. ANALISIS HASIL PENELITIAN... 34 34 35 35 35 35 35 36 36 37 37 37


(15)

BAB 5. PEMBAHASAN... 5.1. Analisis Univariat... 5.2. Analisis Bivariat...

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 6.1. Kesimpulan... 6.2. Saran...

DAFTAR RUJUKAN... 44 44 48

49 49 50

51

                   


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

5.1. Frekuensi proporsi penderita menurut Jenis Kelamin……….. 38

5.2. Frekuensi proporsi penderita menurut Suku Bangsa……… 39

5.3. Frekuensi proporsi penderita menurut Kelompok Usia………. 39

5.4. Frekuensi proporsi penderita menurut Keluhan Utama………. 40

5.5. Frekuensi proporsi penderita menurut Lama Menderita……… 40

5.6. Frekuensi proporsi penderita menurut Lokasi Tumor………... 41

5.7. Frekuensi proporsi menurut Stadium………. 41

5.8. Frekuensi proporsi menurut Hasil Pemeriksaan Histopatologi………. 42


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Klasifikasi histologi WHO tumor rongga hidung

dan sinus paranasal………..……….. 2.2. Karsinoma sel skuamosa, non-keratinizing………..……… 2.3. Nasal NK/T cell lymphoma……….... 2.4. T1 sinus maksilaris………..… 2.5. T2 sinus maksilaris………. 2.6. T3 sinus maksilaris……… 2.7. T4a sinus maksilaris……… 2.8. T4b sinus maksilaris……… 2.9. T1 rongga hidung dan sinus ethmoid……… 2.10. T2 rongga hidung dan sinus ethmoid……….… 2.11. T3 rongga hidung dan sinus ethmoid... 2.12. T4a rongga hidung dan sinus ethmoid……….. 2.13. T4b rongga hidung dan sinus ethmoid……… 2.14. Klasifikasi regional lymph node……….……… 2.15. Skema Kerangka Konsepsional………. 3.1. Skema Kerangka Kerja……… 35

16 18 19 22 22 23 23 24 25 26 26 27 27 28 33 35  


(18)

PROFIL PENDERITA TUMOR GANAS SINONASAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2005-2009

Abstrak

Latar Belakang. Tumor nasal dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Kebanyakan tumor ganas ini berkembang dari sinus maksilaris. Di Indonesia dan luar negeri didapatkan hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh dan 3% dari keganasan di kepala dan leher. Paparan terhadap substansi-substansi seperti serbuk kayu, debu tekstil dan kulit binatang, nikel, isopropyl oil, formaldehid dan lain sebagainya, terlibat sebagai faktor predisposisi keganasan sinonasal ini. Gejala klinis bergantung pada letak dan luasnya tumor. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral, rinorea, sekret bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tanda dan gejala ini sering diabaikan oleh penderita dan sering sulit dibedakan dari lesi benigna dan inflammatory disorder. serta hanya diterapi dengan antibiotika biasa sehingga tumor ganas sinonasal ini selalu terdiagnosis dalam stadium lanjut. Pemeriksaan penunjang seperti CT scan, MRI,

Positron emission tomography (PET) dan angiography sangat menolong dalam

diagnosis banding, sedangkan pemeriksaan histopatologi merupakan diagnosis pasti. Tumor ganas sinonasal merupakan penyebab kesakitan dan kematian di bidang otorinolaringologi di seluruh dunia. Untuk itu diperlukan suatu profil penderita tumor ganas sinonasal sehingga dapat dilakukan tindakan deteksi dini dan pengobatanpsesegerapmungkin. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang profil penderita tumor

ganas sinonasal di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2009.

Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan memaparkan data penderita yang diperoleh dari rekam medik penderita yang telah dilakukan pemeriksaan

CT scan dan histopatologi pada bulan Januari 2005 sampai Desember 2009 di RSUP H.

Adam Malik Medan.

Hasil. Hasil penelitian menunjukkan penderita tumor ganas sinonasal paling banyak ditemukan pada laki-laki (58,8%), kelompok umur 41-50 tahun (35,2%), suku Batak (49,0%), keluhan utama berupa hidung tersumbat (56,9%), lokasi pada kavum nasi dan sinus paranasal (60,8%), tipe histologi non keratinizing squamous cell carcinoma (56,9%) dan penderita dengan stadium klinis IV (56,9%).


(19)

Abstract

Background. Nasal and paranasal sinus tumors also called sinonasal tumors are rare, whether benign or malignant. Most of this malignancies are growing from the maxillary sinus. In Indonesia and worldwide get only about 1% of malignancies throughout the body and 3% of malignancies in the head and neck. Exposure to substances such as wood dust, textile or leather dusts, nickel, isopropyl oils, among others, has been implicated as a predisposing factor to sinonasal malignancies. The symptoms depend on the site and extent of tumor involvement.  Nasal symptoms of unilateral nasal obstruction, rinorea, mixed with blood or secretions occurred epistaxis. Signs and symptoms are often ignored by patients and often difficult to distinguish from benign lesions and inflammatory disorder, and only treated with common antibiotics, that tend to diagnosed at advanced stage. Ancillary examinations such as CT scans, MRI, positron emission tomography (PET) and angiography are helpful in differential diagnosis, whereas histopathologic examination is the definitive diagnosis. Sinonasal malignancy is a cause of otorhinolaryngologic morbidity and mortality in worldwide. With an accurate profile sinonasal malignancy, we can make anpearlypdetectionpandptreatment. The purpose of this research is to get data about patient’s profile of sinonasal malignancy at H. Adam Malik General Hospital Medan on 2005-2009.

Methods. This research was designed a descriptive research, explaining data was getting from patient of sinonasal malignancy’s medical record was done CT scan and histopathological examination on Januari 2005 until December 2009 from H. Adam Malik in Medan.

Results. The result of this research shows that patient of sinonasal malignancy mostly found on male (58,8%), age group is 41-50 (35,2%), the main complain is nasal obstruction (56,9%), tumor location is nasal cavuty and paranasal sinus (60,8%) histological type is non keratinizing squamous cell carcinoma (56,9%) and on patient with clinical stage is IV (56,9%).

Keywords : profile, sinonasal malignancy, location, histological subtype, clinical stage.

         


(20)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Penelitian

Tumor nasal dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal jinak maupun ganas pada umumnya jarang ditemukan. Di Indonesia dan luar negeri

didapatkan sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh dan 3% dari keganasan di kepala dan leher (Roezin, 2007; Bailey, 2006).

Sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari nasal atau sinus karena biasanya penderita datang berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor telah memenuhi kavum nasi dan seluruh sinus (Roezin, 2007).

Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus paranasal ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per 100.000 penduduk per tahun. Di bagian THT FK UI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT (Roezin, 2007). Rifqi mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di sepuluh kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus paranasal adalah 9,3-25,3% dari keganasan THT dan berada pada peringkat

kedua setelah tumor ganas nasofaring (dalam Tjahyadewi dan Wiratno, 1999). Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Januari 2002 sampai dengan Desember

2008 pasien yang dirawat dengan diagnosis karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak 52 kasus.


(21)

Gejala klinis bergantung pada letak dan luasnya tumor. Gejala nasal berupa obstruksi nasal unilateral, rinorea, sekret bercampur darah atau terjadi epistaksis. Epistaksis merupakan gejala yang sering dijumpai yang membawa penderita datang berobat. Karakteristik tumor ganas berupa sekret berbau karena mengandung jaringan nekrotik. Gejala-gejala orofasial, oftalmik dan serebral merupakan gejala yang telah lanjut (Roezin, 2007; Fasunla dan Lasisi, 2007). Tanda dan gejala ini sering diabaikan oleh penderita dan sering sulit dibedakan dari lesi benigna dan

inflammatory disorder, serta hanya diterapi dengan antibiotika biasa. Hal ini terjadi

oleh karena kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung sehingga tumor ganas sinonasal tidak pernah ditemukan pada stadium dini.

Diagnosis tumor kavum nasi dan sinus-sinus paranasal adalah berdasarkan

pemeriksaan histologi. Klasifikasi histologi menurut WHO dibagi atas: (1). epithelial tumours, (2). soft tissue tumours, (3). haematolymphoid tumours, (4). neuroectodermal, (5). germ cell tumours, dan (6). secondary tumours (Barnes,

Eveson, Reichart, Sidransky, 2005).

