PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI UPAYA MENGURANGI OVER KAPASITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN

  PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI UPAYA MENGURANGI OVER KAPASITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Jurnal Skripsi) Oleh MUHAMMAD RAKA EDWIRA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

  

ABSTRAK

PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI UPAYA

MENGURANGI OVER KAPASITAS LEMBAGA

PEMASYARAKATAN

Oleh

Muhammad Raka Edwira, Erna Dewi, Dona Raisa Monica

  

Email: rakaedwira@yahoo.co.id

  Upaya untuk menanggulangi kelebihan daya tampung lembaga pemasyarakatan ini salah satunya ditempuh dengan pendekatan Restorative Justice, yaitu pergeseran pemidanaan dalam sistem peradilan pidana yang lebih mengutamakan keadilan bagi korban dan pelaku tindak pidana. Permasalahan penelitian: Bagaimanakah pendekatan restorative justice sebagai upaya mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan? Apakah faktor penghambat pendekatan restorative justice sebagai upaya mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan? Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan empiris. Narasumber terdiri dari staf Lapas Rajabasa, Penyidik Polresta Bandar Lampung, dan akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan: Pendekatan restorative justice sebagai upaya mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, dengan menyelenggarakan dan menjadi penengah proses mediasi atau perdamaian antara pelaku tindak pidana berikut keluarganya dengan korban tindak pidana berikut keluarganya. Faktor yang menghambat pendekatan restorative justice sebagai upaya mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan adalah: Faktor perundang-undangan, yaitu belum adanya undang-undang yang mengatur upaya yang harus dilakukan apabila terjadi pelolakan perdamaian oleh korban atau keluarga korban. Faktor penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah anggota dalam menangani tindak pidana dan secara kualitas masih kurangnya pengetahuan dan keterampilan penyidik. Faktor masyarakat, khususnya korban dan keluarga korban menolak perdamaian dan menginginkan agar pelaku tindak pidana tetap diproses secara hukum. Faktor Kebudayaan, yaitu karakter personal pelaku dan korban serta kleluarganya yang tidak mendukung upaya perdamaian.

  Kata Kunci: Restorative Justice, Over Kapasitas, Lembaga Pemasyarakatan

  

ABSTRACT

THE RESTORATIVE JUSTICE APPROACH AS AN EFFORT

TO REDUCE OVER CAPACITY OF PENITENTIARY

Efforts to overcome the overpopulation of penitentiary is one of them is pursued by

Restorative Justice approach, namely the shift of punishment in the criminal justice system

that prioritizes justice for victims and perpetrators of criminal acts. Research problems:

How is restorative justice approach as an effort to reduce over capacity of penitentiary?

What are the constraints to the restorative justice approach as an effort to reduce over-

capacity of penitentiary? The approach used is the normative juridical approach and the

empirical approach. The speakers consisted of the staff of Lapas Rajabasa, Police

Investigator Bandar Lampung, and academic Law Criminal Law Faculty of University of

Lampung. Data collection was done by literature study and field study, then the data were

analyzed qualitatively. The results of this study indicate: Restorative justice approach as

an effort to reduce over capacity of prison implemented by law enforcement officer, by

conducting and mediating process of mediation or peace between perpetrator of crime

along with his family with victim of crime along with his family. Factors that inhibit

restorative justice approach as an effort to reduce the overcapacity of penitentiary are:

Legislative factors, namely the absence of laws that regulate the efforts to be done in case

of peace rejection by the victim or the victim's family. Law enforcement factors, namely

the quantity of members in the handling of criminal acts and the lack of quality of

knowledge and skills of investigators in implementing peace in the settlement of crime.

The community, especially the victim and the victim's family, rejects the peace and wants

the perpetrators to be processed by law. Factor Culture, the personal character of the

perpetrator and the victim and his family who do not support the peace effort.

