Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil (Prostitusi)

(1)

GAMBARAN RESILIENSI REMAJA PUTRI KORBAN

EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL

(PROSTITUSI)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Sarjana Psikologi

Disusun Oleh :

Indah R Sebayang

071301109

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil (Prostitusi)

Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah di ajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalanm penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah di tulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari di temukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Medan, Maret 2012

Indah Rasulinta Sebayang NIM : 071301109


(3)

Especially Dedicated to :

Setiap tetesan keringat, air mata, cinta dan kasih sayang serta pengorbanan

dan pelajaran hidup yang di berikan papi dan mami kepadaku..

Kak Sigit yang dahulu selalu memberikan semangat serta pelajaran dan

makna hidup..

Setiap remaja di luasnya dunia yang pernah menjadi korban kerakusan

pelaku eksploitasi seksual komersil, apapun tujuannya..


(4)

KATA PENGANTAR

Segala pujian, hormat, serta syukur penulis persembahkan bagis Yesus Kristus, My Saviour... Atas anugrah-Nya yang melimpah sehingga penulis di beri kekuatan untuk dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil (Prostitusi)”. To God be Glory..

Rasa syukur tidak henti-hentinya penulis panjatkan karena kasihnya-Nya yang begitu besar telah menghadirkan orang-orang terkasih untuk memberikan bimbingan, dukungan serta kasih sayang sehingga menjadi berkat bagi penulis, yaitu :

1. Prof. Dr. Irma Wati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

2. Elvi Andriani Yusuf, M. Si, psikolog, selaku dosen pembimbing utama yang selalu mengarahkan, membimbing dan memberikan semangat kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

3. Rahma Yuliarni, M. Psi, selaku dosen pembimbing pendamping yang selalu memberikan bimbingan serta arahan kepada penulis.

4. Meutia Nauly, M. Si, selaku dosen pembimbing pendamping yang selalu meluangkan waktu untuk penulis serta selalu memberikan arahan dan masukan kepada penulis.

5. Eka Danta Ginting, MA, selaku Kepala Program Studi S1 yang juga selalu memberikan masukan serta arahan kepada penulis.


(5)

6. Etty Rahmawati, M. Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan semangat kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

7. Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah membagikan segala ilmu pengetahuan, dan pengalaman kepada penulis.

8. Seluruh staff tata usaha, administrasi, dan perpustakaan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, yang telah melancarkan segala urusan administrasi penulis.

9. Kedua orangtuaku.. terima kasih papi, mami.. Atas dukungan serta doanya untukku selama ini. Terima kasih untuk segala doa, dukungan dan pengertiannya.. I Love You so much....

10.Adik bungsuku yang selalu bersedia menemaniku, mengantarkanku serta membantuku selama proses pengambilan data skripsi.. Thank’s my broda.. Firman A Sebayang. Mentari Kristine Natalia Tambunan, thank’s untuk waktunya menemaniku mengerjakan serta memeriksa segala kelengkapan data skripsiku selama ini. Berliana Wulandari Tambunan dan Rona Uli Sitorus.. hayoolah lekas nyusul biar sama-sama sarjana cucu nenek  11.Seluruh keluarga di Pekanbaru, nenek, tulang Ronald Salmon Hutabarat,

ST dan nantulang Wati Purba. Tulang Saut Hutabarat dan nantulang Riska, bibi cantik, Ida Purnama, S. Pd terima kasih atas dukungan serta doanya supaya Indah mampu menyelesaikan skripsi Indah. Kedua jagoan kecil, Sion Hutabarat dan Lukas Hutabarat. Love You all...


(6)

12.Abang-abangku.. Navarro Sebayang, SH dan Alex Sebayang, SH, Yos Arnold, SH, Briptu Amir Hamzah, Briptu Aulia Rahman, Briptu Kristian Surbakti. Terima kasih atas cerita-cerita lucunya selama ini. And my little son, Rajata Sebayang, jangan bosan meluk bibi cantik ya sayang..

13.Hendarjat Hambali, M. Psi, terima kasih untuk semangat, doa serta keyakinan dan waktu yang di berikan kepada penulis selama ini hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

14.Kompol Sigit Hariadi, SIK, thank’s atas segala dukungan, waktu, nasihat, perhatian, kasih sayang, materi, respon positif, serta pelukan hangat saat aku membutuhkan itu semua. Tak ada yang mampu mengantikan itu. Tetaplah menjadi kakak sejati untukku. AKP I Gede Putra, SIK, terima kasih atas waktu serta nasihatnya selama Ninda mengerjakan skripsi Ninda.

15.Ucapan spesial kupersembahkan kepada IPTU Gokma Uliate Sitompul, SH, yang selalu menyediakan waktu, perhatian, serta mengingatkan aku agar tekun mengerjakan skripsiku, walau terkadang itu menjengkelkan.

Love You my sweetheart. Tetaplah sabar mendampingiku.

16.Seluruh teman-teman psikologi yang aku sayangi, Christy Ruth Nainggolan, S. Psi, Ikbal Sutan, S. Psi, Rayes Simanullang, S. Psi, Chairunnisa Aprilia, S. Psi, Agus Manurung, Roimer Sitorus, Imelvi Putri, Nuru Hasanah, terima kasih sudah menyediakan waktu untukku, untuk semua lelucon serta masukan selama ini.


(7)

17.Kepada seluruh staff Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, terima kasih untuk semua bantuannya selama penulis mengerjakan skripsi penulis.

18.Kedua responden penelitian penulis serta keluarganya yang mau meluangkan waktu serta mau membagi pengalaman kepada penulis sehinggga penulis mendapat pelajaran hidup yang berharga.

19.Segenap pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannnya selama ini hinggar penulis mampu menyelesaikan tugas akhir penulis.

Akhirnya dengan segenap kesadaran bahwa penulisan karya ini jauh dari kesempurnaan. Maka, kritik dan saran senantiasa penulis nantikan untuk perbaikan. Akhir kata semoga karya ini bisa memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Medan, Maret 2012


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iii

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... ...1

B. RUMUSAN MASALAH...12

C. TUJUAN PENELITIAN...12

D. MANFAAT PENELITIAN...12

E. SISTEMATIKA PENULISAN...14

BAB II LANDASAN TEORI A. RESILIENSI...16

1. PENGERTIAN RESILIENSI...16

2. KARAKTERISTIK RESILIENSI...17

3. FAKTOR RESILIENSI...19

B. EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...26

1. PENGERTIAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...26

2. FAKTOR-FAKTOR EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...28

3. DAMPAK EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...30

C. REMAJA...33

1. PENGERTIAN REMAJA...33


(9)

3. PERKEMBANGAN FISIK DAN SEKSUAL REMAJA...37

4. PERKEMBANGAN SOSIAL REMAJA...40

D. RESILIENSI REMAJA PUTRI KORBAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...46

BAB III METODE PENELITIAN A. METODE PENELITIAN...50

B. METODE PENGUMPULAN DATA...51

C. RESPONDEN PENELITIAN...51

1. KARAKTERISTIK RESPONDEN...51

2. JUMLAH RESPONDEN...52

3. PROSEDUR PENGAMBILAN RESPONDEN...53

4. LOKASI PENELITIAN...53

D. TEKNIK PENGAMBILAN DATA...53

E. ALAT PENGUMPULAN DATA...55

F. PROSEDUR PENELITIAN...56

1. TAHAP PERSIAPAN...56

2. TAHAP PELAKSANAAN...58

3. TAHAP PENCATATAN DATA...60

G. TEKNIK DAN PROSEDUR ANALISA DATA...61

H. KREDIBILITAS PENELITIAN...64

BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA A. DESKRIPSI DATA RESPONDEN I...67


(10)

1. ANALISA DAN INTERPRETASI RESPONDEN I...76

B. DESKRIPSI DATA RESPONDEN II...143

1. ANALISA DAN INTERPRETASI RESPONDEN II...153

C. DISKUSI...222

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN...253

B. SARAN...258

1. SARAN PRAKTIS...258

2. SARAN PENELITIAN SELANJUTNYA...259

DAFTAR PUSTKA...261


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jadwal Pelaksaan Wawancara... ...66

Tabel 2 Deskripsi Data Responden I...67

Tabel 3 Interpretasi Responden I...124

Tabel 4 Gambaran Resiliensi Responden I...142

Tabel 5 Deskripsi Data Responden II...143

Tabel 6 Interpertasi Responden II...205


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang

Remaja merupakan periode kehidupan yang unik, karena saat itu terjadi perubahan yang amat kompleks, diantaranya perubahan fisik, emosional, kognitif, perubahan pertumbuhan dan perkembangan sosial yang menjembatani antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Santrock, 2007).

Secara umum, periode remaja merupakan klimaks dari periode-periode perkembangan sebelumnya, sehingga dalam periode selanjutnya individu telah menpunyai suatu pola pribadi yang lebih baik. Masalah-masalah sehubungan dengan perkembangan fisik pada periode pubertas masih terus berlanjut, tetapi pada akhirnya mereda saat individu memasuki masa dewasa. Bagi sebagian besar orang, memasuki usia remaja tidaklah mudah. Hall (dalam Santrock, 2007), menyebutkan bahwa masa remaja adalah masa storm and stress, karena pada masa ini muncul gejolak emosi yang penuh dengan ketidakseimbangan.

Remaja juga mulai mengalami kematangan fisik yang ditandai dengan mulai matangnyanya organ-organ seksual, dalam arti organ-organ seksualnya sudah dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengembangkan keturunan. Pada remaja putri ditandai dengan menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pria ditandai dengan mimpi basah (Santrock, 2007).


