Pengaruh Suhu Blanching dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Fisik, Kimia dan Fungsional Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L)

TINJAUAN PUSTAKA

Ubi jalar ungu
Indonesia sejak tahun 1948 telah menjadi penghasil ubi jalar terbesar ke
empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki
kandungan nutrisi seperti antosianin, beta karoten, vitamin A, vitamin C, mineral,
serat, antioksidan dan rendah kalori. Ubi jalar ungu memiliki keunggulan dari ubi
jalar lain yaitu kandungan antosianin yang ada dalam ubi jalar ungu sebagai
pigmen alami bahan dan juga sebagai antioksidan. Ubi jalar ungu juga
mengandung pati yang cukup besar yaitu 8-29% (Oktavianti dan Fitri, 2015).
Ubi jalar ungu merupakan salah satu komoditas hasil pertanian yang 89%
hasil produksinya digunakan sebagai bahan pangan. Ubi jalar memiliki kandungan
nutrisi yang tinggi seperti karbohidrat baik pati dan serat pangan, vitamin dan
mineral. Antosianin pada ubi jalar ungu berfungsi sebagai antioksidan sehingga
ubi jalar ungu berpotensi besar dalam diversifikasi pangan yang berbasis tepung
dan juga pati (Anggraeni dan Yuwono, 2014).
Ubi jalar yang diolah sering kali terlihat kecoklatan. Pencoklatan yang
terjadi pada pengolahan ubi jalar tidak diinginkan pada produk akhirnya sehingga
perlu dilakukan pencegahan pencoklatan yang disebabkan oleh enzim polifenol
oksidase dengan salah satu cara perlakuan awal yaitu blanching. Semakin tinggi
suhu pemanasan yang digunakan maka akan menyebabkan inaktivasi enzim

polifenol oksidase sehingga pencoklatan dapat diminimalisir (Naibaho, 2009).
Karbohidrat dalam ubi jalar sebagian besar dalam bentuk pati. ubi jalar
juga mengandung serat pangan dan beberapa jenis gula seperti maltosa, sukrosa,

5
Universitas Sumatera Utara

6

fruktosa, dan glukosa. Ubi jalar salah satu bahan pangan banyak mengandung
sukrosa. Ubi jalar memiliki total gula berkisar antara 5,64% hingga 38% (bb).
Proses pemasakan ubi jalar akan mengakibatkan kandungan gula pada ubi jalar
mengalami peningkatan dibandingkan dengan ubi jalar segar (Sulistiyo, 2006).

Tepung ubi jalar
Ubi jalar merupakan salah satu jenis umbi yang memilki warna daging
umbinya yang bervariasi. Pengolahan ubi jalar menjadi bentuk tepung merupakan
salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mempermudah penyimpanan dan
pengawetan ubi jalar. Pengolahan ubi jalar menjadi bentuk tepung juga dapat
memperpanjang umur simpan bahan dan digunakan sebagai bahan baku industri

pangan maupun non-pangan (Murtiningsih dan Suyanti, 2011).
Tepung ubi jalar dapat digunakan sebagai pengganti tepung terigu dengan
cara menggunakan tepung ubi jalar sebagai bahan subsitusi terigu sehingga
penggunaan terigu dapat diminimalkan. Penggunaan tepung subsitusi ini dapat
digunakan sebagai bahan baku industri makanan seperti industri pembuatan roti
dan juga mie. Secara garis besar pembuatan tepung ubi jalar dimulai dari
pengupasan, pengirisan, pencucian, pengeringan, penggilingan dan pengayakan
dengan menggunakan ayakan 80 mesh (Sukerti, dkk., 2013). Standar mutu tepung
ubi jalar yang bersumber dari Antarlina (1998) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Standar mutu tepung ubi jalar
Kriteria
Kadar air (maks)
Keasaman (maks)
Kadar pati (min)
Kadar serat (maks)
Kadar abu (maks)

