Sistem Pembagian Warisan dan Pengalihan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya yang tersebar dari sabang sampai marauke. Budaya yang ada di Indonesia tidak hanya dalam hal seni budaya melainkan terdapat keragaman di dalamnya. Salah satunya seperti adat – istiadat dalam hukum keluarga yang berkenan dengan budaya perkawinan, budaya kekerabatan sampai dengan budaya dalam hal pembagian waris pun terdapat keberagamannya di Indonesia.

Awalnya Yogyakarta merupakan Daerah Istimewa 1 yang memiliki satu kota besar Yogyakarta, dengan daerah kabupaten yang meliputi Bantul, Gunungkidul,

Sleman, Kulon progo dan Adikarto 2 . Kemudian pada kurun waktu 1950 hingga 1951 dan 1958 hingga 1958, kabupaten di Yogyakarta berubah menjadi Bantul,

Gunungkidul, Sleman, dan Kulon Progo (gabungan dengan Adikarto) 3 hingga saat ini. penobatan sebagai Daerah Istimewa juga masih diberlakukan di

Yogyakarta. Desa Wisata Brayut adalah sebuah objek wisata perdesaan yang terletak di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Wisata Brayut merupakan desa wisata yang menonjolkan sisi kebudayaan terutama tentang budaya dalam kaitan dengan pertanian. Secara administrasi Desa Wisata Brayut adalah sebuah dusun bernama Dusun Brayut yang terletak di Desa Pendowoharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelum menjadi desa wisata, dusun brayut dulunya merupakan desa pertanian. Perubahan menjadi desa wisata dimulai oleh salah seorang warga brayut yang bernama Budi Utomo pada tahun 1990 dan hingga kini tetap eksis sebagai desa wisata.

Desa wisata budaya yang berbasis pertanian ini merupakan tempat yang nyaman untuk rekreasi sekaligus mempelajari kebudayaan masyarakat karena juga didukung dengan suhu udara yang sejuk dengan pemandangan gunung

1 UU Nomor 22 Tahun 1948, tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah Yogyakarta, tentang Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa karena Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang

berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia. 2 UU Nomor 15 Tahun 1950, tentang Pembentukan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan DIY.

3 UU Nomor 18 Tahun 1951. Perubahan dari UU No. 15 Tahun 1950.

merapi yang indah. Dan juga warga di sini sudah memiliki kesadaran terhadap potensi lokal yang dimiliki oleh desanya sehingga masyarakat tergerak untuk melestarikan serta berpikir terbuka.

Gambar 1.1 Peta Administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta

Sumber : http://dppka.jogjaprov.go.id/upload/files/peta_wil_adm_diy.jpg

Sebagai desa berbasih pertanian tentu saja terdapat kegiatan-kegiatan pertanian yang bisa dipelajari oleh wisatawan. Kegiatan tersebut antara lain belajar membajak, menanam padi, ndawut (mencabut benih padi), memanen padi (ani-ani), menjemur padi, hingga memetik jeruk di kebun jeruk organik. Hal tersebut sangat bermanfaat untuk wisatawan yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai kegiatan pertanian tradisional, masih terdapat juga kegiatan perternakan masyarakat yang dapat dipelajari yaitu membajak, memandikan sapi, hingga merumput.

Selain itu wisatawan dapat mempelajari kesenian Desa Wisata Brayut yaitu karawitan, membatik, tari-tarian, wisata kuliner, permaninan rakyat, ataupun kegiatan konservasi baik budaya ataupun lingkungan. Selain itu arsitektur rumah penduduk di Desa Wisata Brayut sangat kental dengan Budaya Jawa, misalnya rumah bentuk Joglo, bentuk sinom dan bentuk kampung.

Sebagai desa wisata, Desa Brayut memiliki nilai budaya akan rumah tradisional jawa yang masih dilestarikan sampai sekarang ini. Bahkan, terdapat satu rumah Joglo yang sudah di tetapkan oleh pemerintah sleman sebagai bangunan cagar budaya. Jenis - jenis rumah tradisional yang terdapat di desa Sebagai desa wisata, Desa Brayut memiliki nilai budaya akan rumah tradisional jawa yang masih dilestarikan sampai sekarang ini. Bahkan, terdapat satu rumah Joglo yang sudah di tetapkan oleh pemerintah sleman sebagai bangunan cagar budaya. Jenis - jenis rumah tradisional yang terdapat di desa

Kearifan lokal yang dimiliki brayut sebagai desa wisata, menjadi potensi tersendiri bagi desa brayut. Dengan masih mempertahankan keadaan serta kondisi dari bentuk serta ciri khas rumah tradisional jawa yang beragam. Meskipun begitu, banyak juga perubahan yang sudah terjadi pada desa wisata brayut sejak awal berdirinya desa hingga saat ini, baik dari segi keadaan sosial dan budaya masyarakatnya. Termasuk dalam pelestarian rumah tradisional yang berada di desa wisata brayut hingga saat ini juga banyak mengalami perubahan.

Salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan ialah dari sistem pembagian ahli waris atau peralihan hak warisan atas rumah tradisional, khusus nya pada budaya tradisi masyarakat jawa. Dari permasalahan tersebut maksud dari penelitian ini membahas mengenai bagaimana pengaruh dari sistem ahli waris atau peralihan hak warisan rumah terhadap perkembangan rumah tradisional sebagai salah satu potensi sebagai desa wisata brayut ?

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana perkembangan dan pengaruh dari sistem pembagian warisan atau pengalihan waris atas rumah tradisional di desa wisata brayut?

1.3. Tujuan dan Sasaran

1.3.1 Tujuan

Tujuan dari penelitian adalah mengetahui perkembangan dan pengaruh dari sistem pembagian ahli waris atau peralihan hak warisan atas rumah tradisional sebagai potensi desa wisata di desa wisata brayut.

1.3.2 Sasaran

1. Mengetahui status kepemilikan rumah tradisional dan sistem pembagian warisan atau peralihan warisan rumah tradisional di desa wisata brayut.

2. Mengetahui jenis, pola bentuk, ruang dan fungsi dari rumah tradisional jawa di desa wisata brayut.

3. Mengetahui perkembangan rumah tradisional yang mengalami perubahan akibat sistem pembagian warisan atau peralihan hak waris rumah tradisional di desa brayut.

