Khazanah Ilmu Pengetahuan Dalam Sejarah

Ahmad Sahidin – uin sunan gunung djati – Bandung

Khazanah Ilmu Pengetahuan Dalam Sejarah Islam
Oleh AHMAD SAHIDIN

DALAM sejarah dunia tidak ada agama yang menaruh perhatian besar
terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan selain dari agama Islam.
Kelahiran Islam di kawasan yang dominan dengan karakater keras bukanlah
kesalahan sejarah, tetapi sebuah bukti keunggulan Islam yang mampu
mengubah sejarah Arab dan sekitarnya menjadi pusat kebudayaan.
Nabi Muhammad saw dengan membawa risalah Islam menjadi peletak dasar
lahirnya masa gemilang Islam. Makkah dan Madinah berubah menjadi kota
Islam yang diperhatikan dunia. Saat memerintah Madinah, Nabi Muhammad
saw tegas dan peduli terhadap kaum dhuafa. Nabi memberikan ampunan
kepada tawanan perang dari kaum kafir yang kalah perang. Mereka yang
tidak punya harta, terapi punya kemampuan baca tulis dapat bebas kalau
mampu mengajarkan sepuluh umat Islam sampai mampu baca tulis. Gerakan
pembebasan buta huruf inilah menjadi peletak dasar lahirnya tradisi
intelektual Islam.
Dari gemblengan Nabi saw lahir sosok cendekiawan Ali bin Abi Thalib ra
yang memiliki kemampuan retorika, sastra, dan analisisnya mencerahkan

pemikiran; Ibnu Abbas yang menjadi ahli tafsir al-Quran berkat doa
Rasulullah saw; dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra menjadi sosok tangguh
yang melahirkan dua cucu Rasulullah saw yang saleh dan berjiwa kesatria.
Dari cucu Rasulullah saw pula risalah Islam terjaga dan khazanah Islam
dikembangkan oleh keturunannya, seperti Imam Muhammad Al-Baqir dan
Imam Ja`far Ash-Shadiq. Keduanya merupakan figur ulama sekaligus
ilmuwan yang mumpuni dalam berbagai ilmu yang melahirkan
para fuqaha, muhadits, teolog, filsuf, dan sufi.
Kemunculan mereka tidak lepas dari landasan al-Quran dan sunah Rasulullah
saw yang mendorong kaum Muslim untuk berkarya dan dan menggali ilmu
pengetahuan. Salah satu ayat yang menjadi pendorong kegiatan intelektual
adalah wahyu pertama: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan

Ahmad Sahidin – uin sunan gunung djati – Bandung

Tuhanmulah Yang Maha Pemurah yang mengajar dengan perantaran kalam.
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-Alaq
[96]: 1-5)
Iqra

Menurut Muhammad Quraish Shihab, kata iqra (bacalah!) bermakna perintah
membaca, menghimpun, menelaah, meneliti, dan mendalami. Seseorang yang
ingin mengetahui hakikat dibalik fenomena alam semesta, termasuk
mengenali Tuhan perlu membaca ayat tadwiniyah dan takwiniyah. Dengan
membaca keduanya, terbukalah “misteri” yang tidak diketahui sebelumnya
dan menuntun hidup lebih bermakna.
Implementasi makna iqra pernah dilakukan umat Islam masa berkuasanya
Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Setelah membaca dan mengkaji, kaum
Muslim menyebarluaskan pengetahuan dengan penerjemahan sehingga
melahirkan karya-karya intelektual. Meskipun para panguasa saat itu
berperilaku zalim, tetapi kontribusinya dalam mengembangkan khazanah
Islam cukup besar. Misalnya Al-Makmun, penguasa Dinasti Abbasiyah yang
memerintah pada 813-833 M. memfasilitasi kaum Muslim untuk melakukan
penerjemahan berbagai karya filsafat dan ilmu pengetahuan yang berasal dari
Yunani dan Syiria ke dalam bahasa Arab. Pada masa itu, aktivitasnya
dipusatkan di Baghdad (Irak) dalam sebuah lembaga keilmuan bernama
Baitul Hikmah dan Majalis Al-Munazarah. Terdapat pula 100 kios buku dan
38 perpustakaan umum yang ramai dikunjungi orang untuk sekadar membaca
dan menelaah.
Selain di Baghdad, khazanah perbukuan Islam berkembang di Cordoba