Keganasan tumor sinonasal dapat menyebabkan kematian dalam jumlah yang signifikan pada bidang otolaringologi. Kebanyakan tumor ini berasal dari sinus maksilaris dan predominan adalah jenis karsinoma sel skuamosa yang dijumpai pada 80% kasus. Secara umum, karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik timbul di dalam sel-sel etmoid posterior dan kavum nasi posterior. Karsinoma ini menyebar dengan cara perluasan lokal, metastasis berupa nodul jarang ditemukan meskipun pada penyakit yang telah lanjut. Paparan terhadap substansi-substansi seperti serbuk kayu, debu tekstil dan kulit binatang, nikel, isopropyl oil,


(22)

formaldehid dan lain sebagainya, terlibat sebagai faktor predisposisi keganasan sinonasal ini (Fasunla dan Lasisi, 2007; Myers, 1989).

Teschke et al dalam satu studi yang bertujuan untuk menentukan sumber paparan yang didapatkan akibat pekerjaan terhadap karsinogen-karsinogen nasal di British Columbia, Kanada menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok pekerja dengan resiko tinggi terjadi tumor ganas sinonasal adalah pekerja pabrik tekstil, kertas dan bubur kertas (Teschke et al, 1997). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Luce et al mendapatkan bahwa resiko tinggi dari adenokarsinoma berhubungan dengan paparan formaldehid dan pekerja perempuan dengan paparan debu tekstil. Level yang tinggi dari paparan asbestos berhubungan dengan resiko terjadinya karsinoma sel skuamosa (Luce et al, 2002). Alkohol, makanan yang diasin atau diasap di diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadinya keganasan (Roezin, 2007).

Indonesia umumnya dan Sumatera Utara khususnya memiliki begitu banyak pekerja industri yang tentunya setiap hari terpapar oleh karsinogen-karsinogen yang mengancam terjadinya keganasan pada sinonasal. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan melihat relatif seringnya penderita tumor sinonasal yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik dalam stadium lanjut, peneliti tertarik untuk mencari data statistik mengenai profil penderita tumor ganas sinonasal ini yang telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan biopsi jaringan untuk menentukan tipe histologinya. Diharapkan setelah penelitian ini akan ada penelitian-penelitian lanjutan untuk mencari faktor-faktor resiko yang mempengaruhi kejadian tumor ganas sinonasal pada masyarakat Sumatera Utara.


(23)

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan adalah belum diketahuinya profil pasien penderita tumor ganas sinonasal dan hubungan antara karakteriktik penderita (jenis kelamin, usia, suku bangsa, lama menderita, keluhan utama) dengan karakteristik tumor ganas sinonasal (lokasi, stadium, histopatologi).

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum

Mengetahui profil penderita dan hubungan karakteristik penderita dengan karakteristik tumor ganas sinonasal di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2005 – 2009.

1.3.2.Tujuan Khusus

Untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan peningkatan pelayanan kesehatan bagi penderita tumor ganas sinonasal.

1.4.Manfaat Penelitian

Untuk memperoleh data tentang tumor ganas sinonasal di RSUP H. Adam Malik Medan.


(24)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tumor Ganas Sinonasal

Tumor ganas sinonasal merupakan penyebab kesakitan dan kematian di bidang otorinolaringologi di seluruh dunia. Kebanyakan tumor ini berkembang dari sinus maksilaris dan tipe histologi yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa (Fasunla dan Lasisi, 2007; Luce et al, 2002).

2.2.Anatomi

Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri (Corbridge, 1998).

2.2.1. Septum Nasi

Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi juga dengan mukosa nasal (Corbridge, 1998).

Bagian tulang terdiri dari : • Lamina perpendikularis os etmoid

Lamina perpendikularis os etmoid terletak pada bagian supero-posterior dari septum nasi dan berlanjut ke atas membentuk lamina kribriformis dan krista gali. • Os vomer

Os vomer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os vomer merupakan ujung bebas dari septum nasi.


(25)

• Krista nasalis os maksila

Tepi bawah os vomer melekat pada krista nasalis os maksila dan os palatina. • Krista nasalis palatina (Corbridge, 1998; Lund, 1997).

Bagian tulang rawan terdiri dari :

• Kartilago septum (kartilago kuadrangularis)

Kartilago septum melekat dengan erat pada os nasal, lamina perpendikularis os etmoid, os vomer dan krista nasalis os maksila oleh serat kolagen.

• Kolumela

Kedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan satu sama lain oleh sekat tulang rawan dan kulit yang disebut kolumela (Corbridge, 1998; Lund, 1997).

2.2.2. Perdarahan

Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari a,karotis eksterna). Septum nasi bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari a.maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang dari a.fasialis) memperdarahi septum bagian anterior mengadakan anastomose membentuk fleksus Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang merupakan sumber perdarahan pada epistaksis.

Arteri karotis interna memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri etmoidalis anterior dan superior.

Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior septum ke fleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis. Pada


(26)

bagian superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus sagitalis superior (Lund, 1997).

2.2.3. Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar nasal dan mempunyai hubungan dengan kavum nasi melalui ostiumnya (Mangunkusumo, 1999). Terdapat empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus frontalis, sfenoidalis, etmoidalis, dan maksilaris. Sinus maksilaris dan etmoidalis mulai berkembang selama dalam masa kehamilan. Sinus maksilaris berkembang secara cepat hingga usia tiga tahun dan kemudian mulai lagi saat usia tujuh tahun hingga 18 tahun dan saat itu juga air-cell ethmoid tumbuh dari tiga atau empat sel menjadi 10-15 sel per sisi hingga mencapai usia 12 tahun (Jhosephson dan Roy, 1999).

Sinus maksilaris adalah sinus paranasal pertama yang mulai berkembang dalam janin manusia. Sinus ini mulai berkembang pada dinding lateral nasal sekitar hari 65 kehamilan. Sinus ini perlahan membesar tetapi tidak tampak pada foto polos sampai bayi berusia 4-5 bulan. Pertumbuhan dari sinus ini bifasik dengan periode pertama di mulai pada usia tiga tahun dan tahap kedua di mulai lagi pada usia tujuh hingga 12 tahun. Selama tahap kedua ini, pneumatisasi meluas secara menyamping hingga dinding lateral mata dan bagian inferior ke prosesus alveolaris bersamaan dengan pertumbuhan gigi permanen. Perluasan lambat dari sinus maksilaris ini berlanjut hingga umur 18 tahun dengan kapasitasnya pada orang dewasa rata-rata 14,75 ml. Sinus maksilaris mengalirkan sekret ke dalam meatus media (Jhosephson dan Roy, 1999; Russel, 2000)


(27)

Sel etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses perkembangan janin. Sinus etmoidalis anterior merupakan evaginasi dari dinding lateral nasal dan bercabang ke samping dengan membentuk sinus etmoidalis posterior dan terbentuk pada bulan keempat kehamilan. Saat dilahirkan sel ini diisi oleh cairan sehingga sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia satu tahun sinus etmoidalis baru bisa

dideteksi melalui foto polos dan setelah itu membesar dengan cepat hingga usia 12 tahun. Sinus etmoidalis anterior dan posterior ini dibatasi oleh lamina basalis.

Jumlah sel berkisar 4-17 sel pada sisi masing-masing dengan total volume rata-rata 14-15 ml. Sinus etmoidalis anterior mengalirkan sekret ke dalam meatus media, sedangkan sinus etmoidalis posterior mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior. Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior harus dilakukan dengan hati-hati karena terdapat dua daerah rawan. Daerah pertama adalah daerah arteri etmoid anterior yang merupakan cabang arteri oftalmika, terdapat di atap sinus etmoidalis dan membentuk batas posterior resesus frontal. Arteri ini berada pada dinding koronal yang sama dengan dinding anterior bula etmoid. Daerah yang kedua adalah variasi anatomi yang disebut dengan sel onodi. Sel onodi adalah sel udara etmoid posterior yang berpneumatisasi ke postero-lateral atau postero-superior terhadap dinding depan sinus sfenoidalis dan melingkari nervus optikus dan dapat dikira sebagai sinus sfenoidalis (Jhosephson dan Roy, 1999; Russel, 2000).

Sinus frontalis mulai berkembang sepanjang bulan keempat kehamilan, merupakan satu perluasan ke arah atas dari sel etmoidal anterosuperior. Sinus frontalis jarang tampak pada pemeriksaan foto polos sebelum umur lima atau enam tahun setelah itu perlahan tumbuh, total volume 6-7 ml. Pneumatisasi sinus frontalis


(28)

mengalami kegagalan pengembangan pada salah satu sisi sekitar 4-15% populasi. Sinus frontalis mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis (Jhosephson dan Roy, 1999; Russel, 2000).