4. Menganalisis dampak dari perubahan yang terjadi pada rumah tradisional akibat sistem pembagian warisan atau peralihan warisan rumah tradisional terhadap potensi kearifan lokak desa wisata.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain :

1. Bagi Akademisi Penelitian diharapkan dapat menjadi pembelajaran tersendiri, khususnya mahasiswa dalam pembangunan desa wisata.

2. Bagi Masyarakat Perdesaan Penelitian ini dapat memberikan acuan terhadap pembangunan dan perkembangan desa wisata demi peningkatan kemajuan desa di masa mendatang.

3. Bagi Pemerintah Setempat Penelitian ini diharapkan bisa menjadi acuan akan pembangunan dan perencanaan desa wisata brayut di masa mendatang.

1.5 Lingkup Penelitian

1.5.1. Lingkup Substansial

Lingkup substansial yang menjadi objek penelitian adalah pengaruh dari sistem pembagian warisan atau peralihan hak waris terhadap perkembangan pola tatanan ruang desa sebagai desa wisata.

1.5.2. Lingkup Spasial

Lingkup spasial dari penelitian adalah Desa Wisata Brayut, Pandowoharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pengambilan data obyek penelitian adalah rumah tradisional yang terdapat di desa wisata brayut.

1.5.3. Lingkup Temporal

Lingkup temporal yang menjadi batasan waktu penelitian ini adalah selama enam bulan atau satu semester. Kunjungan yang dilakukan bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan penelitian dan dalam satu minggu terdapat setidaknya dua kali kunjungan. Dari lingkup yang ditentukan, pengamatan diharapkan menghasilkan data yang lengkap mengenai perubahan pola tatanan ruang desa dari pengaruh sistem pembagian ahli waris atau peralihan warisan atas rumah tradisional di desa wisata brayut. Data tersebut kemudian menjadi dasar bagi analisis penelitian.

1.6. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 Keaslian Penulisan

Judul No.

Peneliti Penelitian

Fokus

Lokus

1. Pengembangan Desa Wisata Sebagai Model

Pengembang

. Desa Wisata

Pemberdayaan

an desa

Afuwat Amin Wibowo, Masyarakat di Desa

Brayut, Desa

wisata,

Fakultas Ilmu Sosiologi dan Brayut, Kecamatan

Pandowoharjo,

sebagai

Ilmu Politik, UNSM Sleman, Kabupaten

Kecamatan Sleman

model

Surakarta. 2010 Sleman, Propinsi

Yogyakarta

pemberdayaa

Daerah Istimewa

n masyarakat

Yogyakarta

2. Pengembang

Model Pengembangan

an desa

Desa Wisata Berbasis

wisata

Kearifan Lokal sebagai Desa Wisata Brayut, Hastuti, Suhadi Purwantara,

berbasis

Strategi Pengetasan

Desa Pandowoharjo,

Nurul Khotimah, Jurnal

kearifan

Kemiskinan di Lereng

Kecamatan Sleman

Pendidikan Geografi, FIS

lokal sebagai

Merapi Kabupaten

Sleman Daerah

pengetasan

Istimewa Yogyakarta

kemiskinan 3. Pengaruh dari sistem

“Sistem Pembagain pembagian

warisan atau

Warisan atau Peralihan

Desa Wisata Brayut,

Francisca Dian Amori, Ahli Waris Rumah

peralihan

Desa Pandowoharjo,

Teknik Arsitektur, UAJY Tradisional di Desa

alih warisan

Kecamatan Sleman

(2016) Wisata Brayut, Sleman

atas rumah

terhadap perkembanga n pola terhadap perkembanga n pola

Sumber : Dokumentasi Penulis, Maret 2016

1.7. Sistematika Laporan Penelitian BAB I. Pendahuluan

Pada bab ini berisi tentang latar belakang , rumusan permasalahan, tujuan dan sasaran, manfaat penelitian, lingkup penelitian dan sistematika laporan penelitian.

BAB II. Tinjauan Pustaka

Pada bab ini diuraikan tentang nama proyek, pemilik proyek, lokasi, fungsi bangunan/proyek, jumlah lantai, luas lantai bangunan, luas lahan, nama dan alamat perusahaan (Kontraktor/ MK/ Konsultan/ Instansi yang berwenang) serta dokumen penunjang lainnya (foto, gambar pra rencana, TOR, RKS, dll)

BAB III. Metodologi

Pada bab ini diuraikan tentang teori -teori umum dan standar yang berkaitan dengan topik kerja praktik yaitu balok. Landasan teori akan digunakan sebagai dasar pemikiran untuk tahap analisis pembahasan berbagai data yang diperoleh di lapangan.

BAB IV. Tinjauan Lokasi Penelitian

Berisi tentang hasil pengamatan yang dilakukan secara mingguan di lapangan yang berkaitan dengan proses persiapan dan pengerjaan balok baik berupa data primer maupun data sekunder.

BAB V. Analisis

Berisi tentang analisis permasalahan di proyek dan membanding kannya dengan teori untuk mendapatkan kesimpulan dan usulan pemecahan masalah di lapangan.

BAB VI. Kesimpulan

Berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan pengamatan dan analisis tentang persiapan hingga pelaksanaan pengerjaan balok di dalam proyek serta memberikan saran untuk pelaksanaan kerja praktik di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

Berisi daftar buku-buku, literatur, artikel, jurnal, dan lain-lain yang digunakan sebagai acuan dalam penulisan laporan kerja praktik.

Lampiran

Berisi tentang data-data penunjang yang berkaitan dengan topik kerja praktik yaitu Surat Keterangan diterima oleh instansi, Surat Keterangan Selesai Kerja Praktik dari instansi, Schedule Pelaksanaan Kerja Praktik (Laporan Harian & Laporan Mingguan), Lembar Asistensi dengan Dosen Pembimbing serta dokumen - dokumen proyek seperti gambar kerja, time schedule pelaksanaan proyek, dan RKS.