  Keywords: Restorative Justice, Over Capacity, Penitentiary

I. Pendahuluan

  Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern ini, kehidupan masyarakat semakin kompleks dan beragam. Jumlah penduduk pun kian hari kian meningkat, sedangkan lahan yang tersedia untuk tempat tinggal semakin menyempit. Selain itu dengan bertambahnya jumlah penduduk yang semakin banyak, tingkat persaingan di masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan semakin tinggi dan sulit yang berimbas pada buruknya keuangan yang bisa mendorong tindakan kriminalitas. Kecenderungan kriminalitas pada masyarakat golongan menengah ke bawah menunjukkan peningkatan, yang disebabkan oleh faktor ekonomi dan pekembangan teknologi. Semakin hari angka kejahatan di Indonesia semakin tinggi, hal ini terbukti dari perbandingan tingkat kejahatan di Indonesia yang semakin tahun semakin meningkat secara fluktuatif. Data dari Biro Pengendalian Operasi Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia menunjukkan pada tahun 2012 angka kejahatan di Indonesia berjumlah 341 159 dan meningkat pada tahun 2013 menjadi 342 084 dan menurun pada tahun 2014 menjadi 325 317 dan kemudian meningkat cukup signifikan pada tahun 2015 yang berjumlah 352 936. Data tersebut terdiri dari berbagai macam jenis tindak pidana.

  ada di Indonesia tersebut secara langsung membuat tingginya angka 1 Biro Pengendalian Operasi Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. www.

  Diakses Rabu 17 Mei

  narapidana yang menempati lapas-lapas yang ada di masing-masing daerah di Indonesia. Jumlah dari banyaknya narapidana ini tidak sesuai dengan kapasitas dari sebuah lapas yang ada di Indonesia sehingga hal ini menimbulkan sebuah masalah yaitu mengenai kelebihan daya tampung (over capacity) pada suatu lapas. tidak jarang kesenjangan daya tampung dan jumlah dari narapidana yang ada di indonesia ini menjadi sorotan oleh media. Jika permasalahan mengenai kelebihan kapasitas pada suatu lapas ini dibiarkan begitu saja maka nantinya hal tersebut akan menimbulkan permasalahan- permasalahan antara lain Penjara yang penuh sesak sangat mencederai nilai- nilai kemanusiaan. Udara yang pengap, penghuni yang berdesakan, narapidana kesulitan tidur, kesulitan beraktifitas, buang hajat, dan rentan terjadinya bentrokkan fisik.

  Upaya untuk menanggulangi permasalahan kelebihan daya tampung lembaga pemasyarakatan ini salah satunya ditempuh dengan pendekatan

  Restorative Justice,

  yaitu pergeseran pemidanaan dalam sistem peradilan pidana yang lebih mengutamakan keadilan bagi korban dan pelaku tindak pidana. Melalui Restorative Justice diharapkan dapat meminimalisasi pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara, karena telah diupayakan upaya penyelesaian di luar pengadilan. Upaya melaksanakan keadilan restoratif ini telah ditempuh oleh Mahkamah Agung dengan memberlakukan Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) No.1 Tahun 2016 tentang

1 Mengingkatnya angka kejahatan yang

  Agung ini disebutkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator. Konsep Restorative Justice, telah ada dalam Pasal 57 Ayat (1) Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP) bahwa putusan pidana dan tindakan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidan dan tujuan pemidanaan dan dipertegas lagi pada saat Direktorat Peraturan Perundang- undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (24 Februari 2011) menyelenggarakan Rapat Pleno Persiapan Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Adapun hasil rapat tersebut diarahkan pada penyempurnaan dan penyesuaian dengan perkembangan hukum pidana yang berlaku dengan mempertimbangkan beberapa hal yang salah satunya yaitu mempertegas pengintegrasian konsep Restorative

  Justice dan konsep mediasi, rekonsiliasi, dan diversi ke dalam RUU KUHP.

  paradigma baru dalam penegakan hukum pidana, meskipun sebenarnya konsep tersebut sudah lama berkembang dan dipraktikkan dalam penyelesaian perkara pidana di beberapa negara yang menganut common law system. Sebagai suatu filosofi pemidanaan, maka

