ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA SISTEM KEAD
ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA SISTEM KEADILAN NEOLIBERALISME, SOSIALISME DAN ISLAM
Oleh : Yeni Indriana, S.Pd
Email : [email protected]
Pasca Sarjana IAIN Salatiga
Abstrak :
Keadilan ekonomi merupakan basic need semua manusia di muka bumi
dalam
rangka
memenuhi
kesejahteraan
hidupnya.
Apapun
bentuk
permasalahan ekonomi kontemporer utamanya adalah bersumber pada
masalah ketidakadilan. Makalah ini membahas peta analisis konsep keadilan
di antaranya menurut pandangan neo-liberalisme, sosialis dan Islam. Karena
peta dunia ekonomi saat ini telah digelayuti tiga sistem tersebut. Tolok ukur
konsep keadilan antara lain keadilan kepemilikan, keadilan produksi,
keadilan konsumsi, keadilan distribusi dan redistribusi, keadilan peran pasar
dan negara.
Kata Kunci : Keadilan, neo-liberalisme, sosialisme, ekonomi Islam
A. Pendahuluan
Problem
universal
yang
dihadapi
semua
sistem
ekonomi
kontemporer hingga saat ini pada dasarnya sama, yaitu ketidakadilan ekonomi.
Sistem – sistem yang telah berjalan hanya berlandaskan pada ketamakan atau
kerakusan sehingga dalam proses perjalanan mengalami kebuntuan dalam
menciptakan keadilan. Sistem – sistem yang telah berjalan tersebut berakar pada
ideologi – ideologi ekstrem dalam dasar logika manusia semata sehingga kurang
berhasil bahkan gagal mengantarkan kondisi ekonomi yang lebih baik bagi
ummat manusia (pengikutnya).
Faham neoliberalis merupakan trending topic dalam 10 tahun
terakhir ini. Pada dasarnya ekonomi neoliberal dapat dijelaskan sebagai sebuah
filosofi ekonomi politik yang meminimalisir dominasi intervensi negara atau
1
menolak campur tangan pemerintah dalam perekonomian nasional. Ekonomi
neoliberal menitik beratkan pada metode pasar bebas (free trade) yang diserahkan
pada mekanisme pasar dan tidak dibatasi oleh aturan-aturan positif maupun
normatif (www.detikfinance.com)
1
. Institusi komplementer neoliberalisme
menggunakan istilah pasar bebas dan globalisasi sebagai gaya modern untuk
menutupi keburukannya. Neoliberalisme, pasar bebas, dan globalisasi adalah
wujud baru penjajahan masa kini dari segi ekonomi, sosial, politik, dan budaya
(neoimprealisme). Sulitnya mendapatkan transparansi statement atau informasi
proses kebijakan dari lembaga-lembaga pemerintah merupakan salah satu bukti
kongkret dari rupa baru neoliberalisme. Kebijakan-kebijakan yang dibuat dengan
mengatas namakan globalisasi dan pasar bebas itu telah berhasil menciptakan
ketimpangan sosial ekonomi, sehingga si kaya semakin menjadi kaya dan
sebaliknya si miskin kian terpuruk dengan kondisi ekonominya.
Neoliberalisme
sebelumnya
merupakan
bentuk
awalnya
kapitalisme (laissez faire). Setelah krisis selama 25 tahun terakhir dan semakin
berkurangnya tingkat profit yang berakibat jatuhnya akumulasi kapital,
meneguhkan tekad korporasi besar untuk kembali ke sistem liberalisme. 2 Melalui
corporate globalization mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil
mengembalikan paham Liberalisme, bahkan dalam skala global. Sejak 1970-an
Keynesianisme yang menjadi fondasi welfare State telah masuk dalam catatan
kaki sejarah. Panggung kini menjadi milik dua bapak ekonom Neoliberalisme
Friederich August Von Hayek dan Milton Friedman. Mulai dekade 1980-an aliran
kanan baru yang diwakili oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagen
memperjuangkan pasar bebas dan menolak dengan tegas paham negara
intevensionis. Satu dekade kemudian, tepatnya pada tahun 1990-an, kapitalisme
neoliberalisme pasar bebas dari dua tokoh tersebut telah menjadi ideologi dunia
yang dominan.
Sistem keadilan Negara sejahtera ( welfare state) dianggap sebagai
langkah maju kapitalisme dengan tujuan untuk meredam ekses kapitalisme yang
1 Hendri Hermawan Adinugraha, “NEOLIBERALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM,”
MEDIA 19, no. 2 (2015),
http://dinus.ac.id/wbsc/assets/dokumen/majalah/3._Hendri_Hermawan-1_.pdf.
2 Zakiyuddin Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice: An Islamic
Perspective,” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 2, no. 2
(December 1, 2012): 241–66, doi:10.18326/ijims.v2i2.241-266.
2
berlebihan dan mengurangi daya tarik sosialisme. Sistem ini cukup menarik bagi
semua lapisan masyarakat baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofisnya,
Negara sejahtera meyakini bahwa kesejahteraan individu merupakan tujuan yang
sangat penting yang tidak mungkin bergantung pada operasi kekuatan – kekuatan
pasar, kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang tidak harus merupakan bukti
dari kegagalannya. Karenanya sistem ini mengakui full employment dan
distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok
kebijakan negara. Seperti dicontohkan dalam sejarah perekonomian Amerika
Serikat era Rosevelt yang mengamini pemikiran Keynes, AS mengalami
perbaikan kondisi ekonomi yang sangat baik antara 1950 – 1960 an, pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan merata serta inflasi yang terkendali. 3 Masa keemasan
tersebut berakhir pada awal tahun 1970-an setelah terjadi penumpukan modal
pada
segolongan
kapitalis,
meningkatnya
pengangguran
dan
berbagai
permasalahan yang timbul pada APBN. Dari sinilah kemudian muncul faham
neoliberalisme.
Secara umum konsep – konsep neoliberalisme dapat dilihat dengan
indikator : pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara,
menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak – hak buruh, menghilangkan
control atas harga, mengurangi pemborosan anggaran negara dengan memangkas
semua subsidi untuk pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan
sosial dan pada saat yang sama subsisi besar – besaran diberikan kepada
perusahaan transnasional (TNCs) melalu tax holidays, mempercayai deregulasi
ekonomi, privatisasi adalah jalan menuju persaingan bebas yang dibungkus
dengan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi
kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal
kebutuhan dasar mereka, dan memprioritaskan paham tentang publics good dan
solidaritas sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab individual.4
Setiap sistem pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu
menghilangkan kefakiran dan kemiskinan, sebagaimana sistem kapitalisme dalam
perjalanannya ternyata banyak meninggalkan strata dalam masyarakat, dimana
yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Walaupun telah dimodifikasi
3 Adinugraha, “NEOLIBERALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM.”
4 Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice.”
3
dengan peluncuran welfare state dengan memainkan peran negara tetap
meninggalkan masalah yang tidak ada ujungnya menggapai kesejahteraan bagi
seluruh ummat manusia dan pengikutnya.
Sistem sosialis dan marxisme sebagai lawan dari kapitalisme pun
pernah memainkan perannya selama 60 tahun dan memberi kontribusi
perkembangan komunisme. Selama 44 tahun partai komunis menerapkan dasar –
dasar sosialis, dan dalam perkembangannya pun sistem sosialis pun runtuh lebih
cepat dari yang diprediksikan.
5
Dalam Zakiyuddinn dipaparkan kelemahan –
kelemahan utama sistem sosialis karena, Pertama, ideologi ini mengimplikasikan
ketidakpercayaan pada kemampuan manusia untuk mengelola kepemilikan
pribadi dalam batasan – batasan kesejahteraan sosial, Kedua, Mesin kekuasaan
negara dijalankan oleh sekelompok orang yang kepentingannya selaras dengan
kepentingan seluruh masyarakat. Dalam praktik yang terjadi sebaliknya,
sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan negara memanfaatkan
kekayaan dan pendapatan negara untuk kepentingan mereka sendiri, Ketiga,
subsidi umum yang besar hanya menguntungkan si kaya dan orang – orang
istimewa dibanding si miskin yang daya belinya terbatas.6
Paparan yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa sistem
ekonomi yang bersumber dari ideologi – ideologi kapitalis, neoliberal, negara
sejahtera, sosialis masih menyisakan sejumlah masalah dalam hubungannya
dengan keadilan ekonomi dalam soal produksi, distribusi dan konsumsi. Perlu
dicari dan diberi ruang alternatif – alternatif sistem ekonomi yang dibingkai
dengan semangat etis dan nilai – nilai moral tinggi yang menjadi pedoman.
5 Abdul Sami’ Al Mishri, Pilar - pilar Ekonomi Islam, Cetakan 1 (Pustaka Pelajar,
2006), 221–22.
6 Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice.”
4
B. Teori - teori Keadilan Ekonomi Kontemporer
Sistem – sistem ekonomi yang telah disebutkan di muka - kapitalis,
sosialis, neoliberalisme, Marxisme, Welfare State – pada dasarnya mempunyai
tujuan dan paham yang sama tentang keadilan. Akan tetapi dalam perdebatannya
telah melahirkan perbedaan cukup mendasar dalam menentukan makna dan
definisi yang tepat tentang keadilan.7 Selanjutnya teori – teori keadilan yang
menjadi landasan pijak sistem – sistem ekonomi kontemporer itu meliputi Prinsip
Egalitarianisme Radikal, Prinsip Perbedaan, Prinsip Berbasis Sumber Daya,
Prinsip Berbasis Kesejahteraan, Prinsip Berbasis Balasan, dan Prinsip Libertian.
Beberapa keterbatasan dalam prinsip – prinsip tersebut di
antaranya adalah :
1. Pertama, dalam hala kepemilikan, Prinsip Egalitarianisme Radikal dan
Prinsip Libertian berada pada posisi saling bertentangan. Egalitarianisme
mementingkan kepemilikan kolektif, sedangkan libertian mengedepankan
kepemilikan pribadi dan self-interest. Tapi keduanya juga mengalami
kebuntuan dalam mengatasi masalah keadilan dalam kepemilikan.
2. Kedua, dalam hal sumber daya, prinsip Libertarianisme menyatakan bahwa
duni ini pada asalnya tidak ada yang memiliki, jika demikian , dengan cara
apapun bukan hal yang masalah jika sumber daya ini diperlakukan sesuai
kemauan
manusia.