BAB II TINJAUAN DESA WISATA DAN SISTEM AHLI WARIS JAWA

2.1 Pariwisata dan Undang - Undang Mengenai Pariwisata

2.1.1 Definisi Pariwisata

Pariwisata merupakan suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan untuk berusaha (bussines) atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk memenuhi keinginan yang

beraneka ragam 4 Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata yang di dukung

oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan pemerintah Daerah 5 . Sedangkan menurut World Tourism

Organization (WTO) Pariwisata atau tourism adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk rekreasi atau liburan dan juga persiapan yang dilakukan untuk aktivitas ini.

Pariwisata adalah suatu kegiatan yang berhubungan erat dengan rekreasi. Kegiatan rekreasi merupakan salah satu kegiatan yang dibutuhkan oleh setiap manusia, karena bersifat refreshing atau melepas kepenatan. Dari definisi-definisi diatas dapat dikatakan bahwa pariwisata adalah kegiatan rekreasi yang didukung dengan adanya fasilitas tertentu, sesuai dengan yang dibutuhkan dan disediakan oleh kalangan masyarakat dengan dukungan Pemerintah daerah.

2.1.2 Undang-Undang Mengenai Pariwisata

Menurut Pasal 14 Undang-Undang Pariwisata Nomor 10 Tahun 2009 tentang jenis-jenis usaha pariwisata, Desa wisata

2.2 Obyek Wisata

2.2.1 Definisi Obyek Wisata

4 Yoeti, A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa. Hlm 116 5 Undang-undang Pariwisata Nomor 10 Tahun 2009

Obyek wisata merupakan segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang untuk mengunjungi suatu daerah tertentu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan dilihat.

2.2.2 Karakteristik Obyek Wisata

Menurut Yoeti (1985) terdapat tiga karakteristik utama dari obyek wisata yang harus diperhatikan dalam upayah pengembangan suatu obyek wisata tertentu agar dapat menarik dan dikunjungi wisatawan, yaitu :

1. “Something to see” ,artinya pada daerah tersebut harus ada objek atau atraksi wisata yang berbeda dengan daerah lain atau memiliki daya tarik khusus.

2. “Something to do” ,artinya terdapat fasilitas rekreasi yang dapat membuat wisatawan lebih nyaman di tempat itu.

3. “Something to buy” , artinya fasilitas untuk berbelanja terutama barang-barang souvenir dan kerajinan tangan rakyat sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang.

2.2.3 Jenis-jenis Obyek Wisata

Berdasarkan alasan motivasi serta tujuan wisatawan dalam melakukan suatu perjalanan wisata. Obyek wisata dapat dibagi menajdi beberapa jenis, antara lain :

1. Obyek wisata budaya Obyek wisata budaya merupakan obyek wisata berbasis budaya dengan tujuan memperluas pandangan mengenai budaya dengan cara mempelajari dan mengadakan kunjungan ke daerah tertentu untuk melihat budaya setempat, baik atraksi, keadaan rakyat, seni adat istiadatnya.

2. Obyek wisata kesehatan Obyek wisata kesehatan merupakan obyek wisata dimana pengunjung tinggal dengan daerah yang dituju demi kepentingan kesehatan untuk istirahat.

3. Obyek wisata komersial Obyek wisata bersifat semacam mengunjungu marena- pameran atau pekan raya.

4. Obyek wisata politik Obyek wisata dengan tujuan kegiatan politik

5. Obyek wisata pilgrim (rohani) Obyek wisata piligrim berkaitan dengan agama, sejarah, kepercayaan, adat istiadat. Obyek wisata ini biasanya memiliki tujuan memperoleh keteguhan iman, batin, restu ke tempat tempat yang diyakini pengunjung.

6. Obyek wisata bahari Obyek wisata yang berkaitan dengan kegiatan air seperti memancing, berselancar dan menyelam.

2.3 Desa Wisata dan Peraturan Undang-undang

2.3.1 Definisi Desa Wisata

Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang

berlaku. 6

Desa wisata merupakan pengembangan dari suatu desa yang memiliki potensi wisata. Desa wisata memiliki potensi atau kekayaan yang layak, sehingga dapat dijual oleh masyarakatnya sendiri. Sementara pemrakarsanya adalah penduduk desa yang memiliki kemauan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk desa tersebut.

Menurut Cooper (1998) terdapat empat elemen yang menjadi dasar pariwisata yang sangat penting diperhatikan yaitu 7 :

a) Permintaan (demand)

b) Tujuan (destination)

c) Industri dan organisasi pemerintah

d) Pemasaran (marketing)

6 Nuryanti, W. 1993. Universal Tourism: Enriching or Degrading Culture? Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

7 Cooper, Fletcher, Gilbert, Shepperd, dan Wanhill. 1998. Tourism Principle and Practice. London: Prentice Hall.

Keempat elemen tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain, salah satu aspek permintaan (demand) yang berkaitan dengan elem tujuan (destination). Keterkaitan kedua aspek ini adalah pada jenis atraksi wisata dan motif wisata. Wisata perdesaan terkait dengan motif kebudayaan mengingat wisatawan desa wisata datang tidak hanya untuk menyaksikan dan menikmati atraksi akan tetapi mereka

biasanya melakukan penelitian budaya di perdesaan 8 Oleh karena itu desa yang dapat menjadi tujuan wisata

perdesaan adalah desa yang memiliki keunikan menurut sisi pandang wisatawan dengan motif kebudayaan 9

Dari sisi industri dan organisasi pemerintah terkait dengan demand adalah sebagai pihak yang memberi sarana prasarana menuju wisata perdesaan. Infrastruktur dan angkutan wisata merupakan fasilitas minimal yang dibutuhkan agar obyek wisata dapat diakses oleh wisatawan tetapi jika dikaitkan dengan motif kebudayaan justru seringkali aspek ini dapat mengubah daya tarik wisata yang ditawarkan. Dengan demikian aspek aksesbilitas juga merupakan aspek fisik yang penting untuk mengidentifikasi sebagai karakteristik obyek wisata perdesaan.

Dari segi pemasaraan (marketing), pemasaran merupakan aspek aktualisasi perjalanan wisata. Kebutuhan obyek wisata untuk dapat dikenal merupakan hal pokok sebagai awal proses dimulainya kegiatan wisata, tetapi pada obyek desa wisata kegiatan pemasaran ini tidak terlalu diharapkan intervensinya dari wisatawan mengingat keaslian

budaya merupakan keunikan yang diharapkan dapat dipertahankan 10 Terkait dengan identifikasi karakteristik desa wisata, aspek pemasaran

merupakan salah satu aspek yang akan mempengaruhi kecepatan dan perkembangan tingkat perubahan desa wisata wisata.