Sinus sfenoidalis mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan yang merupakan evaginasi mukosa dari bagian superoposterior kavum nasi. Sinus ini berupa suara takikan kecil di dalam os sfenoid sampai umur tiga tahun ketika mulai pneumatisasi lebih lanjut, Pertumbuhan cepat untuk mencapai tingkat sella

tursika pada umur tujuh tahun dan menjadi ukuran orang dewasa setelah umur 18 tahun, total volume 7,5 ml. Sinus sfenoidalis mengalirkan sekretnya ke dalam

meatus superior bersama dengan etmoid posterior (Jhosephson dan Roy, 1999). Mukosa sinus terdiri dari ciliated pseudostratified, columnar epithelial cell, sel Goblet, dan kelenjar submukosa menghasilkan suatu selaput lendir bersifat melindungi. Selaput lendir mukosa ini akan menjerat bakteri dan bahan berbahaya yang dibawa oleh silia, kemudian mengeluarkannya melalui ostium dan ke dalam nasal untuk dibuang (Jhosephson dan Roy, 1999).

2.3.Epidemiologi

Tumor ganas rongga nasal dan sinus paranasal diperkirakan sebesar 1% dari seluruh neoplasma ganas manusia dan 3% dari jumlah ini ditemukan pada kepala dan leher. Secara tipikal ditemukan pada dekade ke lima dan ke tujuh kehidupan dan rasio perbandingan antara pria dan wanita adalah sebesar 2:1 (Bailey, 2006; Barnes, Eveson, Reichart, Sidransky, 2005).

Insiden tumor ganas rongga nasal dan sinus paranasal (tumor ganas sinonasal) rendah pada kebanyakan populasi (<1,5/100.000 pada pria dan <0,1/100.000 pada


(29)

wanita). Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per 100.000 penduduk pertahun, juga ditemukan di beberapa tempat tertentu di Cina dan India. Di Departemen THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki banding wanita sebesar 2:1 (Roezin, 2007). Rifqi mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di sepuluh kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3–25,3% dari keganasan THT dan berada pada peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring (Tjahyadewi dan Wiratno, 1999). Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Januari 2002 sampai dengan Desember 2008 pasien yang dirawat dengan diagnosis karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak 52 kasus.

Insidensi di India sekitar 0,44% dari seluruh keganasan di India dengan perbandingan antara pria dan wanita adalah 0,57% banding 0,44%. Insiden pada tahun 2000 adalah 0,3 per 100.000 penduduk. Kebanyakan melibatkan sinus maksila diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid. Penyakit ini sering pada usia 40-60 tahun (Dhingra, 2007).

Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan. Enam

puluh persen tumor sinonasal berkembang di dalam sinus maksilaris, 20-30% di dalam rongga nasal, 10-15% di dalam sinus etmoidalis, dan 1% di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Apabila hanya melibatkan sinus-sinus

paranasal tersendiri, 77% tumor maligna muncul di dalam sinus maksilaris, 22% di dalam sinus etmoidalis dan 1% di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis.


(30)

kecacatan dalam jumlah yang signifikan (Barnes, Eveson, Reichart, Sidransky, 2005).

2.4.Etiologi

Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, isopropyl oil dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat kemungkinan terjadi keganasan sinonasal jauh lebih besar. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan (Roezin, 2007; Myers, 1989; D’Errico, Pasian, Baratti, Zanelli, Alfonzo, Gilardi, 2009).

Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras seperti beech dan oak, merupakan faktor resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal. Peningkatan resiko (5-50 kali) ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor ganas yang berasal dari sinus. Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah penghentian paparan. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif juga menjadi faktor resiko tambahan (Roezin, 2007; Myers, 1989; Dhingra, 2007).

2.5.Gambaran Klinis

Tumor nasal dan sinus paranasal dalam keadaan tertentu tidak memberikan gejala yang tetap. Mungkin hanya berupa rasa penekanan atau nyeri, atau tidak dijumpai rasa nyeri. Sumbatan nasal satu sisi dapat diduga suatu tumor sampai


(31)

dapat dibuktikan dengan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang lain. Sekret dapat encer, serosanguinosa atau purulen. Mungkin ditemukan parastesia, anestesia atau paralisis saraf-saraf otak. Nyeri apabila dijumpai, lebih terasa di malam hari atau bila pasien berbaring. Mungkin pula gejalanya menjalar ke gigi atas atau gigi palsu bagian atas terasa menjadi tidak pas lagi. Dapat terjadi pembengkakan wajah sebelah atas seperti sisi batang nasal dan daerah kantus medius, penonjolan daerah pipi, pembengkakan palatum durum, palatum mole, tepi alveolar atau lipatan mukosa mulut dan epistaksis. Pada 9% hingga 12% pasien sering asimtomatik sehingga diagnosis sering terlambat dan penyakit telah memasuki stadium lanjut (Bailey, 2006; Ballenger, 1994).

Perubahan daerah orbita pada tumor sinus relatif sering ditemukan. Dapat pula terdapat gangguan persarafan otot-otot eksterna bola mata. Isi rongga orbita dapat terdorong ke berbagai arah dengan akibat timbulnya proptosis dan enoftalmus. Penonjolan di belakang tepi infraorbital atau tepi supraorbital dapat teraba. Sumbatan saluran lakrimalis dapat timbul. Trismus merupakan gejala yang mengganggu dan ini merupakan pertanda perluasan penyakit ke arah daerah pterigoid. Perluasan ke arah nasofaring dapat menimbulkan gejala sumbatan tuba Eustachius, seperti nyeri telinga, tinnitus dan gangguan pendengaran (Ballenger, 1994).

Metastasis regional dan jauh sering tidak terjadi meskipun penyakit telah berada dalam stadium lanjut. Insidensi metastasis servikal pada gejala awal bervariasi dari 1% hingga 26%, dari kasus yang pernah dilaporkan yang terbanyak adalah kurang dari 10%. Hanya 15% pasien dengan keganasan sinus paranasal berkembang menjadi metastasis setelah pengobatan pada lokasi primer. Jumlah ini


(32)

berkurang hingga 11% pada pasien yang mendapat terapi radiasi pada leher (Bailey, 2006).

2.6.Diagnosis

2.6.1.Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama, dengan penekanan pada regio sinonasal, orbita dan syaraf-syaraf kranial, juga harus dilakukan endoskopi nasal. Meskipun bukan patognomonik, mati rasa (kebas) atau hypesthesia syaraf infraorbital (V2) atau supraorbital (V3) secara kuat merupakan sangkaan invasi keganasan. Temuan-temuan lain seperti proptosis, kemosis, kelemahan otot ekstraokular, dan adanya massa di pipi, gingival atau sulkus gingivobuccal juga sangkaan adanya tumor sinonasal (Bailey, 2006).

2.6.2. Radiologic Imaging

Radiologic imaging penting untuk menentukan staging. Plain film

menunjukkan destruksi tulang, meskipun demikian pada beberpa kasus dapat menunjukkan keadaan normal (Bailey, 2006).

Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat daripada plain film

untuk menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih murah daripada plain film. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan simtom persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras atau magnetic

resonance imaging (MRI). CT scanning merupakan pemeriksaan superior untuk


(33)

kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotid (Bailey, 2006).

MRI dipergunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan soft tissue, membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space occupying lesion, menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan keunggulan imaging pada

sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI

image terdepan untuk mengevaluai foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale

dan optic canal. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement signal

berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam pterygopalatine fossa oleh signal tumor yang mirip dengan otak (Bailey, 2006; Maroldi et al, 2004).

Positron emission tomography (PET) sering digunakan untuk keganasan kepala

dan leher untuk staging dan surveillance. Kombinasi PET/CT scan ditambah dengan anatomic detail membantu perencanaan pembedahan dengan cara melihat luasnya tumor. Meskipun PET ini banyak membantu dalam menilai keganasan kepala dan leher tetapi sangat sedikit kegunaannya untuk menilai keganasan pada nasal dan sinus paranasal (Bailey, 2006).

