Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban (Prostitusi) Eksploitasi Seksual Komersil

27

BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. RESILIENSI
II.A.1. Pengertian Resiliensi
Kata resiliensi sendiri berasal dari bahasa latin abad pertengahan ’resilire’
yang berarti ’kembali’. Dalam bahasa inggris, kata ’resiliency’ atau ’resilient’
biasa digunakan untuk menyebutkan suatu kondisi seseorang yang berhasil
kembali dari kondisi terpuruk. Jika dilihat dari asal dan makna kata, maka
resiliensi secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk
kembali pada kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yang
terpuruk (Putrantie, 2008).
Resiliensi merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli
behavioral dalam mengetahui, mendefinisikan, dan mengukur kapasitas individu

untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse
conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali pulih

(recovery) dari kondisi tekanan (Manara Untung, 2008). Sementara itu resiliensi
menurut Grotberg (2000) merupakan sebagai proses dinamis individu dalam

mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat dan
mentrasformasikan pengalaman-pengalaman yang dialami pada situasi sulit
menuju pencapaian adaptasi yang positif .

Universitas Sumatera Utara

28

Desmita (2005) mengatakan resiliensi merupakan kemampuan atau
kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang
memungkinkannya

menghadapi,

mencegah,

meminimalkan

dan


bahkan

menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak
menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan
menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Adanya resiliensi akan membuat
seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi
yang tidak menyenangkan (Desmita, 2005).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa resiliensi
adalah kemampuan seseorang untuk bangkit kembali pada kondisi semula ketika
menghadapi tantangan atau kondisi yang terburuk, dimana resiliensi merupakan
proses dinamis individu dalam mengembangkan kemampuan diri untuk
menghadapi, mengatasi, memperkuat dan mentransformasikan pengalamanpengalaman yang di alami pada situasi sulit menuju pencapaian adaptasi yang
positif.
II.A.2. Karakteristik Resiliensi
Karakteristik resiliensi menurut Wolin dan Wolin (1999, dalam Rezki
Rahayu, 2008) adalah sebagai berikut :
1. Insight
Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan

menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat

memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam

Universitas Sumatera Utara

29

berbagai situasi. Insight adalah kemapuan yang paling mempengaruhi
resiliensi.
2. Kemandirian
Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emocional
maupun fisik dari sumber masalah dalah hidup seseorang. Kemandiran
melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada
diri sendiri dengan peduli pada orang lain.
3. Hubungan
Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur,
saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau memiliki role
model yang sehat.
4. Inisiatif
Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas
kehidupan sendiri atau masalah yang sedang dihadapi. Individu yang

resilien bersikap proaaktif, bukan kreatif, bertanggung jawab dalam
pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi
yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi
hal-hal yang tidak dapat diubah.
5. Kreativitas
Kreativitas

melibatkan

kemampuan

memikirkan

berbagai

pilihan,

konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu
yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif, sebab ia mampu
mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat


Universitas Sumatera Utara

30

keputusan yang benar.
6. Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang kehidupan,
menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi
apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk
memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan.
7. Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai dengan keinginan untuk hidup
secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi
berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan
pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri
dalam membantu orang yang membutuhkan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik
resiliensi merupakan kemampuan mental bertanya pada diri sendiri, kemandirian
yang dimiliki individu, hubungan yang saling mendukung, inisiatif pada individu,

kemampuan kreatif yang dimiliki individu, kemampuan humor yang individu
dalam menjalani kehidupan serta orientasi nilai yang dimiliki.
II.A.3. Faktor dan Sumber Resiliensi
Grotberg (2000) mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi
resiliensi seseorang. Faktor-faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan
sumber-sumber yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga
pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan), kekuatan personal yang

Universitas Sumatera Utara

31

berkembang dalam diri seseorang (seperti self esteem, a capacity for self
monitoring, spritualits dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi

konflik dan kemampuan berkomunikasi).
Grotberg (2000)

mengemukakan


faktor-faktor

resiliensi

yang

di

identifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk dukungan
eksternal dan sumber-sumbernya digunakan istilah I Have, untuk kekuatan
individu dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, dan untuk kemampuan
interpersonal digunakan istilah I Can.
Setiap sumber dari masing-masing faktor memberikan kontribusi pada
berbagai jenis tindakan yang dapat meningkatkan pencapain resiliensi seseorang.
Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber dari setiap faktor, tetapi
apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai individu yang resilien.
1. I Have
Grotberg (2000) mengungkapkan bahwa I have merupakan sumber
resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya

dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya.
Sebelum seseorang menyadari siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia
lakukan (I Can), remaja membutuhkan dukungan eksternal dan sumber
daya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan, yaitu
inti untuk mengembangkan reesiliensi dalam diri remaja tersebut. Sumbersumber dari faktor I Have yang harus dikembangkan oleh remaja untuk
menjadi individu yang resilien adalah :

Universitas Sumatera Utara

32

a. Hubungan yang Dilandasi Kepercayaan
Individu yang resilien memperoleh dukungan berupa hubungan yang baik
dengan keluarga, lingkungan sekolah

yang menyenangkan, ataupun

hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I have, seseorang
merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini
diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman

yang mencintai dan menerima diri remaja tersebut..
b. Struktur dan Peraturan di Rumah
Individu yang resilien juga mempunyai struktur dan aturan di dalam rumah
yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para orang tua berharap bahwa
anak-anak dapat mematuhi semua peraturan yang ada. Anak-anak juga
akan menerima konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan
dalam menjalani aturan tersebut. Ketika mereka melanggar aturan, mereka
butuh seseorang untuk memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan
jika perlu menerapkan hukuman.
c. Dorongan Untuk Mandiri
Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan
dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya
sendiri. Dukungan yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga
lainnya akan sangat membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam
diri seseorang. Orangtua akan mendukung serta melatih anak untuk dapat
berinisiatif dan “berkuasa” atas dirinya sendiri untuk mengambil
keputusan tanpa harus bergantung pada orang lain.

