KUMPULAN CERAMAH RAMADHAN 1434H

WAKTU, KERUGIAN & AMAL SHALIH

Marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah kapan dan dimanapun kita berada, dengan menggunakan waktu yang diberikan Allah SWT untuk mentaati-Nya. Karena kalau kita gunakan waktu kita untuk selain keta’atan, maka kita termasuk orang-orang yang merugi. Allah SWT berfirman:

الواففنُمَالءَ ن َ ينذِففلّال ّ إِ - ل رٍففس ْخ ُ ي فففِلَ ن َ انس َ نْلْ ِ ال ن ّ إِ - رِص ْ عَلْالوَ رِبْص ّ لانبِ الواْص َ الواَتَوَ ق ّح َ لْانبِ الواْص َ الواَتَوَ ت ِ انح َ لِانص ّ لال الوالُمِع َ وَ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS

al-'Ashr [103]: 1-3)

Imam Fakhruddîn Ar Râzi (w.606H), dalam tafsirnya, Mafâtîhul Ghaib 1 memberikan penjelasan menarik tentang hubungan masa/waktu dengan kerugian, beliau menyatakan:

Karena sesungguhnya kerugian itu adalah hilangnya modal, dan modalnya manusia adalah umurnya, dan modal tersebut terus berkurang seiring dengan hilangnya umurnya.

Disisi lain, modal yang berupa waktu kehidupan yang dimiliki manusia, sangat pendek, terbatas dan tidak kekal. Ketika Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?",

ن ْ إِ ل َ انففقَ - ن َ يندّانعَلْال ل ِأ َ سْانفَ ٍ واْينَ م ض َ عْبَ وْأَ انمًواْينَ اننَثْبِلَ الوالُانقَ ن َ وامُلَعْتَ م ْ تُنْك ُ م ْك ُ نّأَ واْلَ لًيعلِقَ لّإِ م ْ تُثْبِلَ

Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari 2 , maka tanyakanlah kepada orang-orang yang

1 يبرعلا ثارتلا ءايحإ راد -ريبكلا ريسفتلا = بيغلا حيتافم juz 32 hal 280

2 mereka ragu, dan menganggap pendek masa tinggal mereka disebabkan kengerian mereka melihat besarnya azab di hari itu

(tafsir Jalalain) (tafsir Jalalain)

Seandainya modalnya kekal, misalnya bermodal 100 juta, dia hamburkan 50 juta, tetap saja modalnya 100 juta, dia keluarkan 100 juta lagi, tetap dia miliki 100 juta, tentunya tidak terlalu bermasalah kalau sembarangan menghambur modal.

Namun jika modalnya sedikit dan tidak kekal maka merupakan kerugian kalau dihambur-hamburkan tanpa menghasilkan sesuatu. Begitu juga akan rugi jika modal tersebut hanya menghasilkan sesuatu yang fana pula, yakni kehidupan dunia ini, karena nanti akan lenyap bersama lenyapnya usia.

Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. An Nisaa': 77)

Sungguh keberuntungan hanya diperoleh kalau seseorang mendapatkan ganti yang jauh lebih besar dari modalnya yang telah hilang, ganti ini hanya akan diperoleh dengan melakukan ‘amal shaleh.

“Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS Al An’am[6] : 160).

Demikian juga pahala berinfak di jalan Allah Swt. Kepada pelakunya, dijanjikan akan mendapatkan balasan tujuh ratus kali lipat dari harta yang diinfakkan itu (QS al-Baqarah [2]: 261).

Diantara amal shaleh yang menjanjikan keuntungan lebih besar, dan masih mengalir walaupun modal usia telah habis, Diantara amal shaleh yang menjanjikan keuntungan lebih besar, dan masih mengalir walaupun modal usia telah habis,

“Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapatkan pahala sama dengan yang mengerjakan.” (HR Muslim).

Mungkin usianya pendek, namun dengan mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, seolah dia hidup lebih lama dari umur yang sebenarnya. Sebab, kematian --yang lazimnya menghalangi seseorang untuk beramal dan mendapatkan pahala dari amal tersebut--, masih memberikan peluang baginya untuk memperoleh pahala.

Sungguh modal usia yang kita miliki sangat sedikit, mau kita gunakan untuk kebaikan atau kejahatan, maupun tidak dipakai sekalipun, modal itu pasti akan habis.

Bila kita bertekad menginvestasikan waktu hidup kita untuk kebaikan, sesungguhnya resiko penderitaan yang mungkin kita alami sangat sebentar, yakni hanya di dunia ini, sedangkan keberuntungan di akhirat sungguh tiada batasnya.

Sebaliknya bila modal usia ini kita gunakan untuk maksiyat, maka kemungkinan kenikmatan yang diperoleh sangat sedikit, yakni hanya kenikmatan di dunia yang fana ini, sementara siksa yang bakal diterima di akhirat sangat berat.

Begitu pula jika modal usia ini lebih banyak kita gunakan untuk bermain-main, atau mengejar kenikmatan dunia, walaupun halal sekalipun, maka sungguh kerugian juga yang akan dijumpai, karena modalnya habis, begitu juga kenikmatan yang diperoleh juga akan habis.

Semoga kita dimudahkan Allah untuk mengisi hari-hari kita dengan ketaatan yang dilandasi keimanan, karena tanpa landasan iman, semua kebaikan akan sia-sia.

“Dan orang-orang yang kafir, amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi didatanginya air itu dia tidak mendapatinya apa pun.” (QS al-Nur [24]: 39).

MAKSIMALKAN SISA USIA UNTUK KETA’ATAN

Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah (wafat 187 H) pernah berkata kepada seseorang: “Berapa usiamu?” Orang itu menjawab: “60 tahun.” Al-Fudhail berkata: “Berarti sejak

60 tahun engkau berjalan menuju Tuhanmu dan hampir- hampir engkau akan sampai pada-Nya” .