  Restorative Justice dalam

  implementasinya membutuhkan suatu 2 Ibid konsep yang memiliki legitimasi dalam aplikasinya, sebagai wujud aktualisasi dari filosofi tersebut maka konsep tersebut harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

  Perubahan dan dinamika masyarakat yang teramat kompleks di satu sisi sedangkan di sisi lainnya terhadap regulasi pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi yang bersifat parsial ternyata sifat publik dari hukum pidana bergeser sifatnya karena relatif juga memasuki ranah privat dengan dikenal dan dipraktekan mediasi penal sebagai sebuah bentuk penyelesaian perkara di luar peradilan.

  3 Ciri yang menonjol dari Restorative Justice , kejahatan ditempatkan sebagai

  gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai tindakan yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial. Berbeda dengan hukum pidana yang menarik kejahatan sebagai masalah negara. Hanya negara yang berhak menghukum, meskipun sebenarnya komunitas adat bisa saja memberikan sanksi.

  4 Berdasarkan uraian di atas maka penulis

2 Restorative Justice merupakan

  akan melakukan penelitian dalam Skripsi yang berjudul: Pendekatan Restorative

  justice sebagai upaya mengurangi over

  Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan

  3 Adrianus Meliala, Penyelesaian Sengketa Alternatif: Posisi dan Potensinya di Indonesia Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm.5 4 M. Solehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana , PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a.

  Bagaimanakah pendekatan

  restorative justice sebagai upaya

  mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan? b.

  Apakah faktor penghambat pendekatan restorative justice sebagai upaya mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan?

  Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

  Penerapan hukum selalu mengalami perkembangan sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat yang terus mengalami perubahan, salah satunya adalah tentang atau restorative justice, yaitu suatu pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana beserta keluarganya terhadap korban tindak pidana tersebut beserta keluarganya. Upaya perdamaian di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan antara para pihak.

  Restorative justice pada prinsipnya

  merupakan suatu pedoman dasar dalam proses perdamaian di luar peradilan dengan menggunakan cara mediasi atau musywarah dalam mencapai suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum pidana tersebut yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan disepakati para pihak. Restorative justice dikatakan sebagai falsafah (pedoman dasar) dalam mencapai keadilan yang dilakukan oleh para pihak diluar peradilan karena merupakan dasar proses perdamaian dari pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban (keluarganya) akibat timbulnya korban/kerugian dari perbuatan pidana tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Restorative justice mengandung prinsip-prinsip yaitu mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana (keluarganya), memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (keluarganya) untuk bertanggung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak pidana yang dilakukannya. Selain itu menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak.

II. Pembahasan A. Pendekatan Restorative Justice sebagai Upaya Mengurangi Over Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan

  5 Pendekatan restorative justice sebagai

  upaya mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan dilaksanakan oleh Kepolisian dengan menjadi mediator perdamaian antara pihak 5 Adrianus Meliala, Op.Cit., hlm.7 pelaku dan korban tindak pidana beserta keluarganya. Setiap pelaku tindak pidana pada dasarnya harus diselesaikan melalui pengadilan, namun demikian pihak pelaku maupun keluarga korban dapat menempuh upaya di luar pengadilan melalui proses perdamaian. Artinya bentuk penyelesaian tindak pidana di luar pengadilan dengan cara damai antara pelaku dan korban beserta keluarga kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan perkara secara kekeluargaan. 6 Penyidik dalam menangani tindak pidana harus melihat dahulu sebab-sebab terjadinya tindak pidana tersebut, sehingga dapat tidaknya perkara tersebut diselesaikan di luar pengadilan atau harus melalui pengadilan. Polisi dalam menentukan kriteria tersebut harus mempunyai dasar keahlian khusus karena polisi tersebut dalam menangani perkara tersebut harus dapat menyelesaikan dengan baik dan adil. Kepolisian mempunyai kewenangan untuk menentukan apakah suatu perbuatan diteruskan atau tidak diteruskan dalam proses peradilan pidana dengan alasan-alasan tertentu. Suatu tindak pidana yang hanya menimbulkan kerugian ringan biasanya diselesaikan dengan mediasi di antara pelaku dan korban, dan pihak kepolisian sebagai saksi atas kesepakatan yang dicapai, perkara tidak diteruskan atas dasar kesepakatan bersama antara pelaku dan korban. Kepolisian dapat melaksanakan perannya sebagai 6 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif. Badan Penerbit UI. Depok. 2009. hlm. 21. mediator dalam proses perdamaian antara pelaku dan korban.

