eksistensi puisi indonesia di bali pada 0da9e651

EKSISTENSI PUISI INDONESIA DI BALI
PADA ERA KOLONIAL
THE EXISTENCE OF INDONESIAN POETRY IN BALI ON THE COLONIAL ERA
I Nyoman Darma Putra
Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
Jalan Pulau Nias No. 13 Denpasar, Bali, Indonesia
Telepon (0361) 224121, Faksimile (0361) 224121
Pos-el: idarmaputra@yahoo.com
Naskah diterima: 11 Agustus 2017; direvisi: 3 Desember 2017; disetujui: 15 Desember 2017
Abstrak
Kontribusi Bali pada masa-masa awal perkembangan sastra Indonesia dikenal sebatas
karya-karya Panji Tisna. Hal ini tidak mengherankan karena tahun 1930-an Panji Tisna
sudah menulis beberapa novel seperti Sukreni Gadis Bali (1936) yang diterbitkan Balai
Pustaka dan menjadi karya klasik yang masih mengalami cetak ulang sampai sekarang.
Sebetulnya, di luar karya Panji Tisna ada banyak puisi yang dipublikasikan penulis Bali
di media massa seperti Surya Kanta, Bali Adnyana, dan Djatajoe, terbit di Singaraja pada
era kolonial, 1920-an hingga awal 1940-an. Rumusan penelitian ini mengidentiikasi puisi
Indonesia penyair Bali yang terbit pada zaman kolonial dan menganalisis tema-temanya
dikaitkan secara intertekstual dengan wacana sosial yang berkembang saat itu. Pengumpulan
data menggunakan metode studi pustaka dan histori dengan teknik baca dan dokumentasi.
Data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitik dengan teknik pemahaman

dan interpretasi. Hasil dan pembahasan penelitian ini menyimpulkan tiga hal. Pertama,
puisi penyair Bali ikut memperkaya khasanah sastra Indonesia pada masa awal pertumbuhannya. Kedua, kehadiran puisi penyair Bali di media massa lokal ikut memperkenalkan
sastra nasional di daerah Bali. Ketiga, puisi penyair Bali dijadikan media bagi penulisnya
untuk mengartikulasikan kepedulian sosial, misalnya masalah pentingnya pendidikan bagi
kaum perempuan dan kekhawatiran masyarakat Bali yang tidak siap menghadapi dampak
pariwisata.
Kata kunci: sastra Indonesia, masa kolonial, penyair Bali, intertekstualitas
Abstract
The contribution of Bali in the early of Indonesian literary development is known only to the
works of Panji Tisna. This is not surprising since the 1930s Panji Tisna has written several
novels such as Sukreni Gadis Bali (1936) published by Balai Pustaka and became a classic
work that is still reprint until now. In fact, beside Panji Tisna there are many poems published by Balinese writers in mass media such as Surya Kanta, Bali Adnyana, and Djatajoe,
published in Singaraja in the colonial era, 1920s and early 1940s. This research formulation
identiies the Indonesian poetry by Balinese poet published in colonial era and analyzes the
intertextually themes related to the social discourse that developed at the time. Data collection using literature study and history methods by reading and documentation techniques.
Data were analyzed by analytical descriptive method with understanding and interpretation
technique. The results and discussion of this study conclude three things. First, poetry of

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)


, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

171

Eksistensi Puisi Indonesia di Bali Pada Era Kolonial (I Nyoman Darma Putra)

Halaman 171 — 182

Balinese poet enriched the repertoire of Indonesian literature at the beginning of its growth.
Secondly, the presence of poetry of Balinese poet in local mass media also introduce national
literature in Bali area. Thirdly, poetry of Balinese poet is used as a medium for writers to
articulate social concerns, such as the issue of the importance of education for women and
the concerns of Balinese who are unprepared for the impact of tourism.
Keywords: Indonesian literature, colonial period, Balinese poet, intertextuality

PENDAHULUAN
Sumbangan Bali pada perkembangan sastra
Indonesia pada awal kelahiran dan pertumbuhannya tahun 1920-an dan 1930-an hanya
dikenal lewat karya Panji Tisna. Tahun 1930-an,
Panji Tisna sudah menerbitkan tiga novel yaitu

Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935), Sukreni
Gadis Bali (1936), dan I Swasta Setahun di Bedahulu (1938). Karya tersebut diterbitkan Balai
Pustaka, milik pemerintah kolonial Belanda.
Karya Panji Tisna, terus dicetak ulang juga oleh
Balai Pustaka (milik pemerintah Indonesia),
dan kini seakan sudah menjadi karya klasik
dalam sastra Indonesia modern.
Tidak ada nama penulis Bali lain yang
masuk dalam deretan nama sastrawan dalam sejarah kelahiran dan awal pertumbuhan sastra Indonesia, kecuali nama Panji Tisna. Tumbuhnya
penerbitan di Bali setidaknya mengungkapkan
beberapa hal yang berkaitan dengan beberapa
hal. Pertama, apakah tidak ada penulis sastra
lainnya di Bali. Kedua, kalau ada, siapakah
mereka, dan jenis karya sastra apakah yang
mereka tulis. Ketiga, di mana karya mereka
terbit. Keempat, di mana beredar dan siapa saja
kira-kira pembacanya. Kelima, mengapa karya
mereka kurang dikenal. Keenam, apakah kontribusi karya mereka pada perkembangan atau
pengenalan sastra Indonesia di Bali. Rumusan
masalah penelitian ini membahas (1) perkembangan sastra dan media massa di Bali; (2) puisi