Mendengar hal itu, orang tersebut berkata: هِيعْلَإِ اننّإِوَ هِلّلِ اننّإِ ن َ واعُج ِ الرَ

Al-Fudhail berkata lagi:

“Tahukah engkau tafsir dari kalimat yang engkau ucapkan? (tafsirnya adalah) engkau katakan: bahwa aku adalah hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka barang siapa yang mengetahui bahwa dia adalah hambanya Allah dan dia akan kembali kepada-Nya, hendaklah ia mengetahui bahwa ia akan dibangkitkan di hadapan Allah kelak. Dan siapa yang tahu bahwa ia akan dibangkitkan, maka hendaklah ia mengetahui bahwa ia akan ditanya, dan siapa yang tahu ia akan ditanya maka hendaklah ia mempersiapkan jawaban.”

Orang itu bertanya: “Lalu apa jalan keluarnya?” Al-Fudhail menjawab: “Mudah.” “Apa itu?” tanya laki-laki tersebut. Al- Fudhail berkata:

“Engkau berbuat baik pada umurmu yang tersisa, niscaya akan diampuni bagimu apa yang telah lewat, karena bila engkau berbuat jelek dengan umurmu yang tersisa engkau akan disiksa karena kejelekan yang telah lalu dan yang akan engkau perbuat dalam sisa umurmu.” (Jâmi`ul Ulum wal Hikam , 2/383, Mu’assasah ar Risalah, Maktabah Syâmilah)

Sungguh banyak sekali perbuatan baik, dan sungguh pendek usia manusia. Oleh sebab itu kita tidak boleh menganggap enteng suatu perbuatan baik, namun demikian, ketika perbuatan baik yang satu berbenturan dengan perbuatan baik yang lain, kita juga dituntut untuk memprioritaskan mana yang lebih utama dilakukan.

Syara’ telah memberi petunjuk pada kita bahwa kewajiban

lebih utama dan paling dicintai Allah dari yang sunnah, dan yang sunnah tentu jauh lebih utama dari

yang mubah (boleh) . Dalam hadits qudsi disebutkan:

“Dan tidaklah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku seorang Hamba-Ku dengan sesuatu yang lebih aku sukai daripada dia menjalankan kewajibannya. Dan tidak henti- hentinya hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah nafilah hingga Aku mencintainya .” (HR. al Bukhari)

Begitu juga diantara kewajiban-kewajiban, ada kewajiban yang lebih utama, kewajiban yang dengannya agama ini bisa tegak dan terlaksana, kewajiban yang tidak sedikit kaum muslimin sekarang mengabaikannya, kewajiban yang bila kita berdiam diri darinya maka kemaksiyatan berkembang pesat, kewajiban yang bila dia tidak tegak maka ikatan Islam akan lenyap satu ikatan demi satu ikatan, hingga akhirnya Begitu juga diantara kewajiban-kewajiban, ada kewajiban yang lebih utama, kewajiban yang dengannya agama ini bisa tegak dan terlaksana, kewajiban yang tidak sedikit kaum muslimin sekarang mengabaikannya, kewajiban yang bila kita berdiam diri darinya maka kemaksiyatan berkembang pesat, kewajiban yang bila dia tidak tegak maka ikatan Islam akan lenyap satu ikatan demi satu ikatan, hingga akhirnya

“Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu demi satu, setiap kali satu ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terburai adalah masalah hukum (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat."

Oleh karena itu, para shahabat menjadikan kewajiban tegaknya sistem pemerintahan Islam, yang dalam Islam disebut sistem khilafah/imâmah/imâratul mukminîn sebagai kewajiban terpenting, bahkan mereka sampai menunda pemakaman jasad Rasulullah saw demi tegaknya khilafah. Imam Ibnu Hajar al Haytamy al Makki Asy Syâfi’i (wafat 974

H) dalam kitabnya As Shawâ’iq Al Muhriqah juz 1 hal 25 menyatakan:

Ketahuilah juga bahwa sesungguhnya para shahabat r.a telah ber ijma’ (sepakat) bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian adalah kewajiban, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang terpenting.

Inilah kewajiban yang telah tertunda lebih dari 89 tahun, yang menyebabkan hilangnya keberkahan hidup manusia, hilangnya ketaatan kepada sebagian besar ketentuan- ketentuan Allah SWT. Adalah suatu amal utama jika kita

mengisi sisa-sisa umur kita dengan beraktivitas untuk

mewujudkannya, tentunya tanpa mengabaikan kewajiban yang lainnya. Semoga harta dan anak-anak kita yang begitu menyita waktu dan perhatian kita, tidak membuat kita lupa akan tanggung jawab ini.

“Bukanlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian yang dapat mendekatkan diri kalian kepada Kami; tetapi orang- orang yang beriman dan beramal shalih, merekalah yang mendapatkan pahala yang berlipat ganda karena apa yang mereka kerjakan. Dan mereka akan berada di tempat- tempat yang tinggi (surga) dalam keadaan aman.” (QS. Saba : 37)

PERINTAH ALLAH MERUPAKAN UJIAN KEIMANAN

Marilah kita senantiasa meningkatkan mutu keimanan dan kualitas ketaqwaan kita. Keimanan seseorang pastilah akan diuji oleh Allah swt, semakin tinggi tingkat keimanan, semakin berat pula ujian yang akan Allah berikan. Allah berfirman:

ن َ وانُتَفْينُ لَ م ْ هُوَ اننّمَآخ الوالُواقُينَ ن ْ أَ الواك ُ رَتْينُ ن ْ أَ ُ س اننّلال ب َس ِح َ أَ ن َ ينذِففلّال هُففلّلال ن ّ ففمَلَعْيعَلَفَ م ْ ففهِلِبْقَ ن ْ ففمِ ن َ ينذِففلّال انففنّتَفَ ْ ففقَلَوَ - د ن َ يعبِذِانك َ لْال ن ّ مَلَعْيعَلَوَ الواقُد َص َ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang- Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-

Diantara jenis ujian yang Allah berikan kepada kita adalah ujian yang berbentuk perintah. Nabi Ibrahim a.s. diuji dengan perintah untuk meninggalkan Hajar dan Isma’il di lembah tandus di Makkah, Hajar , istri nabi Ibrahim di uji dengan ditinggalkan suami di tempat yang tak bertuan, dalam riwayat Bukhory dinyatakan bahwa awalnya beliau tidak rela, selalu mengikuti Ibrahim sambil berkali-kali bertanya:

“Wahai Ibrahim, kemana engkau akan pergi dan meninggalkan kami di lembah ini, lembah yang tidak ada orang dan tidak ada sesuatupun?”