Tepung ubi jalar
15%
4 ml 1 N NaOH/100 g

55%
3%
2%

Universitas Sumatera Utara

7

Ubi jalar memiliki keunikan ketika bahan dijadikan sebagai tepung yaitu,
warna tepung akan mengikuti warna bahan baku umbinya. Tepung ubi jalar yang
diberikan perlakuan yang tepat akan menghasilkan warna tepung yang diinginkan
namun, proses pengolahan yang kurang tepat akan menurunkan mutu tepung dan
akan membuat warna tepung menjadi kusam dan coklat (Ambasari, dkk., 2009).
Warna dari tepung ubi jalar akan semakin gelap seiring dengan semakin tingginya
kadar abu dari tepung (Zuraidah dan Supriati, 2001).
Perlakuan pendahuluan pada bahan seperti pemasakan awal dan
pengeringan berpengaruh pada bentuk dan ukuran granula pati pada tepung ubi
jalar. Perlakuan pemasakan awal akan membuat peningkatan pada granula pati
yang disebabkan terjadinya pembengkakan granula pati pada saat pengukusan
yang menyebabkan bentuk granula pati menjadi tidak beraturan dan juga menjadi

rusak demikian pula jika diberikan perlakuan pengeringan akan merubah bentuk
dan ukuran granula pati (Honestin, 2007).
Tepung memiliki sifat yang tidak larut air, sehingga tepung akan
mengendap ketika dilarutkan ke dalam air. Tepung yang dicampur air panas dan
dilakukan homogenisasi secara terus menerus maka tepung mengalami
pengembangan dan pengentalan yang disebut gelatinisasi. Pengentalan tepung
terjadi pada suhu 64-72°C (Tarwotjo, 1998).
Tepung ubi jalar yang diberikan perlakuan pendahuluan seperti pemanasan
yang tinggi dapat mengakibatkan merenggangnya ikatan glukosa dalam molekul
pati sehingga semakin tinggi suhu blanching maka kandungan gula dalam tepung
akan

semakin

tinggi

dan

kandungan


patinya

akan

semakin

rendah

(Ayu dan Yuwono, 2014). Hal ini dikarenakan tepung yang diberikan perlakuan

Universitas Sumatera Utara

8

pemanasan menyebabkan pemutusan rantai pati akibat enzim amilase yang
memotong

rantai

glikosidik


pada

pati

menjadi

gula-gula

sederhana

(Ticoalu, dkk., 2016).

Mutu fisik dan kimia tepung ubi jalar
Mutu fisik tepung ubi jalar ungu meliputi warna, aroma, densitas kamba
dan indeks pencoklatan. Densitas kamba merupakan karakteristik fisik bahan yang
sering digunakan untuk merencangkan volume alat penngolahan, pengangkutan
barang, mengkonversi harga satuan dan beberapa kegunaan lainnya. Densitas
kamba digunakan biasanya untuk mempertimbangkan pengangkutan barang
sehingga bisa diketahui berapa banyak bahan yang dapat diangkut saat

pengangkutan barang (Pangastuti, dkk., 2013).
Indeks browning merupakan hasil aktivitas dari enzim polifenol oksidase
yang dapat menyebabkan menurunkan kecerahan tepung ubi jalar. Enzim
polifenol oksidase dapat diinaktifasikan dengan menggunakan perlakuan awal
seperti blanching. Polifenol oksidase rusak pada suhu 80°C walaupun enzim ini
masih labil pada suhu panas (Ali, dkk., 2011).
Mutu kimia tepung ubi jalar ungu meliputi kadar air, kadar antosianin,
kadar abu, kadar protein, kadar lemak, serat, pati yang termaksud di dalamnya
amilosa dan amilopektin, total gula, gula reduksi, dextrose equivalent, derajat
polimerisasi dan kadar vitamin C. Antosianin merupakan zat warna alami yang
dapat menghasilkan warna biru, ungu, violet, maenta dan kuning yang terdapat
pada bunga, daun dan buah tumbuhan.
Antosianin merupakan golongan benzopiran yang ditandai dengan adanya
cincin aromatik benzen (C6H6). Antosianin memiliki sifat polar dan akan larut