media massa di Bali tahun 1920-an sampai
dengan 1930-an. Tujuan penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap
perkembangan sastra Indonesia modern di Bali.
172

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

Belum ada kajian khusus tentang perkembangan sastra Indonesia di Bali tahun 1920-an
dan 1930-an. Ini bisa dipahami karena Bali
lebih dikenal dalam kontesk sastra tradisional
Bali atau sastra Jawa Kuna. Sarjana dalam
negeri dan luar negeri banyak meneliti sastra
tradisional Bali, baik dengan pendekatan tekstual, instrinsik, maupun kajian ilologis atau
suntingan teks (Creese 1998, 2004; Rubinstein
2000; Vickers 2005; Cika 2006; Suarka 2007).
Semua studi ini menguatkan kesan Bali sebagai
daerah tempat tumbuh suburnya sastra Jawa
Kuna, di luar daerahnya di Jawa. Bali dianggap
sebagai daerah penyelamat sastra Jawa Kuna.
Sastra Indonesia, walaupun ada dan sedikit,

tertutupi oleh kehidupan sastra tradisional Bali
atau Jawa Kuna.
Kalaupun ada kajian yang menyebutkan
Bali atau pengarang Bali atau pengarang Indonesia datang dan mendapat inspirasi dari Bali,
itu jelas dalam konteks perkembangan sastra
Indonesia, bukan spesiik sastra Indonesia di
Bali. Kajian atau tulisan sejarah sastra Indonesia yang ada hanya menganalisis karya Panji
Tisna (Teeuw 1967; 1986). Dari zaman kolonial, tidak ada nama Bali masuk atau tercantum
dalam sastra Indonesia.
Kajian Sukada (1982), Tusthi Eddy (1997),
Sutedja-Liem (2003) menelusuri perkembangan sastra Indonesia di Bali, tetapi tidak mengungkapkan perkembangan sastra Indoensia
di Bali pada era sebelum merdeka. Studi Putra
(2011) atas sastra Indonesia di Bali sebagai cermin identitas dan modernitas di Bali membahas
puisi dan cerpen serta novel, tetapi tidak khusus
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 171 — 182

(I Nyoman Darma Putra) The Existence of Indonesian Poetry In Bali on the Colonial Era


membahas eksistensi puisi dan perannya dalam
pengenalan sastra Indonesia di Bali.
Berdasarkan kajian yang ada, eksistensi
puisi penyair Bali zaman kolonial, dalam hal ini
tahun 1920-an dan 1930-an, masih belum banyak terungkap. Pengungkapannya memberikan
manfaat ganda. Pertama, dapat memperjelas
eksistensi puisi Indonesia karya penulis (kalau
kurang cukup disebutkan penyair). Kedua,
memberikan gambaran mengenai tema dan
kaitan tema puisi dengan keadaan sosial zaman
puisi itu ditulis. Dengan kata lain, puisi dari
zaman ini mungkin dapat dijadikan sumber
untuk mengenal sisi lain dari kehidupan sosial
masyarakat pada zaman itu.
Teori yang digunakan dalam penelitian
ini adalah intertekstualitas. Kristeva (1996,
hlm. 37) mengemukakan bahwa “… Any text is
constructed as a mosaic of quatations: any text
is the absorption and tranformation of another.
The nation of intertextuallity replaces that of

intersubjectivity…” Sebuah teks lahir itu tidak
berawal dari kekosongan karena pengarang
melahirkan karyanya tidak mendapat ilham
dari sebuah kekosongan. Julia Kristeva adalah
tokoh yang mempopulerkan teori dialogika
Bakhtin ini di Prancis. Menurut Allen (2000,
hlm. 14; Kristeva, 1971; Kristeva, 1996), istilah intertekstual kali pertama dikenal dalam
bahasa Prancis, yaitu melalui karya awal Julia
Kristeva pada abad Pertengahan sampai dengan akhir tahun 1960. Dalam esainya berjudul
“The Bounded Teks” dan “Word, Dialogue, and
Novel”, Kristeva memperkenalkan karya dari
pakar teori sastra Rusia M.M. Bakhtin ke dalam
bahasa Prancis. Karya Bakhtin, saat ini, memunyai pengaruh yang luar biasa dalam bidang
teori dan kritik sastra, dalam teori linguistik,
politik dan sosial, ilsafat, dan lainnya. Kristeva
tidak hanya memperkenalkan istilah intertekstual, tetapi juga memperkenalkan sosok yang
sejak saat itu dikenal sebagai pakar teori sastra