(13)

Matangnya organ-organ seksual pada remaja akan mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual (Santrock, 2007). Problem tentang seksual pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, adanya "ketidaknormalan" yang dialaminya berkaitan dengan organ-organ reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi (Hurlock, 1980).

Dalam masa ini juga, remaja mulai mengalami ketertarikan terhadap lawan jenis disertai dorongan seksual, hal yang sifatnya kodrati dialami oleh remaja. Remaja pun mulai ingin berkenalan, bergaul dengan teman-temannya dari jenis kelamin lain, dan mengenal pacaran (Santrock, 2007). Dalam kondisi demikian, remaja merupakan sosok yang mudah untuk terjerumus kedalam situasi yang kurang menguntungkan bagi remaja sendiri. Salah satunya adalah ketika remaja terjebak dunia seks bebas dan kemudian menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan terjebak kedalam dunia prostitusi (Santrock, 2007).

Dewasa ini salah satu isu yang mencemaskan dan sepakat untuk segera ditangani adalah perdagangan perempuan dan anak sektor ekploitasi seksual komersil (ECPAT, 2006). Remaja di Indonesia, ternyata menjadi makanan empuk bagi sebagian “pemangsa-pemangsa” remaja khususnya remaja putri. Mereka diperjualbelikan atau malah dijadikan pelacur oleh orang-orang yang ingin meraup keuntungan dari penderitaan mereka (Suyanto, 2010).


(14)

ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010) mengatakan remaja yang menjadi korbannya sesungguhnya membutuhkan perhatian serius karena memiliki dampak yang sangat merugikan dan membahayakan kelangsungan serta masa depan korban eksploitasi seksual itu sendiri. Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual bukan saja rentan terhadap hinaan, penipuan dan marginalisasi, tetapi juga banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya untuk berkembang secara sehat.

Fenomena eksploitasi seksual komersil tersebut tidak hanya menimpa remaja dengan ekonomi rendah, namun juga banyak dialami oleh remaja yang berstatus sosial tinggi (Suyanto, 2010). Dalam masyarakat luas istilah eksploitasi seksual mungkin belum banyak didengar atau malah belum dipahami dengan baik, walaupun sebenarnya kasus-kasus yang terkait dengan masalah tersebut sudah banyak ditemui baik lewat media cetak ataupun media elektronik, berikut ini adalah salah satu kasus eskploitasi seksual komersil yang dimuat dimedia cetak.

“Pada bulan Juni 2008, Mawar, seorang gadis usia 15 tahun asal Lampung, Indonesia, diculik dan diperdagangkan ke Malaysia dan dipaksa untuk menjadi seorang pekerja seks. Keperawanannya dijual seharga 5.000 Ringgit (sekitar 15 juta rupiah) oleh seorang germo. Dua dari pelaku trafiking tersebut, yaitu Nurdin dan Chong Kum telah ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun”.

(Kompas, 10 February 2009).

Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Emy Rachmawati (dalam Kompas, 2010) mengatakan, fenomena eksploitasi seksual


(15)

komersil masih menjadi masalah serius di Indonesia, terutama di daerah perbatasan, daerah perdagangan, dan daerah pariwisata. Remaja terutama remaja putri yang berusia 13-18 tahun kerap menjadi obyek perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual komersial.

Hal ini senada dengan sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010), berhasil mengidentifikasi bahwa rata-rata usia anak yang dilacurkan di sektor eksploitasi seksual komersil adalah 10-12 tahun, yang sebelumnya sama sekali belum mengenal seks karena usia mereka yang masih belia, tetapi dipaksa oleh germo, calo, atau diperdaya mafia pelacuran untuk bekerja sebagai PSK (Jurnal Perempuan, dalam Suyanto, 2010). Studi lainnya yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Unair bekerjasama dengan Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan Kota Surabaya (dalam Suyanto, 2010), menemukan bahwa 2,2% responden dari 200 responden yang diwawancarai ternyata pertama kali dilacurkan pada saat mereka masih berusia 7 tahun. Responden lainnya mengaku pertama kali dilacurkan pada saat berusia 14 tahun (10,9%), 15 tahun (32, 6%), dan sebagian besar di usia 16 tahun (45, 7%).

Di Sumatera Utara, menurut catatan resmi Dinas Sosial diketahui ada 281 anak perempuan yang terpaksa bekerja sebagai PSK. Jumlah ini belum termasuk PSK anak yang banyak beroperasi di diskotik atau pub yang jumlahnya diperkirakan mencapai 500 orang. Menurut Achmad Sofian (dalam Suyanto, 2010), dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, mekanisme yang dikembangkan para mucikari untuk merekrut PSK-PSK baru sebagian melalui


(16)

bujuk rayu atau penipuan, tetapi tak jarang dengan cara penyekapan dan ancaman kekerasan fisik.

Sementara itu fenomena eksploitasi seksual komersil itu sendiri sudah lama menjadi fenomena yang menyedihkan, bahkan sudah tercatat sejak tahun 1979-an. Sofian dan Rinaldi (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan bahwa lebih dari 200 ABG dijadikan pelacur dihotel GM Tanjung Balai. Belakangan sudah mulai bermunculan pula istilah-istilah baru yang menjurus pada dunia esek-esek, baik yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak.

Banyak faktor yang menyebabkan remaja tetap bertahan melakoni profesinya sebagai pelacur, Saptari (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan seorang remaja yang menjadi korban eksploitasi tetap bertahan menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi atau kondisi kemiskinan. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk kedalam peran yang diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena system paksaan dan kekerasan.

Dikota Medan, faktor yang menjadi penyebab remaja menjadi korban eksploitasi seksual komersil adalah gaya berpacaran remaja yang tidak sehat, berpacaran di luar batas hingga tidak perawan lagi atau dikecewakan pacar. Faktor lainnya adalah gaya hidup konsumerisme, yakni ingin mengikuti gaya hidup mewah seperti punya telepon genggam (handphone) bagus, baju bagus, dan


(17)

sebagainya, yang terakhir adalah pengaruh dari teman bergaul (ECPAT, 2008). Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Anis (18 tahun) :

“Pertama aku tau kek-kek gini ni tahun 2006. Aku diajak sama kawan genk aku di sekolah untuk ikut mereka ke diskotik untuk dugemlah. Teros, aku mabuk kak, kan gak sadar aku, teros disitulah kawan-kawan aku nawarin aku ke tamu diskotik tuh. Untuk “dipakek”, kata mereka. Besoknya pas aku bangun tidor, aku liat berapa lembar uang ratusan didekat aku. Sampe sekarang aku masih gituan terus sambil sembunyi-sembunyi, karna bujukan kawan-kawan aku sama karna masalah ekonomi. (Komunikasi personal, 21 Februari 2011).

Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan terjerumus ke dalam dunia prostitusi akan sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Tak jarang ketika menghadapi kondisi sulit itu banyak remaja yang mengalami trauma psikologis ketika remaja menyadari dirinya telah menjadi korban eksploitasi seksual komersil (Suyanto, 2010). Hal itu muncul karena remaja mengalami peristiwa yang menimbulkan reaksi stress traumatik. individu mengalami stres traumatik karena mengalami suatu pengalaman mental yang luar biasa menyakitkan, melampaui ambang kemampun rata-rata orang untuk menanggungnya, sehingga mengakibatkan perubahan drastis dalam kehidupan seseorang, mengubah persepsi terhadap kehidupannya, mengubah perilaku seseorang, dan emosi seseorang (Yoga, dalam Sulistyaningsih, 2009). Dampak traumatis remaja yang mengalami eksploitasi seksual komersil tersebut tergambar dari hasil wawancara :

“sampai sekarang aku masih takut kalo ketemu orang baru yang gak aku kenal,takut kayak dulu lagi. Masih belom bisa aku lupakan lah itu, gimana dulu aku buat sama mereka. Diancam, digebukin, sama laki-laki yang nidurin aku kak. Kayak binatanglah dulu aku dibuat mereka tu, mau lari gak bisa, tahan-tahan ajalah kak. Kalo gak ingat ayah sama ibuk, dah bunuh dirilah kak. Pas udah bebas dari situ pun sama aja stress sama


(18)

tertekannnya aku kak, kaya najis gitu aku diliatin orang-orang dekat sini. Padahal aku pun gak mau jadi kayak gitu.”

(Komunikasi Personal, 30 Februari 2011).

Trauma psikologis yang dialami oleh remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil tersebut memiliki dampak yang merugikan kesehatan mental karena menurunkan fungsi fisik, emosi, pikiran, dan hubungan interpersonal pada remaja itu sendiri (Suyanto, 2010). Untuk bisa pulih kembali biasanya diperlukan waktu sekitar 6 hingga 16 bulan dan berapa lama waktu yang diperlukan seorang remaja tergantung pada karakteristik individu dan sifat peristiwa traumatik yang dialami. Namun pada sebagian orang stress traumatik yang berat dapat berlangsung selama bertahun-tahun bahkan dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih berat (Sulistyaningsih, 2009).

“lama jugak lah dulu aku gak mau keluar rumah, duh dah macam orang gilaklah kak, mana tetanggaku omongannya bikin pedih kuping. Disuruh ibuk lah aku sholat kak, dzikir. Pertama-tama gak ku buat, mana ada guna pikirku kak, dah jerit-jerit ajalah aku dulu kak, udah hampir dibawa ke RSJ, pokoknya sampe hari ni aku masih ingat-ingat itu terus. Tapi setelah setahun, setelah pindah rumah barulah aku bisa agak gak kayakorang gilak lagi kak.”