8 Tim Puswira. 2011. Pendampingan Masyarakat Desa Gilangharjo Menuju Desa Wisata yang Ramah Lingkungan (Gilangharjo Green Entrepreneurship’s Rural Tourism). Laporan Pengabdian (Tidak Dipublikasi).

9 Tim Puswira. 2010a. Program Pengembangan dan Pemanfaatan Potensi Wisata Desa Kebonagung, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul . Laporan Pengabdian (Tidak Dipublikasi).

10 Royo-Vela, Marcelo. 2009. Rural-Cultural Excurtion Conseptualization: A Local Tourism Marketing Management Model Based on Tourist Destination Image Measurement . Journal Tourism Management 30

(2009) pp. 419-428, Journal online Elsevier.

Untuk akomodasi pada wisata perdesaan biasanya memanfaatkan rumah penduduk sebagai fasilitas akomodasi (homestay), sedangkan fasilitas lain tergantung pada potensi yang ada di setiap desa.

2.3.2 Potensi Desa Wisata

Kata “potensi” menurut KBBI adalah kemampuan yang memiliki kemungkinan untuk dikembangkan. Sedangkan dalam undang-undang Pariwisata Nomor 1 Tahun 2009 Pasal 1 mengenai

ketentuan umum, definisi “wisata: adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Potensi wisata merupakan segala hal dan kejadian yang diatur dan disediakan sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata baik berupa suasana, kejadian, benda, maupun jasa. Sehingga dapat dikatakan bahwa potensi wisata adalah kemampuan untuk mengembangkan tempat tujuan rekreasi berupa daya tarik wisata segala hal dan kejadian yang diatur dan disediakan sehingga dapat dimanfaatkan dan tempat tersebut didukung oleh sekelompok orang untuk berekreasi.

2.3.3 Komponen Desa Wisata

Komponen desa wisata dapat dibedakan menjadi komponen produk wisata dan komponen paket wisata.

1. Komponen Produk Wisata

Produk wisata terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan, yaitu daya tarik wisata, akomodasi dan fasilitas lainnya, serta aksesbilitas.

a. Daya Tarik Wisata

Daya tarik wisata merupakan bagian utama dari desa wisata. Berbagai sumber daya yang dikemas dengan baik akan menjadi daya tarik wisata yang mampu menarik kunjungan wisatawan ke desa. Daya Daya tarik wisata merupakan bagian utama dari desa wisata. Berbagai sumber daya yang dikemas dengan baik akan menjadi daya tarik wisata yang mampu menarik kunjungan wisatawan ke desa. Daya

b. Daya Tarik Alam

Bentukan-bentukan alam seperti bukit-bukit, hutan, sungai dan sebagainya merupakan daya tarik yang memunginkan untuk dijadikan tempat untuk melakukan berbagai aktivitas wisata. Untuk mengelola daya tarik alam perlu memperhatikan daya dukung lingkungan sehingga tidak menimbulkan kerusakan alam dalam jangka waktu panjang.

c. Daya Tarik Budaya

Hasil-hasil manusia, berupa adat istiadat, norma- norma, kepercayaan masyarakat, kebiasaan sehari-hari merupakan budaya yang dapat dikemas menjadi daya tarik budaya tanpa menghilangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kegiatan bercocok tanam, kesenian

upacara adat dan sebagainyamerupakan contoh-contoh hasil kebudayaan manusia yang dapat dijadikan daya tarik budaya dimana wisatawan dapat berpartisipasi aktif dalam aktivitas- aktivitas seperti bercocok tanam, atau menonton pertunjukan seni dan ikut serta belajar kesenian daerah tersebut. Pengelolaan budaya – budaya desa untuk menjadi sebuah daya tarik budaya hendaknya dilakukan pengemasan terhadap budaya tersebut sehingga menjadi menarik bagi wisatawan. Misalnya, dengan membuat pertunjukan seni yang melibatkan langsung wisatawan untuk turut serta tampil bersama para seniman. Selain itu, perlu diperhatikan juga untuk menjaga nilai-nilai yang terkandung dari budaya - budaya tersebut dan menjaga keberlangsungannya agar tidak hilang mengikuti zaman.

daerah,

d. Daya Tarik Buatan

Daya tarik buatan merupakan sesuatu yang sengaja dibuat untuk menarik kunjungan wisatawan. Dalam desa wisata, bentuknya seperti kuliner. Untuk mengelola daya tarik buatan agar menjadi menarik adalah dengan melakukan inovasi-inovasi (perubahan- perubahan kecil) yang dapat memberikan dampak besar mengikuti tren, misalnya dengan secara berskala menambahkan campuran-campuran tertentu dalam menu makanan, seperti bumbu pada keripik singkong.

2. Aktivitas

Aktivitas merupakan bagian utama dari daya tarik wisata, hal ini merupakan salah satu nilai tambah utama dari sebuah produk Desa Wisata. Untuk membuat aktivitas wisata lebih menarik, perlu diadakan inovasi-inovasi seperti mengganti jenis permainan yang dapat dilakukan mengiringi aktivitas utama.

3. Akomodasi

Akomodasi ialah tempat dimana wisatawan atau orang yang sedang berpergian atau yang berkunjung ke suatu tempat membutuhkan fasilitas untuk beristirahat maupun menginap. Akomodasi di desa wisata selayaknya berupa rumah asli penduduk atau bangunan dengan rancangan yang memapu mewakili budaya yang dimiliki desa. Akomodai dapat terletak di dalam atau di dekat desa. Dibawah ini adalah jenis-jenis akomodasi yang dapat dikembangkan di desa wisata, diantaranya :

a. Bumi Perkemahan

b. Villa

c. Pondok Wisata (Homestay) Akomodasi yang ideal harus memenuhi persyaratan di bawah ini : c. Pondok Wisata (Homestay) Akomodasi yang ideal harus memenuhi persyaratan di bawah ini :

b. Suasana rumah yang nyaman untuk ditinggali

c. Aman dari kriminalitas

d. Memenuhi syarat –syarat rumah tinggal yang sehat

e. Pusat pengunjung (Visitor Center)

4. Aksesbilitas

Aksesbilitas adalah faktor yang mendukung kemudahan wisatawan untuk mencapai desa, seperti papan penunjuk jalan (signage), tersedianya modal trasnportasi yang dapat dimanfaatkan sebagai alat transportasi khususnya wisatawan ntuk memudahkan wisatawan menjangkau berbagai obyek yang dimiliki desa dan kondisi jalan menuju desa yang baik.