Universitas Sumatera Utara

9

dengan baik pada pelarut-pelarut polar (Winarti, dkk., 2008). Pada buah dan

sayuran, antosianin biasanya terdapat pada sel-sel bagian permukaan. Ekstraksi
pigmen antosianin dapat menggunakan pelarut HCl dan juga etanol. HCl dan
etanol berfungsi untuk mendenaturasi sel pada tanaman sehingga membuat
pigmen antosianin keluar dari sel

(Santoso dan Estiasih, 2014). Berikut ini

merupakan struktur kimia dasar antosianin (Wikipedia, 2017).

Gambar 1. Struktur kimia dasar antosianin
Antosianin pada ubi jalar ungu cukup tinggi yaitu berkisar 33,90 mg/100 g
hingga 560 mg/100 g yang bersifat sebagai antioksidan. Antosianin dapat
terpolimerisasi seperti adanya paparan oksigen, cahaya dan panas yang
menyebabkan terjadinya pencoklatan. Perubahan warna pada ubi jalar ungu juga
dapat disebabkan oleh adanya enzim polifenol oksidase sehingga terjadi
pencoklatan pada bahan pangan secara enzimatis (Ticoalu, dkk., 2016).
Ubi jalar ungu pekat mengandung antosianin sebesar 61,85 mg/100 g
(138,15 mg/100 g basis kering) sedangkan pada ubi jalar ungu muda kandungan
antosianinnya 3,51 mg/100 g (9,89 mg/100 g basis kering). Dalam 100 g ubi jalar
ungu segar, kandungan antosianin ubi jalar ungu pekat 17 kali lebih tinggi

dibandingkan dengan ubi jalar muda (Husna, dkk., 2013). Semakin pekat warna
ubi

jalar

ungu

maka

kandungan

antosianinnya

akan

semakin

tinggi

Universitas Sumatera Utara


10

(Winarno, 2004). Berikut ini merupakan mutu fisik dan kimia tepung ubi jalar
ungu menurut Patria, dkk., (2013) dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Mutu fisik dan kimia tepung ubi jalar ungu
Komponen
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Kadar pati (%)
Densitas kamba (g/ml)
Daya serap air (g/g)
Daya larut air (g/g)
Viskositas panas (cP)
Viskositas dingin (cP)

Besaran
7,39
3,33
58,59

0,46
2,11
0,17
120
319

Pati terdiri dari amilosa yang larut dalam air dan amilopektin yang tidak
larut dalam air (Martunis, 2012). Pati yang diberikan perlakuan pemanasan
dengan air yang berlebihan akan mengakibatkan terjadinya penyerapan air oleh
granula pati sehingga mengakibatkan ikatan hidrogen pati terputus dan digantikan
oleh ikatan hidrogen air sehingga terjadi peningkatan volume (Wibowo, dkk.,
2008). Peningkatan penyerapan air pada pati tepung akan mengakibatkan
peningkatan swelling power tepung. Tepung dengan kandungan amilosa yang
tinggi akan memiliki kemampuan swelling power yang lebih tinggi karena
amilosa menyerap air semakin banyak dan mempengaruhi volume tepung
(Hartanti, dkk., 2013).
Derajat Polimerisasi merupakan satuan yang menyatakan jumlah
monosakarida dalam molekul (Suarni, dkk., 2007) sedangkan dextrose equivalent
merupakan total pati yang terhidrolisis menjadi molekul-molekul yang lebih
sederhana seperti glukosa (Triyono, A., 2007). Gula reduksi merupakan golongan
karbohidrat yang apat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron seperti
glukosa dan fruktosa yang memiliki ujung yang mengandung gugus aldehida dan
keton bebas (Wikipedia, 2014).

Universitas Sumatera Utara

11

Blanching
Blanching merupakan perlakuan awal yang diberikan pada bahan pangan
untuk menurunkan aktivitas enzim dan juga membunuh mikroba dengan cara
memberikan panas yang tinggi pada waktu yang singkat, sehingga pencoklatan
pada bahan dapat di cegah. Perlakuan pendahuluan seperti menggunakan
blanching uap dapat mengurangi kerusakan antosianin selama pemprosesan.
Penggunaan blanching uap dapat menonaktifkan enzim polifenol oksidase
sehingga jumlah antosianin yang hilang semakin menurun. Penggunaan suhu
blanching

juga

dapat

memperbaiki

warna

dan

rasa

pada

produk

(Ticoalu, dkk., 2016).
Warna bahan akan terlihat lebih baik jika diberikan perlakuan blanching
dan temperatur pengeringan yang lebih rendah sehingga menghasilkan indeks
browning yang lebih rendah. Pemberian perlakuan blanching sangat efektif untuk
mempertahankan warna dari bahan pangan yang dilakukan proses pengeringan.
Metode pengeringan tidak memberikan efek nyata terhadap kualitas produk
kecuali indeks browning (Oke dan Workneh, 2013).
Proses blanching dapat meningkatkan atau menurunkan kandungan gizi
pada bahan pangan. Kadar serat pada bahan yang diberikan perlakuan blanching
akan menurun karena dinding sel yang ada pada bahan menjadi larut air dan
proses blanching menyebabkan struktur gel pektin dan hemiselulosa menjadi
rusak akibat proses tersebut (Kusumawati, dkk., 2012).
Blanching pada bahan pangan dapat dilakukan pada beberapa metode salah
satunya adalah blanching dengan uap air panas (steam blanching). Metode
blanching dengan uap panas dapat mengurangi kehilangan komponen bahan

Universitas Sumatera Utara

12

pangan yang mengalami blanching. Blanching dengan uap panas lebih
menguntungkan dari blanching dengan menggunakan air panas karena kehilangan
bahan akibat pelarutan dapat dihindari. Pada suhu 50-55°C membran plasma yang
melindungi bagian dalam sel akan mengalami kerusakan sehingga menyebabkan
kehilangan cairan di dalam sel sehingga terjadi penyusutan berat bahan
(Estiasih dan Ahmadi, 2009).
Semakin tinggi suhu pemanasan pati akan mengakibatkan penurunan kadar
amilosa dan kejernihan pasta pati serta meningkatkan nilai kelarutan dan swelling
power. Pemanasan pati menyebabkan kelarutan pada pati semakin meningkat
(Haryanti, dkk., 2014). Kandungan amilosa pada bahan mempengaruhi
pengembangan dan penyerapan air. Meningkatnya kandungan amilosa pada
bahan, akan meningkatkan pengembangan dan penyerapan air, karena amilosa
memiliki kemampuan membentuk ikatan hidrogen yang lebih besar dari
amilopektin (Alam dan Nurhaeni, 2008).
Kegiatan enzimatis seperti pencoklatan merupakan hal yang tidak
diinginkan. Pencoklatan secara enzimatis dapat dicegah dengan perlakuan awal
misalnya seperti pemanasan, yang menyebabkan kadar air menurun dan
mempengaruhi reaksi enzimatis. Pemanasan pada bahan pangan mengakibatkan
berkurangnya air bebas maka difusi antara enzim dan substrat akan terhambat dan
pencoklatan dapat dicegah (Purnomo, 1995).

Pengeringan
Pengeringan merupakan proses pengurangan kandungan air yang ada pada
bahan pangan hingga batas tertentu. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan
kadar air, sehingga mikroba penyebab pembusukan bahan pangan tidak dapat

Universitas Sumatera Utara

13

bertahan

hidup.

Pengeringan

memberikan

beberapa

keuntungan

yaitu

memperpanjang masa simpan, mempermudah penanganan, penyimpanan serta
pengangkutan bahan karena volumenya menjadi lebih kecil. Suhu pengeringan
yang semakin tinggi akan mengakibatkan kandungan pati semakin rendah, karena
semakin tinggi suhu pengeringan yang mengakibatkan terjadinya leaching atau
rusaknya molekul pati (Lidiasari, dkk., 2006).
Vitamin dapat larut dalam air, pada saat pengeringan akan mengalami
oksidasi parsial bahkan vitamin yang ada bahan pangan juga ikut berkurang
selama blanching dan inaktivasi enzim. Semakin tinggi suhu pengeringan yang
digunakan maka akan menyebabkan stabilitas warna akan berkurang karena ubi
jalar ungu bersifat tidak stabil terhadap pemanasan. Suhu dan lama pemanasan
akan menyebabkan pigmen antosianin terdekomposisi dan terjadinya perubahan
struktur

pada

pigmen

yang dapat

menyebabkan

terjadinya

pemucatan

(Winarti, dkk., 2008).
Pengaruh pengeringan terhadap kandungan bahan pangan tergantung dari
jenis bahan yang dikeringkan, perlakuan pendahuluan, lama pengeringan, jenis
pengeringan dan lain sebagainya sehingga, semakin lama waktu pengeringan
maka akan semakin banyak pula pigmen dan komposisi kimia bahan

yang

berubah (Susanto dan Saneto, 1994). Semakin tinggi suhu pengeringan akan
berpengaruh pada kandungan kadar abu bahan. Peningkatan suhu pengeringan
akan meningkatkan kadar abu bahan, karena semakin banyak air yang teruapkan
sehingga mineral-mineral yang tertinggal pada bahan juga akan semakin
meningkat (Martunis, 2012).

Universitas Sumatera Utara

14

Penelitian Sebelumnya
Sebuah penelitian di Malang oleh Ticoalu, dkk., (2016) memperoleh hasil
bahwa tepung ubi jalar yang diberikan perlakuan blansing dengan suhu 70°C,
80°C dan 90°C akan menurunkan kandungan pati dan meningkatkan gula reduksi
tepung ubi jalar ungu. Hal ini terjadi karena semakin lama atau semakin tinggi
suhu blanching maka pati akan diubah menjadi gula-gula yang lebih sederhana
sehingga semakin tinggi dan lama waktu blansing gula reduksi tepung ubi jalar
ungu juga akan semakin meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh Ayu dan
Yuwono (2014) memperoleh hasil bahwa semakin tinggi suhu blanching yang
digunakan maka kadar air tepung akan semakin menurun. Hal ini disebabkan pada
proses blanching granula pati akan menyerap air lebih banyak sehingga granula
akan membesar dan menyebabkan semakin banyak air yang terserap maka
semakin banyak air yang diuapkan.
Winarti, dkk (2008) menyatakan bahwa bahan pangan yang diberikan
proses pengeringan akan menyebabkan beberapa vitamin-vitamin akan hilang,
bahkan semakin tinggi suhu yang digunakan akan mengakibatkan stabilitas warna
akan berkurang karena pigmen antosianin terdekomposisi yang menyebabkan
terjadinya perubahan struktur pigmen sehingga menyebabkan pemucatan. Hal ini
menyebabkan kadar antosianin dalam ubi jalar akan berkurang akibat adanya
proses pemanasan. Proses pemanasan dengan cara kukus memiliki tingkat
penurunan antosianin yang paling rendah dibandingkan dengan metode lainnya
(Husna, dkk., 2013).
Martunis (2012) dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh suhu dan
lama pengeringan terhadap kuantitas dan kualitas pati kentang varietas granola

Universitas Sumatera Utara

15

yang menggunakan suhu pengeringan 40°C, 50°C dan 60°C pada penelitiannya
menyatakan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka akan semakin tinggi
pula kadar abu pada bahan. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya air pada
bahan yang diuapkan sehingga semakin banyak mineral-mineral yang tertinggal
pada bahan yang telah dikeringkan. Semakin tinggi suhu pengeringan
mengakibatkan penurunan kadar pati, karena suhu yang tinggi mengakibatkan
rusaknya sebagian molekul pati yang ada pada bahan saat proses pengeringan.

Universitas Sumatera Utara