Manajemen Cairan dan Status Nutrisi dengan Kualitas Hidup Pasien Hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan

14

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hemodialisa
2.1.1 Definisi
Hemodialisa adalah suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi seperti
nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal kronis
(Black & Hawk, 2009; Ignatavicius, 2009).
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialysis jangka pendek (beberapa hari
hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau
end renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau
permanen. Tujuan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang
toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan
Madjid, 2009).
Bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisa akan mencegah kematian.
Namun demikian, hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit

ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin
yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap
kualitas hidup pasien (Smeltzer et. al., 2010).

14

Universitas Sumatera Utara

15

2.1.2 Indikasi
Hemodialisa diindikasikan pada klien dalam keadaan akut yang
memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal kronis yang membutuhkan terapi
jangka panjang/permanen. Secara umum indikasi dilakukan hemodialisis pada
gagal ginjal kronis adalah LFG kurang dari 15 ml/menit, hiperkalemia, asidodisis,
kegagalan terapi konservatif, kadar ureum lebih dari 200 mg/dl dan kreatinin lebih
dari 6 mEq/L, kelebihan cairan; dan anuria berkepanjangan lebih dari 5 hari
(Smeltzer et al., 2010).
2.1.3 Prinsip dasar hemodialisa

Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis
dan ultrafiltrasi. Saat proses difusi sisa akhir metabolisme di dalam darah
dikeluarkan dengan cara berpindah dari darah yang konsentrasinya tinggi ke
dialisat yang mempunyai konsentrasi rendah (Smeltzer et al., 2010). Ureum,
kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah kecairan
dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat. Natrium asetat atau
bicarbonat yang lebih konsentrasinya dalam dialisat akan berdifusi ke dalam
darah. Kecepatan difusi solut tergantung kepada koefisien difusi, luas permukaan
membran dialiser dan perbedaan konsentrasi serta perbedaan tekanan hidrostatik
diantara membran dialisis (Price & Wilson, 2006).
Air yang berlebihan akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien
tekanan; dengan kata lain air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih

Universitas Sumatera Utara

16

tinggi (tubuh klien) ke tekanan yang lebih rendah (dialisat). Gradien ini dapat
ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan

ultrafiltrasi pada mesin hemodialisa. Tekanan negatif sebagai kekuatan penghisap
pada

membran

dan

memfasilitasi

pengeluaran

air,

sehingga

tercapai

keseimbangan cairan.
2.1.4 Komplikasi klien hemodialisa
Terapi hemodialisa yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama akan

menyebabkan kelelahan fisik dan mental. Gangguan fisik yang sering dikeluhkan
pasien yang menjalani terapi hemodialisa adalah kelelahan, tidak tahan cuaca
dingin, pruritus, kelemahan ekstremitas bawah, dan kesulitan tidur Yong, Kwok,
Wong, 2009). Sementara gangguan psikologis yang sering dialami pasien adalah
depresi sekitar 20 – 30 % terjadi pada pasien dialisis. Depresi dan kecemasan hal
yang paling umum dirasakan oleh pasien dialisis hal ini dikarenakan gejala uremia
seperti kelelahan, gangguan tidur, menurunnya nafsu makan dan gangguan
kognitif.
Penelitian Stefanovic & Avramovic, (2012) menunjukkan 50% dari pasien
yang menjalani terapi dialisis mengalami depresi. Gejala depresi yang biasa
ditunjukkan adalah rasa bersalah, putus asa, mudah marah dan bunuh diri. Selain
itu gangguan yang paling sering dialami pasien adalah dysfungsi seksual atau
gangguan ereksi pada pasien pria. Hasil penelitian Santos et al., (2012) dari total
58 pasien perempuan yang menjalani hemodialisa,

diketahui 46 pasien

mengalami disfungsi seksual. Prevalensi disfungsi seksual di antara perempuan
yang menjalani hemodialisa sangat tinggi mencapai hampir 80%.


Universitas Sumatera Utara

17

Secara garis besar komplikasi yang terjadi pada pasien hemodialisa dapat
dibagi menjadi 2 (dua) yaitu komplikasi yang berhubungan dengan prosedur
dialisis dan komplikasi yang berhubungan dengan penyakit ginjal kronis (Lewis
et. al., 2011).
Komplikasi intradialisis yang berhubungan dengan prosedur dialisis
adalah :
a. Hipotensi
Hipotensi saat hemodialisa (interdialytic hypotension) merupakan masalah
yang sering terjadi. Hipotensi intradialisis terjadi pada klien yang mengalami
gangguan sistem kardiovaskuler, yang disebabkan oleh kelainan struktur jantung
dan pembuluh darah. Hipotensi tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan,
tetapi juga meningkatkan angka kematian. Pencegahan hipotensi intradialisis
dengan cara melakukan pengkajian berat kering secara teratur,menghitung UFR
secara tepat, mengatur suhu dialisat, menggunakan dialisat bikarbonat, monitoring
tekanan darah selama proses hemodialisis (Kallenbach et al., 2005; Thomas,
2003; Daugirdas, Blake & Ing, 2007).

b. Headache (sakit kepala)
Penyebab sakit kepala saat hemodialisis belum diketahui. Kecepatan UFR
yang tinggi, penarikan cairan dan elektrolit yang besar, lamanya dialisis, tidak
efektifnya dialisis, dan tingginya ultrafiltrasi juga dapat menyebabkan terjadinya
headache intradialysis (Incekara et al., 2008).

Universitas Sumatera Utara

18

c. Mual dan muntah
Mual dan muntah saat hemodialisis dapat dipengaruhi oleh beberapa hal
yaitu gangguan keseimbangan dialisis akibat ultrafiltrasi yang

berlebihan,

lamanya waktu hemodialisis, perubahan homeostasis, dan besarnya ultrafiltrasi.
(Thomas, 2003; Daugirdas, Blake & Ing, 2007; Holley et al, 2007).
d. Sindrom disequilibrium
Sindrom Disequilibrium merupakan sekelompok gejala yang diduga

terjadi karena adanya disfungsi serebral. Kumpulan gejala disfungsi serebral
terdiri dari sakit kepala berat, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran sampai
dengan koma. Sindrom disequilibrium saat hemodialisis terjadi akibat kondisi
yang meningkatkan edema serebral, adanya lesi pusat saraf (stroke/trauma),
tingginya kadar ureum pra HD, dan asidosis metabolik berat. Proses penarikan
ureum yang terlalu cepat pada saat hemodialisis mengakibatkan plasma darah
menjadi hipotonik. Akibatnya akan menurunkan tekanan osmotik, mengakibatkan
pergeseran air kedalam sel otak sehingga terjadi edema serebral (Thomas, 2003 :
Lopezalmaras, 2008).
e. Demam dan menggigil
Selama prosedur hemodialisa perubahan suhu dialisat juga dapat
meningkatkan atau menurunkan suhu tubuh. Suhu dialisat yang tinggi lebih dari
37.5°C bisa menyebabkan demam. Sedangkan suhu dialisat yang terlalu dingin
kurang dari 34 – 35,5°C dapat menyebabkan gangguan kardiovaskuler,
vasokontriksi dan menggigil (Pergola, Habiba & Johnson, 2004).

