Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pasangan Usia Subur Terhadap Ketidakikutseraan Dalam Program Keluarga Berencana Di Desa Salaon Dolok Kabupaten Samosir Tahun 2013
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Determinan dalam pelaksanaan Program KB
Menurut Saroha Pinem (2009) ada beberapa faktor yang meyebabkan PUS
tidak mengikuti program KB antara lain:
a. Segi Pelayanan
Hingga saat ini pelayanan KB masih kurang berkualitas terbukti dari
peserta KB yang berhenti menggunakan alat kontrasepsi masih banyak
dengan alasan efek samping, kesehatan dan kegagalan pemakaian.
Kegagalan pemakaian menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan.
Pelayanan terhadap kelompok unmet need (wanita yang tidak terpenuhi
kebutuhan KB nya) masih belum ditangani dengan serius, khususnya
terhadap unmet need yang bertujuan untuk membatasi kelahiran.
b. Segi Ketersediaan Alat Kontrasepsi
Dengan kebijakan “Sistem Kafetaria” yang diterapkan BKKBN, calon
peserta KB dapat memilih sendiri alat maupun metode kontrasepsi yang
sesuai keinginnanya. Akibatnya, terjadi drop out dengan alasan ingin ganti
cara yang lebih efektif. Drop out yang paling banyak terjadi pada peserta
KB pil, suntikan atau IUD yang umumnya ingin beralih ke implant.
Sayangnya implant tidak tersedia di tempat pelayanan karena harganya
relative mahal. Akibatnya wanita PUS tidak terlindungi dari kehamilan
yang tidak diinginkan.
Universitas Sumatera Utara
c. Segi Penyampaian Konseling maupun KIE (Komunikasi, Informasi dan
Edukasi)
Pada saat ini, kebijakan program lebih mengedepankan pilihan kontrasepsi
yang “rasional, efektif dan efisien”. Tetapi pilihan kontrasepsi secara
rasional ini nampaknya belum tersosialisasi dengan baik karena proses
informed choice belum dilaksanakan dengan baik.
d. Hambatan Budaya
Di beberapa daerah masih ada masyarakat yang akrab dengan budayanya
“banyak anak banyak rezeki, tiap anak membawa rezekinya sendirisendiri” atau “anak sebagai tempat bergantung dihari tua”.Selain itu ada
juga budaya yang mengharuskan keluarga memiliki anak laki-laki maupun
anak perempuan dalam satu keluarga. Hal ini terbukti dari adanya
sekelompok wanita yang sudah memiliki anak, namun tetap tidak bersedia
menggunakan alat kontrasepsi. Kemungkinan diantara mereka belum
memiliki anak dengan jenis kelamin yang mereka inginkan.
e. Kelompok wanita yang tidak ingin anak lagi tetapi tidak menggunakan alat
kontrasepsi (unmet need)
Menurut Mahmood (1991) dalam BKKBN dan UNFPA (2005) penyebab
adanya kelompok wanita unmet need antara lain berkaitan dengan masalah
keuangan, aspek kejiwaan, medis, waktu dan biaya pelayanan, resiko
kesehatan dan hambatan sosial.
f.
Kelompok Hard Core
Yaitu kelompok wanita yang tidak mau menggunakan alat kontrasepsi
baik pada saat ini maupun pada waktu yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Bertrand (1980) sendiri, faktor-faktor yang memengaruhi
keikutsertaan dalam ber KB adalah sebagai berikut:
1.
Faktor sosio-demografi
Penerimaan KB lebih banyak pada mereka yang memiliki standard hidup
yang lebih tinggi. Indikator status sosio-demografi termasuk pendidikan yang
dicapai, pendapatan keluarga dan status pekerjaan, juga jenis rumah, gizi (di
negara-negara sedang berkembang) dan pengukuran pendapatan tidak langsung
lainnya.
Beberapa faktor demografi tertentu juga memengaruhi penerimaan KB di
beberapa negara, misalnya di banyak negara sedang berkembang, penggunaan
kontrasepsi lebih banyak pada wanita yang berumur akhir 20-30 an yang sudah
memiliki anak tiga atau lebih. Faktor sosial lain yang juga memengaruhi adalah
suku dan agama.
2.
Faktor sosio-psikologi
Sikap dan keyakinan merupakan kunci penerimaan KB, banyak sikap yang
dapat menghalangi KB. Beberapa faktor sosio-psikologi yang penting antara lain
adalah ukuran keluarga ideal, pentingnya nilai anak laki-laki, sikap terhadap KB,
komunikasi suami-isteri, persepsi terhadap kematian anak. Sikap dan kepercayaan
tersebut perlu untuk mencegah isu yang berhubungan termasuk segi pelayanan
dan efek samping alat kontrasepsi.
3.
Faktor yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan
Program komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) merupakan salah satu
faktor praktis yang dapat diukur bila pelayanan KB tidak tersedia. Beberapa faktor
Universitas Sumatera Utara
yang berhubungan dengan pelayanan KB antara lain keterlibatan dalam kegiatan
yang berhubungan dengan KB, pengetahuan tentang sumber kontrasepsi, jarak ke
pusat pelayanan dan keterlibatan dengan media massa.
Secara ringkas faktor-faktor tersebut dapat dilihat seperti pada gambar
berikut:
Faktor sosio-demografi
a. Pendidikan
b. Pendapatan
c. Status pekerjaan
d. Perumahan
e. Status gizi
f. Umur
g. Suku
h. Agama
Faktor sosio-psikologi
a. Ukuran keluarga ideal
Keikutsertaan Progarm KB
b. Pentingnya nilai anak laki-laki
c. Sikap terhadap KB
d. Komunikasi suami-isteri
e. Persepsi terhadap kematian anak
Faktor yang berhubungan dengan
pelayanan
a. Keterlibatan dalam kegiatan
yang berhubungan dengan KB
b. Pengetahuan tentang kontrasepsi
c. Jarak ke pusat pelayanan
d. Paparan dengan media massa
Gambar 2.1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi keikutsertaan PUS dalam ber KB
Menurut affandi dalam Mutiara (1998), faktor-faktor yang memengaruhi
pemakaian kontrasepsi adalah:
a. Faktor pola perencanaan keluarga
Adalah mengenai penentuan besarnya jumlah keluarga yang menyangkut
waktu yang tepat untuk mengakhiri kesuburan. Dalam perencanaan keluarga harus
Universitas Sumatera Utara
diketahui kapan kurun waktu reproduksi sehat, berapa sebaiknya jumlah anak
sesuai kondisi, berapa perbedaan jarak umur antara anak. Seorang wanita secara
biologik memasuki usia reproduksinya beberapa tahun sebelum mencapai umur
dimana kehamilan dan persalinan dapat berlangsung dengan aman dan kesuburan
ini akan berlangsung terus-menerus sampai 10-15 tahun, sesudah kurun waktu
dimana kehamilan dan persalinan itu berlangsung dengan aman. Kurun waktu
yang paling aman adalah umur 20-35 tahun dengan pengaturan:
1. Anak pertama lahir sesudah ibunya berumur 20 tahun
2. Anak kedua lahir sebelum ibunya berumur 30 tahun
3. Jarak antara anak pertama dan kedua sekurang-kurangnya 2 tahun atau
diusahakan jangan ada 2 anak balita dalam kesempatan yang sama.
Kemudian menyelesaikan besarnya keluarga sewaktu istri berusia 30-35
tahun dengan kontrasepsi mantap.
b. Faktor subjektif
Bagaimanapun baiknya suatu alat kontrasepsi baik dipandang dari sudut
kesehatan maupun rasaionalitasnya namun belumlah tentu dirasakan cocok dan
dipilih oleh akseptor/calon akseptor. Pilihan ini sangat pula tergantung pada
pengetahuannya
tentang
kontrasepsi
tersebut,
baik
yang
didapat
dari
keluarga/kerabat maupun yang didapat dari petugas kesehatan atau tokoh
masyarakat.
c. Faktor objektif
Pemilihan kontrasepsi yang digunakan disesuaikan dengan keadaan wanita
(kondisi fisik dan umur) serta disesuaikan dengan fase-fase menurut kurun waktu
Universitas Sumatera Utara
reproduksinya. Biasanya pemilihan kontrasepsi juga disesuaikan dengan maksud
penggunaan kontrasepsi tersebut.
