MAKALAH STUDI AGAMA KELOMPOK 9

DAFTAR ISI
BAB I..............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. LatarBelakang.............................................................................................1
B. RumusanMasalah.......................................................................................2
BAB II............................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................3
A. ManusiaTerikatatauBebas ( antarapredeterminismedan Free will ).....3
B. ProblematikaPredeterminismedan Free will............................................9
BAB III...........................................................................................................................12
PENUTUP......................................................................................................................12
A. Kesimpulan..................................................................................................12
B. Saran danKritik..........................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................13

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keinginan manusia untuk hidup dengan bebas merupakan salah satu keinginan
insani yang mendasar. Karena adanya naluri manusia yang tidak ingin terikat oleh
aturan-aturan yang menjadikan belenggu karena manusia memiliki potensi yang lebih

tinggi daripada potensi hewan. Potensi ini adakalanya tergolong potensi-potensi
emosional dan kecendrungan insaniah yang tinggi atau kategori indrawi. Potensi inilah
yang merupakan kemampuan instrinsik dan kebutuhan manusia yang mendasar untuk
hidup bebas, bagaimana keadaan sekelilingnya, baik itu menekan, menonjolkan atau
menenggelamkan individu oleh karena itu, kebebasan merupakan kebutuhan dasar
manusia dan kebutuhan yang bersifat fundamen.
Titik tolak untuk mempersoalkan kebebasan manusia dan jawaban-jawaban yang
diberikan terhadap persoalan itu bukan saja sering kali tidak sama, bahkan tidak jarang
saling bertentangan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pemikiran tentang
kebebasan selalu mengandung kontroversi.
Menurut aliran pertama, perbuatan bukanlah timbul dari daya dan kemampuan yang
bebas dari manusia. Dalam aliran ini manusia tidak mempunyai kemerdekaan.
Sedangkan menurut aliran kedua, manusia mempunyai kebebasan dalam kehendak dan
dalam menentukan perbuatan-perbuatannya. Manusia secara merdeka berbuat apa yang
dikehandakinya.

Dengan latar belakang tersebut penulis hendak memaparkan materi manusia antara
keterikatan atau bebas, antara predeterminisme dan free will.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atas adalah sebagai berikut :
1. Apakah manusia terikat atau bebas? Antara free will dan perdeterminisme?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Manusia Terikat atau Bebas ( Antara predeterminisme dan Free will )
Kaum mu’tazilah, karena dalam sistim teologi mereka manusia dipandang
mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang tentu menganut paham qadariyah
atau free will. Dan memang mereka juga disebut kaum qadariyah. Pula keteranganketerangan dan tulisan-tulisan para pemuka mu’tazilah banyak mengandung paham
kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya.
Al-jubba’i, umpamanya, menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh
kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya untuk mewujudkan
kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. 1 pendapat
yang sama diberikan pula oleh ‘Abd Al-Jabbar. Perbuatan manusia bukanlah diciptkan
tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan.
Perbuatan ialah apa yang dihasilkan dengan daya yang bersifat baharu. Manusia adalah
makhluk yang dapat memilih.
Keterangan-keterangan di atas dengan jelas mengatakan bahwa kehendak untuk
berbuat adalah kehendak manusia. Tetapi tidak jelas apakah daya yang dipakai untuk

mewujudkan perbuatan itu adalah pula daya manusia sendiri. Dalam hubungan ini
perlu kiranya ditegaskan bahwa untuk terwujudnya perbuatan, harus ada kemauan atau
1

Harun Nasutin, Teiligi Islam. ( jakaaraa Penerbia Universiaas Indinesia , 2011) Hal 103

