HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT DAN SASTRA DALA

0

HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT DAN SASTRA DALAM NOVEL
SANU INFINITA KEMBAR KARYA MOTINGGO BUSYE
Oleh:

Drs. Taufik Nugroho, M.Hum.
Widyaiswara Madya Bahasa Inggris PPPPTK Bahasa, KEMDIKBUD

Pendahuluan
Bagaimana filsafat membahasakan kekayaan pandangan hidup yang bisa jadi
berkemungkinan mengurangi kekayaan pengalaman lantaran proses rasionalisasinya?
Salah satu corong bahasa yang menjembatani adalah sastra. Apa dan bagaimana sastra
dalam kaitan filsafat mau menjembatani refleksi realitas mengenai kehidupan yang tidak
hanya rasional tetapi juga emosional. Dalam artikel ini penulis mencoba untuk
menunjukkan benang merah antara filsafat dan sastra beserta satu contoh karya sastra
yang bernilai filsafat dan mistik, yakni: SANU INFINITA KEMBAR karya Motinggo
Busye.

Perebedaan dan Persamaan antara Filsafat dan Sastra
Pada dasarnya sastra dan filsafat sama-sama bermuara pada pengalaman

menghayati kehidupan ini.

Perbedaan nuansanya, filsafat hendak memaparkan

pengalaman penghayatan kehidupan dengan bantuan pertanyaan dasariah, radikal:
mengaitkan secara eksplisit dengan siapa manusia ? Apa artinya hidup ini? Ke mana
arahnya? Bagaimana pandangan si manusia pelaku sejarah hidupnya ini dengan
lingkungan dunianya, jagadnya? Jika ia menghayati hidup bersama sesamanya, apa
tujuan hidup bersama ini, dan apa artinya hidup bersama dengan sesama?
Sastra hendak memaparkan pengalaman itu secara langsung, konkret, tanpa
membuatnya sistematis. Bahasanyapun langsung, mengalir dengan lancar memaparkan
kehidupan yang ada. Bahasa ini sangat berkaitan dengan kegiatan sastra, kegiatan untuk
menciptakan sesuatu. Karena sastra itu hendak membahasakan pengalaman hidup maka

1

ciri bahasanya pun lebih merupakan bahasa ujaran: memapar dengan bercerita, berkisah
lewat kata.
Filsafat, ciri bahasanya adalah ilmiah, rasional, dan sistematis karena
mementingkan acuan: pertanyaan radikal mengenai dasar pengalaman itu sendiri dan

konteks maknanya.
Filsafat dan sastra mempunyai dasar pijak yang sama, yaitu realitas itu sendiri.
Bila filsafat bertolak dari kenyataan lalu hendak diabstraksikan, dicari jati dirinya,
hakikatnya, maka sastra mulai dari apa yang ada dalam kenyataan lalu diolah lewat
imajinasi, lewat proses kreatif lalu dibuatnya lebih indah. Imajinasi tadi ada dalam cipta
kemudian dituangkan dalam tuilisan atau kata-kata (Sutrisno, 1995:16-17).
Bila titik tolak keduanya sama, yaitu realitas,yang membuat keduanya berbeda
adalah metodologi pengolahannya. Sastra, secara metodologis, merupakan ziarah
penjelajahan seluruh realitas di mana amanusoia berada, hidup dan bergulat di dalamnya.
Filsafat, secara metodologis, hendak muncul
sebagai refleksi atas pengalaman manusia dalam berada, bereksistensi di dalam realitas
hidup yang sudah dirinci, dipilah-pilah menurut alur rasionalitas dan logika lewat akal
budi. Bila sastra dalam mengolah realitras pengalaman hidup menggunakan proses
mencipta kembali sehingga buahnya berciri meresapkan, membuat orang menikmati,
mencecapi, maka

filsafat menggunakan proses merefleksikan sehingga buah-buah

anggur perasan yang keluar berciri menjelaskan, menerangkan dengan rinci.
Karena filsafat merupakan refleksi atas pengalaman manusia dalam hidupnya

yang sudah dirinci lewat akal budi, maka bahasanya pun bukan bahasa sehari-hari. Ciri
bahasa filsafat

teknis, langsung menjelaskan secara distingtif, lugas dan dengan

penggolongan kategori yang tepat. Di sinilah kerap terjadi kesulitan dalam memahami
filsafat. Sedangkan bahasa sastra berperan hendak menciptakan kembali dengan indah
realitas yang ada maka bahasanya berciri puitis, imajinatif.

