Manajemen Cairan dan Status Nutrisi dengan Kualitas Hidup Pasien Hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Penyakit gagal ginjal kronis adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif

dan irreversible, dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan
uremia (Smeltzer & Bare, 2010). Gagal ginjal kronis merupakan kerusakan ginjal
yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk sisa dari
darah, ditandai adanya protein dalam urin serta penurunan laju filtrasi glomerulus,
berlangsung lebih dari 3 bulan (Black & Hawks, 2009).
Penderita penyakit gagal ginjal kronik di dunia semakin meningkat,
menurut laporan The United States Renal Data System (USRDS, 2012) di
Amerika Serikat pada tahun 2011 sebanyak 1.901 per 1 juta penduduk penderita
gagal ginjal kronik, sementara Treatment of End Stage Organ Failure in Canada,
tahun 2000 sampai 2009 menyebutkan hampir 38.000 warga Kanada hidup

dengan gagal ginjal kronis dan telah meningkat hampir tiga kali lipat dari tahun
1990 (Corrigan, 2011). Data dari Indonesian Renal Registry tahun 2012 Indonesia
termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi,
dilaporkan jumlah pasien baru tahun 2007 sampai 2012 mencapai 19.621 orang
dan pasien aktif 9.161 orang. Berdasarkan data yang diperoleh dari RSUP HAM
Medan pada bulan Februari 2015 penderita gagal ginjal kronis yang rutin
menjalani hemodialisa sebanyak 170 pasien, data RSUD DR. Pirngadi Medan
1

Universitas Sumatera Utara

2

pada bulan Januari 2015 tercatat sebanyak 156 pasien, bulan Februari 2015
sebanyak 157 pasien, bulan Mei 2015 sebanyak 153 pasien dan bulan Maret 2016
tercatat 136 pasien yang rutin menjalani hemodialisa, sedangkan di Klinik
Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan bulan Februari 2015 sebanyak 135
orang.
Hemodialisa merupakan suatu cara yang dilakukan untuk mengeluarkan
produk sisa metabolisme berupa zat terlarut (solut) dan air yang berada dalam

darah melalui membran semi permiabel atau yang disebut dyalizer (Black &
Hawk, 2009). Terapi ini merupakan prosedur penyelamat jiwa yang mahal, tidak
asing dan suatu teknologi tinggi untuk mengeluarkan zat sisa metabolisme dan zat
toksin dari dalam tubuh melalui proses difusi, osmosis dan ultrafiltrat. Di
Indonesia hemodialisa dilakukan dua sampai tiga kali seminggu dengan setiap
hemodialisis dilakukan selama 4 jam (Aru W.Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus
Alwi, Marcellus Simadibrata K dan Siti Setiati, 2006). Konsensus Dialisis
Pernefri (2003) menyatakan bahwa di Indonesia adekuasi hemodialisa dapat
dicapai dengan jumlah dosis 10-15 jam perminggu.
Bagi penderita gagal ginjal kronik, hemodialisa merupakan salah satu
terapi

pengganti

ginjal

yang

dapat


mencegah

kematian

tetapi

tidak

menyembuhkan atau memulihkan penyakitnya. Pasien akan tetap menghadapi
permasalahan dan komplikasi terkait pengobatan. Tujuan utama tindakan
hemodialisa adalah untuk mengembalikan keseimbangan cairan tubuh yang
merupakan fungsi ginjal normal (Smeltzer & Bare, 2010). Banyak dari pasien
hemodialisa dalam menjalani program rejimen pengobatan yang komplek,

Universitas Sumatera Utara

3

mengalami kesulitan untuk mengelola cairan dan pembatasan diet yang
mengakibatkan tingginya resiko kematian serta peningkatan biaya pelayanan

kesehatan (Cristovao, 2015). Menurut Tovazzi & Mazzoni, (2012), Pasien yang
mengalami kesulitan dalam mengelola cairan tidak mendapatkan pemahaman
tentang bagaimana strategi yang dapat membantu mereka dalam pembatasan
cairan. Sesuai dengan penelitian Kugler et., al (2005), sebanyak 81,4% pasien
mengalami kesulitan mengikuti diet dan sebanyak 74,6% pasien mengalami
kesulitan dalam pembatasan cairan. Sejalan dengan penelitian John (2012), pasien
hemodialisa sering gagal mengikuti diet dan mengelola cairan sehingga
mengurangi efektivitas perawatan dan menyebabkan perkembangan penyakit
tidak terduga dan kemungkinan besar terjadi komplikasi.
Asupan cairan harian pasien yang menjalani hemodialisa dibatasi hanya
sebanyak “insensible water losses” ditambah jumlah urin (Smeltzer & Bare,
2010). Apabila pasien hemodialisa tidak melakukan pembatasan asupan cairan
maka cairan akan menumpuk di dalam tubuh dan akan menimbulkan edema
disekitar tubuh seperti tangan, kaki dan muka. Masalah kelebihan cairan yang
dialami pasien hemodialisa tidak hanya diperoleh dari asupan cairan yang
berlebihan akan tetapi juga dapat berasal dari makanan yang mengandung kadar
air tinggi, oleh karena itu keseluruhan diet pasien yang menjalani hemodialisa
harus dikontrol (Welch, Perkins, Johnson, & Kraus, 2006).
Penambahan berat badan interdialisis merupakan peningkatan volume cairan
yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan sebagai dasar untuk

mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialisis (Arnold,

Universitas Sumatera Utara

4

2008). Sejalan dengan hasil penelitian Istanti (2009), menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara masukan cairan dan penambahan berat badan
dimana semakin banyak masukan cairan maka semakin meningkat berat badan
antara dua waktu dialisis dan faktor yang paling berkontribusi pada terjadinya
penambahan berat badan interdialisis adalah masukan cairan. sedangkan Hasil
penelitian Lopez (2005) menyatakan bahwa besarnya kenaikan berat badan
interdialisis berhubungan dengan indeks massa tubuh (IMT), level serum albumin,
status nutrisi, tekanan darah sebelum dialisis, kadar ureum dan kreatinin. Hasil
penelitian Riyanto (2011) didapatkan data bahwa semakin tinggi penambahan
berat badan pada pasien hemodialisa maka semakin rendah kualitas hidupnya.
Hasil penelitian Mailani, Setiawan & Siregar (2014) di RSUD DR.
Pirngadi dan RSUP HAM Medan menyatakan dari 194 pasien ditemukan 88
responden mengalami penambahan berat badan interdialisis kategori berat (>3,9
%), 46 responden kategori sedang (3-3,9%), 60 responden kategori ringan (