Perbedaan
terpenting
antara
liberalisme
dan
libertarianisme adalah pandangan tentang kebebasan individu. Menurut
libertarianisme, kebebasan yang menjadi hak individu merupakan satu bentuk
properti privat, tidak seorang pun atau apa pun yang dapat merampas dan
mencabutnya dari seseorang tanpa dianggap telah melanggar hak orang
tersebut.
Seperti
libertarianisme,
liberalisme
juga
mengutamakan
kebebasan.8 Kebebasan menurut liberalisme tidak dapat dikorbankan untuk
nilai yang lain, untuk nilai ekonomi, sosial dan politik. Kebebasan hanya
dapat dibatasi dan dikompromikan ketika ia konflik dengan kebebasan dasar
yang lain yang lebih luas. Karenanya, kebebasan menurut liberalisme bukan
7 Ibid.
8 Ridha Ahida, “Liberalisme Dan Komunitarianisme: Konsep Tentang Individu Dan
Komunitas,” Jurnal Demokrasi 4, no. 2 (October 1, 2005),
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/view/1063.
5
sesuatu yang absolut, kebebasan hanya dapat dibatasi demi kebebasan itu
sendiri.
3. Ketiga, ada beberapa teori keadilan yang terlalu menekankan pada sau aspek
semata dari fakta dan problem keadilan ekonomi sehingga kurang dapat
memberikan jawaban secara tepat atas masalah keadilan itu sendiri, : Prinsip
Berbasis Sumber Daya secara nyata tidak memberikan tempat bagi tanggung
jawab sosial atas mereka yang kurang beruntung, dan tidak ada subsidi bagi
mereka yang kurang pendapatannya; Prinsip Berbasis Kesejahteraan
(Utilitarianisme), dengan berpedoman pada the great happiness for the great
number, mengorbankan sekelompok kecil orang atas nama kepentingan
atau kesejahteraan mayoritas; dan Prinsip Berbasis Balasan juga tidak dapat
memberikan jawaban atas pertanyaan bila setiap orang harus menerima
balasan atau upah sesuai dengan usaha dan kontribusi aktualnya bagi
masyarakat, lalu siapakah yang bertanggung jawab atas kondisi mereka yang
kurang beruntung dalam masyarakat?.
4. Keempat, dalam Prinsip Egalitarianisme Radikal, bila setiap orang harus
memiliki tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa, di manakah
penghargaan atas kenyataan adanya perbedaan antar orang perorang dan atas
mereka yang secara ekonomi lebih produktif?
5. Kelima, berdasarkan kompetisi,
pasar bebas secara moral dikehendaki
sebagai alat yang dipercaya untuk mengalokasikan dan mendistribusikan
sumber daya secara adil. Fakta menunjukkan kekuatan pasar tidak
sepenuhnya dapat memenuhi tugas alokasi dan distribusi secara adil. Dalam
kondisi demikian, siapakah yang bertanggung jawab atas redistribusi bagi
mereka yang kurang beruntung?.
6. Keenam, apa yang sejati dari prinsip keadilan John Rawls adalah berkenaan
dengan prinsip ketidaksamaan. Prinsip ini biasa disebut sebagai Prinsip
Perbedaan. Prinsip ini hanya dapat menjawab persoalan bagaimana
ketidaksamaan
diatasi. Sementara perbedaan dan konsekuensinya tidak
dilihat sebagai suatu kenyataan yang tak dapat ditolak, perbedaan tidak
dipandang sebagai potensi untuk saling mengambil manfaat dan titik tolak
untuk mengukir prestasi. Di samping itu, dalam Prinsip Perbedaan tidak
6
terlihat jelas apa yang memotivasi tindakan orang-orang yang beruntung
untuk berkorban bagi mereka yang kurang beruntung.
7. Terakhir, hampir semua teori keadilan di atas cenderung fokus pada keadilan
distributif, sehingga aspek-aspek lain dari kegiatan ekonomi seperti konsumsi
dan soal perlakuan atas sumber daya alam dan lingkungan luput dari
perhatian.9
Dalam sistem ekonomi konvensional para pakarnya berbeda
pendapat tentang keadilan distribusi. Setidaknya ada empat konsep keadilan
distribusi yang berkembang: Konsep Egalitarian: Setiap orang dalam kelompok
masyarakat menerima barang sejumlah yang sama. Konsep Revolution:
Memaksimalkan
utility
orang
paling
miskin.
Konsep
Utilitarian
:
memaksimalkan konsep utility dari setiap orang dalam kelompok masyarakat.
Konsep market oriented: hasil pertukaran melalui mekanisme pasar adalah yang
paling adil.10
C. Konsep Keadilan Neoliberalisme
Dalam hal konteks kepemilikan, Adam Smith sebagai penggagas
Liberalisme Klasik meletakkan kepentingan diri (self –interest) sebagai basis
kepemilikan, sehingga asumsi tersebut dipakai Libertian dijadikan prinsip
pertama dalam keadilan, yaitu setiap orang memiliki dirinya sendiri. Bias
antroposentris
mengarahkan
prinsip
keadilan
Liberalisme
Klasik
dan
Libertarianisme meletakkan manusia sebagai tujuan dalamm dirinya sendiri,
bukan sesuatu yang pada akhirnya kembali kepada asal ciptaan sebagai tujuan
akhir. Prinsip keadilan kedua menyatakan dunia pada awalnya tidak dimiliki oleh
siapapun.
Dalam hal produksi, produksi adalah kegiatan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menggunakan sumber daya alam sebagai
sarana dan faktor – faktor produksi yang lain. Kegiatan produksi melibatkan
banyak unsur sehingga harus diletakkan dalam kerangka keadilan. Penggunaan
9 Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice.”
10 Ma’ruf Abdullah, “Perbedaan Paradigma Ekonomi Konvensional Dan Ekonomi
Islam Dalam Teori Dan Realita (Perspektif Mikro),” At-Taradhi: Jurnal Studi
Ekonomi, June 9, 2016, http://idr.iain-antasari.ac.id/5008/.
7
sumber daya alam tidak mengganggu keseimbangan alam, penguasaan faktor –
faktor produksinya.
Faham neoliberal bermula dari faham liberal, pada tahun 1776
Adam Smith mempromosikan faham liberali dalam bukunya “The Wealth of
Nations”. Smith beropini bahwa kebebasan dalam produksi dan perdagangan
tanpa intervensi pemerintah (laissez faire) merupakan cara terbaik untuk
membangun ekonomi suatu Negara. Smith percaya pada doktrin invisible hands
(tangan gaib) akan menciptakan keseimbangan dengan sendirinya atau secara
otomatis. Kemudian kebebasan tersebut menimbulkan dampak domino pada
kebebasan berusaha dan bersaing, sehingga para pemilik modal/capital berlombalomba memaksimalkan keuntungan.
Di Indonesia dampak negatif neoliberal dirasakan oleh bangsa
Indonesia hingga sekaranga yang diawali dari Konsensus Washington pada akhir
tahun 1980 – an. Garis besar agenda pokok paket kebijakan Konsensus
Washington meliputi pelaksanaan: (1) kebijakan efisiensi anggaran secara ketat,
termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai formulasinya, (2)
liberalisasi sektor keuangan, (3) liberalisasi sektor perdagangan, dan (4)
privatisasi BUMN. 11
Dalam hal di atas maka dapat dikatakan bahwa kepemilikan faktor
– faktor produksi dimiliki oleh sebagian kecil atau segelintir orang atau kelompok
tertentu, sehingga jurang kesenjarangan sosial makin melebar terutama
kesenjangan pendapatan di Indonesia. Alasan – alasan yang melatarbelakanginya
diketahui dari beberapa berikut ini :12
Pertama,
kebijakan
noliberal
selalu
mengagung-agungkan
perdagangan bebas tanpa batas, dengan alasan demi pengentasan kemiskinan dan
pertumbuhan ekonomi. Efek selanjutnya yang muncul ialah penghapusan segala
bentuk tariff dan bea impor. Hal ini berdampak berantai terhadap kondisi ekonomi
rakyat. Misal kemerosotan pendapatan produsen atau UMKM, kemandulan
pertanian lokal, dan instabilitas industri dalam negeri. Situasi ini mendorong
proses penyingkiran rakyat dari alat-alat produksi. Di sektor industri, produsen
kecil tersingkir dari lapangan produksi. Di sektor pertanian, peningkatan drastis
11 Adinugraha, “NEOLIBERALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM.”
12 Ibid.
8
jumlah petani tak bertanah. Kedua, pemerintah sangat ketergantungan terhadap
kapital asing. Oleh karena itu, pemerintah menghalalkan segala cara untuk
menarik investor asing untuk berinvestasi di dalam Negeri. Untuk menambah
penanaman modal asing, pemerintah membuat kebijakan atau regulasi yang
menyamankan dan memudahkan perusahaan MNC, misal pengurangan pajak
untuk perusahaan tersebut. Secara otomatis kebijakan ini berakibat pada
penurunan pendapatan negara dari sektor pajak. Sebagai imbasnya, pemerintah
akan membuat kebijakan untuk menaikkan pajak bagi pelaku usaha di dalam
negeri atau menciptakan berbagai jenis pajak yang diambil dari warga Negara
Indonesia. Hal ini semakin menambah ketimpangan pendapatan. Segi positif
dialami oleh perusahaan MNC yang mendapatkan keuntungan besar, sebaliknya
rakyat dipaksa untuk membayar pajak sebanyak-banyaknya kepada pemerintah.
Kebijakan lainnya yang memungkinkan untuk dilakukan adalah deregulasi pasar
tenaga kerja dengan upah yang sangat minimum, penerapan sistem outsourcing
dan kontrak. Ketiga, privatisasi atau swastanisasi terhadap BUMN. Dengan alasan
untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan pelayanan publik. Maka BUMN
banyak yang dijual kepada pihak swasta, termasuk penjualan badan-badan usaha
yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya perusahaan rumah sakit,
sekolah, listrik, air, tranportasi, pertambangan, dan perbankan. Pihak swasta
dianggap agen tunggal yang kompetibel dalam perekonomian dan diasumsikan
mampu bersaing dalam dunia global. Ketika perusahaan BUMN sudah berpindah
tangan pada swasta, akan menyebabkan kenaikan biaya (cost) atau ongkos,
dimana keuntungan atas kenaikan tersebut hanya dapat dinikmati oleh segelintir
orang saja (FSPI, 2003:3). Keempat, ketergantungan terhadap utang luar negeri.
