HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA TERHADAP HUK

HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA TERHADAP
HUKUM NASIONAL INDONESIA
Oleh: Yusril Ihza Mahendra
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Fakultas Syari’ah
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang telah memberikan kesempatan kepada
saya untuk ikut berpartisipasi dalam seminar tentang Hukum Islam di Asia Tenggara yang
diselenggarakan mulai hari ini. Saya tidak dapat mengatakan bahwa saya adalah ahli di
bidang Hukum Islam, mengingat fokus kajian akademis saya adalah hukum tatanegara.
Namun mengingat topik seminar ini adalah transformasi syariat Islam ke dalam hukum
nasional, maka titik singgungnya dengan hukum tata negara, sejarah hukum, sosiologi hukum
dan filsafat hukum kiranya jelas keterkaitannya. Bidang-bidang terakhir ini juga menjadi
minat kajian akademis saya selama ini. Sebab itulah, saya memberanikan diri untuk ikut
berpartisipasi dalam seminar ini, dengan harapan, sayapun akan dapat belajar dari para
pemakalah yang lain dan para peserta seminar ini. Saya bukan pura-pura tawaddhu’, karena
saya yakin sayapun dapat berguru menimba ilmu dengan mereka.
Akar Historis dan Sosiologis Hukum Islam
Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya,
bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di
tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat
dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan koran, untuk

dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum Islam. Ada ulama
yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai
hukum Islam yang membahas berbagai masalah. Organisasi-organisasi Islam juga
menerbitkan buku-buku himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum
Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin
mempunyai Himpunan Putusan Tarjih. Buku Ustadz Hassan dari Persis, Soal Jawab, dibaca
orang sampai ke negara-negara tetangga.
Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek
hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni
Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi,
anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari
ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka
jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi
besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh
individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik
dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam
kehidupan masyarakat itu.
Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa
lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya,
nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan


penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak
peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di
Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton,
Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten
dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang
begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan
atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam— setidak-tidaknya di bidang hukum
keluarga dan hukum perdata — sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan
juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya
kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.
Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat
sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu tidak dapat kekuasaan politik
formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia
pada abad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat,
karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda. Masyarakat yang menetap di
sekitar Batavia adalah para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam
bahasa, budaya dan hukum adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas
“orang-orang Moors” yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina
Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.

Berbagai suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa
kemudian.Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama mereka,
mereka memilih menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak
Melayu daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan
mengangkat orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk
menangani berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum
Adat yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar diterapkan di
Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka memilih hukum Islam yang
dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru.
Pada awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota Batavia yang
berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini. Menyadari
bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah
tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium Freijer
yang terkenal itu. Saya masih menyimpan buku antik Compendium Freijer itu yang ditulis
dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu tulisan Arab, diterbitkan di Batavia tahun 1740.
Kompilasi ini tenyata, bukan hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum
perdata lainnya, yang diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung
berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di
masa itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu
menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan perkaraperkara di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa.

Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu
melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian
pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur
kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan
Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu
Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di

kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan
pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang
menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang
hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah
hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan
hukum Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai
harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung
hukum itu.
Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan
Minangkabau. Benturan ituterjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju
harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa
hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan
hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara

damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan
studi tentang hukum rakyat pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur
hasil kajian empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai
menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk pula
falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya.
Hasil telaah akademis ini sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik kolonial, ketika
Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di suatu daerah
jajahan, atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat
ini tidak terlepas pula dari politik devide et impera kolonial. Hukum Adat akan membuat
suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum Islam akan menyatukan mereka dalam satu
ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam.
Dari sini lahirlah ketentuan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang tegas-tegas
menyebutkan bahwa bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum, yakni
Hukum Belanda untuk orang Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Tmur Asing -–
terutama Cina dan India — sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat
suku mereka masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang dikhususkan
bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.
Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima
oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam.
Inilah teori resepsi yang disebut Professor Hazairin sebagai “teori iblis” itu. Belakangan teori

ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di
Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya
tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita
merdeka. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial
Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar
di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti disepakati dalam
Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus
1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat mengenai
Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante maupun sidang MPR di era
Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk
mempertegas posisi hukum di dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah
mencapai dukungan mayoritas.