Universitas Sumatera Utara


33

d. Role Models

Individu yang resilien mempunyai orang-orang yang dapat menunjukkan
apa yang harus remaja lakukan seperti mencari informasi terhadap sesuatu
dan memberikan semangat agar remaja mengikutinya dengan tujuan
membuat remaja tersebut bangkit dan kembali menjadi sosok yang
mandiri dari sebelumnya.
e. Memperoleh Layanan Kesehatan, Pendidikan, Keamanan dan
Kesejahteraan
Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal
ini akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam
diri remaja.
2. I Am
Grotberg (2000) mengatakan bahwa I Am merupakan kekuatan
yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan,
tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Beberapa sumber
yang dimiliki oleh remaja dan harus dikembangkan oleh remaja adalah :

a. Bangga Terhadap Diri Sendiri
Individu yang resilien tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting
dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka
lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain
meremehkan atau

merendahkan mereka. Ketika individu mempunyai

Universitas Sumatera Utara

34

masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka
untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
b. Disayang dan Disukai Orang Lain
Individu yang resilien pasti mempunyai orang yang menyukai dan
mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang
menyukai dan mencintainya. seseorang dapat mengatur sikap dan
perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara
dengan orang lain.
c. Percaya Diri, Optimis dan Penuh Harap
Bagian yang lain adalah dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan.
Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi
yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah,
dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri
dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya
sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai
spiritual yang lebih tinggi.
d. Memiliki Empati dan Peduli Terhadap Sesama
Individu yang resilien juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan
sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka
tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi
pada orang lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan dan
penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk
mengatasi masalah yang terjadi.

Universitas Sumatera Utara

35

e. Mampu Bertanggung Jawab Terhadap Perilaku Sendiri dan
Menerima Konsekuensinya
Individu yang resilien dapat melakukan berbagai macam hal menurut
keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya.
Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal
tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai
kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
3. I Can
I Can merupakan kemampuan individu untuk mengungkapkan

perasaan dan berpikir dalam berkomunikasi dengan orang lain,
memecahkan masalah dalam berbagai setting kehidupan (akademis,
pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta
mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. Beberapa sumber dalam
faktor ini yang dimiliki oleh remaja dan harus dikembangkannya adalah :
a. Mampu

Mengungkapkan

Pikiran

dan

Perasaan

dalam

Berkomunikasi
Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta
memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu

mengekspresikan

pikiran dan perasaan mereka dengan baik.
b. Menjalin Hubungan Yang Saling Mempercayai
Individu yang resilien mencari hubungan yang dapat di percaya dimana
individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman
sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna

Universitas Sumatera Utara

36

mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah
personal dan interpersonal.
c. Mampu Mengelola Perasaan
Individu yang resilien memiliki keterampilan berkomunikasi dimana
individu mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan
kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta
merasakan perasaan orang lain.
d. Mampu Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain
Individu yang resilien mampu mengukur temperamen diri sendiri dan
orang lain dimana individu memahami temperamen mereka sendiri
(bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam,
reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini
menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan
untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan
untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai
situasi.
e. Mampu Memecahkan Masalah
Individu yang resilien memiliki kemampuan memecahkan masalah.
Individu dapat menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui apa
yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan apa
yang mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat membicarakan
berbagai masalah dengan orang lain dan menemukan penyelesaian

Universitas Sumatera Utara

37

masalah yang paling tepat dan menyenangkan. Individu terus-menerus
bertahan dengan suatu masalah sampai masalah tersebut terpecahkan.
Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor I have, I am, dan I
can. Untuk menjadi seorang yang resilien tidak cukup hanya memiliki satu faktor

saja, melainkan harus ditopang oleh faktor-faktor lainnya (Desmita, 2005). Oleh
sebab itu, untuk menumbuhkan resiliensi remaja, ketiga faktor tersebut harus
saling berinteraksi satu sama lain, interaksi ketiga faktor tersebut sangat
dipengaruhi oleh kualitas lingkungan sosial dimana remaja hidup (Desmita,
2005).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi memiliki faktor
yang terdiri dari pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan
oleh lingkungan sosial terhadap dirinya (I Have), kekuatan yang terdapat dalam
diri seseorang, kekuatan tersebut

meliputi perasaan, tingkah laku, dan

kepercayaan yang ada dalam dirinya (I Am), kemampuan individu untuk
melakukan hubungan sosial dan interpersonal (I Can). Dimana ketiga faktor
tersebut masing-masing memiliki sumber yang memberikan konstribusi pada
berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu
yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi
apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu
berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang
dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia
tidak termasuk orang yang beresiliensi.