(Komunikasi Personal, 30 Februari, 2011).

Untuk mengatasi trauma yang dialaminya, remaja menggunakan berbagai macam pilihan. Ada individu yang mampu bertahan kemudian pulih dari situasi traumatis tersebut secara efektif, namun ada pula individu lain yang gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Tugade & Fredrikson (dalam Rezki Rahayu, 2008) mengungkapkan kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah mengalami hal yang tidak menyenangkan menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada diri individu yang dikenal dengan istilah resiliensi.


(19)

Menurut Sulistyaningsih (2009) resiliensi individu muncul ketika individu berhasil mengatasi kesulitan hidup (adversity). Bagaimana individu tersebut menghadapi permasalahan dirinya sebagai korban sebuah tragedi dipengaruhi oleh bagaimana dirinya menyikapi kesulitan yang dihadapinya dengan segala kelebihan dan keterbatasannya.

Ketika individu menghadapi kesulitan akan menampilkan beberapa reaksi yang berbeda (Siebert, dalam Nurfadilah, 2006). Ada remaja yang menggunakan cara-cara negatif ketika tidak tahan menjadi korban eksploitasi seksual komersil, misalnya dengan luapan amarah secara verbal dan disertai dengan tindakan untuk menyakiti dirinya sendiri. Remaja tersebut menjadi tidak berdaya untuk melakukan coping dengan apa yang telah dialaminya. Selain itu, ada pula remaja yang cenderung melihat dirinya sebagai korban dan menempatkan orang lain sebagai penyebab “hancurnya” hidup mereka sehingga perasaan dan pikiran mereka cenderung negatif. Namun, ada juga individu yang dengan cepat berupaya untuk mengatasi peristiwa traumatis tersebut dan kembali kepada realita yang dihadapinya, tetap berkarya dengan kekuatan dan keterbatasan yang mereka miliki dalam kondisi sulit, yang membuat meraka menjadi lebuh kuat, dan lebih baik dari sebelumnya (Sulistyaningsih, 2009).

Proses resiliensi itu sendiri, dimulai ketika individu pada usia berapa pun mengalami kesulitan hidup, ia memiliki faktor-faktor pelindung (protective factors) yang dapat melindunginya terhadap dampak negatif. Individu tersebut mampu mengatasi kesulitan hidup tanpa mengalami gangguan apabila ia memiliki perlindungan yang cukup. Individu yang sedang berproses menuju resiliensi atau


(20)

berada dalam keseimbangan, apabila dengan segala kekuatan emosi dan mekanisme coping yang sehat berusaha mengatasi kesulitan hidupnya. Tanpa perlindungan yang cukup, individu akan menuju proses gangguan psikologis, disebabkan ketidakmampuan atau coping mengatasi masalah tersebut (Sulistyaningsih, 2009).

Dalam proses resiliensi terdapat dua hal penting yakni, kesulitan hidup tidak secara otomatis mengakibatkan disfungsi, tetapi sebaliknya justru dapat menghasilkan sejumlah pencapaian bagi individu yang mengalaminya. Selain itu reaksi terhadap kesulitan hidup yang pada awalnya bersifat disfungsional, lama kelamaan dapat membaik. Dengan kata lain, resiliensi merupakan proses adaptasi yang diawali dengan adanya stress dapat membuka kemungkinan terjadinya perubahan pribadi menuju pada suatu yang lebih baik (Sulistyaningsih, 2009)

Benard (dalam Rezki Rahayu, 2008) menjelaskan lebih jauh bahwa kapasitas resiliensi ini ada pada setiap orang. Artinya, kita semua lahir dengan kemampuan untuk dapat bertahan dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan. Menurut Grotberg (2000), upaya mengatasi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan tersebut dan mengembangkan resiliensi, sangat bergantung pada pemberdayaan tiga faktor dalam diri individu, yaitu I have (Aku punya) termasuk didalamnya hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, dorongan untuk mandiri; I am (Aku ini) termasuk didalamnya disayang dan disukai oleh banyak orang, bangga dengan diri sendiri, mencintai, empati, dan kepedulian pada orang lain; I can (Aku dapat) termasuk didalamnya berkomunikasi, memecahkan


(21)

masalah, menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai. Interaksi ketiga faktor tersebut juga mempengaruhi lamanya proses resiliensi seseorang.

Seperti yang sudah diungkapkan di atas setiap orang memiliki kapasitas resiliensi dalam dirinya. Begitu juga dengan remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil, yang telah berhasil keluar dari dari masalah tersebut, namun masyarakat akan cenderung memberikan label negative kepada remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut. Selain itu remaja korban eksploitasi seksual mengalami pengabaian hak yang dilakukan oleh orang dewasa demi kepentingan nista dari orang dewasa tersebut. Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut merupakan individu yang tak berdaya dan tak mampu menolak paksaan, deraan dan trauma dari orang dewasa (Suyanto, 2001).

Eksploitasi seksual komersil yang dialami remaja putri dapat membuat remaja korbannya menjadi terpuruk dan mengalami kerugian, namun dapat memberikan keuntungan kepada pelaku eksploitasi seksual. Dengan menggunakan power yang dimiliki pelaku eksploitasi, mereka bisa melakukan eksploitasi terhadap remaja yang menjadi korbannya (Koentjoro, 2004). Perkin & Bennet (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan jika remaja putri yang mejadi korban eksploitasi seksual dan kemuadi menjadi pelacur hal itu merupakan produk dari lingkungan dan kondisi sosial mereka. Perlakuan sosial, seperti rayuan lelaki terhadap seorang remaja karena daya tarik seksualnya sehingga dapat mempengaruhi perilaku remaja tersebut.


(22)

Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual harus berjuang menghadapi pengalaman traumatis yang dialaminya untuk menjadi individu yang resilien. Tetapi, resiliensi dapat terlihat dengan jelas apabila seseorang berada pada tantangan atau masalah. Menurut Bobey (dalam Rezki Rahayu, 2008) semakin seseorang berhadapan dengan banyak tantangan dan hambatan, maka akan semakin terlihat apakah ia telah berhasil mengembangkan karakteristik resiliensi dalam dirinya atau tidak. Remaja yang resilien akan memandang peristiwa stressful yang dialaminya merupakan hal yang dapat mendorong dirinya untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan baru, menilai kembali prioritas yang dimilikinya, belajar mengenai pandangan baru, dan memperoleh kekuatan-kekuatan baru.

Dengan adanya resiliensi pada remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dapat membuat mereka memiliki sikap yang positif untuk menjadi seorang yang percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain. Selain itu dapat merubah penderitaan menjadi tantangan, kegagalan menjadi keberhasilan dan keputusasaan menjadi kekuatan. Resiliensi dapat merubah seorang korban menjadi lebih kuat dan mendorong orang berkembang dan menjadi lebih baik.

“ya, kami pindah rumah kata ibuk biar aku gak malu sama tetangga-tetangga kak. Alhamdulilah aku dapat dukungan banyaklah dari ayah, ibuk, pokoknya sodara-sodara. Kan itu cuman yang aku butuhkan kak, sekarang aku dah bisa kaya dulu lagi, malah mungkin lebih, udah makin rajin sholat, udah makin punya prinsip lah kak, ambil hikmahnya kak. Ya walaupun butuh waktu lama kak, setahunan lebih..”


(23)

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melihat mengenai resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi seksual komersil serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi seksual di kota Medan.

I.B. Rumusan Masalah

Melalui penjabaran di atas, perumusan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Bagaimana gambaran resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi

seksual komersil khususnya sektor prostitusi

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai resiliensi pada remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil.

I.D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi dan perluasan teori di bidang psikologi perkembangan, yakni mengenai resiliensi pada remaja putri. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian di bidang psikologi perkembangan, sehingga hasil penelitian ini


(24)

nantinya diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan penunjang untuk penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti-peneliti lainnya yang berminat meneliti lebih lanjut mengenai resiliensi pada remaja putri.

b. Bagi Kepolisian Wilayah Hukum Sumatera Utara

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi aparat Kepolisian Wilayah Hukum Sumatera Utara khususnya Unit Penanganan Perempuan dan Anak, sehingga dapat melakukan pemeriksaan serta penanganan yang tepat sehingga dapat membuat remaja putri tidak merasa takut saat memberikan keterangan kepada pihak kepolisian.

c. Bagi Orang tua

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para orangtua sehingga diharapkan orangtua dapat memberikan dukungan yang maksimal kepada remaja yang telah menjadi korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi. Dengan menyediakan lingkungan yang dapat memfasilitasi tercapainya resiliensi remaja putri korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi.

d. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Terkait Lainnya

Bagi LSM dan lembaga terkait lainnya yang menangani permasalahn-permasalahn yang menimpa remaja dan anak-anak, diharapkan nantinya


(25)

informasi dari penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan pendampingan dan penanganan yang bersifat suportif kepada korban eksploitasi seksual sektor prostitusi.

I.E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :

BAB I : Pendahuluan

Pendahuluan berisi mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Landasan teori berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian

BAB III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur penelitian.

BAB IV : Analisa Dan Interpretasi Data

Analisa Data dan Interpretasi berisi pendeskripsian data responden, analisa dan interpretasi data yang dperoleh dari hasil wawancara


(26)

yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan dan diskusi.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan, dan Saran yang menjelaskan kesimpulan dari penelitian ini, diskusi mengenai hasil penelitian yang ada serta saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini.