Hubungan antara Filsafat dan Sastra
Titik temu yang pertama adalah sastra itu bisa menjadi bahan baku untuk filsafat.
Berfilsafat dengan sumber pengalaman menghayati relitas hidup tadi bisa dijalani

2

melalui dua bahan pokok (Atmosuwito, 1989: 127). Bahan pokok yang pertama,
berfilsafat memakai temuan-temuan ilmu empiris. Misalnya filsafat bahasa memakai
bahan baku linguistik. Strukturalisme memakai ilmu antropologi budaya. Bahan baku
yang kedua, orang bisa berffilsafat dengan memakai ujaran pengalaman sang penulis
sastra dan seniman. Disinilah refleksi filsafat sebenarnya menemukan sumber air jernih

untuk digarap. Maka, yang menjadi tantangan adalah bagaimana olah kehidupan
sebagaimana dihayati dan dituliskan dengan bahasa puitis, imajinatif oleh sang seniman
dalam sastra dieksplisitkan secara sistematis dan terinci. Di sinilah hubungan erat antara
filsafat dan sastra. Tantangan ini mendesak kiranya di tanah air kita ini: pengkajian
paham manusia dan nilai hidupnya sebagaimana dipaparkan oleh buku sastra atau
pengarang tertentu.
Titik temu yang kedua terletak pada pendapat agak apriori mengenai filsafat.
Seringkali dikatakan bahwa filsafat itu sulit, abstrak atau serius. Di sinilah kiranya sastra
bisa turun tangan membantu filsafat untuk menjadi corongnya. Lewat bahasa sastra yang
lebih komunikatif, segar dan hidup, filsafat bisa dibantu menyuarakan refleksinya atas
pengalaman menghayati hidup dalam makna dan nilainya. Pada kenyataannya, sudah
cukup banyak contoh mengenai sastra sebagai corong filsafat, meskipun produk
sastranya disebut sastra serius, karena berisi refleksi filsafat.

Sinopsis Novel Sanu Infinita Kembar
Cerita ini terjadi dalam tahun 1964—1965 ketika udara penuh dengan tempik
sorak gegap gempita pihak komunis dan Lekra mengganyang orang-orang dianggap
kontra-revolusioner, penganut-penganut humanisme universal dan Manifes Kebudayaan,
dengan insinuasi-insinuasi dan fitnahan-fitnahan yang menimbulkan kegelisahan,
ketakutan dan saling curiga dalam masyarakat. Bahkan hal ini dapat terjadi antara orang

tua dan anak dan antara suami dan istri.
Hal ini dapat dilihat dari percakapan antara Sanu dan Raswan:
“Raswan, namaku terdaftar juga,” ujar Sanu melemparkan koran

3
mingguan itu kepada Raswan.
“Kau masih berani tinggal di Jakarta?” tanya Raswan.
“Kau?” tanya Sanu kaget.
“Sore ini aku akan ke Sumatra.”
“Lho!”
“Perhatikan nama kita beseta alamat lengkap ditulis disana.
Ini memudahkan pihak penguasa untuk menangkap kita, “ kata Raswan.
“Itu tindakan orang penakut, Raswan.”
“Lari dari penangkapan bukan berarti penakut. Itu namanya hijrah. Nabi
Muhammad juga hijrah, dari Mekah ke Madinah,” kata Raswan.
“Aku akan menempuh cara yang digunakan Pangeran Diponegoro,” kata
Sanu.
“Cara apa itu?” tanya Raswan.
“Menggunakan ilmu hilang. He, untuk mengetahui Sejarah Indonesia, kita
cukup membaca riwayat hidup Diponegoro,” ujar Sanu.