(Andalusia, Spanyol). Umat Islam Spanyol pada abad ke-10 memiliki
perpustakaan istana yang berisi 600.000 koleksi buku dan 70 perpustakaan
umum. Kecintaan terhadap ilmu tampak juga di Mesir. Seorang penguasa
Dinasti Fathimiyah secara pribadi memiliki 1.600.000 buku dengan
memperkerjakan puluhan pegawai.[1] Tradisi intelektual pada masa Dinasti
Fathimiyah tampak dari munculnya organisasi ilmuwan Muslim yang
bernama Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci) pada abad ke-4 H./10 M.
Tokoh-tokoh yang terkenal dalam Ikhwan al-Shafa adalah Ahmad bin Abd
Allah, Abi Sulaiman Muhammad bin Nashr Al-Busti (Al-Muqaddasi), Zaid

Ahmad Sahidin – uin sunan gunung djati – Bandung

bin Rifa’ah, dan Abi Al-Hasan Ali bin Harun Al-Zanjany. Mereka berkumpul
untuk mengkaji filsafat dan melakukan kombinasi dengan teologi Syi`ah
sampai melahirkan ensiklopedia Rasail Ikhwan Al-Shafa. Karya besar Ikhwan
al-Shafa ini terdiri dari 14 risalah tentang matematika yang mencakup
geometri, astronomi, musik, geografi, seni, modal, dan logika; 17 risalah
tentang fisika dan ilmu alam yang mencakup genealogi, mineralogi, botani,
hidup dan matinya alam, senang sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan
kemampuan kesadaran; 10 risalah tentang ilmu jiwa mencakup metafisika

phytagoreanisme dan kebangkitan alam; dan 11 risalah tentang ilmu-ilmu
ketuhanan, meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan
Allah, akidah, kenabian dan keadaan ruhani, bentuk konstitusi politik,
kekuasaan Allah, mejik dan azimat.[2]
Hampir semua wilayah kekuasaan Islam memiliki tradisi keilmuan dan
penguasanya memberi perhargaan yang cukup tinggi dengan mendirikan
pusat kajian Islam dan perpustakaan. Bahkan, para ulama ternama diminta
menulis kitab-kitab yang khusus diperuntukan untuk seseorang yang
menjadi penguasa pada zamannya.
Meski tidak lepas dari unsur politik dan bentuk propaganda mazhab,
kehadiran mereka dengan berbagai karyanya menjadi bukti bahwa umat
Islam memiliki gairah terhadap khazanah intelektual. Sejak abad 9-16 M.,
kaum Muslim meraih prestasi dalam berbagai bidang, seperti astronomi,
filsafat, biologi, kedokteran, musik, matematika, sastra, optik, botani, teologi,
tafsir, sejarah, bahasa, dan lainnya.
Kemajuan Islam pada masa itu setidaknya lahir dari keinginan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan memajukan kehidupan umat Islam.
Karena itu, para penguasa mendatangkan karya-karya intelektual dari
Yunani, Romawi, India, dan Suriah. Kemudian diterjemahkan, dikaji,
disaring, dan dikembangkan sehingga menjadi karya-karya baru.

Perpustakaan, majelis ilmu, dan madrasah (sekolah) pun didirikan.
Dari kegiatan itu lahirlah para ulama, filsuf, saintis, dan Muslim yang ahli
dalam masing-masing bidang ilmu pengetahuan. Bahkan, banyak ulama yang
menguasai lebih dari tiga bidang ilmu pengetahuan dan karyanya sampai
sekarang masih dijadikan rujukan.

Ahmad Sahidin – uin sunan gunung djati – Bandung

Ziauddin Sardar menerangkan, kejadian paling revolusioner dalam sejarah
Islam adalah adanya pembuatan keras yang menjadi sarana penulisan dan
dokumentasi ilmu pengetahuan dalam bentuk buku. Menurut Sardar, kertas
kali pertama diperkenakalkan ke Dunia Islam pada abad ke-8 Masehi di
Samarkand. Pada 751, setelah Perang Talas, kaum Muslim menawan
beberapa orang Cina yang ahli membuat kertas. Para tahanan itu difasilitasi
untuk memperlihatkan keterampilannya dalam membuat kertas dengan bahan
kulit pohon murbei. Lalu, kaum Muslim yang telah belajar dari orang-orang
Cina mengganti bahan kertas dari kulit pohon linen, kapas, dan serat karena
di negeri tersebut tidak ada pohon murbei. Kemudian percetakan kertas
pertama didirikan di Baghdad pada 793 masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid
(w.809 M) penguasa Dinasti Abbasiyah. Tidak lama bermunculan pabrikpabrik kertas di Damaskus, Tiberia, Tripoli, Kairo, Fez, Sicilia, Jativa, dan

Valencia (Spanyol).[3]
Kemajuan Islam diberbagai kawasan Islam itu lambat laun jatuh. Di
Baghdad, runtuh akibat penyerangan penguasa Mongol yang dipimpin oleh
Hulagu Khan. Mereka membakar dan memusnahkan perpustakaan beserta
buku-bukunya. Begitu juga di Andalusia (Spanyol) dan wilayah Islam Eropa
lainnya. Ditambah lagi sering terjadinya perselisihan sehingga Islam
mengalami kemunduran.
Pada masa kejayaan Islam, hampir setiap ulama atau ilmuwan Muslim dalam
menguraikan ilmu pengetahuan dan cabang-cabangnya. Mereka juga
mengembangkan khazanah intelektual Islam dan berkontribusi bagi
peradaban dunia dengan karya-karya monumental yang sampai sekarang
masih berguna bagi ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh adalah Al-Farabi dan Ibnu Khaldun. Keduanya adalah
ilmuwan Muslim yang telah melakukan klasifikasi ilmu. Dalam buku Ihsha`
Al-Ulum, Al-Farabi mengelompokkan ilmu menjadi tiga: metafisika,
matematika, dan ilmu-ilmu alam. Metafisika adalah ilmu yang membahas
hal-hal dibalik kejadian alam semesta, penciptaan, adanya tidak Tuhan, dan
cara mengetahui dan membuktikan kebenaran. Matematika adalah ilmu
tentang angka-angka dan bilangan serta hitungan. Ilmu ini dibagi lagi
menjadi tujuh cabang, yaitu aritmetika, geometri, astronomi, musik, optika,


Ahmad Sahidin – uin sunan gunung djati – Bandung

ilmu tentang daya, dan alat-alat mekanik. Ilmu-ilmu alam adalah ilmu yang
menyelidiki benda-benda fisik dan bersifat alami. Ilmu ini terbagi lagi
menjadi tiga cabang, yaitu mineralogi yang meliputi kimia, geologi, dan
metalurgi; botani (ilmu tumbuhan); dan zoologi (ilmu tentang makhluk hidup
meliputi psikologi dan kedokteran).
Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi dua: ilmu-ilmu naqli (agama) dan ilmuilmu aqli (rasional). Yang termasuk ilmu-ilmu naqli, yaitu tafsir al-Quran dan
hadits; ilmu fiqih dan ushul fiqh; ilmu kalam (teologi); tafsir ayatayat mutasyabihat; tasawuf (mistisme); tabir mimpi (ta`bir al-ru`yah).
Sedangkan yang termasuk ilmu-ilmu aqli terbagi menjadi empat: ilmu logika
yang meliputi burhani (demonstrasi), jadali (topika), khithabah (retorika),
syi`ir (puisi), dan safsathah (sofistri); ilmu fisika yang meliputi mineralogi,
botani, zoologi, kedokteran, dan ilmu pertanian; matematika terbagi lagi
menjadi aritmetika (kalkulus, aljabar, dan aritmetika bisnis), geometri (figure
sferik, kerucut, mekanika, surveying, dan optik), astronomi (bintang dan
planet); metafisika (hakikat wujud, asal-usul benda, ruh dan jiwa, dan
barzah). Selain itu, Ibnu Khaldun juga menyebutkan ada khazanah ilmu
praktis yang berkaitan dengan kehidupan manusia, seperti etika (akhlak),
ekonomi, politik, dan ilmu budaya (`ulum al-`umran).

[Ahmad Sahidin, alumni jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN
SGD Bandung]