Universitas Sumatera Utara

38

II.B. EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL
II.B.1. Pengertian Eksploitasi Seksual Komersil
ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010) menjabarkan bahwa eksploitasi seksual
komersil adalah salah satu masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian
serius karena dampaknya sangat merugikan dan membahayakan kelangsungan
serta masa depan remaja putri korban eksploitasi seksual komersil. Remaja putri
yang dilacurkan bukan saja rentan terhadap hinaan, penipuan dan marginaliasi,
tetapi juga banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak untuk
memperoleh pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya untuk berkembang secara sehat.
Eksploitasi seksual komersil adalah penggunaan seseorang untuk tujuantujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa kebaikan bagi pelaku
eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan
keuntungan dari eksploitasi seksual terhadap remaja yang menjadi korban
(ECPAT, 2006).
Eksploitasi seksual komersil merupakan sebuah pelanggaran mendasar
terhadap hak-hak anak yang beranjak dewasa. Pelanggaran tersebut terdiri dari
kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang
tunai atau barang terhadap korban, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya.
Remaja yang menjadi korban eksploitasi tersebut diperlakukan sebagai sebuah
objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial yang
terjadi pada remaja putri merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan

Universitas Sumatera Utara

39

terhadap remaja tersebut, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta
perbudakan modern (ECPAT, 2008). Melalui eksploitasi seksual yang menimpa
remaja putri, remaja tersebut tidak hanya menjadi sebuah objek seks tetapi juga
sebuah komunitas yang membuatnya berbeda dalam hal intervensi (ECPAT,
2006).
ECPAT Internasional (2008) membagi eksploitasi seksual komersil
menjadi lima bentuk, yaitu :
1. Prostitusi, tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung
seorang

remaja

putri

untuk

melakukan

tindakan

seksual

demi

mendapatkan uang atau imbalan lain.
2. Pornografi, pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan
remaja putri di dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang menampilkan
bagian tubuh remaja tersebut demi tujuan-tujuan seksual.
3. Perdagangan remaja putri untuk tujuan seksual, prose perekrutan,
pemindah-tanganan atau penampungan dn penerimaan remaja putri untuk
tujuan eksploitasi seksual.
4. Wisata seks, eksploitasi seksual komersil yang dilakukan oleh orang-orang
yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan di
tempat tersebut mereka berhubungan seks dengan para remaja putri.
5. Pernikahan dengan remaja berusia dibawah 18 tahun, memungkinkan
remaja tersebut menjadi korban eksploitasi seksual komersil, sebab tujuan
menikahi remaja tersebut untuk menjadikannya sebagai objek seks dan
menghasilan uang atau imbalan lainnya (ECPAT, 2008)

Universitas Sumatera Utara

40

Berdasarakan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
eksploitasi seksual komersil adalah sebuah pelanggaran mendasar terhadap hakhak anak. Perbuatan itu terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa,
pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak atau orang
ketiga yang menjadikan anak sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial.
II.B.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Eksploitasi Seksual
Komersil
Saptari (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan ada tiga faktor yang
mempengaruhi remaja menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Pertama,
karena keadaan ekonomi atau kondisi kemiskinan yang dialami remaja korban
eksploitasi seksual komersil. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang
cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi
kesempatan bagi remaja yang sudah tidak perawan kecuali masuk kedalam peran
yang diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan.
Selain karena faktor kemiskinan yang membelenggu, menurut Jones et al (dalam
Suyanto, 2010) ada faktor lain yang seperti kurangnya perhatian dari orang tua,
beberapa kepercayaan tradisional serta kehidupan urban yang konsumtif.
Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual
komersil pada remaja. Walaupu karakteristik setiap daerah tidak persis sama,
namun secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eksploitasi
seksual komersil terbagi atas faktor pendorong dan faktor penarik. ECPAT (2008)
menjabarkan faktor-faktor tersebut, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

41

a. Faktor pendorong
1. Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang diperberat
oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan penggerusan di sektor
pertanian
2. Perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan pertumbuhan pusatpusat industrian di perkotaan
3. Ketidaksetaraan gender dan praktek-praktek diskriminasi
4. Adanya tangung jawab anak yang sudah remaja untuk mendukung
keluarga
5. Pergeseran dari perekonomian subsisten menjadi ekonomi berbasis
pembayaran tunai
6. Peningkatan komsumerisme
7. Disintegrasi keluarga
8. Pertumbuhan jumlah anak gelandangan
b. Faktor penarik
1. Jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut
remaja putri sebagai korban eksploitasi seksual
2. Pernikahan yang diatur dimana pengantin yang masih remaja
terkadang akan dijual ke rumah bordil setelah menikah
3. Permintaan dari pekerja migran
4. Promosi internasionl mengenai industri seks remaja putri melalui
teknologi informasi.

Universitas Sumatera Utara

42

Faktor lainnya yang mempengaruhi remaja terjerumus menjadi korban
eksploitasi seksual komersil adalah gaya berpacaran remaja yang tidak sehat,
berpacaran di luar batas hingga tidak perawan lagi atau dikecewakan pacar.
Sementra faktor lainnya adalah gaya hidup konsumerisme, yakni ingin mengikuti
gaya hidup mewah seperti punya telepon genggam (handphone) bagus, baju
bagus, dan sebagainya. Yang terakhir adalah pengaruh dari teman bergaul serta
pengaruh budaya dibeberapa daerah di Indonesia (ECPAT, 2008).
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya eksploitasi seksual komersil pada remaja putri
adalah disebabkan faktor ekonomi, faktor pergaulan bebas serta budaya.
II.B.3. Dampak Eksploitasi Seksual Komersil
Di berbagai komunitas, disadari bahwa eksploitasi seksual komersil adalah
sebuah masalah yang sulit untuk dihilangkan begitu saja, paling tidak ada akibat
yang kemungkinan besar akan menimpa remaja-remaja korban eksploitasi seksual
komersil jika dibiarkan larut dalam kondisi dan pekerjaan tersebut yang
sesungguhnya tidak pernah mereka sadari resiko dan bahayanya (Suyanto, 2010).
Eksploitasi seksual komersil dalam bentuk apapun sangat membahayakan hak-hak
seseorang untuk menikmati masa remaja mereka dan kemampuan mereka untuk
hidup produktif (ECPAT, 2006). Tindakan tersebut dapat mengakibatkan dampakdampak yang serius, seumur hidup, bahkan mengancam jiwa korban eksploitasi
seksual tersebut sehubungan dengan perkembang fisik, psikologis, spiritual,
emosional, dan sosial serta kesejahteraan remaja korban eksploitasi seksual.