Nabi Ibrahim diam, tidak sanggup menjawab pertanyaan istrinya, sampai akhirnya istrinya kemudian bertanya:

“Apakah Allah yang memerintahkan engkau hal ini?” Nabi Ibrahim baru bisa menjawab, “ya”, kemudian Hajar

mengatakan

“Kalau demikian (perintah Allah), maka (Allah) tidak akan menelantarkan kami.”

Sungguh Ibrahim dan istrinya telah membuktikan keimanan mereka kepada Allah dengan menjunjung tinggi perintah Allah walaupun dalam pandangan kebanyakan manusia, perintah tersebut sangatlah tidak manusiawi. Coba kita bayangkan seandainya kita yang diperintahkan untuk meninggalkan istri dan anak yang sudah lama kita nantikan kelahirannya, bukan meninggalkan di tempat yang dekat, namun ditempat yang jauh yakni dari Palestina ke Makkah, bukan di tempat yang tersedia kebutuhan hidup, namun di Sungguh Ibrahim dan istrinya telah membuktikan keimanan mereka kepada Allah dengan menjunjung tinggi perintah Allah walaupun dalam pandangan kebanyakan manusia, perintah tersebut sangatlah tidak manusiawi. Coba kita bayangkan seandainya kita yang diperintahkan untuk meninggalkan istri dan anak yang sudah lama kita nantikan kelahirannya, bukan meninggalkan di tempat yang dekat, namun ditempat yang jauh yakni dari Palestina ke Makkah, bukan di tempat yang tersedia kebutuhan hidup, namun di

Ketika mereka lulus dari ujian ini, tidak berselang lama turunlah ujian berikutnya yakni perintah untuk menyembelih putranya yang sangat ia cintai. Bagaimana mungkin seorang bapak harus menyembelih anaknya yang sangat dia cintai, padahal anaknya itu tidak melakukan kesalahan apapun. Sungguh ini ujian yang sangat berat sehingga Allah sendiri mengatakan:

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (QS. Ash-Shaffat : 106).

Dan di sini kita melihat bagaimana kualitas iman Nabi Ibrahim as. yang benar-benar sudah tahan uji, sehingga dengan segala ketabahan dan kesabarannya, perintah yang sangat berat itupun dijalankan, walaupun akhirnya Allah menggantikan Isma’il dengan domba yang besar.

Apa yang dilakukan oleh keluarga Nabi Ibrahim a.s merupakan cermin bening untuk melihat sejauh mana kualitas keimanan kita kepada Allah SWT. Kualitas keimanan kita dapat kita ukur dengan merenungi sejauh mana sikap dan ketundukan kita kepada perintah-perintah Allah SWT.

Apakah kita melaksanakan shalat dengan rasa ringan atau berat?, apakah kita mengeluarkan zakat harta kita dengan enteng ataukah justru kita merasa rugi mengeluarkannya?, apakah kita berhaji karena perintah Allah ataukah karena gengsi?, sudahkah kita berupaya menambah ilmu kita setiap hari, ataukah kita hanya memberikan sisa-sisa waktu kita untuk ilmu, itupun kalau sempat? Sudahkah kita berupaya menegakkan semua perintah Allah dalam setiap aspek kehidupan kita?, dalam hal berekonomi, berinteraksi sosial, termasuk perintah-perintah Allah dalam mengatur pemerintahan? Kalau semua itu belum kita upayakan, atau kita berupaya namun asal-asalan, atau justru mencari-cari alasan untuk tidak menjalankannya, maka marilah mulai saat Apakah kita melaksanakan shalat dengan rasa ringan atau berat?, apakah kita mengeluarkan zakat harta kita dengan enteng ataukah justru kita merasa rugi mengeluarkannya?, apakah kita berhaji karena perintah Allah ataukah karena gengsi?, sudahkah kita berupaya menambah ilmu kita setiap hari, ataukah kita hanya memberikan sisa-sisa waktu kita untuk ilmu, itupun kalau sempat? Sudahkah kita berupaya menegakkan semua perintah Allah dalam setiap aspek kehidupan kita?, dalam hal berekonomi, berinteraksi sosial, termasuk perintah-perintah Allah dalam mengatur pemerintahan? Kalau semua itu belum kita upayakan, atau kita berupaya namun asal-asalan, atau justru mencari-cari alasan untuk tidak menjalankannya, maka marilah mulai saat

Sungguh, ketaatan kepada Allah dalam setiap aspek kehidupan bukan hanya merupakan ujian keimanan, yang bila kita laksanakan dengan sempurna akan menambah kekuatan iman kita, namun tegaknya perintah Allah, tegaknya syari’ah-Nya juga akan menjadikan hidup ini penuh berkah. Rasulullah bersabda:

“Sungguh satu hukum yang ditegakkan dibumi lebih baik bagi penduduknya daripada mereka diberi hujan 40 pagi.” (HR Ahmad dan An Nasa’i dari Abu Hurairah)

HIDUPLAH DI DUNIA LAKSANA ORANG ASING ATAU MUSAFIR

Imam Bukhory menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. memegang pundak Abdullah bin Umar r.a sambil berkata:

“Jadilah kamu di dunia ini seakan-akan orang asing atau seorang pengembara.”

Ungkapan pendek Rasulullah ini memberikan pelajaran yang luas dan mendalam. Sungguh, manusia yang normal, hatinya tidak akan melekat bergantung kepada sesuatu di negeri yang asing baginya, justru hatinya akan senantiasa terikat dengan negeri asalnya. Sebagus apapun hidup terasing di negeri asing, pasti dia akan tetap berpikir bagaimana kembali kenegeri asalnya, dan memperbaiki kehidupan di negeri yang tidak asing baginya.