(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. RESILIENSI

II.A.1. Pengertian Resiliensi

Kata resiliensi sendiri berasal dari bahasa latin abad pertengahan ’resilire’

yang berarti ’kembali’. Dalam bahasa inggris, kata ’resiliency’ atau ’resilient’ biasa digunakan untuk menyebutkan suatu kondisi seseorang yang berhasil kembali dari kondisi terpuruk. Jika dilihat dari asal dan makna kata, maka resiliensi secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk kembali pada kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yang terpuruk (Putrantie, 2008).

Resiliensi merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli

behavioral dalam mengetahui, mendefinisikan, dan mengukur kapasitas individu untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse

conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali pulih

(recovery) dari kondisi tekanan (Manara Untung, 2008). Sementara itu resiliensi menurut Grotberg (2000) merupakan sebagai proses dinamis individu dalam mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat dan mentrasformasikan pengalaman-pengalaman yang dialami pada situasi sulit menuju pencapaian adaptasi yang positif .


(28)

Desmita (2005) mengatakan resiliensi merupakan kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Adanya resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan (Desmita, 2005).

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bangkit kembali pada kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yang terburuk, dimana resiliensi merupakan proses dinamis individu dalam mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat dan mentransformasikan pengalaman-pengalaman yang di alami pada situasi sulit menuju pencapaian adaptasi yang positif.

II.A.2. Karakteristik Resiliensi

Karakteristik resiliensi menurut Wolin dan Wolin (1999, dalam Rezki Rahayu, 2008) adalah sebagai berikut :

1. Insight

Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan

menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam


(29)

berbagai situasi. Insight adalah kemapuan yang paling mempengaruhi resiliensi.

2. Kemandirian

Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emocional maupun fisik dari sumber masalah dalah hidup seseorang. Kemandiran melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain.

3. Hubungan

Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau memiliki role

model yang sehat. 4. Inisiatif

Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas kehidupan sendiri atau masalah yang sedang dihadapi. Individu yang resilien bersikap proaaktif, bukan kreatif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat diubah.

5. Kreativitas

Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif, sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat


(30)

keputusan yang benar. 6. Humor

Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. 7. Moralitas

Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik resiliensi merupakan kemampuan mental bertanya pada diri sendiri, kemandirian yang dimiliki individu, hubungan yang saling mendukung, inisiatif pada individu, kemampuan kreatif yang dimiliki individu, kemampuan humor yang individu dalam menjalani kehidupan serta orientasi nilai yang dimiliki.

II.A.3. Faktor dan Sumber Resiliensi

Grotberg (2000) mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi seseorang. Faktor-faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumber yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan), kekuatan personal yang


(31)

berkembang dalam diri seseorang (seperti self esteem, a capacity for self monitoring, spritualits dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik dan kemampuan berkomunikasi).

Grotberg (2000) mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang di identifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya digunakan istilah I Have, untuk kekuatan individu dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, dan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah I Can.

Setiap sumber dari masing-masing faktor memberikan kontribusi pada berbagai jenis tindakan yang dapat meningkatkan pencapain resiliensi seseorang. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang resilien.

1. I Have

Grotberg (2000) mengungkapkan bahwa I have merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. Sebelum seseorang menyadari siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), remaja membutuhkan dukungan eksternal dan sumber daya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan, yaitu inti untuk mengembangkan reesiliensi dalam diri remaja tersebut. Sumber-sumber dari faktor I Have yang harus dikembangkan oleh remaja untuk menjadi individu yang resilien adalah :


(32)

a. Hubungan yang Dilandasi Kepercayaan

Individu yang resilien memperoleh dukungan berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang mencintai dan menerima diri remaja tersebut..

b. Struktur dan Peraturan di Rumah

Individu yang resilien juga mempunyai struktur dan aturan di dalam rumah yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para orang tua berharap bahwa anak-anak dapat mematuhi semua peraturan yang ada. Anak-anak juga akan menerima konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan dalam menjalani aturan tersebut. Ketika mereka melanggar aturan, mereka butuh seseorang untuk memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan jika perlu menerapkan hukuman.

c. Dorongan Untuk Mandiri

Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri. Dukungan yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga lainnya akan sangat membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang. Orangtua akan mendukung serta melatih anak untuk dapat berinisiatif dan “berkuasa” atas dirinya sendiri untuk mengambil keputusan tanpa harus bergantung pada orang lain.


(33)

d. Role Models

Individu yang resilien mempunyai orang-orang yang dapat menunjukkan apa yang harus remaja lakukan seperti mencari informasi terhadap sesuatu dan memberikan semangat agar remaja mengikutinya dengan tujuan membuat remaja tersebut bangkit dan kembali menjadi sosok yang mandiri dari sebelumnya.

e. Memperoleh Layanan Kesehatan, Pendidikan, Keamanan dan Kesejahteraan

Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal ini akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam diri remaja.

2. I Am

Grotberg (2000) mengatakan bahwa I Am merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Beberapa sumber yang dimiliki oleh remaja dan harus dikembangkan oleh remaja adalah :

a. Bangga Terhadap Diri Sendiri

Individu yang resilien tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika individu mempunyai


(34)

masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.

b. Disayang dan Disukai Orang Lain

Individu yang resilien pasti mempunyai orang yang menyukai dan mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain.

c. Percaya Diri, Optimis dan Penuh Harap

Bagian yang lain adalah dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih tinggi.

d. Memiliki Empati dan Peduli Terhadap Sesama

Individu yang resilien juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi.


(35)

e. Mampu Bertanggung Jawab Terhadap Perilaku Sendiri dan Menerima Konsekuensinya

Individu yang resilien dapat melakukan berbagai macam hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.

3. I Can

I Can merupakan kemampuan individu untuk mengungkapkan

perasaan dan berpikir dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai setting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. Beberapa sumber dalam faktor ini yang dimiliki oleh remaja dan harus dikembangkannya adalah :

a. Mampu Mengungkapkan Pikiran dan Perasaan dalam Berkomunikasi

Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.

b. Menjalin Hubungan Yang Saling Mempercayai

Individu yang resilien mencari hubungan yang dapat di percaya dimana individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna


(36)

mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal.

c. Mampu Mengelola Perasaan

Individu yang resilien memiliki keterampilan berkomunikasi dimana individu mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta merasakan perasaan orang lain.

d. Mampu Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain

Individu yang resilien mampu mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain dimana individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi.

e. Mampu Memecahkan Masalah

Individu yang resilien memiliki kemampuan memecahkan masalah. Individu dapat menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui apa yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan apa yang mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat membicarakan berbagai masalah dengan orang lain dan menemukan penyelesaian


(37)

masalah yang paling tepat dan menyenangkan. Individu terus-menerus bertahan dengan suatu masalah sampai masalah tersebut terpecahkan. Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor I have, I am, dan I can. Untuk menjadi seorang yang resilien tidak cukup hanya memiliki satu faktor saja, melainkan harus ditopang oleh faktor-faktor lainnya (Desmita, 2005). Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan resiliensi remaja, ketiga faktor tersebut harus saling berinteraksi satu sama lain, interaksi ketiga faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan sosial dimana remaja hidup (Desmita, 2005).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi memiliki faktor yang terdiri dari pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya (I Have), kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya (I Am), kemampuan individu untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal (I Can). Dimana ketiga faktor tersebut masing-masing memiliki sumber yang memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia tidak termasuk orang yang beresiliensi.


(38)

II.B. EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL

II.B.1. Pengertian Eksploitasi Seksual Komersil

ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010) menjabarkan bahwa eksploitasi seksual komersil adalah salah satu masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian serius karena dampaknya sangat merugikan dan membahayakan kelangsungan serta masa depan remaja putri korban eksploitasi seksual komersil. Remaja putri yang dilacurkan bukan saja rentan terhadap hinaan, penipuan dan marginaliasi, tetapi juga banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya untuk berkembang secara sehat.

Eksploitasi seksual komersil adalah penggunaan seseorang untuk tujuan-tujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa kebaikan bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual terhadap remaja yang menjadi korban (ECPAT, 2006).

Eksploitasi seksual komersil merupakan sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak yang beranjak dewasa. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap korban, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Remaja yang menjadi korban eksploitasi tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial yang terjadi pada remaja putri merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan


(39)

terhadap remaja tersebut, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern (ECPAT, 2008). Melalui eksploitasi seksual yang menimpa remaja putri, remaja tersebut tidak hanya menjadi sebuah objek seks tetapi juga sebuah komunitas yang membuatnya berbeda dalam hal intervensi (ECPAT, 2006).

ECPAT Internasional (2008) membagi eksploitasi seksual komersil menjadi lima bentuk, yaitu :

1. Prostitusi, tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang remaja putri untuk melakukan tindakan seksual demi mendapatkan uang atau imbalan lain.

2. Pornografi, pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan remaja putri di dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang menampilkan bagian tubuh remaja tersebut demi tujuan-tujuan seksual.

3. Perdagangan remaja putri untuk tujuan seksual, prose perekrutan, pemindah-tanganan atau penampungan dn penerimaan remaja putri untuk tujuan eksploitasi seksual.

4. Wisata seks, eksploitasi seksual komersil yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan di tempat tersebut mereka berhubungan seks dengan para remaja putri.