Hal ini merupakan akibat dari lemahnya sektor-sektor produktif dalam negeri dan
berkurangnya penerimaan pendapatan negara dari sektor pajak. Sehingga
pemerintah memprioritaskan cicilan pengembalian utang melalui kebijakan
APBN, karena ketika utang tersebut dicicil dengan lancar dan on time akan
menambah trust investor asing. Sedangkan dampaknya di dalam negeri,
pemangkasan anggaran untuk belanja modal dan belanja sosial. Seperti kesehatan
dan pendidikan, serta penghapusan subsidi, misal subsidi pertanian,energi, dan
lain sebagainya. Kelima, membiarkan pasar yang berkuasa. Ini sama saja dengan
9
membebaskan aktivitas swasta untuk masuk kepada sektor layanan publik melalui
mekanisme pasar. Layanan publik, seperti kesehatan, air minum (bersih),
pendidikan, penyediaan rumah, dan lain sebagainya, diserahkan kepada
mekanisme pasar. Akhirnya, di mata dan fikiran rakyat layanan mendasar tersebut
menjadi komoditi mewah dan merekalah yang akan menanggung kenaikan harga
layanan tersebut, karena masyarakat diasumsikan sebagai konsumen sejati.
Menurut Revrisond Baswir (Peneliti Pusat Studi Ekonomi
Kerakyatan UGM), inti kebijakan ekonomi pasar neoliberal bertumpu kepada : (1)
pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas dan sempurna ;
(2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui dan (3)
pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari
penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang.
Dalam sistem ekonomi neoliberal tidak ada wilayah kehidupan yang tidak bisa
dijadikan komoditi dan barang jualan. Semangat neoliberalisme adalah melihat
seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Misalnya dengan sektor
sumber daya air, program liberalisasi sektor sumber daya air yang
implementasinya dikaitkan oleh Bank Dunia dengan skema watsal atau water
resources sector adjustment loan. Air dinilai sebagai barang ekonomis yang
pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang
ekonomis. 13
D. Konsep Keadilan Ekonomi Sosialisme
Sosialisme muncul sebagai antithesis dari kapitalisme.ia lahir
didorong oleh fenomena kemelaratan kaum buruh dan petani yang terkena
dampak revolusi industry yang telah menyebar ke seantero eropa, Sosialisme
mengajak umat manusia meninggalkan kepemilikan individu atas alat-alat
produksi.Ciri Utama sosialisme yaitu berada pada hilangnya kepemilikan individu
atas alat-alat produksi dan sangat mengandalkan peran pemerintah sebagai
pelaksana perekonomian dan meninggalkan pasar.14
13 “BAHAYA NEOLIBERALISME | Menggapai Ridha Allah,” accessed June 12, 2017,
https://amiur.wordpress.com/2010/10/20/bahaya-neoliberalisme/.
14 “Konsep Ekonomi Syariah Diantara Konsep Ekonomi Sosialis Dan Liberalis,”
Nonkshe, March 13, 2012, https://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/konsep-
10
Afsalur Rahman dalam Economic Doctrines of Islam juga
mengatakan, bahwa prinsip dasar ekonomi sosialis itu ada tiga antara lain:
(1) Pemilikan harta oleh negara; Seluruh bentuk dan sumber pendapatan menjadi
milik negara atau masyarakat keseluruhan. Hak individu untuk memiliki harta
atau memanfaat produksi tidak diperbolehkan. Dengan demikian individu secara
langsung tidak mempunyai hak pemilikan, (2) Kesamaan ekonomi; Sistem
ekonomi sosialis menyatakan (walaupun sulit ditemui di negara komunis) bahwa
hak-hak individu dalam suatu bidang ekonomi ditentukan oleh prinsip kesamaan.
Setiap individu disediakan kebutuhan hidup menurut keperluan masing-masing,
dan (3) Disiplin Politik; Untuk mencapai tujuan di atas, keseluruhan negara
diletakkan di bawah peraturan kaum buruh, yang mengambil alih semua aturan
produksi dan distribusi. Kebebasan ekonomi serta hak pemilikan harta dihapuskan
sama sekali. 15
Konsep keadilan Sosialisme pada dasarnya bersandar pada prinsip
Egalitarianisme radikal. Dengan dimotori tokoh Karl Marx yang menyatakan
negara adalah pemilik tunggal atas aset – aset dan kegiatan ekonomi, individu
dilarang mempunyai kepemilikan dan kebebasan untuk bertransaksi. Penentuan
konsumsi bagi masyarakat juga ditentukan oleh negara, selera dan pendapatan
ditentukan oleh pusat pemerintah (negara).
“Sosialisme Islam Menurut Sayyid Qutb”
Ada yang berpendapat Sosialisme juga pada dasarnya mempunyai
kesamaan dengan Islam dengan dimotivatori oleh pemikiran sosialisme Sayyid
Qutb. 16 Sosialisme merupakan salah satu ajaran yang menginginkan penghapusan
terjadinya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Ajaran ini mengelaborasikan
antar kehidupan mewah dengan kehidupan kelas bawah, sehingga melahirkan
keseimbangan hidup dalam sebuah tatanan masyarakat. Mengamati hal tersebut,
maka sistem sosial menganalisis tiga aspek penting, yaitu: pertama, hubungan
umum dari berbagai sistem; kedua, situasi normal atau situasi keseimbangan,
ekonomi-syariah-diantara-konsep-ekonomi-sosialis-dan-liberalis/.
15 Ibid.
16 Asnawiyah Asnawiyah, “KONSEP SOSIALISME ISLAM MENURUT SAYID QUTHB,”
Substantia 15, no. 1 (April 1, 2013),
http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/6.
11
sejajar dengan kondisi normal, dan ketiga, semua sistem melakukan reintegrasi
kepada sistem normal. Karena itu, sosialisme pada hakikatnya merupakan suatu
proses untuk mensejahterakan seluruh masyarakat, sehingga dapat menumbuhkan
dan mendorong perkembangan ekonomi secara merata. Oleh karena itu, Sayyid
Quthb menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya sosialisme adalah proses
memberikan kesejahteraan kepada rakyat dalam mencapai taraf kesejahteraan
yang abadi”.
Sayyid Quthb menjelaskan sebuah sistem yamg berbeda dengan
sistem yang disodorkan oleh Kristen dan Komunisme. Di mana Islam memandang
manusia sebagai satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan antara kebutuhan
rohani dan kebutuhan jasmaniahnya, antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan
materialnya. Di sini Islam memandang alam semesta dan kehidupan di dalamnya
dengan universal, tidak parsial dan terpisah-pisah. Sebuah analisis menyatakan
ada kesamaan karakter perjuangan Islam dan sosialis, yakni sama-sama
memperjuangkan "kaum tertindas". Yang perlu digaris bawahi antara Islam dan
Sosialisme adalah gambaran yang berbeda dalam lingkaran kehidupan umat
manusia baik dari sumber maupun nilai. Akan tetapi ada kesamaan spirit
keduanya dalam menegakkan keadilan dalam realitas sosial.
Sosialisme Sayyid Quthb berorientasi kepada ayat-ayat al-Qur’an
yang di dalamnya disebutkan konsep-konsep kehidupan sosial yang telah
digariskan Allah. Dan ini merupakan aturan kehidupan sosial yang berlandaskan
petunjuk Ilahi. Sebagai contoh, persoalan yang umumnya terjadi adalah
kemiskinan yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadi kesenjangan sosial
dan ekonomi antara kalangan kaya dengan miskin. Hal ini merupakan masalah
umum dihadapi oleh masyarakat dunia. Umat Islam merupakan bagian dari
penduduk dunia yang juga memiliki pandangan hidup sosialis.17
Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep sosialisme yang dimotori
pemikiran Marx dengan sosialisme dalam Islam mempunyai perbedaan dalam hal
sumber pijakannya dan memandang keadilan. Dimana sosialisme konvensional
lebih melandaskan pada materi semata, sedangkan sosialisme Islam berpijak pada
17 Asnawiyah, Konsep Sosialisme Islam Menurut Sayyid Qutb......
12
ayat – ayat Al Qur’an yang menanamkan nilai – nilai kebaikan, kemaslahatan dan
keadilan.
E. Konsep Keadilan Ekonomi Islam
Konsep kepemilikan dalam Islam tertuang dalam QS Al A’raf : 128
,” sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusakakan-Nya kepada siapa
yang dikehendaki-Nya dari hamba – hamba-Nya. Dan sesungguhnya yang baik
adalah bagi orang – orang yang bertakwa”. Dalam ayat lain Allah berfirman :
“Dan Sesungguhnya benar – benar Kami-lah yang menghidupkan dan
mematikan dan Kami Pulalah yang mewarisi,” (QS Al Hijr : 23 ).
18
Sehingga
setelah Allah menciptakan bumi, Allah tidak begitu saja tanpa menyediakan
fasilitas yang dibutuhkan manusia untuk menjaga eksistensinya dalam kehidupan,
19
fasilitas berupa oksigen, air, tumbuh-tumbuhan, sumber daya alam yang
lainnya, QS Qaaf : 7-11 Allah berfirman ,
“Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya
gunung – gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya
segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk
menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap – tiap hamba kembali
(mengingat Allah). Dan Kami turunkan dari langit, air yang
banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon –
pohon dan biji – biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma
yang tinggi – tinggi yang mempunyai mayang yang disusun –
susun, untuk menjadi rizki bagi hamba – hamba (Kami) dan Kami
hidupkan dengan air itu tanah yang mati ( kering ). Seperti itulah
terjadi kebangkitan”.
Atas dasar dalil di atas maka konsep kepemilikan oleh kaum
Libertianisme dimentahkan, bahwa semua dunia awalnya tidak dimiliki siapapun,
bahwa semua sumber didunia yang ada dapat dieksplorasi sebesar – besar untuk
kepentingan pribadi, semangat kompetisi yang tinggi tanpa batas. Islam dengan
18 RI Depag, Al Qur;an Dan Terjemahnya, Edisi Revisi 1989 (CV Toha Putra,
Semarang, 1989).
19 Al Mishri, Pilar - Pilar Ekonomi Islam, 24–25.
13
rujukan wahyu telah diatur bagaimana mensikapi dunia dan seluruh isinya hanya
untuk beribadah kepada-Nya.
Islam sebagai way of life bagi kehidupan manusia sehingga Islam
hadir sesuai dengan fitrah manusia, tidak menafikkan bahwa manusia juga
mempunyai
kecenderungan
untuk
memiliki
harta.