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)


paling berpengaruh pada abad ke-20.
Menurut Barthes (1981, hlm. 31—32),
intertekstual sebagai kombinasi berbagai teks
dalam sebuah teks. Kombinasi tersebut telah
melahirkan teks baru yang lahir dari kreativitas
pengarangnya. Teori intertekstual memandang
bahwa sebuah teks yang ditulis meniscayakan
mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah
ditulis orang sebelumnya. Tidak ada sebuah teks
pun yang benar-benar mandiri, dalam arti penciptaannya dengan konsekuensi pembacaannya,
juga dilakukan tanpa sama sekali berhubungan
dengan teks lain yang dijadikan semacam
contoh, teladan, kerangka, atau acuan (Teeuw,
2015, hlm. 145; Nurgiyantoro, 2005, hlm. 35).
Dari teori intertekstual Kristeva tersebut kemudian dikembangkan dalam penelitian ini untuk
mengkaji puisi-puisi zaman kolonial di Bali.
METODE
Penelitian dilaksanakan dengan memeriksa
arsip, terutama media massa yang terbit di Bali
tahun 1920-an dan 1930-an. Arsip yang diteliti

adalah majalah Surya Kanta, Bali Adnjana,
Bhawanegara, dan Djatajoe. Keempat media
massa ini terbit di Singaraja, kota yang menikmati kemajuan lebih awal daripada Denpasar,
karena Bali Utara lebih dulu dikuasai pemerintah
kolonial Belanda. Di daerah ini banyak kalangan
terdidik, guru, dan merekalah yang menerbitkan
media massa. Para guru dan intelektual lainnya
inilah yang menyumbangkan tulisan di media
massa tersebut. Mereka aktif berorganisasi dan
organisasi inilah yang menjadi penerbit media
massa tersebut. Anggota organisasi tersebut
biasanya diwajibkan untuk berlangganan. Tidak
mengherankan kalau banyak kegiatan organisasi
seperti risalah rapat terkadang termuat dalam
media yang mereka terbitkan.
Arsip media massa ini diperoleh dengan
memfotokopi dari Gedong Kirtya di Singaraja.
Walaupun arsip tidak 100 persen lengkap,

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017


173

Eksistensi Puisi Indonesia di Bali Pada Era Kolonial (I Nyoman Darma Putra)

tetapi sebagian besar dapat diperoleh, sehingga
penelitian bisa dikatakan representatif. Satu per
satu majalah itu diperiksa, untuk mendata karya
sastra yang dimuat. Artikel lain yang berkaitan
tema karya juga dikaji, untuk memaknainya
dengan pendekatan intertekstualitas.
Sesudah karya-karya yang ada teridentiikasi, analisis dilakukan terhadap karya khususnya
karya puisi. Analisis intertekstual dilakukan
untuk melihat kaitan antara dengan situasi sosial ketika diterbitkan. Pendekatan intertekstual
mengarahkan bahwa teks senantiasa memiliki
hubungan dengan teks lain, seperti ditulis Allen
(2000, hlm. 2) bahwa makna teks ditentukan
hubungannya dengan teks lain. Intertekstualitas menolak adanya makna tetap sebuah teks,

Halaman 171 — 182


1920-an sampai dengan 1939 dengan jumlah 39
puisi dengan analisis berikut ini.
Sastra dan Media Massa di Bali
Media massa memainkan peranan penting
dalam perkembangan sastra. Hal ini tidak saja
terjadi di Indonesia secara umum, tetapi juga di
Bali. Jauh sebelum koran Bali Post (sebelumnya bernama Suara Indonesia, Suluh Marhaen)
mempublikasikan sastra, di Bali Utara tahun
1920-an dan 1930-an sudah terbit media massa
yang memuat karya sastra utamanya puisi. Ada
lima media yang terbit di Singaraja yang menjadi sumber utama penelitian ini, yaitu Shanti
Adnjana, Surya Kanta, Bali Adnjana, Bhawanegara, dan Djatajoe (Tabel 1).

Tabel 1 Media Massa yang Terbit di Bali 1920-an hingga 1940-an
No

Nama Media

Penerbit

Tahun

Shanti Adnjana

Shanti

1924-1925

Bali Adnjana

IGP Tjakra Tenaja

1925-1931

Surya Kanta

Surya Kanta

1925-1928

Bhawanegara

Liefrinck-Van der Tuuk Foundation

1931-1935

Djatajoe

Bali Darma Laksana

1936-1941

karena makna teks bergantung pada dari
kepada teks apa yang diproyeksikan. Teks
puisi dilihat dari teks yang dimuat di media
massa yang menerbitkannya karena keduanya merupakan produk wacana sezaman.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan ini menguraikan dua masalah
penelitian. Pertama, sastra dan media massa di
Bali yang memuat terbitan tahun 1920-an sampai dengan 1940-an. Sebagai data penelitian ada
lima media massa terbitan pada masa kolonial.
Kedua, puisi terbitan media massa di Bali tahun
174