5. Pernikahan dengan remaja berusia dibawah 18 tahun, memungkinkan remaja tersebut menjadi korban eksploitasi seksual komersil, sebab tujuan menikahi remaja tersebut untuk menjadikannya sebagai objek seks dan menghasilan uang atau imbalan lainnya (ECPAT, 2008)


(40)

Berdasarakan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa eksploitasi seksual komersil adalah sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Perbuatan itu terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa, pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak atau orang ketiga yang menjadikan anak sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial.

II.B.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Eksploitasi Seksual Komersil

Saptari (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan ada tiga faktor yang mempengaruhi remaja menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Pertama, karena keadaan ekonomi atau kondisi kemiskinan yang dialami remaja korban eksploitasi seksual komersil. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi remaja yang sudah tidak perawan kecuali masuk kedalam peran yang diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan. Selain karena faktor kemiskinan yang membelenggu, menurut Jones et al (dalam Suyanto, 2010) ada faktor lain yang seperti kurangnya perhatian dari orang tua, beberapa kepercayaan tradisional serta kehidupan urban yang konsumtif.

Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual komersil pada remaja. Walaupu karakteristik setiap daerah tidak persis sama, namun secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eksploitasi seksual komersil terbagi atas faktor pendorong dan faktor penarik. ECPAT (2008) menjabarkan faktor-faktor tersebut, yaitu :


(41)

a. Faktor pendorong

1. Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang diperberat oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan penggerusan di sektor pertanian

2. Perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan pertumbuhan pusat-pusat industrian di perkotaan

3. Ketidaksetaraan gender dan praktek-praktek diskriminasi

4. Adanya tangung jawab anak yang sudah remaja untuk mendukung keluarga

5. Pergeseran dari perekonomian subsisten menjadi ekonomi berbasis pembayaran tunai

6. Peningkatan komsumerisme

7. Disintegrasi keluarga

8. Pertumbuhan jumlah anak gelandangan

b. Faktor penarik

1. Jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut remaja put ri sebagai korban eksploitasi seksual

2. Pernikahan yang diatur dimana pengantin yang masih remaja terkadang akan dijual ke rumah bordil setelah menikah

3. Permintaan dari pekerja migran

4. Promosi internasionl mengenai industri seks remaja putri melalui teknologi informasi.


(42)

Faktor lainnya yang mempengaruhi remaja terjerumus menjadi korban eksploitasi seksual komersil adalah gaya berpacaran remaja yang tidak sehat, berpacaran di luar batas hingga tidak perawan lagi atau dikecewakan pacar. Sementra faktor lainnya adalah gaya hidup konsumerisme, yakni ingin mengikuti gaya hidup mewah seperti punya telepon genggam (handphone) bagus, baju bagus, dan sebagainya. Yang terakhir adalah pengaruh dari teman bergaul serta pengaruh budaya dibeberapa daerah di Indonesia (ECPAT, 2008).

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eksploitasi seksual komersil pada remaja putri adalah disebabkan faktor ekonomi, faktor pergaulan bebas serta budaya.

II.B.3. Dampak Eksploitasi Seksual Komersil

Di berbagai komunitas, disadari bahwa eksploitasi seksual komersil adalah sebuah masalah yang sulit untuk dihilangkan begitu saja, paling tidak ada akibat yang kemungkinan besar akan menimpa remaja-remaja korban eksploitasi seksual komersil jika dibiarkan larut dalam kondisi dan pekerjaan tersebut yang sesungguhnya tidak pernah mereka sadari resiko dan bahayanya (Suyanto, 2010). Eksploitasi seksual komersil dalam bentuk apapun sangat membahayakan hak-hak seseorang untuk menikmati masa remaja mereka dan kemampuan mereka untuk hidup produktif (ECPAT, 2006). Tindakan tersebut dapat mengakibatkan dampak-dampak yang serius, seumur hidup, bahkan mengancam jiwa korban eksploitasi seksual tersebut sehubungan dengan perkembang fisik, psikologis, spiritual, emosional, dan sosial serta kesejahteraan remaja korban eksploitasi seksual.


(43)

Suyanto (2010) mengungkapkan beberapa dampak eksploitasi seksual komersil pada remaja yaitu, karena remaja-remaja korban eksploitasi seksual komersil itu masih berusia belia dan belum memiliki akses yang cukup terhadap informasi-informasi tentang “reproduksi sehat”, maka sesungguhnya mereka belum menggalami kematangan organ reproduksi. Mereka belum mengetahui resiko dari hubungan seksual yang dilakukan secara bebas, sehingga kehamilan dini dan penularan penyakit menular seksual (PMS) dengan seluruh implikasinya dengan mudah akan menimpa remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersi. Tidak mustahil, remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil akan mengandung seorang bayi yang tidak pernah dikehendaki, dan kemuadian memilih untuk melakukan aborsi secara illegal dan jauh dari syarat-syarat medis, sehingga bukan tidak mungkin akan mengancam nyawa mereka sendiri.

Selanjutnya, remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan terjerumus ke dalam dunia prostitusi, sering kali harus menanggung beban psikologis yang berat berupa stigma dari masyarakat atas pekerjaan yang mereka tekuni karena dinilai terkutuk, memalukan, tidak bermoral. Seorang remaja korban eksploitasi seksual, sekalipun mungkin suatu saat mereka menyadari resiko pekerjaannya atau berkat keajaiban berhasil melarikan diri dari cengkraman “germonya”, tidak mustahil suatu saat akan kembali sendiri ke bisnis syahwat ini karena masyarakat sekitarnya cenderung menolak dan menjaga jarak dengan mereka. Seorang remaja korban eksploitasi seksual komersil yang bermaksud akan memasuki kehidupan masyarakat biasanya cenderung memang dilecehkan,


(44)

dan bahkan diisolasi karena khawatir dapat menyebarkan pengaruh buruk bagi remaja-remaja putri lain disekitarnya. Dan yang terakhir, dalam berbagai kasus remaja korban eksploitasi seksual komersil, tak jarang harus mengalami berbagai tindak kekerasan seksual; mulai dari rayuan terselubung, penyekapan, penganiayaan, dan berbagai bentuk tindak kekerasan lainnya.

Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa dampak eksploitasi seksual komersil adalah remaja yang menjadi korbannya tidak hanya mengalami dampak psikologis, namun korban eksploitasi rentan mengalami kehamilan dan penyakit menular seksual, serta rentan mengalami kekerasan seksual.

II.C. REMAJA

II.C.1. Pengertian Remaja

Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah tersebut mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1980).

Piaget (dalam Hurlock, 1980) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.


(45)

Menurut Monks (1999) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang menjalani masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Hurlock mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja adalah individu yang menjalani masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir.

II.C.2. Ciri-ciri Remaja

Hurlock (1980) berpendapat, bahwa semua periode yang penting selama masa kehidupan mempunyai karakteristiknya sendiri. Begitupun masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode masa kanak-kanak dan dewasa. Ciri ciri tersebut antara lain :

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Masa remaja dipandang sebagai periode yang penting daripada periode lain karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, serta akibat-akibat jangka panjangnya. Misalnya saja, perkembangan biologis menyebabkan timbulnya perubahan-perubahan tertentu, baik yang bersifat


(46)

fisiologis yang cepat dan disertai percepatan perkembangan mental yang cepat, terutama pada masa remaja awal. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Anak-anak yang beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa haruslah meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikapnya pada masa yang sudah ditinggalkan. Meskipun disadari bahwa apa yang telah terjadi akan meninggalkan bekasnya dan akan mempengaruhi pola perilaku dan sikap baru. Pada masa peralihan ini remaja bukan lagi seorang anak-anak dan juga bukan orang dewasa. Namun, status remaja yang tidak jelas ini menguntungkan karena status ini memberi waktu kepada remaja untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja beriringan dengan tingkat perubahan fisik. Pada awal masa remaja, ketika perubahan terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung cepat. Begitu pula jika perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga.


(47)

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan, hal tersebut disebabkan karena sepanjang masa kanak-kanak sebahagian besar masalah yang dihadapi oleh remaja diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga remaja tidak berpengalaman dalam menghadapi masalah. Selain itu, remaja juga merasa jika mereka sudah mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan orang lain.

e. Remaja sebagai masa pencarian identitas

Pencarían identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standars kelompok lebih penting dari pada bersikap individualitas. Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja awal masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan, namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Stereotip populer pada masa remaja mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri, dan ini menimbulkan ketakutan pada remaja. Remaja takut bila tidak dapat memenuhi tuntutan masyarakat dan orang tuanya sendiri. Hal ini menimbulkan pertentangan dengan orang tua sehingga membuat jarak bagi anak untuk meminta bantuan kepada orang tua guna mengatasi pelbagai masalahnya.


(48)

Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistik cita-citanya ia semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan.

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri masa remaja adalah bahwa masa remaja adalah periode yang penting, periode peralihan, periode perubahan, usia yng bermasalah, mencari identitas, yang usia yang menimbulkan ketakutan, masa yang tidak realistik dan ambang masa kedewasaan.

II.C.3. Perkembangan Fisik dan Seksual Remaja

Perkembangan fisik remaja didahului dengan perubahan pubertas. Pubertas ialah suatu periode dimana kematangan fisik dan seksual terjadi secara pesat terutama pada awal masa remaja (Santrock, 2007). Menurut Susman & Ragol (dalam Santrock, 2007) pertambahan berat tubuh remaja berlangsung


(49)

bersamaan dengan dimulainya masa pubertas. Selain itu, Rogol, Roemmich & Clark (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa pada puncak pertambahan berat tubuh, berat tubuh remaja putri bertambah rata-rata 18 pon setiap tahunnya di usia sekitar 12 tahun (kurang lebih enam bulan setelah dimulaimya laju pertumbuhan tinggi tubuh).

Susman & Rogol (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa disamping meningkatnya tinggi dan berat tubuh pada remaja putri, masa pubertas juga menimbulkan perubahan pada lebar pinggul dan bahu. Proses melebarnya pinggul pada remaja putri berkaitan dengan meningkatnya hormone estrogen, selain itu wajah remaja putri menjadi lebih bulat dan lembut.

Urutan perubahan fisik pada remaja putri dimulai dengan membesarnya payudara atau tumbuh rambut dikemaluan. Selanjutnya, pertumbuhan rambut diketiak. Seiring dengan perubahan ini, tubuh remaja putri akan bertambah tinggi, dan pinggulnya berkembang menjadi lebih lebar dibandingkan bahunya (Santrock, 2007).

Menstruasi pertama (menarche) pada remaja putri, terjadi diakhir siklus pubertas. Awalnya, siklus menstruasi berlangsung secara tidak teratur dan selama beberapa tahun pertama, hal itu disebabkan remaja putri mungkin tidak mengalami ovulasi di setiap siklus. Remaja putri tidak mengalami perubahan suara seperti yang dialami oleh remaja laki-laki, namun remaja putri memiliki payudara yang lebih penuh di akhir masa pubertasnya (Santrock, 2007). Galambos (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa pubertas juga memperkuat


(50)

aspek-aspek seksual dari sikap dan perilaku. Ketika tubuh dialiri oleh hormon, maka remaja putri mulai berperilaku feminim.

Pada masa ini, kehidupan remaja mulai dipenuhi oleh hal-hal yang berbau seksualitas, dimana masa remaja merupakan masa eksplorasi seksual dan mengintegrasikan seksualitas ke dalam identitas seseorang. Kebanyakan remaja memiliki rasa ingin tahu yang tidak ada habis-habisnya mengenai seksualitas (Santrock, 2007). Proses tersebut berlangsung cukup lama dan melibatkan proses belajar untuk mengelola perasaan-perasaan seksual, seperti gairah seksual dan perasaan tertarik, mengembangkan bentuk intimasi yang baru, dan mempelajari keterampilan perilaku seksual untuk menghindari konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan (Santrock, 2007).

Seiring dengan perkembangan seksual yang dialami oleh remaja, mereka juga mulai mengembangkan identitas seksualnya yang melibatkan lebih dari sekedar perilaku seksual, identitas seksual muncul dalam konteks faktor-faktor fisik, faktor sosial, dan faktor budaya, di mana sebagian besar masyarakat cenderung memberikan batasan-batasan terhadap perilaku seksual remaja (Santrock, 2007). Micheal dkk (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa remaja putri belajar untuk mengaitkan hubungan seksual dengan cinta, mereka sering kali merasionalisasikan perilaku seksualnya dengan mengatakan bahwa mereka terbawa oleh gairah sesat. Hyde & DeLameter (dalam Santrock, 2007) menjelaskan jika jatuh cinta menjadi penyebab utama remaja putri menjadi aktif secara seksual. Alasannya lain yang menyebabkan remaja putri aktif secara seksual adalah karena mereka membiarkan ketika didesak oleh laki-laki, yang


(51)

merupakan suatu cara agar dapat memperolah pacar, rasa ingin tahu, serta hasrat seksual yang tidak berkaitan dengan cinta dan kepedulian.

Sehubungan dengan perkembangan seksual yang dialami remaja putri, menurut Santelli (dalam Santrock, 2007) kebanyakan remaja yang aktif secara seksual memiliki resiko untuk mengalami masalah seksual dan masalah-masalah lainnya ketika mereka sudah melakukan hubungan seksual sebelum berusia 16 tahun. Buhrmester (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa keterlibatan seksual pada remaja putri di masa remaja berkaitan dengan harga diri yang rendah, tingkat depresi yang lebih besar, tingkat aktivitas seksual yang lebih besar, dan nilai yang rendah di sekolah. Selain itu, Huebner & Howell; Swenson & Prelow (dalam Santrock, 2007) menjabarkan bahwa faktor-faktor resiko untuk masalah seksual pada remaja meliputi faktor-faktor kontekstual seperti status sosial ekonomi (SES) dan lingkungan keluarga atau pola pengasuhan.

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan fisik dan seksual remaja adalah perubahan yang terjadi pada fisik dan organ-organ reproduksi pada remaja baik perempuan maupun laki-laki, yang mempengaruhi pola perilaku seksual remaja tersebut.

II.C.4. Perkembangan Sosial Remaja

II.C.4.a. Perkembangan Hubungan Dengan Teman Sebaya

Selama masa remaja terjadi perubahan-perubahan yang dramatis, baik dalam segi fisik maupun kognitif. Perubahan-perubahan tersebut, ternyata berpengaruh besar terhadap perubahan dalam perkembangan sosial remaja itu


(52)

sendiri (Desmita, 2005). Perkembangan sosial pada remaja merupakan salah satu tugas yang paling sulit, karena hal tersebut berhubungan dengan penyesuaian sosial mereka. Remaja juga harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja juga harus membuat banyak penyesuaian baru yaitu penyesuaian diri dengan pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial serta nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin (Hurlock, 1980).

Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bersosialisasi

(sozialed), memerlukan tiga proses. Dimana masing-masing proses tersebut

terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan, sehingga kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasi individu. Menurut Hurlock (1980) tiga proses dalam perkembangan sosial adalah sebagai berikut :

1. Berperilaku dapat diterima secara sosial

Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bersosialisasi, seseorang tidak hanya harus mengetahui perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan prilakunya sehingga ia bisa diterima sebagain dari masyarakat atau lingkungan sosial tersebut.


(53)

2. Memainkan peran di lingkungan sosialnya.

Setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama oleh para anggotanya dan setiap anggota dituntut untuk dapat memenuhi tuntutan yang diberikan kelompoknya.

3. Memiliki Sikap yang positif terhadap kelompok Sosialnya

Untuk dapat bersosialisasi dengan baik, seseorang harus menyukai orang yang menjadi kelompok dan aktifitas sosialnya. Jika seseorang disenangi berarti, ia berhasil dalam penyesuaian sosial dan diterima sebagai anggota kelompok sosial tempat mereka menggabungkan diri.

Perkembangan kehidupan sosial remaja juga ditandai dengan gejala meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan remaja itu sendiri. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebayanya (Desmita, 2005). Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima kawan sebaya atau kelompoknya. Remaja akan merasa senang apabila diterima oleh kelompoknya, dan sebaliknya mereka akan merasa sangat tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh kawan-kawan sebayanya (Santrock, 2007). Pada masa ini remaja cenderung menghabiskan waktu di luar rumah dan lebih bergantung pada teman-temannya. Kelompok teman sebaya mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap, minat, penampilan, dan tingkah laku remaja dibandingkan dengan pengaruh keluarga (Hurlock, 1980). Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 1980) menjelaskan pengaruh teman sebaya pada masa remaja adalah sebagai tempat dimana remaja dapat menguji dirinya sendiri dan orang lain. Di dalam kelompok teman sebaya


(54)

remaja merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya. Kelompok teman sebaya memberikan sebuah dunia dimana remaja dapat melakukan sosialisasi dimana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman seusianya.

Hubungan relasi yang baik di antara kawan-kawan sebaya dibutuhkan bagi perkembangan sosial yang normal di masa remaja. Relasi di antara kawan-kawan sebaya di masa kanak-kanak dan masa remaja juga berdampak bagi perkembangan di masa selanjutnya (Santrock, 2007). Pada masa remaja, remaja cenderung konform dengan teman-teman sebayanya, konformitas terjadi apabila individu mengadopsi sikap atau perilaku orang lain karena merasa didesak oleh orang lain (baik desakan nyata atau hanya bayangan saja). Desakan untuk konform

pada kawan-kawan sebaya cenderung sangat kuat selama masa remaja (Santrock, 2007).

Konformitas terhadap desakan kawan-kawan sebaya dapat bersifat positif ataupun negatif. Remaja belasa tahun dapat terlibat dalam semua jenis perilaku konformitas yang bersifat negatif, misalnya saja menggunakan bahasa gaul, mencuri, melakukan pengerusakan, serta mempermainkan orang tua dan guru. Meskipun demikian, terdapat banyak bentuk konformitas kawan-kawan sebaya yang tidak bersifat negatif dan lebih merupakan keinginan untuk bergabung dalam dunia yang sama dengan kawan-kawan, seperti gaya berpakaian yang mirip dengan kawan-kawan, dan ingin meluangkan waktu bersama kawan-kawan. Situasi semacam itu mungkin melibatkan aktivitas-aktivitas prososial, seperti kelompok yang mengumpulkan dana untuk tujuan mulia (Santrock, 2007).


(55)

Clasen & Brown (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan desakan dari kawan-kawan sebaya merupakan suatu tema yang terdapat dalam kehidupan remaja. Kekuatan pengaruh ini dapat teramati dalam hampir semua dimensi perilaku remaja, seperti pilihan dan cara berpakaian, musik, dan gaya bahasa.