kehendak dan daya untuk melaksanakan kehendak itu, dan kemudian barulah terwujud
perbuatan.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa bagi mu’tazilah. Daya manusialah dan bukan
daya tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia. Daya tuhan tidak mempunyai bagian
dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia. Perbuatan ini diwujudkan sematamata oleh daya yang diciptakan tuhan di dalam diri manusia. Jadi dalam paham kaum
mu’tazilah, kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah kemauan
dan daya manusia sendiri dan tak turut campur dalamnya kemauan dan daya tuhan.
Oleh karena itu perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan manusia dan bukan
perbuatan Tuhan.
Untuk memperkuat paham di atas, kaum mu’tazilah membawa argumen-argumen
rasional dan ayat-ayat al-qur’an. Ringkasan argumen-argumen yang dimajukan oleh
‘Abd al-Jabbar umpamanya, adalah sebagai berikut. Manusia dalam berterima kasih
atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasihnya kepada
manusia yang berbuat kebaikan itu. Demikian pula dalam melahirkan perbuatan tidak

senang atas perbuatan-perbuatan tidak baik yang diterimanya, manusia menyatakan
rasa tidak senangnya kepada manusia yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak
baik itu. Sekiranya perbuatan-perbuatan tidak baik atau buruk adalah perbuatan Tuhan
dan bukan perbuatan manusia, tentunya rasa terima kasih dan rasa tidak senang itu
ditujukan manusia kepada Tuhan dan bukan kepada manusia.2
2

Harun Nasutin, Teiligi Islam..., Hal 105

Seterusnya perbuatan-perbuatan manusia terjadi sesuai dengan kehendak manusia.
Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan itu terjadi. Tetapi sebaliknya, jika
sesorang tidak ingin berbuat sesuatu itu tidak terjadi. Jadi sekiranya perbuatan manusia
bukanlah perbuatan manusia, tetapi perbuatan tuhan, maka perbuatannya tidak akan
terjadi sungguhpun ia mengingini dan menghendaki perbuatan itu, atau perbuatannya
akan terjadi sungguhpun ia tidak mengingini dan tidak menghendaki perbuatan itu.
Lebih lanjut lagi ia menerangkan bahwa manusia berbuat jahat terhadap sesama
manusia. Jika sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan tuhan dan bukan
perbuatan manusia, perbuatan jahat itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan
demikian berbuat zalim. Hal ini tak dapat diterima akal.
Ayat yang dimajukan ‘Abd al-Jabbar, untuk memperkuat argumen-argumen

rasional di atas, antara lain adalah :

‫َج َزآ ًء بِ َما َكانُ ْوا يَ ْع َملُ ْو َن‬
Artinya : .... sebagai upah atas apa yang mereka perbuat. ( Q.S Al-Sajadah (32) – 17)
Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan tuhan dan bukan perbuatan manusia,
pemberian balasan dari Tuhan atas perbuatan manusia, seperti disebut dalam ayat ini,
tidak ada artinya. Agara ayat ini tidak mengandung dusta, demikian ‘Abd al-Jabbbar,
perbuatan-perbuatan manusia haruslah betul-betul perbuatan manusia. 3

3

Harun Nasutin, Teiligi Islam..., hal 106

Jadi, dari pernyataan dan perdapat yang telah dikemukakan di atas dapat lah
disimpulkan bahwa manusia itu bebas dan tidak ada keterikatan dengan tuhan. Dan
pendapat kaum mu’tazilah ini pun mendukung bahwa manusia itu adalah bebas ( Free
will ).
Pindah ke aliran Asy-Ariyah, di sini, karena manusia dipandang lemah, paham
qadariyah tidak terdapat. Kaum Asy-Ariyah dalam hal ini lebih dekat kepada paham
jabariyah daripada ke paham Mu’tazilah. Manusia dalam kelemahannya banyak

bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan
perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaaan Tuhan, Al-Asy’Ari memakai kata
al-Kasb ( Perolehan ). Paham al-Kasb sulit untuk ditangkap, dan demikian sulitnya,
sehingga ucapan “ lebih sulit dari al-Kasb Asy’ari” menurut Abu Uzbah telah menjadi
perumpamaan.
Arti Ikhtisab menurut al-Asy’ari sendiri ialah bahwa sesuatu terjadi dengan
perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb
bagi orang yang dengan adanya perbuatan itu timbul. Di dalam bukunya al-Luma’, ia
memberi penjelasan yang sama. Arti yang sebenarnya dari al-Kasb ialah bahwa sesuatu
timbul dari ak-Mukhtasib (yang memperoleh) dengan perantaraan daya yang
diciptakan.
Term-term “diciptakan” dan “memperoleh” mengandung kompromi antara
kelemahan manusia, diperbandingan dengan kekuasaan mutlak Tuhan, dan

pertanggungjawaban manusia atas perbuatan-perbuatannya. Kata-kata “timbul dari
yang memperoleh” membayangkan kepasifan dan kelemahan manusia. Kasb atau
perolehan mengandung arti keaktifan dan dengan demikian tanggungjawab manusia
atas perbuatannya. Tetapi keterangan bahwa kasb itu adalah ciptaan Tuhan,
menghilangkan arti keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif dalam
perbuatan-perbuatannya.