Universitas Sumatera Utara

43

Suyanto (2010) mengungkapkan beberapa dampak eksploitasi seksual
komersil pada remaja yaitu, karena remaja-remaja korban eksploitasi seksual
komersil itu masih berusia belia dan belum memiliki akses yang cukup terhadap
informasi-informasi tentang “reproduksi sehat”, maka sesungguhnya mereka
belum menggalami kematangan organ reproduksi. Mereka belum mengetahui
resiko dari hubungan seksual yang dilakukan secara bebas, sehingga kehamilan
dini dan penularan penyakit menular seksual (PMS) dengan seluruh implikasinya
dengan mudah akan menimpa remaja putri yang menjadi korban eksploitasi
seksual komersi. Tidak mustahil, remaja putri yang menjadi korban eksploitasi
seksual komersil akan mengandung seorang bayi yang tidak pernah dikehendaki,
dan kemuadian memilih untuk melakukan aborsi secara illegal dan jauh dari
syarat-syarat medis, sehingga bukan tidak mungkin akan mengancam nyawa
mereka sendiri.
Selanjutnya, remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan
terjerumus ke dalam dunia prostitusi, sering kali harus menanggung beban
psikologis yang berat berupa stigma dari masyarakat atas pekerjaan yang mereka
tekuni karena dinilai terkutuk, memalukan, tidak bermoral. Seorang remaja
korban eksploitasi seksual, sekalipun mungkin suatu saat mereka menyadari
resiko pekerjaannya atau berkat keajaiban berhasil melarikan diri dari cengkraman
“germonya ”, tidak mustahil suatu saat akan kembali sendiri ke bisnis syahwat ini
karena masyarakat sekitarnya cenderung menolak dan menjaga jarak dengan
mereka. Seorang remaja korban eksploitasi seksual komersil yang bermaksud
akan memasuki kehidupan masyarakat biasanya cenderung memang dilecehkan,

Universitas Sumatera Utara

44

dan bahkan diisolasi karena khawatir dapat menyebarkan pengaruh buruk bagi
remaja-remaja putri lain disekitarnya. Dan yang terakhir, dalam berbagai kasus
remaja korban eksploitasi seksual komersil, tak jarang harus mengalami berbagai
tindak kekerasan seksual; mulai dari rayuan terselubung, penyekapan,
penganiayaan, dan berbagai bentuk tindak kekerasan lainnya.
Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa dampak
eksploitasi seksual komersil adalah remaja yang menjadi korbannya tidak hanya
mengalami dampak psikologis, namun korban eksploitasi rentan mengalami
kehamilan dan penyakit menular seksual, serta rentan mengalami kekerasan
seksual.
II.C. REMAJA
II.C.1. Pengertian Remaja
Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang
berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah tersebut mempunyai arti
yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik
(Hurlock, 1980).
Piaget (dalam Hurlock, 1980) mengatakan bahwa secara psikologis masa
remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia
dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam
masalah hak.

Universitas Sumatera Utara

45

Menurut Monks (1999) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21
tahun yang sedang menjalani masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa
remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Hurlock mengatakan
bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai
usia matang secara hukum.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa remaja adalah individu yang menjalani masa transisi dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa, yang berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun,
dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah
masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir.
II.C.2. Ciri-ciri Remaja
Hurlock (1980) berpendapat, bahwa semua periode yang penting selama
masa kehidupan mempunyai karakteristiknya sendiri. Begitupun masa remaja
mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode masa kanakkanak dan dewasa. Ciri ciri tersebut antara lain :
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Masa remaja dipandang sebagai periode yang penting daripada periode
lain karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, serta
akibat-akibat jangka panjangnya. Misalnya saja, perkembangan biologis
menyebabkan timbulnya perubahan-perubahan tertentu, baik yang bersifat

Universitas Sumatera Utara

46

fisiologis yang cepat dan disertai percepatan perkembangan mental yang
cepat, terutama pada masa remaja awal. Semua perkembangan itu
menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk
sikap, nilai, dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan
Anak-anak yang beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa haruslah
meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan harus
mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku
dan sikapnya pada masa yang sudah ditinggalkan. Meskipun disadari
bahwa apa yang telah terjadi akan meninggalkan bekasnya dan akan
mempengaruhi pola perilaku dan sikap baru. Pada masa peralihan ini
remaja bukan lagi seorang anak-anak dan juga bukan orang dewasa.
Namun, status remaja yang tidak jelas ini menguntungkan karena status ini
memberi waktu kepada remaja untuk mencoba gaya hidup yang berbeda
dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi
dirinya.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja
beriringan dengan tingkat perubahan fisik. Pada awal masa remaja, ketika
perubahan terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku dan sikap juga
berlangsung cepat. Begitu pula jika perubahan fisik menurun maka
perubahan sikap dan perilaku menurun juga.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Universitas Sumatera Utara