  Keberhasilan penyelesaian tindak pidana tidak harus dengan pemidanaan atau penjatuhan sanksi pidana, karena tujuan pidana adalah sebagai salah satu sarana pembinaan untuk menanggulangi masalah-masalah sosial. Polisi dalam menentukan perkara diselesaikan melalui pengadilan atau tidak harus berdasarkan pada pemeriksaan lapangan, pemeriksaan saksi dan pemeriksaan tersangka. Apabila dalam pemeriksaan tersebut tersangka tidak terbukti bersalah dan ternyata kesalahan ada pada korban maka perkara dapat diselesaikan di luar pengadilan dan terhadap tersangka dikeluarkan surat penghentian penyidikan. Proses perdamaian ini harus didasarkan pada maksud dan kehendak yang baik dari masing-masing pihak yaitu pihak tersangka maupun pihak korban untuk berdamai dan tidak akan memperpanjang masalah tindak pidana yang terjadi tersebut akan menentukan penyelesaian perkara di luar pengadilan.

  Penyelesaian tindak pidana melalui proses perdamaian dapat direalisasikan, karena pelaku bertujuan akan menghindari adanya ancaman pidana yang dijatuhkan oleh hakim karena ada sebagian masyarakat masih menganggap bahwa orang yang pernah terlibat dalam suatau perkara pidana itu dianggap suatu hal yang tercela. Pelaku dan korban bersedia untuk menyelesaikan secara kekeluargaan dengan kesepakatan. Selain itu Polisi menjadi penengah antara pihak pelaku dan korban tentang bentuk penyelesaiannya. Penyidik tetap keluarga korban akan menuntut secara hukum pidana. Pendekatan restorative justice didasarkan pada tujuan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana, yaitu agar pelaku tindak pidana menyadari kesalahannya dan tidak melakukan kesalahan yang pernah diperbuatnya pada masa yang akan datang. Pembaharuan hukum pidana dalam bentuk

  restorative justice

  ini menunjukkan bahwa hukum pidana dapat ditinjau dari berbagai aspek kebijakan, khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum. Dengan demikian pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio- filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan penegakan hukum. Pembaharuan tersebut harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan. Didalam setiap kebijakan terkandung pula pertimbangan nilai, oleh karena itu pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatan kebijakan sebagai bagian dari kebijakan sosial, artinya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah social, termasuk didalamnya masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai/ menunjang tujuan nasional yaitu kesejahteraan masyarakat, Selain tu sebagai bagian dari kebijakan perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan), khususnya kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.

  Restorative justice juga bertujuan dari

  hukum pidana untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang dapat merusak masyarakat dan bukanlah untuk membalas kejahatan yang telah dilakukan pembuat dimasa yang lampau akan doktrin yang telah berlaku secara konvensional ini telah menempatkan mereka di tempat yang salah. Tujuan hukum pidana pelaku tindak pidana adalah untuk menyembuhkan kembali keadaan kejiwaan pelaku tindak pidana yang telah terguncang akibat perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Jadi tujuan pidana tidak semata-mata menghukum pelaku tindak pidana yang sedang bersalah, akan tetapi membina dan menyadarkan kembali pelaku tindak pidana yang telah melakukan kekeliruan aatau telah melakukan perbuatan menyimpang. Hal ini penting mengingat bahwa apa yang telah dilakukannya perbuatan salah yang melanggar hukum. Untuk itu penjatuhan pidana bukanlah satu-satunya upaya untuk memproses pelaku tindak pidana yang telah melakukan tindak pidana.