“Wah, kamu memang sudah kerasukan filsafat Ralph Waldo Emerson,
Sanu.
“Kurasa Emerson betul. Untuk mengetahui sejarah Eropa cukup dengan
membaca biografi Napoleon. Untuk mengetahui sejarah Islam, cukup
mebaca riwayat hidup Muhammad.”
(hal.1)

Harian Rakyat dengan ruangan kebudayaannya, Bintang Timur dengan ruangan
Lentera yang dijendrali Pramudya Ananta Toer, dengan gencar melontarkan tuduhantuduhan anti-revolusioner, anti-Nasakom, antek kapitalis, agen CIA, penghianat bangsa,
dan memuat nama-nama orang yang harus diganyang dan dibabat, lengkap dengan
alamat-alamatnya. Semuanya itu dengan maksud untuk mengintimidasi lawan-lawan
demi mematangkan situasi perbutan kekuasaan. Pihak kiri mengerahkan rapat-rapat
raksasa untuk memperlihatkan kekuasaan, bahkan tidak segan-segan mengatur
demonstrasi masa mendatangi kedutaan-kedutaan dan demikian merusak hubungan baik
dengan negara-negara bersahabat. Bentrokan fisik pun tidak bisa dihindari seperti yang
terjadi di Bandar Betsi. Dalam keadaan teror semacam itu, macam-macam reaksi orang.
Ada yang buru-buru masuk partai berkuasa, ada yang meluluhkan diri dalam massa dan
tidak menjadi siapa-siapa, tanpa ideologi tanpa idealisme, dalam usaha melepaskan diri

4


dari bencana dihancurkan sebagai unsur kontra-revolusioner. Ada yang melarikan diri ke
luar kota, menyembunyikan diri mencari selamat bahkan ada yang berusaha ke luar
negeri. Ada yang berlatih bela diri, ada yang kembali ke agama sebagai pegangan, jangan
sampai panik oleh serangan dan fitnahan, mohon perlindungan Tuhan dan ada yang
menuntut ilmu kebatinan untuk membuat dirinya kebal atau bisa menghilang. Inilah
masanya ketika budayawan dan seniman yang tidak mau berpolitik diseret ke
tengah gelanggang poilitik. Maka sebagian mereka ikut berpolitik atau menjadi bulanbulanan politik. Konsentrasi jiwa seniman masa itu terlukis dengan baik dalam novel ini.
Cuplikan dibawah ini memberikan gambaran jelas mengenai keadaan tersebut:
“Melawan politik tidak bisa dengan ilmu mistilk, kata Raswan.
“Kau salah duga. Aku bukan orang politik. Aku tidak punya massa. Dengan tuduhan
bahwa kita orang-orang kontra-revolusioner, itu bahwa politik menghasut massa untuk
menangkap kita. Nama dan alamat kita jelas tercantum. Dan jika kita sudah dikepung dan
diserbu massa, kita bukan lagi berhadapan dengan politik. Kita harus menyelamatkan
harga diri kita sebagai manusia, agar tidak tertangkap dan mati konyol. Ketika itu tidak
satu orang pun bisa kita percaya untuk mendapatkan pertolongan . Kita harus berteriak
kepada Tuhan, seorang diri , seperti halnya Diponegoro yang memiliki ilmu hilang”.
(hal. 2)

Sanu adalah seniman yang memilih mistik untuk melepaskan diri dari

cengkraman politik. Sebagai pelukis dan pengarang ia kehilangan gerak. Lukisanlukisannnya yang rada abstrak dituduh lukisan burjuis dan karangannya yang sudah naik
pers setselnya dilebur, karena namanya dimuat dalam surat kabar kiri sebagai seorang
yang

anti-revolusioner. Penerbit ketakutan untuk mencetaknya. Tawaran seorang

diplomat untuk mengirimnya ke Paman Sam, ditolaknya dengan tegas: diantara dua
adikuasa ia memilih jadi nasionalis.
Sanu menuntut ilmu kebatinan, khususnya ilmu untuk menghilangkan diri,
hingga selamat dari sergapan musuh. Sanu akan hijrah ke luar atmosfir, menurut
istilahnya sendiri. Dalam dirinya Sanu menemukan dua kesadaran yang senantiasa
bertentangan, yakni suara Aku-ego dan suara Aku-Tuhan dan itulah yang merupakan
infinita Sanu, dua hakekat dalam satu jasad. Dengan bicara tentang pengalaman empiris

5

menembus atmosfir dan stratosfir, untuk bertemu Tuhan, adanya diri ganda manusia,
nampak pencarian jati diri dalam hubungannya dengan lingkungan, Tuhan dan semesta.
Sanu merenung dan mencari jawaban atas segala: apakah penguasa, apakah massa,
apakah kebenaran, apakah moral, apakah fungsi ruang dan waktu, apakah hakekat Ada,

Gerak, Situasi. Ia mendalami seluk beluk pemikiran, dan praktek-praktek kebatinan,
lengkap dengan peristilahan-peristilahannya. Ia berspekulasi mengenai planit-planit di
angkasa dan harmoni dalam semesta. Cahaya menyinari Muhammad. Dan cahaya inilah
awal mula penciptaan Allah.