Begitu juga seorang pengembara atau musafir, dia tidak akan membawa sesuatu yang justru akan membuat dia payah dalam perjalanannya. Dia tidak akan membangun istana di perjalanannya, yang kelak akan dia tinggalkan dan tidak akan kembali lagi. Oleh sebab itulah maka Rasulullah meminta untuk memposisikan hidup didunia seperti orang asing atau pengembara.

Bekal terbaik dalam perjalanan dunia ini adalah taqwa, yakni menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah berfirman:

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al Baqarah : 197)

Alangkah sangat disayangkan dan tidak masuk akal jika dalam pengembaraan di tempat yang asing dan fana ini justru perbekalan terbaik dibuang, kemudian ditukar dengan sesuatu dari negeri asing nan fana ini. Dengan alasan untuk memakmurkan negeri fana ini, taqwa justru dibuang, aturan Allah disingkirkan, syari’ah-Nya di pinggirkan untuk kemudian diganti dengan aturan-aturan yang mengatasnamakan rakyat, yang pada faktanya hanya berpihak pada konglomerat dan semakin menyengsarakan rakyat.

Sungguh ketika taqwa, bekal terbaik ini, kita tukar dengan sesuatu di negeri asing yang fana ini, maka penderitaanlah Sungguh ketika taqwa, bekal terbaik ini, kita tukar dengan sesuatu di negeri asing yang fana ini, maka penderitaanlah

Seorang musafir yang berakal tidak akan menghabiskan uangnya untuk membeli koper besar yang penuh dengan barang-barang yang tidak diperlukan di negeri asalnya. Karena koper besar itu justru akan membebani dirinya dan cenderung membuat dirinya kelelahan dalam perjalanan, yang pada gilirannya akan membuat dirinya menderita di perjalanan dengan membawa sesuatu yang tdk berguna di negeri asalnya.

Namun banyak yang lupa bahwa dunia sejatinya adalah sebuah terminal persinggahan untuk menuju terminal terakhir, yakni kehidupan akhiratyang kekal. Allah berfirman:

“Tetapi kamu orang-orang kafir memilih kehidupan dunia. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS al-A’la [87]: 16-17)

Semoga dengan sisa umur kita di dunia ini, Allah menjadikan kita sebagai musafir cerdas yang tidak tertipu dengan dunia dengan menjual bekal terbaik kita yakni taqwa. Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita untuk mengorbankan sebagian kesenangan kesenangan dunia kita untuk kita jadikan bekal menuju tempat abadi kelak, meluangkan waktu kita untuk mengkaji aturan-aturan Allah dan berupaya seoptimal mungkin untuk mengamalkan, menyebarkan dan memperjuangkannya. Hanya dengan itulah bekal taqwa akan kita peroleh. Bekal yang akan memudahkan kehidupan diperjalanan dunia, bahkan ketika sampai ke tempat tujuan. Allah berfirman:

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raf: 96)

MENGHINDARI SIFAT NIFAQ

Marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah kapan dan dimanapun kita berada, dengan senantiasa seoptimal

mungkin mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya, baik saat sepi sendiri maupun saat ramai bersama manusia, karena tidak ada hal sekecil apapun yang bisa kita sembunyikan dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf [50] : 16-18)

“Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS.

At Taghaabun [64] : 4) Keyakinan yang kuat bahwa Allah Ta’ala selalu mengawasi

apa yang kita lakukan, bahkan mengetahui apa yang terbersit dalam hati kita, akan melahirkan setidaknya dua sikap. Sikap pertama adalah, sikap ihsan dalam beribadah kepada Allah.

Saat Rasulullah saw ditanya tentang makna ihsan oleh malaikat Jibril, beliau saw menjawab,

“Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat Allah, kalau engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Bukhari & Muslim)

Dalam aspek yang luas, seluruh kehidupan kita adalah ibadah. Karena itu sikap ihsan ini akan tercermin bukan hanya saat kita shalat, namun juga saat kita bekerja kita tidak akan berani curang, saat kita berbicara kita tidak akan berdusta, saat kita menjalankan suatu amanah kita tidak akan mencari celah untuk khianat karena semua itu diketahui Allah dan akan kita pertanggungjawabkan kelak.

Sikap kedua yang muncul dari keyakinan kita akan pengawasan Allah Ta’ala adalah sikap berani dalam menampilkan identitas keislaman kita. Berani memegang komitmen untuk senantiasa ta’at kepada Allah Ta’ala di mana saja kita berada.

Abu Dzar r.a berkata, “Telah bersabda kepadaku Rasulullah saw:

'Bertaqwalah kepada Allah dimana saja kamu berada. Dan iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya, serta pergauilah manusia dengan akhlaq yang baik'.” (HR. Imam Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hasan)

Islam menuntut ketaqwaan dimana saja kita berada, di masjid, di luar masjid, di kantor, di pasar, di gedung wakil rakyat, juga di gedung-gedung pemerintah.

Sungguh, di antara jenis manusia terburuk adalah mereka yang 'bermuka dua'. Yaitu, mereka yang menampakkan satu identitas pada kelompok tertentu, dan menunjukkan identitas yang lain pada kelompok lainnya. Sebagaimana disebutkan oleh RasuluLlah saw :

“Sesungguhnya, termasuk orang yang paling buruk adalah orang bermuka dua yang mendatangi mereka dengan satu muka dan mendatangi yang lain dengan muka lain.” (HR. Muslim).

Salah satu sifat orang munafiq adalah menjilat manusia untuk mengharapkan keridhaan mereka dari pada keridhaan Allah Ta’ala. Allah mengingatkan akan bahaya mereka dalam surat Al Munafiqun, ayat 4:

“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan- akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) Maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? ”

Kaum munafiqin ini pandai bersilat lidah, namun kata-kata mereka sesungguhnya hampa dan tidak bermanfaat, karena kata-kata mereka bukan lahir dari keimanan yang kokoh kepada Allah, namun muncul dari syahwat kepada dunia ini.