Tabel 2.1. Konsep Pemilihan Alat Kontrasepsi
Fase Mencegah
Fase Menjarangkan
Kehamilan
Kehamilan
a. Pil
a. IUD
b. Suntikan
b. Suntikan
c. IUD
c. Pil
d. Implant
Umur
20-21 tahun
Fase Mengakhiri
Kehamilan
a. Kontap
b. IUD
c. Implant
d. Suntikan
e. Pil
30-35 tahun
d. Faktor motivasi
Kelangsungan pemakaian kontrasepsi sangat tergantung dari motivasi dan
penerimaan pasngan suami istri. Motivasi akseptor KB untuk terus menggunakan
kontrasepsi yang lama, akan merubah metode, atau menghentikan sama sekali
penggunaan kontrasepsi dengan tujuan untuk membatasi kelahiran mempunyai
tingkat kemantapan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang bertujuan untuk
menunda kehamilan.
Berdasarkan klasifikasi beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa kesertaan dalam program KB dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:
a.
Umur
Masa kehamilan reproduksi wanita pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga
periode, yakni kurun reproduksi muda (15-19 tahun), kurun reproduksi sehat (2035 tahun), dan kurun reproduksi tua (36-45 tahun). Pembagian ini didasarkan atas
data epidemiologi bahwa resiko kehamilan dan persalianan baik bagi ibu maupun
baik bagi anak lebih tinggi pada usia kurang dari 20 tahun, paling rendah pada
usia 20-35 tahun dan meningkat lagi secara tajam setelah lebih dari 35 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Jenis kontrasepsi yang sebaiknya dipakai di sesuaikan dengan tahap masa
reproduksi tersebut (Siswosudarmo, 2001).
Sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2007) yang mengatakan bahwa
umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang
termasuk dalam penggunaan alat kontrasepsi. Mereka yang berumur tua
mempunyai
peluang
lebih
kecil
untuk
menggunakan
alat
kontrasepsi
dibandingkan dengan yang muda.
b.
Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat memengaruhi bagaimana seseoran untuk
bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya. Orang yang
berpendidikan lebih tinggi biasanya akan berindak lebih rasional. Oleh karena itu
orang berpendidikan akan lebih mudah menerima gagasan baru. Demikian pula
halnya dengan menentukan pola perencanaan keluarga dan pola dasar penggunaan
kontrasepsi serta peningkatan kesejahteraan keluarga (Manuba, 1998).
Pendidikan juga memengaruhi pola berpikir pragmatis dan rasional
terhadap adat kebiasaan, dengan pendidikan yang tinngi seseorang dapat lebih
mudah untuk menerima ide atau masalah baru seperti penerimaan, pembatasan
jumlah anak, dan keinginan terhadap jenis kelamin tertentu. Pendidikan juga akan
meningkatkan kesadaran wanita terhadap manfaat yang dapat dinikmati bila ia
mempunyai jumlah anak sedikit. Wanita yang berpendidikan tinggi cenderung
membatasi jumlah kelahiran dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan atau
bependidikan rendah (Soekanto, 2006).
Universitas Sumatera Utara
c.
Jumlah anak
Mantra (2006) mengatakan bahwa kemungkinan seorang istri untuk
menambah kelahiran tergantung kepada jumlah anak yang telah dilahirkannya.
Seorang istri mungkin memutuskan untuk ber KB setelah mempunyai jumlah
anak tertentu dan juga umur anak yang masih hidup. Semakin sering seorang
melahirkan anak, maka akan semakin memiliki resiko kematian dalam persalinan.
Hal ini berarti jumlah anak akan sangat memengaruhi kesehatan ibu dan dapat
meningkatkan taraf hidup keluarga secara maksimal.
d.
Pengetahuan
Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia
melalui
pengamatan
inderawi.
Pengetahuan
muncul
ketika
seseorang
menggunakan indera atau akal budaya untuk mengenali benda atau kejadian
tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya (Melionolimayanti,
dkk. 2007. http://forbetterhealth.wordpress.com, diakses tanggal 8 Desember
2013)
Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2007: 144), pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(overt behavior). Kerena itu dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku
yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan.
e.
Keterjangkauan pelayanan KB
Menurut Manuba (1988), faktor-faktor yang memengaruhi alasan dalam
ber KB diantaranya adalah tingkat ekonomi, pekerjaan, dan tersedianya layanan
kesehatan yang terjangkau. Adanya keterkaitan antara pendapatan dengan
Universitas Sumatera Utara
kemampuan membayar jelas berhubungan dengan masalah ekonomi, sedangkan
kemampuan membayar bisa tergantung vaeiabel non ekonomi dalam hal selera
atau persepsi individu terhadap suatu barang atau jasa.
Ketersediaan alat kontrasepsi terwujud dalam bentuk fisik, tersedia atau
tidaknya fasilitas atau sarana kesehatan (tempat pelayanan KB). Untuk dapat
digunakan, pertama kali suatu metode kontrasepsi harus tersedia dan mudah
didapat. Promosi metode tersebut melalui media massa, melalui kontak langsung
oleh petugas program KB, oleh dokter dan sebagainya, dapat meningkatkan secara
nyata kesertaan dalam KB. Memberikan konsultasi medis mungkin dapat
dipertimbankan sebagai salah satu upaya promosi. Disamping itu daya beli
individu jaga dapat memengaruhi partisipasi dalam KB. Secara tidak langsung
daya beli individu juga dipengaruhi oleh ada tidaknya subsidi dari pemerintah.
f.
Dukungan petugas kesehatan
Untuk mengubah atau mendididk masyarakat seringkali diperlukan
pengaruh dari tokoh-tokoh atau pemimpin masyarakat (community leaders),
misalnya dalam masyarakat tertentu kata-kata kepala suku selalu diikuti;
Keberhasilan program KB di Indonesia antara lain karena melibatkan ulama;
iklan-iklan obat atau pasta gigi di televisi menampilkan tokoh-tokoh yang
berpakaian dokter atau dokter gigi. Untuk mengubah atau mendidik masyarakat
diperlukan tokoh panutan yang dapat merupakan pemimpin masyarakat, tetapi
dapat juga tokoh-tokoh lain (professional, pakar, seniman, petugas kesehatan, dan
sebagainya) tergantung pada jenis masalah atau perubahan yang bersangkutan
(Sarwono, 2007)
Universitas Sumatera Utara
g.
Pengambilan keputusan
Program KB dapat terwujud dengan baik apabila ada dukungan dari pihak-
pihak tertentu. Menurut Sarwono (2007) ikatan suami-istri yang kuat sangat
membantu ketika keluarga menghadapi masalah, karena suami /istri sangat
membutuhkan dukungan dari pasangan. Hal itu disebabkan orang yang paling
bertanggung terhada keluarganya adalah pasangan itu sendiri. Masyarakat di
Indonesia khususnya di daerah pedesaan sebagai peran penentu dalam
pengambilan keputusan dalam keluarga adalah suami, sedangkan istri hanya
bersifat memberikan sumbangan saran.
Hartanto (2004) mengatakan bahwa pertisipasi dalam ber KB tidak dapat
diikuti istri tanpa kerja sama suami dan saling percaya. Keadaan ideal bahwa
pasangan suami-istri harus bersama dalam menentukan program KB yang terbaik,
saling kerjasama dalam pemakaian kontrasepsi, membiayai pengeluaran dan
memperhatikan efek yang ditimbulkan karena pemakaian kontrasepsi.
2.2 Konsep Perilaku Kesehatan
Menurut Green dan Kreuter (2005), kesehatan seseorang atau masyarakat
dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni perilaku (behavior causes) dan faktor dari
luar perilaku (non behavior causes). Perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk
dari 3 faktor, yakni faktor predisposisi (predisposing factor), faktor-faktor yang
mendukung (enabling factor), dan faktor-faktor yang memperkuat atau
mendorong (reinforcing factor).
a)
Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor-faktor ini mencakup: pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat
pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebaginya. Faktor-faktor ini terutama
yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor
pemudah.
b)
Faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tempat pembuangan
sampah, tempat pembuangan tinja, ketersadiaan makanan yang bergizi, dan
sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas,
rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan
praktek swasta, dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat masyarakat
memerlukan sarana dan prasarana pendukung. Fasilitas ini pada hakekatnya
mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka
faktor-faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin.
c)
Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma),
tokoh agama (toga), sikap dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan.
Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat
maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku
sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengatuhan dan sikap
positif, dan dukungan fasilitas saja , melainkan diperlukan perilaku contoh
(acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas terlebih
petugas kesehatan. Di samping itu undang-undang juga diperlukan untuk
memperkuat perilaku masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perkembangannya, teori Green ini dimodifikasi untuk pengukuran
hasil penelitian kesehatan, yakni:
1.
Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian basar pengetahuaan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior), sebab dari pengalaman dan hasil
penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng
(long lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Contohnya
adalah mendapatkan informasi tentang KB, pengertian KB, manfaat KB dan
dimana memperoleh pelayanan KB.
Selanjutnya Notoatmomodjo (2007) mengatakan bahwa pengetahuan
tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan:
a) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan ini adalah mengingat kembali
(recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangasangan yang yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan
tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur
bahwa orange tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
b) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang telah paham terhadap objek atau materi harus
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan
sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d) Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini
dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan
(membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan
sebagainya.
e) Sintesis (synthesis)
Sintesis menujuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat
Universitas Sumatera Utara
menyusun, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang
telah ada.
f) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria-kriteria yang ada.
2.
Sikap (attitude)
Merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi
hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara
nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu
yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial.
Notoatmodjo (2003) yang mengutip Newcomb, menyatakan bahwa sikap
itu merpakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,
akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih
merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku
yang terbuka.
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Contohnya adalah seperti
sikap setuju atau tidaknya terhadap informasi KB, pengertian dan manfaat KB,
serta kesediaan mendatangi tempat pelayanan KB, fasilitas dan sarananya, juga
kesediaan mereka memenuhi kebutuhan sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Seperti halnya dengan pengetahuaan, sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan yaitu: (Notoatmodjo, 2003)
a)
Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap KB dapat dilihat dari
kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang KB.
b)
Merespon(responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas
adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab
pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Terlepas dari pekerjaan
itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.
c)
Menghargai(valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu maslah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu mengajak ibu
lain (tetangganya, saudaranya, dan sebagainya) untuk pergi ke sarana
kesehatan untuk mendapatkan pelayanan KB adalah suatu bukti bahwa ibu
tersebut telah mempunyai sikap positif.
d)
Bertanggungjawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya, sorang ibu mau
memakai alat kontrasepsi, meskipun mendapat tantangan dari suami atau
mertuanya.
Universitas Sumatera Utara
3.
Praktek atau tindakan (practice)
Menurut
Sarwono
(2007),
sikap
dapat
dirumuskan
sebagai
kencenderungan untuk merespon secara positif maupun negaatif terhadap orang,
objek ataupun situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penilaian emosional
(senang, benci, sedih, dan lain-lain) dan memiliki tingkat kedalaman yang
berbeda-beda.
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior), untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.
Sikap ibu yang positif terhadap alat kontrasepsi harus mendapat konfirmasi dari
suaminya, dan ada fasilitas yang mudah dicapai agar ibu tersebut dapat memakai
alat kontrasepsi. Selain fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari
pihak lain, misalnya dari suami atau istri, orangtua atau mertua, dan lain-lain.
Beberapa tingkatan praktek adalah:
a)
Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
b)
Respon terpimpin (Guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.
c)
Mekanisme (Mechanism)
Universitas Sumatera Utara
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai praktek tingkat tiga.
d)
Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.
2.3 Pengertian Pasangan Usia Subur (PUS)
Pasangan usia subur yaitu pasangan yang wanitanya berusia antara 15-49
tahun,
Karena kelompok ini merupakan pasangan yang aktif melakukan
hubungan seksual dan setiap kegiatan seksual dapat mengakibatkan kehamilan.
PUS diharapkan secara bertahap menjadi peserta KB yang aktif lestari sehingga
memberi efek langsung penurunan fertilisasi (Suratun, 2008).
Pasangan usia subur yaitu pasangan yang istrinya berumur 15-49 tahun
atau pasangan suami-istri berumur kurang dari 15 tahun dan sudah haid atau istri
berumur lebih dari 50 tahun tetapi masih haid (datang bulan) (BKKBN, 2010).
2.4 Program Keluarga Berencana
2.4.1 Beberapa konsep tentang KB
KB merupakan salah satu usaha untuk mencapai kesejahteraan dengan
jalan memberikan nasehat perkawinan,pengobatan kemandulan dan penjarangan
kelahiran (Depkes RI, 1999; 1).
Dalam UU No.52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga menjelaskan Keluarga Berencana adalah Upaya mengatur
kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui
Universitas Sumatera Utara
promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk
mewujudkan keluarga yang berkualitas.
KB adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri
untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang
memang diinginkan, mengatur interval diantara kelahiran (Hartanto, 2004; 27).
KB adalah proses yang disadari oleh pasangan untuk memutuskan jumlah dan
jarak anak serta waktu kelahiran (Stright, 2004; 78).
2.4.2 Visi dan Misi Keluarga Berencana
Visi KB berdasarkan paradigma baru program Keluarga Berencana
Nasional adalah untuk mewujudkan ”Keluarga berkualitas tahun 2015”.
Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sehat, maju, mandiri,
memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab,
harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Visi “Keluarga
berkualitas 2015″ dijabarkan dalam salah satu misinya (BKKBN, 2001).
2.4.3 Tujuan Keluarga Berencana
a. Meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil
yang bahagia dan sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pengendalian
pertumbuhan penduduk Indonesia.
b. Terciptanya penduduk yang berkualitas, sumber daya manusia yang bermutu
dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Sasaran Program KB
a. Sasaran langsung
Pasangan usia subur yang bertujuan untuk menurunkan tingkat kelahiran
dengan cara penggunaan kontrasepsi secara berkelanjutan.
b. Sasaran tidak langsung
Pelaksana dan pengelola KB, dengan cara menurunkan tingkat kelahiran
melalui pendekatan kebijaksanaan kependudukan terpadu dalam rangka
mencapai keluarga yang berkualitas, keluarga sejahtera (Handayani,2010; 29).
2.4.5 Ruang Lingkup Program KB
Menurut Handayani (2010:29) ruang lingkup program KB,meliputi:
a. Komunikasi informasi dan edukasi.
b. Konseling.
c. Pelayanan infertilitas.
d. Pendidikan seks.
e. Konsultasi pra perkawinan dan konsultasi perkawinan.
f. Konsultasi genetik.
2.4.6 Manfaat usaha KB dipandang dari segi kesehatan
Peningkatan dan perluasan pelayanan KB merupakan salah satu usaha
untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang semakin tinggi akibat
kehamilan yang dialami wanita. Keluarga berncana memiliki peranan dalam
menurunkan resiko kematian ibu melalui pencegahan kehamilan, menunda
kehamilan melalui pendewasaan usia hamil, menjarangkan kehamilan atau
Universitas Sumatera Utara
membatasi kehamilan bila anak sudah dianggap cukup. Dengan demikian
Pelayanan KB merupakan upaya pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar
dan utama (Saroha Pinem, 2009)
2.5 Akseptor Keluarga Berencana
Akseptor KB adalah proses yang disadari oleh pasangan untuk
memutuskan
jumlah
dan
jarak
anak
serta
waktu
kelahiran(Barbara
R.Stright,2004;78).
2.5.1 Jenis-Jenis Akseptor KB
a. Akseptor aktif adalah akseptor yang ada pada saat ini menggunakan salah
satu cara / alat kontrasepsi untuk menjarangkan kehamilan atau
mengakhiri kesuburan.
b. Akseptor aktif kembali adalah pasangan usia subur yang telah
menggunakan kontrasepsi selama 3 (tiga) bulan atau lebih yang tidak
diselingi suatu kehamilan, dan kembali menggunakan cara alat kontrasepsi
baik dengan cara yang sama maupun berganti cara setelah berhenti /
istirahat kurang lebih 3 (tiga) bulan berturut – turut dan bukan karena
hamil.
c. Akseptor KB baru adalah akseptor yang baru pertama kali menggunakan
alat / obat kontrasepsi atau pasangan usia subur yang kembali
menggunakan alat kontrasepsi setelah melahirkan atau abortus.
d. Akseptor KB dini adalah para ibu yang menerima salah satu cara
kontrasepsi dalam waktu 2 minggu setelah melahirkan atau abortus.
Universitas Sumatera Utara
e. Akseptor langsung adalah para istri yang memakai salah satu cara
kontrasepsi dalam waktu 40 hari setelah melahirkan atau abortus.
f. Akseptor dropout adalah akseptor yang menghentikan pemakaian
kontrasepsi lebih dari 3 bulan (BKKBN, 2007).
2.5.2 Akseptor KB menurut sasarannya
a. Fase menunda kehamilan
Masa menunda kehamilan pertama sebaiknya dilakukan oleh pasangan yang
istrinya belum mencapai usia 20 tahun.Karena usia di bawah 20 tahun
adalah usia yang sebaiknya menunda untuk mempunyai anak dengan
berbagai alasan. Kriteria kontrasepsi yang diperlukan yaitu kontrasepsi
dengan pulihnya kesuburan yang tinggi, artinya kembalinya kesuburan
dapat terjamin 100%. Hal ini penting karena pada masa ini pasangan belum
mempunyai anak, serta efektifitas yang tinggi. Kontrasepsi yang cocok dan
yang disarankan adalah pil KB, AKDR.
b. Fase mengatur / menjarangkan kehamilan
Periode usia istri antara 20 - 30 tahun merupakan periode usia paling baik
untuk melahirkan, dengan jumlah anak 2 orang dan jarak antara kelahiran
adalah 2 - 4 tahun.Ktiteria kontrasepsi yang perlukan yaitu efektifitas tinggi,
reversibilitas tinggi karena pasangan masih mengharapkan punya anak lagi.
Kontrasepsi dapat dipakai 3 - 4 tahun sesuai jarak kelahiran yang
direncanakan.
c. Fase mengakhiri kesuburan / tidak hamil lagi
Sebaiknya keluarga setelah mempunyai 2 anak dan umur istri lebih dari 30
tahun tidak hamil. Kondisi keluarga seperti ini dapat menggunakan
Universitas Sumatera Utara
kontrasepsi yang mempunyai efektifitas tinggi, karena jika terjadi kegagalan
hal inidapat menyebabkan terjadinya kehamilan dengan resiko tinggi bagi
ibu dan anak. Di samping itu jika pasangan akseptor tidak mengharapkan
untuk mempunyai anak lagi, kontrasepsi yang cocok dan disarankan adalah
metode kontap, AKDR, implan, suntik KB dan pil KB (Pinem, 2009.).
2.6 Kontrasepsi
Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti
“melawan” atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel
telur yang matang dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari
konsepsi adalah menghindari / mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat
adanya pertemuan antara sel telur dengan sel sperma. Untuk itu, berdasarkan
maksud dan tujuan kontrasepsi, maka yang membutuhkan kontrasepsi adalah
pasangan yang aktif melakukan hubungan seks dan kedua-duanya memiliki
kesuburan normal namun tidak menghendaki kehamilan (Depkes, 1999).
Kontrasepsi adalah usaha - usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan,
usaha itu dapat bersifat sementara dapat bersifat permanen (Prawirohardjo, 2008;
534).
2.6.1 Syarat-Syarat Kontrasepsi
Sebagai usaha untuk mencegah kehamilan hendaknya kontrasepsi
memiliki syarat - syarat sebagai berikut :
a. aman pemakaiannya dan dapat dipercaya.
b. efek samping yang merugikan tidak ada.
c. lama kerjanya dapat diatur menurut keinginan.
d. tidak mengganggu hubungan persetubuhan.
Universitas Sumatera Utara
e. tidak memerlukan bantuan medik atau control yang ketat selama
pemakaiannya.
f. cara penggunaannya sederhana.
g. harganya murah supaya dapat dijangkau oleh masyarakat luas.
h. dapat diterima oleh pasangan suami istri ( Mochtar, 1998).
2.6.2 Cara-cara Kontrasepsi
Cara-cara dapat dibagi menjadi beberapa metode:
a. pembagian menurut jenis kelamin pemakai
1) Cara atau alat yang dipakai oleh suami (pria)
2) Cara atau alat yang dipakai oleh istri (wanita)
b. Menurut pelayanannya
1) Cara medis dan non-medis
2) Cara klinis dan non-klinis
c. Pembagian menurut efek kerjanya
1) Tidak mempengaruhi fertilitas
2) Menyebabkan infertilitas temporer (sementara)
3) Kontrasepsi permanen dengan infertilitas temporer
d. Pembagian menurut cara kerja alat/cara kontrasepsi
1) Menurut keadaan biologis: senggama terputus, metode kalender, suhu
badan, dll
2) Memakai alat mekanis: kondom, diafragma
3) Memakai obat kimiawi: spermisida
4) Kontrasepsi intrauterina: IUD
Universitas Sumatera Utara
5) Hormonal:pil KB, suntikan KB, dan alat kontrasepsi bawah kulit
(AKBK)
6) Operatif: tubektomi dan vasektomi
e. Pembagian umum dan banyak dipakai adalah
1) Metode merakyat : senggama terputus, pembilasan pasca senggama,
perpanjangan masa laktasi.
2) Metode tradisional : pantang berkala, kondom, diafragma, dan
spermisida.
3) Metode modern :
a) Kontrasepsi hormonal : pil KB, suntik KB, alat kontrasepsi bawah
kulit.
b) Kontrasepsi intrauterina : IUD
4) Metode permanen operasi : tubektomi peda wanita dan vasektomi pada
pria (Mochtar, 1998)
2.7 Kerangka Konsep
Konsep umum yang dijadikan landasan teori adalah teori Green dan
Kreuter (2005) yang digunakan untuk menilai perilaku individu atau kelompok.
Ada 3 faktor yang mempengaruhi individu untuk bertindak yaitu faktor
predisposisi (pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, kebutuhan yang
dirasakan, kemampuan dan unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan
masyarakat), faktor pendukung (tersedianya sarana dan prasarana), dan faktor
pendorong (petugas kesehatan).
Konsep tersebut dikombinasikan dengan teori Kar yang dikutip oleh
Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan bertitik tolak dari niat seseorang,
Universitas Sumatera Utara
dukungan sosial, ada tidaknya informasi dan situasi yang memungkinkan untuk
bertindak.
Notoatmodjoo
juga
mengatakan
bahwa
determinan
perilaku
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal serta menurut Robbins (1994),
beberapa karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, status perkawinan,
pendidikan, tanggung jawab, dan status masa kerja.
Berdasarkan konsep-konsep tersebut, maka peneliti merumuskan kerangka
konsep penelitian sebagai berikut:
Variabel Independen
Faktor predisposisi:
1. Umur
2. Pendidikan
3. Jumlah anak
4. Pengetahuan
5. Sikap
Variabel Dependen
PUS tidak ikut KB
Faktor pendukung:
1. Ketersediaan alat
kontrasepsi
2. Keterjangkauan pelayanan
KB
PUS ikut KB
Faktor pendorong:
1. Dukungan petugas
kesehatan
2. Pengambil keputusan
Gambar 2.2. Skema Kerangka Konsep
Variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor pedisposisi (umur,
pendidikan, jumlah anak, pengetahuan, sikap), faktor pendukung (ketersediaan
Universitas Sumatera Utara
alat kontrasepsi, keterjangkauan pelayanan KB), faktor pendorong (dukungan
petugas kesehatan, pengambil keputusan), sedangkan variabel dependen adalah
PUS tidak ikut KB dan PUS ikut KB.
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Determinan dalam pelaksanaan Program KB
Menurut Saroha Pinem (2009) ada beberapa faktor yang meyebabkan PUS
tidak mengikuti program KB antara lain:
a. Segi Pelayanan
Hingga saat ini pelayanan KB masih kurang berkualitas terbukti dari
peserta KB yang berhenti menggunakan alat kontrasepsi masih banyak
dengan alasan efek samping, kesehatan dan kegagalan pemakaian.
Kegagalan pemakaian menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan.
Pelayanan terhadap kelompok unmet need (wanita yang tidak terpenuhi
kebutuhan KB nya) masih belum ditangani dengan serius, khususnya
terhadap unmet need yang bertujuan untuk membatasi kelahiran.
b. Segi Ketersediaan Alat Kontrasepsi
Dengan kebijakan “Sistem Kafetaria” yang diterapkan BKKBN, calon
peserta KB dapat memilih sendiri alat maupun metode kontrasepsi yang
sesuai keinginnanya. Akibatnya, terjadi drop out dengan alasan ingin ganti
cara yang lebih efektif. Drop out yang paling banyak terjadi pada peserta
KB pil, suntikan atau IUD yang umumnya ingin beralih ke implant.
Sayangnya implant tidak tersedia di tempat pelayanan karena harganya
relative mahal. Akibatnya wanita PUS tidak terlindungi dari kehamilan
yang tidak diinginkan.
Universitas Sumatera Utara
c. Segi Penyampaian Konseling maupun KIE (Komunikasi, Informasi dan
Edukasi)
Pada saat ini, kebijakan program lebih mengedepankan pilihan kontrasepsi
yang “rasional, efektif dan efisien”. Tetapi pilihan kontrasepsi secara
rasional ini nampaknya belum tersosialisasi dengan baik karena proses
informed choice belum dilaksanakan dengan baik.
d. Hambatan Budaya
Di beberapa daerah masih ada masyarakat yang akrab dengan budayanya
“banyak anak banyak rezeki, tiap anak membawa rezekinya sendirisendiri” atau “anak sebagai tempat bergantung dihari tua”.Selain itu ada
juga budaya yang mengharuskan keluarga memiliki anak laki-laki maupun
anak perempuan dalam satu keluarga. Hal ini terbukti dari adanya
sekelompok wanita yang sudah memiliki anak, namun tetap tidak bersedia
menggunakan alat kontrasepsi. Kemungkinan diantara mereka belum
memiliki anak dengan jenis kelamin yang mereka inginkan.
e. Kelompok wanita yang tidak ingin anak lagi tetapi tidak menggunakan alat
kontrasepsi (unmet need)
Menurut Mahmood (1991) dalam BKKBN dan UNFPA (2005) penyebab
adanya kelompok wanita unmet need antara lain berkaitan dengan masalah
keuangan, aspek kejiwaan, medis, waktu dan biaya pelayanan, resiko
kesehatan dan hambatan sosial.
f.
Kelompok Hard Core
Yaitu kelompok wanita yang tidak mau menggunakan alat kontrasepsi
baik pada saat ini maupun pada waktu yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Bertrand (1980) sendiri, faktor-faktor yang memengaruhi
keikutsertaan dalam ber KB adalah sebagai berikut:
1.
Faktor sosio-demografi
Penerimaan KB lebih banyak pada mereka yang memiliki standard hidup
yang lebih tinggi. Indikator status sosio-demografi termasuk pendidikan yang
dicapai, pendapatan keluarga dan status pekerjaan, juga jenis rumah, gizi (di
negara-negara sedang berkembang) dan pengukuran pendapatan tidak langsung
lainnya.
Beberapa faktor demografi tertentu juga memengaruhi penerimaan KB di
beberapa negara, misalnya di banyak negara sedang berkembang, penggunaan
kontrasepsi lebih banyak pada wanita yang berumur akhir 20-30 an yang sudah
memiliki anak tiga atau lebih. Faktor sosial lain yang juga memengaruhi adalah
suku dan agama.
2.
Faktor sosio-psikologi
Sikap dan keyakinan merupakan kunci penerimaan KB, banyak sikap yang
dapat menghalangi KB. Beberapa faktor sosio-psikologi yang penting antara lain
adalah ukuran keluarga ideal, pentingnya nilai anak laki-laki, sikap terhadap KB,
komunikasi suami-isteri, persepsi terhadap kematian anak. Sikap dan kepercayaan
tersebut perlu untuk mencegah isu yang berhubungan termasuk segi pelayanan
dan efek samping alat kontrasepsi.
3.
Faktor yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan
Program komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) merupakan salah satu
faktor praktis yang dapat diukur bila pelayanan KB tidak tersedia. Beberapa faktor
Universitas Sumatera Utara
yang berhubungan dengan pelayanan KB antara lain keterlibatan dalam kegiatan
yang berhubungan dengan KB, pengetahuan tentang sumber kontrasepsi, jarak ke
pusat pelayanan dan keterlibatan dengan media massa.
Secara ringkas faktor-faktor tersebut dapat dilihat seperti pada gambar
berikut:
Faktor sosio-demografi
a. Pendidikan
b. Pendapatan
c. Status pekerjaan
d. Perumahan
e. Status gizi
f. Umur
g. Suku
h. Agama
Faktor sosio-psikologi
a. Ukuran keluarga ideal
Keikutsertaan Progarm KB
b. Pentingnya nilai anak laki-laki
c. Sikap terhadap KB
d. Komunikasi suami-isteri
e. Persepsi terhadap kematian anak
Faktor yang berhubungan dengan
pelayanan
a. Keterlibatan dalam kegiatan
yang berhubungan dengan KB
b. Pengetahuan tentang kontrasepsi
c. Jarak ke pusat pelayanan
d. Paparan dengan media massa
Gambar 2.1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi keikutsertaan PUS dalam ber KB
Menurut affandi dalam Mutiara (1998), faktor-faktor yang memengaruhi
pemakaian kontrasepsi adalah:
a. Faktor pola perencanaan keluarga
Adalah mengenai penentuan besarnya jumlah keluarga yang menyangkut
waktu yang tepat untuk mengakhiri kesuburan. Dalam perencanaan keluarga harus
Universitas Sumatera Utara
diketahui kapan kurun waktu reproduksi sehat, berapa sebaiknya jumlah anak
sesuai kondisi, berapa perbedaan jarak umur antara anak. Seorang wanita secara
biologik memasuki usia reproduksinya beberapa tahun sebelum mencapai umur
dimana kehamilan dan persalinan dapat berlangsung dengan aman dan kesuburan
ini akan berlangsung terus-menerus sampai 10-15 tahun, sesudah kurun waktu
dimana kehamilan dan persalinan itu berlangsung dengan aman. Kurun waktu
yang paling aman adalah umur 20-35 tahun dengan pengaturan:
1. Anak pertama lahir sesudah ibunya berumur 20 tahun
2. Anak kedua lahir sebelum ibunya berumur 30 tahun
3. Jarak antara anak pertama dan kedua sekurang-kurangnya 2 tahun atau
diusahakan jangan ada 2 anak balita dalam kesempatan yang sama.
Kemudian menyelesaikan besarnya keluarga sewaktu istri berusia 30-35
tahun dengan kontrasepsi mantap.
b. Faktor subjektif
Bagaimanapun baiknya suatu alat kontrasepsi baik dipandang dari sudut
kesehatan maupun rasaionalitasnya namun belumlah tentu dirasakan cocok dan
dipilih oleh akseptor/calon akseptor. Pilihan ini sangat pula tergantung pada
pengetahuannya
tentang
kontrasepsi
tersebut,
baik
yang
didapat
dari
keluarga/kerabat maupun yang didapat dari petugas kesehatan atau tokoh
masyarakat.
c. Faktor objektif
Pemilihan kontrasepsi yang digunakan disesuaikan dengan keadaan wanita
(kondisi fisik dan umur) serta disesuaikan dengan fase-fase menurut kurun waktu
Universitas Sumatera Utara
reproduksinya. Biasanya pemilihan kontrasepsi juga disesuaikan dengan maksud
penggunaan kontrasepsi tersebut.