Angiography dengan carotid-flow study digunakan untuk penderita yang akan

menjalani operasi dengan tumor yang telah mengelilingi arteri karotid. Tes balloon

exclusion digunakan dengan single-photon emission CT (SPECT), xenon CT scan

atau trnascranial Doppler, dianjurkan apabila diduga terjadi resiko infark otak

iskemik jika areteri karotid internal dikorbankan. Tes ini tidak dapat memprediksi iskemik pada area marginal (watershed) atau fenomena embolik (Bailey, 2006).


(34)

CT scan dada dan abdomen direkomendasikan untuk pasien dengan tumor yang bermetastasis secara hematogen, seperti sarkoma, melanoma dan karsinoma kistik adenoid. Penilaian metastasis penting jika reseksi luas dipertimbangkan untuk dilakukan. Lumbar dan brain puncture serta spine imaging direkomendasikan jika tumor telah menginvasi meningen atau otak (Bailey, 2006).

Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di kavum nasi atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan melalui tindakan rinoskopi atau melalui operasi Caldwell-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukkal (Roezin, 2007).

2.7.Tumor Ganas Regio Nasal dan Sinonasal

Tipe histologi utama yang sering ditemukan pada tumor ganas regio nasal dan sinonasal terdiri dari karsinoma sel skuamosa atau karsinoma epidermoid

(46%), limfoma maligna (14%), adenokarsinoma (13%) terutama berasal dari kelenjar salivari minor atau disebut juga Schneiderian carcinoma dan melanoma maligna (9%) (Abecasiset al, 2004; Koss dan Leopold, 2006).


(35)

Berikut ini adalah klasifikasi histologi tumor ganas di daerah hidung dan sinus paranasal menurut WHO:

Gambar 2.1. Klasifikasi histologi WHO tumor rongga hidung dan sinus paranasal

2.7.1. Karsinoma Sel Skuamosa

Karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma epitelial maligna yang berasal dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus paranasal termasuk tipe keratinizing

dan non keratinizing (Barnes et al, 2005; Wolpoeet al, 2006).

Karsinoma sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus sfenoidalis dan frontalis (sekitar 1%) (Barneset al, 2005; Dhingra, 2007; Dhingra, 2007; Adams, 1997).

Simtom berupa rasa penuh atau hidung tersumbat, epistaksis, rinorea, nyeri, parastesia, pembengkakan pada hidung, pipi atau palatum, luka yang tidak kunjung


(36)

sembuh atau ulkus, adanya massa pada kavum nasi, pada kasus lanjut dapat terjadi proptosis, diplopia atau lakrimasi. Pemeriksaan radiologis, CT scan atau MRI didapatkan perluasan lesi, invasi tulang dan perluasan pada struktur-struktur yang bersebelahan seperti pada mata, pterygopalatine atau ruang infratemporal (Barnes

et al, 2005; Joong et al, 2009).

Secara makroskopik, karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic,

fungating atau papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau

indurated, demarcated atau infiltratif (Barneset al, 2005).

2.7.1.1.Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari lokasi

mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi skuamosa, di dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler (sitoplasma merah

muda, sel-sel diskeratotik) dan/atau intercellular bridges. Tumor tersusun di dalam sarang-sarang, massa atau sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan tidak beraturan. Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik. Karsinoma ini dinilai berupa diferensiansi baik, sedang atau buruk (Barneset al, 2005; Wolpoe et al, 2006).

2.7.1.2. Mikroskopik Non-Keratinizing (Cylindrical Cell, transitional) Carcinoma Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang dikarakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. Dapat menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal sebagai skuamosa, dan harus dibedakan dari olfactory neuroblastoma atau karsinoma neuroendokrin (Barneset al, 2005).


(37)

Gambar. 2.2. Karsinoma sel skuamosa, non-keratinizing. Pulau-pulau sel-sel tumor kohesif menginvasi ke dalam stroma dibawahnya. Permukaan karsinoma in situ terlihat

(Barneset al, 2005).

2.7.2. Undifferentiated Carcinoma

Undifferentiated carcinoma merupakan karsinoma yang jarang ditemukan,

sangat agresif dan histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa massa yang cepat memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Gambaran mikroskopik berupa proliferasi hiperselular dengan pola pertumbuhan yang bervariasi, termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid. Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar dan bentuk bulat hingga oval dan memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti menonjol, sitoplasma eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan gambaran mitosis atipikal, nekrosis tumor dan apoptosis. Pemeriksaan tambahan seperti imunohistokimia, mikroskop elektron dan biologi molekuler seringkali diperlukan dalam diagnosis undifferentiated carcinoma dan dapat membedakan keganasan ini dari neoplasma ganas lainnya.


(38)

2.7.3. Limfoma Maligna

Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal dari sel natural

killer (NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus mengindikasikan bahwa

limfoma primer dapat juga berasal dari sel B dan T. Limfoma pada nasal jarang ditemukan di western countries, umumnya dijumpai di negara-negara Asia (Kitamaru et al, 2005).

Dikarakteristikkan dengan infiltrat limfomatosa difus yang meluas ke mukosa nasal dan sinus paranasal, dengan pemisahan yang luas dan destruksi mukosa kelenjar sehingga memperlihatkan clear cell change. Nekrosis koagulatif luas dan

apoptotic bodies selalu ditemukan. Dinding pembuluh darah sering ditemukan

angiosentrik, angiodestruksi dan deposit fibrinoid. Sel-sel limfoma ukurannya bervariasi mulai dari kecil, medium hingga berukuran besar. Sel-sel memiliki sitoplasma pucat dan granul azurofilik pada sitoplasmanya yang dapat dilihat dengan pewarnaan Giemsa. Beberapa kasus berhubungan dengan infiltrat inflamatori yang mengandung limfosit kecil, histiosit, sel-sel plasma dan eosinofil. Terkadang hiperlasia pseudoepiteliomatosa pada pelapis epitel skuamosa dapat ditemukan, menyerupai karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik (Barnes et al, 2005).

Gambar 2.3. Nasal NK/T cell lymphoma. A. Mukosa intak dan terlihat sebaran infiltrat sel-sel limfoma. B. Infiltrat limfoid mukosa merusak kelenjar mukosa hingga tidak


(39)

2.7.4. Adenokarsinoma

Sinonasal adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14% dari keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan

neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus

aerodigestivus bagian atas. Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid. Simtom primer berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi dan/atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya (Myers, 1989; Abecasis et al, 2004).

Adenokarsinoma menunjukkan tiga pola pertumbuhan yaitu sessile, papilari

dan alveolar mucoid. Adenokarsinoma menyebar dengan menginvasi dan merusak

jaringan lunak dan tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis (Myers, 1989). Prognosis jelek dan biasanya penderita meninggal dunia disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya metastasis (Leivo, 2007).

2.7.5. Melanoma Maligna

Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita, dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin. Secara makroskopik, massa polipoid berwarna keabu-abuan atau hitam kebiru-biruan pada 45% kasus. Di dalam kavum nasi, lokasi yang sering ditemukan melanoma maligna ini adalah daerah posterior septum nasal diikuti dengan turbinate medial dan inferior. Tumor menyebar melalui aliran darah atau limfatik. Metastasis nodul servikal dapat ditemukan pada pemeriksaan awal (Myers, 1989; Dhingra, 2007; Hansom, 2002).


(40)

2.8.Klasifikasi TNM dan Sistem Staging

Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang terbaru adalah menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu:

Tumor Primer (T) Sinus maksilaris

TX Tumor primer tidak dapat ditentukan T0 Tidak tampak tumor primer

Tis Karsinoma in situ

T1 Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi tulang (Gambar 2.4)

T2 Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan fossa pterigoid(Gambar 2.5)

T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus etmoidalis (Gambar 2.6)

T4a Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal (Gambar 2.7 A,B)

T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus trigeminal V2, nasofaring atau klivus (Gambar 2.8)


(41)

Gambar 2.4. T1 terbatas pada mukosa sinus maksilaris (Greene, 2006).

 

Gambar 2.5. T2 menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan fossa pterigoid (Greene, 2006).


(42)

Gambar 2.6. Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus

maksilaris, jaringan subkutaneus, dinding dasar dan

medial orbita, fossa pterigoid, sinus etmoidalis (Greene, 2006).

Gambar 2.7. A. T4a menunjukkan invasi tumor pada anterior orbita. B. T4a menunjukkan invasi tumor pada sinus sfenoidalis dan fossa kribriformis


(43)

Gambar 2.8. Pandangan koronal T4b menunjukkan tumor menginvasi apeks orbita dan atau dura, otak atau fossa kranial medial (Greene, 2006).