II.C.4.b. Perkembangan Hubungan Terhadap Lawan Jenis

Dari semua perubahan yang terjadi pada masa remaja, baik dalam sikap maupun perilaku sosial, yang paling menonjol terjadi dalam hubungan dengan lawan jenis (Hurlock, 1980). Dalam waktu yang singkat remaja melakukan perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya dari pada sejenisnya (Hurlock, 1980). Perkembangan hubungan terhadap lawan jenis mengikuti pola tertentu. Namun, terdapat perbedaan usia dalam mencapai berbagai tahap dalam perkembangannya, sebagian karena adanya perbedaan kematangan seksual dan sebagian lagi karena adanya perbedaan dalam kesempatan untuk mengembangkan minat (Hurlock, 1980). Ada dua unsur yang berbeda dalam perkembangan hubungan terhadap teman sebaya. Yang pertama adalah perkembangan pola perilaku yang melibatkan kedua jenis kelamin dan kedua adalah perkembangan sikap yang berhubungan dengan relasi antara kedua kelompok jenis kelamin (Hurlock, 1980).

Pada masa ini, remaja juga melakukan interaksi dengan lawan jenis mereka, interaksi tersebut merupakan hubungan romantis yang pada awalnya remaja belum termotivasi untuk memenuhi kebutuhan kelekatan atau bahkan kebutuhan seksual. Hubungan romantis pada remaja hanya berfungsi untuk


(56)

berekplorasi mengenai seberapa menariknya diri mereka, bagaimana berinteraksi secara romantis, dan bagaimana kesannya dirinya bagi kelompok kawan sebaya (Santrock, 2007).

Hubungan romantis yang dijalin pada masa remaja mempunyai banyak tujuan bagi kehidupan remaja itu sendiri, khususnya untuk remaja masa kini (Hurlock, 1980). Karena hubungan romantis yang terjalin tersebut menyajikan berbagai tujuan maka dapatlah dimengerti bila remaja menghendaki bermacam-macam orang sebagai pasangan untuk setiap jenis hubungan yang berbeda (Hurlock, 1980).

Hubungan romantis yang terjalin pada remaja saat ini sudah mengalami perubahan perilaku seksual yang tampak menonjol, namun perubahan sikap seksual lebih menonjol lagi (Hurlock, 1980). Hal tersebut terlihat dari adanya anggapan normal dikalangan remaja bila hubungan seks sebelum menikah dilakukan atas dasar saling mencintai dan saling terikat (Hurlock, 1980). Remaja masa kini menganggap bahwa ungkapan-ungkapan cinta dalam hubungan romantis mereka apa pun bentuknya, adalah baik sejauh kedua pasangan remaja saling tertarik (Hurlock, 1980).

Furman & Werner (1998, dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa setelah remaja memperoleh sejumlah kompetensi dasar dalam berinteraksi dengan pacarnya, maka pemenuhan kebutuhan kelekatan dan kebutuhan seksual menjadi hal yang utama dalam hubungan romantis tersebut. Selain itu, remaja yang menjalin hubungan romantis juga memiliki sikap-sikap tertentu terhadap lawan


(57)

jenisnya ketika berinteraksi. Sikap tersebut sering diwarnai hal-hal yang tidak realistis dan sangat romantis. Remaja putri tidak lagi memandang laki-laki seperti anak laki-laki melainkan sebagai pahlawan (Hurlock, 1980).

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan sosial remaja adalah kemampuan remaja membina hubungan dengan teman-teman sebayanya, baik dengan teman yang berjenis kelamin sama maupun berbeda dan juga dengan orang dewasa lainnya. Perkembangan sosial remaja juga meliputi bagaimana remaja tersebut membangun hubungan romantisnya dengan pacarnya.

II.D. Resiliensi Pada Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil

Masten, Best dan Garmezy (dalam Alvord dan Grados, 2005) mendefinisikan resiliensi sebagai proses, kapasitas atau keberhasilan adaptasi terhadap situasi yang penuh tantangan atau mengancam. Sementara itu, Dyer dan McGuinness (2004) melihat resiliensi sebagai sesuatu yang lebih global, sebagai proses yang dinamis, sangat di pengruhi oleh faktor-faktor protektif, karena itu individu menjadi tahan terhadap kemalangan dan dapat meneruskan kehidupannya.

Resiliensi merupakan satu perangkat karakteristik yang dimiliki individu yang membuatnya memiliki kekuatan dalam menghadapi kesulitan dan rintangan dalam keehidupan, kapasitas seseoranbg untuk menghadapi (coping) terhadap stres dan masalah-masalah besar, serta merupakan indikasi dari adanya daya tahan dalam menghadapi situasi yang negatif dan tetap berkembang menjadi individu yag berkualitas positif dan sehat (Sagor, 1996; Foster, 2006 dalam Paddock, 2006;


(58)

Wolin dan Wolin, dalam Alimi, 2005).

Luthar (1999 dalam Schoon, 2006) mengatakan bahwa resiliensi merrupakan keberhasilan berperilaku dalam menyelesaikan tugas perkembangan yang penting walaupun untuk menghadapinya terjadi tekanan (stressor) yang berat dan kemungkinan distress emosional.

Thompson (2006) mengatakan jika perlakuan eksploitasi yang dialami oleh remaja putri termasuk perilaku yang menyimpang, baik secara medis, sosial, emosional serta psikologis. Alter-Reid (dalam Thompson, 2006) mengungkapkan sebagian besar remaja putri yang menjadi korban kekerasan, mengalami eksploitasi seksual yang dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri, misalnya orangtua angkat seperti ayah titi, atau remaja putri yang tinggal bersama pacarnya.

Remaja yang telah dieksploitasi, akan mengalami rasa takut, rendah diri, menyesal, dan perasaan bersalah karena sudah “dirusak” setelah berhasil keluar dari lingkaran eksploitasi seksual (Thompson, 2006). Reaksi yang diperlihatkan remaja korban eksploitasi seksual komersil juga berbeda, sesuai dengan tipe dari peristiwa eksploitasi seksual yang dialami remaja dan apakah remaja akan menyalahkan dirinya sendiri atau orang lain setelah dirinya menjadi korban eksploitasi seksual komersil (Thompson, 2006).

Sebagian besar remaja putri korban eksploitasi seksual akan menyalahkan dirinya sendiri, mengalami kebingungan serta memiliki pola pikir yang negatif (Thompson, 2006). Thompson (2006) juga mengungkapkan jika remaja putri korban eksploitasi menganggap eksploitasi yang dialaminya disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri, maka remaja akan memperlihatkan perilaku-perilaku


(59)

yang dapat merugikan diri sendiri, depresi, timbul pikiran-pikiran yang berbahaya, bersikap pasif, menarik diri, merasa malu, jarang berkomunikasi, gelisah dan sulit tidur. Namun, remaja yang cenderung menganggap kejadian yang dialaminya disebabkan karena faktor eksternal, remaja tersebut akan cenderung mengalami gangguan yang berbeda, seperti rasa takut, agresi, memperlihatkan perilaku bermusuhan, perilaku impulsif, serta respon yang kurang baik terhadap rasa takut.

Grotberg (2000) menyatakan remaja yang telah dieksploitasi oleh orang dewasa, akan mengembangkan rasa tidak percaya terdahap orang lain, hal itu disebabkan karena remaja merasa dirinya telah disiksa oleh orang dewasa dan mengambil keuntungan dari penderitaan yang mereka alami. Namun, rasa percaya merupakan hal yang paling medasar untuk pembentukan resiliensi remaja (Grotberg, 2000).

Menurut Grotberg (2000), hanya sedikit remaja yang tidak memiliki factor-faktor resiliensi, setiap remaja korban eksploitasi sesksual komersil memiliki factor-faktor resiliensi tapi banyak korban eksploitasi itu yang tidak tahu bagaimana cara untuk mengembangkan faktor-faktor resiliensi yang ada dalam diri mereka dan dihubungkan denngan kesulitan hidup yang mereka alami.

Remaja korban eksploitasi seksual harus mengenali fakor-faktor resiliensi yang telah mereka miliki untuk meningkatkan resiliensi pada diri mereka, membentuk diri mereka dan memperkuat diri mereka serta meningkatkan faktor-faktor resiliensi yang lemah atau tidak ada (Grotberg, 2000). Lama waktu untuk melakukan penyesuian diri pada remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual


(60)

menentukan bagaimana gambaran resiliensi remaja tersebut berkembang dimasa yang akan datang (Grotberg, 2000).

Grotberg (2000) menjelaskan dalam peningkatan resiliensi remaja ada beberapa faktor resiliensi yang dimiliki oleh semua remaja termasuk remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Faktor-faktor resiliensi tersebut dapat dikenali dan dapat dikembangkan bersamaan dengan factor-faktor resiliensi lainnya pada waktu yang sama.

Orangtua mempunyai pengaruh yang besar dalam resiliensi remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Dimana remaja yang menjadi korban mampu mengatasi kemalangan mereka dalam hidup melalui pengamatan mereka terhadap bagaimana orangtua mereka mengatasi kesulitan (Webster, 1995, dalam Kosteck, 2005). Orangtua bisa menjadi model perilaku yang sukses dalam mengatasi masalah misalnyanya pada sebuah komitmen, kemampuan memiliki impian dan memiliki tujuan dan kemampuan dalam beradaptasi dengan perubahan yang ada dalam kehidupan.