Sebenarnya pendapat al-Asy-ari yang demikian dapat dilihat dari uraiannya
mengenai perbuatan-perbuatan involunter dari manusia. Dalam perbuatan-perbuatan
involunter, kata al-Asy’ari, terdapat dua unsur, penggerak yang mewujudkan gerak dan
badan yang bergerak. Penggerak yaitu pembuat gerak yang sebenarnya adalah Tuhan
dan yang bergerak adalah manusia. Yang bergerak tidaklah Tuhan karena gerak
menghendaki tempat yang bersifat jasmani. 4
Dari uraian al-Asy’ari ini jelaslah bahwa kiranya bahwa arti Tuhan menciptakan
perbuatan-perbuatan manusia adalah “ Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya
dari perbuatan-perbuatan manusia,” dan arti “ timbulnya perbuatan-perbuatan dari
manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan” adalah “ manusia sebenarnya
merupakan tempat bagi perbuatan-perbuatan Tuhan.” Oleh karena itu dalam teori alKasb sebenarnya tidaklah ada perbedaan antara al-Kasb dengan perbuatan involunter
dari manusia. Pembuat dalam kedua hal ini, seperti ditegaskan oleh al-Asy’ari sendiri
adalah Tuhan; dan selanjutnya dalam kedua hal itu, manusia hanya merupakan tempat
4

Harun Nasutin, Teiligi Islam..., Hal 109

berlakunya perbuatan-perbuatan Tuhan. Tetapi bagaimanapun, pembuat sebenarnya
dari kedua macam perbuatan itu, adalah Tuhan dan manusia hanya merupakan alat
untuk berlakunya perbuatan Tuhan. Dalam kedua rupa perbuatan itu, manusia terpaksa

melakukan apa yang dikehendaki Tuhan.
Bahwa perbuatan manusia yang disebut al-Asy’ari al-Kasb adalah sebenarnya
perbuatan Tuhan, dapat pula dilihat dari pendapat al-Asy’ari tentang kehendak dan
daya.
Keterangan al-Asy’ari ini juga mengandung arti bahwa daya untuk berbuat
sebenarnya bukanlah daya manusia, tetapi daya Tuhan. Dan dalam menyerang kaum
qadariyah. Al-Asy’ari memang menentang pendapat mereka dalam hal ini. Dalam
paham mereka seperti telah dilihat, daya untuk berbuat adalah daya manusia sendiri
dan bukan daya Tuhan. Al-Asy’ari menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa daya untuk
berbuat adalah daya Tuhan dan bukan daya manusia.5
Ayat-ayat yang dipakai untuk memperkuat pendapat mereka adalah :

ُ‫َو َما تَ َشآ ُء ْو َن اِلّ اَ ْن تَ َشا َءا‬
Artinya : Kamu tidak menghendaki kecuali Allah Menghendaki ( Q.S Al-Insan (76) –
30)
Yang oleh al-Asy’ari diartikan bahwa manusia tak bisa menghendaki sesuatu,
kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya menghendaki seuatu itu. Jadi
5

Harun Nasutin, Teiligi Islam..., Hal 111


seseorang tidak bisa menghendaki pergi ke Mekkah, kecuali jika Tuhan menghendaki
sesorang itu supaya berkehendak pergi ke Mekkah.
Ayat lain yang di majukanoleh al-Asy’ari adalah :