Kefitrahan
manusia
ditindaklanjuti dengan bekerja dengan kesungguhan, meningkatkan produktivitas
dan profesionalismenya untuk kesejahteraan dirinya dan orang lain. Konsep
kepemilikan dalam Islam tetap memperbolehkan bahwa tiap manusia berhak atas
tanah pribadi, warisan harta , hibah, jual beli. Konsep kepemilikan dalam Islam
ada terbagi menjadi dua: kepemilikan individu dan kepemilikan umum (publik).
Islam mengatur kepemilikan tersebut dikelola dengan proporsional sesuai
kebutuhan dan mengedepankan kemaslahatan ummat.
Prinsip Keadilan dalam produksi, Islam memandang bahwa sumber
daya alam adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara
universal, karenanya pemakaia sumber daya alam , dan faktor – faktor produksi
yang terlibat mempunyai hak dan kewajiban yang proporsional. Pada dasarnya
sumber alam didunia ini banyak dan luas, akan tetapi yang menjadi ketidak
seimbangan dan kelangkaan adalah pada kerakusan manusia itu sendiri.
Produksi adalah manifestasi manusia bekerja. Islam mewajibkan
setiap manusia bekerja untuk mencari harta yang halal. Dalam proses produksi
darimana sumber daya diperoleh, bagaimana mengelola dan mengolahnya serta
untuk siapa dan bagaimana mengkonsumsi dan mendistribusikan secara adil
kepada segenap masyarakatnya. Menggunakan sumber daya alam serta faktor
produksi harus dalam kerangka keadilan, keseimbangan alam sebagai bentuk
eksplorasi manusia terhadap alam harus diperhatikan sehingga tidak terjadi
bencana, pengupahan buruh dan tenaga kerja harus proporsional sesuai haknya,
mencari modal harus dilandaskan kehalalan tidak merugikan pihak lain.
Kahf dalam tema Teori Produksinya menyatakan bahwa produksi
bisa ditilik dari dua aspek, kajian positif hukum – hukum benda dan hukum –
hukum ekonomi yang menentukan fungsi produksi, dan kajian normatif yang
membahas dorongan – dorongan dan tujuan – tujuan produksi.
20
Selanjutnya
20 Monzer Kahf, Ekonomi Islam ( Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem
Ekonomi Islam ), cetakan 1 (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995), 33.
14
dipaparkan bahwa motif – motif produksi ditujukan agar tidak terjadi kemalasan
dan ketidakseunggugan dalam perikehidupan ummat manusia itu sendiri.
Konsumsi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari konsep
produksi. Dalam ilmu ekonomi, konsumsi adalah permintaan (demand)
sedangkan produksi adalah penawaran (supply). Konsumsi adalah tahapan akhir
dan terpenting dalam produksi kekayaan. Kekayaan diproduksi untuk dikonsumsi.
21
Manusia dengan segala fitrahnya tentu mempunyai kebutuhan serta
keinginan yang berbeda – beda dalam berkonsumsi. Namun Islam mengatur
bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia itu tidaklah banyak hanya terkadang
keinginan – keinginan yang berlebih diluar batas kebutuhannyalah yang membuat
pola konsumsi manusia menjadi tidak terbatas. Ketidak terbatasan konsumsi
manusia itu pun mempengaruhi pola produksi manusia untuk merampas segala
kekayaan alam dn sumbernya hanya untuk memenuhi dunia yang tidak terbatas.
Polanya tidak lagi menjadikan konsumsi adalah bagian dari ibadah akan lebih
karena gaya hidup (prestige) semata.
Membahas konsumsi dalam Islam tidak terlepas dari konsep harta.
Bagaimana seharusnya manusia memandang harta dalam kacamata Islam. Harta
yang melimpah yang dimiliki sebagian orang atau manusia adalah dipandang
sebagai anugrah dari Allah, bukans semata – mata kepemilikan dan konsumsi
pribadi yang mana orang lain tidak punya hak atasnya. Agar terjadi keseimbangan
dalam hidup berekonomi Islam telah mengatur dengan konsep Zakat, Infaq dan
shadaqah serta qurban.
Di dalam masyarakat Islam tidak memungkiri adanya strata dalam
kepemilikan harta, masyarakat miskin dalam masyarakat muslim saat ini pun
dapat dikatakan menempati peringkat tinggi dalam lingkup dunia. Islam
menekankan adanya pemberantasan kemiskinan, pemberantasan kesenjangan
antara kaya dan miskin, sehingga konsep zakat, infaq dan shadaqoh serta Qurban
adalah konsep mulia yang telah Allah tetapkan untuk menjaga keseimbangan
sosial ummat manusia di dunia. Kemiskinan adalah persoalan utama di dalam
semua sistem ekonomi baik Sosialisme , welfare state, neoliberalisme. Tapi Islam
21 Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice.”
15
datang memberi sistem keadilan sosial dengan jalan membagikan harta lewat jalur
zakat, infaq dan shadaqoh serta Qurban. Kemiskinan harus diberantas karena
kefakiran (kemiskinan) lebih dekat dengan kekufuran (pengingkaran) terhadap
Islam.
Demikian Islam memandang bahwa konsep konsumsi harus
ditujukan semata – mata untuk kemaslahatan, untuk tujuan tidak hanya dunia tapi
juga
akhirat.
Islam
mempunyai
etika
tentang
konsumsi,
Islam
tidak
memperkenankan berlebih – lebihan dalam konsumsi (isrof atau pemborosan)
dan juga tidak mempergunakan harta dengan cara yang salah atau Tabzir. Tabzir
disini bisa dalam bentuk untuk tujuan – tujuan yang terlarang yaitu seperti
penyuapan, korupsi dan segala macam bentuknya.
Konsep Wakaf, Infaq dan shadaqoh serta qurban pada dasarnya
melahirkan konsep baru yang perlu banyak dikaji dalam bab khusus selanjutnya,
dimana konsep kesejahteraan Islam menjadi wadahnya. Kemiskinan mempunyai
porsi cara dan penanganan khusus terutama dalam manajemennya. Seperti yang
ditulis oleh Zakiyah dalam artikelnya bahwa kemiskinan memerlukan strategi
khusus dalam penanganannya. 22
Untuk memahami konsep kesejahteraan dalam Islam, penting
untuk mempelajari sifat manusia seperti yang Azmi (1991) sebutkan dalam
artikelnya. Manusia, dalam hal ini, digambarkan sebagai bukan hanya materi
tetapi juga makhluk spiritual yang mengacu pada wahyu Ilahi. Dengan demikian,
kesejahteraan individu terdiri dari dua hal yaitu: (1) implementasi nilai spiritual
syariah yang lebih lengkap dalam kehidupan sehari-hari, (2) pencapaian yang
cukup dari semua kebutuhan bahan dasar kehidupan.
22 Zakiyah Zakiyah, “Islamic Welfare System Dealing with the Poor in Rural
Area,” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 1, no. 1 (June 1, 2011):
37–67.
16
F. Kesimpulan
Berdasar uraian di atas tentang analisis perbandingan konsep
keadilan Neoliberalisme, Sosialisme dan Islam adalah sebagai berikut :
1. Ketidakadilan adalah persoalan universal yang dialami oleh segala sistem
ekonomi yang telah ada di seluruh dunia.
2. Konsep keadilan masing – masing sistem pada dasarnya mempunyai
persamaan tujuan cita – cita dan pandangan untuk menegakkan keadilan, akan
tetapi dalam pelaksanaannya mempunyai perbedaan mendasar dalam
menentukan makna dan definisi tentang keadilan. Dikarenakan landasan teori
berpijak yang berbeda – beda.
3. Teori – teori keadilan kontemporer yang menjadi landasan sistem – sistem
ekonomi kontemmporer antara lain , : Prinsip Egalitarianisme Radikal,
PrinsipPerbedaan,
Prinsip
Berbasis
sumber
daya,
Prinsip
berbasis
kesejahteraan, Prinsip berbasis balasan, dan prinsip Libertarianisme.
4. Aspek – aspek keadilan dalam semua sistem ekonomi antara lain : konsep
keadilan kepemilikan, Konsep keadilan produksi, konsep keadilan konsumsi
dan distribusi.
5. Islam adalah agama yang menawarkan konsep menyeluruh dalam berbagai
aspek untuk menjadi problem solving atas terjadinya ketidakadilan yang
ditimbulkan dari konsep – konsep sistem kontemporer yang telah gagal
mencapai keadilan.
6. Zakat, Infaq, Shadaqah dan qurban merupakan bentuk sistem kesejahteraan
Islam yang ditawarkan untuk mengatasi kesenjangan atau ketidakadilan dalam
ekonomi.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Ma’ruf. “Perbedaan Paradigma Ekonomi Konvensional Dan Ekonomi
Islam Dalam Teori Dan Realita (Perspektif Mikro).” At-Taradhi: Jurnal Studi
Ekonomi, June 9, 2016. http://idr.iain-antasari.ac.id/5008/.
Adinugraha, Hendri Hermawan. “NEOLIBERALISME DALAM PERSPEKTIF
ISLAM.” MEDIA 19, no. 2 (2015).
http://dinus.ac.id/wbsc/assets/dokumen/majalah/3._Hendri_Hermawan1_.pdf.
Ahida, Ridha. “Liberalisme Dan Komunitarianisme: Konsep Tentang Individu Dan
Komunitas.” Jurnal Demokrasi 4, no. 2 (October 1, 2005).
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/view/1063.
Al Mishri, Abdul Sami’. Pilar - pilar Ekonomi Islam. Cetakan 1. Pustaka Pelajar,
2006.
Asnawiyah, Asnawiyah. “KONSEP SOSIALISME ISLAM MENURUT SAYID
QUTHB.” Substantia 15, no. 1 (April 1, 2013).
http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/6.
“BAHAYA NEOLIBERALISME | Menggapai Ridha Allah.” Accessed June 12,
2017. https://amiur.wordpress.com/2010/10/20/bahaya-neoliberalisme/.
Baidhawy, Zakiyuddin. “Distributive Principles of Economic Justice: An Islamic
Perspective.” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 2, no. 2
(December 1, 2012): 241–66. doi:10.18326/ijims.v2i2.241-266.
Depag, RI. Al Qur;an Dan Terjemahnya. Edisi Revisi 1989. CV Toha Putra,
Semarang, 1989.
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam ( Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi
Islam ). Cetakan 1. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.
“Konsep Ekonomi Syariah Diantara Konsep Ekonomi Sosialis Dan Liberalis.”
Nonkshe, March 13, 2012.
https://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/konsep-ekonomi-syariahdiantara-konsep-ekonomi-sosialis-dan-liberalis/.
Zakiyah, Zakiyah. “Islamic Welfare System Dealing with the Poor in Rural Area.”
Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 1, no. 1 (June 1, 2011):
37–67.
18
Oleh : Yeni Indriana, S.Pd
Email : [email protected]
Pasca Sarjana IAIN Salatiga
Abstrak :
Keadilan ekonomi merupakan basic need semua manusia di muka bumi
dalam
rangka
memenuhi
kesejahteraan
hidupnya.
Apapun
bentuk
permasalahan ekonomi kontemporer utamanya adalah bersumber pada
masalah ketidakadilan. Makalah ini membahas peta analisis konsep keadilan
di antaranya menurut pandangan neo-liberalisme, sosialis dan Islam. Karena
peta dunia ekonomi saat ini telah digelayuti tiga sistem tersebut. Tolok ukur
konsep keadilan antara lain keadilan kepemilikan, keadilan produksi,
keadilan konsumsi, keadilan distribusi dan redistribusi, keadilan peran pasar
dan negara.
Kata Kunci : Keadilan, neo-liberalisme, sosialisme, ekonomi Islam
A. Pendahuluan
Problem
universal
yang
dihadapi
semua
sistem
ekonomi
kontemporer hingga saat ini pada dasarnya sama, yaitu ketidakadilan ekonomi.
Sistem – sistem yang telah berjalan hanya berlandaskan pada ketamakan atau
kerakusan sehingga dalam proses perjalanan mengalami kebuntuan dalam
menciptakan keadilan. Sistem – sistem yang telah berjalan tersebut berakar pada
ideologi – ideologi ekstrem dalam dasar logika manusia semata sehingga kurang
berhasil bahkan gagal mengantarkan kondisi ekonomi yang lebih baik bagi
ummat manusia (pengikutnya).
Faham neoliberalis merupakan trending topic dalam 10 tahun
terakhir ini. Pada dasarnya ekonomi neoliberal dapat dijelaskan sebagai sebuah
filosofi ekonomi politik yang meminimalisir dominasi intervensi negara atau
1
menolak campur tangan pemerintah dalam perekonomian nasional. Ekonomi
neoliberal menitik beratkan pada metode pasar bebas (free trade) yang diserahkan
pada mekanisme pasar dan tidak dibatasi oleh aturan-aturan positif maupun
normatif (www.detikfinance.com)
1
. Institusi komplementer neoliberalisme
menggunakan istilah pasar bebas dan globalisasi sebagai gaya modern untuk
menutupi keburukannya. Neoliberalisme, pasar bebas, dan globalisasi adalah
wujud baru penjajahan masa kini dari segi ekonomi, sosial, politik, dan budaya
(neoimprealisme). Sulitnya mendapatkan transparansi statement atau informasi
proses kebijakan dari lembaga-lembaga pemerintah merupakan salah satu bukti
kongkret dari rupa baru neoliberalisme. Kebijakan-kebijakan yang dibuat dengan
mengatas namakan globalisasi dan pasar bebas itu telah berhasil menciptakan
ketimpangan sosial ekonomi, sehingga si kaya semakin menjadi kaya dan
sebaliknya si miskin kian terpuruk dengan kondisi ekonominya.
Neoliberalisme
sebelumnya
merupakan
bentuk
awalnya
kapitalisme (laissez faire). Setelah krisis selama 25 tahun terakhir dan semakin
berkurangnya tingkat profit yang berakibat jatuhnya akumulasi kapital,
meneguhkan tekad korporasi besar untuk kembali ke sistem liberalisme. 2 Melalui
corporate globalization mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil
mengembalikan paham Liberalisme, bahkan dalam skala global. Sejak 1970-an
Keynesianisme yang menjadi fondasi welfare State telah masuk dalam catatan
kaki sejarah. Panggung kini menjadi milik dua bapak ekonom Neoliberalisme
Friederich August Von Hayek dan Milton Friedman. Mulai dekade 1980-an aliran
kanan baru yang diwakili oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagen
memperjuangkan pasar bebas dan menolak dengan tegas paham negara
intevensionis. Satu dekade kemudian, tepatnya pada tahun 1990-an, kapitalisme
neoliberalisme pasar bebas dari dua tokoh tersebut telah menjadi ideologi dunia
yang dominan.
Sistem keadilan Negara sejahtera ( welfare state) dianggap sebagai
langkah maju kapitalisme dengan tujuan untuk meredam ekses kapitalisme yang
1 Hendri Hermawan Adinugraha, “NEOLIBERALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM,”
MEDIA 19, no. 2 (2015),
http://dinus.ac.id/wbsc/assets/dokumen/majalah/3._Hendri_Hermawan-1_.pdf.
2 Zakiyuddin Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice: An Islamic
Perspective,” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 2, no. 2
(December 1, 2012): 241–66, doi:10.18326/ijims.v2i2.241-266.
2
berlebihan dan mengurangi daya tarik sosialisme. Sistem ini cukup menarik bagi
semua lapisan masyarakat baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofisnya,
Negara sejahtera meyakini bahwa kesejahteraan individu merupakan tujuan yang
sangat penting yang tidak mungkin bergantung pada operasi kekuatan – kekuatan
pasar, kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang tidak harus merupakan bukti
dari kegagalannya. Karenanya sistem ini mengakui full employment dan
distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok
kebijakan negara. Seperti dicontohkan dalam sejarah perekonomian Amerika
Serikat era Rosevelt yang mengamini pemikiran Keynes, AS mengalami
perbaikan kondisi ekonomi yang sangat baik antara 1950 – 1960 an, pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan merata serta inflasi yang terkendali. 3 Masa keemasan
tersebut berakhir pada awal tahun 1970-an setelah terjadi penumpukan modal
pada
segolongan
kapitalis,
meningkatnya
pengangguran
dan
berbagai
permasalahan yang timbul pada APBN. Dari sinilah kemudian muncul faham
neoliberalisme.
Secara umum konsep – konsep neoliberalisme dapat dilihat dengan
indikator : pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara,
menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak – hak buruh, menghilangkan
control atas harga, mengurangi pemborosan anggaran negara dengan memangkas
semua subsidi untuk pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan
sosial dan pada saat yang sama subsisi besar – besaran diberikan kepada
perusahaan transnasional (TNCs) melalu tax holidays, mempercayai deregulasi
ekonomi, privatisasi adalah jalan menuju persaingan bebas yang dibungkus
dengan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi
kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal
kebutuhan dasar mereka, dan memprioritaskan paham tentang publics good dan
solidaritas sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab individual.4
Setiap sistem pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu
menghilangkan kefakiran dan kemiskinan, sebagaimana sistem kapitalisme dalam
perjalanannya ternyata banyak meninggalkan strata dalam masyarakat, dimana
yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Walaupun telah dimodifikasi
3 Adinugraha, “NEOLIBERALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM.”
4 Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice.”
3
dengan peluncuran welfare state dengan memainkan peran negara tetap
meninggalkan masalah yang tidak ada ujungnya menggapai kesejahteraan bagi
seluruh ummat manusia dan pengikutnya.
Sistem sosialis dan marxisme sebagai lawan dari kapitalisme pun
pernah memainkan perannya selama 60 tahun dan memberi kontribusi
perkembangan komunisme. Selama 44 tahun partai komunis menerapkan dasar –
dasar sosialis, dan dalam perkembangannya pun sistem sosialis pun runtuh lebih
cepat dari yang diprediksikan.
5
Dalam Zakiyuddinn dipaparkan kelemahan –
kelemahan utama sistem sosialis karena, Pertama, ideologi ini mengimplikasikan
ketidakpercayaan pada kemampuan manusia untuk mengelola kepemilikan
pribadi dalam batasan – batasan kesejahteraan sosial, Kedua, Mesin kekuasaan
negara dijalankan oleh sekelompok orang yang kepentingannya selaras dengan
kepentingan seluruh masyarakat. Dalam praktik yang terjadi sebaliknya,
sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan negara memanfaatkan
kekayaan dan pendapatan negara untuk kepentingan mereka sendiri, Ketiga,
subsidi umum yang besar hanya menguntungkan si kaya dan orang – orang
istimewa dibanding si miskin yang daya belinya terbatas.6
Paparan yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa sistem
ekonomi yang bersumber dari ideologi – ideologi kapitalis, neoliberal, negara
sejahtera, sosialis masih menyisakan sejumlah masalah dalam hubungannya
dengan keadilan ekonomi dalam soal produksi, distribusi dan konsumsi. Perlu
dicari dan diberi ruang alternatif – alternatif sistem ekonomi yang dibingkai
dengan semangat etis dan nilai – nilai moral tinggi yang menjadi pedoman.
5 Abdul Sami’ Al Mishri, Pilar - pilar Ekonomi Islam, Cetakan 1 (Pustaka Pelajar,
2006), 221–22.
6 Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice.”
4
B. Teori - teori Keadilan Ekonomi Kontemporer
Sistem – sistem ekonomi yang telah disebutkan di muka - kapitalis,
sosialis, neoliberalisme, Marxisme, Welfare State – pada dasarnya mempunyai
tujuan dan paham yang sama tentang keadilan. Akan tetapi dalam perdebatannya
telah melahirkan perbedaan cukup mendasar dalam menentukan makna dan
definisi yang tepat tentang keadilan.7 Selanjutnya teori – teori keadilan yang
menjadi landasan pijak sistem – sistem ekonomi kontemporer itu meliputi Prinsip
Egalitarianisme Radikal, Prinsip Perbedaan, Prinsip Berbasis Sumber Daya,
Prinsip Berbasis Kesejahteraan, Prinsip Berbasis Balasan, dan Prinsip Libertian.
Beberapa keterbatasan dalam prinsip – prinsip tersebut di
antaranya adalah :
1. Pertama, dalam hala kepemilikan, Prinsip Egalitarianisme Radikal dan
Prinsip Libertian berada pada posisi saling bertentangan. Egalitarianisme
mementingkan kepemilikan kolektif, sedangkan libertian mengedepankan
kepemilikan pribadi dan self-interest. Tapi keduanya juga mengalami
kebuntuan dalam mengatasi masalah keadilan dalam kepemilikan.
2. Kedua, dalam hal sumber daya, prinsip Libertarianisme menyatakan bahwa
duni ini pada asalnya tidak ada yang memiliki, jika demikian , dengan cara
apapun bukan hal yang masalah jika sumber daya ini diperlakukan sesuai
kemauan
manusia.
Perbedaan
terpenting
antara
liberalisme
dan
libertarianisme adalah pandangan tentang kebebasan individu. Menurut
libertarianisme, kebebasan yang menjadi hak individu merupakan satu bentuk
properti privat, tidak seorang pun atau apa pun yang dapat merampas dan
mencabutnya dari seseorang tanpa dianggap telah melanggar hak orang
tersebut.