Kavum Nasi dan Sinus Etmoidalis

TX Tumor primer tidak dapat ditentukan T0 Tidak tampak tumor primer

Tis Karsinoma in situ

T1 Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang (Gambar 2.9)

T2 Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks, dengan atau tanpa invasi tulang (Gambar 2.10)

T3 Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksilaris, palatum atau fossa kribriformis(Gambar 2.11)


(44)

T4a Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid, sinus sfenoidalis atau frontal (Gambar 2.12)

T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari V2, nasofaring atau klivus

Gambar 2.9. Pada kavum nasi dan sinus etmoidalis, T1 didefinisikan sebagai tumor yang terbatas pada salah satu bagian, dengan atau tanpa invasi tulang(Greene, 2006).


(45)

Gambar 2.10. T2 didefinisikan sebagai tumor yang menginvasi dua bagian di dalam satu regioatau meluas hingga melibatkan regio yang berdekatan di dalam daerah nasoetmoidalis kompleks (kavum nasi dan etmoid) dengan atau tanpa invasi tulang

(Greene, 2006).

Gambar 2.11. Dua pandangan dari T3 menunjukkan tumor menginvasi sinus maksilaris dan palatum (kiri) dan meluas ke dasar orbita dan fossa kribriformis(kanan)((Greene,


(46)

Gambar 2.12. T4a menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior,fossa pterigoid, sinus sfenoidalis atau

frontal(Greene, 2006).

Gambar 2.13.Dua pandangan dari T4b. Pandangan koronal kiri menunjukkan invasi di dalam apeks orbita dan otak. Kanan, tumor menginvasi klivus(Greene, 2006).


(47)

Kelenjar getah bening regional (N) (Gambar 2.14) NX Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar N0 Tidak ada pembesaran kelenjar

N1 Pembesarankelenjar ipsilateral ≤3 cm

N2 Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar ipsilateral <6 cm atau metastasis bilateral atau kontralateral < 6 cm

N2a Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm

N2b Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6 cm

N2c Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih dari 6 cm N3 Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm

Gambar 2.14. Klasifikasikelenjar getah bening regional (N) untuk seluruh keganasan kepala dan leher kecuali karsinoma nasofaring dan tiroid(Greene, 2006).


(48)

Metastasis Jauh (M)

MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai M0 Tidak ada metastasis jauh

M1 Terdapat metastasis jauh (Greene, 2006).

Stadium tumor ganas nasal dan sinus paranasal

0 Tis N0 M0

I T1 N0 M0

II T2 N0 M0

III T3 N0 M0

T1 N1 M0

T2 N1 M0

T3 N1 M0

IVA T4a N0 M0

T4a N1 M0

T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N2 M0

T4a N2 M0

IVB T4b Semua N M0

Semua T N3 M0


(49)

2.9. Penatalaksanaan 2.9.1. Pembedahan

2.9.1.1. Drainage/Debridement

Drainage adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dibuka pada pasien

dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi radiasi sebagai pengobatan primer (Bailey, 2006).

2.9.1.2. Resection

Surgical resection selalu direkomendasikan dengan tujuan kuratif. Palliative

excision dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah, untuk dekompresi

cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk debulking lesi massif, atau untuk membebaskan penderita dari rasa malu. Pembedahan merupakan penatalaksanaan tunggal untuk tumor maligna traktus sinonasal dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 19% hingga 86% (Bailey, 2006).

Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam preoperative imaging,

intraoperative image-guidance system, endoscopic instrumentation dan material

untuk hemostasis, teknik sinonasal untuk mengangkat tumor nasal dan sinus paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk traditional

open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk melihat tumor dalam

rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial frontal dan sinus maksilaris medial. Frozen

section harus digunakan untuk melihat batas bebas tumor (Bailey, 2006; Zinreich,

2006; Nicolai et al, 2008; Lund et al, 2007; Poetker et al, 2005).


(50)

2.9.2.Rehabilitasi

Tujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan luka primer, memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah kemudian memperlancar proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan dapat dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap seperti flap otot temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau

microvascular free myocutaneous dan cutaneous flap (Bailey, 2006).

2.9.3.Terapi Radiasi

Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan atau sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi tidak menyebabkan kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang pembedahan dan penyembuhan luka post operasi lebih dapat diperkirakan (Bailey, 2006).

2.9.4. Kemoterapi

Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal biasanya paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau untuk mengecilkan lesi eksternal massif. Penggunaan cisplatin intrarterial dosis tinggi dapat digunakan secara bersamaan dengan radiasi pada pasien dengan karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 53%. Pasien yang menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak untuk dilakukan operasi dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan kemoterapi (Bailey, 2006).


(51)

2.10. Prognosis

Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi prognosis keganasan nasal dan sinus paranasal, cara tepat dan akurat. Faktor-faktor tersebut seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian, pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor (Roezin, 2007; Nazar et al, 2004).


(52)

2.11.Kerangka Konsepsional

Suspek Tumor Ganas Sinonasal Paparan

karsinogen lingkungan

Genetik ?

Tipe histologi

Stadium klinis Jenis kelamin

Umur Suku Keluhan Utama Lama Menderita Lokasi tumor

Tumor Ganas Sinonasal

CT scan

= yang akan diteliti


(53)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian merupakan penelitian case series.

3.2.Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1.Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di SMF THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan. 3.2.2.Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2010 sampai Februari 2011 yang meliputi studi kepustakaan, pengumpulan data, penelitian, analisa data dan penulisan laporan penelitian.

Jadwal Kegiatan (tahun 2010-2011)

No Kegiatan

Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar 1. Studi kepustakaan x

2. Pengumpulan data

3. Penelitian

4. Analisa data


(54)

3.3.Kerangka Kerja

Penderita tumor ganas sinonasal

(tahun 2005-2009) Jenis kelamin Umur Suku Keluhan Utama Lama Menderita Lokasi Tumor Tipe histologi Stadium klinis Rekam Medik

Gambar 3.1.Skema Kerangka Kerja

3.4.Populasi, Sampel dan Besar Sampel 3.4.1.Populasi

Populasi penelitian adalah semua penderita tumor ganas sinonasal yang telah dilakukan pemeriksaan CT scan dan biopsi jaringan di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Januari 2005 sampai Desember 2009.

3.4.2. Sampel

Sampel penelitian adalah seluruh penderita tumor ganas sinonasal di RSUP H. Adam Malik Medan sejak Januari 2005 sampai dengan Desember 2009 yang datanya diambil dari rekam medik.

3.4.3.Besar Sampel

Penentuan besar sampel pada penelitian ini adalah berdasarkan lamanya waktu, yaitu jumlah penderita dengan diagnosis tumor ganas sinonasal di RSUP H. Adam Malik Medan sejak Januari 2005 sampai dengan Desember 2009.


(55)

3.5. Definisi Operasional

Tumor ganas sinonasal adalah keganasan yang dapat berasal dari komponen epitelial dan nonepitelial yang berkembang pada sinonasal.

• Jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan.

• Umur adalah usia yang dihitung dalam tahun dan menurut ulang tahun terakhir. Perhitungannya berdasarkan kalender Masehi.

• Suku adalah suatu kelompok masyarakat dengan budaya, adat istiadat tatanilai, norma dan bahasa tertentu.

• Keluhan utama adalah keadaan atau kondisi yang menyebabkan penderita datang berobat.

• Lama menderita adalah jangka waktu yang dihitung mulai dari penderita merasakan keluhan hingga datang berobat.

• Tipe histologi adalah jenis dari suatu tumor jinak maupun ganas yang sediaannya diambil dari jaringan biopsi atau hasil operasi dan dilihat di bawah mikroskop oleh seorang ahli patologi.

• Stadium klinis adalah penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem TNM menurut klasifikasi American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006.

3.6. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan dua cara yaitu analisis univariat dan analisis bivariat.


(56)

3.6.1.Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk menyatakan deskripsi data seperti rerata, median, mode, proporsi dan sebagainya dan hanya melibatkan satu variabel (Sastroasmoro, 2002).

3.6.2.Analisis Bivariat

Analisis bivariat dinyatakan untuk menyatakan hubungan variabel-variabel yang menjadi karakteristik pasien dengan variabel-variabel yang menjadi karakteristik penyakit. (Sastroasmoro, 2002).