Dan banyak sekali spekulasi-spekulasi mistik dan

menjalani tingkat-tingkat ilmulyaqin, ainulyaqin untuk sampai kepada haqqulyakin. Sanu
telah menimba ilmu pengetahuan dari filsuf-filsuf dan pemimpin-pemimpin rohani
seperti Aristoteles, Plato, Sokrates Descartes, Pascal, Bergson, Kant, Emerson, Buddha,
Kong Fu Tse, Lao Tse, Al-Hallaj, Yesus, Muhammad, Nietzshe, Machiavelli, Karl Marx,
Hegel, tapi juga dari tokoh-tokoh tindakan, seperti Napoleon, Caesar, Jefferson, dan
Lincoln.
Sebagaimana Danarto sampai kepada Adam Ma’rifat, demikian pula Sanu sampai
kepada Manusia Total: “Manusia yang menjaga keseimbangan aantara diri pertama dan
diri kedua. Seluruh manifestasi diri pertama adalah infinita-ego, yang lawannya adalah
infinita-kreatif. Karena itu, diri kedua infinita kembar itu, dengan kreatifitasnya
menjadikan ia dinamis. Dan dinamika kreatif hanya ada pada pemilik status quo
perimbangan, yaitu Manusia Total.” (hal.6)


Pada suatu kesempatan kepala Sanu mengangguk-angguk beberapa kali dan
sempat diketahui oleh temannya Awin. Dia bertanya:
“Kau tadi menggeleng, lalu diam, lalu mengangguk, itu apa sih
maksudnya?”
“Kami sedang bercakap-cakap,” jawab Sanu.
“Kami itu siapa?”
“Aku dan aku”. Aku ini sebagai diri kembar. Karena kembar, bisa

6
dilakukan kerjasama, bukannya konfrontasi antara aku dan aku itu”.
“Itu kejawen!” tuding Awin.
“Nanti kalau aku keluarkan semua literaturku, kau kaget.”
(hal. 55)

Boleh jadi pengalaman-pengalaman irrasional yang dialami Sanu menimbulkan
senyuman sinis pada pembaca yang tidak mempunyai atau telah kehilangan indra
keenamnya, tapi apabila kita memperhatikan gejala-gejala ajaib yang terjadi sekitar kita,
maka apa yang dialami Sanu pada dirinya, bukan hal-hal yang aneh bahkan mustahil.
Membaca cerita ini kita seperti masuk ke dunia


mimpi yang mencekam tapi mengasyikkan, di mana kepala adalah kaki, kiri adalah
kanan, atas adalah bawah, timur adalah barat, dunia sungsang sumbalit di mana kita
mencari jalan dengan rasio di tengah kebalauan yang mokal-mokal.

Kita bertemu

pikiran-pikiran dan pemandangan-pemandangan yang membedah kenyataan untuk
sampai kepada kebenaran-kebenaran hakiki.
Ilmu psikologi, khususnya psikiatri, mempunyai nama-nama untuk gejala-gejala
yang dialami Sanu, seperti halusinasi, paranoia, schizophrenia, delirium, dan sebagainya,
semuanya merupakan penyakit-penyakit kejiwaan yang tidak ada hubungannya dengan
alam gaib. Hanya karena saraf tidak berfungsi dengan baik, maka bermacam
pendengaran, penglihatan dan penciuman bisa terjadi, yang sebenarnya objeknya tidak
ada. Tapi disamping psikologi dan psikiatri telah berkembang pula ilmu yang disebut
parapsikologi yang menyelidiki gejala-gejala luar indriawi, bukan sebagai gejala-gejala
penyakit, tapi sungguh-sungguh berasal dari kemampuan pengindriaan yang saking
halusnya bisa berhubungan dengan dunia gaib di luar diri. Nama lain adalah
spiritualisme, tapi perbedaan diantara keduanya ialah bahwa parapsikologi mencoba
dengan cara ilmiah menganalisa gejala-gejala indriawi, sedangkan spiritualisme
menerima dunia gaib begitu saja.
Dalam membaca pengalaman Sanu yang diceritakan oleh Busye ini, kita
terbentur pada pertanyaan apakah Sanu sedang mengalami prosaes penggilaan,