Tabel 2.1. Konsep Pemilihan Alat Kontrasepsi
Fase Mencegah
Fase Menjarangkan
Kehamilan
Kehamilan
a. Pil
a. IUD
b. Suntikan
b. Suntikan
c. IUD
c. Pil
d. Implant
Umur
20-21 tahun
Fase Mengakhiri
Kehamilan
a. Kontap
b. IUD
c. Implant
d. Suntikan
e. Pil
30-35 tahun
d. Faktor motivasi
Kelangsungan pemakaian kontrasepsi sangat tergantung dari motivasi dan
penerimaan pasngan suami istri. Motivasi akseptor KB untuk terus menggunakan
kontrasepsi yang lama, akan merubah metode, atau menghentikan sama sekali
penggunaan kontrasepsi dengan tujuan untuk membatasi kelahiran mempunyai
tingkat kemantapan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang bertujuan untuk
menunda kehamilan.
Berdasarkan klasifikasi beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa kesertaan dalam program KB dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:
a.
Umur
Masa kehamilan reproduksi wanita pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga
periode, yakni kurun reproduksi muda (15-19 tahun), kurun reproduksi sehat (2035 tahun), dan kurun reproduksi tua (36-45 tahun). Pembagian ini didasarkan atas
data epidemiologi bahwa resiko kehamilan dan persalianan baik bagi ibu maupun
baik bagi anak lebih tinggi pada usia kurang dari 20 tahun, paling rendah pada
usia 20-35 tahun dan meningkat lagi secara tajam setelah lebih dari 35 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Jenis kontrasepsi yang sebaiknya dipakai di sesuaikan dengan tahap masa
reproduksi tersebut (Siswosudarmo, 2001).
Sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2007) yang mengatakan bahwa
umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang
termasuk dalam penggunaan alat kontrasepsi. Mereka yang berumur tua
mempunyai
peluang
lebih
kecil
untuk
menggunakan
alat
kontrasepsi
dibandingkan dengan yang muda.
b.
Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat memengaruhi bagaimana seseoran untuk
bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya. Orang yang
berpendidikan lebih tinggi biasanya akan berindak lebih rasional. Oleh karena itu
orang berpendidikan akan lebih mudah menerima gagasan baru. Demikian pula
halnya dengan menentukan pola perencanaan keluarga dan pola dasar penggunaan
kontrasepsi serta peningkatan kesejahteraan keluarga (Manuba, 1998).
Pendidikan juga memengaruhi pola berpikir pragmatis dan rasional
terhadap adat kebiasaan, dengan pendidikan yang tinngi seseorang dapat lebih
mudah untuk menerima ide atau masalah baru seperti penerimaan, pembatasan
jumlah anak, dan keinginan terhadap jenis kelamin tertentu. Pendidikan juga akan
meningkatkan kesadaran wanita terhadap manfaat yang dapat dinikmati bila ia
mempunyai jumlah anak sedikit. Wanita yang berpendidikan tinggi cenderung
membatasi jumlah kelahiran dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan atau
bependidikan rendah (Soekanto, 2006).
Universitas Sumatera Utara
c.
Jumlah anak
Mantra (2006) mengatakan bahwa kemungkinan seorang istri untuk
menambah kelahiran tergantung kepada jumlah anak yang telah dilahirkannya.
Seorang istri mungkin memutuskan untuk ber KB setelah mempunyai jumlah
anak tertentu dan juga umur anak yang masih hidup. Semakin sering seorang
melahirkan anak, maka akan semakin memiliki resiko kematian dalam persalinan.
Hal ini berarti jumlah anak akan sangat memengaruhi kesehatan ibu dan dapat
meningkatkan taraf hidup keluarga secara maksimal.
d.
Pengetahuan
Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia
melalui
pengamatan
inderawi.
Pengetahuan
muncul
ketika
seseorang
menggunakan indera atau akal budaya untuk mengenali benda atau kejadian
tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya (Melionolimayanti,
dkk. 2007. http://forbetterhealth.wordpress.com, diakses tanggal 8 Desember
2013)
Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2007: 144), pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(overt behavior). Kerena itu dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku
yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan.
e.
Keterjangkauan pelayanan KB
Menurut Manuba (1988), faktor-faktor yang memengaruhi alasan dalam
ber KB diantaranya adalah tingkat ekonomi, pekerjaan, dan tersedianya layanan
kesehatan yang terjangkau. Adanya keterkaitan antara pendapatan dengan
Universitas Sumatera Utara
kemampuan membayar jelas berhubungan dengan masalah ekonomi, sedangkan
kemampuan membayar bisa tergantung vaeiabel non ekonomi dalam hal selera
atau persepsi individu terhadap suatu barang atau jasa.
Ketersediaan alat kontrasepsi terwujud dalam bentuk fisik, tersedia atau
tidaknya fasilitas atau sarana kesehatan (tempat pelayanan KB). Untuk dapat
digunakan, pertama kali suatu metode kontrasepsi harus tersedia dan mudah
didapat. Promosi metode tersebut melalui media massa, melalui kontak langsung
oleh petugas program KB, oleh dokter dan sebagainya, dapat meningkatkan secara
nyata kesertaan dalam KB. Memberikan konsultasi medis mungkin dapat
dipertimbankan sebagai salah satu upaya promosi. Disamping itu daya beli
individu jaga dapat memengaruhi partisipasi dalam KB. Secara tidak langsung
daya beli individu juga dipengaruhi oleh ada tidaknya subsidi dari pemerintah.
f.
Dukungan petugas kesehatan
Untuk mengubah atau mendididk masyarakat seringkali diperlukan
pengaruh dari tokoh-tokoh atau pemimpin masyarakat (community leaders),
misalnya dalam masyarakat tertentu kata-kata kepala suku selalu diikuti;
Keberhasilan program KB di Indonesia antara lain karena melibatkan ulama;
iklan-iklan obat atau pasta gigi di televisi menampilkan tokoh-tokoh yang
berpakaian dokter atau dokter gigi. Untuk mengubah atau mendidik masyarakat
diperlukan tokoh panutan yang dapat merupakan pemimpin masyarakat, tetapi
dapat juga tokoh-tokoh lain (professional, pakar, seniman, petugas kesehatan, dan
sebagainya) tergantung pada jenis masalah atau perubahan yang bersangkutan
(Sarwono, 2007)
Universitas Sumatera Utara
g.
Pengambilan keputusan
Program KB dapat terwujud dengan baik apabila ada dukungan dari pihak-
pihak tertentu. Menurut Sarwono (2007) ikatan suami-istri yang kuat sangat
membantu ketika keluarga menghadapi masalah, karena suami /istri sangat
membutuhkan dukungan dari pasangan. Hal itu disebabkan orang yang paling
bertanggung terhada keluarganya adalah pasangan itu sendiri. Masyarakat di
Indonesia khususnya di daerah pedesaan sebagai peran penentu dalam
pengambilan keputusan dalam keluarga adalah suami, sedangkan istri hanya
bersifat memberikan sumbangan saran.
Hartanto (2004) mengatakan bahwa pertisipasi dalam ber KB tidak dapat
diikuti istri tanpa kerja sama suami dan saling percaya. Keadaan ideal bahwa
pasangan suami-istri harus bersama dalam menentukan program KB yang terbaik,
saling kerjasama dalam pemakaian kontrasepsi, membiayai pengeluaran dan
memperhatikan efek yang ditimbulkan karena pemakaian kontrasepsi.
2.2 Konsep Perilaku Kesehatan
Menurut Green dan Kreuter (2005), kesehatan seseorang atau masyarakat
dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni perilaku (behavior causes) dan faktor dari
luar perilaku (non behavior causes). Perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk
dari 3 faktor, yakni faktor predisposisi (predisposing factor), faktor-faktor yang
mendukung (enabling factor), dan faktor-faktor yang memperkuat atau
mendorong (reinforcing factor).
a)
Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor-faktor ini mencakup: pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat
pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebaginya. Faktor-faktor ini terutama
yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor
pemudah.
b)
Faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tempat pembuangan
sampah, tempat pembuangan tinja, ketersadiaan makanan yang bergizi, dan
sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas,
rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan
praktek swasta, dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat masyarakat
memerlukan sarana dan prasarana pendukung. Fasilitas ini pada hakekatnya
mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka
faktor-faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin.
c)
Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma),
tokoh agama (toga), sikap dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan.
Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat
maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku
sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengatuhan dan sikap
positif, dan dukungan fasilitas saja , melainkan diperlukan perilaku contoh
(acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas terlebih
petugas kesehatan. Di samping itu undang-undang juga diperlukan untuk
memperkuat perilaku masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perkembangannya, teori Green ini dimodifikasi untuk pengukuran
hasil penelitian kesehatan, yakni:
1.
Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian basar pengetahuaan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior), sebab dari pengalaman dan hasil
penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng
(long lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Contohnya
adalah mendapatkan informasi tentang KB, pengertian KB, manfaat KB dan
dimana memperoleh pelayanan KB.
Selanjutnya Notoatmomodjo (2007) mengatakan bahwa pengetahuan
tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan:
a) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan ini adalah mengingat kembali
(recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangasangan yang yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan
tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur
bahwa orange tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
b) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang telah paham terhadap objek atau materi harus
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan
sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d) Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini
dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan
(membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan
sebagainya.
e) Sintesis (synthesis)
Sintesis menujuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat
Universitas Sumatera Utara
menyusun, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang
telah ada.
f) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria-kriteria yang ada.
2.
Sikap (attitude)
Merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi
hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara
nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu
yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial.
Notoatmodjo (2003) yang mengutip Newcomb, menyatakan bahwa sikap
itu merpakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,
akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih
merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku
yang terbuka.
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Contohnya adalah seperti
sikap setuju atau tidaknya terhadap informasi KB, pengertian dan manfaat KB,
serta kesediaan mendatangi tempat pelayanan KB, fasilitas dan sarananya, juga
kesediaan mereka memenuhi kebutuhan sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Seperti halnya dengan pengetahuaan, sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan yaitu: (Notoatmodjo, 2003)
a)
Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap KB dapat dilihat dari
kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang KB.
b)
Merespon(responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas
adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab
pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Terlepas dari pekerjaan
itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.
c)
Menghargai(valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu maslah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu mengajak ibu
lain (tetangganya, saudaranya, dan sebagainya) untuk pergi ke sarana
kesehatan untuk mendapatkan pelayanan KB adalah suatu bukti bahwa ibu
tersebut telah mempunyai sikap positif.
d)
Bertanggungjawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya, sorang ibu mau
memakai alat kontrasepsi, meskipun mendapat tantangan dari suami atau
mertuanya.
Universitas Sumatera Utara
3.
Praktek atau tindakan (practice)
Menurut
Sarwono
(2007),
sikap
dapat
dirumuskan
sebagai
kencenderungan untuk merespon secara positif maupun negaatif terhadap orang,
objek ataupun situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penilaian emosional
(senang, benci, sedih, dan lain-lain) dan memiliki tingkat kedalaman yang
berbeda-beda.
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior), untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.
Sikap ibu yang positif terhadap alat kontrasepsi harus mendapat konfirmasi dari
suaminya, dan ada fasilitas yang mudah dicapai agar ibu tersebut dapat memakai
alat kontrasepsi. Selain fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari
pihak lain, misalnya dari suami atau istri, orangtua atau mertua, dan lain-lain.
Beberapa tingkatan praktek adalah:
a)
Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
b)
Respon terpimpin (Guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.
c)
Mekanisme (Mechanism)
Universitas Sumatera Utara
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai praktek tingkat tiga.
d)
Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.
2.3 Pengertian Pasangan Usia Subur (PUS)
Pasangan usia subur yaitu pasangan yang wanitanya berusia antara 15-49
tahun,
Karena kelompok ini merupakan pasangan yang aktif melakukan
hubungan seksual dan setiap kegiatan seksual dapat mengakibatkan kehamilan.
PUS diharapkan secara bertahap menjadi peserta KB yang aktif lestari sehingga
memberi efek langsung penurunan fertilisasi (Suratun, 2008).
Pasangan usia subur yaitu pasangan yang istrinya berumur 15-49 tahun
atau pasangan suami-istri berumur kurang dari 15 tahun dan sudah haid atau istri
berumur lebih dari 50 tahun tetapi masih haid (datang bulan) (BKKBN, 2010).
2.4 Program Keluarga Berencana
2.4.1 Beberapa konsep tentang KB
KB merupakan salah satu usaha untuk mencapai kesejahteraan dengan
jalan memberikan nasehat perkawinan,pengobatan kemandulan dan penjarangan
kelahiran (Depkes RI, 1999; 1).
Dalam UU No.52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga menjelaskan Keluarga Berencana adalah Upaya mengatur
kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui
Universitas Sumatera Utara
promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk
mewujudkan keluarga yang berkualitas.
KB adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri
untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang
memang diinginkan, mengatur interval diantara kelahiran (Hartanto, 2004; 27).
KB adalah proses yang disadari oleh pasangan untuk memutuskan jumlah dan
jarak anak serta waktu kelahiran (Stright, 2004; 78).
2.4.2 Visi dan Misi Keluarga Berencana
Visi KB berdasarkan paradigma baru program Keluarga Berencana
Nasional adalah untuk mewujudkan ”Keluarga berkualitas tahun 2015”.
Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sehat, maju, mandiri,
memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab,
harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Visi “Keluarga
berkualitas 2015″ dijabarkan dalam salah satu misinya (BKKBN, 2001).
2.4.3 Tujuan Keluarga Berencana
a. Meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil
yang bahagia dan sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pengendalian
pertumbuhan penduduk Indonesia.
b. Terciptanya penduduk yang berkualitas, sumber daya manusia yang bermutu
dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Sasaran Program KB
a. Sasaran langsung
Pasangan usia subur yang bertujuan untuk menurunkan tingkat kelahiran
dengan cara penggunaan kontrasepsi secara berkelanjutan.
b. Sasaran tidak langsung
Pelaksana dan pengelola KB, dengan cara menurunkan tingkat kelahiran
melalui pendekatan kebijaksanaan kependudukan terpadu dalam rangka
mencapai keluarga yang berkualitas, keluarga sejahtera (Handayani,2010; 29).
2.4.5 Ruang Lingkup Program KB
Menurut Handayani (2010:29) ruang lingkup program KB,meliputi:
a. Komunikasi informasi dan edukasi.
b. Konseling.
c. Pelayanan infertilitas.
d. Pendidikan seks.
e. Konsultasi pra perkawinan dan konsultasi perkawinan.
f. Konsultasi genetik.
2.4.6 Manfaat usaha KB dipandang dari segi kesehatan
Peningkatan dan perluasan pelayanan KB merupakan salah satu usaha
untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang semakin tinggi akibat
kehamilan yang dialami wanita. Keluarga berncana memiliki peranan dalam
menurunkan resiko kematian ibu melalui pencegahan kehamilan, menunda
kehamilan melalui pendewasaan usia hamil, menjarangkan kehamilan atau
Universitas Sumatera Utara
membatasi kehamilan bila anak sudah dianggap cukup. Dengan demikian
Pelayanan KB merupakan upaya pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar
dan utama (Saroha Pinem, 2009)
2.5 Akseptor Keluarga Berencana
Akseptor KB adalah proses yang disadari oleh pasangan untuk
memutuskan
jumlah
dan
jarak
anak
serta
waktu
kelahiran(Barbara
R.Stright,2004;78).