47

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah
masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak lakilaki maupun anak perempuan, hal tersebut disebabkan karena sepanjang
masa kanak-kanak sebahagian besar masalah yang dihadapi oleh remaja
diselesaikan

oleh

orang

tua

dan

guru,

sehingga

remaja

tidak

berpengalaman dalam menghadapi masalah. Selain itu, remaja juga merasa
jika mereka sudah mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya
sendiri dan menolak bantuan orang lain.
e. Remaja sebagai masa pencarian identitas
Pencarían identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian
diri dengan standars kelompok lebih penting dari pada bersikap
individualitas. Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja awal masih
tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan, namun lambat laun
mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin menjadi
pribadi yang berbeda dengan orang lain.
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Stereotip populer pada masa remaja mempengaruhi konsep diri dan sikap

remaja terhadap dirinya sendiri, dan ini menimbulkan ketakutan pada
remaja. Remaja takut bila tidak dapat memenuhi tuntutan masyarakat dan
orang tuanya sendiri. Hal ini menimbulkan pertentangan dengan orang tua
sehingga membuat jarak bagi anak untuk meminta bantuan kepada orang
tua guna mengatasi pelbagai masalahnya.
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Universitas Sumatera Utara

48

Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana
yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal citacita. Semakin tidak realistik cita-citanya ia semakin menjadi marah.
Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya
atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah
untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan
bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada
perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum
minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan
seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang
mereka inginkan.
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri masa
remaja adalah bahwa masa remaja adalah periode yang penting, periode peralihan,
periode perubahan, usia yng bermasalah, mencari identitas, yang usia yang
menimbulkan ketakutan, masa yang tidak realistik dan ambang masa kedewasaan.
II.C.3. Perkembangan Fisik dan Seksual Remaja
Perkembangan fisik remaja didahului dengan perubahan pubertas.
Pubertas ialah suatu periode dimana kematangan fisik dan seksual terjadi secara
pesat terutama pada awal masa remaja (Santrock, 2007). Menurut Susman &
Ragol (dalam Santrock, 2007) pertambahan berat tubuh remaja berlangsung

Universitas Sumatera Utara

49

bersamaan dengan dimulainya masa pubertas. Selain itu, Rogol, Roemmich &
Clark (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa pada puncak pertambahan
berat tubuh, berat tubuh remaja putri bertambah rata-rata 18 pon setiap tahunnya
di usia sekitar 12 tahun (kurang lebih enam bulan setelah dimulaimya laju
pertumbuhan tinggi tubuh).
Susman & Rogol (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa disamping
meningkatnya tinggi dan berat tubuh pada remaja putri, masa pubertas juga
menimbulkan perubahan pada lebar pinggul dan bahu. Proses melebarnya pinggul
pada remaja putri berkaitan dengan meningkatnya hormone estrogen, selain itu
wajah remaja putri menjadi lebih bulat dan lembut.
Urutan perubahan fisik pada remaja putri dimulai dengan membesarnya
payudara atau tumbuh rambut dikemaluan. Selanjutnya, pertumbuhan rambut
diketiak. Seiring dengan perubahan ini, tubuh remaja putri akan bertambah tinggi,
dan pinggulnya berkembang menjadi lebih lebar dibandingkan bahunya
(Santrock, 2007).
Menstruasi pertama (menarche) pada remaja putri, terjadi diakhir siklus
pubertas. Awalnya, siklus menstruasi berlangsung secara tidak teratur dan selama
beberapa tahun pertama, hal itu disebabkan remaja putri mungkin tidak
mengalami ovulasi di setiap siklus. Remaja putri tidak mengalami perubahan
suara seperti yang dialami oleh remaja laki-laki, namun remaja putri memiliki
payudara yang lebih penuh di akhir masa pubertasnya (Santrock, 2007). Galambos
(dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa pubertas juga memperkuat aspek-

Universitas Sumatera Utara

50

aspek seksual dari sikap dan perilaku. Ketika tubuh dialiri oleh hormon, maka
remaja putri mulai berperilaku feminim.
Pada masa ini, kehidupan remaja mulai dipenuhi oleh hal-hal yang berbau
seksualitas, dimana masa remaja merupakan masa eksplorasi seksual dan
mengintegrasikan seksualitas ke dalam identitas seseorang. Kebanyakan remaja
memiliki rasa ingin tahu yang tidak ada habis-habisnya mengenai seksualitas
(Santrock, 2007). Proses tersebut berlangsung cukup lama dan melibatkan proses
belajar untuk mengelola perasaan-perasaan seksual, seperti gairah seksual dan
perasaan tertarik, mengembangkan bentuk intimasi yang baru, dan mempelajari
keterampilan perilaku seksual untuk menghindari konsekuensi-konsekuensi yang
tidak diinginkan (Santrock, 2007).
Seiring dengan perkembangan seksual yang dialami oleh remaja, mereka
juga mulai mengembangkan identitas seksualnya yang melibatkan lebih dari
sekedar perilaku seksual, identitas seksual muncul dalam konteks faktor-faktor
fisik, faktor sosial, dan faktor budaya, di mana sebagian besar masyarakat
cenderung memberikan batasan-batasan terhadap perilaku seksual remaja
(Santrock, 2007). Micheal dkk (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa
remaja putri belajar untuk mengaitkan hubungan seksual dengan cinta, mereka
sering kali merasionalisasikan perilaku seksualnya dengan mengatakan bahwa
mereka terbawa oleh gairah sesat. Hyde & DeLameter (dalam Santrock, 2007)
menjelaskan jika jatuh cinta menjadi penyebab utama remaja putri menjadi aktif
secara seksual. Alasannya lain yang menyebabkan remaja putri aktif secara
seksual adalah karena mereka membiarkan ketika didesak oleh laki-laki, yang