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

Koran yang terbit pertama adalah Shanti
Adnjana, diterbitkan oleh Shanti, organisasi
intelektual Bali dengan tujuan, antara lain memajukan pendidikan di Bali, misalnya dengan
mendirikan sekolah (Picard, 1999, hlm. 33;
Putra, 2003, hlm. 56). Arsip ini tidak terlacak
sehingga tidak diketahui apakah pernah memuat
karya sastra atau tidak hingga sekarang ini.
Shanti Adnjana pecah menjadi dua karena
perbedaan paham pengelolanya, yaitu Bali Adnjana dan Surya Kanta. Majalah Bali Adnjana
dikelola oleh I G.P. Tjakra Tenaja (Lihat Foto
1 dan Foto 2), terbit tiga kali sebulan. Dalam
edisi 1 Januari 1925, Bali Adnjana memuat
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 171 — 182

(I Nyoman Darma Putra) The Existence of Indonesian Poetry In Bali on the Colonial Era

puisi “Selamat Tahun Baru untuk Bali Adnjana”
karya Gd. P. Kertanadi. Inilah puisi pertama
yang diketahui muncul di Bali. Selain puisi, majalah ini juga memuat artikel budaya dan ulasan
pertunjukan teater. Ulasan pertunjukan teater
yang terbit dalam Bali Adnjana, misalnya pentas drama kelompok HUDVO (tidak diketahui
singkatan dari apa), yaitu perhimpunan pelajar
Bali di Jawa. Pada saat liburan, mereka pulang
ke Bali untuk menggali dana beasiswa dengan
mementaskan pertunjukan. Tiket pertunjukan
dikumpulkan untuk beasiswa atau membantu
anggota yang tidak mampu. Teater yang mereka
pentaskan disebut dengan tonil (toneel), dari istilah bahasa Belanda yang berarti teater (Putra,
2008, hlm. 46). Pementasan dilaksanakan di dua
kota, yaitu Singaraja dan Denpasar. Walaupun
berita dan ulasannya pendek, informasi tersebut
sangat berharga untuk menunjukkan kehadiran
pertunjukan modern atau tonil atau teater di Bali
pada zaman kolonial.
Gambar 1 I G.P. Tjakra Tenaja

Gambar 2 Surat kabar Bali Adnjana

Surya Kanta diterbitkan oleh Surya Kanta
dengan pemimpin redaksi K’toet Nasa (Foto
3 dan Foto 4), seorang guru dari Bubunan,
Buleleng. Majalah ini terbit sebulan sekali,
dengan perwajahan lebih menarik daripada Bali
Adnjana, karena menggunakan teknik cetak.
Selain itu, Surya Kanta cukup agresif dalam
memuat tulisan. Artikel di Surya Kanta dan Bali
Adnjana sering saling sahut dalam polemik,
terutama dalam isu kasta. Surya Kanta banyak
memuat puisi dan satu naskah drama anonim
berjudul “Kesetiaan Perempuan” (1926). Tema
cerita adalah konlik kasta, sebagai perpanjangan dari isu polemik antara Bali Adnjana dan
Surya Kanta.

(Repro AA Putra Agung, 2001)

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

175

Eksistensi Puisi Indonesia di Bali Pada Era Kolonial (I Nyoman Darma Putra)

Gambar 3 K’toet Nasa

Halaman 171 — 182

Surya Kanta tutup 1928 dan disusul Bali
Adnjana tahun 1931. Setelah itu, Liefrinck-Van
der Tuuk Foundation, yayasan pendiri Gedong
Kirtya, menerbitkan Bhawanegara (Lihat Foto
5). Bhawanegara bisa dikatakan corong pemerintah kolonial untuk menjaga kedamaian Bali,
agar tidak ada konlik atau polemik apalagi
tentang kasta. Bhawanegara ini banyak memuat
sastra tradisional seperti gaguritan, disalin dari
lontar koleksi Gedong Kirtya, dan hanya satu
sastra modern, yaitu puisi “Cinta”. Sementara
itu, majalah Bhawanegara bubar tahun 1935.
Gambar 5 Bhawanegara

(Repro AA Putra Agung, 2001)

Gambar 4 Surat Kabar/Majalah Surya
Kanta

Sesudah Bhawanegara tutup, muncul
Djatajoe (1935) pimpinan Panji Tisna dkk.
Majalah ini memuat artikel budaya, puisi, cerita
bersambung, dan cerpen (hanya satu). Format
isinya tampak mirip dengan majalah Poedjangga Baru, tampaknya Djatajoe mendapat
pengaruh dari Poedjangga Baru. Melalui
hubungan persahabatan antara Pandji Tisna
dengan Armijn Pane sebagai pengelola ma-

176

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 171 — 182

(I Nyoman Darma Putra) The Existence of Indonesian Poetry In Bali on the Colonial Era

Gambar 6 Majalah Kebudayaan Djatajoe

Gambar 7 Panji Tisna

jalah Poedjangga Baru. Antara kedua majalah
tersebut sering terjadi saling kirim nomor-tukar,
artinya pengelola Djatajoe mengirim majalah
ke kantor Poedjangga Baru ke Jakarta, pengelola Poedjangga Baru mengirim ke kantor
Djatajoe di Bali.