Mereka yang bermuka dua dan mudah berdusta ini, tidak layak dijadikan teman setia apalagi sebagai pemimpin. Jika mereka telah terlanjur menjadi pemimpin, tidaklah patut bagi kita mendukung perbuatan dan kedustaan mereka.

Ka’ab ibn ‘Ujrah berkata, “Kami pernah bepergian bersama Rasulullah saw, dan saat itu kami sembilan orang. Maka RasuluLlah saw bersabda :

م ْ هُنَانففع َ أَوَ م ْ هِبِذِففك َ بِ م ْ هُقَد ّص َ ن ْ مَ ءُالرَمَأُ ي دِعْبَ ن ُ واك ُ تَس َ هُنّإِ دٍرِالواَففبِ ُ س َ ففيعْلَوَ هُففنْمِ ت ُ ففس ْ لَوَ ي ففنّمِ س َ ففيعْلَفَ م ْ هِمِلْظ ى لَع َ م ْ ففهُنْعِينُ م ْ ففلَوَ م ْ هِبِذِففك َ بِ م ْ هُقْد ّ ففص َ ينُ م ْ ففلَ ن ْ مَوَ -ض َ واْحَلْال ي ّ لَع َ

“Sesungguhnya akan muncul sesudahku para pemimpin (pendusta). Barangsiapa menganggap benar kedustaan mereka dan membantu kezhaliman mereka, maka ia tidak termasuk dari golonganku dan aku tidak termasuk golongannya. Dan ia tidak akan bertemu denganku di telaga al-haudh (di surga). Dan barangsiapa yang tidak menganggap benar kedustaan mereka dan tidak membantu kezhaliman mereka, maka ia termasuk dari golonganku dan aku termasuk golongannya. Dan ia akan bertemu denganku di telaga al-haudh (di surga).” (HR. An-Nasaai, dishahihkan

oleh al-Albani 3 ) Imam Bukhariy meriwayatkan bahwa:

“Manusia berkata kepada Ibnu ‘Umar, kami memasuki (rumah) penguasa kami, kemudian kami mengatakan kepada mereka berbeda dengan apa yang kami katakan tatkala kami keluar dari (rumah) mereka ( penguasa). Ibnu ‘Umar berkata: adalah kami menghitungnya sebagai (sikap) nifaq (munafiq). ”

Seseorang yang senantiasa merasa diawasi Allah juga akan berani mengatakan kebenaran walaupun didepan penguasa. Imam Al-Hasan Al-Bashri, seorang tabi’in besar berani menyampaikan kebenaran walaupun dihadapan penguasa yang kejam, al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Ketika al-Hajjaj membangun suatu bangunan di daerah Wasith untuk kepentingan pribadinya, dan ketika bangunan tersebut rampung, al-Hajjaj mengajak orang-orang agar keluar untuk bersenang-senang bersamanya dan mendo’akan keberkahan untuknya. Al-Hasan tidak ingin kalau kesempatan berkumpulnya orang-orang ini lewat begitu saja. Maka dia keluar menemui mereka untuk menasehati, mengingatkan, mengajak zuhud dari gelimang harta dunia dan menganjurkan mereka supaya mencari keridlaan Allah Azza wa Jalla.

3 Shahih wa Dhaif Sunan an-Nasaai No. 4207

Ketika al-Hasan telah sampai di tempat, dan melihat orang- orang berkumpul mengelilingi istana yang megah, terbuat dari bahan-bahan yang mahal, dikelilingi halaman yang luas dan sepanjang bangunan dihiasi dengan pernik-pernik, Al- Hasan berdiri di depan mereka dan memberi peringatan, di antara yang beliau ucapkan adalah, "Kita telah melihat apa yang dibangun oleh manusia paling keji ini tidak ubahnya seperti apa yang kita temukan pada masa Fir’aun yang telah membangun bangunan yang besar dan tinggi, kemudian Allah membinasakan Fir’aun dan menghancurkan apa yang dia bangun dan dia kokohkan itu. Mudah-mudahan al-Hajjaj mengetahui bahwa penduduk langit telah mengutuknya dan bahwa penduduk bumi telah menipunya." Al-Hasan terus berbicara dengan gaya seperti ini, sehingga salah seorang yang hadir merasa khawatir kalau al-Hajjaj akan menyiksanya. Karena itu, orang tadi berkata kepadanya, "Cukup wahai Abu Sa’id! cukup.!" Lalu Al-Hasan berkata kepadanya,

"Allah telah berjanji kepada Ahli ilmu, bahwa Dia akan menjelaskannya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya." 4

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita sikap ihsan dan syaja’ah (berani) dan menjauhkan kita dari sifat nifaq.

4 http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihattokoh&id=71 . Kisah ini juga penulis dapati di kitab Shuwarun Min Hayâti at Tâbi’in karya Dr.

Abdurrahman Raf’at Basya tanpa menyebutkan sanadnya.

BERHATI-HATI TERHADAP “DOSA JÂRIYAH”

Imam al-Ghazali(w. 505 H), dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin, 2/74 menyatakan,

"Sungguh beruntung orang yang jika mati maka mati juga dosa-dosanya. Dan celaka seseorang yang mati dan dosa dosanya tetap (mengalir) seratus tahun, dua ratus tahun atau lebih, dia disiksa dikuburnya karenanya (dosa yang masih mengalir) dan dimintai pertanggungjawaban tentangnya hingga berakhirnya dosa tersebut.”

Pernyataan Imam Al Ghazali ini sesuai dengan firman Allah swt:

"Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lawh Mahfudz)." (QS. Yâsîn [36]: 12)

Ketika membahas ayat ini, Imam Al Baydlowi (w. 685H), dalam tafsirnya, Anwârut Tanzîl wa Asrârut Ta’wîl, juz 4, hal. 264, menyatakan:

Dan Kami menuliskan apa-apa yang telah mereka lakukan dari amal-amal shalih dan keji. Dan (menulis) bekas mereka yang baik seperti ilmu yang mereka ajarkan dan rumah yang mereka waqafkan, dan (menulis) bekas mereka yang buruk seperti menyiarkan kebathilan dan peletakan dasar kedzaliman.