3.7.Cara Kerja

Pengumpulan data-data diperoleh dari rekam medik pasien-pasien tumor ganas

sinonasal yang telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi di Poliklinik THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan. Data dikumpulkan

dari bulan Januari 2005 sampai Desember tahun 2009. Data-data yang tidak lengkap dikeluarkan dari penelitian. Data-data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan dideskripsikan.


(57)

BAB 4

ANALISIS HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher RSUP H. Adam Malik Medan mulai bulan Januari 2005 hingga bulan Desember 2009. Data yang terkumpul sebanyak 51 orang yang memenuhi kriteria inklusi dari penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan.

Tabel 5.1. Frekuensi proporsi penderita menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N %

Laki-laki 30 58,8

Perempuan 21 41,2

Total 51 100,0

Berdasarkan tabel di atas, jumlah penderita tumor ganas sinonasal yang ditemukan di RSUP H. Adam Malik Medan sebanyak 51 orang, jumlah penderita laki-laki ditemukan sebanyak 30 orang (58,8%) dan jumlah penderita perempuan ditemukan sebanyak 21 orang (41,2%).


(58)

Tabel 5.2. Frekuensi proporsi penderita menurut Suku Bangsa

Suku Bangsa N %

Batak 25 49,0

Minang 1 2,0

Jawa 14 27,5

Aceh 7 13,7

Melayu 3 5,9

China 1 2,0

Total 51 100,0

Berdasarkan tabel di atas, penderita bersuku Batak paling sering ditemukan berjumlah 25 orang (49,0%), diikuti suku Jawa sebanyak 14 orang (27,5%).

Tabel 5.3. Frekuensi proporsi penderita menurut Kelompok Usia

Kelompok Usia N %

=<30 7 13,7

30 - <50 23 45,1

50 - <70 18 35,3

>70 3 5,9

Total 51 100,0

Berdasarkan tabel di atas, penderita pada kelompok usia 30-<50 tahun paling sering ditemukan berjumlah 23 orang (45,1%). Usia terendah adalah 16 tahun sedangkan usia tertinggi adalah 78 tahun. Rata-rata usia adalah 47 tahun.


(59)

Tabel 5.4. Frekuensi proporsi penderita menurut Keluhan Utama

Keluhan Utama N %

Hidung tersumbat 29 56,9

Hidung berdarah 6 11,8

Pipi bengkak 9 17,6

Benjolan dalam rongga hidung 7 13,7

Total 51 100,0

Berdasarkan tabel di atas, keluhan utama yang tersering yang membawa penderita datang berobat adalah hidung tersumbat sebanyak 29 kasus (56,9%), diikuti pipi bengkak sebanyak 9 kasus (17,6%).

Tabel 5.5. Frekuensi proporsi penderita menurut Lama Menderita

Lama Menderita N %

1tahun 32 62,7

>1tahun - 5tahun 16 31,4

>5tahun 3 5,9

Total 51 100,0

Berdasarkan tabel di atas, lama menderita penyakit tersebut adalah 1 tahun sebanyak 32 kasus (62,7%). Berdasarkan anamnesa, lama keluhan yang paling singkat adalah 1 bulan, sedangkan yang paling lama adalah 10 tahun.


(60)

Tabel 5.6. Frekuensi proporsi penderita menurut Lokasi Tumor

Lokasi Tumor N %

Kavum nasi 35 68,6

Sinus paranasal 6 11,8

Kavum nasi dan sinus paranasal 10 19,6

Total 51 100,0

Berdasarkan tabel di atas, lokasi tumor tersering adalah pada kavum nasi sebanyak 35 kasus (68,6%), diikuti kavum nasi dan sinus paranasal sebanyak 10 kasus (19,6%).

Tabel 5.7. Frekuensi proporsi menurut Stadium

Stadium N %

I 4 7,8

II 3 5,9

III 15 29,4

IV 29 56,9

Total 51 100,0

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar pasien datang pada stadium lanjut (stadium III dan IV) sebanyak 44 kasus (86,3%), dimana yang paling banyak ditemukan pasien dengan stadium klinis IV sebanyak 29 kasus (56,9%), diikuti stadium klinis III sebanyak 15 kasus (29,4%), stadium I sebanyak 4 kasus (7,8%) dan stadium II sebanyak 3 kasus (5,9%).


(61)

Tabel 5.8. Frekuensi proporsi menurut Hasil Pemeriksaan Histopatologi

Hasil Pemeriksaan Histopatologi N %

Keratinizing SC 8 15,7

Non-keratinizing SC 29 56,9

Undifferentiated Ca 3 5,9

Limfoma Maligna 1 2,0

Adenocarcinoma 9 17,6

Melanoma Maligna 1 2,0

Total 51 100,0

Berdasarkan tabel di atas, non keratinizing squamous cell carcinoma merupakan tipe histologi tersering yang ditemukan yaitu sebanyak 29 kasus (56,9%), diikuti adenokarsinoma sebanyak 9 kasus (17,6%). Sedangkan keratinizing squamous cell

carcinoma sebanyak 8 kasus (15,7%), undifferentiated carcinoma sebanyak 3 kasus

(5,9%), limfoma maligna dan melanoma maligna masing-masing sebanyak 1 kasus (4,0%).

Tabel 5.9. Hasil Uji Bivariat antara variabel

Variabel yang diuji Sig. (2-tailed)

Jenis kelamin dengan keluhan utama 0,295

Lama menderita dengan keluhan utama 0,016

Lama menderita dengan lokasi tumor 0,425

Lama menderita dengan stadium 0,837

Lokasi tumor dengan stadium 0,586

Lokasi tumor dengan hasil pemeriksaan histopatologi 0,964 Stadium dengan hasil pemeriksaan histopatologi 0,072

Dari hasil uji bivariat, ditemukan ada hubungan antara lama menderita dengan keluhan utama dengan p=0,016 (p<0,05). Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan keluhan utama (p=0.295), lama menderita dengan lokasi tumor (p=0,425), lama menderita dengan stadium (p=0,837), lokasi tumor dengan stadium (p=0,586), lokasi


(62)

tumor dengan hasil pemeriksaan histopatologi (p=0,964) dan stadium dengan hasil pemeriksaan histopatologi (p=0,072).


(63)

BAB 5

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan pada 51 orang yang memenuhi kriteria dari penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan.

5.1.Analisis Univariat

Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal terbanyak pada penelitian ini berjenis kelamin laki-laki sebanyak 58,8% dan perempuan sebanyak 41,2%, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 1,7:1. Hal ini sesuai dengan penelitian Mukaratirwa et al di Zimbabwe (2001) yang mendapatkan bahwa laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan antara laki-laki dengan perempuan 1,4 : 1. Fasunla dan Lasisi di Nigeria (2007) juga mendapatkan bahwa laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2,15 : 1. Gabriele et al di Israel (2007) mendapatkan jenis kelamin terbanyak penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah laki-laki sebanyak 74,2% dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2,9 : 1. Kepustakaan menyebutkan bahwa penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan sebesar 2 : 1 (Wong dan Kraus, 2001; Lund, 2003).

Pada tabel 5.2 dapat dilihat bahwa penderita tumor ganas sinonasal terbanyak ditemukan pada penderita suku Batak (49,0%) yang juga sering ditemukan pada


(64)

penderita karsinoma nasofaring. Dari sini muncul satu pemikiran bahwa selain karsinogenik, mutasi genetik kemungkinan berperan langsung dalam memicu pertumbuhan tumor ganas sinonasal. Apakah mutasi DNA pada penderita karsinoma nasofaring bersuku Batak adalah sama dengan penderita tumor ganas sinonasal? Hal ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut dan lebih dalam lagi.

Pada tabel 5.3 dapat dilihat bahwa penderita pada kelompok usia 30-<50 tahun paling sering ditemukan berjumlah 23 orang (45,1%). Hal ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya yaitu oleh Mukaratirwa et al di Zimbabwe (2001) mendapatkan rata-rata umur penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah 50 tahun. Sedikit lebih muda dari penelitian Eviatar et al (2004) di Israel yang mendapatkan rata-rata umur penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah 59 tahun. Sedangkan Panchal et al di Mumbai (2005) mendapatkan rata-rata umur penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah 55 tahun. Fasunla dan Lasisi di Nigeria (2007) mendapatkan rata-rata umur penderita karsinoma hidung

dan sinus paranasal adalah 43,91 tahun dengan puncak usia adalah pada dekade ke 5. Gabriele et al di Italia (2007) juga mendapatkan umur penderita karsinoma

hidung dan sinus paranasal terbanyak adalah pada kelompok umur 40-60 tahun yaitu sebanyak 64%. Kepustakaan menyebutkan bahwa karsinoma hidung dan sinus paranasal sering muncul pada usia 50-70 tahun (Wong dan Kraus, 2001; Lund, 2003).