(61)

(62)

EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL

MENIMPA REMAJA PUTRI YANG SEDANG MENGALAMI PERUBAHAN

FISIK SOSIAL SEKSUAL EMOSIONAL

Eksploitasi Seksual Komersi

Prostitus Wisata Seks Perdagangan Pernikahan Dini Pornografi

Faktor pendorong : 1. Kondisi ekonomi 2. Ketidaksetaraan gender 3. Disintegrasi keluarga 4. DLL

Faktor penarik :

1. Jaringan criminal yang terorganisi

2. Permintaan dari pekerja migrant

3. DLL Remaja putri yang

menjadi korban

Remaja mengalami pengalaman traumatis dan mengalami trauma

Dampak positif :

Remaja putri menjadi kuat dan resilien

Dampak negative :

Remaja tetap terpuruk dan mengalami trauma

Adanya sumber-sumber resiliensi yang dimiliki oleh remaja yaitu : dukungan sosial, kekuatan individu dan kemampuan interpersonal

Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil (Prostitusi)


(1)

menurut orangtua Adek tidak ada yang merugikan Adek meskipun ada juga yang mencemooh keadaan Adek.

(P) : Apa yang keluarga lakukan untuk membuat Adek tidak semakin terpuruk ? (J) : Ayah dan ibu Adek serta saudara-saudaranta tetap memberikan semangat

kepada Adek. Serta memberikan nasihat yang mengungkapkan jika Adek termasuk orang yang beruntung dapat bebas dari kehidupan pelacuran serta tidak mengalami sakit seperti kebanyakan orang lainnya. Keluarga juga selalu mengajak Adek untuk sholat bersama serta melakukan pengajian untuk membuat Adek berpasrah kepada Allah SWT dan meyakini jika segala sesuatu ada hikmah yang akan diperoleh nantinya. Serta meyakini jika Adek mempunyai masa depan yang cerah kalau dirinya mau bangkit dan berusaha untuk melakukan yang terbaik bagi dirinya sendiri.

(P) : Bagaimana dukungan mandiri yang keluarga berikan ?

(J) : Keluarga membiarkan Adek melakukan apa yang terbaik sesuai dengan apa yang Adek anggap baik namun tetap berada pada nilai-nilai yang ditanamkan keluarga. Meski pada awalnya keluarga Adek sempat turut campur dengan menentukan apa yang harus Adek lakukan, akan tetapi setelah Adek mengatakan jika dirinya mampu mengambil keputusan sendiri, kedua orangtuanya pun kemudian mengizinkan Adek untuk memiliki sikap atas dirinya sendiri. Tentu saja tetap dalam control kedua orangtuanya, dengan kata lain berdiskusi dahulu sebelum Adek mengambil keputusan.


(2)

(P) : Apakah ada peraturan yang harus Adek patuhi dirumah ?

(J) : Kedua orantuanya mengatakan mereka memang memberikan Adek peraturan yang harus Adek patuhi. Tujuan dari peraturan tersebut adalah untuk menghindarkan Adek dari orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari keadaan Adek. Peraturan tersebut salah satunya adalah, orangtuanya belum mengizinkan Adek menjalin hubungan cinta dengan laki-laki. Karena takur laki-laki yang menjadi pacar Adek tidak mencintai Adek sepenuh hati melainkan hanya ingin mendapatkans sesuatu. Kedua orangtuanya pun bersyukur karena Adek tidak membantah apa yang menjadi peraturan mereka dan tetap mematuhi aturan yang diberi oleh orangtuanya.

2. Hasil wawancara peneliti dengan orang dilingkungan sosial Adek :

(P) : Bagaimana tanggapan kamu ketika tahu Adek menjadi korban pelacuran ? (J) : Orang-orang dilingkungan sosial Adek mengaku sangat terkejut dengan

musibah yang menimpa Adek, apalagi pelakunya adalah sahabat Adeks sendiri dan berasal dari lingkungan yang sama dengan Adek. Hal tersebutlah yang membuat warga sekitar tempat tinggal Adek tidak habis pikir serta ikut prihatin dengan apa yang telah menimpa Adek.

(P) : Bagaiman perlakuan warga (kalian) kepada Adek setelah dia kembali ? (J) : Kebanyakan warga bersimpati atas musibah yang Adek alami. Oleh sebab

itu ketika Adek kembali warga berusaha untuk kembali membaurkan Adek kedalam kegiatan sosial yang ada. Warga juga mengetahui Adek tidak menginginkan musibah tersebut menimpanya, namun hal itu semua terjadi


(3)

karena ketidaktahuan Adek akan niat buruk sahabatnya tersebut. Adek juga orang yang dikenal baik dan ramah serta tidak memilih-milih ketika berteman sehingga hal itu yang membuat warga tidak mengasingkannya. 3. Hasil wawancara peneliti dengan keluarga responden 2 (Lia) :

(P) : Bagaiman sikap keluarga setelah mengetahui responden I (Lia) menjadi korban pelacuran ?

(J) : Keluarga Lia mengaku mereka sangat terkejut dengan peristiwa yang menimpa Lia. Apa lagi pelakunya adalah ayah tirinya sendiri. Meski tidak pernah curiga serta melihat gelagat aneh yang dipertunjukkan Lia maupun ayah tirinya selama Lia dijadikan pelacur nanum keluarga mengakui jika mereka kecolongan serta sangat menyesali peristiwa tersebut. Terutama ibu kandung Lia yang merasa jika dirinya merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian itu. Oleh sebab itu keluarga berusaha sebaik mungkin untuk memberikan perlindungan serta memenuhi semua kebutuhan yang Lia butuhkan.

(P) : Bagaimana keluarga melihat perlakuan orang-orang disekitar sini kepada Lia setelah Lia menjadi korban pelacuran ?

(J) : Ibunya mengaku jika warga mengucilkan Lia serta tidak mau menerima kehadiran Lia dilingkungan tersebut setelah Lia menjadi korban pelacuran serta melahirkan seorang anak laki-laki. Warga selalu menghina serta menjauhi Lia dan anaknya bahkan tak jarang warga juga mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas kepada Lia. oleh sebab itu, Lia tidak memiliki teman dari lingkungan tempat tinggalnya.


(4)

(P) : Apa yang keluarga lakukan untuk membuat Lia tidak semakin terpuruk ? (J) : Keluarga selalu memberikan pertolongan kepada Lia, memenuhi semua

kebutuhan Lia serta menjadikan diri mereka sebaga sahabat Lia karena keluarga menyadari Lia terkucilkan dari lingkungan sosialnya.

(P) : Bagaimana dukungan mandiri yang keluarga berikan ?

(J) : Keluarga memberikan Lia modal usaha untuk memulai satu usaha baru sehingga Lia memiliki kegiatan yang kelak mampu menafkahinya dan anaknya.

(P) : Apakah ada peraturan yang harus Lia patuhi dirumah ?

(J) : Keluarga tidak pernah memberikan peraturan rumah untuk Lia, mereka menyakini jika Lia sudah dewasa dan sudah mampu mengatahui apa yang baik untuk dirinya dan apa yang tidak. Keluarga tidak ingin dengan adanya peraturan yang mereka terapkan akan semakin membuat Lia merasa tidak nyaman tinggal bersama keluarganya.

4. Hasil wawancara dengan orang dilingkungan sosial Lia :

(P) : Bagaimana tanggapan kamu ketika tahu Lia menjadi korban pelacuran ? (J) : Warga sekitar mengaku sangat terkejut dengan musibah yang dialami oleh

Lia. Mereka tidak menyangka jika ayah tiri Lia yang mereka pandang baik tega melakukan hal keji kepada anak tirinya, apa lagi menurut warga sekitar biaya hidup ayah tirinya tersebut ditanggung oleh ibu Lia yang bekerja sebagai pedagang jagung dan padi.


(5)

(J) : Warga mengaku sangat kasihan atas apa yang terjadi kepada Lia. sudah jatuh tertimpa tangga pula, sudah dijadikan pelacur, punya anak pula dan tidak jelas siapa bapak dari anaknya. Namun rasa kasihan tersebut berubah menjadi muak ketika keluarga Lia menuduh bahwa anak ketua adat di daerah tersebutlah yang yang telah menghamili Lia. Warga mengatakan jika keluarga Lia begitu saja percaya ucapan yang dilontarkan oleh ayah tirinya tersebut tanpa membuktikan terlebih dahulu. Sehingga anak kepala suku itu sempat dipaksa dan dipukul oleh keluarga Lia. Setelah mengetahui jika tuduhan tersebut tidak terbukti, keluarga Lia tidak pernah mendatangi rumah kepala adat didaerah tersebut untuk meminta maaf hingga saat ini. Itulah yang membuat warga tidak menyukai kehadiran Lia dan keluarganya.

5. Wawancara tambahan dengan paman responden II (Lia) :

(P) : Sebenarnya apa alasan ayah tiri Lia memperkosan Lia dan menjadikannya sebagai pelacur ?

(J) : Menurut paman Lia, alasan ayah tirinya memperkosa serta menjual Lia kepada laki-laki hidung belang adalah rasa sakit hati ayah tirinya tersebut kepada ibu Lia. Dikatakan paman Lia, ketika dirinya menanyai alasan ayah tirinya berbuat keji kepada Lia ayah tiri Lia mengaku sering dibentak, dihina serta merasa harga dirinya direndahkan oleh sang istri. Karena tidak mampu membalas rasa sakit hatinya kepada istrinya, ayah tiri Lia kemudian melampiaskan rasa tersebut kepada Lia. Paman Lia mengatakan sebelum Lia diperkosa, ayahnya meminum minuman keras


(6)

terlebih dahulu. Karena rasa sakit hati tersebutlah Lia kemudian mengalami pengalaman pahit. Paman Lia juga mengatakan hingga saat ini alasan tersebut disembunyikan dari Lia, mereka tidak ingin Lia membenci ibu kandungnya sendiri.