Rasulullah saw juga menegaskan:

“Dan barang siapa memberikan suri tauladan yang buruk dalam Islam, lalu suri tauladan tersebut diikuti oleh orang- orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa yang mereka peroleh sedikitpun.” (HR. Muslim).

Diantara maksiyat termudah, tanpa banyak biaya dan tenaga, yang dosanya terus mengalir setelah meninggal, adalah maksiyat yang dilakukan oleh lidah manusia. Hanya bermodal ucapan yang berisi propaganda buruk terhadap Islam, propaganda buruk terhadap ajaran Islam, isu miring Diantara maksiyat termudah, tanpa banyak biaya dan tenaga, yang dosanya terus mengalir setelah meninggal, adalah maksiyat yang dilakukan oleh lidah manusia. Hanya bermodal ucapan yang berisi propaganda buruk terhadap Islam, propaganda buruk terhadap ajaran Islam, isu miring

Allah menyatakan dalam surah An-Nahl ayat 24:

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Apakah yang telah diturunkan Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Dongeng- dongengan orang-orang dahulu".

Mungkin lidah dengan mudah mengucapkan sesuatu yang melecehkan Islam tanpa diperhitungkan bahwa hal itu berat disisi Allah, mudah mengatakan bahwa hukum syari’ah itu sudah kuno, mudah mengatakan bahwa kegemilangan umat ketika mereka hidup diatur dengan Islam itu hanya dongengan belaka. Sungguh ucapan ini mirip dengan apa yang diceritakan Allah dalam surat An Nahl ini, menganggap Al Qur’an hanya dongengan orang-orang dahulu. Kepada mereka Allah swt berfirman:

"(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa- dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak

mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu." (QS. An-Nahl: 25)

Rasulullah saw, juga mengabarkan:

“Adakalanya seorang hamba mengucapkan satu kata yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam Neraka yang jaraknya antara timur dan barat." (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a)

Aliran dosa ini akan lebih awet lagi bila tidak sekedar diucapkan, namun ditulis, disebar dan dipropagandakan, baik lewat buku, koran, majalah maupun lewat facebook, blog, twitter, maupun membuat film dan menguploadnya ke youtube. Berkata Al Hâfidz al Mundziry (wafat 656 H) dalam kitabnya At Targhîb wat Tarhîb (1/62) ketika menjelaskan hal ini:

“Orang yang menulis hal yang tidak bermanfaat yang berkonsekuensi dosa, baginya dosanya dan dosa orang yang membacanya atau menyalinnya atau beramal dengannya sesudahnya selama tulisan tersebut dan orang yang beramal dengannya masih tetap ada.”

Aliran dosa ini juga akan semakin deras dan dahsyat, jika bukan hanya diucapkan dan ditulis, namun juga dibuatkan aturan perundang-undangannya, sehingga hal buruk yang bertentangan dengan syari’at Islam tersebut dilakukan masyarakat secara massif, baik dengan sukarela maupun terpaksa.

Lalu kalau sudah terlanjur bagaimana? Tidak ada cara lain kecuali segera bertaubat, berusaha menghapus jejak dosa tersebut semaksimal mungkin dan berlepas diri darinya, serta berusaha membuat jejak-jejak kebaikan yang diharapkan tetap akan ada walaupun kematian sudah menjemput, sehingga pahalanya tetap mengalir pasca kematian.

Diantara ‘amal yang tetap akan meninggalkan jejak yang baik, adalah ‘amal menyeru kepada Islam, menyebarkan Diantara ‘amal yang tetap akan meninggalkan jejak yang baik, adalah ‘amal menyeru kepada Islam, menyebarkan

“Sekiranya Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan perantaraan engkau, itu lebih baik bagi engkau daripada engkau memiliki dunia dan isinya.” (Az Zuhdu li Ibnil Mubârak, 1/484)

Ada empat keadaan manusia ketika mati, Pertama, seseorang yang meninggal dunia, dan kebaikan dan kejahatannya telah terputus. Dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali yang telah diperbuatnya selama hidup di dunia. Kedua, orang yang meninggal dunia, tetapi kebaikan dan keburukannya terus berlangsung, nasib orang ini di akhirat nanti tergantung dari timbangan amal kebaikan dan keburukannya. Ketiga, orang yang meninggal dunia dan timbangan kejahatannya terus membengkak, sementara pahala kebaikannya berhenti. Keempat, orang yang meninggal dunia, kebaikannya terus mengalir, namun keburukannya berhenti. Semoga Allah menjadikan kita bagian dari yang keempat ini.

KALAU MEMANG TIDAK MAU, SELALU ADA ALASAN, KALAU KEINGINAN KUAT, SELALU ADA JALAN

Pada Tahun 630 M bertepatan tahun 9 H, ketika musim panas dengan suhu yang sampai pada titik yang sangat tinggi, Rasulullah saw. mewajbkan kaum muslimin yang tidak ada udzur syar’i untuk berangkat ke perbatasan Syam dalam rangka menghadapi pasukan Romawi (Bizantium).

Perjalanan dari Madinah ke Syam, selain perjalanan yang panjang juga sangat sukar ditempuh. Perlu ada keuletan, persediaan bahan makanan dan air. Bagaimana sikap kaum Muslimin menyambut seruan ini? Yang berarti harus meninggalkan isteri, anak dan harta-benda, dalam panas musim yang begitu dahsyat, dalam mengarungi lautan tandus Padang Sahara, kering, air pun tak seberapa, kemudian harus pula menghadapi musuh yang sudah mengalahkan Persia, dan belum dapat dikalahkan oleh kaum Muslimin?

Ada tiga golongan yang sikapnya berbeda dalam menghadapi seruan ini.

Golongan pertama, mereka segera berbondong-bondong menyambut seruan Rasulullah. Diantara mereka ada orang miskin yang tidak punya bekal, tidak ada binatang beban yang akan ditungganginya. Abdullah bin Mughaffal Al- Muzani, berkata: "Ya Rasulullah, sediakanlah untuk kami kendaraan (kami miskin tidak mempunyai kendaraan) ." Rasulullah menjawab: "Demi Allah, aku tidak sanggup menyediakan kendaraan yang akan membawa saudara- saudara ke medan perang." Mereka akhirnya kembali sambil menangis karena tidak ada perlengkapan perang yang bisa mereka gunakan. Berkaitan dengan ini Allah berfirman:

“Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS. At Taubah : 92).