Universitas Sumatera Utara

19


f. Kram otot
Intradialytic muscle cramping, biasa terjadi pada ekstremitas bawah.
Beberapa faktor resiko terjadinya kram diantaranya perubahan osmolaritas,
ultrafiltrasi yang terlalu tinggi dan ketidakseimbangan kalium dan kalsium intra
atau ekstra sel (Thomas, 2003; Kallenbach et al, 2005).

g. Emboli udara
Udara dapat memasuki sirkulasi melalui selang darah yang rusak,
kesalahan menyambung sirkuit, adanya lubang pada kontainer cairan intravena,
kantong darah atau cairan normal salin yang kosong, atau perubahan letak jarum
arteri (Kallenbach et al 2005). Gejala yang berhubungan dengan terjadinya emboli
udara adalah adanya sesak nafas, nafas pendek dan kemungkinan adanya nyeri
dada (Daugirdas, Blake & Ing, 2007).

h. Hemolisis
Hemolisis adalah kerusakan atau pecahnya sel darah merah akibat
pelepasan kalium intraselluler. Hemolisis dapat terjadi akibat sumbatan akses
selang darah dan sumbatan pada pompa darah, peningkatan tekanan negatif yang
berlebihan karena pemakaian jarum yang kecil pada kondisi aliran darah yang
tinggi, atau posisi jarum yang tidak tepat. Penyebab lain hemolisis adalah

penggunaan dialisat hipotonik (Thomas, 2003 ; Kallenbach et al, 2005). Hemolisis
masif akan meningkatkan risiko hiperkalemi, aritmia dan henti jantung (Thomas,
2003).

Universitas Sumatera Utara

20

i. Nyeri dada
Terjadi akibat penurunan hematokrit dan perubahan volume darah karena
penarikan cairan dan perubahan volume darah menyebabkan terjadinya penurunan
aliran darah ke miokard dan mengakibatkan berkurangnya oksigen miokard. Nyeri
dada juga bisa menyertai komplikasi emboli udara dan hemolisis (Thomas, 2003 ;
Kallenbach et al, 2005).
Komplikasi yang berhubungan dengan penyakit ginjal kronis adalah :
a. Penyakit Jantung
Penyakit jantung merupakan penyebab utama kematian pada pasien yang
menjalani hemodialisis. Penyakit jantung disebabkan karena gangguan fungsi dan
struktur otot jantung, dan atau gangguan perfusi. Faktor risiko penyakit jantung
yaitu : faktor hemodinamik, metabolik seperti kelebihan cairan, garam dan retensi

air, anemia, hipertensi, hipoalbuminemia, ketidakseimbangan kalsium-fosfat,
dislipidemia, kerusakan katabolisme asam amino, merokok dan diabetes mellitus
(Parfrey & Lameire, 2000).
b. Anemia
Penurunan kadar Hb pada pasien gagal ginjal kronik terjadi akibat proses
penyakit akibat menurunnya produksi eritropoetin (EPO) oleh ginjal, tubuh tidak
mampu menyerap zat besi, dan kehilangan darah karena sebab lain. Pada pasien
hemodialisis, anemia bisa bertambah berat karena hampir tidak mungkin semua
darah pasien dapat kembali seluruhnya setelah menjalani hemodialisis. Sebagian
sel darah merah tertinggal pada dialiser atau blood line meskipun jumlahnya tidak
signifikan (Thomas, 2003).

Universitas Sumatera Utara

21

c. Mual dan lelah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan klien merasa mual dan kelelahan
(letargi) setelah menjalani HD. Beberapa penyebab timbulnya mual dan rasa lelah
setelah HD yaitu : Hipotensi, kelebihan asupan cairan diantara dua terapi

hemodialisis, problem terkait berat kering, obat hipertensi, anemia, penggunaan
asetat pada hemodialisis.
d. Malnutrisi
Malnutrisi terjadi khususnya kekurangan kalori dan protein, hal ini
berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas pada klien HD kronik. Faktor
penyebab terjadinya malnutrisi adalah karena meningkatnya kebutuhan protein
dan energi, menurunnya pemasukan protein dan kalori, meningkatnya katabolisme
dan menurunnya anabolisme. Juga disebabkan oleh metabolisme yang abnormal
akibat hilangnya jaringan ginjal dan fungsi ginjal (Charuwanno, 2005).
e. Gangguan kulit
Sebagian besar klien hemodialisa mengalami perubahan atau gangguan
pada kulit yaitu; gatal-gatal (pruritus), kulit kering (Xerosis) dan kulit belang (skin
discoloration). Penyebab gatal-gatal pada kulit, bisa disebabkan oleh karena kulit
yang kering, tingginya kadar kalsium, fosfat, hormon paratiroid dalam darah serta
meningkatnya kadar histamin dalam kulit. Kulit belang (skin discoloration)
banyak terjadi pada pasien hemodialisa. Salah satu penyebabnya adalah pigmen
Urochrome, dimana pigmen ini pada ginjal sehat dapat dibuang, namun karena
adanya kerusakan ginjal maka pigmen tertumpuk pada kulit, akibatnya kulit akan
terlihat kuning kelabu (Thomas, 2003). Penyebab kulit belang lainnya adalah

Universitas Sumatera Utara

22

uremic frost yaitu semacam serbuk putih seperti lapisan garam pada permukaan
kulit dimana hal ini merupakan tumpukan ureum yang keluar bersama keringat
(Thomas, 2003; Black & Hawk, 2009).
2.1.5 Penatalaksanaan pasien yang menjalani hemodialisa
Hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya
memperpanjang usia penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit
ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan
kehidupan pasien yang gagal ginjal. Pasien hemodialisa harus mendapat asupan
makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan
prediktor yang penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisa.
Asupan protein diharapkan 1-1,2gr/KgBB/hari dengan 50% terdiri atas asupan
protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40 – 70 mEq/hari.
Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi kalium seperti
buah-buahan

dan

umbi-umbian

tidak

dianjurkan

untuk

dikonsumsi

(Wijayakusuma, 2008).
Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin ditambah
insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40 – 120 mEq/hari guna
mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan
menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila
asupan cairan berlebihan maka selama periode diantara dialisis akan terjadi
kenaikan berat badan yang besar (Sudoyo et, al., 2006).