Pada tabel 5.4 dan 5.6 dapat dilihat bahwa keluhan utama yang membawa penderita datang berobat adalah hidung tersumbat (56,9%) dan lokasi tersering adalah pada kavum nasi (68,6%). Dari hasil pengamatan kami baik dengan pemeriksaan rinoskopi anterior maupun CT scan, massa tumor biasanya telah


(65)

memenuhi kavum nasi meskipun tumor primer berasal dari sinus paranasal sehingga pasien biasanya mengeluhkan kesulitan bernafas oleh karena penyumbatan massa tumor. Apabila ditemukan pada sinus paranasal sendiri, tumor primer tersering berasal dari sinus maksilaris yang sesuai dengan literatur yang kami dapatkan (Barnes, 2005).

Pada tabel 5.5 dapat dilihat bahwa lama menderita penyakit tersebut adalah 1 tahun sebanyak 32 kasus (62,7%). Berdasarkan anamnesa, lama keluhan yang

paling singkat adalah 1 bulan, sedangkan yang paling lama adalah 10 tahun, rata-rata sebesar 5 tahun. Fasunla dan Lasisi di Nigeria (2007) mendapatkan lama

keluhan berkisar anatar 3-15 bulan, dengan rata-rata 8,5 bulan.

Pada tabel 5.7 dapat dilihat bahwa sebagian besar penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal datang pada stadium lanjut (stadium III dan IV) sebanyak 86,3%, dimana stadium IV paling banyak dijumpai yaitu sebesar 56,9%. Penderita pada stadium dini (stadium I dan II) ditemukan sebanyak 13,7%. Hal ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya yaitu Strauss et al di Jerman (2005) tidak mendapatkan penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal pada stadium I, namun pada stadium II didapatkan penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal sebanyak 17,8%. Fasunla dan Lasisi di Nigeria (2007) juga mendapatkan bahwa sebagian besar penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal datang pada stadium lanjut (stadium III dan IV) sebanyak 94,67% dimana stadium III paling banyak dijumpai yaitu sebanyak 78,67%. Penderita pada stadium dini hanya dijumpai sebanyak 5,33% dan seluruhnya pada stadium II.


(66)

Pada tabel 5.8 dapat dilihat bahwa jenis histopatologi terbanyak penderita

karsinoma hidung dan sinus paranasal pada penelitian ini adalah jenis

squamous cell carcinoma (72,6%). Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya

yaitu Mukaratirwa et al di Zimbabwe (2001) mendapatkan adenokarsinoma sebagai jenis histopatologi yang terbanyak pada penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal sebanyak 34,0%. Panchal et al di Mumbai (2005) mendapatkan

squamous cell carcinoma sebagai jenis histopatologi yang terbanyak sebesar

40,9%. Fasunla dan Lasisi di Nigeria (2007) mendapatkan squamous cell

carcinoma sebagai jenis histopatologi yang terbanyak yaitu sebesar 69,0%.

Gabriele et al di Israel (2007) juga mendapatkan squamous cell carcinoma sebagai jenis histopatologi yang terbanyak yaitu sebesar 29,0%. Kepustakaan menyebutkan bahwa sebagian besar keganasan pada hidung dan sinus paranasal berasal dari

epitel dan jenis yang terbanyak adalah squamous cell carcinoma (Barnes, 2005). Pada penelitian didapatkan non keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak

56,9% dan keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 15,7%.

Pada umumnya penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal datang pada keadaan stadium lanjut dan juga terdiagnosa setelah stadiumnya lanjut. Hal ini dikarenakan gejala pada karsinoma ini yang mirip dengan keadaan inflamasi pada stadium awal (Mandpe, 2008). Pada awalnya penderita tidak memiliki keluhan yang berarti hanya terbatas pada hidung tersumbat dan berair, dan apabila diberikan antibiotika dan kortikosteroid maka gejalanya akan berkurang. Hal inilah yang sering diabaikan oleh penderita sampai akhirnya tumor telah menginvasi sampai ke kavum nasi, bahkan sampai ke rongga orbita dan basis cranii. Konsistensi massa


(67)

biasanya rapuh dan mudah berdarah yang sering menimbulkan perdarahan dari kavum nasi dan rongga mulut sehingga pasien mulai tersadar bahwa dia menderita suatu penyakit yang membawanya datang berobat.

5.2.Analisis Bivariat

Dari hasil uji bivariat, ditemukan ada hubungan antara lama menderita dengan keluhan utama dengan p=0,016 (p=<0,05). Lamanya muncul keluhan biasanya akibat gejala yang ditimbulkan hanya bersifat nonspesifik dan hanya berupa luka kecil yang sering diabaikan oleh penderita dan jarang dibawa ke rumah sakit (Fasunla, 2007).


(68)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian pada penderita tumor ganas sinonasal di SMF THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan didapatkan beberapa temuan penting, yaitu:

1. Hasil penelitian membuktikan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah sebanyak 1,7:1, dengan perincian penderita laki-laki ditemukan sebanyak 58,8% kasus sedangkan pada perempuan 41,2% kasus.

2. Hasil penelitian membuktikan bahwa mayoritas (49,0%) suku bangsa penderita tumor ganas sinonasal yang terbanyak adalah suku Batak.

3. Hasil penelitian membuktikan bahwa mayoritas (45,1%) penderita tumor ganas sinonasal adalah pada kelompok usia 30-<50 tahun.

4. Hasil penelitian membuktikan bahwa mayoritas (56,9%) keluhan utama penderita tumor ganas sinonasal yang terbanyak adalah hidung tersumbat.

5. Hasil penelitian membuktikan bahwa mayoritas (62,7%) lama menderita penyakit tersebut adalah 1 tahun.

6. Hasil penelitian membuktikan bahwa mayoritas (68,6%) lokasi tumor ganas sinonasal yang terbanyak adalah pada kavum nasi.


(69)

7. Hasil penelitian membuktikan bahwa mayoritas (56,9%) subtipe histologi tumor ganas sinonasal yang terbanyak adalah non keratinizing squamous cell carcinoma.

8. Hasil penelitian membuktikan bahwa mayoritas (56,9%) penderita tumor ganas sinonasal dengan stadium klinis IV.

9. Hasil penelitian membuktikan bahwa ada hubungan antara lama menderita dengan keluhan utama dengan p=0,016 (p<0,05).

6.2. Saran

1. Dapat memperhatikan gejala dan tanda yang dialami penderita ooo0sehingga dapat lebih mengarahkan diagnosis sebelum dilakukan tindakan ooo0selanjutnya.

2. Diharapkan terjalin kerjasama yang baik antara ahli THT-KL, radiologis dan patologis dalam menegakkan diagnosis tumor ganas sinonasal sehingga tindakan selanjutnya terhadap penderita ini dapat lebih terarah dan tepat tanpa merugikan pihak manapun juga.

3. Melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab pasti dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya tumor ganas sinonasal.


(70)

DAFTAR RUJUKAN

Abecasis J, Viana G, Pissarra C, Pereira T, Fonseca I, Soares J, 2004. ‘Adenocarcinomas of the nasal cavity and paranasal sinuses: a clinicopathological and immunohistochemical study of 14 cases’ Histopathology. 45, pp: 254-9

Adams LG, 1997, Neoplasma Kepala dan Leher. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, hal : 429-34

Bailey JB, 2006, Head and Neck Surgery – Otolaryngology. In : Neoplasms of the Nose and Paranasal Sinuses, Fourth Edition, Volume Two, Lippincott Williams and Wilkins, pp: 1481-8

Ballenger JJ, 1994, Tumor Nasal dan Sinus Paranasal. Dalam Penyakit Telinga, Nasal, Tenggorok, Kepala dan Leher, Edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta, hal: 289 Barnes L, Eveson JW, Reichart P, Sidransky D, 2005, Head and Neck Tumours. In :

Barnes L, Tse LLY, Hunt JL, Brandwein-Gensier M, Curtin HD, Boffetta P, editors. Tumours of the Nasal Cavity and Paranasal Sinuses. World Health Organization Classification of Tumours. Pathology and Genetics. Lyon, IARC Press, pp: 12-25