Diantara mereka ada orang kaya yang mendermakan banyak kekayaannya, juga ada orang miskin yang mendermakan hartanya walaupun hanya segantang (satu sha’) kurma.

Golongan Kedua, umat Islam yang ragu-ragu antara berangkat dalam suasana yang sangat sulit, atau tetap tinggal. Sebagian mereka akhirnya berangkat juga menyusul Rasulullah saw setelah melihat semangat puluhan ribu umat Islam bergerak meninggalkan Madinah. Abu Khaithama, yang awalnya tidak mau berangkat, setelah melihat suasana itu, ia menemui istrinya sambil berkata: “Rasulullah dalam terik matahari, angin dan udara panas, sedang Abu Khaithama di tempat yang teduh, sejuk dengan makanan dan wanita cantik diam di rumah. Sediakan perbekalanku, aku akan menyusul.”

Ada juga diantara mereka yang tetap tidak ikut, namun setelah itu mereka menyesal dan bertaubat, mereka adalah Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah.

Golongan ketiga adalah orang-orang munafiq, mereka mencari-cari alasan untuk tidak ikut memenuhi seruan Rasulullah. Mereka bahkan mengejek umat Islam yang berusaha menta’ati seruan Rasul, juga menghalang-halangi dan melemahkan semangat umat Islam agar tidak berangkat.

Diriwayatkan oleh Hafiz Al-Bazar dari Abu Hurairah, katanya: Rasulullah saw. telah bersabda: "Bersedekahlah kamu, sesungguhnya aku akan mengirimkan satu pasukan untuk pergi berperang (Perang Tabuk) , maka datanglah Abdurrahman bin Auf menghadap Rasulullah saw. lalu berkata: "Ya, Rasulullah, saya ada mempunyai 4 ribu dinar,

yang dua ribu dinar (setara emas 8,5 kg) aku sedekahkan dan dua ribu dinar lagi untuk belanja rumah tanggaku." Rasulullah saw. menjawab: "Semoga Allah memberimu berkat atas pemberianmu itu, dan memberi berkat pula terhadap yang engkau tinggalkan." Kemudian datang lagi seorang dari kaum Ansar yang mempunyai dua sha’ kurma seraya berkata: "Ya Rasulullah, saya ada mempunyai dua sha’ kurma, yang satu sha’ aku sedekahkan dan satu sha’ lagi untuk keluargaku." Menyaksikan kejadian itu orang- orang munafiq mengejek seraya katanya: "Abdurrahman bin Auf hanya mau memberikan sedekahnya karena riya’ (pamer) saja ." Sedang kepada yang memberikan satu sha’ kurma, mereka mengejek dengan kata: "Allah dan Rasul

tidak memerlukan yang satu sha’ ini." 5 Maka Allah menyatakan:

“(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.” (QS. At Taubah: 79)

5 Diriwayatkan juga oleh Bukhory dan Muslim tanpa menyebutkan nama Abdurrahman bin ‘Auf.

Sekelompok orang-orang munafik ada yang berkata satu sama lain: “Jangan kalian berangkat perang dalam udara panas ”. Maka Allah berfirman:

واْففلَ الرّففحَ د ّ ففش َ أَ م َ ففنّهَجَ رُاننَ ل ْ قُ رّحَلْال ي فِ الورُفِنْتَ لَ الوالُانقَوَ انمَبِ ءًالزَجَ الرًيعثِكَ الواك ُ بْيعَلْوَ لًيعلِقَ الواك ُ حَض ْ يعَلْفَ - ن َ واهُقَفْينَ الوانُانكَ ن َ وابُس ِك ْ ينَ الوانُانكَ

“.... dan mereka berkata: “Jangan kamu berangkat perang dalam udara panas begini.’ Katakanlah: ‘Api neraka lebih panas lagi, kalau kamu mengerti! Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang mereka kerjakan’.” (QS. At Taubah: 81-82)

Al - Jadd bin Qais - salah seorang Banu Salimah membuat alasan untuk tidak ikut berangkat, ia berkata kepada Rasulullah: “Ijinkanlah saya untuk tidak dibawa ke dalam ujian (fitnah) serupa ini. Masyarakat saya sudah cukup mengenal, bahwa tak ada orang yang lebih birahi terhadap wanita seperti saya ini. Saya kuatir, bahwa kalau saya melihat wanita-wanita Banu’l-Ashfar (Bangsa Romawi), saya takkan dapat menahan diri.” Maka Allah menurunkan ayat:

“Di antara mereka ada orang yang berkata: ‘Berilah saya izin (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah’. Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah.” (QS. At Taubah : 49)

Apapun perintah Allah, apalagi yang perlu pengorbanan lebih, akan senantiasa kita dapati ketiga sikap tersebut. Saat ini, saat syari’ah Islam diabaikan, saat hukum-hukum Allah SWT dianggap kriminal, kuno dan kampungan, saat umat Islam terpuruk dalam kehinaan dan kenistaan akibat mereka dijauhkan dari kehidupan alaminya, yakni kehidupan yang diatur oleh hukum-hukum Allah dalam naungan khilafah, maka perjuangan kearah ini sekarang senantiasa memanggil Apapun perintah Allah, apalagi yang perlu pengorbanan lebih, akan senantiasa kita dapati ketiga sikap tersebut. Saat ini, saat syari’ah Islam diabaikan, saat hukum-hukum Allah SWT dianggap kriminal, kuno dan kampungan, saat umat Islam terpuruk dalam kehinaan dan kenistaan akibat mereka dijauhkan dari kehidupan alaminya, yakni kehidupan yang diatur oleh hukum-hukum Allah dalam naungan khilafah, maka perjuangan kearah ini sekarang senantiasa memanggil

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)

KAWAN, LAWAN & KEPENTINGAN

Di dalam al-Quran, Allah SWT menceritakan penyesalan manusia calon penghuni neraka tatkala hari kiamat tiba disebabkan karena menjadikan seseorang sebagai kawan dekatnya yang membuatnya terperosok dalam neraka. Allah SWT berfirman:

“Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan sebagai teman akrab(ku).