Seperti
libertarianisme,
liberalisme
juga
mengutamakan
kebebasan.8 Kebebasan menurut liberalisme tidak dapat dikorbankan untuk
nilai yang lain, untuk nilai ekonomi, sosial dan politik. Kebebasan hanya
dapat dibatasi dan dikompromikan ketika ia konflik dengan kebebasan dasar
yang lain yang lebih luas. Karenanya, kebebasan menurut liberalisme bukan
7 Ibid.
8 Ridha Ahida, “Liberalisme Dan Komunitarianisme: Konsep Tentang Individu Dan
Komunitas,” Jurnal Demokrasi 4, no. 2 (October 1, 2005),
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/view/1063.
5
sesuatu yang absolut, kebebasan hanya dapat dibatasi demi kebebasan itu
sendiri.
3. Ketiga, ada beberapa teori keadilan yang terlalu menekankan pada sau aspek
semata dari fakta dan problem keadilan ekonomi sehingga kurang dapat
memberikan jawaban secara tepat atas masalah keadilan itu sendiri, : Prinsip
Berbasis Sumber Daya secara nyata tidak memberikan tempat bagi tanggung
jawab sosial atas mereka yang kurang beruntung, dan tidak ada subsidi bagi
mereka yang kurang pendapatannya; Prinsip Berbasis Kesejahteraan
(Utilitarianisme), dengan berpedoman pada the great happiness for the great
number, mengorbankan sekelompok kecil orang atas nama kepentingan
atau kesejahteraan mayoritas; dan Prinsip Berbasis Balasan juga tidak dapat
memberikan jawaban atas pertanyaan bila setiap orang harus menerima
balasan atau upah sesuai dengan usaha dan kontribusi aktualnya bagi
masyarakat, lalu siapakah yang bertanggung jawab atas kondisi mereka yang
kurang beruntung dalam masyarakat?.
4. Keempat, dalam Prinsip Egalitarianisme Radikal, bila setiap orang harus
memiliki tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa, di manakah
penghargaan atas kenyataan adanya perbedaan antar orang perorang dan atas
mereka yang secara ekonomi lebih produktif?
5. Kelima, berdasarkan kompetisi,
pasar bebas secara moral dikehendaki
sebagai alat yang dipercaya untuk mengalokasikan dan mendistribusikan
sumber daya secara adil. Fakta menunjukkan kekuatan pasar tidak
sepenuhnya dapat memenuhi tugas alokasi dan distribusi secara adil. Dalam
kondisi demikian, siapakah yang bertanggung jawab atas redistribusi bagi
mereka yang kurang beruntung?.
6. Keenam, apa yang sejati dari prinsip keadilan John Rawls adalah berkenaan
dengan prinsip ketidaksamaan. Prinsip ini biasa disebut sebagai Prinsip
Perbedaan. Prinsip ini hanya dapat menjawab persoalan bagaimana
ketidaksamaan
diatasi. Sementara perbedaan dan konsekuensinya tidak
dilihat sebagai suatu kenyataan yang tak dapat ditolak, perbedaan tidak
dipandang sebagai potensi untuk saling mengambil manfaat dan titik tolak
untuk mengukir prestasi. Di samping itu, dalam Prinsip Perbedaan tidak
6
terlihat jelas apa yang memotivasi tindakan orang-orang yang beruntung
untuk berkorban bagi mereka yang kurang beruntung.
7. Terakhir, hampir semua teori keadilan di atas cenderung fokus pada keadilan
distributif, sehingga aspek-aspek lain dari kegiatan ekonomi seperti konsumsi
dan soal perlakuan atas sumber daya alam dan lingkungan luput dari
perhatian.9
Dalam sistem ekonomi konvensional para pakarnya berbeda
pendapat tentang keadilan distribusi. Setidaknya ada empat konsep keadilan
distribusi yang berkembang: Konsep Egalitarian: Setiap orang dalam kelompok
masyarakat menerima barang sejumlah yang sama. Konsep Revolution:
Memaksimalkan
utility
orang
paling
miskin.
Konsep
Utilitarian
:
memaksimalkan konsep utility dari setiap orang dalam kelompok masyarakat.
Konsep market oriented: hasil pertukaran melalui mekanisme pasar adalah yang
paling adil.10
C. Konsep Keadilan Neoliberalisme
Dalam hal konteks kepemilikan, Adam Smith sebagai penggagas
Liberalisme Klasik meletakkan kepentingan diri (self –interest) sebagai basis
kepemilikan, sehingga asumsi tersebut dipakai Libertian dijadikan prinsip
pertama dalam keadilan, yaitu setiap orang memiliki dirinya sendiri. Bias
antroposentris
mengarahkan
prinsip
keadilan
Liberalisme
Klasik
dan
Libertarianisme meletakkan manusia sebagai tujuan dalamm dirinya sendiri,
bukan sesuatu yang pada akhirnya kembali kepada asal ciptaan sebagai tujuan
akhir. Prinsip keadilan kedua menyatakan dunia pada awalnya tidak dimiliki oleh
siapapun.
Dalam hal produksi, produksi adalah kegiatan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menggunakan sumber daya alam sebagai
sarana dan faktor – faktor produksi yang lain. Kegiatan produksi melibatkan
banyak unsur sehingga harus diletakkan dalam kerangka keadilan. Penggunaan
9 Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice.”
10 Ma’ruf Abdullah, “Perbedaan Paradigma Ekonomi Konvensional Dan Ekonomi
Islam Dalam Teori Dan Realita (Perspektif Mikro),” At-Taradhi: Jurnal Studi
Ekonomi, June 9, 2016, http://idr.iain-antasari.ac.id/5008/.
7
sumber daya alam tidak mengganggu keseimbangan alam, penguasaan faktor –
faktor produksinya.
Faham neoliberal bermula dari faham liberal, pada tahun 1776
Adam Smith mempromosikan faham liberali dalam bukunya “The Wealth of
Nations”. Smith beropini bahwa kebebasan dalam produksi dan perdagangan
tanpa intervensi pemerintah (laissez faire) merupakan cara terbaik untuk
membangun ekonomi suatu Negara. Smith percaya pada doktrin invisible hands
(tangan gaib) akan menciptakan keseimbangan dengan sendirinya atau secara
otomatis. Kemudian kebebasan tersebut menimbulkan dampak domino pada
kebebasan berusaha dan bersaing, sehingga para pemilik modal/capital berlombalomba memaksimalkan keuntungan.
Di Indonesia dampak negatif neoliberal dirasakan oleh bangsa
Indonesia hingga sekaranga yang diawali dari Konsensus Washington pada akhir
tahun 1980 – an. Garis besar agenda pokok paket kebijakan Konsensus
Washington meliputi pelaksanaan: (1) kebijakan efisiensi anggaran secara ketat,
termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai formulasinya, (2)
liberalisasi sektor keuangan, (3) liberalisasi sektor perdagangan, dan (4)
privatisasi BUMN. 11
Dalam hal di atas maka dapat dikatakan bahwa kepemilikan faktor
– faktor produksi dimiliki oleh sebagian kecil atau segelintir orang atau kelompok
tertentu, sehingga jurang kesenjarangan sosial makin melebar terutama
kesenjangan pendapatan di Indonesia. Alasan – alasan yang melatarbelakanginya
diketahui dari beberapa berikut ini :12
Pertama,
kebijakan
noliberal
selalu
mengagung-agungkan
perdagangan bebas tanpa batas, dengan alasan demi pengentasan kemiskinan dan
pertumbuhan ekonomi. Efek selanjutnya yang muncul ialah penghapusan segala
bentuk tariff dan bea impor. Hal ini berdampak berantai terhadap kondisi ekonomi
rakyat. Misal kemerosotan pendapatan produsen atau UMKM, kemandulan
pertanian lokal, dan instabilitas industri dalam negeri. Situasi ini mendorong
proses penyingkiran rakyat dari alat-alat produksi. Di sektor industri, produsen
kecil tersingkir dari lapangan produksi. Di sektor pertanian, peningkatan drastis
11 Adinugraha, “NEOLIBERALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM.”
12 Ibid.
8
jumlah petani tak bertanah. Kedua, pemerintah sangat ketergantungan terhadap
kapital asing. Oleh karena itu, pemerintah menghalalkan segala cara untuk
menarik investor asing untuk berinvestasi di dalam Negeri. Untuk menambah
penanaman modal asing, pemerintah membuat kebijakan atau regulasi yang
menyamankan dan memudahkan perusahaan MNC, misal pengurangan pajak
untuk perusahaan tersebut. Secara otomatis kebijakan ini berakibat pada
penurunan pendapatan negara dari sektor pajak. Sebagai imbasnya, pemerintah
akan membuat kebijakan untuk menaikkan pajak bagi pelaku usaha di dalam
negeri atau menciptakan berbagai jenis pajak yang diambil dari warga Negara
Indonesia. Hal ini semakin menambah ketimpangan pendapatan. Segi positif
dialami oleh perusahaan MNC yang mendapatkan keuntungan besar, sebaliknya
rakyat dipaksa untuk membayar pajak sebanyak-banyaknya kepada pemerintah.
Kebijakan lainnya yang memungkinkan untuk dilakukan adalah deregulasi pasar
tenaga kerja dengan upah yang sangat minimum, penerapan sistem outsourcing
dan kontrak. Ketiga, privatisasi atau swastanisasi terhadap BUMN. Dengan alasan
untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan pelayanan publik. Maka BUMN
banyak yang dijual kepada pihak swasta, termasuk penjualan badan-badan usaha
yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya perusahaan rumah sakit,
sekolah, listrik, air, tranportasi, pertambangan, dan perbankan. Pihak swasta
dianggap agen tunggal yang kompetibel dalam perekonomian dan diasumsikan
mampu bersaing dalam dunia global. Ketika perusahaan BUMN sudah berpindah
tangan pada swasta, akan menyebabkan kenaikan biaya (cost) atau ongkos,
dimana keuntungan atas kenaikan tersebut hanya dapat dinikmati oleh segelintir
orang saja (FSPI, 2003:3). Keempat, ketergantungan terhadap utang luar negeri.
Hal ini merupakan akibat dari lemahnya sektor-sektor produktif dalam negeri dan
berkurangnya penerimaan pendapatan negara dari sektor pajak. Sehingga
pemerintah memprioritaskan cicilan pengembalian utang melalui kebijakan
APBN, karena ketika utang tersebut dicicil dengan lancar dan on time akan
menambah trust investor asing. Sedangkan dampaknya di dalam negeri,
pemangkasan anggaran untuk belanja modal dan belanja sosial. Seperti kesehatan
dan pendidikan, serta penghapusan subsidi, misal subsidi pertanian,energi, dan
lain sebagainya. Kelima, membiarkan pasar yang berkuasa. Ini sama saja dengan
9
membebaskan aktivitas swasta untuk masuk kepada sektor layanan publik melalui
mekanisme pasar. Layanan publik, seperti kesehatan, air minum (bersih),
pendidikan, penyediaan rumah, dan lain sebagainya, diserahkan kepada
mekanisme pasar. Akhirnya, di mata dan fikiran rakyat layanan mendasar tersebut
menjadi komoditi mewah dan merekalah yang akan menanggung kenaikan harga
layanan tersebut, karena masyarakat diasumsikan sebagai konsumen sejati.
Menurut Revrisond Baswir (Peneliti Pusat Studi Ekonomi
Kerakyatan UGM), inti kebijakan ekonomi pasar neoliberal bertumpu kepada : (1)
pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas dan sempurna ;
(2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui dan (3)
pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari
penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang.
Dalam sistem ekonomi neoliberal tidak ada wilayah kehidupan yang tidak bisa
dijadikan komoditi dan barang jualan. Semangat neoliberalisme adalah melihat
seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Misalnya dengan sektor
sumber daya air, program liberalisasi sektor sumber daya air yang
implementasinya dikaitkan oleh Bank Dunia dengan skema watsal atau water
resources sector adjustment loan. Air dinilai sebagai barang ekonomis yang
pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang
ekonomis. 13
D. Konsep Keadilan Ekonomi Sosialisme
Sosialisme muncul sebagai antithesis dari kapitalisme.ia lahir
didorong oleh fenomena kemelaratan kaum buruh dan petani yang terkena
dampak revolusi industry yang telah menyebar ke seantero eropa, Sosialisme
mengajak umat manusia meninggalkan kepemilikan individu atas alat-alat
produksi.Ciri Utama sosialisme yaitu berada pada hilangnya kepemilikan individu
atas alat-alat produksi dan sangat mengandalkan peran pemerintah sebagai
pelaksana perekonomian dan meninggalkan pasar.14
13 “BAHAYA NEOLIBERALISME | Menggapai Ridha Allah,” accessed June 12, 2017,
https://amiur.wordpress.com/2010/10/20/bahaya-neoliberalisme/.
14 “Konsep Ekonomi Syariah Diantara Konsep Ekonomi Sosialis Dan Liberalis,”
Nonkshe, March 13, 2012, https://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/konsep-
10
Afsalur Rahman dalam Economic Doctrines of Islam juga
mengatakan, bahwa prinsip dasar ekonomi sosialis itu ada tiga antara lain:
(1) Pemilikan harta oleh negara; Seluruh bentuk dan sumber pendapatan menjadi
milik negara atau masyarakat keseluruhan. Hak individu untuk memiliki harta
atau memanfaat produksi tidak diperbolehkan. Dengan demikian individu secara
langsung tidak mempunyai hak pemilikan, (2) Kesamaan ekonomi; Sistem
ekonomi sosialis menyatakan (walaupun sulit ditemui di negara komunis) bahwa
hak-hak individu dalam suatu bidang ekonomi ditentukan oleh prinsip kesamaan.
Setiap individu disediakan kebutuhan hidup menurut keperluan masing-masing,
dan (3) Disiplin Politik; Untuk mencapai tujuan di atas, keseluruhan negara
diletakkan di bawah peraturan kaum buruh, yang mengambil alih semua aturan
produksi dan distribusi. Kebebasan ekonomi serta hak pemilikan harta dihapuskan
sama sekali. 15
Konsep keadilan Sosialisme pada dasarnya bersandar pada prinsip
Egalitarianisme radikal. Dengan dimotori tokoh Karl Marx yang menyatakan
negara adalah pemilik tunggal atas aset – aset dan kegiatan ekonomi, individu
dilarang mempunyai kepemilikan dan kebebasan untuk bertransaksi. Penentuan
konsumsi bagi masyarakat juga ditentukan oleh negara, selera dan pendapatan
ditentukan oleh pusat pemerintah (negara).
“Sosialisme Islam Menurut Sayyid Qutb”
Ada yang berpendapat Sosialisme juga pada dasarnya mempunyai
kesamaan dengan Islam dengan dimotivatori oleh pemikiran sosialisme Sayyid
Qutb. 16 Sosialisme merupakan salah satu ajaran yang menginginkan penghapusan
terjadinya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Ajaran ini mengelaborasikan
antar kehidupan mewah dengan kehidupan kelas bawah, sehingga melahirkan
keseimbangan hidup dalam sebuah tatanan masyarakat. Mengamati hal tersebut,
maka sistem sosial menganalisis tiga aspek penting, yaitu: pertama, hubungan
umum dari berbagai sistem; kedua, situasi normal atau situasi keseimbangan,
ekonomi-syariah-diantara-konsep-ekonomi-sosialis-dan-liberalis/.
15 Ibid.
16 Asnawiyah Asnawiyah, “KONSEP SOSIALISME ISLAM MENURUT SAYID QUTHB,”
Substantia 15, no. 1 (April 1, 2013),
http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/6.
11
sejajar dengan kondisi normal, dan ketiga, semua sistem melakukan reintegrasi
kepada sistem normal. Karena itu, sosialisme pada hakikatnya merupakan suatu
proses untuk mensejahterakan seluruh masyarakat, sehingga dapat menumbuhkan
dan mendorong perkembangan ekonomi secara merata. Oleh karena itu, Sayyid
Quthb menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya sosialisme adalah proses
memberikan kesejahteraan kepada rakyat dalam mencapai taraf kesejahteraan
yang abadi”.
Sayyid Quthb menjelaskan sebuah sistem yamg berbeda dengan
sistem yang disodorkan oleh Kristen dan Komunisme. Di mana Islam memandang
manusia sebagai satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan antara kebutuhan
rohani dan kebutuhan jasmaniahnya, antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan
materialnya. Di sini Islam memandang alam semesta dan kehidupan di dalamnya
dengan universal, tidak parsial dan terpisah-pisah. Sebuah analisis menyatakan
ada kesamaan karakter perjuangan Islam dan sosialis, yakni sama-sama
memperjuangkan "kaum tertindas". Yang perlu digaris bawahi antara Islam dan
Sosialisme adalah gambaran yang berbeda dalam lingkaran kehidupan umat
manusia baik dari sumber maupun nilai. Akan tetapi ada kesamaan spirit
keduanya dalam menegakkan keadilan dalam realitas sosial.
Sosialisme Sayyid Quthb berorientasi kepada ayat-ayat al-Qur’an
yang di dalamnya disebutkan konsep-konsep kehidupan sosial yang telah
digariskan Allah. Dan ini merupakan aturan kehidupan sosial yang berlandaskan
petunjuk Ilahi. Sebagai contoh, persoalan yang umumnya terjadi adalah
kemiskinan yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadi kesenjangan sosial
dan ekonomi antara kalangan kaya dengan miskin. Hal ini merupakan masalah
umum dihadapi oleh masyarakat dunia. Umat Islam merupakan bagian dari
penduduk dunia yang juga memiliki pandangan hidup sosialis.17
Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep sosialisme yang dimotori
pemikiran Marx dengan sosialisme dalam Islam mempunyai perbedaan dalam hal
sumber pijakannya dan memandang keadilan. Dimana sosialisme konvensional
lebih melandaskan pada materi semata, sedangkan sosialisme Islam berpijak pada
17 Asnawiyah, Konsep Sosialisme Islam Menurut Sayyid Qutb......
12
ayat – ayat Al Qur’an yang menanamkan nilai – nilai kebaikan, kemaslahatan dan
keadilan.
E. Konsep Keadilan Ekonomi Islam
Konsep kepemilikan dalam Islam tertuang dalam QS Al A’raf : 128
,” sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusakakan-Nya kepada siapa
yang dikehendaki-Nya dari hamba – hamba-Nya. Dan sesungguhnya yang baik
adalah bagi orang – orang yang bertakwa”. Dalam ayat lain Allah berfirman :
“Dan Sesungguhnya benar – benar Kami-lah yang menghidupkan dan
mematikan dan Kami Pulalah yang mewarisi,” (QS Al Hijr : 23 ).
18
Sehingga
setelah Allah menciptakan bumi, Allah tidak begitu saja tanpa menyediakan
fasilitas yang dibutuhkan manusia untuk menjaga eksistensinya dalam kehidupan,
19
fasilitas berupa oksigen, air, tumbuh-tumbuhan, sumber daya alam yang
lainnya, QS Qaaf : 7-11 Allah berfirman ,
“Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya
gunung – gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya
segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk
menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap – tiap hamba kembali
(mengingat Allah). Dan Kami turunkan dari langit, air yang
banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon –
pohon dan biji – biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma
yang tinggi – tinggi yang mempunyai mayang yang disusun –
susun, untuk menjadi rizki bagi hamba – hamba (Kami) dan Kami
hidupkan dengan air itu tanah yang mati ( kering ). Seperti itulah
terjadi kebangkitan”.
Atas dasar dalil di atas maka konsep kepemilikan oleh kaum
Libertianisme dimentahkan, bahwa semua dunia awalnya tidak dimiliki siapapun,
bahwa semua sumber didunia yang ada dapat dieksplorasi sebesar – besar untuk
kepentingan pribadi, semangat kompetisi yang tinggi tanpa batas. Islam dengan
18 RI Depag, Al Qur;an Dan Terjemahnya, Edisi Revisi 1989 (CV Toha Putra,
Semarang, 1989).
19 Al Mishri, Pilar - Pilar Ekonomi Islam, 24–25.
13
rujukan wahyu telah diatur bagaimana mensikapi dunia dan seluruh isinya hanya
untuk beribadah kepada-Nya.
Islam sebagai way of life bagi kehidupan manusia sehingga Islam
hadir sesuai dengan fitrah manusia, tidak menafikkan bahwa manusia juga
mempunyai
kecenderungan
untuk
memiliki
harta.
Kefitrahan
manusia
ditindaklanjuti dengan bekerja dengan kesungguhan, meningkatkan produktivitas
dan profesionalismenya untuk kesejahteraan dirinya dan orang lain. Konsep
kepemilikan dalam Islam tetap memperbolehkan bahwa tiap manusia berhak atas
tanah pribadi, warisan harta , hibah, jual beli. Konsep kepemilikan dalam Islam
ada terbagi menjadi dua: kepemilikan individu dan kepemilikan umum (publik).
Islam mengatur kepemilikan tersebut dikelola dengan proporsional sesuai
kebutuhan dan mengedepankan kemaslahatan ummat.
Prinsip Keadilan dalam produksi, Islam memandang bahwa sumber
daya alam adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara
universal, karenanya pemakaia sumber daya alam , dan faktor – faktor produksi
yang terlibat mempunyai hak dan kewajiban yang proporsional. Pada dasarnya
sumber alam didunia ini banyak dan luas, akan tetapi yang menjadi ketidak
seimbangan dan kelangkaan adalah pada kerakusan manusia itu sendiri.
Produksi adalah manifestasi manusia bekerja. Islam mewajibkan
setiap manusia bekerja untuk mencari harta yang halal. Dalam proses produksi
darimana sumber daya diperoleh, bagaimana mengelola dan mengolahnya serta
untuk siapa dan bagaimana mengkonsumsi dan mendistribusikan secara adil
kepada segenap masyarakatnya. Menggunakan sumber daya alam serta faktor
produksi harus dalam kerangka keadilan, keseimbangan alam sebagai bentuk
eksplorasi manusia terhadap alam harus diperhatikan sehingga tidak terjadi
bencana, pengupahan buruh dan tenaga kerja harus proporsional sesuai haknya,
mencari modal harus dilandaskan kehalalan tidak merugikan pihak lain.
Kahf dalam tema Teori Produksinya menyatakan bahwa produksi
bisa ditilik dari dua aspek, kajian positif hukum – hukum benda dan hukum –
hukum ekonomi yang menentukan fungsi produksi, dan kajian normatif yang
membahas dorongan – dorongan dan tujuan – tujuan produksi.
20
Selanjutnya
20 Monzer Kahf, Ekonomi Islam ( Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem
Ekonomi Islam ), cetakan 1 (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995), 33.
14
dipaparkan bahwa motif – motif produksi ditujukan agar tidak terjadi kemalasan
dan ketidakseunggugan dalam perikehidupan ummat manusia itu sendiri.
Konsumsi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari konsep
produksi. Dalam ilmu ekonomi, konsumsi adalah permintaan (demand)
sedangkan produksi adalah penawaran (supply). Konsumsi adalah tahapan akhir
dan terpenting dalam produksi kekayaan. Kekayaan diproduksi untuk dikonsumsi.
21
Manusia dengan segala fitrahnya tentu mempunyai kebutuhan serta
keinginan yang berbeda – beda dalam berkonsumsi. Namun Islam mengatur
bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia itu tidaklah banyak hanya terkadang
keinginan – keinginan yang berlebih diluar batas kebutuhannyalah yang membuat
pola konsumsi manusia menjadi tidak terbatas. Ketidak terbatasan konsumsi
manusia itu pun mempengaruhi pola produksi manusia untuk merampas segala
kekayaan alam dn sumbernya hanya untuk memenuhi dunia yang tidak terbatas.
Polanya tidak lagi menjadikan konsumsi adalah bagian dari ibadah akan lebih
karena gaya hidup (prestige) semata.
Membahas konsumsi dalam Islam tidak terlepas dari konsep harta.
Bagaimana seharusnya manusia memandang harta dalam kacamata Islam. Harta
yang melimpah yang dimiliki sebagian orang atau manusia adalah dipandang
sebagai anugrah dari Allah, bukans semata – mata kepemilikan dan konsumsi
pribadi yang mana orang lain tidak punya hak atasnya. Agar terjadi keseimbangan
dalam hidup berekonomi Islam telah mengatur dengan konsep Zakat, Infaq dan
shadaqah serta qurban.
Di dalam masyarakat Islam tidak memungkiri adanya strata dalam
kepemilikan harta, masyarakat miskin dalam masyarakat muslim saat ini pun
dapat dikatakan menempati peringkat tinggi dalam lingkup dunia. Islam
menekankan adanya pemberantasan kemiskinan, pemberantasan kesenjangan
antara kaya dan miskin, sehingga konsep zakat, infaq dan shadaqoh serta Qurban
adalah konsep mulia yang telah Allah tetapkan untuk menjaga keseimbangan
sosial ummat manusia di dunia. Kemiskinan adalah persoalan utama di dalam
semua sistem ekonomi baik Sosialisme , welfare state, neoliberalisme. Tapi Islam
21 Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice.”
15
datang memberi sistem keadilan sosial dengan jalan membagikan harta lewat jalur
zakat, infaq dan shadaqoh serta Qurban. Kemiskinan harus diberantas karena
kefakiran (kemiskinan) lebih dekat dengan kekufuran (pengingkaran) terhadap
Islam.
Demikian Islam memandang bahwa konsep konsumsi harus
ditujukan semata – mata untuk kemaslahatan, untuk tujuan tidak hanya dunia tapi
juga
akhirat.
Islam
mempunyai
etika
tentang
konsumsi,
Islam
tidak
memperkenankan berlebih – lebihan dalam konsumsi (isrof atau pemborosan)
dan juga tidak mempergunakan harta dengan cara yang salah atau Tabzir. Tabzir
disini bisa dalam bentuk untuk tujuan – tujuan yang terlarang yaitu seperti
penyuapan, korupsi dan segala macam bentuknya.
Konsep Wakaf, Infaq dan shadaqoh serta qurban pada dasarnya
melahirkan konsep baru yang perlu banyak dikaji dalam bab khusus selanjutnya,
dimana konsep kesejahteraan Islam menjadi wadahnya. Kemiskinan mempunyai
porsi cara dan penanganan khusus terutama dalam manajemennya. Seperti yang
ditulis oleh Zakiyah dalam artikelnya bahwa kemiskinan memerlukan strategi
khusus dalam penanganannya. 22
Untuk memahami konsep kesejahteraan dalam Islam, penting
untuk mempelajari sifat manusia seperti yang Azmi (1991) sebutkan dalam
artikelnya. Manusia, dalam hal ini, digambarkan sebagai bukan hanya materi
tetapi juga makhluk spiritual yang mengacu pada wahyu Ilahi. Dengan demikian,
kesejahteraan individu terdiri dari dua hal yaitu: (1) implementasi nilai spiritual
syariah yang lebih lengkap dalam kehidupan sehari-hari, (2) pencapaian yang
cukup dari semua kebutuhan bahan dasar kehidupan.
22 Zakiyah Zakiyah, “Islamic Welfare System Dealing with the Poor in Rural
Area,” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 1, no. 1 (June 1, 2011):
37–67.
16
F. Kesimpulan
Berdasar uraian di atas tentang analisis perbandingan konsep
keadilan Neoliberalisme, Sosialisme dan Islam adalah sebagai berikut :
1. Ketidakadilan adalah persoalan universal yang dialami oleh segala sistem
ekonomi yang telah ada di seluruh dunia.
2. Konsep keadilan masing – masing sistem pada dasarnya mempunyai
persamaan tujuan cita – cita dan pandangan untuk menegakkan keadilan, akan
tetapi dalam pelaksanaannya mempunyai perbedaan mendasar dalam
menentukan makna dan definisi tentang keadilan. Dikarenakan landasan teori
berpijak yang berbeda – beda.
3. Teori – teori keadilan kontemporer yang menjadi landasan sistem – sistem
ekonomi kontemmporer antara lain , : Prinsip Egalitarianisme Radikal,
PrinsipPerbedaan,
Prinsip
Berbasis
sumber
daya,
Prinsip
berbasis
kesejahteraan, Prinsip berbasis balasan, dan prinsip Libertarianisme.
4. Aspek – aspek keadilan dalam semua sistem ekonomi antara lain : konsep
keadilan kepemilikan, Konsep keadilan produksi, konsep keadilan konsumsi
dan distribusi.
5. Islam adalah agama yang menawarkan konsep menyeluruh dalam berbagai
aspek untuk menjadi problem solving atas terjadinya ketidakadilan yang
ditimbulkan dari konsep – konsep sistem kontemporer yang telah gagal
mencapai keadilan.
6. Zakat, Infaq, Shadaqah dan qurban merupakan bentuk sistem kesejahteraan
Islam yang ditawarkan untuk mengatasi kesenjangan atau ketidakadilan dalam
ekonomi.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Ma’ruf. “Perbedaan Paradigma Ekonomi Konvensional Dan Ekonomi
Islam Dalam Teori Dan Realita (Perspektif Mikro).” At-Taradhi: Jurnal Studi
Ekonomi, June 9, 2016. http://idr.iain-antasari.ac.id/5008/.
Adinugraha, Hendri Hermawan. “NEOLIBERALISME DALAM PERSPEKTIF
ISLAM.” MEDIA 19, no. 2 (2015).
http://dinus.ac.id/wbsc/assets/dokumen/majalah/3._Hendri_Hermawan1_.pdf.
Ahida, Ridha. “Liberalisme Dan Komunitarianisme: Konsep Tentang Individu Dan
Komunitas.” Jurnal Demokrasi 4, no. 2 (October 1, 2005).
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/view/1063.
Al Mishri, Abdul Sami’. Pilar - pilar Ekonomi Islam. Cetakan 1. Pustaka Pelajar,
2006.
Asnawiyah, Asnawiyah. “KONSEP SOSIALISME ISLAM MENURUT SAYID
QUTHB.” Substantia 15, no. 1 (April 1, 2013).
http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/6.
“BAHAYA NEOLIBERALISME | Menggapai Ridha Allah.” Accessed June 12,
2017. https://amiur.wordpress.com/2010/10/20/bahaya-neoliberalisme/.
Baidhawy, Zakiyuddin. “Distributive Principles of Economic Justice: An Islamic
Perspective.” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 2, no. 2
(December 1, 2012): 241–66. doi:10.18326/ijims.v2i2.241-266.
Depag, RI. Al Qur;an Dan Terjemahnya. Edisi Revisi 1989. CV Toha Putra,
Semarang, 1989.
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam ( Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi
Islam ). Cetakan 1. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.
“Konsep Ekonomi Syariah Diantara Konsep Ekonomi Sosialis Dan Liberalis.”
Nonkshe, March 13, 2012.
https://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/konsep-ekonomi-syariahdiantara-konsep-ekonomi-sosialis-dan-liberalis/.
Zakiyah, Zakiyah. “Islamic Welfare System Dealing with the Poor in Rural Area.”
Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 1, no. 1 (June 1, 2011):
37–67.
18