5. Paket Wisata Paket wisata (package tour) diartikan sebagai suatu perjalanan wisata dengan satu atau lebih tujuan kenjungan yang disusun secara baik. paket wisata disusun dari berbagai fasilitas perjalanan tertentu dalam suatu acara perjalanan yang tetap, serta dijual dengan satu harga yang menyangkut seluruh komponen dari perjalanan wisata. Sedangkan tour sebagai suatu perjalanan adalah suatu kegiatan perjalanan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri, bersifat santai, gembira dan bersenang-senang (Nuriarta, 1992 :11)

Atraksi alam yang banyak dilaksanakan antara lain : 11

1. Penahan

2. Menyusur pantai

3. Bersepeda

4. Bird watching

5. Observasi pengamatan hewan

11 Fandellli, Chafid. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Yogyakaerta: Fkaultas Kehutanan UGM

15. Menunggang kuda

19. Berjalan di alam

24. Pemberian makan hewan

2.3.4 Persyaratan Desa Wisata berdasarkan Undang-Undang

Kebijakan mengenai pembangunan desa wisata telah diatur berdasarkan undang-undang otonomi daerah yang memfokuskan pembangunan di daerah perdesaan, agar terjadi perubahan sosial

kemasyarakatan dari urbanisasi ke ruralisasi 12

Menurut program pariwisata inti rakyat (PIR) yang telah dibentuk oleh Departemen Pariwisata, desa wisata merupakan suatu kawasan perdesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian adat istiadat, keseharian, arsitektur, struktur tata ruang desa yang jhas, mampu kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkan. Persyaratan untuk menjadi desa wisata antara lain sebagai berikut :

12 UU. No 22/1999

1. Aksesbilitas baik

2. Memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni, budaya dan sebagainya yang dapat dikembangkan sebagai obyek wisata.

3. Masyarakat dan aparat desanya menerima dan memberi dukungan terhadap desa wisata serta para wisatawan yang datang ke desanya.

4. Keamanan di desa terjamin

5. Tersedia akomodasi telekomunikasi dan tenaga kerja yang memadai

6. Beriklim sejuk atau dingin dan

7. Berhubungan dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat.

Berdasarkan peraturan menteri kebudayaan dan pariwisata, terdapat strategi berkaitan dengan PNPM Mandiri Pariwisata yang di fokuskan pada pemberdayaan masyarakat desa wisata yang menjadi bagian dari gugusan (cluster) pariwisata tertentu. Desa atau komunitas masyarakat di sekitar pusat kegiatan pariwisata yang terjadi di suatu wilayah. Desa dengan potensi yang dimilikinya, baik berupa keunikan, lingkungan alam, budaya, potensi ekonomi dan pertanian dapat memperkuat pengembangan kegiatan pariwisata yang sudah berlangsung. Desa dpaat berperan sebagai pendukung daya tarik wisata dan sebagai sumber pasokan komponen-komponen tertentu yang diperlukan untuk kegiatan pariwisata.

Oleh karena itu pendekatan dan strategi yang dilakukan adalah pendekatan secara fisik dan non fisik seperti 13

a. Pendekatan Fisik - Mengembangkan sarana dan prasarana pendukung untuk

meningkatkan akses dan jaringan keterkaitan antara desa peyangga dengan pusat kegiatan pariwisata seperti daya tarik wisata, hotel/resort

13 Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang Program Nasional Pemberdayaan Masayarak (PNPM) Mandiri Pariwisata melalui Desa Wisata.2010

- Mengonservasi sejumlah bangunan yang memiliki nilai

seni, budaya. - Sejarah dan arsitektur lokal yang tinggal dengan tetap

mempertahankan nilai keasliannya. - Mengubah fungsi bangunan menjadi suatu yang berkontribusi pada pembangunan kegiatan kepariwisataan. - Mengembangkan bentuk-bentuk penginapan di dalam wilayah desa wisata yang dioperasikan oleh penduduk desa, dan

- Mengembangkan usaha-usaha terkait dengan jasa

kepariwisataan.

b. Pendekatan fisik - Pelestarian kearifan lokal, budaya dan kekhasan daerah dan - Pelatihan-pelatihan manajemen pariwisata, kuliner,

kerajinan, bahasa, dll

2.4 Sistem Waris Adat

Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi dari pewaris kepada para waris dari generasi ke generasi berikutnya. Menurut Teer Haar dikatakan bahwa hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana dari masa ke masa proses penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Soepomo, yang

menerangkan bahwa “hukum waris: itu memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses menerus serta mengoperasikan barang-barang harta benda

dan barang-barang yang tak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturuannya.

Hukum adat waris Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilinial, matrilinial, dan parental atau bilateral. Walaupun Hukum adat waris Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilinial, matrilinial, dan parental atau bilateral. Walaupun

Apabila dilihat dari orang yang menerima warisannya, ada tiga macam sistem kewarisan di Indonesia yaitu sistem kolektif, kewarisan mayorat, kewarisan individual. Diantara ketiga sistem kewarisan tersebut pada kenyataannya ada yang bersifat campuran.

1. Sistem Kolektif

Apabila pada waris mendapatkan harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi-bagi secara perseorangan, maka kewarisan demikian itu disebut kewarisan kolektif.

2. Sistem Mayorat

Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya di kuasi anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengelolah dan memungut hasilnya dikuasi sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memlihara adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem ini disebut dengan sistem mayorat. Dalam hal sistem mayorat ini, dibagi menjadi mayorat laki-laki dan mayorat perempuan serta mayorat wanita bungsu.

3. Sistem Individual

Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan hak milik yang berarti setiap waris berhak memakai, mengelolah dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksinya, terutama setelah pewaris wafat, maka kewarisan demikian disebut kewarisan individual. Sistem kewarisan individual memiliki ciri –ciri yaitu harta peninggalan atau harta warisan dapat dibagi-bagi di antara para ahli waris seperti yang terjadi dalam masyarakat bilateral. Adapun contoh yang menganut sistem individual dalam Jawa, dimana setiap anak dapat memperoleh secara individual harta peninggalan dari ayah ibu atau kakek neneknya. Sistem pewarisan individual, yang memberikan hak waris secara individual Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan hak milik yang berarti setiap waris berhak memakai, mengelolah dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksinya, terutama setelah pewaris wafat, maka kewarisan demikian disebut kewarisan individual. Sistem kewarisan individual memiliki ciri –ciri yaitu harta peninggalan atau harta warisan dapat dibagi-bagi di antara para ahli waris seperti yang terjadi dalam masyarakat bilateral. Adapun contoh yang menganut sistem individual dalam Jawa, dimana setiap anak dapat memperoleh secara individual harta peninggalan dari ayah ibu atau kakek neneknya. Sistem pewarisan individual, yang memberikan hak waris secara individual

2.5 Sistem Warisan Adat Jawa

Masyarakat adat jawa yang memiliki hubungan kekerabatan Parental atau bilateral memiliki sistem kewarisan yaitu sistem Individual, dimana harta warisan yang diperoleh dapat dimiliki secara perseorangan, hal tersebut jelas berbeda dengan sistem mayorat yang digunakan masyarakat adat Lampung. Secara umum, asas yang digunakan dalam hukum adat waris ini sesuai dengan sistem kekerabatan yang dimiliki oleh suatu masyarakat adat, begitu pula dengan adat Jawa.

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa masyarakat jawa menganut sistem kekerabatan parental atau bilateral dengan sistem waris Individual yang berarti adanya suatu keharusan bagi ahli waris untuk mendapatkan bagian sehingga dapat menguasai harta warisan yang telah dibagi secara perseorangan. Adapun faktor yang menyebabkan hal tersebut perlu dilakukan adalah dikarenakan tidak adanya lagi keinginan untuk menguasai harta waris secara kolektif. Hal ini dikarenakan para ahli waris tidak lagi berada dala satu rumah orangtuanya melainkan sudah tersebar sendiri-sendiri mengikuti suami atau istrinya.

Ada hal positif dalam sistem kewarisan individual yang diterapkan oleh masyarakat adat jawa ini, yaitu adanya suatu kebebasan untuk mengolah harta warisan tanpa adanya pengaruh dari orang lain baik kerabat maupun pihak lainnya yang memiliki kepentingan. Sedangkan hal negatifnya yaitu adanya suatu kerenggangan tali kekerabatan karena memang sifat pewarisnya individual yaitu mengurus masing-masing sehingga dapat merenggangkan kekerabatan antara keluarga atau kerabat.

2.6 Harta Warisan Masyarakat Adat Jawa

Menururt Djamanat Samosir, harta warisan adalah harta yang dikuasai atau harta yang diperoleh atau dikuasai suatu keluarga sebagai basis materil untuk kelangsungan hidup suatu keluarga. Fungsi harta warisan adalah sebagai basis material sebagai basis material kehidupan suami-istri dan anak – anaknya (keluarga) dalam. Membiayai kebutuhan hidupnya sehari- hari.

Secara umum ada beberapa yang menjadi objek atau harta warisan, yaitu :

1. Harta Pusaka

2. Harta Bawaan

3. Harta Pencaharian

4. Harta dari pemberian seseorang kepada suami atau istri atau keduanya. Menurut Djojodigoeno dan Tirtawinata dalam bukunya “ Adat Privaatrecht Van Middle- Java” sebagaimana dikutip oleh Tolib Setiady menegaskan

Rakyat Jawa Tengah mengadakan pemisahan harta warisan dalam 2 (dua) golongan, yaitu :

1. Gawan ( Harta Bawaan ) Harta ini adalah yang dibawa oleh suami atau istri pada saat akan dilangsungkan perkawinan. Dimana apabila terjadi suatu perceraian dikemudian hari maka harta warisan berupa harta bawaan ini akan kembali kepada masing – masing pihak yang membawanya. Seperti yang dinyatakan oleh orang jawa “ tetep dadi duwekke dewe-dewe, bali menyang asale”

Kecuali apabila perkawinan yang memiliki perbedaan derajat dalam ekonomi (kaya dan miskin), misalnya suami tinggi (kaya) atau disebut manggih koyo dengan istri rendah maka harta kekayaannya menjadi miliki suami atau dikuasi oleh suami.

2. Gono – Gini (Harta Bersama) Harta Gono-Gini adalah harta yang diperoleh semasa perkawinan yang di dapat secara bersama-sama. Di Jawa, harta gono- gini adalah “sraya ne wong lan duwekke wong loro” yang berarti bahwa hasil kerja dua orang (suami dan istri) sehingga menjadi harta dua orang (bersama) Sebenarnya kedua harta diatas belumlah termaksud ke dalam kategori harta warisan, melainkan baru harta peninggalan karena hrta warisan adalah harta yang sudah siap dibagi (sudah dikurangi hutang piutang dan sebagainya)

2.7 Ahli Waris dan sebagainya

Dalam hukum waris yang menjadi ahli waris ialah anak-anak dan janda/duda yang diutamakan menjadi ahli waris, jika memungkinkan barulah keluarga terdekat yang sesuai dengan ketentuan dapat menjadi ahli waris. Dalam masyarakat adat jawa semua anak baik laki-laki maupun perepmpuan, lahir lebih dahulu atau belakangan semuanya berhak menjadi ahli waris dan mendapatkan warisannya.

Akan tetapi, jika pewaris tidak memiliki anak sama sekali, anak angkat atau anak sepupu pun tak punya, maka yang berhak menjadi ahli warisnya adalah :

1. Orang tua pewaris (Bapak atau Ibu)

2. Jika orangtua tidak ada baru saudara kandung pewaris dan keturunannya, dalam hal ini masih banyak perdebatan apakah anak angkat juga termasuk kedalam ahli waris atau bukan.