7

ataukah ia memang sedang menghayati proses pewalian yang sampai kepada hakikat
kebenaran yang paling akhir? Apapun asal usulnya pengalaman Sanu, sebagaimana
Busye menceritakannya, sungguh sangat menarik, karena diceritakan dengan cara yang
sangat masuk akal, seolah-olah dialami oleh pengarangnya sendiri. Kelebihan pengarang
dari pemakai bahasa biasa adalah ialah bahwa pengarang dapat menggerakkan gerak
batin yang paling halus dan paling dalam berupa perasaan dan pikiran yang menyertai
gerak fisik yang paling kecil dan paling halus dalam kata-kata. Dan pengarang di sini
membuktikan kemampuan itu. Ia melukiskan pengalaman orang bermeditasi ubntuk
mendapat kekuatan menembus alam atmosfir dan startosfir , menguak perbatasan hidup
dan mati menjalin pengalaman nyata dan rohani, di mana alam nyata dan alam barzakh
berbaur, pengarang hidup dalam kesemestaan , bukan sebagai pasien jiwa, tapi sebagai
manusia pilihan. Tanggapan mistik dan peristilahan mistik dikuasai dengan cekaman
yang kuat, bahkan ditambah dengan konsep dan peristilahan fisika dan metafisika
(hal.37-38).

Sanu Infinita Kembar: Novel Mistik-Falsafati Karya Motinggo Busye
Pengarang melalui tokoh utamanya, Sanu, berpendapat bahwa dalam diri
manusia senantiasa terjadi perebutan kekuasaan, coup d’etat, sampai dia menemukan
ajalnya. Dengan kata lain, dalam satu diri manusia terdapat kekuasaan, yaitu kekuasaan
kembar. Kekuasaan kembar dua ini , secara terus-menerus berperang dalam dirinya
sendiri. Dalam bentuknya yang kongkrit, Kekuasaan Pertama selalu melakukan
revolusi. Dan sebagaimana skala makro sebuah revolusi, maka peristiwa ini
meniumbulkan korban-korban. Dan yang dikorbankan adalah manusianya sendiri.
Sebaliknya, Kekuasaan Kedua melakukan evolusi, dan kecenderungannya adalah
meraewat dan membangun puingh-puing akibat revolusi itu. Kekuasaan Pertama
bertindak sentralistis dan sama sekali tidak kreatif. Inilah Ego. Sedangkan Kekuasaan
Kedua bertindak harmonis, kreatif dan memiliki cakrawala perhitungan kosmis dan
supranatural yang tak pernah dipahami. Karena itu selalu dilawan oleh Kekuasaan

8

Pertama. Inilah Kreator. Dan oleh karena itu sifatnya alamiah, adalah sebenarnya,
illahiah. Ego tidak pernah mengakui adanya Tuhan Maha Kuasa, karena ia mengira
dirinyaaaalah penguasa tunggal, dan karena itu dia mengira dirinyalah “Tuhan”. Tetapi
Kreator sepenuhnya mengakui adanya Tuhan Maha Kuasa. Dan dia sendiri secara sadar
memikul Tuhan kepadanya. Bahkan dia mengalami kenikmatan ketika Tuhan hadir
dalam dirinya. Berbeda dengan Kekuasaan Pertama yang ingin merebut Krekuasaan
Kedua secara revolusioner, Kekuasaan Kedua justru menyatakan perebutan kekuasaan
atas kekuasaan pertama, bukanlah untuk menjadi pernguasa otoriter. Yang direbutnya
bukanlah wilayah Kekuasaan Pertama, tetapi sekedar mengarahkan tindak revolusioner
Kekuasaan Pertama tadi. Dengan kata lain, dia mengenal batas wilayah itu, karenanya
dia sekedar menjaga status quo atas Kekuasaan Kembar itu.
Blaise Pascal dengan tepat menyebut Dua Kekuasaan ini sebagai ”Dua Infinita”,
tetapi tokoh Sanu dalam cerita ini bukan penjelmaan dari infinita-infinita Pascal, juga
bukan diilhami oleh falsafat Kejawen yang yang cenderung lebih dekat pada Pascal dan
Sufisme murni. Sanu bukan Pascalis, bukan pula Sufis. Sanu mengakui terminologi “dua
infinita” karena dia mengaku membaca karya Pascal itu, sebagaimana dia memahami
sufisme dan kejawen. Tetapi yang dicarinya bukanlah usaha perebutan kekuasaan, di
mana kemudian Kekuasaan Kedua menaklukkan Kekuasaan Pertama. Tidak. Yang dicari
Sanu adalah