‫َواُ َخلَ ْق ُك ْم َو َما تَ ْع َملُ ْو َن‬
Artinya : Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat. ( Q.S Al-Saffat
(37)-96)
Wa ma ta’malun, disini diartikan oleh ayat al-Asy’ari “ apa yang kamu perbuat” dan
bukan “apa yang kamu buat”. Dengan demikian ayat ini mengandung arti Allah
menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Jadi, dalam paham al-Asy’ari,
perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan tuhan.
Jadi, dari pernyataan dan pendapat seperti yang telah diterangkan di atas
bahwasanya pendapat al-Asy’ari ini memandang bahwa perbuatan manusia itu
sebenarnya adalah perbuatan tuhan. Jadi pendapat ini mendukung bahwa manusia itu
terikat.
B. Problema Predeterminisme dan Free will
Bila benar bahwa semua tindakan manusia itu secara mutlak telah ditentukan oleh
kekuatan di luar dirinya, maka konsekuensinya dalam hidup ini tak ada tempat yang
layak bagi persoalan baik dan buruk. Seseorang tidak bisa disalahkan ataupun

dibenarkan kalau saja apa yang dilakukan itu bukan produk dari dirinya sendiri.
Sebaliknya, kalau kita berpendapat bahwa dalam hidup ini tak ada hukum kausalitas

yang pasti, kita juga menghadapi persoalan serius untuk menilai tindakan moral
seseorang. Bukankah seseorang tidak bisa dihakimi sebagai pembunuh kalau kematian
seseorang tidak bisa dihakimi sebagai pembunuh kalau kematian seseorang tak ada
hubungannya dengan tindakan penusukan, misalnya? Kalau kita berpandangan seperti
David Hume atau Al-Ghazali bahwa api itu tak ada kaitan absolut dengan peristiwa
kebakaran, bagaimana kita akan mengadili penjahat yang di tuduh melakukan
pembakaran?
Dari premis di atas, tampaknya teori al-Qur’an dan fisika ( kuantum) memberikan
jawaban yang lebih mudah diterima. Bahwa sebagian dari taqdir itu berlakunya dengan
melibatkan manusia. 6
Sabagai penutup, kami ingin memberikan ilustrasi yang kami kutip dari buku
rekonstruksi dan renungan religius islam mengenai hubungan antara keterikatan dan
kebebasan manusia. Yaitu, melalui membayangkan orang yang menulis atau bermain
dengan komputer. Dia bebas menulis atau menggambar apa saja, tetapi jangan harap ia
bisa keluar dari disket program yang telah disediakan sebelumnya. Ia bebas tetapi
terikat, ia terikat tetapi tetap memiliki wilayah kebebasan. Contoh yang mirip adalah
orang yang bermain catur. Ia terikat oleh taqdir berupa peraturan-peraturan yang

berlaku dalam papan catur, namun tetap memiliki kebebasan untuk memilih gerakangerakan yang dikehendakinya.

6

126

Djalaluddin Rakahmaa, Rekainsarukasi dan Renungan Religius Islam. ( Jakaaraa Paramidana, 1996) Hal

Hidup memang kadangkala bagaikan main catur ataupun bola. Ia dijalani begitu
serius, mati-matian, tetapi dalam format dan keterbatasan permainan. Lapangannnya
sesungguhnya sempit, terbatas, telah ditentukan, tetapi memerlukan pikiran, gerakan,
dan kebebasan untuk memenangkan sebuah pertandingan. Bukankah hidup ini juga
bertanding melawan umur dan serba keterbatasan demi memenangkan kehidupan yang
abadi dan lebih luas? 7

BAB III

7

Jalaluddin Rakahmaa, Rekainsarukasi dan Renungan Religius Islam..., hal 127

PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut penulis bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan
karenanya ia akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun
demikian keputusan tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan)
yang telah ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat
tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat meja,
kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang
membuat adalah Allah SWT. manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan,
keimanan dan juga kekufuran, ketaatan dan juga ketidaktaatan.
B. Saran
Kami selaku penulis dari makalah ini meminta kepada Dosen Pembimbing ataupun
teman-teman untuk memberikan saran atau kritik yang bisa mendukung perbaikan dari
makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Djalaluddin Rakhmat, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Jakarta:
Paramidana, 1996
Harun Nasution, Teologi Islam. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia , 2011