Sesungguhnya ia telah menyesatkan aku dari al-Quran ketika al-Quran itu datang kepadaku.” (Q.S al-Furqan: 28-29)

Mereka pun saling menuduh dan menyalahkan, bahwa temannya itulah yang mengajak dan mendorongnya melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah SWT. Maka mereka --yang ketika hidup di dunia merupakan teman akrab, ketika tiba hari kiamat kelak menjadi musuh satu sama lain sebagaimana disampaikan dalam ayat lainnya. Allah SWT berfirman:

“Teman-teman akrab pada hari itu (datangnya hari kiamat), sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Zukhruf: 67)

Apa yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa persahabatan dengan motivasi kepentingan materi, atau manfaat duniawi lainnya, tidaklah akan kekal, bahkan tidak jarang masih di dunia pun sudah terjadi permusuhan. Yang dulunya berkawan erat bisa saling serang dan saling membongkar aib, bahkan saat berbeda negara sekalipun.

Persahabatan yang kekal abadi adalah persahabatan antara sesama orang-orang yang bertakwa, persahabatan yang didasarkan pada landasan ketakwaan, bukan persahabatan yang didasarkan kepada kesamaan kepentingan duniawi, kesukuan, atau kebangsaan.

Persahabatan yang terbangun atas dasar Islam bisa dibuktikan dengan melihat sejauh mana kesesuaian mereka dengan syari’at Allah dalam menjalin hubungan. Kawan sejati adalah yang akan memberikan nasihat kepada sahabatnya, akan mengingatkannya ketika keliru, dan akan bekerjasama dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar di tengah- tengah manusia dapat dilaksanakan. Kawan sejati bukanlah kawan yang diam saja ketika sahabatnya menyimpang dari aturan Allah SWT.

"Pada suatu hari, ada dua orang pemuda sedang berkelahi, masing-masing dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Pemuda Muhajirin itu berteriak; 'Hai kaum Muhajirin,

(berikanlah pembelaan untukku!) ' Pemuda Anshar pun berseru; 'Hai kaum Anshar, (berikanlah pembelaan untukku!) ' Mendengar itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar dan bertanya:

'Ada apa ini? Bukankah ini adalah seruan jahiliah? ' Orang- orang menjawab;

'Tidak ya Rasulullah. Sebenarnya tadi ada dua orang pemuda yang berkelahi, yang satu mendorong yang lain.'

Kemudian Rasulullah bersabda:

“Tidak mengapa, hendaklah seseorang menolong saudaranya (sesama muslim) yang berbuat zhalim atau yang sedang dizhalimi. Apabila ia berbuat zhalim/aniaya, maka cegahlah ia untuk tidak berbuat kezhaliman dan itu berarti menolongnya. Dan apabila ia dizalimi/dianiaya, maka tolonglah ia!” (HR. Muslim dari Jabir r.a).

Pola hubungan inilah yang seharusnya kita lakukan dalam setiap dimensi kehidupan, siapapun teman kita, apakah dia miskin atau kaya, pejabat, penguasa ataupun rakyat jelata, persahabatan yang tercermin dengan sikap saling membantu dan memotivasi untuk berbuat keta’atan kepada Allah, dan saling mengingatkan dan mencegah dari pelanggaran syari’at-Nya.

Disisi lain ketika teman kita berbuat maksiyat, mengajak pacaran dan pergaulan bebas, melanggar aturan- Nya , memprovokasi umat untuk menolak syari’at-Nya, membuat aturan yang bertentangan dengan aturan-Nya, menggadaikan negeri ini kepada asing dengan kebijakan- Disisi lain ketika teman kita berbuat maksiyat, mengajak pacaran dan pergaulan bebas, melanggar aturan- Nya , memprovokasi umat untuk menolak syari’at-Nya, membuat aturan yang bertentangan dengan aturan-Nya, menggadaikan negeri ini kepada asing dengan kebijakan-

Kita memang harus siap berkawan dengan siapa saja --meskipun sebelumnya menjadi musuh kita-- jika Islam menghendaki kita harus bersatu dengan. Sebaliknya, kita harus sanggup menjadikan siapa pun sebagai musuh kita --termasuk orang yang sebelumnya amat dekat dengan kita-- jika mereka menentang Islam, menghalangi dakwah, atau menyuburkan kemaksiatan, yang oleh karenanya Islam menghendaki kita menjadikannya sebagai musuh. Jadi, kawan dan lawan tak selalu abadi, namun kehendak Islamlah yang abadi, dan faktor itulah yang harus kita jadikan sebagai landasan dalam memilih kawan. Semoga Allah memberikan kawan-kawan sejati kepada kita, kawan yang bisa menjalani suka-dukanya kehidupan dalam langkah menggapai ridho Allah SWT.

MEMAHAMI HAKIKAT KEMATIAN

Kebanyakan orang menyangka bahwa banyak sebab yang dapat menimbulkan kematian.

Terserang penyakit berbahaya, kecelakaan lalu lintas, tenggelam karena banjir dll. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap orang yang menderita penyakit berbahaya, atau mengalami kecelakaan lalu-lintas, tertimpa gedung runtuh lantas langsung mati, bahkan ada orang yang tadinya mengalami keadaan seperti itu, dokterpun sudah angkat tangan, namun akhirnya ia sehat wal ‘afiat. Sementara orang yang sebelumnya sehat, tiba-tiba meninggal.

Allah mengabarkan kepada kita bahwa hanya ada satu sebab kematian, yakni datangnya ajal yang telah ditetapkan saatnya oleh Allah SWT.

"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang tertentu waktunya" (Q.S Ali Imran: 145)

"Maka jika telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat memajukannya" (QS. al-A'raf:34)