harmoni Kekuasaan Kembar itu. Dan tugas maksimumnya hanya

memelihara status quo, sehingga muncullah idealismenya tentang

perikehidupan

manusia ini, yaitu harmoni.
Berikut ini beberapa cuplikan

penting yang menyiratkan hubungan antara

filsafat, mistik, dan karya sastra yang berkenaan dengan manusia total, ketuhanan,
politik dan internasionalisme, dan filsafat guru.
A. Manusia Total

dan Prinsip Ketuhanan

Berikut ini adalah buah pikiran Sanu mengenai eksistensi manusia, dalam hal ini,
manusia sebagai manusia total. Manusia total, menurut Sanu, berbeda dengan kesadaran
total yang cenderung menyebabkan ketidakseimbangan antara Kekuasaan Pertama dan
Kekuasaan Kedua. Petikan di bawah ini melukiskan perbedaan tersebut:

9
“Tahukah kau, Raswan, mungkin yang diperlukan bukan kesadaran total, tetapi
manusia total. Manusia total tidak mengingkari konsepsi Tuhan Esa, selebihnya
selain Tuhan itu majemuk. Planit-planit tidak dibuat satu. Langit tidak dibut-Nya
satu Ada atmosfir dan stratosfir dan seterusnya. Ada malam, ada siang, dan
seterusnya, pendeknya seluruh alam semesta dan isinya ini majemuk. Yang Esa
cuma Dia, Tuhan. Sekarang coba kamu bantah saya, Raswan.”
“Aku kuatir kamu nanti gila, Sanu,” ujar Raswan.
(hal. 5)

Dari kutipan di atas, Sanu ingin menerangkan bahwa manusia total selalu sadar
akan jati dirinya berbeda dengan jati diri Tuhannya. Dengan kata lain makhluk selalu
berbeda dengan khaliknya. Ini berarti bahwa manusia tidak boleh terjebak dengan
pandangan filosofis Al Hallaj atau Neitzsche yang boleh dikata kelewatan menurut Sanu.
Sanu tetap berpendapat yang esa itu hanya Tuhan Yang Maha Esa. Manusia total adalah
manusia yang senantiasa menjaga keseimbangan antara Krekuasaan Pertamanya, yakni
ego dan Kekuasaan Keduanya, kreatif.
Lebih lanjut dapat diperhatikan percakapan Sanu yang lain:
“Memang itu bisa terjadi sekiranya aku berdiri langgeng pada alam
yang dialami Al Hallaj atau Nietzsche,” kata Sanu.
“Siapa yang menjamin kau bisa membebaskan diri dari sadar-total itu?”
“Manusia totalku. Manusia total adalah yang mnjaga keseimbangan. Kau
bayangkan jika Tuhan sempat tidur dan mengantuk! Bisa beradu bumi kita
dengan bulan atau Venus. Nah yang ku maksud dengan manusia total itu,
yaitu yang berupaya menjaga keseimbangan antara diri pertama dan diri
kedua. Seluruh manifestasi dari diri pertama adalah infinita ego. Lawannya
adalah infinita-kreatif.
“Jadi kau yakini betul bahwa kau tidak akan keterusan menyebut Aku
Allah sebagaimana Al Hallaj, atau keterlanjuran mengira Tuhan sudah mati
seperti Sang Uebermensch-nya Nietzsche?”