Puisi Pada Media Massa di Bali 1920-an
Hingga 1939
Berdasarkan hasil pemeriksaan atas media
massa yang terbit di Bali, Surya Kanta, Bali
Adnjana, Bhawanegara, dan Djatajoe, dapat
diidentiikasi sejumlah 39 judul puisi. Puisi
tersebut dimuat dalam Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Puisi yang Dimuat Media Massa di Bali 1920-an hingga 1939
No

Judul Puisi
Penulis
Selamat Tahun Baru untuk Bali Gd.P. Kertanadi
Adnjana
Assalamualaikum
WD

Sumber
Bali Adnjana, 1 Januari 1925:1

Ilmu

AWD

Surya Kanta, November 1925:3

Tachyul

MAR

Surya Kanta, Februari 1926:19-20

O! Zaman

M.T

Surya Kanta, Maret 1926:35

SK

Soekarsa

Surya Kanta, Maret 1926:45

Hiduplah SK

MAR

Surya Kanta, Mei 1926:74

Surya Kanta, Oktober 1925:7

Berlanggananlah Surat Bulanan SK KK

Surya Kanta, Juni-Juli 1926:88-89

Kemanusiaan

A. Kobar

Surya Kanta, Agustus 1926:103-4

Rukunlah Surya Kanta

WL

Surya Kanta, Agustus 1926:106-8

Sadarlah

M

Surya Kanta, Agustus 1926:114

Ilmu Padi harus Dituntut

L

Surya Kanta, September-Oktober 1926:131-2

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

177

Eksistensi Puisi Indonesia di Bali Pada Era Kolonial (I Nyoman Darma Putra)

Halaman 171 — 182

Cermin

MDr

Surya Kanta, September-Oktober 1926:155

Darma

Sinar

Surya Kanta, September-Oktober 1926: 150

Syair SK

M. Gama

Surya Kanta, Januari-Februari 1927:19

Setia pada SK

Soekarsa

Surya Kanta, Maret -April 1927:36

Tjinta

Kedjora

Bhawanegara, Desember 1933:102-103

Harta

K. Kandia

Djatajoe, 25 November (?):116-7

BDL

Ktut Gde Maroete

Djatajoe, 25 Maret 1937:250

Karena Berpahala

K. Kandia

Djatajoe, 25 June 1937: 309

Ke Arah Nan Maha Kuasa

Ida Bagus Tugar

Djatajoe, 25 Maret 1937:270

Ke Taman BDL

Ktut Gde Maroete

Djatajoe, 25 Desember 1936:138

Kodrat Cinta

IG Ng Sidemen

Djatajoe, Januari 1937:173

Ke Arah Nan Maha Kuasa

Ida Bagus Tugar

Djatajoe, 25 Maret 1937:270

Karena Berpahala

K. Kandia

Djatajoe, 25 Juni 1937: 309

Kenangan

IG Ng Sidemen

Djatajoe, 25 Juni 1937: 328

Oh Bali

P. Windia

Djatajoe, Februari 1937:197

Wahai Kama

K. Kandia

Djatajoe, Januari 1937:168-69

Ya Dharma

K. Kandia

Djatajoe, Februari 1937:186

Syair Seruan Djatajoe

IG Ng Sidemen

Djatajoe, Februari 1937:185

Oh Putriku

Wayan Sami

Djatajoe, 23 Maret 1937:226

Hiduplah Badala

K. Djeloen

Djatajoe, 25 Maret 1938:239

O Ibuku

I Gusti P. Matharam Djatajoe, 25 Mei 1938: 318

Di Tepi Samudra
Och Ratna

P. Mudelare/ Nj Ke- Djatajoe, 25 September 1938:51
dasih.
M. Oke
Djatajoe, 25 Mei 1938:317-18.

Seruan

Ni Made Tjatri

Djatajoe, 25 September 1938:51

Bladvulling, Kampungku

Nj Merati

Djatajoe, 25 Februari 1939:262

Di Rantau

Mara Ati

Djatajoe, 25 Februari 1939:244

Dilamun Maha Yogi Tanah Bali

Tone Indara

Djatajoe, 25 November 1939: 113

Sumber: Hasil Penelitian 2017

Dari hasil penelitian diketahui bahwa puisi
pertama yang terbit adalah “Selamat tahun baru
untuk Bali Adnjana” karya Gd.P. Kertanadi,
terbit Januari 1925. Tema puisi ini berkaitan
dengan misi Bali Adnjana, dan kontekstual
dengan Tahun Baru. Puisi ini berbentuk syair,
terdiri dari 11 bait, sama dengan jumlah huruf
dalam kata ‘Bali Adnjana’, karena memang
tiap bait diawali dengan baris-baris yang huruf
awalnya huruf ‘B-A-L-I A-D-N-J-A-N-A’. Di
sinilah letak uniknya, karena menggunakan
pola akrostik dari kata Bali Adnjana yang dijejer dari atas ke bawah sebagai huruf pertama
178