Universitas Sumatera Utara

51

merupakan suatu cara agar dapat memperolah pacar, rasa ingin tahu, serta hasrat
seksual yang tidak berkaitan dengan cinta dan kepedulian.
Sehubungan dengan perkembangan seksual yang dialami remaja putri,
menurut Santelli (dalam Santrock, 2007) kebanyakan remaja yang aktif secara
seksual memiliki resiko untuk mengalami masalah-masalah seksual dan masalahmasalah lainnya ketika mereka sudah melakukan hubungan seksual sebelum
berusia 16 tahun. Buhrmester (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa
keterlibatan seksual pada remaja putri di masa remaja berkaitan dengan harga diri
yang rendah, tingkat depresi yang lebih besar, tingkat aktivitas seksual yang lebih
besar, dan nilai yang rendah di sekolah. Selain itu, Huebner & Howell; Swenson
& Prelow (dalam Santrock, 2007) menjabarkan bahwa faktor-faktor resiko untuk
masalah seksual pada remaja meliputi faktor-faktor kontekstual seperti status
sosial ekonomi (SES) dan lingkungan keluarga atau pola pengasuhan.
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan
fisik dan seksual remaja adalah perubahan yang terjadi pada fisik dan organ-organ
reproduksi pada remaja baik perempuan maupun laki-laki, yang mempengaruhi
pola perilaku seksual remaja tersebut.
II.C.4. Perkembangan Sosial Remaja
II.C.4.a. Perkembangan Hubungan Dengan Teman Sebaya
Selama masa remaja terjadi perubahan-perubahan yang dramatis, baik
dalam segi fisik maupun kognitif. Perubahan-perubahan tersebut, ternyata
berpengaruh besar terhadap perubahan dalam perkembangan sosial remaja itu

Universitas Sumatera Utara

52

sendiri (Desmita, 2005). Perkembangan sosial pada remaja merupakan salah satu
tugas yang paling sulit, karena hal tersebut berhubungan dengan penyesuaian
sosial mereka. Remaja juga harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam
hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan diri
dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai
tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja juga harus membuat banyak
penyesuaian baru yaitu penyesuaian diri dengan pengaruh kelompok sebaya,
perubahan dalam perilaku sosial, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan,
nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial serta nilai-nilai baru dalam
seleksi pemimpin (Hurlock, 1980).
Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang
sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bersosialisasi
(sozialed), memerlukan tiga proses. Dimana masing-masing proses tersebut

terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan, sehingga
kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasi individu.
Menurut Hurlock (1980) tiga proses dalam perkembangan sosial adalah sebagai
berikut :
1. Berperilaku dapat diterima secara sosial
Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang
perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bersosialisasi, seseorang tidak
hanya harus mengetahui perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga
harus menyesuaikan prilakunya sehingga ia bisa diterima sebagain dari
masyarakat atau lingkungan sosial tersebut.

Universitas Sumatera Utara

53

2. Memainkan peran di lingkungan sosialnya.
Setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan
dengan seksama oleh para anggotanya dan setiap anggota dituntut untuk
dapat memenuhi tuntutan yang diberikan kelompoknya.
3. Memiliki Sikap yang positif terhadap kelompok Sosialnya
Untuk dapat bersosialisasi dengan baik, seseorang harus menyukai orang
yang menjadi kelompok dan aktifitas sosialnya. Jika seseorang disenangi
berarti, ia berhasil dalam penyesuaian sosial dan diterima sebagai anggota
kelompok sosial tempat mereka menggabungkan diri.
Perkembangan kehidupan sosial remaja juga ditandai dengan gejala
meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan remaja itu sendiri.
Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan
teman-teman sebayanya (Desmita, 2005). Remaja memiliki kebutuhan yang kuat
untuk disukai dan diterima kawan sebaya atau kelompoknya. Remaja akan merasa
senang apabila diterima oleh kelompoknya, dan sebaliknya mereka akan merasa
sangat tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh kawan-kawan
sebayanya (Santrock, 2007). Pada masa ini remaja cenderung menghabiskan
waktu di luar rumah dan lebih bergantung pada teman-temannya. Kelompok
teman sebaya mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap, minat,
penampilan, dan tingkah laku remaja dibandingkan dengan pengaruh keluarga
(Hurlock, 1980). Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 1980) menjelaskan
pengaruh teman sebaya pada masa remaja adalah sebagai tempat dimana remaja
dapat menguji dirinya sendiri dan orang lain. Di dalam kelompok teman sebaya

Universitas Sumatera Utara

54

remaja merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya. Kelompok teman sebaya
memberikan sebuah dunia dimana remaja dapat melakukan sosialisasi dimana
nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa
melainkan oleh teman-teman seusianya.
Hubungan relasi yang baik di antara kawan-kawan sebaya dibutuhkan bagi
perkembangan sosial yang normal di masa remaja. Relasi di antara kawan-kawan
sebaya di masa kanak-kanak dan masa remaja juga berdampak bagi
perkembangan di masa selanjutnya (Santrock, 2007). Pada masa remaja, remaja
cenderung konform dengan teman-teman sebayanya, konformitas terjadi apabila
individu mengadopsi sikap atau perilaku orang lain karena merasa didesak oleh
orang lain (baik desakan nyata atau hanya bayangan saja). Desakan untuk konform
pada kawan-kawan sebaya cenderung sangat kuat selama masa remaja (Santrock,
2007).
Konformitas terhadap desakan kawan-kawan sebaya dapat bersifat positif
ataupun negatif. Remaja belasa tahun dapat terlibat dalam semua jenis perilaku
konformitas yang bersifat negatif, misalnya saja menggunakan bahasa gaul,
mencuri, melakukan pengerusakan, serta mempermainkan orang tua dan guru.
Meskipun demikian, terdapat banyak bentuk konformitas kawan-kawan sebaya
yang tidak bersifat negatif dan lebih merupakan keinginan untuk bergabung dalam
dunia yang sama dengan kawan-kawan, seperti gaya berpakaian yang mirip
dengan kawan-kawan, dan ingin meluangkan waktu bersama kawan-kawan.
Situasi semacam itu mungkin melibatkan aktivitas-aktivitas prososial, seperti
kelompok yang mengumpulkan dana untuk tujuan mulia (Santrock, 2007).