10
(hal 6)

Dalam kesempatan lain, Sanu menggolongkan manusia ke dalam tiga jenis
manusia dengan serba-serbinya, sepert kutipan di bawah ini yang dikemukakan
kepada isrinya:
“Hari ini aku mendapatkan uang 100.000,-, tapi telah aku berikan kepada siapa pun yang
membutuhkan sebanyak 70.000,-rupiah. Sedangkan hakku, hak kau, dan hak Aldo dan bayi
kita sekedar yang 30.000,- saja. Jangan bilang aku tolol. Aku kira, dunia ini memang trdiri
dari 3 jenis manusia. Jenis pertama, orang awam termasuk yang miskin dan tolol, dan
mereka itu
jumlahnya 40% dari penduduk bumi. Yang 30% lagi orang kaya, termasuk yang loba dan
gila harta dan juga orang-orang kaya yang memiliki cinta kasih. Dan yang 30% lagi adalah
orang-orang berilmu yang cendekia, yang ilmunya ada yang digunakan untuk kebaikan
sesama ataumenghancurkan sesamanya. Bebrapa saat uyang lalu aku berperan sebagai
orang kaya yang yang memiliki cinta kasih, yang tidak pernah mengukur cinta kasihnya
dengan jumlah nominal.”
“Tujuhpuluh ribu rupiah itu disawer agar disebut dermawan?” tanya istrinya.
(hal 80)

B. Politik dan Internasionalisme
Pada kesempatan lain Sanu menafsirkan Kekuasaan Pertama, ego sebagai
kediktatoran, sedang Kekuasaan Kedua sebaliknya. Ia juga berpendapat bahwa filosofis
politik itu adalah main otak seperti halnya orang yang sedang bermain catur.
“Ego itu selalu warnanya kediktatoran,” kata Sanu.
Lalu Sanu cuci muka ke kamar mandi. Tanpa ganti pakaian dia pergi dengan
tidak perlu memikirkan lebih dulu tujuan. Dia menganggap, berfikir

sekarang ini adalah penyerahan terhadap kediktatoran ego. Tanpa berfikir,
sempurnalah kemerdekaan diri.
(hal. 10)

11

“Politik itu ilmu main otak. Catur juga ilmu main otak. Jangan main rasa. Tapi
minum tuak bagi orang Batak itu main rasa. Ah kau mengaku dulu ahli
sejarah dan antropologi, kok bisa cengeng begini?”
“ Karena aku dilahirkan bukan sebagai produlk politik. Aku lahir sebagai
produk budaya. Jika bung tuduh aku cengeng, apa boleh buat.
(hal. 12)

Berkenaan dengan konsep internasionalisme, Sanu bependapat bahwa bentuk
internasionalisme adalah buruk, apakah itu Marxisme, Kapitalisme ataupun Liberalisme.
Sanu hanya ingin berpegang teguh pada nasionalisme yang berbudaya Indonesia. Berikut
ini adalah percakapan antara Lewis agen CIA dan Sanu:
“Saya tahu keadaan negeri kami ini akan bertambah mencengkeram lagi. Tapi
saya tidak menyukai pelarian atas nama apa pun. Saya akan menjadi
seorang nasionalis dengan orientasi budaya Indonesia. Saya tidak
mempercayai lagi makna internasionalisme, apakah itu Marxisme ataupun
Kapitalisme dan Liberalisme. Saya sudah melihat kebenaran falsafat
Sukarno, bahwa dunia dewasa ini hanya terdiri dari dua kekuatan: Eksploitor
dan yang dieksploitir. Apakah eksploitor itu Komunis atau Kapitalis,
keduanya sama, bentuknya internasionalisme. Aatas kepungan dua raksasa
ini, pilihan politik nasionalisme untuk sementara waktu bisa saya terima.”
(hal.25)

C. Guru versi Sanu
Dalam kesempatan lain Sanu juga berfilsafat tentang guru. Guru, menurut Sanu,
adalah Infinita-kedua alias Kekuasaan Kedua. Ini berarti bahwa setiap manusia adalah
guru, minimal bagi dirinya sendiri. Kutipan di bawah ini menarik untuk disimak:
“Guruku adalah Infinita-kedua. Diri yang aku lupakan sejak akumenganggap
intelekku ini Tuhan-kedua, yang mengira egoku kebenaran. Nanti setelah
guru itu aku temukan, aku akan belajar. Belajar bertindak yang benar,
termasuk belajar uilmu menghilang.”