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

tiap bait. Bait pertama ditandai dengan tiap
baris dimulai dengan huruf B: Bali Adnjana
taman jauhari/ Buat pengerah putra dan putri/
Bersinar bagaikan matahari/ Bagi suluh BALI
negeri. Pesannya adalah bahwa Bali Adnjana
adalah taman para cendekiawan (juhari) yang
menyinari negeri Bali, sebuah promosi buat
Bali Adnjana.
Puisi yang terbit di Surya Kanta pun berbentuk syair dan berisi pesan promosi visi misi
dari koran yang memuatnya. Ada puisi “Hiduplah SK” karya MAR, “Berlanggananlah Surat
Bulanan SK” karya KK, dan “Setia pada SK”
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 171 — 182

(I Nyoman Darma Putra) The Existence of Indonesian Poetry In Bali on the Colonial Era

karya Soekarsa. Promosi Surya Kanta sudah
terasa di judul seperti promosi agar pembaca
berlangganan.
Kecenderungan sama juga terdapat dalam
Djatajoe, majalah yang diterbitkan oleh Bali
Darma Laksana, persatuan pemuda/pelajar Bali.
Ini terlihat dalam sajak “Ke Taman BDL” karya
Ketut Gde Maroeta dan “Hiduplah Badala”
karya K. Djeloen. Kata-kata BDL di judul
adalah singkatan dari Bali Darma Laksana,
demikian juga akronim Badala yang berarti Bali
Darma Laksana. Puisi yang ditulis dengan gaya
akrostik penuh atau semi akrostik atau akrostik
yang bervariasi merupakan salah satu ciri intrinsik yang bisa ditandai dalam sajak-sajak Indonesia penulis Bali tahun 1920-an dan 1930-an.
Gaya seperti ini tidak dominan dalam penulisan
era sesudahnya sampai sekarang. Namun, gaya
itu bukannya hilang sepenuhnya. Gaya seperti
itu masih muncul dalam puisi anak-anak.
Tema lain dari puisi Djatajoe adalah masalah yang dihadapi Bali sebagai daerah tujuan
wisata, identitas kasta, dan tentang pentingnya
pendidikan untuk kaum perempuan. Saat itu,
pendidikan dianggap hak laki-laki, perempuan
dianggap akan menjadi ibu rumah tangga,
tidak perlu pendidikan. Pesan ini terungkap
dalam “O Putriku” karya Ni Wayan Sami dan
“Seruan” karya Ni Made Tjatri. Puisi “O Putriku” mendorong kaum perempuan untuk aktif,
jangan bermalas-malasan (Gerakkan tangan
yang berpangku/ Gerakkan jiwa yang lebih
bebas). Konteksnya adalah mengajak perempuan bergerak maju, mencapai kemajuan setara
dengan laki-laki. Puisi tentang perempuan yang
ditulis perempuan ini, menunjukkan bahwa
perempuan Bali sudah aktif menyampaikan
pendapat di media massa era 1930-an. Tema
puisi ini sama dengan wacana media massa
yang memuatnya, seperti tulisan-tulisan tentang
pemberantasan buta huruf untuk perempuan
(Putra, 2003, hlm. 25).
Perempuan Bali yang menulis di Djatajoe,
baik puisi maupun artikel lainnya, umumnya
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