3. Jika dalam poin dua tidak ada, maka barulah kakek atau nenek pewaris berhak mewaris

4. Jika poin tiga tidak ada, baru paman atau bibi pewaris dari garis ayah maupun ibu.

Pada asasnya dalam masyarakat adat jawa, janda atau duda bukanlah ahli waris dari pewaris yang meninggal, karena dipahami bahwa janda dan duda mendapatkan harta warisan dari harta bersama atau harta perkawinannya.

2.8 Proses Pewarisan dalam Masyarakat Adat Jawa

Proses yang dimaksud dalam hal ini adalah tentang bagaiman cara pewaris meninggalkan, membagi atau meneruskan harta warisan bagi para ahli warisnya ketika masih hidup dan sudah meninggal, dimana proses tersebut merupakan bagian dari budaya masyarakat adat Jawa, proses pemberian harta warisan dilakukan dengan dua cara yaitu sebelum pewaris meninggal dan setelah pewaris meninggal dunia. Dalam masyarakat jawa pembagian waris ketika pewaris masih hidup dapat dilakukan dengan cara lintiran (penerusan atau pengalihan), cungan (penunjukan) atau dengan cara weling atau wekas (berpesan, berwasiat)

Dalam hal ini, akan kita lihat bagaimana budaya dalam hukum waris adar ketika pewaris masih hidup, karena pada dasarnya untuk pewaris yang sudah Dalam hal ini, akan kita lihat bagaimana budaya dalam hukum waris adar ketika pewaris masih hidup, karena pada dasarnya untuk pewaris yang sudah

1. Penerusan atau Pengalihan (Lintiran) Ketika pewaris masih hidup, biasanya pewaris melakukan penerusan atau pengalihan harta warisan kepada ahli warisnya, maka sejak penerusan atau pengalihan itulah harta kekayaan sudah beralih kepada ahli waris. Dalam pemberian harta warisan dengan cara penerusan atau pengalihan ini dilakukan sebagai pemberian bekal kepada anak yang akan menerukan kehidupan baik baik untuk meneruskan keturunan (perkawinan), misalnya untuk membangun rumah dan sebagainya. dalam masyarakt adat jawa anak yang akan menikah dibekali berupa tanah atau rumah atau ternak, dimana benda-benda tersebut diperhitungkan dalam harta keluarga ketika pewaris sudah meninggal.Penerus ini dapat dilakukan juga terhadap anak angkat yang dinilai sudah memberikan banyak pengorbanan, jawam kontribusi dalam keluarga tersebut, sehingga ditakutkan apabila warisan diberikan ketika pewaris sudah meninggal maka anak angkat dapat atau kemungkinan tersingkirkan oleh anak kandung. Sehingga budaya masyarakat adat jawa dalam pembagian warisan ini sangatlah mempertimbangkan keadilan bagi anak kandung dan anak angkat serta menghindari adanya permasalahan yang muncul sebagai akibat dari harta warisan yang ditinggalkan.

2. Penunjukan (Cungan) Berbeda dengan proses penerusan, dalam cungan harta warisan yang diberikan akan beralih hak penguasaan dan pemilikannya setelah pewaris meninggal dunia. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses cungan ini memberikan dan membawa suatu akibat hukum. Sehingga setelah dilakukannya cungan, maka pewaris masih memiliki wewenang untuk menguasai harta yang ditunjukan itu. kemudian dalam keadaan yang mendesak, maka pewaris dapat merubah maksudnya dalam hal penunjukkan 2. Penunjukan (Cungan) Berbeda dengan proses penerusan, dalam cungan harta warisan yang diberikan akan beralih hak penguasaan dan pemilikannya setelah pewaris meninggal dunia. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses cungan ini memberikan dan membawa suatu akibat hukum. Sehingga setelah dilakukannya cungan, maka pewaris masih memiliki wewenang untuk menguasai harta yang ditunjukan itu. kemudian dalam keadaan yang mendesak, maka pewaris dapat merubah maksudnya dalam hal penunjukkan

Penunjukan ini bukan hanya sebatas benda bergerak saja, melainkan juga benda tidak bergerak seperti tanah ladang, sawah, kebun, dan sebagainya yang dalam bahasa jawa disebut dengan istilah garisan.

Dalam masyarakat adat jawa, adakalanya setelah pemberian garisan itu ditunjukan atau diteruskan penguasanya kepada anak lelaki atau perempuan yang telah mencar dan hidup manidiri harus memberikan penunjang yaitu kewajiban bagi setiap anak yang telah diberi tanah itu untuk tetap memberi bagian hasil tertentu kepada orangtuanya selama masih hidup. Cara tersebut juga msih berlaku meskipun sudah dioperasikan atau diteruskan.

3. Pesan atau Wasiat (Welingan, Wekasan) Welingan ini dilakukan biasanya pada saat pewaris sakit dan tidak ada harapan lagi untuk sembuh, atau pewaris akan pergi jauh seperti naik haji. Dimana welingan ini berlaku apabila pewaris benar-benar tidak pulang lagi atau benar-benar meninggal, sedangkan apabila pewaris sehat kembali atau pulang dari pergian jauh maka welingan ini dapat dicabut kembali. Tujuan dari cara ini adalah agar para ahli waris membagikan harta warisan dengan cara yang layak menurut anggapan pewaris, dan agar tidak terjadi perselisihan, dan tujuan lainnya yaitu pewaris menyatakan secara mengikat sifat-sifat barang/harta yang ditinggalkannya. Pewaris dapat mencabut atau menarik kembali suatu wasiat yang sudah dibuat atau diikrarkan. Tetapi selama wasiat tidak dicabut atau ditarik kembali, para ahli waris berkewajiban untuk menghormati wasiat tersebut.