Universitas Sumatera Utara

55

Clasen & Brown (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan desakan dari
kawan-kawan sebaya merupakan suatu tema yang terdapat dalam kehidupan
remaja. Kekuatan pengaruh ini dapat teramati dalam hampir semua dimensi
perilaku remaja, seperti pilihan dan cara berpakaian, musik, dan gaya bahasa.
II.C.4.b. Perkembangan Hubungan Terhadap Lawan Jenis
Dari semua perubahan yang terjadi pada masa remaja, baik dalam sikap
maupun perilaku sosial, yang paling menonjol terjadi dalam hubungan dengan
lawan jenis (Hurlock, 1980). Dalam waktu yang singkat remaja melakukan
perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi
lebih menyukai teman dari lawan jenisnya dari pada sejenisnya (Hurlock, 1980).
Perkembangan hubungan terhadap lawan jenis mengikuti pola tertentu. Namun,
terdapat perbedaan usia dalam mencapai berbagai tahap dalam perkembangannya,
sebagian karena adanya perbedaan kematangan seksual dan sebagian lagi karena
adanya perbedaan dalam kesempatan untuk mengembangkan minat (Hurlock,
1980). Ada dua unsur yang berbeda dalam perkembangan hubungan terhadap
teman sebaya. Yang pertama adalah perkembangan pola perilaku yang melibatkan
kedua jenis kelamin dan kedua adalah perkembangan sikap yang berhubungan
dengan relasi antara kedua kelompok jenis kelamin (Hurlock, 1980).
Pada masa ini, remaja juga melakukan interaksi dengan lawan jenis
mereka, interaksi tersebut merupakan hubungan romantis yang pada awalnya
remaja belum termotivasi untuk memenuhi kebutuhan kelekatan atau bahkan
kebutuhan seksual. Hubungan romantis pada remaja hanya berfungsi untuk

Universitas Sumatera Utara

56

berekplorasi mengenai seberapa menariknya diri mereka, bagaimana berinteraksi
secara romantis, dan bagaimana kesannya dirinya bagi kelompok kawan sebaya
(Santrock, 2007).
Hubungan romantis yang dijalin pada masa remaja mempunyai banyak
tujuan bagi kehidupan remaja itu sendiri, khususnya untuk remaja masa kini
(Hurlock, 1980). Karena hubungan romantis yang terjalin tersebut menyajikan
berbagai tujuan maka dapatlah dimengerti bila remaja menghendaki bermacammacam orang sebagai pasangan untuk setiap jenis hubungan yang berbeda
(Hurlock, 1980).
Hubungan romantis yang terjalin pada remaja saat ini sudah mengalami
perubahan perilaku seksual yang tampak menonjol, namun perubahan sikap
seksual lebih menonjol lagi (Hurlock, 1980). Hal tersebut terlihat dari adanya
anggapan normal dikalangan remaja bila hubungan seks sebelum menikah
dilakukan atas dasar saling mencintai dan saling terikat (Hurlock, 1980). Remaja
masa kini menganggap bahwa ungkapan-ungkapan cinta dalam hubungan
romantis mereka apa pun bentuknya, adalah baik sejauh kedua pasangan remaja
saling tertarik (Hurlock, 1980).
Furman & Werner (1998, dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa
setelah remaja memperoleh sejumlah kompetensi dasar dalam berinteraksi dengan
pacarnya, maka pemenuhan kebutuhan kelekatan dan kebutuhan seksual menjadi
hal yang utama dalam hubungan romantis tersebut. Selain itu, remaja yang
menjalin hubungan romantis juga memiliki sikap-sikap tertentu terhadap lawan

Universitas Sumatera Utara

57

jenisnya ketika berinteraksi. Sikap tersebut sering diwarnai hal-hal yang tidak
realistis dan sangat romantis. Remaja putri tidak lagi memandang laki-laki seperti
anak laki-laki melainkan sebagai pahlawan (Hurlock, 1980).
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan
sosial remaja adalah kemampuan remaja membina hubungan dengan teman-teman
sebayanya, baik dengan teman yang berjenis kelamin sama maupun berbeda dan
juga dengan orang dewasa lainnya. Perkembangan sosial remaja juga meliputi
bagaimana remaja tersebut membangun hubungan romantisnya dengan pacarnya.
II.D. Resiliensi Pada Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil
Masten,

Best

dan

Garmezy

(dalam

Alvord

dan

Grados,

2005)

mendefinisikan resiliensi sebagai proses, kapasitas atau keberhasilan adaptasi
terhadap situasi yang penuh tantangan atau mengancam. Sementara itu, Dyer dan
McGuinness (2004) melihat resiliensi sebagai sesuatu yang lebih global, sebagai
proses yang dinamis, sangat di pengruhi oleh faktor-faktor protektif, karena itu
individu

menjadi

tahan

terhadap

kemalangan

dan

dapat

meneruskan

kehidupannya.
Resiliensi merupakan satu perangkat karakteristik yang dimiliki individu
yang membuatnya memiliki kekuatan dalam menghadapi kesulitan dan rintangan
dalam keehidupan, kapasitas seseoranbg untuk menghadapi (coping) terhadap
stres dan masalah-masalah besar, serta merupakan indikasi dari adanya daya tahan
dalam menghadapi situasi yang negatif dan tetap berkembang menjadi individu
yag berkualitas positif dan sehat (Sagor, 1996; Foster, 2006 dalam Paddock, 2006;