bekerja sebagai guru. Mereka tergabung dalam
organisasi Puteri Bali Sadar. Lewat organisasi
ini, mereka menyumbangkan waktu dan tenaga
serta uang mereka untuk memajukan pendidikan kaum perempuan. Tahun 1930-an, persepsi
publik bersifat merugikan perempuan yang
menganggap perempuan tidak perlu bersekolah.
Masa depan mereka adalah mengurus rumah
tangga. Beda dengan laki-laki yang dianggap
akan membina karier di luar rumah, pantas
disekolahkan. Sebaliknya, perempuan tidak
perlu disekolahkan.
Persepsi yang timpang inilah hendak diluruskan oleh anggota Puteri Bali Sadar. Mereka
berusaha untuk mendorong agar anak-anak
perempuan mendapat pendidikan yang sejajar
dengan laki-laki. Anak-anak perempuan didorong untuk bersekolah. Organisasi Bali Darma
Laksana juga bergerak di bidang pendidikan,
tetapi bagi anggota Puteri Bali Sadar akan jauh
lebih efektif kalau mereka yang mendorong
kaum perempuan. Untuk itu, Puteri Bali Sadar
berusaha menggali dana dan membantu orang
tua yang kesulitan ekonomi dalam menyekolahkan anaknya. Untuk perempuan usia sekolah,
mereka didorong bersekolah, untuk perempuan
dewasa yang tidak bisa membaca dan menulis
didorong untuk mengikuti program pemberantasan buta huruf (PBH). Sebagai guru, anggota
Puteri Bali Sadar melakukan semuanya. Mereka
mengabdi untuk kemajuan kaumnya, dan kalau
perempuan maju, berarti bangsa juga maju.
Kontribusi kaum perempuan juga berguna bagi
nusa dan bangsa (Putra, 2003, hlm. 41).
Perempuan Bali yang tergabung dalam Puteri Bali Sadar tidak saja mendorong anak-anak
perempuan bersekolah, tetapi juga mendorong
mereka yang sudah terpelajar untuk aktif berorganisasi. Lewat organisasi, mereka diharapkan
dapat mengabdikan diri dengan membantu
kaum perempuan yang tidak mampu. Penulis
I Wayan Sami memanggil perempuan terdidik
untuk tidak bermalas-malasan, tetapi harus aktif
bergerak, mengabdikan diri untuk ibu pertiwi.
, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

179

Eksistensi Puisi Indonesia di Bali Pada Era Kolonial (I Nyoman Darma Putra)

Berikut adalah kutipan penuh sajaknya.
O, Putriku
O, putriku, kaum bangsaku
Marilah kita beramai-ramai!
Turut mengabdi
Ibu Pertiwi
O, kakakku, O, adikku!
Gerakkan badan yang lemah
Lunglai
O, Putriku, sejawat bangsaku
Lepaskan sifat bermalas-malas!
Ya, ke laut
Nan larut
Gerakkan tangan yang berpangku
Gerakkan jiwa yang lebih bebas
Sekian ganas gema mendesau
Gelisah, rancak, derak menderu
Menggema
Mendiang sukma
Membelai alam yang menghimbau
Menyerak awan mendung nan biru
Tetapi, di mana kaum putriku?
Sampai payah, tak dapat dicari,
Sunyi, sepi
Masih bermimpi?
Aduhai, kenapa masih berpangku?
Apakah ini zaman bahari?
(Djatajoe, 23 Maret 1937, hlm. 226).

Setidaknya ada dua suara dalam sajak
yang dimuat dalam Djatajoe (23 Maret 1937,
hlm. 226) ini, yaitu suara mengajak agar kaum
perempuan tidak bermalas-malasan, tetapi aktif
bergerak mengabdi untuk Ibu Pertiwi. Suara
yang satu lagi adalah kekhawatiran karena
perempuan masih bermalas-malasan, tidak ada
yang muncul, tidak ada yang bangkit. Sampaisampai penyairnya secara retoris bertanya
180

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

Halaman 171 — 182

‘apakah ini zaman bahari’, alias zaman kuno?
Jika diksinya diperhatikan, puisi ini menggunakan pola syair dengan membuat bunyi
akhir sama, tetapi tidak sepenuhnya demikian
karena ada ciri kuat puisi modern yang bebas
dalam puisi ini. Yang dipentingkan adalah penyampaikan gagasan yang bernas, tidak semata
keindahan bunyi. Sampai di sini, kelebihan
puisi Wayan Sami serentak terletak pada gaya
ucap dan gagasan yang dilontarkan, yaitu samasama ‘dinamik’, optimistik akan masa depan.
Siapakah pembaca puisi-puisi mereka?
Jawaban atas pertanyaan ini sulit diberikan,
tetapi yang pasti adalah para pelanggan majalah
tempat puisi dimuat. Jumlah pelanggannya pasti
tidak banyak. Umumnya anggota organisasi
penerbitnya, para anggota seperti kena kewajiban untuk berlangganan.
SIMPULAN
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
1920-an dan 1930-an penulis Bali sudah
mempublikasikan puisi berbentuk syair di
media massa lokal, yaitu Bali Adnjana, Surya
Kanta, Bhawanegara, dan Djatajoe. Jumlah
karya mereka cukup banyak, mendekati 40
puisi. Temanya beragam, mulai dari promosi
media massa yang memuatnya, kekhawatiran
akan dampak pariwisata, dan dorongan bagi
perempuan untuk meraih kemajuan setara
kaum laki-laki. Tema ini menunjukkan bahwa
penulis Bali juga menjadikan karya sastra untuk
mengekspresikan kepedulian sosial mereka.
Eksistensi puisi-puisi penulis Bali dari zaman kolonial ini dapat digunakan untuk menyimpulkan bahwa sastra sudah hadir dan diperkenalkan oleh para penulis kepada pembaca lokal
Bali dan Lombok, wilayah edar majalah ini.
Karya sastra ini tidak sampai menjadi perhatian
kritikus sastra, sehingga tidak pernah menjadi
bagian dari sejarah sastra Indonesia secara nasional. Meskipun demikian, karya puisi ini tetap
berjasa untuk menunjukkan bahwa selain Panji