12

(hal.7)
“Kabarnya kau sedang mencari guru tasawuf,” kata Abah mertua.
“Betul. Tapi ternyata dia ada dalam diri saya. Dialah Pangeran Bumi mewakili
Tuhan, yang tidak kelihatan dan tak tampak oleh saya selama 27 tahun. Ah,
saya akan pergi dulu.”
“Mukamu masih pucat,” ujar Abah mertua.

(hal. 29)

Simpulan
Sebagaimana diuraikan dalam bagian-bagian

terdahulu, filsafat dan sastra

mempunyai hubungan yang sangat erat. Keduanya baik filsafat maupun sastra samasama bermuara pada pengalaman menghayati kehidupan ini. Dan selain itu filsafat dan
sastra mempunyai dasar pijak yang sama, yaitu realitas kehidupan.
Adapun perbedaan dari keduanya diantaranya metodologinya. Sastra, secara
metodologis, merupakan ziarah penjelajahan seluruh realitas di mana manusia berada,
hidup dan bergulat di dalamnya. Filsafat, secara metodologis, hendak muncul sebagai
refleksi atas pengalaman manusia dalam berada, bereksistensi di dalam realitas hidup
yang sudah dirinci, dipilah-pilah menurut alur rasionalitas dan logika lewat akal budi.
Hubungan antara filsafat dan sastra pada dasarnya adalah sastra itu bisa menjadi
bahan baku untuk filsafat. Berfilsafat dengan sumber pengalaman menghayati relitas
hidup tadi bisa dijalani melalui dua bahan pokok. Bahan pokok yang pertama, berfilsafat
memakai temuan-temuan ilmu empiris. Misalnya filsafat bahasa memakai bahan baku
linguistik. Strukturalisme memakai ilmu antropologi budaya. Bahan baku yang kedua,
orang bisa berfilsafat dengan memakai ujaran pengalaman sang penulis sastra dan
seniman.
Karya sastra merupakan corong atau sarana penting untuk mengenal manusia
dan jamannya. Pengenalan itu akan menjadi bahan apresiasi bagi pembaca dalam
menghadapi berbagai macam masalah dalam hidupnya. Oleh karena itu, manfaat

13

pembinaan dan pengembangan apresiasi satra sangat meyakinkan. Membina dan
mnengembangkan apresiasi sastra berarti membina dan mngembangkan kesusastraan itu
sendiri

dan kebudayaan pada umumnya. Pemahaman karya satra yang baik dapat

membuat pembaca lebih matang dan bijaksana dalam melaksanakan, membina serta
mengembangkan kehidupan ini, terutama pembangunan nasional.
Novel Sanu Infinita Kembar adalah karya sastra yang sangat menarik, bersifat
mistis dan filosofis. Dengan kepiawaian sang penulis, novel ini menceritakan suatu
eksistensi seorang manusia, Sanu, yang senantiasa mengalami pergolakan di dalam
dirinya sendiri. Dengan kata lain, dalam diri manusia terdapat dua kekuasaan, yaitu
kekuasaan kembar. Kekuasaan pertama
selalu melakukan revolusi, dan yang kedua melakukan evolusi, dan kecenderungannya
adalah merawat dan membangun puing-puing akibat revolusi itu. Kekuasaan yang
pertama sentralistis, ego, sama sekali tidak kreatif, sedangkan yang kedua bertindak
harmonis, kreatif dan memiliki cakrawala.
Sanu meninggalkan Sanu, lalu ke temu massa yang bikin kudeta, hingga Sanu
pun ngilu. Sanu mencari Sanu, bertemu dengan suara bisikan pilihan dan
tindakan, untuk menjadi Sanu! Sanu terus mengembara, ingat dan lupa selalu diburu
suara mendenging dan menggila! Lalu Sanu bangkit, merindukan hilang untuk
menemukan rasa: aman dan seimbang.

Daftar Pustaka
Atmosuwito, Subijantoro. 1987. PERIHAL SASTRA DAN RELIGIUSITAS DALAM
SASTRA. Bandung. C.V. Sinar Baru

14

Busye, Motinggo. 1985. Sanu Infinita Kembar. Jakarta: PT. GUNUNG AGUNG.
Sugihastuti. 2002. TEORI DAN APRESIASI SASTRA. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutrisno, Mudji. 1995. Filsafat, Sastra dan Budaya. Jakarta: Obor.