Universitas Sumatera Utara

58

Wolin dan Wolin, dalam Alimi, 2005).
Luthar (1999 dalam Schoon, 2006) mengatakan bahwa resiliensi
merrupakan keberhasilan berperilaku dalam menyelesaikan tugas perkembangan
yang penting walaupun untuk menghadapinya terjadi tekanan (stressor ) yang
berat dan kemungkinan distress emosional.
Thompson (2006) mengatakan jika perlakuan eksploitasi yang dialami oleh
remaja putri termasuk perilaku yang menyimpang, baik secara medis, sosial,
emosional serta psikologis. Alter-Reid (dalam Thompson, 2006) mengungkapkan
sebagian besar remaja putri yang menjadi korban kekerasan, mengalami
eksploitasi seksual yang dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri, misalnya
orangtua angkat seperti ayah titi, atau remaja putri yang tinggal bersama pacarnya.
Remaja yang telah dieksploitasi, akan mengalami rasa takut, rendah diri,
menyesal, dan perasaan bersalah karena sudah “dirusak” setelah berhasil keluar
dari lingkaran eksploitasi seksual (Thompson, 2006). Reaksi yang diperlihatkan
remaja korban eksploitasi seksual komersil juga berbeda, sesuai dengan tipe dari
peristiwa eksploitasi seksual yang dialami

remaja dan apakah remaja akan

menyalahkan dirinya sendiri atau orang lain setelah dirinya menjadi korban
eksploitasi seksual komersil (Thompson, 2006).
Sebagian besar remaja putri korban eksploitasi seksual akan menyalahkan
dirinya sendiri, mengalami kebingungan serta memiliki pola pikir yang negatif
(Thompson, 2006). Thompson (2006) juga mengungkapkan jika remaja putri
korban eksploitasi menganggap eksploitasi yang dialaminya disebabkan oleh
kesalahan mereka sendiri, maka remaja akan memperlihatkan perilaku-perilaku

Universitas Sumatera Utara

59

yang dapat merugikan diri sendiri, depresi, timbul pikiran-pikiran yang berbahaya,
bersikap pasif, menarik diri, merasa malu, jarang berkomunikasi, gelisah dan sulit
tidur. Namun, remaja yang cenderung menganggap kejadian yang dialaminya
disebabkan karena faktor eksternal, remaja tersebut akan cenderung mengalami
gangguan yang berbeda, seperti rasa takut, agresi, memperlihatkan perilaku
bermusuhan, perilaku impulsif, serta respon yang kurang baik terhadap rasa takut.
Grotberg (2000) menyatakan remaja yang telah dieksploitasi oleh orang
dewasa, akan mengembangkan rasa tidak percaya terdahap orang lain, hal itu
disebabkan karena remaja merasa dirinya telah disiksa oleh orang dewasa dan
mengambil keuntungan dari penderitaan yang mereka alami. Namun, rasa percaya
merupakan hal yang paling medasar untuk pembentukan resiliensi remaja
(Grotberg, 2000).
Menurut Grotberg (2000), hanya sedikit remaja yang tidak memiliki
factor-faktor resiliensi, setiap remaja korban eksploitasi sesksual komersil
memiliki factor-faktor resiliensi tapi banyak korban eksploitasi itu yang tidak tahu
bagaimana cara untuk mengembangkan faktor-faktor resiliensi yang ada dalam
diri mereka dan dihubungkan denngan kesulitan hidup yang mereka alami.
Remaja korban eksploitasi seksual harus mengenali fakor-faktor resiliensi
yang telah mereka miliki untuk meningkatkan resiliensi pada diri mereka,
membentuk diri mereka dan memperkuat diri mereka serta meningkatkan faktorfaktor resiliensi yang lemah atau tidak ada (Grotberg, 2000). Lama waktu untuk
melakukan penyesuian diri pada remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual

Universitas Sumatera Utara

60

menentukan bagaimana gambaran resiliensi remaja tersebut berkembang dimasa
yang akan datang (Grotberg, 2000).
Grotberg (2000) menjelaskan dalam peningkatan resiliensi remaja ada
beberapa faktor resiliensi yang dimiliki oleh semua remaja termasuk remaja yang
menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Faktor-faktor resiliensi tersebut
dapat dikenali dan dapat dikembangkan bersamaan dengan factor-faktor resiliensi
lainnya pada waktu yang sama.
Orangtua mempunyai pengaruh yang besar dalam resiliensi remaja yang
menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Dimana remaja yang menjadi korban
mampu mengatasi kemalangan mereka dalam hidup melalui pengamatan mereka
terhadap bagaimana orangtua mereka mengatasi kesulitan (Webster, 1995, dalam
Kosteck, 2005). Orangtua bisa menjadi model perilaku yang sukses dalam
mengatasi masalah misalnyanya pada sebuah komitmen, kemampuan memiliki
impian dan memiliki tujuan dan kemampuan dalam beradaptasi dengan perubahan
yang ada dalam kehidupan.

Universitas Sumatera Utara

61

Universitas Sumatera Utara

62

EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL
MENIMPA REMAJA PUTRI YANG
SEDANG MENGALAMI PERUBAHAN

FISIK

SOSIAL

Eksploitasi Seksual Komersi

Prostitus

Remaja putri yang
menjadi korban
Remaja mengalami
pengalaman traumatis
dan mengalami trauma

Wisata Seks

Perdagangan

EMOSIONAL

SEKSUAL

Pernikahan Dini

Pornografi

Dampak negative :
Remaja tetap terpuruk dan
mengalami trauma
Dampak positif :
Remaja putri menjadi kuat
dan resilien

Ad