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 171 — 182

(I Nyoman Darma Putra) The Existence of Indonesian Poetry In Bali on the Colonial Era

Tisna ada sejumlah penulis yang menciptakan Kristeva, J. (1971). “The Bounded Teks” and
“Word, Dialogue, and Novel”. In Semeiokarya sastra dan mewarnai kehidupan sastra
tike:
Recherches Pour Une Semanalyse.
Indonesia di Bali. Bukti-bukti puisi dan semanParis: Seuill.
gat kemajuan yang dikumandangkan dengan
bernas dan optimistik adalah bukti bahwa Bali
Kristeva, J. (1996). “Intertextuality and Literary
juga berpartisipasi dalam pengembangan sastra
Interpretation”. In Julia Kristeva InterIndonesia di Bali. Kontribusi penulis Bali pada
views, p. 189. Ross Guberman (Ed.). New
kehidupan sastra Indonesia seperti ini terus
York: Columbia University Press.
berlanjut sampai sekarang.
Nurgiyantoro, B. (2005). Teori Pengkajian
Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada UniverDAFTAR PUSTAKA
sity Press.
Agung, A.A.G.P. (2001). Perubahan Sosial dan
Pertentangan Kasta di Bali Utara. Yogya- Picard, M. (1999). “The Discourse of Kebalian;
Transcultural Constructions of Balinese
karta: Yayasan Untuk Indonesia.
Identity”. In Raechelle Rubinstein and
Linda Connor (Eds.). Staying Local in
Barthes. R. (1981). “Theory of the Text”. In
the Global Village; Bali in the Twentieth
Unitying the Text: A Post Structuralist
Century, pp. 15—49. Honolulu: University
Reader, pp. 31—34. Robert Young (Ed).
of Hawai’i Press.
London and New York: Routledge.
Allen, G. (2000). Intertextuality. London: Putra, I N.D. (2003). Perempuan Bali Tempo
Doeloe Perspektif Masa Kini. Denpasar:
Routledge.
Pustaka Larasan.
Cika, I W. (2006). Kakawin Sabha Parwa:
Analisis Filologis. Denpasar: Pustaka Putra, I N.D. (2008). “Modern Performing Arts as a Reflection of Changing
Larasan.
Balinese Identity”. Indonesia and the
Malay World, Vol. 36 , Issue. 104, pp.
Creese, H. (1998). Parthayana, The Journey87–114. http://www.tandfonline.com/doi/
ing of Partha: an Eighteenth-Century
abs/10.1080/13639810802017842.
Balinese Kakawin. Leiden : KITLV Press.
Creese, H. (2004). Women of the Kakawin Putra, I N.D. (2011). A Literary Mirror: Balinese Relections on Modernity and Identity
World: Marriage and Sexuality in the
in The Twentieth Century. Leiden: KITLV.
Indic Courts of Java and Bali. London:
M.E. Sharpe.
Rubinstein, R. (2000). Beyond the Realm of
the Senses: the Balinese Ritual of Kakawin
Eddy, N.T. (1997). “Puisi Bali, Selintas-Pintas”.
Composition. Leiden: KITLV Press.
Horison, 31—33; 27—29.
Hunter, T.M. (1998). “Figure in the Carpet: A Suarka, I N. (2007). Kidung Tantri Piśācaraṇa.
Denpasar: Pustaka Larasan.
Selection of Modern Indonesian Poetry of
Bali”. Rima: Review of Indonesian and
Malaysian Affairs, Volume 32, Issue 1, Sukada, I M. (1982). “Perkembangan Sastra
Nasional di Bali”. Dalam Catatan KebuJune 1998, pp. 1—23. http://search.infordayaan
dari Bali. I Made Sukada, Ngurah
mit.com.au/documentSummary;dn=2001
Parsua, dan Wirawan Sudewa (Eds.). Den05150;res=IELAPA.
pasar: Lembaga Seniman Indonesia Bali.

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

181

Eksistensi Puisi Indonesia di Bali Pada Era Kolonial (I Nyoman Darma Putra)

Sutedja-Liem, M. (2003). The Turning Wheel
of Time: Modernity and Writing Identity
in Bali 1900—1970. PhD thesis Leiden
University.

Halaman 171 — 182

tion, pp. 190—203. C.D. Grijns and S.O.
Robson (Eds.). Dordrecht, Holland: Foris
Publications.

Teeuw, A. (2015). Sastra dan Ilmu Sastra. JaTeeuw, A. (1967). Modern Indonesian Literakarta: Pustaka Jaya.
ture. Vols. I and II. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Vickers, A. (2005). Journeys of desire: A study
of the Balinese text Malat. Leiden, The
Teeuw, A. (1986). “Translation, TransformaNetherlands: KITLV Press.
tion, and Indonesian Literary History”. In
Cultural Contact and Tekstual Interpreta-

182

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)