Patut kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus
1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya adalah “penerus” dari Hindia
Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa
lalu. Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa “segala badan
negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru

menurut undang-undang dasar ini”. Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang
ada dan masih langsung berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia
Belanda. Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan
pula meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa terakhir negeri kita
sebelum kita membentuk negara Republik Indonesia.
Setelah kita merdeka, tentu terdapat keinginan yang kuat dari para penyelenggara negara
untuk membangun hukum sendiri yang bersifat nasional, untuk memenuhi kebutuhan hukum
negara yang baru. Keinginan itu berjalan seiring dengan tumbuhnya berbagai kekuatan politik
di negara kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga negara, serta struktur pemerintahan
di daerah. Pembangunan hukum di bidang tatanegara dan administrasi negara tumbuh pesat.
Namun kita harus mengakui pembangunan hukum di bidang hukum pidana dan perdata,
termasuk hukum ekonomi berjalan sangat lamban. Baru di era Pemerintahan Orde Baru, kita
menyaksikan proses pembangunan norma-norma hukum di bidang iniberjalan relatif cepat
untuk mendukung pembangunan ekonomi kita.
Keadaan ini berjalan lebih cepat lagi, ketika kita memasuki era Reformasi. Ketika UUD 1945
telah diamandeman, kekuasaan membentuk undang-undang yang semula ada di tangan
Presiden dengan persetujuan DPR diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak lagi
norma-norma hukum baru yang dilahirkan. Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata
peninggalan Belanda telah begitu banyak diubah dengan berbagai peraturan perundangundangan nasional, apalagi ketentuan-ketentuan di bidang hukum dagang dan kepailitan,
yang kini dikategorikan sebagai hukum ekonomi. Namun Wetboek van Sraftrechts atau KUH

Pidana masih tetap berlaku. Tetapi berbagai norma hukum baru yang dikategorikan sebagai
tindak pidana khusus telah dilahirkan, sejalan dengan pertumbuhan lembaga-lembaga
penegakan hukum, dan upaya untuk memberantas berbagai jenis kejahatan. Kita misalnya
memiliki UU Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika, Terorisme dan sebagainya.
Kebijakan Pembangunan Hukum
Setelah kita merdeka, kita telah memiliki undang-undang dasar, yang kini, oleh UndangUndang RI Nomor 10 Tahun 2004, diletakkan dalam hirarki tertinggiperaturan perundangundangan kita. Setelah MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan ketetapan, maka semua
undang-undang harus mengacu langsung kepada undang-undang dasar.Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk melakukan uji materil terhadap undang-undang dasar. Kalau mahkamah
berpendapat bahwa materi pengaturan di dalam undang-undang bertentangan dengan pasalpasal tertentu di dalam undang-undang dasar, maka undang-undang itu dapat dibatalkan dan
dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun seluruhnya.
Dilihat dari sudut teori ilmu hukum, undang-undang dasar adalah sumber hukum. Artinya
undang-undang dasar itu adalah sumber dalam kita menggali hukum dalam merumuskan
kaidah-kaidah hukum positif, dalam hal ini undang-undang. Sudah barangtentu undangundang dasar semata, tidaklah selalu dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam
merumuskan norma hukukm positif, mengingat sifat terbatas dari pengaturan di dalam
undang-undang dasar itu sendiri. Undang-undang dasar adalah hukum dasar yang tertulis,

yang pada umumnya memuat aturan-aturan dasar dalam penyelenggaran negara, kehidupan
sosial dan ekonomi, termasuk jaminan hak-hak asasi manusia dan hak asasi warganegara. Di
samping undang-undang dasar terdapat hukum dasar yang tidak tertulis, yakni berbagai
konvensi yang tumbuh dan terpelihara di dalam praktik penyelenggaraan negara. Dalam

merumuskan kaidah-kaidah hukum positif di bidang hukum tatanegara dan administrasi
negara khususnya, bukan hanya hukum dasar yang tertulis yang dijadikan rujukan, tetapi juga
hukum dasar yang tidak tertulis itu.
Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif lainnya, para perumus kaidah-kaidah
hukum positif harus pula merujuk pada faktor-faktor filosofis bernegara kita, jiwa dan
semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, kesadaran hukum masyarakat,
dan kaidah-kaidah hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Sebab itulah, dalam merumuskan kaidah hukum postif,kita tidak boleh bertindak
sembarangan, oleh karena jika kaidah-kaidah yang kita rumuskan itu bertentangan dengan
apa yang saya sebutkan ini, maka kaidah hukum yang kita rumuskan itu sukar untuk
dilaksanakan di dalam praktik. Unsur-unsur filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat
bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, dapat kita simak di dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Tentu kita dapat menguraikan dan
menafsirkan rumusan-rumusan itu dari sudut filsafat hukum, walau tentu di kalangan para
ahli akan terdapat perbedaan-perbedaan penekanan dan pandangan.
Syariat, Fikih dan Qanun
Dari uraian-uraian di atas, timbullan pertanyaan, di manakah letak atau posisi hukum Islam
yang saya maksudkan, dalam hukum nasional kita? Sebelum menguraikan lebihlanjut
jawaban atas pertanyaan ini, saya harus menguraikan lebih dulu, apakah yang dimaksud
dengan “hukum Islam” itu dalam perspektif teoritis ilmu hukum.Kalau kita membicarakan

hukum Islam,kita harus membedakannya antara syariat Islam, fikih Islam dan qanun.
Mengenai syariat Islam itu sendiri, ada perbedaan pandangan di kalangan para ahli. Ibnu
Taymiyyah misalnya berpendapat bahwa keseluruhan ajaran Islam yang dijumpai di dalam
al-Qur’an dan al-Hadith itu adalah syariat Islam. Namun untuk kepentingan studi ilmu
hukum pengertian yang sangat luas seperti diberikan Ibnu Taymiyyah itu tidak banyak
membantu.
Ada baiknya jika kita membatasi syariat Islam itu hanya kepada ayat-ayat al-Qur’an dan
hadith-hadith yang secara ekspilisit mengandung kaidah hukum di dalamnya. Kita juga harus
membedakannya dengan kaidah-kaidah moral sebagai norma-norma fundamental, dan
kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sopan santun. Dengan pembatasan seperti ini, maka
dengan merujuk kepada pendapat Abdul Wahhab al-Khallaf, maka kaidah-kaidah hukum
dalam syariah itu — baik di bidang peribadatan maupun di bidang mu’amalah — tidaklah
banyak jumlahnya. Al-Khallaf menyebutkan ada 228 ayat al-Qur’an yang dapat dikategorikan
mengandung kaidah-kaidah hukum di bidang mu’amalah tadi, atau sekitar 3 persen dari
keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an.Rumusan kaidah-kaidah hukum di dalam ayat-ayat itu pada
umumnya masih bersifat umum. Dengan demikian, belum dapat dipraktikkan secara
langsung, apalagi harus dianggap sebagai kaidah hukum positif yang harus dijalankan di
sebuah negara. Bidang hukum yang diatur secara rinci di dalam ayat-ayat hukum
sesungguhnya hanya terbatas di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
Bidang-bidang hukum yang lain seperti hukum ekonomi, pidana, diberikan asas-asasnya saja.

Khsus dibidang pidana, ada dirmuskan berbagai delik kejahatan dan jenis-jenis sanksinya,

yang dikategorikan sebagai hudud dan ta’zir. Kalau kita menelaah hadith-hadith Rasulullah,
secara umum kitapun dapat mengatakan bahwa hadith-hadith hukum jumlahnya juga tidak
terlalu banyak. Dalam sejarah perkembangannya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith
syar’ah telah mengalami pembahasan dan perumusan yang luar biasa. Pembahasan itulah
yang melahirkan fikih Islam. Saya kira fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat dan
para ulama di kemudian hari, sejauh menyangkut masalah hukum, dapat pula dikategorikan
ke dalam fikih Islam. Sepanjang sejarahnya pula, norma-norma syar’ah telah diangkat
menjadi kaidah hukum positif di kekhalifahan, kesultanan atau kerajaan Islam di masa lalu.
Dari sinilah lahir kodifikasi hukum Islam, yang dikenal dengan istilah Qanun itu.
Pembahasan dalam fikih Islam telah melahirkan karya-karya ilmiah di bidang hukum yang
amat luar biasa. Para ahli hukum Islam juga membahas filsafat hukum untuk memahami
pesan-pesan tersirat al-Qur’an dan hadith, maupun di dalam merumuskan asas-asas dan
tujuan dirumuskannnya suatu kaidah. Fikih Islam telah melahirkan aliran-aliran atau mazhabmazhab hukum, yang mencerminkan landasan berpikir, perkembangan sosial masyarakat di
suatu zaman, dan kondisi politik yang sedang berlaku. Fikih Islam juga mengadopsi adat
kebiasaan yang berlaku di suatu daerah. Para fuqaha kadang-kadang juga mengadopsi hukum
Romawi. Menelaah fikih Islam dengan seksama akan mengantarkan kita kepada kesimpulan,
betapa dinamisnya para ilmuwan hukum Islam dalam menghadapi perkembangan zaman.
Walau, tentunya ada zaman keemasan, ada pula zaman kemunduran.
Patut kita sadari Islam masuk ke wilayah Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya, dan
kemudian membentuk masyarakat poltis pada penghujung abad ke 13, ketika pusat-pusat
kekuasaan Islam di Timur Tengah dan Eropa telah mengalami kemunduran. Ulama-ulama
kita di zaman itu nampaknya belum dibekali kemampuan intelektual yang canggih untuk
membahas fikih Islam dalam konetks masyarakat Asia Tenggara, sehingga kitab-kitab fikih
yang ditulis pada umumnya adalah ringkasan dari kitab-kitab fikih di zaman keemasan Islam,
dan ketika mazhab-mazhab hukum telah terbentuk. Namun demikian, upaya intelektual
merumuskan Qanun tetap berjalan. Di Melaka, misalnya mereka menyusun Qanun Laut
Kesultanan Melaka. Isinya menurut hemat saya, sangatlah canggih untuk ukuran zamannya,
mengingat Melaka adalah negara yang bertanggungjawab atas keamanan selat yang sangat
strategis itu. Qanun Laut Kesultanan Melaka itu mengilhami qanun-qanun serupa di kerajaankerajaan Islam Nusantara yang lain, seperti di Kesultanan Bima.
Keberlakuan Hukum Islam
Dengan uaraian-uraian di atas itu, saya ingin mengatakan bahwa hukum Islam di Indonesia,
sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh
umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu?Kalau kita melihat
kepada hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa
perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk
peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan
solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa
solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara
tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu
menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa
dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat
memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan
itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan
pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.

Ambillah contoh di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan
kesempatan kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan solat Jum’at misalnya. Begitu
juga di bidang haji dan zakat, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang
mengatur penyelenggaraan jemaah haji, administrasi zakat dan seterusnya. Pengaturan seperti
ini, berkaitan erat dengan fungsi negara yang harus memberikan pelayanan kepada rakyatnya.
Pengaturan seperti itu terkait pula dengan falsafah bernegara kita, yang menolak asas
“pemisahan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan” yang dikonstatir ole Professor
Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa menyusun rancangan
undang-undang dasar negara merdeka.
Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan
kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk,
sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan
termasuk bidang hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu
masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara
langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan
menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna,
keabsahan perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum
Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC
telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi
Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.
Setahun yang lalu, Pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang
Hukum Terapan Pengadilan Agama. RUU ini merupakan upaya untuk mentransformasikan
kaidah-kaidah hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi hukum
positif. Cakupannya adalah bidang-bidang hukum yang menjadi kewenangan dari Peradilan
Agama. Tentu saja subyek hukum dari hukum positif ini nantinya berlaku khusus bagi
warganegara yang beragama Islam, atau yang secara sukarela menundukkan diri kepada
hukum Islam. Presiden dan DPR juga telah mensahkan Undang-Undang tentang Wakaf, yang
mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islamke dalam hukum positif. Berbagai undangundang yang terkait dengan hukum bisnis juga telah memberikan tempat yang sewajarnya
bagi kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan perbankan dan asuransi.
Syariat Islam sebagai Sumber Hukum
Suatu hal yang agak “krusial” sehubungan dengan syariat Islam dalam kaitannya dengan
hukum positif ialah kaidah-kaidahnya di bidang hukum pidana dan hukum publik lainnya.
Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam sayariat itu dapat dibedakan ke dalam hudud dan
ta’zir. Hudud adalah kaidah pidana yang secara jelas menunjukkan perbuatan hukumnya
(delik) dan sekaligus sanksinya. Sementara ta’zir hanya merumuskan delik, tetapi tidak
secara tegas merumuskan sanksinya. Kalau kita membicarakan kaidah-kaidah di bidang
hukum pidana ini, banyak sekali kesalahpahamannya, karena orang cenderung untuk melihat
kepada sanksinya, dan bukan kepada perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain
hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk perzinahan,
hukum buang negeri untuk pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan yang sah dan
seterusnya. Kalau kita melihat kepada perumusan deliknya, maka delik hudud pada umumnya
mengandung kesamaan dengan keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental
dan Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksi memang ada perbedaannya.

Sudah barangtentu kaidah-kaidah syariat di bidang hukum pidana, hanya mengatur prinsipprinsip umum, dan masih memerlukan pembahasan di dalam fikih, apalagi jika ingin
transformasi ke dalam kaidah hukum positif sebagai hukum materil. Delik pembunuhan
misalnya, bukanlah delik yang sederhana. Ada berbagai jenis pembunuhan, antara lain
pembunuhan berencana, pembunuhan salah sasaran,pembunuhan karena
kelalaian,pembunuhan sebagai reaksi atas suatu serangan, dan sebagainya. Contoh-contoh ini
hanya ingin menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana di dalam
syariat belum dapat dilaksanakan secara langsung, tanpa suatu telaah mendalam untuk
melaksanakannya.
Problema lain yang juga dapat mengemuka ialah jenis-jenis pemidanaan (sanksi) di dalam
pidana hudud. Pidana penjara jelas tidak dikenal di dalam hudud, walaupun kisah tentang
penjara disebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf. Pidana mati dapat diterima oleh masyarakat
kita, walau akhir-akhir ini ada yang memperdebatkannya. Namun pidana rajam, sebagian
besar masyarakat belum menerimanya, kendatipun secara tegas disebutkan di dalam hudud.
Memang menjadi bahan perdebatan akademis dalam sejarah hukum Islam, apakah jenis-jenis
pemidanaan itu harus diikuti huruf demi huruf, ataukah harus mempertimbangkan hukuman
yang sesuai dengan penerimaan masyarakat di suatu tempat dan suatu zaman. Kelompok
literalis dalam masyarakat Muslim, tentu mengatakan tidak ada kompromi dalam
melaksanakan nash syar’iat yang tegas. Sementara kelompok moderat, melihatnya paling
tinggi sebagai bentuk ancaman hukuman maksimal (ultimum remidium), yang tidak selalu
harus dijalankan di dalam praktik. Masing-masing kelompok tentu mempunyai argumentasi
masing-masing, yang tidak akan diuraikan dalam makalah ini.
Pada waktu tim yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak era Ismail Saleh, diberi tugas
untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, tim perumus
nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagai sumber
hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum pidana yang bersifat nasional. Karena itu,
tidak mengherankan jika ada delik pidana adat — seperti orang yang secara terbuka
menyatakan dirinya memiliki kemampuan melakukan santet untuk membunuh orang lain —
yang sebelumnya tidak ada di dalam KUHP warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf
KUHP Nasional. Demikian pula rumusan pidana perzinahan, nampaknya mengambil
rumusan hukum Islam, walaupun tidak dalam pemidanaannya. Dalam draf KUHP Nasional,
perzinahan diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah.
Sementara KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi oleh hukum
Kanonik Gereja Katolik, yang merumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar
nikah, tetapi dilakukan oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan
dengan orang lain. Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di
luar nikah antara dua orang yang tidak terikat perkawinan— misalnya pasangan kumpul kebo
— bukanlahlah perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP Belanda ini nampak tidak
sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Mereka mengambil rumusan
perzinahan dari hukum Islam, tetapi pemidanaanya mengambil jenis pemidaan dari eks
hukum Belanda, yakni pidana penjara.
Dari uraian saya yang panjang lebar di atas, terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam,
hukum Islam maupun fikih Islam, adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka dalam hal hukum
keluarga dan kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang
berlaku. Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang mempunyai hukum

sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu yang berlaku. Terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan hukum perdata lainnya, seperti hukum perbankan dan asuransi, negara
dapat pula mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di bidang itu dan menjadikannya
sebagai bagian dari hukum nasional kita. Sementara dalam hal hukum publik, yang syariat
Islam itu sendiri hanya memberikan aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka
biarkanlah ia menjadi sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional.
Di negara kita, bukan saja hukum Islam – dalam pengertian syariat – yang dijadikan sebagai
sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan
asas keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi kita juga menjadikan berbagai konvensi
internasional sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukum
poistif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukum nasional kita, tanpa menyebut
lagi sumber hukumnya. Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan
sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan
kaidah hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan
pada mereka, selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan
sebagai sumber hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa
negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan
menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi
sampai sekarang saya juga belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia
sudah menjadi negara Adat.
Di manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama dalam
merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konsititusi India tegastegas menyatakan bahwa India adalah negara sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum
Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah
pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum Perkawinan
Pilipina, juga melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh dari agama
Katolik yang begitu besar pengaruhnya di negara itu. Sekali lagi saya ingin mengatakan
bahwa mengingat hukum Islam itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia,
maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan
dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini.
Jika sebaliknya, maka negara kita akan menjadi negara otoriter yang memaksakan
kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.
Demikianlah uraian saya. Semoga ada manfaatnya bagi kita semua.
Akhirnya hanya kepada Allah jua, saya mengembalikan segala persoalan.
Wallahu’alam bissawwab.
Sumber : http://yusril.ihzamahendra.com
http://www.scribd.com/doc/839957/HUKUM-ISLAM-DAN-PENGARUHNYATERHADAP-HUKUM-NASIONAL-INDONESIA
https://saripedia.wordpress.com/2010/08/01/hukum-islam-dan-pengaruhnyaterhadap-hukum-nasional-indonesia/

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

PENGARUH GLOBAL WAR ON TERRORISM TERHADAP KEBIJAKAN INDONESIA DALAM MEMBERANTAS TERORISME

57 269 37

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENGARUH DIMENSI KUALITAS LAYANAN TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN DI CAFE MADAM WANG SECRET GARDEN MALANG

18 115 26