  Restorative justice memiliki prinsip yang

  berbeda dengan model peradilan konvensional.

  Restorative justice

  mempunyai prinsip-prinsip yaitu membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahan pelaku, melibatkan para korban, orang tua dan keluarga; dalam menyelesaikan masalah; dan menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.

  Pelaksanaan Restorative justice dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seperti: restitusi; mediasi korban dengan pelaku/pelanggar; musyawarah kelompok keluarga; pelayanan di masyarakat yang bersifat pemulihan baik bagi korban maupun pelaku; pelayanan korban; restorasi masyarakat; atau denda restroatif. Restorative justice merupakan cara penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana dengan memberikan hak kepada korban untuk ikut serta secara aktif dalam proses peradilan. Secara khusus pada pada lingkungan lembaga peradilan pelaku tindak pidana, Mahkamah Agung telah memberlakukan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan perdamaian dalam Sistem peradilan pidana.

  Proses perdamaian dapat menjadi bentuk

  Restorative justice jika mendorong

  pelaku tindak pidana untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, memberikan kesempatan bagi pelaku tindak pidana untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban, memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses; memberikan kesempatan bagi pelaku tindak pidana untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga; memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana. Prinsip utama pelaksanaan konsep perdamaian yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Petugas dalam melaksanakan restorative

  justice menunjukkan pentingnya

  ketaatan kepada hukum dan aturan kepada pelaku tindak pidana yang berhadapan dengan hukum (pelaku). Petugas melakukan perdamaian dengan cara pendekatan persuasif dan menghindari penangkapan yang menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan, untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses informal. Proses pengalihan ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap pelaku tindak pidana yang berkonflik dengan hukum.

  Sesuai dengan uraian tersebut maka perdamaian dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelaku tindak pidana agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. perdamaian berupaya memberikan keadilan kepada kasus pelaku tindak pidana yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum.

  Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama- sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku. Pelaksanaan perdamaian dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan pelaku tindak pidana oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Dengan penerapan konsep perdamaian bentuk peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi pelaku tindak pidana dari tindakan perlindungan pelaku tindak pidana dengan perdamaian dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan. Setelah itu jika ada pelaku tindak pidana yang melakukan tindak pidana maka tidak perlu diproses ke polisi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat upaya untuk menyelesaikan perkara pelaku tindak pidana di luar proses peradilan, yang menunjukkan adanya upaya mengedepankan prinsip kekeluargaan di dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan restorative justice yang diwujudkan dalam proses perdamaian merupakan tahapan baru dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, sebagai pengaturan hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana atau restorative justice bagi pelaku tindak pidana. Penerapan

  restorative justice dilaksanakan oleh

  unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan perkara. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika pelaku tindak pidana pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah pelaku tindak pidana akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah pelaku tindak pidana akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan pelaku tindak pidana. Ketiga, Pengadilan pelaku tindak pidana, tahapan ketika pelaku tindak pidana akan ditempatkan dalam pilihan- pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman.

  B. Faktor-faktor Penghambat Pendekatan Restorative justice sebagai Upaya Mengurangi Over Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan 1.

  Faktor Peraturan Perundang-

  Undangan Faktor perundang-undangan yang menghambat pendekatan restorative

  justice

  sebagai upaya mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan adalah belum adanya pengaturan di dalam peraturan perundang-undangan mengenai upaya yang harus dilakukan apabila terjadi penolakan restorative

  justice oleh masyarakat, khususnya

  korban atau keluarga korban dari suatu tindak pidana. Upaya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya) merupakan rangkaian proses penyelesaian masalah pidana di luar pengadilan yang bertujuan untuk me-

  restore (memulihkan kembali) hubungan

  para pihak dan kerugian yang diderita oleh korban kejahatan dan diharapkan dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi majelis hakim pengadilan pidana dalam memperingan sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Restorative justice dalam ilmu hukum pidana harus bertujuan untuk memulihkan kembali keadaan seperti sebelum terjadi kejahatan. Ketika ada orang yang melakukan tindak pidana maka keadaan akan menjadi berubah, maka disitulah peran hukum untuk melindungi hak-hak setiap korban kejahatan termasuk hak untuk Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Hal ini penting karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat dalam tindak pidana pidana dalam hal ini pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut untuk berpartisipasi aktif melakukan mediasi/musyawarah dalam penyelesaian masalah mereka di luar pengadilan. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum.