Sedangkan pewarisan ketika pewaris sudah meninggal dunia dilakukan dengan cara menurut adat masyarakt jawa yaitu harta peninggalan dikuasai oleh tokoh adat dan kemudian dibagikan kepada ahli waris sesuai dengan prinsip pembagian warisan sistem individual yang dianut oleh masyarakat kekerabatan parental atau bilateral. Dalam masyarakat adat jawa pembagian harta warisan dapat dilakukan setelah acara slametan (Selametan), dimana Sedangkan pewarisan ketika pewaris sudah meninggal dunia dilakukan dengan cara menurut adat masyarakt jawa yaitu harta peninggalan dikuasai oleh tokoh adat dan kemudian dibagikan kepada ahli waris sesuai dengan prinsip pembagian warisan sistem individual yang dianut oleh masyarakat kekerabatan parental atau bilateral. Dalam masyarakat adat jawa pembagian harta warisan dapat dilakukan setelah acara slametan (Selametan), dimana

Namun biasanya dilakukan nyewu (setahun setelah wafatnya pewaris). Hal tersebut dilakuakn dengan harapan seluruh anggota keluarga dan ahli waris berkumpul semua di kediaman pewaris

Adapun mengenai juru bagi tidak ada ketentuan pasti siapa yang menjadi juru bagi dalam warisan adat Jawa, akan tetapi yang dapat menjadi juru bagi adalah sebagai berikut :

a. Orangtua yang masih hidup (janda atau duda pewaris)

b. Anak tertua laki-laki atau perempuan

c. Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana

d. Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka agama yang diminta, ditunjuk atau dipilih para ahli waris.

Dalam masyarakat adat jawa kebiasaan atau adat dalam pembagian warisan tidak dilihat dari nilai ekonomis secara matematis, melainkan melihat wujud benda dan kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Jadi meskipun dikenal adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan tetapi dalam pembagan warisan juga mempertimbangkan kebutuhan dari ahli warisnya.

Pada masayarakat adat jawa dalam hal pembagian harta warisan dilakukan dengan dua cara, yaitu :

1. Segendong-Sepikul Segendong – Sepikul yaitu dalam hal pembagian harta warisan anak laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari anak perempuan. Berarti dalam hal ini hampir sama dengan prinsip Hukum Islam dalam pemabagian warisan, dimana laki-laki mendapatkan dua bagian dan perempuan satu. (2:1)

2. Dundum Kupat Sedangkan pembagian dengan cara dundum kupat dilakukan dengan membagi secara seimbang antara laki-laki dan perempuan (kedudukan hak dan kewajiban yang sama)

BAB III METODOLOGI

3.1 Pendekatan Penelitian

Untuk melakukan identifikasi mengenai potensi kawasan desa wisata brayut terdapat beberapa cara yang diterapkan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Metode Partisipasi Riset Aksi (Participatory Action Research-PRA ) . Metode ini dipilih karena penulis menyadari pentingnya peran masyarakat secara aktif melalui interview langsung dan observasi. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sehingga hasilnya mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat pula.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian survey yang dilakukan di Desa Wisata Brayut, Desa Pandawaharjo, Kecamatan Sleman, Yogyakarta. Terdapat dua (2) metode penelitian yang digunakan, antara lain :

1. Metodologi Primer Metode primer dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh data melalui pengamatan langsung sehingga sesuai dengan fakta dan keadaan sebenarnya. Metode primer dilaksanakan dengan cara :

- Observasi Pengamatan langsung terhadap objek peneliti. Pengamatan dilakukan menggunakan bantuan kamera dan pencatatan untuk mendokumentasi keadaan secara langsung. Pengamatan di lakukan secara visual, agar data yang didapat sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

- Wawancara Mencakup komunikasi dua arah antara peneliti dengan narasumber yang berkaitan dengan objek penelitian. Narasumber dalam penelitian ini adalah pengurus dan pengelola Desa Wisata Brayut, warga Desa Wisata Brayut terlebih warga yang memiliki ciri khas rumah tradisional jawa.

- Kuesioner

Membagikan kuesioner pada warga Desa Brayut, untuk mendapatkan informasi mengenai sistem pengelolaan dan pelestarian warisan rumah tradisional di desa brayut yang ditinjau dari perspektif budaya jawa.

2. Metodologi Sekunder Metode sekunder lebih bersifat teoritis. Informasi melalui literatur yang terdapat pada buku, jurnal, majalah, study pustaka. Informasi yang didapat merupakan pendukung dari data dan analisis penelitian. Literatur juga dapat didapatkan melalui media cetak maupun media elektronik.

3.3 Metode Pengolahan Data

Setelah pengumpulan data dan mengkaji literatur, buku-buku dan dari observasi lapangan. Data-data terkumpul kemudian di analisis dengan metode kuantitatif dan kualitatif dengan pendekatan penelitian berdasarkan Landasan Teori (Partical Research – paul Leddy Hal. 152 -276) dengan perincian sebagai berikut :

 Analisis dimulai dari skala kawasan Desa Wisata Brayut. Menganalisa sejarah perkembangan dusun brayut sebagai desa wisata.  Mengolah data-data dari buku dan internet mengenai tipologi pariwisata dan desa wisata serta peraturan-peraturan pemerintah setempat mengenai kebijakan sebagai desa wisata.

 Mengolah data hasil temuan-temuan di lapangan pada saat survey (foto, wawancara, dan sebagainya) yang akan dihubungkan dengan data-data dan akan menjadi bahan kajian tambahan guna menemukan fokus analisi pengaruh dari sistem pembagian ahli warisan terhadap perkembangan desa wisata.

 Mengkaji hasil analisis dengan peraturan-peraturan pemerintah yang berlaku sebagai salah satu upayah pemberdayaan potensi desa wisata pada desa wisata brayut , sleman yogyakarta.

 Setelah itu memberikan rekomendasi arahan rancangan untuk masa

mendatang.

3.4 Metode Penyimpulan Data

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menyimpulkan hasil pengolahan data. Melalui survey lapangan dan data wawancara yang di dapat langsung dari masyarakat desa wisata brayut yang tinggal di brayut. Data kesimpulan dalam bentuk peta persebaran pola penataan desa wisata brayut.

3.5 Parameter, Variabel dan Indikator Penelitian

Tabel 3.1 Parameter, Variabel dan Indikator

Bentuk Fisik Rumah Tradisional

Fisik

Perubahan Bentuk Rumah Tradisional Jenis dan Ciri Khas Rumah Tradisional

Sistem Pembagian Status Kepemilikan Warisan dan

Non - Fisik

Pengaruh Modernitas Peralihan Hak

Standar dan Ketentuan Warisan atas

Peraturan

Tata Guna Lahan Rumah Tradisional

Pemerintah

Tanggapan Pemilik Rumah

Responsif

Tanggapan Masyakarakat dan Pengunjung Sumber : Dokumentasi Pribadi, Maret 19 2016

3.6 Populasi dan Sampel

3.6.1 Populasi