2.5.1 Jenis-Jenis Akseptor KB
a. Akseptor aktif adalah akseptor yang ada pada saat ini menggunakan salah
satu cara / alat kontrasepsi untuk menjarangkan kehamilan atau
mengakhiri kesuburan.
b. Akseptor aktif kembali adalah pasangan usia subur yang telah
menggunakan kontrasepsi selama 3 (tiga) bulan atau lebih yang tidak
diselingi suatu kehamilan, dan kembali menggunakan cara alat kontrasepsi
baik dengan cara yang sama maupun berganti cara setelah berhenti /
istirahat kurang lebih 3 (tiga) bulan berturut – turut dan bukan karena
hamil.
c. Akseptor KB baru adalah akseptor yang baru pertama kali menggunakan
alat / obat kontrasepsi atau pasangan usia subur yang kembali
menggunakan alat kontrasepsi setelah melahirkan atau abortus.
d. Akseptor KB dini adalah para ibu yang menerima salah satu cara
kontrasepsi dalam waktu 2 minggu setelah melahirkan atau abortus.
Universitas Sumatera Utara
e. Akseptor langsung adalah para istri yang memakai salah satu cara
kontrasepsi dalam waktu 40 hari setelah melahirkan atau abortus.
f. Akseptor dropout adalah akseptor yang menghentikan pemakaian
kontrasepsi lebih dari 3 bulan (BKKBN, 2007).
2.5.2 Akseptor KB menurut sasarannya
a. Fase menunda kehamilan
Masa menunda kehamilan pertama sebaiknya dilakukan oleh pasangan yang
istrinya belum mencapai usia 20 tahun.Karena usia di bawah 20 tahun
adalah usia yang sebaiknya menunda untuk mempunyai anak dengan
berbagai alasan. Kriteria kontrasepsi yang diperlukan yaitu kontrasepsi
dengan pulihnya kesuburan yang tinggi, artinya kembalinya kesuburan
dapat terjamin 100%. Hal ini penting karena pada masa ini pasangan belum
mempunyai anak, serta efektifitas yang tinggi. Kontrasepsi yang cocok dan
yang disarankan adalah pil KB, AKDR.
b. Fase mengatur / menjarangkan kehamilan
Periode usia istri antara 20 - 30 tahun merupakan periode usia paling baik
untuk melahirkan, dengan jumlah anak 2 orang dan jarak antara kelahiran
adalah 2 - 4 tahun.Ktiteria kontrasepsi yang perlukan yaitu efektifitas tinggi,
reversibilitas tinggi karena pasangan masih mengharapkan punya anak lagi.
Kontrasepsi dapat dipakai 3 - 4 tahun sesuai jarak kelahiran yang
direncanakan.
c. Fase mengakhiri kesuburan / tidak hamil lagi
Sebaiknya keluarga setelah mempunyai 2 anak dan umur istri lebih dari 30
tahun tidak hamil. Kondisi keluarga seperti ini dapat menggunakan
Universitas Sumatera Utara
kontrasepsi yang mempunyai efektifitas tinggi, karena jika terjadi kegagalan
hal inidapat menyebabkan terjadinya kehamilan dengan resiko tinggi bagi
ibu dan anak. Di samping itu jika pasangan akseptor tidak mengharapkan
untuk mempunyai anak lagi, kontrasepsi yang cocok dan disarankan adalah
metode kontap, AKDR, implan, suntik KB dan pil KB (Pinem, 2009.).
2.6 Kontrasepsi
Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti
“melawan” atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel
telur yang matang dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari
konsepsi adalah menghindari / mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat
adanya pertemuan antara sel telur dengan sel sperma. Untuk itu, berdasarkan
maksud dan tujuan kontrasepsi, maka yang membutuhkan kontrasepsi adalah
pasangan yang aktif melakukan hubungan seks dan kedua-duanya memiliki
kesuburan normal namun tidak menghendaki kehamilan (Depkes, 1999).
Kontrasepsi adalah usaha - usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan,
usaha itu dapat bersifat sementara dapat bersifat permanen (Prawirohardjo, 2008;
534).
2.6.1 Syarat-Syarat Kontrasepsi
Sebagai usaha untuk mencegah kehamilan hendaknya kontrasepsi
memiliki syarat - syarat sebagai berikut :
a. aman pemakaiannya dan dapat dipercaya.
b. efek samping yang merugikan tidak ada.
c. lama kerjanya dapat diatur menurut keinginan.
d. tidak mengganggu hubungan persetubuhan.
Universitas Sumatera Utara
e. tidak memerlukan bantuan medik atau control yang ketat selama
pemakaiannya.
f. cara penggunaannya sederhana.
g. harganya murah supaya dapat dijangkau oleh masyarakat luas.
h. dapat diterima oleh pasangan suami istri ( Mochtar, 1998).
2.6.2 Cara-cara Kontrasepsi
Cara-cara dapat dibagi menjadi beberapa metode:
a. pembagian menurut jenis kelamin pemakai
1) Cara atau alat yang dipakai oleh suami (pria)
2) Cara atau alat yang dipakai oleh istri (wanita)
b. Menurut pelayanannya
1) Cara medis dan non-medis
2) Cara klinis dan non-klinis
c. Pembagian menurut efek kerjanya
1) Tidak mempengaruhi fertilitas
2) Menyebabkan infertilitas temporer (sementara)
3) Kontrasepsi permanen dengan infertilitas temporer
d. Pembagian menurut cara kerja alat/cara kontrasepsi
1) Menurut keadaan biologis: senggama terputus, metode kalender, suhu
badan, dll
2) Memakai alat mekanis: kondom, diafragma
3) Memakai obat kimiawi: spermisida
4) Kontrasepsi intrauterina: IUD
Universitas Sumatera Utara
5) Hormonal:pil KB, suntikan KB, dan alat kontrasepsi bawah kulit
(AKBK)
6) Operatif: tubektomi dan vasektomi
e. Pembagian umum dan banyak dipakai adalah
1) Metode merakyat : senggama terputus, pembilasan pasca senggama,
perpanjangan masa laktasi.
2) Metode tradisional : pantang berkala, kondom, diafragma, dan
spermisida.
3) Metode modern :
a) Kontrasepsi hormonal : pil KB, suntik KB, alat kontrasepsi bawah
kulit.
b) Kontrasepsi intrauterina : IUD
4) Metode permanen operasi : tubektomi peda wanita dan vasektomi pada
pria (Mochtar, 1998)
2.7 Kerangka Konsep
Konsep umum yang dijadikan landasan teori adalah teori Green dan
Kreuter (2005) yang digunakan untuk menilai perilaku individu atau kelompok.
Ada 3 faktor yang mempengaruhi individu untuk bertindak yaitu faktor
predisposisi (pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, kebutuhan yang
dirasakan, kemampuan dan unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan
masyarakat), faktor pendukung (tersedianya sarana dan prasarana), dan faktor
pendorong (petugas kesehatan).
Konsep tersebut dikombinasikan dengan teori Kar yang dikutip oleh
Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan bertitik tolak dari niat seseorang,
Universitas Sumatera Utara
dukungan sosial, ada tidaknya informasi dan situasi yang memungkinkan untuk
bertindak.
Notoatmodjoo
juga
mengatakan
bahwa
determinan
perilaku
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal serta menurut Robbins (1994),
beberapa karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, status perkawinan,
pendidikan, tanggung jawab, dan status masa kerja.
Berdasarkan konsep-konsep tersebut, maka peneliti merumuskan kerangka
konsep penelitian sebagai berikut:
Variabel Independen
Faktor predisposisi:
1. Umur
2. Pendidikan
3. Jumlah anak
4. Pengetahuan
5. Sikap
Variabel Dependen
PUS tidak ikut KB
Faktor pendukung:
1. Ketersediaan alat
kontrasepsi
2. Keterjangkauan pelayanan
KB
PUS ikut KB
Faktor pendorong:
1. Dukungan petugas
kesehatan
2. Pengambil keputusan
Gambar 2.2. Skema Kerangka Konsep
Variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor pedisposisi (umur,
pendidikan, jumlah anak, pengetahuan, sikap), faktor pendukung (ketersediaan
Universitas Sumatera Utara
alat kontrasepsi, keterjangkauan pelayanan KB), faktor pendorong (dukungan
petugas kesehatan, pengambil keputusan), sedangkan variabel dependen adalah
PUS tidak ikut KB dan PUS ikut KB.
Universitas Sumatera Utara