Universitas Sumatera Utara

23

2.2 Manajemen Cairan Pasien Hemodialisa
2.2.1 Definisi
Manajemen

cairan

adalah

intervensi

untuk

mempertahankan

keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh yaitu menghitung masukan dan
haluaran cairan. Manajemen cairan juga dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi akibat dari jumlah cairan yang berlebihan (ignatavicius, 2010). Bila
manajemen cairan buruk dapat menyebabkan penambahan berat badan
interdialitik sehingga mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas
penyakit kardiovaskuler. Penambahan berat badan interdialitik digunakan untuk
mengevaluasi bagaimana pasien mengelola asupan cairannya yang dihitung dalam
kilogram atau persentase (Cristovao, 2015). Menurut Richard (2006), pasien yang
mengalami gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa perlu memperhatikan
asupan cairan karena harus dibatasi dan pembatasan cairan ini merupakan isu
utama untuk pasien tersebut. Pembatasan tersebut penting agar pasien tetap
merasa nyaman pada saat sebelum, selama dan sesudah terapi hemodialisa
(Smeltzer et. al.,2010).
2.2.2 Penyebab peningkatan asupan cairan
Asupan cairan harus dimonitor untuk memastikan jumlah cairan tetap
stabil. Ada tiga penyebab utama peningkatan asupan cairan yaitu meningkatnya
asupan garam (sodium), kadar glukosa darah yang tidak terkontrol dan asupan
cairan yang bebas.

Universitas Sumatera Utara

24

1. Meningkatnya asupan garam (sodium)
Sodium adalah salah satu dari tiga elektrolit yang mengontrol bagian
cairan masuk dan keluar dari sel. Sodium juga penting untuk pengaturan tekanan
darah dan volume, transmisi saraf, kontraksi otot dan keasaman darah dan cairan
tubuh. Namun, kadar sodium tinggi berkontribusi hipertensi, edema, gagal
jantung, edema paru dan kerusakan lebih lanjut untuk fungsi ginjal. Asupan
sodium juga memicu mekanisme haus dan jika mengkonsumsinya terlalu banyak
cenderung akan meningkatkan asupan cairan.
Respon normal seseorang terhadap haus adalah minum. Sesuai dengan
penelitian Mistiaen (2001), menemukan bahwa salah satu alasan pasien ketika
terdapat kenaikan berat badan diantara dua waktu dialisis adalah karena adanya
rasa haus yang berlebihan, meski pasien dalam keadaan kelebihan cairan, yang
dapat mengakibatkan kenaikan cairan berlebihan secara kronis. Asupan cairan
membutuhkan regulasi yang berhati-hati dalam gagal ginjal kronis yang menjalani
hemodialisa, karena rasa haus pasien merupakan panduan yang tidak dapat
diyakini mengenai keadaan hidrasi pasien (Price & Wilson, 2006).
Kepatuhan terhadap pembatasan cairan selama periode antara dua waktu
dialisis tergantung pada kemampuan pasien untuk memilih dan efektif
menggunakan strategi perawatan diri terutama untuk menangani rasa haus yang
dialami saat melakukan pembatasan asupan cairan. Berdasarkan penelitian Arova
(2013), strategi yang partisipan lakukan dalam mengatur asupan cairan dan
menangani rasa haus dengan beberapa cara yaitu membatasi minum dengan gelas
kecil yang sama dan menggunakan sedotan kecil saat minum, membatasi minum

Universitas Sumatera Utara

25

dengan menggunakan botol berukuran 300 cc, membatasi minum dengan
menggunakan botol berukuran 600 cc, mengurangi intake cairan dengan sayur
berkuah dan menurunkan suhu tubuh dengan mandi atau berkumur.
2. Kadar gula darah yang tidak terkontrol
Glukosa merupakan sumber energi penting dalam tubuh dan merupakan
satu-satunya sumber energi bagi otak. Hal ini disimpan dalam tubuh dalam bentuk
glikogen. Konsentrasi glukosa yang tetap dalam darah dipertahankan sekitar
5 mmol / l oleh berbagai hormon termasuk insulin. Jika tingkat glukosa darah
meningkat di atas normal 10 mmol/l, akan terjadi hiperglikemia yang merupakan
gejala dari diabetes.
Kadar glukosa yang tinggi dalam darah menyebabkan rasa haus, sehingga
kebutuhan yang lebih besar untuk asupan cairan. Hal ini penting mengontrol
glukosa pada pasien dialisis untuk memastikan bahwa asupan cairan yang
berlebihan tidak terjadi karena kadar glukosa yang tinggi dalam darah. Pasien
diabetes perlu mengontrol asupan glukosa karena dapat menyebabkan rasa haus
yang berlebihan selanjutnya terjadi kelebihan cairan.
3. Asupan cairan yang bebas
Asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan
dan edema. Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi,
hipotensi dan gangguan fungsi ginjal. Aturan yang dipakai untuk menentukan
banyak asupan cairan adalah : jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam
terakhir + 500 ml (IWL). Menurut hasil penelitian Arova (2013), semua partisipan

Universitas Sumatera Utara

26

menjelaskan bahwa asupan cairan yang dilakukan memang terbatas kurang lebih
500 – 600 ml dalam sehari.
Berat badan dibawah berat badan ideal akan muncul gejala dehidrasi dan
atau depresi volume, misalnya hipotensi, kram, hipotensi pustural, dan pusing.
Menurut Potter & Perry (2006) seseorang yang mengalami kelebihan cairan dapat
menimbulkan berbagai permasalahan : menimbulkan peningkatan frekuensi
napas, napas dangkal, dypnoe, crakckles, mual dan kembung, sakit kepala, pusing,
kelemahan otot, bisa terjadi letargi, bingung dan edema perifer. Penelitian Farida
(2010) melaporkan beberapa partisipan mengalami gangguan pola napas akibat
kelebihan cairan dan adanya asites.
Berat badan diatas berat badan ideal akan muncul tanda dan gejala kelebihan
cairan, misalnya edema, sesak napas. Tanda seperti ini akan muncul bila kenaikan
berat badan pasien lebih dari 2 Kg. Akumulasi cairan yang dapat ditoleransi
adalah 1-2 Kg selama periode intradialitik (Cahyaningsih, 2009). Sesuai dengan
penelitian Kamyar & Kalantar (2009) menemukan bahwa pasien yang memiliki
berat badan interdialisis 4,0 kg atau lebih akan mengalami peningkatan risiko
kematian karena kardiovaskuler sebesar 25%, Penelitian Riyanto (2011)
didapatkan bahwa semakin tinggi penambahan berat badan

pada pasien

hemodialisa maka semakin rendah kualitas hidupnya. Hasil penelitian Istanti
(2009), menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara masukan
cairan dan penambahan berat badan dimana semakin banyak masukan cairan
maka semakin meningkat berat badan antara dua waktu dialisis dan faktor yang

Universitas Sumatera Utara

27

paling berkontribusi pada terjadinya penambahan berat badan antara dua waktu
dialisis adalah masukan cairan.
Data menunjukkan bahwa pasien dengan gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialisa mengalami keputusasaan sehingga mereka berpotensi tidak
mematuhi terapi, salah satunya pembatasan asupan cairan yang mengakibatkan
kenaikan berat badan diantara dua waktu dialisis (Feroze, Martin, Reina & Zadeh,
2010).
Menurut penelitian John (2012) banyak pasien gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialisa mengalami kesulitan memenuhi pembatasan cairan dan
diet untuk itu pasien-pasien ini memerlukan perubahan yang utama yaitu gaya
hidup untuk dapat beradaptasi. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa
semakin tinggi self efficacy yang dilaporkan responden maka semakin tinggi
kepatuhan terhadap pembatasan cairan dan diet yang diperlukan responden.
Supaya asupan cairan tidak bebas pada pasien hemodialisa dibutuhkan
adanya kemampuan pasien untuk mempunyai strategi atau langkah-langkah dalam
memanajemen pembatasan cairan yang dialaminya. Strategi atau langkah-langkah
tersebut tampak pada penelitian Cristovao (2015), menyatakan langkah-langkah
pasien hemodialisa untuk memanajemen pembatasan cairan ada dua yaitu
langkah-langkah untuk mengontrol asupan cairan dan langkah-langkah untuk
mengurangi konsumsi garam (sodium). Efektifitas dari langkah-langkah tersebut
dievaluasi dengan penambahan berat badan interdialisis. Hasil penelitian
menunjukkan langkah-langkah seperti menghindari makanan pedas, tidak
melebihi jumlah cairan yang diperbolehkan per hari, menghindari alkohol dan

Universitas Sumatera Utara

28

garam dimeja secara signifikan berkorelasi dengan rendahnya penambahan berat
badan interdialisis. Sebaliknya langkah dengan minum cairan dingin dan
pembatasan cairan dengan gejala berkorelasi dengan tingginya penambahan berat
badan interdialisis.
2.2.3 Komplikasi kelebihan cairan
Jika pasien mengkonsumsi terlalu banyak cairan, mungkin akan
mengalami komplikasi seperti peningkatan tekanan darah, edema terutama
ekstremitas bawah, sesak napas, takikardia, gagal jantung kongestif, hipertrofi
ventrikel kanan bahkan dapat mendadak hipotensi saat dialisis.
Tingginya kadar asupan cairan dapat disebabkan oleh sejumlah faktor
termasuk diet tinggi garam tinggi dan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol.
peningkatan asupan cairan ini bisa menyebabkan pasien mengalami kelebihan
cairan sehingga meningkatkan beban kerja jantung dan selanjutnya dapat
mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri (Mcintyre Natasha, Green & Christophar).
2.2.4 Cara mengukur manajemen cairan pada pasien hemodialisa
Pemantauan status cairan pada pasien dialisis status dilakukan secara
berkala. Setiap pasien harus menetapkan berat badan kering sebagai target untuk
setiap perawatan dialisis. Hal ini penting untuk menentukan berat badan kering
yang benar. Jika sudah diatur terlalu rendah, pasien dapat mengalami dehidrasi
parah dan hipotensi, sementara jika terlalu tinggi, lebih-hidrasi dapat
menyebabkan hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri (LVH) dan bahkan kegagalan
ventrikel kiri (LVF) (Mitchell 2002, Charra 1996). Berat kering adalah berat
badan pasien sendiri tanpa cairan ekstra dan digunakan sebagai target untuk setiap

Universitas Sumatera Utara

29

perawatan dialisis. Sebagian besar pasien, berat badan antara dua dialisis
(intradialytic berat badan) sebaiknya tidak lebih dari 1-2 kg.
Untuk menilai manajemen cairan pasien hemodialisa pada penelitian ini
menggunakan kuesioner yang dimodifikasi dari Cristovao (2015) yang berisikan
langkah-langkah atau strategi

pasien hemodialisa untuk memanajemen

pembatasan cairan yang dilakukannya. Hasil pengisian kuisioner akan didapatkan
strategi atau langkah-langkah yang sering dilakukan pasien hemodialisa dalam
memanajemen pembatasan cairannya. Hasil pengukuran kuisioner manajemen
cairan menggunakan skala likert dengan rentang nilai dimulai dari 43-129, dimana
43 menunjukkan nilai manajemen cairan terendah dan nilai 129 menggambarkan
manajemen cairan terbaik.
2.3 Status Nutrisi Pasien Hemodialisa
2.3.1 Definisi
Nutrisi dapat didefinisikan sebagai jumlah keseluruhan proses yang
terlibat dengan asupan dan penggunaan bahan-bahan makanan. Status nutrisi
(status gizi) adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik dan
lebih (Almatsier, 2009).
Nutrisi

pada

hemodialisis

dapat

menurunkan

komplikasi

dan

meningkatkan kualitas hidup pasien (Gunes, 2013). Nutrisi juga merupakan faktor
penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat adanya efek uremia.
Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekresikan produk akhir
metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum

Universitas Sumatera Utara

30

pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin. Dengan penggunaan hemodialisa
yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya
memerlukan beberapa penyesuaian atau pembatasan pada asupan protein, natrium,
kalium dan cairan (Smeltzer et. al., 2010).
Rayner & Imai (2010) mengemukakan pasien hemodialisa rentan terhadap
kekurangan gizi disebabkan oleh katabolisme protein, nafsu makan kurang dan
ketidakdisiplinan
Menurut

menjalankan

diet

selain

infeksi

dan

komorbid.

Zadeh, et al., (2001) pasien gagal ginjal kronis yang menjalani

hemodialisis reguler sering mengalami malnutrisi, inflamasi dan penurunan
kualitas hidup sehingga memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi
dibanding populasi normal. Diperkirakan 50%-70% pasien dialisis menunjukkan
tanda dan gejala malnutrisi (Wingard,et al., 2009; Nerscomite, 2010).
Penelitian di Kairo tahun 2005 melaporkan bahwa 20-60% pasien
hemodialisis mengalami malnutrisi (Azar et al., 2007). Penelitian lain yang
dilakukan pada pasien di rumah sakit Riyadh Al Kharj tahun 2004 menunjukkan
hasil bahwa 45% pasien yang memiliki BMI 5,5 mEq), oliguria, atau anuria.

Universitas Sumatera Utara

33

2.3.2 Mengelola nutrisi/diet (diet management)
Pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa sering terjadi mual,
muntah, anoreksia dan gangguan lain yang menyebabkan asupan gizi tidak
adekuat/tidak mencukupi.
a. Diet rendah kalium (potassium) dan natrium (sodium).
Natrium banyak terkandung dalam garam dapur (natrium klorida)
sedangkan kalium banyak pada buah dan sayur. Bagi penderita gagal ginjal harus
menghindari makanan yang mengandung natrium tinggi. Kadar normal natrium
dalam darah yaitu 135-145 mEq/L sedangkan jumlah konsumsi natrium : 2,5
gr/hari. Kadar normal kalium dalam darah yaitu 3,5-5 mEq/L sedangkan jumlah
konsumsi kalium: 1,6-2,8 gr/hari (NKF-K/DOQI, 2000). Kalium adalah mineral
dalam makanan yang memiliki peran penting dalam aktivitas otot polos (terutama
otot jantung) dan sel saraf. Ginjal normal akan membuang kelebihan kalium,
namun pada pasien kemampuan tersebut menurun sehingga dapat terjadi
akumulasi/penimbunan kalium dalam darah. Konsentrasi kalium yang tinggi lebih
berbahaya daripada konsentrasi kalium yang rendah. Kadar kalium yang sangat
tinggi akan membuat otot jantung melemah, mengganggu irama jantung dan dapat
menyebabkan kematian.
b. Fosfor dan kalsium
Fosfor adalah mineral yang dibutuhkan tubuh untuk tulang. Jika ginjal
tidak berfungsi baik, kelebihan fosfor tidak bisa dibuang. Kadar fosfor yang tinggi
dapat menurunkan kadar kalsium di tulang, melepaskannya ke darah, sehingga
kadar kalsium dalam darah meningkat. Ini akan menyebabkan tulang rapuh, gatal-

Universitas Sumatera Utara

34

gatal, tulang nyeri dan mata merah. Kadar normal phospor dalam darah yaitu 3,05,5 mEq/L sedangkan jumlah konsumsi phospor: 0,8-1,2 gr/hari. Kadar normal
kalsium dalam darah yaitu 8,5-10,5 mEq/L sedangkan jumlah konsumsi kalsium:
1,5 gr/hari (NKF-K/DOQI, 2000).
c. Protein
Protein dibutuhkan untuk membangun jaringan tubuh sepertinya tulang,
otot, kulit dan rambut. Protein juga membantu tubuh melawan infeksi, menjaga
kadar albumin darah tetap stabil, mempertahankan keseimbangan nitrogen dan
mengganti asam amino yang hilang saat dialisis. Kebutuhan Asupan protein yang
dianjurkan adalah 1-1,2 g/KgBB/hari (NKF-K/DOQI, 2000).
d. Kalori
Kebutuhan kalori (energi) sekitar 30-35 kkal/KgBB/hari (NKF-K/DOQI,
2000). Asupan energi yang adekuat bertujuan agar protein tidak dipecah menjadi
sumber energi.
2.3.3 Cara menilai status nutrisi pasien hemodialisa
Status nutrisi adalah fenomena multidimensional yang memerlukan
beberapa metode dalam penilaian, termasuk indikator-indikator yang berhubungan
dengan nutrisi, asupan nutrisi dan pemakaian energy, seperti Body Mass Index
(BMI), serum albumin, prealbumin, hemoglobin, magnesium dan fosfor
(Wiryana, 2007).
Penilaian status nutrisi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang
diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu

Universitas Sumatera Utara

35

populasi atau individu yang memiliki risiko status nutrisi kurang maupun gizi
lebih (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
Pengukuran status nutrisi di definisikan oleh American Society of Enteral
and Parenteral Nutrition sebagai “evaluasi komprehensif untuk mendefinisikan
status nutrisi, termasuk riwayat medis, riwayat diet, pemeriksaan fisik,
pengukuran-pengukuran antropometri dan data-data laboratorium”.
Pengukuran berat

badan dan

tinggi

badan dimaksudkan untuk

mendapatkan data status nutrisi. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan cara
alternatif untuk menentukan kesesuaian rasio berat : tinggi seorang individu. IMT
mungkin lebih obyektif dalam keadaan obesitas, tetapi tidak dapat membedakan
antara berat berlebih yang diproduksi oleh jaringan adiposa, muskularitas, atau
edema (Balitbangkes, 2010, Supariasa dkk, 2002).
Berat badan yang diukur pada pasien hemodialisa adalah berat badan
kering atau berat badan sesudah hemodialisa. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari adanya kerancuan pengukuran akibat cairan yang terakumulasi saat
predialisis. Tinggi badan umumnya diukur dalam posisi berdiri. Untuk
mengetahui nilai IMT dapat dihitung dengan rumus :
IMT = Berat Badan (Kg)
Tinggi Badan (M2)
Tabel 2.1 Klasifikasi Status Nutrisi berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT)
menurut WHO tahun 2000.
Kategori
Penjelasan
IMT
BB kurang
< 18,5
Normal
18,5 – 22,9
BB beresiko
23 – 24,9
Obes I
25 – 29,9
Obes II
≥ 30

Universitas Sumatera Utara

36

Penilaian status nutrisi pada penelitian ini menggunakan metode
mengingat kembali (Food Recall) 24 jam. Food Recall 24-h diselesaikan melalui
wawancara. Pewawancara harus memeriksa deskripsi lebih spesifik dari semua
makanan dan minuman yang dikonsumsi, termasuk metode-metode memasak dan
nama merk apabila memungkinkan (Rospond, 2008). Prinsip dari metode recall
24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang
dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dengan recall 24 jam data yang
diperoleh cenderung lebih bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan
data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu ditanyakan secara teliti
dengan menggunakan alat ukuran rumah tangga (URT) seperti sendok, gelas,
piring dan lain-lain atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-hari.
Dalam recall 24 jam, untuk memudahkan penentuan jumlah konsumsi
makanannya, biasanya digunakan food model (Supariasa, 2002).
Wahlqvist (2011) menjelaskan bahwa recall 24 jam dilakukan dengan
menanyakan kepada responden makanan yang dimakan kemarin dan jumlahnya
dalam ukuran rumah tangga. Energi yang terkandung dalam makanan dan energi
yang diasupnya dihitung.
Recall 24 jam ini jangan dilakukan hanya 1 kali karena akan menghasilkan
data yang kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan individu. Oleh
karena itu recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak
berturut-turut (Supariasa dkk, 2002).
Menurut Sanjur (1997) dalam Supariasa dkk (2002) beberapa penelitian
menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut dapat

Universitas Sumatera Utara

37

memberikan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang
lebih besar tentang intake harian individu.
Gersovitz et al (1987) dalam Gibson (1990) menyatakan bahwa masalah
yang dihadapi dalam metode recall 24 jam adalah flat slope syndrome yaitu
cenderung untuk melebihkan asupan yang rendah dan mengurangi asupan tinggi.
Kegunaan metode Food Recall 24 jam ini adalah untuk mengetahui angka
kecukupan gizi individu, untuk menganalisis bahan makanan yang dikonsumsi
oleh individu dan untuk mengetahui pola konsumsi individu.
Kelebihan metode Food Recall 24 jam ini adalah mudah dilaksanakan dan
tidak membebani responden, lebih teliti, tidak harus dilakukan 7 hari, biaya relatif
murah, memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi pasien dan
dapat mengetahui status nutrisi pasien.
Kelemahan Food Recall 24 jam ini tidak dapat menggambarkan asupan
makanan sehari-hari, ukuran rumah tangga untuk setiap keluarga belum tentu
sama, ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden dan cenderung
salah dalam memperkirakan porsi makan. Untuk meningkatkan mutu recall
24 jam dilakukan selama beberapa kali pada hari yang berbeda (tidak berturutturut), tergantung dari variasi menu keluarga dari hari ke hari.
Alat dan bahan dalam recall 24 jam adalah timbangan makanan dengan
ketelitian skala 1 gram, food model, ukuran rumah tangga (URT), bahan makanan
asli, foto bahan makanan, daftar komposisi bahan makanan (DKBM), daftar
bahan makanan penukar dan formulir recall 24 jam.

Universitas Sumatera Utara

38

Hasil dari food recall 24 jam akan di analisis menggunakan program
nutrisurvey. Nutrisurvey adalah program untuk menganalisis kandungan zat gizi
bahan makanan, menentukan kebutuhan zat gizi berdasarkan umur, jenis kelamin
dan aktifitas fisik, dan penentuan status gizi secara individual berdasarkan umur,
berat badan, dan tinggi badan.
Keunggulan dari nutrisurvey adalah program ini dapat digunakan untuk
menganalisis kandungan zat gizi bahan makanan dan/atau resep makanan, untuk
menentukan kebutuhan zat gizi individu berdasarkan umur, jenis kelamin dan
aktivitas fisik serta dapat menyusun kuesioner survei gizi.
Pemeriksaan laboratorium seperti prealbumin, albumin, kreatinin, ferritin
dan transferin serum dapat digunakan untuk menilai status nutrisi. Pada studi
Fleischmann et al (1999) nilai prealbumin, albumin, kreatinin dan transferin
dijumpai lebih tinggi pada pasien berat badan lebih (overweight) dan paling
rendah pada berat badan kurang (underweight). Hipoalbuminemia pada pasien
dialisis tidaklah harus menunjukkan malnutrisi. Transferin serum merupakan
petanda yang lebih sensitif dibanding albumin untuk menilai status nutrisi
(sehubungan dengan waktu paruhnya yang singkat), tetapi interpretasi transferin
sering sulit karena meningkatnya kebutuhan zat besi yang diinduksi oleh
perdarahan kronis dan terapi eritropoetin. Feritin serum dijumpai lebih tinggi
secara statistik bermakna pada pasien yang memiliki berat badan kurang
dibandingkan dengan berat badan normal. Rendahnya kadar kreatinin serum
menunjukkan asupan protein yang rendah dan atau hilangnya massa otot skletal

Universitas Sumatera Utara

39

dan ini berhubungan dengan meningkatnya mortalitas. Tetapi kreatinin serum
sebagai indikator malnutrisi belumlah dipastikan.

2.4 Kualitas Hidup
2.4.1 Definisi
Menurut WHO (1997),

kualitas

hidup merupakan persepsi individu

dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai tempat mereka tinggal,
dan hubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka
yang terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik, status psikologis,
tingkat kebebasan, hubungan sosial, lingkungan dan spiritual.
Cella (1992, dalam Kinghorn & Gamlin, 2004) menyebutkan bahwa
kualitas hidup seseorang tidak dapat didefinisikan dengan pasti, hanya orang
tersebut yang dapat mendefinisikannya, karena kualitas hidup merupakan sesuatu
yang bersifat subyektif.
Menurut Suhud (2009) kualitas hidup adalah kondisi dimana pasien
kendati penyakit yang dideritanya dapat tetap merasa nyaman secara fisik,
psikologis, sosial maupun spiritual serta secara optimal memanfaatkan hidupnya
untuk kebahagiaan dirinya maupun orang lain.
Kualitas hidup merupakan sesuatu yang bersifat subyektivitas dan
multidimensi. Subyektivitas mengandung arti bahwa kualitas hidup hanya dapat
ditentukan dari sudut pandang pasien itu sendiri dan ini dapat diketahui hanya
dengan bertanya langsung pada pasien sedangkan multidimensi bermakna bahwa
kualitas hidup dipandang dari seluruh aspek kehidupan seseorang secara holistik

Universitas Sumatera Utara

40

meliputi aspek biologis/fisik, psikologis, sosiokultural dan spiritual (Panthee &
Kritpracha, 2011).
2.4.2

Domain kualitas hidup pasien dialisis
Kualitas hidup menyangkut dimensi yang lebih luas termasuk kesehatan

fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan tentang
penyakit yang diderita dan lingkungan (WHO, 1997). Stigelman (2006) juga
menyatakan bahwa kualitas hidup berhubungan dengan penyakit dan terapi yang
dijalani. Ferrans (1996) mengatakan bahwa model konsep kualitas hidup secara
umum dibagi menjadi empat domain yaitu domain kesehatan dan fungsinya,
domain sosial dan ekonomi, domain psikologis/ spiritual, dan domain keluarga.
Secara umum domain kualitas hidup dibagi menjadi empat yaitu :
a. Domain kesehatan fisik
Domain pertama dalam kualitas hidup adalah domain kesehatan fisik
(WHO, 1997), Domain ini mencakup beberapa elemen yaitu rasa nyeri, energi,
istirahat, tidur, mobilisasi, aktifitas, pengobatan dan pekerjaan. Kesehatan fisik
merupakan hal utama yang harus dinilai dalam mengevaluasi kualitas hidup
individu (Hays et al., 1997).
b. Domain Kesejahteraan Psikologis
Domain ini menggambarkan bagaimana individu memandang dirinya
sendiri terkait dengan kemampuan tubuh dan penampilannya. Domain ini juga
menggambarkan tentang perasaan positif atau negatif dan bagaimana individu
menilai dirinya sendiri, kemampuan belajar, berpikir dan berkonsentrasi (WHO,
1997).

Universitas Sumatera Utara

41

c. Domain Hubungan Sosial dan Lingkungan
Domain ini terkait dengan hubungan individu (relasi personal), dukungan
sosial, aktifitas seksual, lingkungan rumah, sumber keuangan, fasilitas kesehatan,
menggambarkan keamanan individu yang dapat memepengaruhi kebebasan
dirinya meliputi kepuasaan dengan kehidupan, kebahagiaan secara umum dan
perawatan kesehatan yang diterima.
d. Domain Spiritual
Domain ini meliputi kepuasan dengan diri sendiri, tercapainya tujuan
pribadi, kedamaian dalam pikiran, penampilan pribadi dan kepercayaan kepada
Tuhan.
2.4.3 Instrument untuk mengukur kualitas hidup
Instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup pasien penyakit
ginjal kronik yang menjalani hemodialisis pada penelitian ini adalah kuisioner
Kidney Disease Quality of Life Short Form 1,3 (KDQOL-SF 1,3) yang merupakan
pengembangan dari Short Form 36 (SF-36). Alat ukur ini merupakan alat ukur
khusus yang digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik
dan pasien yang menjalani dialisis (Hays et al., 1997).
Kelebihan kuisioner ini adalah menilai kualitas hidup dari dua aspek yaitu
spesifik penyakit tertentu (disease-specific) dan generik (generic instrument) yang
sudah meliputi domain fisik, psikologis, sosial maupun lingkungan. Domain yang
mencakup target untuk penyakit ginjal meliputi: gejala/permasalahan klinis yang
dialami, efek dari penyakit ginjal, tingkat penderitaan oleh karena sakit ginjal,
status pekerjaan, fungsi kognitif, kualitas interaksi social, fungsi seksual, kualitas
tidur, dukungan sosial, kualitas pelayanan staf unit dialysis, dan kepuasan pasien.

Universitas Sumatera Utara

42

Sementara skala survei SF-36 yang bersifat generik mengukur fungsi fisik,
peran fisik, persepsi rasa sakit, persepsi kesehatan umum, emosi, peran emosional,
fungsi social, dan energi/kelelahan .
Menurut Mc Dowell, (2006) kuisioner yang spesifik untuk penyakit
tertentu biasanya berisikan pertanyaan-pertanyaan khusus yang sering terdapat
pada penyakit tersebut, misalnya pasien penyakit ginjal diukur dengan Kidney
Disease Quality of Life Short From (KDQOL SF), keuntungan alat pengukuran ini
adalah dapat mendeteksi lebih tepat keluhan/hal khusus yang sangat berperan
pada penyakit tertentu, misalnya kram otot, kulit kering, sesak nafas merupakan
hal yang penting pada pasien penyakit ginjal maka hal tersebut tergambarkan pada
pertanyaan kuisioner.
Kelemahan kuisioner ini adalah tidak dapat digunakan pada penyakit lain
dan kuisioner ini terdiri dari banyak pertanyaan sehingga membutuhkan waktu
yang lebih lama dalam mengisinya. Selain itu kuisioner ini tidak menilai domain
spiritual.
Secara spesifik Hays et al. (1997) telah menentukan domain kualitas hidup
pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa yaitu mencakup 19
domain yaitu :
1. Gejala/masalah yang menyertai
Gejala dan masalah yang menyertai pasien penyakit ginjal adalah masalah
yang menyertai setelah didiagnosis sakit ginjal. Masalah yang menyertai ini antara
lain : nyeri otot, nyeri dada, kram otot, kulit gatal-gatal, kulit kering, nafas pendek
(sesak), pusing, penurunan nafsu makan, gangguan eliminasi, mati rasa pada

Universitas Sumatera Utara

43

tangan dan kaki, mual, permasalahan pada tempat penusukan, dan permasalahan
pada tempat memasukkan kateter (pada dialisis peritoneal).
2. Efek Penyakit Ginjal
Efek ini timbul sebagai konsekuensi akibat penyakit ginjal yang diderita
dan sering menyusahkan pasien. Efek ini antara lain: pembatasan cairan,
pembatasan diet, kemampuan bekerja disekitar rumah, kemampuan untuk
melakukan perjalanan, ketergantungan terhadap petugas kesehatan, perasaan
khawatir dan stres terhadap penyakit yang diderita, kehidupan seksual, dan
penampilan.
3. Beban akibat Penyakit Ginjal
Beban sebagai akibat penyakit ginjal sering kali dirasakan pasien. Beban
akibat penyakit ini antara lain sejauh mana Penyakit ginjal yang diderita dirasakan
sangat mengganggu kehidupan, banyaknya waktu yang dihabiskan, rasa frustasi
terhadap penyakit, dan perasaan menjadi beban dalam keluarga.
4. Status Pekerjaan
Indikator pada dimensi ini adalah apakah pasien masih aktif bekerja, dan
apakah kondisi kesehatannya saat ini dapat menjaga pekerjaan pasien saat ini.
5. Fungsi Kognitif
Pasien dengan penyakit ginjal yang menjalani hemodialisa sering kali
mengalami penurunan fungsi kognitif. Sering kali menjadi lambat dalam berkata
atau melakukan sesuatu, sulit untuk berkonsentrasi, dan bingung tanpa sebab.

Universitas Sumatera Utara

44

6. Kualitas Interaksi Sosial
Aspek ini mengukur bagaimana kualitas interaksi yang dilakukan pasien
dalam melakukan hubungan dengan orang lain. Pada pasien dengan penyakit
ginjal tidak jarang pasien mengasingkan diri dari orang lain, mudah tersinggung,
dan mengalami kesulitan dalam bergaul dengan orang lain.
7. Fungsi Seksual
Aspek ini termasuk intensitas, gairah dan menikmati hubungan seksual.
8. Tidur
Aspek ini mengukur bagaimana tidur pada pasien penyakit ginjal yang
menjalani hemodialisis. Aspek ini termasuk kualitas tidur dan kecukupan waktu
tidur.
9. Dukungan yang diperoleh
Aspek ini termasuk waktu yang tersedia bersama teman dan keluarga serta
dukungan yang diterima oleh pasien dari keluarga dan teman.
10. Dorongan dari staf dialisis
Aspek ini termasuk dorongan yang diberikan oleh staf dialisis untuk
mandiri dan beradaptasi terhadap penyakit yang diderita serta rutinitas terapi yang
harus dijalani.
11. Kepuasan pasien
Aspek ini mengukur kepuasan pasien terhadap layanan dialisis yang
pasien dapatkan.

Universitas Sumatera Utara

45

12. Fungsi fisik
Aspek ini mencakup kemampuan untuk beraktifitas seperti berjalan,
menaiki tangga, membungkuk, mengangkat, gerak badan dan kemampuan
aktifitas berat.
13. Keterbatasan akibat masalah fisik
Aspek ini mencakup seberapa besar masalah fisik yang dialami pasien
mengganggu pekerjaan dan aktifitas sehari-hari, seperti memperpendek waktu
untuk bekerja atau beraktifitas, keterbatasan dan kesulitan dalam beraktifitas.
14. Rasa nyeri yang dirasakan
Aspek ini mencakup intensitas rasa nyeri dan pengaruhnya terhadap
aktivitas normal baik didalam maupun di luar rumah.
15. Persepsi kondisi kesehatan secara umum
Aspek ini mencakup pandangan pasien terhadap kondisi kesehatan
sekarang, prediksi di masa yang akan datang, dan daya tahan terhadap penyakit.
16. Kesejahteraan emosional
Aspek ini mencakup kesehatan mental secara umum, depresi, perasaan
frustasi, kecemasan, kebiasaan mengontrol emosi, perasaan tenang dan bahagia.
17. Keterbatasan akibat masalah emosional
Aspek ini mencakup bagaimana masalah emosional mengganggu pasien
dalam beraktifitas sehari hari, seperti lebih tidak teliti dari sebelumnya.
18. Fungsi sosial
Aspek ini mencakup keterbatasan berinteraksi sosial sebagai akibat dari
maslah fisik dan emosional yang dialami.

Universitas Sumatera Utara

46

19. Energi/ Kelelahan
Aspek ini menggambarkan tingkat kelelahan, capek, lesu dan perasaan
penuh semangat yang dialami pasien setiap waktu.
2.4.4

Dampak hemodialisa terhadap kualitas hidup
Klien hemodialisa mempunyai respon fisik dan psikologis terhadap

tindakan hemodialisa. Respon tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya karakteristik individu, pengalaman sebelumnya dan mekanisme
koping.
Kelemahan berhubungan dengan gangguan pada kondisi fisik, termasuk
malnutrisi, anemia, uremia. Kelemahan fisik dapat menurunkan motivasi.
Kelemahan secara signifikan berhubungan dengan timbulnya gejala gangguan
masalah tidur, status kesehatan fisik yang menurun dan depresi yang dapat
mempengaruhi kualitas hidupnya. Seperti telah diuraikan sebelumnya, tindakan
hemodialisa sangat erat hubungannya dengan kualitas hidup pasien, dimana
kualitas hidup meliputi 4 aspek yaitu aspek fisik, psikologis, sosial dan
lingkungan.
Banyak penelitian yang telah dilakukan terkait dengan kualitas hidup klien
hemodialisa diantaranya penelitian yang dilakukan Landreneau at al (2010)
menyimpulkan bahwa kualitas hidup klien yang menjalani transplantasi ginjal
lebih baik dibandingkan dengan klien yang menjalani hemodialisa. Demikian juga
penelitian yang dilakukan oleh Chang, Lee, Kim & Kim (2003) tentang faktor
yang mempengaruhi kemampuan dalam melakukan koping pada pasien yang
menjalani hemodialisa. Hasil penelitian Christos (2012), mengatakan penyebab

Universitas Sumatera Utara

47

stres utama adalah yang berhubungan dengan masalah ekonomi, ketidakmampuan
untuk mendapatkan uang, dan kelemahan.
Dampak psikologis dan spiritual sangat berpengaruh terhadap kualitas
hidup pasien. Hal ini didukung oleh studi yang dilakukan oleh Curtin, 2001; Mc
Cann & Boore (2000), yang menyimpulkan bahwa klien hemodialisa mempunyai
kualitas hidup yang lebih rendah dan menolak strategi koping dibandingkan
dengan pasien yang dilakukan Continous Ambulatory Peritonial Dialysis
(CAPD).
Penelitian kualitatif dilakukan oleh Harwoord, Wilson, Cusolito, Santrop
& Spittal, 2009) menilai stres yang dialami sebelum menjalani hemodialisa. Hasil
penelitian didapatkan tema-tema yaitu fluktuasi mengatasi kekhawatiran, motivasi
untuk mengatasi masalah, dan saling ketergantungan antara pasien dengan
anggota keluarga. Hasil penelitian didapatkan bahwa pasien mengalami reaksi
emosional seperti tidak berdaya, sedih, marah, takut, merasa bersalah.