Corbridge RJ, 1998, The Nose and Nasophaynx. In : Essential ENT Practice. United State, pp: 123-4

D’Errico, Pasian S, Baratti A, Zanelli R, Alfonzo S, Gilardi L, 2008. ‘A case-control study on occupational risk factor for sino-nasal cancer’ Occup Environ Med. 66, pp: 448–455

Dhingra PL, 2007. ‘Neoplasms of Nasal Cavity’ In : Diseases of Ear, Nose and Throat. 3rd ed. Elsevier. New Delhi. pp: 192-8

Eviatar E et al, 2004. ‘Removal of Sinonasal Tumours by the Endonasal Endoscopic Approach’ in IMAJ (6). pp: 346-9

Fasunla AJ, Lasisi AO, 2007. ‘Sinonasal malignacies: A 10-year review in a tertiery health institution’ Journal of the National Medical Association, Vol. 99, No.12, pp: 1407-10

Gabriele AN et al. 2008. ‘ Stage III-IV Sinonasal and Nasal Cavity Carcinoma treated With Three-Dimensional Conformal Radiotherapy’ in Tumori Journal (94). pp: 320-6


(71)

Greene LF, 2006. AJJ Cancer Staging Atlas. American Joint Committee on Cancer, pp: 53-60

Hansom IM, Banerjee SS, Menasce LP, Prescott RJ, 2002. ‘A study of eleven cutaneous malignat melanomas in adults with small-cell morphology : emphasis on diagnostic difficulties and unusual features’ Histopathology 40, pp: 187-95

Jhosephson G, Roy S, 1999. ‘Pediatric rhinosinusitis, diagnosis and management’ International Journal of Pediatrics, Vol. 14, pp: 15-21

Joong SL, Il JK, Sun-Young J, Jin YK, 2009. ‘Basaloid squamous cell carcinoma in nasal cavity’ Clinical and Experimental Otorhinolaryngology, Vol. 2, No. 4, pp: 207-10

Kitamaru A, Yamashita Y, Hasegawa Y, Kojima H, Nagasawa T, Mori N, 2005. ‘Primary lymphoma arising in the nasal cavity among Japanese’ Histopathology 47, pp: 523–32

Koss, Leopold G, 2006. Koss’ Diagnostic Cytology and Its Histopathologic Bases. Fifth Edition, Lippincott Williams & Wilkins, pp: 733-35

Leivo I, 2007. ‘Update on sinonasal adenocarcinoma: classification and advances in immunophenotype and molecular genetic make-up’ Head and Neck Pathol 1, pp: 38–43

Luce D, Leclerc A, Begin D, Demers P, Gerim M,Orlowski E, et al, 2002. ‘Sinonasal cancer and occupational exposures: a pooled analysis of 12 case-control studies’ Cancer Causes and Control 13(2), pp: 147-57

Lund V, Howard DJ, Wei WI, 2007. ‘Endoscopic resection of malignat tumors of the nose and sinuses’ Am J Rhinol 21, pp: 89–94

Lund VJ, 1997. Anatomy of the Nose and Paranasal Sinuses. In : Gleeson M (ed). Scott-Brown’s Otolaryngology. 6th Ed, vol. 1. Butterworth-Heinemann. Oxford: 1, pp: 1-14

Mandpe AH, 2008. ‘Paranasal Sinus Neoplasms’ in Lalwani AK (ed) Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Mc Grawl Hill. New York. pp: 287

Mangunkusumo E, 1999. Sinusitis. Dalam Kumpulan Makalah Simposium Sinusitis. Jakarta, hal: 1-6

Maroldi R, Farina D, Palvarini L, Lombardi D, Tomenzoli D, Nicolai P, 2004. ‘Magnetic Resonance Imaging findings of inverted papilloma: differential diagnosis with malignat sinonasal tumors’ American Journal of Rhinology, Vol. 18, No.5, pp: 305-311

Mukaratirwa S et al, 2001. ‘Feline Nasal and Paranasal Sinus Tumours: Clinicopathological Study, Histomorphological Description and Diagnostic


(72)

Immunohistochemistry of 123 Cases’ in Journal of Feline Medicine and Surgery (3). pp: 235-45

Myers N. Cancer of the Head and Neck, 1989. In : Cancer of the Nasal Cavity and Paranasal Sinuses. Churcill Livingstone, Inc. Second Edition, pp: 311-18

Nazar G, Rodrigo JP, Liorente Jose LL, Baragano L, Suarez C, 2004. ‘Prognostic factors of maxillary sinus malignacies’ American Journal of Rhinology 18, 32, pp: 233-238

Nicolai P, Battaglia P, Bignami M, Bolzoni A, Delu G,Khrais T, et al, 2008. ‘Endoscopic surgery for malignat tumors of the sinonasal tract and adjacent skull base : a 10-year experience’ Am J Rhinol 22, pp: 308–16

Panchal L et al, 2005. ‘Sinonasal Epithelial Tumours: A Pathological Study of 69 Cases in Journal of Postgraduate Medicine. Vol 51 p: 30

Poetker DM, Toohill RJ, Loehri TA, Smith TL, 2005. ‘Endoscopic management of sinonasal tumors : a preliminary report’ American Journal of Rhinology 19, pp: 307–315

Roezin A, 2007. Tumor Telinga Nasal dan Sinonasal, Dalam Tumor Telinga Nasal Tenggorok. Balai Penerbit FK UI, Jakarta, hal: 178-81

Russel DB, 2000. ‘Pediatric rhinosinusitis’ International Journal of Pediatrics Otolaryngology, Vol. 20, pp: 20-25

Sastroasmoro S, Ismael S, 2002. Pemilihan Uji Hipotesis, Dalam Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-2, Sagung Seto, Jakarta, hal: 247-48. Strauss L et al, 2005. ‘Dual Role of VEGF Family Members in the Pathogenesis of

Head and Neck Cancer (HNSCC): Possible Link Between Angiogenesis and Immune Tolerance’ Med Sci Monit, 11(8): pp: 280-292

Teschke K, Morgan MS, Checoway H, Franklin G, Spinelli JJ, Belle GV, et al., 1997. ‘Surveillance of nasal and bladder cancer to locate sources of exposure to occupational carcinogens’ Occupational and Environmental Medicine, Volume 54(6), pp: 443-451

Tjahyadewi S, Wiratno. 1999. ‘Tumor Ganas Hidung dan Sinus Paranasal analisa klinik pada 55 penderita’ dalam Kumpulan Naskah Ilmiah Kongress XII. Balai Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Hal: 984-92

Wolpoe ME, Goldenberg D, Koch WM, 2006. ‘Squamous cell carcinoma of the sinonasal cavity arising as a second primary in individuals with head and neck cancer’ The American Laryngological, Rhinological and Otological Society, Inc. The Laryngoscope. Lippincott Williams and Wilkins, Inc

Wong RJ, Kraus DH. 2001. ‘Cancer of the Nasal Cavity and Paranasal Sinuses’ In : Shah JP (ed). Atlas of Clinical Oncology Cancer of the Head and Neck. BC Decker Inc. Ontario. pp: 204-21


(73)

Zinreich SJ, 2006. ‘Progress in sinonasal imaging’ Annals of Otology, Rhinology and Laryngology, 115(9) Suppl 196, pp: 61-65


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Agussalim, dr

Tempat/Tanggal lahir : Tanjung Pura / 18 Agustus 1972 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status Perkawinan : Kawin

Nama Istri : Humairah Medina Liza Lubis, dr. M. Ked(PA), Sp.PA Nama Anak : Qatrunnada Medina Salim

Muhammad Fathurridha Arabia Salim Muhammad Fathir Aththariq Salim Muhammad Fardhan Al Zaidi Salim Alamat : Jl. Bambu Runcing No. 64 Medan

PENDIDIKAN FORMAL

1979 – 1985 : SD Negeri No. 050741 Pulau Banyak Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat

1985 – 1988 : SMPN 3 Tanjung Pura Kabupaten Langkat 1988 – 1991 : SMAN 1 Tanjung Pura Kabupaten Langkat 1991 – 2000 : Fakultas Kedokteran UISU Medan

2007 – sekarang : Asisten dokter (PPDS) Ilmu Kesehatan THT-KL Bedah Kepala Leher FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan


(6)

85  

RIWAYAT PEKERJAAN

2000 – 2002 : Dokter perusahaan PT. RGM Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat

2002 – 2004 : Dokter PTT di Puskesmas Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat 2008 – sekarang : Dokter PNS di Puskesmas Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat