Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban (Prostitusi) Eksploitasi Seksual Komersil

12

BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang
Remaja merupakan periode kehidupan yang unik, karena saat itu terjadi
perubahan yang amat kompleks, diantaranya perubahan fisik, emosional, kognitif,
perubahan pertumbuhan dan perkembangan sosial yang menjembatani antara
masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Santrock, 2007).
Secara umum, periode remaja merupakan klimaks dari periode-periode
perkembangan sebelumnya, sehingga dalam periode selanjutnya individu telah
menpunyai suatu pola pribadi yang lebih baik. Masalah-masalah sehubungan
dengan perkembangan fisik pada periode pubertas masih terus berlanjut, tetapi
pada akhirnya mereda saat individu memasuki masa dewasa. Bagi sebagian besar
orang, memasuki usia remaja tidaklah mudah. Hall (dalam Santrock, 2007),
menyebutkan bahwa masa remaja adalah masa storm and stress, karena pada
masa ini muncul gejolak emosi yang penuh dengan ketidakseimbangan.
Remaja juga mulai mengalami kematangan fisik yang ditandai dengan
mulai matangnyanya organ-organ seksual, dalam arti organ-organ seksualnya
sudah dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengembangkan keturunan. Pada remaja
putri ditandai dengan menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pria

ditandai dengan mimpi basah (Santrock, 2007).

Universitas Sumatera Utara

13

Matangnya organ-organ seksual pada remaja akan mengakibatkan
munculnya dorongan-dorongan seksual (Santrock, 2007). Problem tentang seksual
pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan
seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh
dilakukan, adanya "ketidaknormalan" yang dialaminya berkaitan dengan organorgan reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi
(Hurlock, 1980).
Dalam masa ini juga, remaja mulai mengalami ketertarikan terhadap lawan
jenis disertai dorongan seksual, hal yang sifatnya kodrati dialami oleh remaja.
Remaja pun mulai ingin berkenalan, bergaul dengan teman-temannya dari jenis
kelamin lain, dan mengenal pacaran (Santrock, 2007). Dalam kondisi demikian,
remaja merupakan sosok yang mudah untuk terjerumus kedalam situasi yang
kurang menguntungkan bagi remaja sendiri. Salah satunya adalah ketika remaja
terjebak dunia seks bebas dan kemudian menjadi korban eksploitasi seksual
komersil dan terjebak kedalam dunia prostitusi (Santrock, 2007).

Dewasa ini salah satu isu yang mencemaskan dan sepakat untuk segera
ditangani adalah perdagangan perempuan dan anak sektor ekploitasi seksual
komersil (ECPAT, 2006). Remaja di Indonesia, ternyata menjadi makanan empuk
bagi sebagian “pemangsa-pemangsa” remaja khususnya remaja putri. Mereka
diperjualbelikan atau malah dijadikan pelacur oleh orang-orang yang ingin
meraup keuntungan dari penderitaan mereka (Suyanto, 2010).

Universitas Sumatera Utara

14

ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010) mengatakan remaja yang menjadi
korbannya sesungguhnya membutuhkan perhatian serius karena memiliki dampak
yang sangat merugikan dan membahayakan kelangsungan serta masa depan
korban eksploitasi seksual itu sendiri. Remaja yang menjadi korban eksploitasi
seksual bukan saja rentan terhadap hinaan, penipuan dan marginalisasi, tetapi juga
banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak untuk memperoleh
pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya untuk
berkembang secara sehat.
Fenomena eksploitasi seksual komersil tersebut tidak hanya menimpa

remaja dengan ekonomi rendah, namun juga banyak dialami oleh remaja yang
berstatus sosial tinggi (Suyanto, 2010). Dalam masyarakat luas istilah eksploitasi
seksual mungkin belum banyak didengar atau malah belum dipahami dengan
baik, walaupun sebenarnya kasus-kasus yang terkait dengan masalah tersebut
sudah banyak ditemui baik lewat media cetak ataupun media elektronik, berikut
ini adalah salah satu kasus eskploitasi seksual komersil yang dimuat dimedia
cetak.
“Pada bulan Juni 2008, Mawar, seorang gadis usia 15 tahun asal Lampung,
Indonesia, diculik dan diperdagangkan ke Malaysia dan dipaksa untuk
menjadi seorang pekerja seks. Keperawanannya dijual seharga 5.000
Ringgit (sekitar 15 juta rupiah) oleh seorang germo. Dua dari pelaku
trafiking tersebut, yaitu Nurdin dan Chong Kum telah ditangkap dan
dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun”.
(Kompas, 10 February 2009).
Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Emy
Rachmawati (dalam Kompas, 2010) mengatakan, fenomena eksploitasi seksual

Universitas Sumatera Utara

15


komersil masih menjadi masalah serius di Indonesia, terutama di daerah
perbatasan, daerah perdagangan, dan daerah pariwisata. Remaja terutama remaja
putri yang berusia 13-18 tahun kerap menjadi obyek perdagangan manusia untuk
tujuan eksploitasi seksual komersial.
Hal ini senada dengan sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh ILOIPEC (dalam Suyanto, 2010), berhasil mengidentifikasi bahwa rata-rata usia anak
yang dilacurkan di sektor eksploitasi seksual komersil adalah 10-12 tahun, yang
sebelumnya sama sekali belum mengenal seks karena usia mereka yang masih
belia, tetapi dipaksa oleh germo, calo, atau diperdaya mafia pelacuran untuk
bekerja sebagai PSK (Jurnal Perempuan, dalam Suyanto, 2010). Studi lainnya
yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Unair bekerjasama dengan Dinas Sosial
dan Pemberdayaan Perempuan Kota Surabaya (dalam Suyanto, 2010),
menemukan bahwa 2,2% responden dari 200 responden yang diwawancarai
ternyata pertama kali dilacurkan pada saat mereka masih berusia 7 tahun.
Responden lainnya mengaku pertama kali dilacurkan pada saat berusia 14 tahun
(10,9%), 15 tahun (32, 6%), dan sebagian besar di usia 16 tahun (45, 7%).
Di Sumatera Utara, menurut catatan resmi Dinas Sosial diketahui ada 281
anak perempuan yang terpaksa bekerja sebagai PSK. Jumlah ini belum termasuk
PSK anak yang banyak beroperasi di diskotik atau pub yang jumlahnya
diperkirakan mencapai 500 orang. Menurut Achmad Sofian (dalam Suyanto,

2010), dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, mekanisme yang
dikembangkan para mucikari untuk merekrut PSK-PSK baru sebagian melalui

Universitas Sumatera Utara

16

bujuk rayu atau penipuan, tetapi tak jarang dengan cara penyekapan dan ancaman
kekerasan fisik.
Sementara itu fenomena eksploitasi seksual komersil itu sendiri sudah
lama menjadi fenomena yang menyedihkan, bahkan sudah tercatat sejak tahun
1979-an. Sofian dan Rinaldi (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan bahwa lebih
dari 200 ABG dijadikan pelacur dihotel GM Tanjung Balai. Belakangan sudah
mulai bermunculan pula istilah-istilah baru yang menjurus pada dunia esek-esek,
baik yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak.
Banyak faktor yang menyebabkan remaja tetap bertahan melakoni
profesinya sebagai pelacur, Saptari (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan paling
tidak ada tiga faktor yang menyebabkan seorang remaja yang menjadi korban
eksploitasi tetap bertahan menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi atau
kondisi kemiskinan. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung

menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi
perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk kedalam peran yang
diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena system paksaan dan kekerasan.
Dikota Medan, faktor yang menjadi penyebab remaja menjadi korban
eksploitasi seksual komersil adalah gaya berpacaran remaja yang tidak sehat,
berpacaran di luar batas hingga tidak perawan lagi atau dikecewakan pacar. Faktor
lainnya adalah gaya hidup konsumerisme, yakni ingin mengikuti gaya hidup
mewah seperti punya telepon genggam (handphone) bagus, baju bagus, dan

Universitas Sumatera Utara

17

sebagainya, yang terakhir adalah pengaruh dari teman bergaul (ECPAT, 2008).
Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Anis (18 tahun) :
“Pertama aku tau kek-kek gini ni tahun 2006. Aku diajak sama kawan
genk aku di sekolah untuk ikut mereka ke diskotik untuk dugemlah. Teros,
aku mabuk kak, kan gak sadar aku, teros disitulah kawan-kawan aku
nawarin aku ke tamu diskotik tuh. Untuk “dipakek”, kata mereka.
Besoknya pas aku bangun tidor, aku liat berapa lembar uang ratusan

didekat aku. Sampe sekarang aku masih gituan terus sambil sembunyisembunyi, karna bujukan kawan-kawan aku sama karna masalah ekonomi.
(Komunikasi personal, 21 Februari 2011).
Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan terjerumus
ke dalam dunia prostitusi akan sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Tak jarang
ketika menghadapi kondisi sulit itu banyak remaja yang mengalami trauma
psikologis ketika remaja menyadari dirinya telah menjadi korban eksploitasi
seksual komersil (Suyanto, 2010). Hal itu muncul karena remaja mengalami
peristiwa yang menimbulkan reaksi stress traumatik. individu mengalami stres
traumatik karena mengalami suatu pengalaman mental yang luar biasa
menyakitkan,

melampaui

ambang

kemampun

rata-rata

orang


untuk

menanggungnya, sehingga mengakibatkan perubahan drastis dalam kehidupan
seseorang, mengubah persepsi terhadap kehidupannya, mengubah perilaku
seseorang, dan emosi seseorang (Yoga, dalam Sulistyaningsih, 2009). Dampak
traumatis remaja yang mengalami eksploitasi seksual komersil tersebut tergambar
dari hasil wawancara :
“sampai sekarang aku masih takut kalo ketemu orang baru yang gak aku
kenal,takut kayak dulu lagi. Masih belom bisa aku lupakan lah itu, gimana
dulu aku buat sama mereka. Diancam, digebukin, sama laki-laki yang
nidurin aku kak. Kayak binatanglah dulu aku dibuat mereka tu, mau lari
gak bisa, tahan-tahan ajalah kak. Kalo gak ingat
ayah sama ibuk, dah
bunuh dirilah kak. Pas udah bebas dari situ pun sama aja stress
sama

Universitas Sumatera Utara

18


tertekannnya aku kak, kaya najis gitu aku diliatin orang-orang dekat sini.
Padahal aku pun gak mau jadi kayak gitu.”
(Komunikasi Personal, 30 Februari 2011).
Trauma psikologis yang dialami oleh remaja yang menjadi korban
eksploitasi seksual komersil tersebut memiliki dampak yang merugikan kesehatan
mental karena menurunkan fungsi fisik, emosi, pikiran, dan hubungan
interpersonal pada remaja itu sendiri (Suyanto, 2010). Untuk bisa pulih kembali
biasanya diperlukan waktu sekitar 6 hingga 16 bulan dan berapa lama waktu yang
diperlukan seorang remaja tergantung pada karakteristik individu dan sifat
peristiwa traumatik yang dialami. Namun pada sebagian orang stress traumatik
yang berat dapat berlangsung selama bertahun-tahun bahkan dapat berlanjut
menjadi gangguan yang lebih berat (Sulistyaningsih, 2009).
“lama jugak lah dulu aku gak mau keluar rumah, duh dah macam orang
gilaklah kak, mana tetanggaku omongannya bikin pedih kuping. Disuruh
ibuk lah aku sholat kak, dzikir. Pertama-tama gak ku buat, mana ada guna
pikirku kak, dah jerit-jerit ajalah aku dulu kak, udah hampir dibawa ke
RSJ, pokoknya sampe hari ni aku masih ingat-ingat itu terus. Tapi setelah
setahun, setelah pindah rumah barulah aku bisa agak gak kayakorang
gilak lagi kak.”

(Komunikasi Personal, 30 Februari, 2011).
Untuk mengatasi trauma yang dialaminya, remaja menggunakan berbagai
macam pilihan. Ada individu yang mampu bertahan kemudian pulih dari situasi
traumatis tersebut secara efektif, namun ada pula individu lain yang gagal karena
tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Tugade & Fredrikson
(dalam Rezki Rahayu, 2008) mengungkapkan kemampuan untuk melanjutkan
hidup setelah mengalami hal yang tidak menyenangkan menggambarkan adanya
kemampuan tertentu pada diri individu yang dikenal dengan istilah resiliensi.

Universitas Sumatera Utara

19

Menurut Sulistyaningsih (2009) resiliensi individu muncul ketika individu
berhasil mengatasi kesulitan hidup (adversity). Bagaimana individu tersebut
menghadapi permasalahan dirinya sebagai korban sebuah tragedi dipengaruhi oleh
bagaimana dirinya menyikapi kesulitan yang dihadapinya dengan segala
kelebihan dan keterbatasannya.
Ketika individu menghadapi kesulitan akan menampilkan beberapa reaksi
yang berbeda (Siebert, dalam Nurfadilah, 2006). Ada remaja yang menggunakan

cara-cara negatif ketika tidak tahan menjadi korban eksploitasi seksual komersil,
misalnya dengan luapan amarah secara verbal dan disertai dengan tindakan untuk
menyakiti dirinya sendiri. Remaja tersebut menjadi tidak berdaya untuk
melakukan coping dengan apa yang telah dialaminya. Selain itu, ada pula remaja
yang cenderung melihat dirinya sebagai korban dan menempatkan orang lain
sebagai penyebab “hancurnya” hidup mereka sehingga perasaan dan pikiran
mereka cenderung negatif. Namun, ada juga individu yang dengan cepat berupaya
untuk mengatasi peristiwa traumatis tersebut dan kembali kepada realita yang
dihadapinya, tetap berkarya dengan kekuatan dan keterbatasan yang mereka miliki
dalam kondisi sulit, yang membuat meraka menjadi lebuh kuat, dan lebih baik
dari sebelumnya (Sulistyaningsih, 2009).
Proses resiliensi itu sendiri, dimulai ketika individu pada usia berapa pun
mengalami kesulitan hidup, ia memiliki faktor-faktor pelindung (protective
factors) yang dapat melindunginya terhadap dampak negatif. Individu tersebut

mampu mengatasi kesulitan hidup tanpa mengalami gangguan apabila ia memiliki
perlindungan yang cukup. Individu yang sedang berproses menuju resiliensi atau

Universitas Sumatera Utara

20

berada dalam keseimbangan, apabila dengan segala kekuatan emosi dan
mekanisme coping yang sehat berusaha mengatasi kesulitan hidupnya. Tanpa
perlindungan yang cukup, individu akan menuju proses gangguan psikologis,
disebabkan

ketidakmampuan

atau

coping

mengatasi

masalah

tersebut

(Sulistyaningsih, 2009).
Dalam proses resiliensi terdapat dua hal penting yakni, kesulitan hidup
tidak secara otomatis mengakibatkan disfungsi, tetapi sebaliknya justru dapat
menghasilkan sejumlah pencapaian bagi individu yang mengalaminya. Selain itu
reaksi terhadap kesulitan hidup yang pada awalnya bersifat disfungsional, lama
kelamaan dapat membaik. Dengan kata lain, resiliensi merupakan proses adaptasi
yang diawali dengan adanya stress dapat membuka kemungkinan terjadinya
perubahan pribadi menuju pada suatu yang lebih baik (Sulistyaningsih, 2009)
Benard (dalam Rezki Rahayu, 2008) menjelaskan lebih jauh bahwa
kapasitas resiliensi ini ada pada setiap orang. Artinya, kita semua lahir dengan
kemampuan untuk dapat bertahan dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan.
Menurut Grotberg (2000), upaya mengatasi kondisi-kondisi yang tidak
menyenangkan tersebut dan mengembangkan resiliensi, sangat bergantung pada
pemberdayaan tiga faktor dalam diri individu, yaitu I have (Aku punya) termasuk
didalamnya hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, dorongan untuk
mandiri; I am (Aku ini) termasuk didalamnya disayang dan disukai oleh banyak
orang, bangga dengan diri sendiri, mencintai, empati, dan kepedulian pada orang
lain; I can (Aku dapat) termasuk didalamnya berkomunikasi, memecahkan

Universitas Sumatera Utara

21

masalah, menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai. Interaksi ketiga
faktor tersebut juga mempengaruhi lamanya proses resiliensi seseorang.
Seperti yang sudah diungkapkan di atas setiap orang memiliki kapasitas
resiliensi dalam dirinya. Begitu juga dengan remaja putri yang menjadi korban
eksploitasi seksual komersil, yang telah berhasil keluar dari dari masalah tersebut,
namun masyarakat akan cenderung memberikan label negative kepada remaja
yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut. Selain itu remaja korban
eksploitasi seksual mengalami pengabaian hak yang dilakukan oleh orang dewasa
demi kepentingan nista dari orang dewasa tersebut. Remaja yang menjadi korban
eksploitasi seksual tersebut merupakan individu yang tak berdaya dan tak mampu
menolak paksaan, deraan dan trauma dari orang dewasa (Suyanto, 2001).
Eksploitasi seksual komersil yang dialami remaja putri dapat membuat
remaja korbannya menjadi terpuruk dan mengalami kerugian, namun dapat
memberikan

keuntungan

kepada

pelaku

eksploitasi

seksual.

Dengan

menggunakan power yang dimiliki pelaku eksploitasi, mereka bisa melakukan
eksploitasi terhadap remaja yang menjadi korbannya (Koentjoro, 2004). Perkin &
Bennet (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan jika remaja putri yang mejadi
korban eksploitasi seksual dan kemuadi menjadi pelacur hal itu merupakan
produk dari lingkungan dan kondisi sosial mereka. Perlakuan sosial, seperti
rayuan lelaki terhadap seorang remaja karena daya tarik seksualnya sehingga
dapat mempengaruhi perilaku remaja tersebut.

Universitas Sumatera Utara

22

Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual harus berjuang
menghadapi pengalaman traumatis yang dialaminya untuk menjadi individu yang
resilien. Tetapi, resiliensi dapat terlihat dengan jelas apabila seseorang berada
pada tantangan atau masalah. Menurut Bobey (dalam Rezki Rahayu, 2008)
semakin seseorang berhadapan dengan banyak tantangan dan hambatan, maka
akan semakin terlihat apakah ia telah berhasil mengembangkan karakteristik
resiliensi dalam dirinya atau tidak. Remaja yang resilien akan memandang
peristiwa stressful yang dialaminya merupakan hal yang dapat mendorong dirinya
untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan baru, menilai kembali prioritas
yang dimilikinya, belajar mengenai pandangan baru, dan memperoleh kekuatankekuatan baru.
Dengan adanya resiliensi pada remaja putri yang menjadi korban
eksploitasi seksual komersil dapat membuat mereka memiliki sikap yang positif
untuk menjadi seorang yang percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain.
Selain itu dapat merubah penderitaan menjadi tantangan, kegagalan menjadi
keberhasilan dan keputusasaan menjadi kekuatan. Resiliensi dapat merubah
seorang korban menjadi lebih kuat dan mendorong orang berkembang dan
menjadi lebih baik.
“ya, kami pindah rumah kata ibuk biar aku gak malu sama tetanggatetangga kak. Alhamdulilah aku dapat dukungan banyaklah dari ayah,
ibuk, pokoknya sodara-sodara. Kan itu cuman yang aku butuhkan kak,
sekarang aku dah bisa kaya dulu lagi, malah mungkin lebih, udah makin
rajin sholat, udah makin punya prinsip lah kak,
ambil hikmahnya kak.
Ya walaupun butuh waktu lama kak, setahunan lebih..”
(Komunikasi Personal, 30 Februari, 2011)

Universitas Sumatera Utara

23

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melihat mengenai
resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi seksual komersil serta mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja putri korban
eksploitasi seksual di kota Medan.
I.B. Rumusan Masalah
Melalui penjabaran di atas, perumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi
seksual komersil khususnya sektor prostitusi
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja putri
korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi
I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai
resiliensi pada remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil.
I.D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam
memberikan informasi dan perluasan teori di bidang psikologi
perkembangan, yakni mengenai resiliensi pada remaja putri. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan
penelitian di bidang psikologi perkembangan, sehingga hasil penelitian ini

Universitas Sumatera Utara

24

nantinya diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan penunjang untuk
penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi
peneliti-peneliti lainnya yang berminat meneliti lebih lanjut mengenai
resiliensi pada remaja putri.
b. Bagi Kepolisian Wilayah Hukum Sumatera Utara
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi aparat
Kepolisian Wilayah Hukum Sumatera Utara khususnya Unit Penanganan
Perempuan dan Anak, sehingga dapat melakukan pemeriksaan serta
penanganan yang tepat sehingga dapat membuat remaja putri tidak merasa
takut saat memberikan keterangan kepada pihak kepolisian.
c. Bagi Orang tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para
orangtua sehingga diharapkan orangtua dapat memberikan dukungan yang
maksimal kepada remaja yang telah menjadi korban eksploitasi seksual
komersil sektor prostitusi. Dengan menyediakan lingkungan yang dapat
memfasilitasi tercapainya resiliensi remaja putri korban eksploitasi seksual
komersil sektor prostitusi.
d. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Terkait Lainnya
Bagi LSM dan lembaga terkait lainnya yang menangani permasalahnpermasalahn yang menimpa remaja dan anak-anak, diharapkan nantinya

Universitas Sumatera Utara

25

informasi dari penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan
pendampingan dan penanganan yang bersifat suportif kepada korban
eksploitasi seksual sektor prostitusi.
I.E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :
BAB I

: Pendahuluan
Pendahuluan berisi mengenai latar belakang permasalahan,
perumusan

masalah

penelitian,

penelitian dan sistematika
BAB II

tujuan

penelitian,

manfaat

penulisan.

: Landasan Teori
Landasan teori berisi teori yang digunakan sebagai landasan
penelitian

BAB III

: Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif,
responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik
pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur
penelitian.

BAB IV

: Analisa Dan Interpretasi Data
Analisa Data dan Interpretasi berisi pendeskripsian data responden,
analisa dan interpretasi data yang dperoleh dari hasil wawancara

Universitas Sumatera Utara

26

yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan
teori yang relevan dan diskusi.
BAB V

: Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan, dan Saran yang menjelaskan kesimpulan dari
penelitian ini, diskusi mengenai hasil penelitian yang ada serta
saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara