Fenomena Jidougyakutai (kekerasan pada anak dalam keluarga) di Jepang Chapter III IV
FENOMENA JIDOUGYAKUTAI DI JEPANG
3.1
Perilaku Pelaku dan Proses Terjadinya Jidougyakutai
Prilaku pelaku yang melakukan jidougyakutai dalam hal ini orang tua
dan juga proses terjadinya akan di analisis melalui beberapa contoh kasus yang
terjadi di Jepang. Ada beberapa kriteria tertentu dalam mengambil contoh kasus
jidougyakutai sendiri, yaitu dalam kasus tersebut dilakukan oleh orangtua
kandung dan juga orang tua tiri dimana dilakukan kepada si anak yang berumur
dibawah 17 tahun.
Jidousodanjou, sebagai institusi pemerintah yang menampung
laporan-laporan mengenai kasus-kasus dari jidougyakutai diambil data dari 2005
menerima laporan sebanyak 34.472 laporan kekerasan terhadap anak terjadi
sekitar 60 orang anak meninggal dunia setiap tahunnya dari kasus jidougyakutai
ini (Prideaux,2006:23).
Adapun perilaku pelaku dan proses terjadinya jidougyakutai dapat
dilihat dan dianalisis dari kasus-kasus berikut sesuai kategorinya.
3.1.1
Keotoriteran Ayah Tiri dan juga Ibu Kandung
Contoh kasus ini dilansir dari artikel yang ditulis oleh Sheryl Wuudun
tahun 1999 yang berjudul Japan Admitting, and Fighting, Child Abuse dalam
New York Times (www.nytimes.com).
Data 1
Universitas Sumatera Utara
“what Miho Kakuno hated worse than the beatings was the bathtub
treatment. It took place once or twice a week, even in water. Miho
says that she and her younger brother were placed in the tub, while
their stepfather filled it with cold water and covered them with a
wooden top, leaving only a couple of inches of air for them to breathe.
They could never push off the cover, she said, because there was
something heavy on top. Mr. Kakuno denied all accusations of child
abuse in questioning by the lawyer. Asked about the bathtub treatment,
he told the lawyer that he was teaching his stepdaughter Miho how to
swim, court documents say, and he said he never tortured her.”
Terjemahan:
“Miho Kakuno, seorang gadis kecil mengatakan bahwa dia dan adik
laki-lakinya yang bernama Hiroki, dimasukan kedalam bak air oleh
ayah tirinya, dalam seminggu hal ini berlangsung selama satu sampai
dua kali. Bahkan ketika musim dingin.Miho berkata ayah tirinya
memenuhi bak air tersebut dengan air dingin hingga ke atas, hanya
disisakan beberapa inchi saja dari tutup bak tersebut untuk
bernafas.Mereka tidak dapat mengangkat tutup bak air tersebut karena
terdapat sesuatu yang berat diatasnya.Tuan Kakuno mengatakan dia
membantah melakukan kekerasan kepada anaknya sendiri, dia
melakukan hal ini untuk mengajari mereka bagaimana caranya
berenang.”
Universitas Sumatera Utara
Keotoriteran orang tua terbukti dengan ayah tiri yang mengatakan dia
merendam anak nya di dalam bak air yang diisi dengan air dingin meskipun saat
itu pada musim dingin untuk mengajari anaknya cara bagaimana berenang.
Padahal banyak cara untuk mengajari anak berenang. Bukan dengan cara
merendam anak nya dalam bak air dan hanya menyisakan beberapa inchi saja
untuk si anak bernafas dan juga si anak tidak boleh membuka penutup bak air
tersebut.
Data 2
Masalah ini dimulai semenjak ayah dari Miho dan adiknya meninggal,
dan ibu mereka menikah lagi dengan seorang lelaki bernama Kakuno,
sejak saat itulah banyak kejadian kekerasan yang dialami Miho dan
adiknya, seperti dari keterangan berikut ini:
Mieko, quikly moved to the distant city of nagano from osaka to live
with Kiichiri Kakuno, a small-time shop owner who was tall,
handsome and charming. Mieko’s mother, Misako Ishibashi, objected
to the relationship, partly because Mr.Kakuno was married. But mieko
persisted and eventually married Mr.kakuno, and Ms. Ishibashi
gradually began to wonder what was happening to her grandchildren.
Misako sometimes visited with her children, and Hiroki once came
with a big bruise on his head and what looked like a small burn on his
back. Mieko said that Hiroki had stumbled on the street. When it was
time to climb into the car to return to nagano, he wailed. Then one
day in 1992, Mrs.Ishibashi received a call from Miho’s nursery school
Universitas Sumatera Utara
theacher. Could she please come to Nagano to see what was
happening?
When she arrived, she was shown two large volumes of photographs
that the teachers had taken of her grandchildren, both with bandages,
bruises and cuts all over their bodies. In one picture, Hiroki’s face
was so black and blue that it was swollen like the moon, Mrs.
Ishibashi said.
“we were overwhelmed” she recalled.
Terjemahan:
“masalah dimulai sejak kematian ayah mereka. Ibunya Mieko, segera
pindah dari Nagano ke Osaka untuk tinggal bersama dengan Kiichiro
Kakuno, seorang pemilik toko yang tampan, tinggi, dan memikat
wanita. Ibunya Mieko, Misako Ishibashi, menentang hubungan Mieko
dan Kakuno. Dia juga mengkhawatirkan apa yang akan terjadi pada
cucunya.
Misako terkadang mengunjungi anak dan cucunya.Dia menemukan
luka memar pada bagian kepala dan sesuatu yang terbakar pada
punggung Hiroki. Ibunya mengatakan ia tersandung di jalan. Ketika
Misako ingin kembali pulang ke Nagano, Hiroki meratap ingin ikut
dengan neneknya. Suatu ketika pada tahun 1992, Misako mendapat
telpon dari sekolah hiroki, ia di harapkan datang ke Osaka untuk
melihat apa yang terjadi pada cucunya.
Universitas Sumatera Utara
Ketika Misako sampai di Osaka, dia diperlihatkan foto berukuran
besar yang memperlihatkan banyak perban, luka memar, dan lukaluka sayatan di sekujur tubuhnya.Dalam satu foto, wajah Hiroki lebam
berwarna biru dan hitam.Kemudian Ishibashi berkata. “ini sudah
keterlaluan”
Orang tua Miho dan Hiroki menutupi tindakan kekerasan yang
dilakukan pada anaknya padahal bukti-bukti mengarah pada apa yang telah terjadi
pada Miho dan Hiroki merupakan tindakan yang dilakukan secar fisik.
Penganiayaan dilakuan secara berulang-ulang, hal ini dapat dilihat dari lebam
dikepalanya, luka bakar yang ada di punggungnya, banyak perban ditubuhnya,
serta luka sayatan di sekujur tubuhnya.Kasus Miho dan Hiroki ini sepenuhnya
berdasarkan faktor orang tua dimana orang tua sebagai pelaku.Semenjak ibunya
menikah lagi hubungan antara ibu, ayah tiri, dan anak tidak harmonis lagi,
sehingga jidougyakutai lebih cepat menyusup dalam hubungan orang tua dan anak
yang tidak harmonis ini.
Data 3
Otoriter yang dilakukan dengan tidak memberikan kebebasan kepada
anak dapat dilihat sebagai berikut:
The first time she ran away, with the help of a theacher, school
director and a police official, she was kept for a few days at the local
Child consultation center. But she was returned home when her
mother and stepfather demanded her back.
Universitas Sumatera Utara
Then, after months of silence, a neighbor reported to a child center
that Hiroki had been found one morning wandering near a large train
station in muddy pajamas. Miho secretly had helped her brother
escape.
The child consultation center ultimately protected Hiroki and called a
lawyer who helped Mrs.Ishibashi sue her daughter for custoday. A
year after Hiroki left, Miho escaped. She had spent many hours
plotting. She had been to school, where she told her teachers about
her plan, and then she went to a friend’s house. She prepared clothes
and a small bag and left it with them.
She had once tried to leave by the front door, but had been caught.
This time, she tired the window from her third-floor room. She piled
up furniture in front of the window to climb out. She climbed sideways
on the veranda to get to a hallway window, which she entered to go
down the stairs. She took her in-line skates with her so that she could
make a swift gateway over the hills. As she recalls the whole period of
mistreatment, Miho gets a faraway look in her eyes, and it is clear
that it still haunts her.
“when i first got here, i was a little worried,” she said. “i worried
about whether i can belong here, about whether i can survive here,
and about what i should do if dad or mom and those kinds of people
come here to get me” Miho (12) now lives in location unknown to her
parents.”
Universitas Sumatera Utara
Terjemahan:
“pertama kali Miho dilarikan dari orang tuanya dengan dibantu oleh
guru, kepala sekolah, dan polisi. Miho selama beberapa minggu di
taruh di yougoshisetsusetempat. Namun, ia kembali kerumah ketika
ayah tiri dan ibunya meminta ia kembali ke rumah.
Ketika
ia
mencoba
melarikan
diri
kembali,
jidousoudanjou
menyarankan dia untuk tidak kembali ke rumah lagi. Tapi hal tersebut
tidak bisa dilakukan karena tidak ada hukum yang melarang Miho
jauh dari orangtuanya.
Beberapa bulan kemudian, ada tetangga yang melaporkan pada
jidousoudanjou telah menemukan Hiroki adik Miho di stasiun pada
pagi hari dengan masih mengenakan baju tidur.Ternyata Miho secara
diam- diam ingin membantu adiknya melarikan diri juga.Gurunya
mengetahui rencana Miho lari dari rumah. Dia juga sudah menyiapkan
baju dan tas kecil untuk melarikan diri bersama adiknya. Miho sudah
pernah mencoba kabur sebelumnya melalui pintu depan, tapi
tertangkap oleh ayahnya. Kali ini, dia mencoba untuk keluar dari
jendela kamarnya di lantai tiga dan menaruh tangga di bawah , dan
kali ini berhasil.
“pertama kali saya mendapatkan perlakuan dari ayah dan ibu seperti
itu saya sudah khawatir, saya khawatir bagaimana saya dan adik saya
dapat hidup disini dan apa yang harus saya lakukan apabila ayah dan
Universitas Sumatera Utara
ibu mendapatkan saya kembali dan melakukan hal yang sama kepada
kami.”jelas Miho.
Dan sekarang Miho dan adiknya berada di tempat yang tidak diketahui
oleh kedua orang tua mereka (Sherly, 1999:38).
Dalam kasus diatas tidak ditemukan setiap pelanggaran yang
dilakukan kedua anak tersebut dikenakan hukuman oleh orang tuanya.Tidak
ditemukan pujian atau tanda-tanda yang membenarkan tingkah laku anak apabila
mereka melaksanakan aturan tersebut.Dalam kasus Miho dan adiknya Hiroki,
segala tingkah laku mereka dikekang secara ketat atau kaku dan tidak adanya
kebebasan dalam melakukan sesuatu di luar dari peraturan yang sudah dibuat.Hal
ini dapat dibuktikan dari upaya si anak yang berulang kali mencoba untuk
melarikan diri dari rumah, hanya untuk menghindari perlakuan yang dilakukan
orangtuanya kepada mereka. Namun percobaan melarikan diri mereka selalu
dicari cara orangtuanya agar mereka kembali lagi kerumah. Orang tua mereka
tidak mendorong mereka untuk mengambil suatu keputusan sendiri atas
perbuatannya, tetapi mereka sudah menentukan bagaimana harus berbuat.Dengan
demikin si anak tidak mempunyai kesempatan untuk mengendalikan perbuatanperbuatannya sendiri.
Menurut Toru Aichi, guru besar di Universitas Kyushu mengatakan
bahwa hukum di Jepang sangat melindungi hak pada kepala keluarga untuk
mengurus rumah tangganya sendiri. Meskipun tidak sengaja melakukan tindakan
yang sampai membuat anak meninggal dunia karena terlalu ketat dan disiplin
Universitas Sumatera Utara
dalam mendidik si anak, hal ini tidak dapat di minta pertanggung jawabannya
secara hukum.
Hal ini lah yang semakin menguatkan sang ayah untuk melakukan
jidougyakutai kepada anak.
3.1.2
Keotoriteran Ayah Kandung dan Ibu Tiri
Data 1
Data di bawah ini dikutip dari laporan Mark Simkin, pada tahun 2004
dalam correspondent report (www.abc.net.au/correspondent)
This report from our Tokyo. In the latest case, a couple has been
arrested for allegedly trying to starve a 15 years old to death. The
teenager once weighed 41 kilograms. Now, he weight just 24
kilograms. The reason is simple. For two years, he was locked in the
dark room and only fed every third day. He was regularly kicked, hit,
and burned with cigarettes by his father and stepmother.
The couple have now been arrested. The boy is in a come in hospital
and japan in shock. Not just be commited but that it went undetected
for so long. “the teacher said he wasn’t coming to school because he
was sick. But it was obvious he was being abused” one former
classmate says I a voice that’s been electronically altered to hide his
identity. “ he always had bruises on his stomach” teachers and
students tried to visit the boy at home, but were turned away. The
headmaster eventually contacted a local child guidance centre. It had
Universitas Sumatera Utara
the power to enter the boy’s home. But a counselor apparently though
it unlikely that a 15 year old could be abused and so limited his
investigation to a cursory phone call to the boy’s stepmother. “we
should have taken the school’s warnings more seriously” says an
official from the clinic. “we regret that”
Terjemahan:
“laporan yang didapat oleh Mark Simkin dari Tokyo melaporkan
bahwa sepasang suami-istri ditangkap karena terbukti menganiaya
anaknya yang berusia 15 tahun dengan membuat anaknya kelaparan
hingga meninggal dunia. Berat badanya yang sebelumnya 14 kg
menjadi 24 kg.Sang anak selama 2 tahun ditempatkan di dalam
ruangan yang gelap dan diberi makan setiap tiga hari sekali. Dia
sering sekali ditendang, dipukuli, dan disundut rokok oleh ayah
kandung dan ibu tirinya.
Sepasang suami-istri itu akhirnya ditangkap, dan anaknya koma di
rumah sakit.Hal ini baru ketahuan setelah sekian lama. “salah satu
teman sekelas disekolahnya berkata. “menurut guru, dia tidak bisa
datang karena sakit, tapi ternyata memang sakit karena dianiaya oleh
orangtuanya” lanjutnya “dia juga selalu memiliki luka memar
diperutnya”. Guru dan teman-teman sekolahnya mencoba untuk
berkunjung kerumahnya, tapi dirumahnya selalu tidak ada orang.
Akhirnya kepala sekolah melaporkan hal ini kepada jidousodanjou di
daerah setempat.Sehingga memiliki peluang untuk bisa memasuki
Universitas Sumatera Utara
rumah anak tersebut, namun tidak disangka anak berusia 15 tahun
tersebut telah dianiaya oleh orangtuanya sendiri dan sangat minim
investigasi yang didapat dengan menghubungi ibu tirinya melalui
telepon.Salah satu dari pegawai rumah sakit menyatakan “sekolah
harus mengambil tindakan yang serius terhadap masalah yang dialami
anak ini, dan pihak sekolah setuju dengan pernyataan tersebut.” ”
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh ayah kandung dan ibu tiri
dari kasus di atas termasuk dalam jidougyakutai fisik karena dilakukan
secara sengaja, dan dilakukan secara berulang-ulang. Hal ini dapat terbukti
karena ditemukan bekas luka-luka memar di daerah perutnya, dan berat
badannya yang turun derastis dari 41 kg menjadi 24 kg karena dia hanya
diberi makan tiga kali dalam seminggu, dan sering kali dia ditendang,
dipukuli, dan disundut rokok oleh kedua orang tuanya.
Orangtuanya mencegah agar hal ini tidak diketahui oleh orang lain,
hal ini dibuktikan dengan guru dan teman-teman sekolah korban yang
mencoba mengunjungi anak tersebut ke rumahnya, namun tidak pernah
dijumpai si anak di dalam rumah nya sendiri dan ternyata si anak di taruh di
ruang yang gelap. Anak ini sebaiknya diletakkan di yougoshisetsu karena
dia butuh tempat perlindungan yang aman untuk menjalani hidupnya.
Universitas Sumatera Utara
3.1.3
Keotoriteran oleh Ibu Kandung, Ayah tidak Terlibat
Kasus ini didapat dari tulisan Iikubo Tsutae yang juga meneliti
kekerasan terhadap anak di Jepang.
Data 1
The writer dealt several years ago with a case at the family court in
which a 19 year old mother killed her three and a half year old
daughter. She threw the daughter down and he child’s head hit the
corner of the kotatsu (japanese heater) which resulted in brain
damage and death. The mother had tried to force her daughter to lern
and read Japanese characters even though she was not at the stage
where she could learn such things. The mother herself had finished
only nine years of compulsory education and she had worked very
hard in a small and then became a kind of porstitute at a massage
parlor. She had a yakuza (Japanese gangster) husband who was the
child’s father and he treated her very hardly. Later she separated
from the man and married her present husband who is taxi driver an
a very quiet, kind man. She became very happy as a housewife but she
wanted her daughter to read well and to receive a good education.
She used phisical punishment such a pouring cold water on the child’s
head in the winter or burning her skin using okyu (moxibustion) when
the child bean to dislike reading or learning.
Universitas Sumatera Utara
Terjemahan:
“seorang ibu muda berusia 19 tahun mendorong anak perempuannya
yang
berusia
tiga
setengah
tahun
hingga
terbentur
dengan
kotatsu( meja yang didalam nya terdapat pemanas saat musim dingin)
dan berakibat geger otak hingga akhirnya meninggal dunia.
Sebelumnya si ibu menikah dengan seorang yakuza, tapi suaminya
memperlakukan nya dengan kasar, hingga mereka bercerai.Kemudian
dia menikah lagi dengan seorang supir taksi yang ramah dan pendiam,
dan dia sangat bahagia memiliki suami yang baru itu.Sang ibu sangat
menikmati kehidupannya sebagai seorang ibu rumah tangga dan
menginginkan anaknya sudah pintar sejak dini, dia menginginkan
anaknya sudah dapat membaca dengan lancar dan mendapatkan
pendidikan yang terbaik. Sang ibu memberikan hukuman fisk
menceburkan kepala anaknya kedalam air dingin pada musim dingin,
atau menyundutkan okyu ke kulitnya ketika sang anak sudah tidak
mau belajar atau membaca” (Iikubo Tsutae,1985:344-345).
Tindakan yang dilakukan sang ibu merupakan bentuk kekerasan fisik,
ditandai dengan hukuman-hukuman yang diberikan kepada si anak karena tidak
mau membaca dan belajar dengan dicelupkan kepala si anak ke dalam air dingin
pada musim dingin ataupun disundut dengan rokok, dan yang paling parah adalah
mendorong si anak hingga terbentur kotatsu yang berujung pada kematian
terhadap anak itu.
Universitas Sumatera Utara
Pola sosialisasi yang dilakukan si ibu di atas merupakan tindakan
otoriter, hal ini terlihat karena si anak diminta menuruti keinginan ibunya untuk
bisa membaca dengan lancar, padahal anak tersebut masih berusia tiga setengah
tahun.Dalam hal ini pengasuhan si anak sepenuhnya dipegang oleh ibu karena
ayahnya bekerja sebagai supir taksi. Selain itu, si ibu tergolong masih muda, dari
segi usia belum matang dalam menghadapi anak dan tidak mengetahui kebutuhan
si anak. Keotoriteran ibunya yang menginginkan anaknya pintar cenderung
negatif karena terlalu memaksakan anaknya sehingga berujung kematian anak
tersebut.
3.1.4
Keotoriteran oleh Ayah Kandung, Ibu tidak Terlibat
Kasus dibawah ini merupakan kekerasan yang dilakukan ayah
kandung (Richardson, 2008:68).
Data 1
A boy aged 1 year and 6 month was punched by his father because he
had consumed snacksand juice without permission. His mother found
him dead in bed the following morning. The father did not callthe
ambulance or the police, and to delay putrefaction, he placed a pile of
ice on each side of the victim. One and a half months later, the father
commited suiced by hanging.
Universitas Sumatera Utara
Terjemahan:
“seorang laki-laki berusia 1 tahun 6 bulan di pukuli dengan keras oleh
ayah kandungnya karena sang anak memakan cemilan dan jus tanpa
izin dari sang ayah. Ibunya menemukan anaknya telah meninggal
ditempat tidur. Ayah nya tidak menelpon ambulans ataupun polisi,
dan membiarkan mayatnya membusuk begitu saja. Dia menaruh es
disekitar mayat anaknya.Satu setengah bulan kemudian ayah nya
melakukan bunuh diri dengan menggantung diri dengan tali.”
Kasus di atas memperlihatkan otoriter sang ayah dalam mendidik
anaknya. Hanya karena masalah anaknya memakan cemilan dan jus tanpa izin
dari sang ayah, anaknya di pukuli hingga berujung pada kematian. Ayahnya salah
menerapkan disiplin pada anaknya dengan cara memukulinya dengan keras tanpa
menyadari sang anak tidak mampu menahan sakit karena dipukuli terus menerus
oleh sang ayah.
Tidak seluruhnya tipe orang tua di Jepang bersifat otoriter, karena
tidak diketahui secara pasti berapa persentase orang tua di Jepang yang melakukan
pola sosialisasi yang otoriter, yang demokratis karena hal itu merupakan bagian
dari privasi keluarga.
Kasus-kasus tindak jidougyakutai di atas hanya sebagian kecil saja
dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya sendiri.
Beberapa dari kasus jidougyakutai cenderung terselubung karena hanya diketahui
oleh sang anak sendiri dan juga keluarganya saja.
Universitas Sumatera Utara
Dalam beberapa kasus jidougyakutaiyang ditemukan, pola sosialisasi
otoriter yang dilakukan orangtua terhadap anaknya sehingga banyak terjadi kasus
kekerasan secara fisik seperti pemukulan, serta hukuman lainnya terhadap anak
dengan maksud mendidiknya secara disiplin. Tindakan disiplin yang merupakan
hukuman-hukuman fisik yang cenderung negatif merupakan bagian dari
kasusjidougyakutai.
3.2
Peran Jidousodanjou dalam Penanggulangan Jidougyakutaidi
Jepang
Jidousodanjou sendiri
merupakan
lembaga
satu-satunya
yang
menangani kesejahteraan masyarakat yang memiliki kekuatan yang legal oleh
hukum negara untuk mengambil anak yang mengalami kekerasan di dalam
rumahnya yang nanti akan di tempatkan di yougoshisetsu sebagai yang
melindungi anak-anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya. Jidousodanjou dapat
membawa orangtua dari anak yang mengalami kekerasan untuk di proses di
pengadilan bila kekerasan itu murni dilakukan oleh orangtua.Tapi hanya sedikit
jidoushodanjou yang menanggapi kekerasan terhadap anak sebagai masalah yang
serius (Meiko, 1998:148).
Banyak kasus-kasus penganiayaan yang diangkat oleh media, tetapi
banyak juga yang tidak diketahui karena terkadang tindak penganiayaan terjadi di
dalam rumah tangga (jidougyakutai), dalam hal ini hanya ibu/ayah dan anak yang
mengetahui.Ketakutan dan kekhawatiran atas tidaknya sendiri, sebagian kecil
dibicaran di jidoushoudanjou atau pusat konsultasi yang ada pada setiap daerah di
Universitas Sumatera Utara
Jepang.Pada umumnya, boshiryou sebagai tempat konsultasi para ibu, ada yang
datang langsung berkonsultasi, tetapi banyak juga yang melakukan konsultasi
melalui telpon dan tidak menyebutkan namanya.Mereka merasa tidak menjadi ibu
yang baik dan menyalahkan dirinya sendiri, karena hal itulah mereka tidak
menginginkan diketahui identitasnya. Kebanyakan para ibu yang berkonsultasi
masih muda, berusia 20 s/d 30an tahun, tinggal di apartemen, golongan menengah,
keluarganya terlihat bahagia dan tipe ibu rumah tangga.
Kasus-kasus jidougyakutai sendiri yang dapat diangkat kepermukaan
banyak mendapat kritikan dari masyarakat.Masyarakat mengkritik orangtua
tersebut sudah hilang nalurinya sebagai orangtua dan mereka terlihat gagal
sebagai orang tua karena melakukan itu. Para orangtua tidak menyadari cara
mendidik anak untuk berdisiplin yang cenderung negatif merupakan salah satu
bagian dari penganiayaan pada anak.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
1. Kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya merupakan
sebuah gambaran akan ketidak sanggupan orang tua tersebut dalam
mengasuh ataupun mengerti akan apa yang di butuhkan anak sesuai
dengan umur dan kondisi anak tersebut. Dapat dilihat dari banyaknya
kasus kekerasan kepada anak yang terjadi di Jepang. Hal inilah yang
sekarang menjadi momok yang sangat meresahkan di Jepang.
2. Banyak yang mengatakan kekerasan terhadap anak (Jidougyakutai)
terjadi
akibat
perubahan
sisitem
kekeluargaan,
dimana
sistem
kekeluargaan yang berubah dari sistem 家 “ie” menuju ke sisitem 核家族
“kakukazoku” ini menyebabkan berkurangannya otoritas ayah dalam
kluarga yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak yang
sering di lakukan orang tua untuk melampiaskan kekesalan ataupun
stresnya. Keluarga inti dalam masyarakat perkotaan di Jepang banyak
menghabiskan waktunya diluar rumah karena kesibukan kerja, sehingga
dalam hal pengasuhan anak di pegang sepenuhnya oleh ibu. Hal ini lah
menjadi salah satu penyebab munculnya Jidougyakutai di Jepang.
3. Jidougyakutai menjadi masalah yang sangat serius di dalam masyarakat
dan juga pemerintah Jepang. Jumlah kasus Jidougyakutai di Jepang
meningkat signifikan dari tahun lalu. Menurut data Kementerian
Universitas Sumatera Utara
Kesehatan, Buruh dan Kesejahteraan Jepang jumlah kasus pada 2011
menjadi 59.862. Jumlah ini naik 3.478 kasus dari tahun 2010.Bahkan
data ini menunjukkan 84,3 persen anak yang tewas akibat penyiksaan
pada 2010 merupakan batita alias anak di bawah tiga tahun. Sebuah rekor
baru di negeri Sakura itu. Pada tahun itu, sebanyak 51 anak tewas,
termasuk 23 bayi kurang dari setahun dan 43 batita. Yang mengerikan,
dari data ini menunjukkan separuh dari pelaku penyiksaan merupakan ibu
kandung para anak.
4. Kata Jidougyakutai terdiri dari kata 児童“jidou” dan 虐待 “gyakutai”.
Jidoumemiliki arti anak, remaja, atau anak-anak. Sedangkan gyakutai
memiliki arti perlakuan kejam, penindasan, pelecehan, atau kelakuan
tidak wajar. Dalam arti sempit 児 童 虐 待 “Jidougyakutai” adalah
pelecehan anak atau kekerasan pada anak. Secara terminologi sosial
Jidougyakutaiadalah penganiayaan atau tindak kekerasan yang dilakukan
pada anak-anak (yulia, 2001:10).Pengertian lain dari jidougyakutai yaitu
Pada umumnya merupakan kekerasan yang terjadi di dalam rumah
tangga. Dimana istilah ini digunakan untuk memberikan istilah kekerasan
yang merujuk kepada kekerasan orang tua terhadap anak yang
didalamnya terkandung makna kekerasan dilakukan oleh orang yang kuat
atau berkuasa dalam rumah tangga dalam hal ini orang. Jidougyakutai ini
juga bermacam-macam bentuknya bisa berupa kekersan berbentuk fisik
ataupun penghancuran terhadap barang-barang bahkan juga bisa dalam
bentuk pengucapan kata-kata yang kasar yang diucapkan kepada anak
yang seharusnya kata-kata itu tidak diucapkan kepada anak. Di berbagai
Universitas Sumatera Utara
kasus tertentu bentuk kekerasan jidougyakutai ini sangat sadis dimana si
anak bisa saja mendapatkan luka fisik atau pun luka dalam hal psikologis
yang sangat parah yang bisa mempengaruhi tumbuh kembangnya.
Adakalanya kasus jidougyakutai ini berlangsung dalam jangka waktu
yang sangat lama.
5. Bentuk-bentuk yang dinyatakan tindakan Jidougyakutai yang dikutip dari
Departemen Sosial Jepang (Asahi Shimbun,1999) adalah Penganiayaan
Fisik (gutaiteki gyakutai 具体的虐待), Pengabaian (gutaitekikyohi 具体
的 拒 否 ), Penganiayaan Seksual (seiteki gyakutai 性 的 虐 待 ), dan
Penganiayaan secara psikologi (shinriteki gyakutai 心理的虐待). Selain
dari jenis-jenis jidougyakutai diatas terdapat juga
faktor yang
mempengaruhi terjadinya jidougyakutai di atas yaitu karena faktor
orangtua, faktor anak, dan juga faktor keluarga. Dimana hal-hal tersebut
saling berkesinambungan dalam munculnya fenomena jidougyakutai di
Jepang.
6. Banyak sekali hal yang mempengaruhi mempengaruhi perilaku orangtua
dalam melakukan kekerasan terhadap anaknya sendiri, dimana perilaku
tersebut lebih memusat pada perilaku otoriter orangtua dalam keluarga
dimana mereka mengajarkan disiplin kepada anak dengan cara
memberikan hukuman-hukuman fisik mengarah kepada hukuman
bersifat negatif kepada anak dimana hal ini lah yang tidak di sadari orang
tua bahwa hal itu bagian dari jidougyakutai. Orangtua banyak
menganggap prilaku mereka dalam membentuk anak yang disiplin itu
negatif, karena dari data kasus di Jepang banyak sekali hukuman-
Universitas Sumatera Utara
hukuman yang diberikan orangtua tersebut tidak sesuai dengan
kemampuan si anak sehingga membuat anak menderita bahkan sampai
menghilangkan nyawa si anak .Tidak seluruhnya tipe orang tua di jepang
bersifat otoriter, karena tidak diketahui secara pasti berapa persentase
orang tua di Jepang yang melakukan pola sosialisasi yang otoriter, yang
demokratis karena hal itu merupakan bagian dari privasi keluarga.
7. Jidousodanjou sendiri merupakan lembaga satu-satunya yang menangani
kesejahteraan masyarakat yang memiliki kekuatan yang legal oleh
hukum negara untuk mengambil anak yang mengalami kekerasan di
dalam rumahnya yang nanti akan di tempatkan di yougoshisetsu sebagai
yang melindungi anak-anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya. Dan
jidousodanjou dapat membawa orangtua dari anak yang mengalami
kekerasan untuk di proses di pengadilan bila kekerasan itu murni
dilakukan oeh orang tua. Tapi hanya sedikit jidoushodanjou yang
menanggapi kekerasan terhadap anak sebagai masalah yang serius.
4.2
Saran
Jidougyakutai
sendiri telah
menjadi
satu
masalah
besar
di
Jepang.Dimana jidougyakutai mengalami peningkatan setiap tahunnya.Masalah
ini kemudian mulai banyak diperbincangkan dan dijadikan sebagai hal yang harus
di tanggulangi segera di Jepang.Penanggulangan jidougyakutai harus terus selalu
di tingkatkan dari tahun ke tahunnya dimana hal ini dapat mengurangi penderitaan
anak-anak yang menjadi korban jidougyakutai dan juga meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan masyarakat di Jepang sendiri. Dengan adanya lembaga yang
menangani masalah jidougyakutai yaitu jidoushodanjou , maka di harapkan
tingkat jidougyakutai dapat menurun seiring dengan berjalannya waktu.
Universitas Sumatera Utara
3.1
Perilaku Pelaku dan Proses Terjadinya Jidougyakutai
Prilaku pelaku yang melakukan jidougyakutai dalam hal ini orang tua
dan juga proses terjadinya akan di analisis melalui beberapa contoh kasus yang
terjadi di Jepang. Ada beberapa kriteria tertentu dalam mengambil contoh kasus
jidougyakutai sendiri, yaitu dalam kasus tersebut dilakukan oleh orangtua
kandung dan juga orang tua tiri dimana dilakukan kepada si anak yang berumur
dibawah 17 tahun.
Jidousodanjou, sebagai institusi pemerintah yang menampung
laporan-laporan mengenai kasus-kasus dari jidougyakutai diambil data dari 2005
menerima laporan sebanyak 34.472 laporan kekerasan terhadap anak terjadi
sekitar 60 orang anak meninggal dunia setiap tahunnya dari kasus jidougyakutai
ini (Prideaux,2006:23).
Adapun perilaku pelaku dan proses terjadinya jidougyakutai dapat
dilihat dan dianalisis dari kasus-kasus berikut sesuai kategorinya.
3.1.1
Keotoriteran Ayah Tiri dan juga Ibu Kandung
Contoh kasus ini dilansir dari artikel yang ditulis oleh Sheryl Wuudun
tahun 1999 yang berjudul Japan Admitting, and Fighting, Child Abuse dalam
New York Times (www.nytimes.com).
Data 1
Universitas Sumatera Utara
“what Miho Kakuno hated worse than the beatings was the bathtub
treatment. It took place once or twice a week, even in water. Miho
says that she and her younger brother were placed in the tub, while
their stepfather filled it with cold water and covered them with a
wooden top, leaving only a couple of inches of air for them to breathe.
They could never push off the cover, she said, because there was
something heavy on top. Mr. Kakuno denied all accusations of child
abuse in questioning by the lawyer. Asked about the bathtub treatment,
he told the lawyer that he was teaching his stepdaughter Miho how to
swim, court documents say, and he said he never tortured her.”
Terjemahan:
“Miho Kakuno, seorang gadis kecil mengatakan bahwa dia dan adik
laki-lakinya yang bernama Hiroki, dimasukan kedalam bak air oleh
ayah tirinya, dalam seminggu hal ini berlangsung selama satu sampai
dua kali. Bahkan ketika musim dingin.Miho berkata ayah tirinya
memenuhi bak air tersebut dengan air dingin hingga ke atas, hanya
disisakan beberapa inchi saja dari tutup bak tersebut untuk
bernafas.Mereka tidak dapat mengangkat tutup bak air tersebut karena
terdapat sesuatu yang berat diatasnya.Tuan Kakuno mengatakan dia
membantah melakukan kekerasan kepada anaknya sendiri, dia
melakukan hal ini untuk mengajari mereka bagaimana caranya
berenang.”
Universitas Sumatera Utara
Keotoriteran orang tua terbukti dengan ayah tiri yang mengatakan dia
merendam anak nya di dalam bak air yang diisi dengan air dingin meskipun saat
itu pada musim dingin untuk mengajari anaknya cara bagaimana berenang.
Padahal banyak cara untuk mengajari anak berenang. Bukan dengan cara
merendam anak nya dalam bak air dan hanya menyisakan beberapa inchi saja
untuk si anak bernafas dan juga si anak tidak boleh membuka penutup bak air
tersebut.
Data 2
Masalah ini dimulai semenjak ayah dari Miho dan adiknya meninggal,
dan ibu mereka menikah lagi dengan seorang lelaki bernama Kakuno,
sejak saat itulah banyak kejadian kekerasan yang dialami Miho dan
adiknya, seperti dari keterangan berikut ini:
Mieko, quikly moved to the distant city of nagano from osaka to live
with Kiichiri Kakuno, a small-time shop owner who was tall,
handsome and charming. Mieko’s mother, Misako Ishibashi, objected
to the relationship, partly because Mr.Kakuno was married. But mieko
persisted and eventually married Mr.kakuno, and Ms. Ishibashi
gradually began to wonder what was happening to her grandchildren.
Misako sometimes visited with her children, and Hiroki once came
with a big bruise on his head and what looked like a small burn on his
back. Mieko said that Hiroki had stumbled on the street. When it was
time to climb into the car to return to nagano, he wailed. Then one
day in 1992, Mrs.Ishibashi received a call from Miho’s nursery school
Universitas Sumatera Utara
theacher. Could she please come to Nagano to see what was
happening?
When she arrived, she was shown two large volumes of photographs
that the teachers had taken of her grandchildren, both with bandages,
bruises and cuts all over their bodies. In one picture, Hiroki’s face
was so black and blue that it was swollen like the moon, Mrs.
Ishibashi said.
“we were overwhelmed” she recalled.
Terjemahan:
“masalah dimulai sejak kematian ayah mereka. Ibunya Mieko, segera
pindah dari Nagano ke Osaka untuk tinggal bersama dengan Kiichiro
Kakuno, seorang pemilik toko yang tampan, tinggi, dan memikat
wanita. Ibunya Mieko, Misako Ishibashi, menentang hubungan Mieko
dan Kakuno. Dia juga mengkhawatirkan apa yang akan terjadi pada
cucunya.
Misako terkadang mengunjungi anak dan cucunya.Dia menemukan
luka memar pada bagian kepala dan sesuatu yang terbakar pada
punggung Hiroki. Ibunya mengatakan ia tersandung di jalan. Ketika
Misako ingin kembali pulang ke Nagano, Hiroki meratap ingin ikut
dengan neneknya. Suatu ketika pada tahun 1992, Misako mendapat
telpon dari sekolah hiroki, ia di harapkan datang ke Osaka untuk
melihat apa yang terjadi pada cucunya.
Universitas Sumatera Utara
Ketika Misako sampai di Osaka, dia diperlihatkan foto berukuran
besar yang memperlihatkan banyak perban, luka memar, dan lukaluka sayatan di sekujur tubuhnya.Dalam satu foto, wajah Hiroki lebam
berwarna biru dan hitam.Kemudian Ishibashi berkata. “ini sudah
keterlaluan”
Orang tua Miho dan Hiroki menutupi tindakan kekerasan yang
dilakukan pada anaknya padahal bukti-bukti mengarah pada apa yang telah terjadi
pada Miho dan Hiroki merupakan tindakan yang dilakukan secar fisik.
Penganiayaan dilakuan secara berulang-ulang, hal ini dapat dilihat dari lebam
dikepalanya, luka bakar yang ada di punggungnya, banyak perban ditubuhnya,
serta luka sayatan di sekujur tubuhnya.Kasus Miho dan Hiroki ini sepenuhnya
berdasarkan faktor orang tua dimana orang tua sebagai pelaku.Semenjak ibunya
menikah lagi hubungan antara ibu, ayah tiri, dan anak tidak harmonis lagi,
sehingga jidougyakutai lebih cepat menyusup dalam hubungan orang tua dan anak
yang tidak harmonis ini.
Data 3
Otoriter yang dilakukan dengan tidak memberikan kebebasan kepada
anak dapat dilihat sebagai berikut:
The first time she ran away, with the help of a theacher, school
director and a police official, she was kept for a few days at the local
Child consultation center. But she was returned home when her
mother and stepfather demanded her back.
Universitas Sumatera Utara
Then, after months of silence, a neighbor reported to a child center
that Hiroki had been found one morning wandering near a large train
station in muddy pajamas. Miho secretly had helped her brother
escape.
The child consultation center ultimately protected Hiroki and called a
lawyer who helped Mrs.Ishibashi sue her daughter for custoday. A
year after Hiroki left, Miho escaped. She had spent many hours
plotting. She had been to school, where she told her teachers about
her plan, and then she went to a friend’s house. She prepared clothes
and a small bag and left it with them.
She had once tried to leave by the front door, but had been caught.
This time, she tired the window from her third-floor room. She piled
up furniture in front of the window to climb out. She climbed sideways
on the veranda to get to a hallway window, which she entered to go
down the stairs. She took her in-line skates with her so that she could
make a swift gateway over the hills. As she recalls the whole period of
mistreatment, Miho gets a faraway look in her eyes, and it is clear
that it still haunts her.
“when i first got here, i was a little worried,” she said. “i worried
about whether i can belong here, about whether i can survive here,
and about what i should do if dad or mom and those kinds of people
come here to get me” Miho (12) now lives in location unknown to her
parents.”
Universitas Sumatera Utara
Terjemahan:
“pertama kali Miho dilarikan dari orang tuanya dengan dibantu oleh
guru, kepala sekolah, dan polisi. Miho selama beberapa minggu di
taruh di yougoshisetsusetempat. Namun, ia kembali kerumah ketika
ayah tiri dan ibunya meminta ia kembali ke rumah.
Ketika
ia
mencoba
melarikan
diri
kembali,
jidousoudanjou
menyarankan dia untuk tidak kembali ke rumah lagi. Tapi hal tersebut
tidak bisa dilakukan karena tidak ada hukum yang melarang Miho
jauh dari orangtuanya.
Beberapa bulan kemudian, ada tetangga yang melaporkan pada
jidousoudanjou telah menemukan Hiroki adik Miho di stasiun pada
pagi hari dengan masih mengenakan baju tidur.Ternyata Miho secara
diam- diam ingin membantu adiknya melarikan diri juga.Gurunya
mengetahui rencana Miho lari dari rumah. Dia juga sudah menyiapkan
baju dan tas kecil untuk melarikan diri bersama adiknya. Miho sudah
pernah mencoba kabur sebelumnya melalui pintu depan, tapi
tertangkap oleh ayahnya. Kali ini, dia mencoba untuk keluar dari
jendela kamarnya di lantai tiga dan menaruh tangga di bawah , dan
kali ini berhasil.
“pertama kali saya mendapatkan perlakuan dari ayah dan ibu seperti
itu saya sudah khawatir, saya khawatir bagaimana saya dan adik saya
dapat hidup disini dan apa yang harus saya lakukan apabila ayah dan
Universitas Sumatera Utara
ibu mendapatkan saya kembali dan melakukan hal yang sama kepada
kami.”jelas Miho.
Dan sekarang Miho dan adiknya berada di tempat yang tidak diketahui
oleh kedua orang tua mereka (Sherly, 1999:38).
Dalam kasus diatas tidak ditemukan setiap pelanggaran yang
dilakukan kedua anak tersebut dikenakan hukuman oleh orang tuanya.Tidak
ditemukan pujian atau tanda-tanda yang membenarkan tingkah laku anak apabila
mereka melaksanakan aturan tersebut.Dalam kasus Miho dan adiknya Hiroki,
segala tingkah laku mereka dikekang secara ketat atau kaku dan tidak adanya
kebebasan dalam melakukan sesuatu di luar dari peraturan yang sudah dibuat.Hal
ini dapat dibuktikan dari upaya si anak yang berulang kali mencoba untuk
melarikan diri dari rumah, hanya untuk menghindari perlakuan yang dilakukan
orangtuanya kepada mereka. Namun percobaan melarikan diri mereka selalu
dicari cara orangtuanya agar mereka kembali lagi kerumah. Orang tua mereka
tidak mendorong mereka untuk mengambil suatu keputusan sendiri atas
perbuatannya, tetapi mereka sudah menentukan bagaimana harus berbuat.Dengan
demikin si anak tidak mempunyai kesempatan untuk mengendalikan perbuatanperbuatannya sendiri.
Menurut Toru Aichi, guru besar di Universitas Kyushu mengatakan
bahwa hukum di Jepang sangat melindungi hak pada kepala keluarga untuk
mengurus rumah tangganya sendiri. Meskipun tidak sengaja melakukan tindakan
yang sampai membuat anak meninggal dunia karena terlalu ketat dan disiplin
Universitas Sumatera Utara
dalam mendidik si anak, hal ini tidak dapat di minta pertanggung jawabannya
secara hukum.
Hal ini lah yang semakin menguatkan sang ayah untuk melakukan
jidougyakutai kepada anak.
3.1.2
Keotoriteran Ayah Kandung dan Ibu Tiri
Data 1
Data di bawah ini dikutip dari laporan Mark Simkin, pada tahun 2004
dalam correspondent report (www.abc.net.au/correspondent)
This report from our Tokyo. In the latest case, a couple has been
arrested for allegedly trying to starve a 15 years old to death. The
teenager once weighed 41 kilograms. Now, he weight just 24
kilograms. The reason is simple. For two years, he was locked in the
dark room and only fed every third day. He was regularly kicked, hit,
and burned with cigarettes by his father and stepmother.
The couple have now been arrested. The boy is in a come in hospital
and japan in shock. Not just be commited but that it went undetected
for so long. “the teacher said he wasn’t coming to school because he
was sick. But it was obvious he was being abused” one former
classmate says I a voice that’s been electronically altered to hide his
identity. “ he always had bruises on his stomach” teachers and
students tried to visit the boy at home, but were turned away. The
headmaster eventually contacted a local child guidance centre. It had
Universitas Sumatera Utara
the power to enter the boy’s home. But a counselor apparently though
it unlikely that a 15 year old could be abused and so limited his
investigation to a cursory phone call to the boy’s stepmother. “we
should have taken the school’s warnings more seriously” says an
official from the clinic. “we regret that”
Terjemahan:
“laporan yang didapat oleh Mark Simkin dari Tokyo melaporkan
bahwa sepasang suami-istri ditangkap karena terbukti menganiaya
anaknya yang berusia 15 tahun dengan membuat anaknya kelaparan
hingga meninggal dunia. Berat badanya yang sebelumnya 14 kg
menjadi 24 kg.Sang anak selama 2 tahun ditempatkan di dalam
ruangan yang gelap dan diberi makan setiap tiga hari sekali. Dia
sering sekali ditendang, dipukuli, dan disundut rokok oleh ayah
kandung dan ibu tirinya.
Sepasang suami-istri itu akhirnya ditangkap, dan anaknya koma di
rumah sakit.Hal ini baru ketahuan setelah sekian lama. “salah satu
teman sekelas disekolahnya berkata. “menurut guru, dia tidak bisa
datang karena sakit, tapi ternyata memang sakit karena dianiaya oleh
orangtuanya” lanjutnya “dia juga selalu memiliki luka memar
diperutnya”. Guru dan teman-teman sekolahnya mencoba untuk
berkunjung kerumahnya, tapi dirumahnya selalu tidak ada orang.
Akhirnya kepala sekolah melaporkan hal ini kepada jidousodanjou di
daerah setempat.Sehingga memiliki peluang untuk bisa memasuki
Universitas Sumatera Utara
rumah anak tersebut, namun tidak disangka anak berusia 15 tahun
tersebut telah dianiaya oleh orangtuanya sendiri dan sangat minim
investigasi yang didapat dengan menghubungi ibu tirinya melalui
telepon.Salah satu dari pegawai rumah sakit menyatakan “sekolah
harus mengambil tindakan yang serius terhadap masalah yang dialami
anak ini, dan pihak sekolah setuju dengan pernyataan tersebut.” ”
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh ayah kandung dan ibu tiri
dari kasus di atas termasuk dalam jidougyakutai fisik karena dilakukan
secara sengaja, dan dilakukan secara berulang-ulang. Hal ini dapat terbukti
karena ditemukan bekas luka-luka memar di daerah perutnya, dan berat
badannya yang turun derastis dari 41 kg menjadi 24 kg karena dia hanya
diberi makan tiga kali dalam seminggu, dan sering kali dia ditendang,
dipukuli, dan disundut rokok oleh kedua orang tuanya.
Orangtuanya mencegah agar hal ini tidak diketahui oleh orang lain,
hal ini dibuktikan dengan guru dan teman-teman sekolah korban yang
mencoba mengunjungi anak tersebut ke rumahnya, namun tidak pernah
dijumpai si anak di dalam rumah nya sendiri dan ternyata si anak di taruh di
ruang yang gelap. Anak ini sebaiknya diletakkan di yougoshisetsu karena
dia butuh tempat perlindungan yang aman untuk menjalani hidupnya.
Universitas Sumatera Utara
3.1.3
Keotoriteran oleh Ibu Kandung, Ayah tidak Terlibat
Kasus ini didapat dari tulisan Iikubo Tsutae yang juga meneliti
kekerasan terhadap anak di Jepang.
Data 1
The writer dealt several years ago with a case at the family court in
which a 19 year old mother killed her three and a half year old
daughter. She threw the daughter down and he child’s head hit the
corner of the kotatsu (japanese heater) which resulted in brain
damage and death. The mother had tried to force her daughter to lern
and read Japanese characters even though she was not at the stage
where she could learn such things. The mother herself had finished
only nine years of compulsory education and she had worked very
hard in a small and then became a kind of porstitute at a massage
parlor. She had a yakuza (Japanese gangster) husband who was the
child’s father and he treated her very hardly. Later she separated
from the man and married her present husband who is taxi driver an
a very quiet, kind man. She became very happy as a housewife but she
wanted her daughter to read well and to receive a good education.
She used phisical punishment such a pouring cold water on the child’s
head in the winter or burning her skin using okyu (moxibustion) when
the child bean to dislike reading or learning.
Universitas Sumatera Utara
Terjemahan:
“seorang ibu muda berusia 19 tahun mendorong anak perempuannya
yang
berusia
tiga
setengah
tahun
hingga
terbentur
dengan
kotatsu( meja yang didalam nya terdapat pemanas saat musim dingin)
dan berakibat geger otak hingga akhirnya meninggal dunia.
Sebelumnya si ibu menikah dengan seorang yakuza, tapi suaminya
memperlakukan nya dengan kasar, hingga mereka bercerai.Kemudian
dia menikah lagi dengan seorang supir taksi yang ramah dan pendiam,
dan dia sangat bahagia memiliki suami yang baru itu.Sang ibu sangat
menikmati kehidupannya sebagai seorang ibu rumah tangga dan
menginginkan anaknya sudah pintar sejak dini, dia menginginkan
anaknya sudah dapat membaca dengan lancar dan mendapatkan
pendidikan yang terbaik. Sang ibu memberikan hukuman fisk
menceburkan kepala anaknya kedalam air dingin pada musim dingin,
atau menyundutkan okyu ke kulitnya ketika sang anak sudah tidak
mau belajar atau membaca” (Iikubo Tsutae,1985:344-345).
Tindakan yang dilakukan sang ibu merupakan bentuk kekerasan fisik,
ditandai dengan hukuman-hukuman yang diberikan kepada si anak karena tidak
mau membaca dan belajar dengan dicelupkan kepala si anak ke dalam air dingin
pada musim dingin ataupun disundut dengan rokok, dan yang paling parah adalah
mendorong si anak hingga terbentur kotatsu yang berujung pada kematian
terhadap anak itu.
Universitas Sumatera Utara
Pola sosialisasi yang dilakukan si ibu di atas merupakan tindakan
otoriter, hal ini terlihat karena si anak diminta menuruti keinginan ibunya untuk
bisa membaca dengan lancar, padahal anak tersebut masih berusia tiga setengah
tahun.Dalam hal ini pengasuhan si anak sepenuhnya dipegang oleh ibu karena
ayahnya bekerja sebagai supir taksi. Selain itu, si ibu tergolong masih muda, dari
segi usia belum matang dalam menghadapi anak dan tidak mengetahui kebutuhan
si anak. Keotoriteran ibunya yang menginginkan anaknya pintar cenderung
negatif karena terlalu memaksakan anaknya sehingga berujung kematian anak
tersebut.
3.1.4
Keotoriteran oleh Ayah Kandung, Ibu tidak Terlibat
Kasus dibawah ini merupakan kekerasan yang dilakukan ayah
kandung (Richardson, 2008:68).
Data 1
A boy aged 1 year and 6 month was punched by his father because he
had consumed snacksand juice without permission. His mother found
him dead in bed the following morning. The father did not callthe
ambulance or the police, and to delay putrefaction, he placed a pile of
ice on each side of the victim. One and a half months later, the father
commited suiced by hanging.
Universitas Sumatera Utara
Terjemahan:
“seorang laki-laki berusia 1 tahun 6 bulan di pukuli dengan keras oleh
ayah kandungnya karena sang anak memakan cemilan dan jus tanpa
izin dari sang ayah. Ibunya menemukan anaknya telah meninggal
ditempat tidur. Ayah nya tidak menelpon ambulans ataupun polisi,
dan membiarkan mayatnya membusuk begitu saja. Dia menaruh es
disekitar mayat anaknya.Satu setengah bulan kemudian ayah nya
melakukan bunuh diri dengan menggantung diri dengan tali.”
Kasus di atas memperlihatkan otoriter sang ayah dalam mendidik
anaknya. Hanya karena masalah anaknya memakan cemilan dan jus tanpa izin
dari sang ayah, anaknya di pukuli hingga berujung pada kematian. Ayahnya salah
menerapkan disiplin pada anaknya dengan cara memukulinya dengan keras tanpa
menyadari sang anak tidak mampu menahan sakit karena dipukuli terus menerus
oleh sang ayah.
Tidak seluruhnya tipe orang tua di Jepang bersifat otoriter, karena
tidak diketahui secara pasti berapa persentase orang tua di Jepang yang melakukan
pola sosialisasi yang otoriter, yang demokratis karena hal itu merupakan bagian
dari privasi keluarga.
Kasus-kasus tindak jidougyakutai di atas hanya sebagian kecil saja
dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya sendiri.
Beberapa dari kasus jidougyakutai cenderung terselubung karena hanya diketahui
oleh sang anak sendiri dan juga keluarganya saja.
Universitas Sumatera Utara
Dalam beberapa kasus jidougyakutaiyang ditemukan, pola sosialisasi
otoriter yang dilakukan orangtua terhadap anaknya sehingga banyak terjadi kasus
kekerasan secara fisik seperti pemukulan, serta hukuman lainnya terhadap anak
dengan maksud mendidiknya secara disiplin. Tindakan disiplin yang merupakan
hukuman-hukuman fisik yang cenderung negatif merupakan bagian dari
kasusjidougyakutai.
3.2
Peran Jidousodanjou dalam Penanggulangan Jidougyakutaidi
Jepang
Jidousodanjou sendiri
merupakan
lembaga
satu-satunya
yang
menangani kesejahteraan masyarakat yang memiliki kekuatan yang legal oleh
hukum negara untuk mengambil anak yang mengalami kekerasan di dalam
rumahnya yang nanti akan di tempatkan di yougoshisetsu sebagai yang
melindungi anak-anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya. Jidousodanjou dapat
membawa orangtua dari anak yang mengalami kekerasan untuk di proses di
pengadilan bila kekerasan itu murni dilakukan oleh orangtua.Tapi hanya sedikit
jidoushodanjou yang menanggapi kekerasan terhadap anak sebagai masalah yang
serius (Meiko, 1998:148).
Banyak kasus-kasus penganiayaan yang diangkat oleh media, tetapi
banyak juga yang tidak diketahui karena terkadang tindak penganiayaan terjadi di
dalam rumah tangga (jidougyakutai), dalam hal ini hanya ibu/ayah dan anak yang
mengetahui.Ketakutan dan kekhawatiran atas tidaknya sendiri, sebagian kecil
dibicaran di jidoushoudanjou atau pusat konsultasi yang ada pada setiap daerah di
Universitas Sumatera Utara
Jepang.Pada umumnya, boshiryou sebagai tempat konsultasi para ibu, ada yang
datang langsung berkonsultasi, tetapi banyak juga yang melakukan konsultasi
melalui telpon dan tidak menyebutkan namanya.Mereka merasa tidak menjadi ibu
yang baik dan menyalahkan dirinya sendiri, karena hal itulah mereka tidak
menginginkan diketahui identitasnya. Kebanyakan para ibu yang berkonsultasi
masih muda, berusia 20 s/d 30an tahun, tinggal di apartemen, golongan menengah,
keluarganya terlihat bahagia dan tipe ibu rumah tangga.
Kasus-kasus jidougyakutai sendiri yang dapat diangkat kepermukaan
banyak mendapat kritikan dari masyarakat.Masyarakat mengkritik orangtua
tersebut sudah hilang nalurinya sebagai orangtua dan mereka terlihat gagal
sebagai orang tua karena melakukan itu. Para orangtua tidak menyadari cara
mendidik anak untuk berdisiplin yang cenderung negatif merupakan salah satu
bagian dari penganiayaan pada anak.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
1. Kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya merupakan
sebuah gambaran akan ketidak sanggupan orang tua tersebut dalam
mengasuh ataupun mengerti akan apa yang di butuhkan anak sesuai
dengan umur dan kondisi anak tersebut. Dapat dilihat dari banyaknya
kasus kekerasan kepada anak yang terjadi di Jepang. Hal inilah yang
sekarang menjadi momok yang sangat meresahkan di Jepang.
2. Banyak yang mengatakan kekerasan terhadap anak (Jidougyakutai)
terjadi
akibat
perubahan
sisitem
kekeluargaan,
dimana
sistem
kekeluargaan yang berubah dari sistem 家 “ie” menuju ke sisitem 核家族
“kakukazoku” ini menyebabkan berkurangannya otoritas ayah dalam
kluarga yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak yang
sering di lakukan orang tua untuk melampiaskan kekesalan ataupun
stresnya. Keluarga inti dalam masyarakat perkotaan di Jepang banyak
menghabiskan waktunya diluar rumah karena kesibukan kerja, sehingga
dalam hal pengasuhan anak di pegang sepenuhnya oleh ibu. Hal ini lah
menjadi salah satu penyebab munculnya Jidougyakutai di Jepang.
3. Jidougyakutai menjadi masalah yang sangat serius di dalam masyarakat
dan juga pemerintah Jepang. Jumlah kasus Jidougyakutai di Jepang
meningkat signifikan dari tahun lalu. Menurut data Kementerian
Universitas Sumatera Utara
Kesehatan, Buruh dan Kesejahteraan Jepang jumlah kasus pada 2011
menjadi 59.862. Jumlah ini naik 3.478 kasus dari tahun 2010.Bahkan
data ini menunjukkan 84,3 persen anak yang tewas akibat penyiksaan
pada 2010 merupakan batita alias anak di bawah tiga tahun. Sebuah rekor
baru di negeri Sakura itu. Pada tahun itu, sebanyak 51 anak tewas,
termasuk 23 bayi kurang dari setahun dan 43 batita. Yang mengerikan,
dari data ini menunjukkan separuh dari pelaku penyiksaan merupakan ibu
kandung para anak.
4. Kata Jidougyakutai terdiri dari kata 児童“jidou” dan 虐待 “gyakutai”.
Jidoumemiliki arti anak, remaja, atau anak-anak. Sedangkan gyakutai
memiliki arti perlakuan kejam, penindasan, pelecehan, atau kelakuan
tidak wajar. Dalam arti sempit 児 童 虐 待 “Jidougyakutai” adalah
pelecehan anak atau kekerasan pada anak. Secara terminologi sosial
Jidougyakutaiadalah penganiayaan atau tindak kekerasan yang dilakukan
pada anak-anak (yulia, 2001:10).Pengertian lain dari jidougyakutai yaitu
Pada umumnya merupakan kekerasan yang terjadi di dalam rumah
tangga. Dimana istilah ini digunakan untuk memberikan istilah kekerasan
yang merujuk kepada kekerasan orang tua terhadap anak yang
didalamnya terkandung makna kekerasan dilakukan oleh orang yang kuat
atau berkuasa dalam rumah tangga dalam hal ini orang. Jidougyakutai ini
juga bermacam-macam bentuknya bisa berupa kekersan berbentuk fisik
ataupun penghancuran terhadap barang-barang bahkan juga bisa dalam
bentuk pengucapan kata-kata yang kasar yang diucapkan kepada anak
yang seharusnya kata-kata itu tidak diucapkan kepada anak. Di berbagai
Universitas Sumatera Utara
kasus tertentu bentuk kekerasan jidougyakutai ini sangat sadis dimana si
anak bisa saja mendapatkan luka fisik atau pun luka dalam hal psikologis
yang sangat parah yang bisa mempengaruhi tumbuh kembangnya.
Adakalanya kasus jidougyakutai ini berlangsung dalam jangka waktu
yang sangat lama.
5. Bentuk-bentuk yang dinyatakan tindakan Jidougyakutai yang dikutip dari
Departemen Sosial Jepang (Asahi Shimbun,1999) adalah Penganiayaan
Fisik (gutaiteki gyakutai 具体的虐待), Pengabaian (gutaitekikyohi 具体
的 拒 否 ), Penganiayaan Seksual (seiteki gyakutai 性 的 虐 待 ), dan
Penganiayaan secara psikologi (shinriteki gyakutai 心理的虐待). Selain
dari jenis-jenis jidougyakutai diatas terdapat juga
faktor yang
mempengaruhi terjadinya jidougyakutai di atas yaitu karena faktor
orangtua, faktor anak, dan juga faktor keluarga. Dimana hal-hal tersebut
saling berkesinambungan dalam munculnya fenomena jidougyakutai di
Jepang.
6. Banyak sekali hal yang mempengaruhi mempengaruhi perilaku orangtua
dalam melakukan kekerasan terhadap anaknya sendiri, dimana perilaku
tersebut lebih memusat pada perilaku otoriter orangtua dalam keluarga
dimana mereka mengajarkan disiplin kepada anak dengan cara
memberikan hukuman-hukuman fisik mengarah kepada hukuman
bersifat negatif kepada anak dimana hal ini lah yang tidak di sadari orang
tua bahwa hal itu bagian dari jidougyakutai. Orangtua banyak
menganggap prilaku mereka dalam membentuk anak yang disiplin itu
negatif, karena dari data kasus di Jepang banyak sekali hukuman-
Universitas Sumatera Utara
hukuman yang diberikan orangtua tersebut tidak sesuai dengan
kemampuan si anak sehingga membuat anak menderita bahkan sampai
menghilangkan nyawa si anak .Tidak seluruhnya tipe orang tua di jepang
bersifat otoriter, karena tidak diketahui secara pasti berapa persentase
orang tua di Jepang yang melakukan pola sosialisasi yang otoriter, yang
demokratis karena hal itu merupakan bagian dari privasi keluarga.
7. Jidousodanjou sendiri merupakan lembaga satu-satunya yang menangani
kesejahteraan masyarakat yang memiliki kekuatan yang legal oleh
hukum negara untuk mengambil anak yang mengalami kekerasan di
dalam rumahnya yang nanti akan di tempatkan di yougoshisetsu sebagai
yang melindungi anak-anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya. Dan
jidousodanjou dapat membawa orangtua dari anak yang mengalami
kekerasan untuk di proses di pengadilan bila kekerasan itu murni
dilakukan oeh orang tua. Tapi hanya sedikit jidoushodanjou yang
menanggapi kekerasan terhadap anak sebagai masalah yang serius.
4.2
Saran
Jidougyakutai
sendiri telah
menjadi
satu
masalah
besar
di
Jepang.Dimana jidougyakutai mengalami peningkatan setiap tahunnya.Masalah
ini kemudian mulai banyak diperbincangkan dan dijadikan sebagai hal yang harus
di tanggulangi segera di Jepang.Penanggulangan jidougyakutai harus terus selalu
di tingkatkan dari tahun ke tahunnya dimana hal ini dapat mengurangi penderitaan
anak-anak yang menjadi korban jidougyakutai dan juga meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan masyarakat di Jepang sendiri. Dengan adanya lembaga yang
menangani masalah jidougyakutai yaitu jidoushodanjou , maka di harapkan
tingkat jidougyakutai dapat menurun seiring dengan berjalannya waktu.
Universitas Sumatera Utara