  Faktor penegak hukum yang menghambat pendekatan restorative

  justice sebagai upaya mengurangi over

  kapasitas lembaga pemasyarakatan adalah adanya potensi penggunaan diskresi yang tidak tepat oleh penyidik kepolisian. Kewenangan diskresi yang dimiliki polisi memiliki dasar hukum, sehingga pelaksanaannya harus dilakukan secara proporsional dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Hal ini menunjukkan bahwa polisi tidak boleh bertindak semena-mena dalam melaksanakan kewenangan diskresi. Kewenangan diskresi menunjukkan polisi memiliki kekuasaan yang besar keputusan di mana keputusannya bisa di luar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan atau diperbolehkan oleh hukum. Satu hal yang dapat menjelaskan berkuasanya kepolisian atau lembaga lain dalam melaksanakan tugas, yaitu adanya diskresi atau wewenang yang diberikan oleh hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas sendiri. Diperlukan profesionalisme aparat penegak hukum dalam melaksanakan restorative justice dan melaksanakan tugas-tugasnya secara profesional. Upaya yang dapat ditempuh adalah mengoptimalkan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan atau pendidikan kejuruan khusus dalam penanganang perkara pelaku tindak pidana, sehingga kualitas pelaksanaan perdamaian menjadi lebih baik lagi.

  3. Faktor masyarakat Faktor masyarakat yang menghambat perdamaian adalah masyarakat terutama korban dan keluarga yang tidak bersedia atau menolak dilaksanakannya perdamaian atau perdamaian. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat sudah geram dengan maraknya tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah pihak ketiga (pihak lain yang tidak terkait secara langsung) yang meminta korban dan keluarganya agar pelaku tetap diproses secara hukum. Pada kenyataannya ada masyarakat yang tetap menginginkan agar pelaku tindak pidana yang melakukan tindak pidana diproses secara hukum, meskipun pada kenyataannya telah dilaksanakan mediasi perdamaian yang menetapkan bahwa

2. Faktor penegak hukum

  yang dialami korban. Masyarakat menginginkan agar pelaku tindak pidana seperti pembegalan atau penadahan kendaraan curian agar dipenjara. Kendala lain yang dihadapi pada saat proses mediasi terhadap pelaku tindak pidana adalah ketidak lengkapan data dan informasi yang disampaikan oleh pelaku dan korban yang terlibat dalam tindak pidana. Seharusnya penyidik selaku mediator mendapatkan data secara lengkap dan terperinci mengenai latar belakang dan fakta tindak pidana. Ketidak lengkapan data tersebut disebabkan oleh kurangnya kesadaran pelaku dan korban bahwa data yang seharusnya diberikan secara lengkap kepada penyidik selaku mediator akan dijaga kerahasiaan dan privasinya, sehingga pelaku dan korban hanya memberikan data yang dianggap tidak berpotensi merugikan pihaknya.

  Faktor kebudayaan yang menghambat pendekatan restorative justice sebagai upaya mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan adalah karakter personal pelaku dan korban serta keluarganya yang tidak mendukung penyelesaian perkara di luar peradilan atau perdamaian. Pada tahap perdamaian terdapat kecenderungan pelaku dan korban serta keluarganya untuk mencari- cari kesalahan dan kelemahan pihak lain dalam proses perdamaian, sehingga perdamaian tidak menemukan titik terang. Faktor budaya yang diharapkan dalam pelaksanaan perdamaian adalah nilai-nilai budaya yang mengedepankan prinsip kekeluargaan, musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan suatu permasalahan, sehingga dalam konteks berpengaruh besar, di mana masyarakat menggunakan nilai-nilai kebudayaan berupa kekeluargaan, musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan tindak pidana.

  Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa faktor-faktor penghambat pendekatan restorative

  justice sebagai upaya mengurangi over

  kapasitas lembaga pemasyarakatan terdiri dari faktor aparat penegak hukum, faktor masyarakat dan faktor budaya. Faktor penghambat yang paling dominan adalah faktor masyarakat, khususnya korban dan keluarga korban menolak perdamaian dan menginginkan agar pelaku tindak pidana sebagai pelaku tindak pidana tetap diproses secara hukum, meskipun telah diupayakan mediasi yang menetapkan bahwa pelaku bersedia mengganti kerugian korban. Masyarakat masih memiliki pemahaman bahwa pelaku tindak pidana (termasuk pelaku tindak pidana) harus diproses secara hukum, dan harus dipidana penjara sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya penolakan perdamaian dalam perkara pelaku tindak pidana yang diupayakan oleh aparat penegak hukum.

4. Faktor Kebudayaan

  III. Penutup

  A. Simpulan 1.

  Pendekatan

  restorative justice

  sebagai upaya mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, dengan menyelenggarakan dan menjadi penengah proses mediasi atau pidana berikut keluarganya dengan

  B. Saran

  korban tindak pidana berikut keluarganya. Hal ini bertujuan untuk

  1. Aparat penegak hukum disarankan mengupayakan perdamaian di luar untuk terus meningkatkan pengadilan agar permasalahan profesionalisme dan kapasitas hukum yang timbul akibat terjadinya sebagai pelaksana proses penegakan perbuatan pidana tersebut dapat hukum perdamaian antara pihak- diselesaikan dengan tercapainya pihak yang terlibat dalam tindak persetujuan dan kesepakatan antara pidana, dengan cara terus mengasah para pihak. potensi yaitu mengikuti berbagai pelatihan untuk menyesuaikan diri 2. pada perkembangan teknik

  Faktor yang menghambat pendekatan restorative justice sebagai upaya perdamaian. mengurangi over kapasitas lembaga 2.

  Aparat penegak hukum disarankan pemasyarakatan adalah: Faktor untuk meningkatkan penyuluhan/ perundang-undangan, yaitu belum sosialisasi mengenai perdamaian adanya undang-undang yang kepada masyarakat luas, sehingga mengatur upaya yang harus masyarakat memiliki pemahaman dilakukan apabila terjadi pelolakan yang baik terhadap perdamaian dan perdamaian oleh korban atau sebagai upaya untuk meminimalisasi keluarga korban. Faktor penegak penolakan proses perdamaian oleh hukum, yaitu secara kuantitas masih masyarakat. terbatasnya jumlah anggota dalam menangani tindak pidana dan secara kualitas masih kurangnya DAFTAR PUSTAKA pengetahuan dan keterampilan penyidik dalam menerapkan Biro Pengendalian Operasi Markas perdamaian dalam penyelesaian

  Besar Kepolisian Negara tindak pidana. Faktor masyarakat, Republik Indonesia. www. khususnya korban dan keluarga korban menolak perdamaian dan menginginkan agar pelaku tindak

  Meliala, Adrianus. 2005. Penyelesaian pidana sebagai pelaku tindak pidana

  Sengketa Alternatif: Posisi dan

  tetap diproses secara hokum. Faktor

  Potensinya di Indonesia Fakultas

  Kebudayaan, yaitu karakter personal Hukum, Universitas Indonesia, pelaku dan korban serta kleluarganya yang tidak mendukung upaya Jakarta. perdamaian.

  Solehuddin, M. 2003. Sistem Sanksi

  dalam Hukum Pidana , PT Raja

  Grafindo Persada. Jakarta Zulfa, Eva Achjani. 2009. Keadilan Restoratif . Badan Penerbit UI.

  Depok.