Fenomena Jidougyakutai (kekerasan pada anak dalam keluarga) di Jepang

BAB II
JIDOUGYAKUTAI DALAM KELUARGA
DI JEPANG

2.1

Pengertian dan SejarahJidougyakutai

Kata Jidougyakutai terdiri dari kata 児童“jidou”dan 虐待 “gyakutai”.
Jidoumemiliki arti anak, remaja, atau anak-anak. Sedangkan gyakutai memiliki
arti perlakuan kejam, penindasan, pelecehan, atau kelakuan tidak wajar.Dalam arti
sempit 児童虐待“Jidougyakutai” adalah pelecehan anak atau kekerasan pada
anak.Secara terminologi sosial Jidougyakutaiadalah penganiayaan atau tindak
kekerasan yang dilakukan pada anak-anak (Yulia, 2001:10).
Pengertian lain dari jidougyakutai yaitu Pada umumnya merupakan
kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga. Istilah ini digunakan untuk
memberikan istilah kekerasan yang merujuk kepada kekerasan orangtua terhadap
anak yang didalamnya terkandung makna kekerasan dilakukan oleh orang yang
kuat atau berkuasa dalam rumah tangga dalam hal ini orang.Jidougyakutai ini juga
bermacam-macam bentuknya bisa berupa kekerasan berbentuk fisik ataupun
penghancuran terhadap barang-barang bahkan juga bisa dalam bentuk pengucapan

kata-kata yang kasar yang diucapkan kepada anak yang seharusnya kata-kata itu
tidak diucapkan kepada anak. Di berbagai kasus tertentu bentuk kekerasan
jidougyakutai ini sangat sadis, si anak bisa saja mendapatkan luka fisik atau pun

Universitas Sumatera Utara

luka dalam hal psikologis yang sangat parah yang bisa mempengaruhi tumbuh
kembangnya. Adakalanya kasus jidougyakutai ini berlangsung dalam jangka
waktu yang sangat lama (The great Japanese dictionary,1995:542).
Jidougyakutai adalah fenomena yang muncul setelah perang dunia keII, hal ini terjadi akibat perubahan sistem kekeluargaan yang berubah dari sistem
家 “ie” menuju ke sistem 核家族 “kakukazoku” sehingga hal ini menyebabkan
berkurangannya otoritas ayah dalam keluarga yang menyebabkan terjadinya
kekerasan terhadap anak yang sering dilakukan orangtua untuk melampiaskan
kekesalan ataupun stresnya (Hayashi , 1996:39).
核 家 族 “kakukazoku”

merupakan keluarga inti yang terdiri dari

kerabat terkecil yaitu ayah, ibu, anak yang belum menikah. Sistem kekeluargaan
ini terjadi akibat banyaknya pemuda yang berpindah ke kota untuk bekerja dan

belajar, ketika mereka menikah, dan memiliki rumah tangga baru (Yamada,
1998:13).
核家族 “kakukazoku”

adalah kelompok kekerabatan yang semakin

populer di dalam masyarakat Jepang sebagai pengganti kelompok kekerabatan 家
“ie”. Hal ini terutama muncul dan berkembang pada masa setelah Perang Dunia
II.Pada masa pascaperang, pemikiran tentang demokrasi tumbuh di berbagai
lapisan masyarakat melaui sistem pendidikan modern yang merata di seluruh
Jepang.Akibatnya, muncul pendapat umum yang menyatakan bahwa sistem ie
kurang demokratis.
Dalam sistem 家 “ie” yang bersifat patriarkis, kedudukan pria sebagai
kepala keluarga sangat kuat dan rnemiliki otoritas yang besar dalam keluarga.

Universitas Sumatera Utara

Sementara dalam 核 家 族

“kakukazoku”, karena dilandasi oleh semangat


demokrasi, kedudukan setiap anggota keluarga dapat dikatakan sejajar. Tentu saja,
ayah dan ibu tetap menjadi figur-figur yang harus dihormati, akan tetapi di sini
yang jelas menonjol adalah fungsi dan karakter ayah dalam keluarga. Apabila
dahulu ayah merupakan sosok yang amat ditakuti dan berperan besar dalam
penentuan setiap keputusan dalam keluarga, sekarang sosok ayah menjadi lebih
lunak dan segala keputusan bisa dimusyawarahkan oleh seluruh anggota keluarga.

2.2

Bentuk-bentuk Jidougyakutai
Bentuk-bentuk yang dinyatakan tindakan Jidougyakutai yang dikutip

dari Departemen Sosial Jepang (Asahi Shimbun,1999:8) adalah sebagai berikut:

2.2.1 Penganiayaan Fisik (gutaiteki gyakutai 具体的虐待)
児童の身体に外傷が生じ、または生じるおそれのある暴行を加
えること。
例えば、一方的に暴行お振るう、食事を与えない、冬は戸外に
締め出す、部屋に閉じ込める。


Jidou no shintai ni gaisyou ga shouji, mata wa shoujiru osore no aru
boukou o kuwaeru koto. Tatoeba, ippouteki ni boukou o furuu, shokuji
o ataenai, fuyu wa kogai ni shimedasu, heya ni tojikomeru.
Terjemahan:

Universitas Sumatera Utara

Segala sesuatu yang menimbulkan luka pada tubuh anak, dan terus
menerus hal kekerasan fisik tersebut dilakukan oleh orang tua atau
wali. Misalnya anak dipukul, tidak diberi makan, dibiarkan di luar
pintu rumah dan dilarang masuk kedalam rumah saat musim dingin.
Contoh kekerasan lain yang berupa penganiayaan terhadap fisik
yaitu anak ditindih atau ditimpah di bawah ataupun di dalam tumpukan
futondimana hal ini membuat si anak sulit bernafas dan sulit menggerakan
bagian tubuhnya sehingga dapat melukai fisiknya. Selain itu kekerasan lain
berupa anak diikat di dalam ruangan gelap, anak dilempar, disiram, dilukai
dengan benda panas, dicubit, didorong sampai terjatuh yang dilakukan oleh
orang tua atau wali.
Jadi, menurut Departemen Sosial Jepang hal di atas masuk ke dalam

kriteria kekerasan fisik apabila:
1. Hal itu dilakukan secara kebetulan;
2. Hal itu dilakukan berulang-ulang dan menjadi kebiasaan dan
dilakukan secara terus menerus.
Penganiayaan fisik ini cenderung dilakukan oleh ibu di dalam sistem
keluarga modern atau lebih dikenal dengan keluarga nuklir. Menurut survey
dari Kementrian Kesejahteraan, Tenaga Kerja, dan Kesehatan Jepang tahun
2004, lebih dari 70% penduduk jepang tinggal dalam keluarga nuklir dengan
rata-rata satu atau dua anak dalam keluarga (asiaone.com). Sistem Keluarga
nuklir sendiri kedudukan ibu lebih banyak berinteraksi dengan urusan
rumah tangga dan juga urusan anak, ibu lebih banyak waktu dalam

Universitas Sumatera Utara

menghabiskan waktu bersama anak-anak dibandingkan dengan ayah yang
banyak menghabiskan waktu bekerja di luar. Hal inilah yang membuka
peluang terjadinya penganiayaan fisik dimana seorang ibu meluapkan stres
akan beban dan tanggung jawab dalam keluarga yang dipegangnya terhadap
anak.
Jumlah kasus Jidougyakutaiyang berupa penganiayaan fisik di Jepang

meningkat signifikan dari tahun lalunya.Menurut data Kementerian
Kesehatan, Buruh dan Kesejahteraan Jepang yang dilansir situs Asione
Jumat 27 Juli 2012, jumlah kasus pada 2011 menjadi 59.862. Jumlah ini
naik 3.478 kasus dari tahun 2010.Bahkan data ini menunjukkan 84,3 persen
anak yang tewas akibat penyiksaan pada 2010 merupakan batita alias anak
di bawah tiga tahun. Sebuah rekor baru di negeri Sakura itu. Pada tahun itu,
sebanyak 51 anak tewas, termasuk 23 bayi kurang dari setahun dan 43
batita. Hal yang mengerikan dari data ini menunjukkan separuh dari pelaku
penyiksaan merupakan ibu kandung para anak. Pemerintah menduga
masalah sejak kehamilan, termasuk hamil di luar keinginan sang bunda,
menjadi pemicu kekejaman ini. Untuk meningkatkan perlindungan terhadap
batita dari penyiksaan, Kementerian mendesak pemerintah daerah di
Jepangsegera memberikan layanan yang berkaitan dengan kehamilan dan
pendidikan anak.
dilansir situs berita Asia, dari data per daerah menunjukkan Osaka
menjadi kawasan dengan jumlah Jidougyakutai terbesar, mencapai 8.900
kasus. Peringkat kedua diduduki perfektur Kanagawa dengan 7.296 kasus,
diikuti ibu kota Tokyo yang mencatat kasus 4.559. Hal ini menjadi perhatian

Universitas Sumatera Utara


yang

sangat

serius

oleh

pemerintah

Jepang

sendiri.(https://bakadangergakuen.wordpress.com/tag/child-abuse-di-jepang/
)

2.2.2 Pengabaian (gutaitekikyohi 具体的拒否)
児童の心身に正常な発達を妨げるような著しい減食、もしくは
長時間の放置その他の保護者としての監護を著しく怠ること。
例えば、病気になっても病院に受診させない、乳幼児を暑い日

差しの当たる車内への放置、食事を与えない、下着など不潔な
まま放置するなど。

Jidou no shinshin ni seijyouna hattatsu o samatageruyouna
ichijirushii genshoku, moshiku wa nagajikan no houchi sono ta no
hogosya toshiteno kango o ichijirushiku okotaru koto. Tatoeba, byouki
ni nattemo byouin ni jyusin sasenai, nyuuyouji o atsui hi sashi no
ataru shanai eno houchi, shokuji o ataenai, shitagi nado fuketsuna
mama houchi suru nado.

Terjemahan:
Anak dikunci di dalam rumah, tidak dibawa kerumah sakit atau dokter
walaupun sedang sakit oleh orang tuanya, orang tua pergi keluar
dengan meninggalkan bayi di dalam rumah tanpa penjagaan,

Universitas Sumatera Utara

meninggalkan bayi dikereta dorong, orang tua tidak memberikan
makanan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak, tidak
mengganti pakaian dalam dan lainnya dalam waktu yang lama

sehingga si anak ditempatkan dalam keadaan yang kotor, tidak
menjaga kebersihan tempat tinggal.
Pengabaian terhadap anak sendiri merupakan bentuk jidougyakutai
yang pasif, karena segala berupa ketiadaan perhatian yang memadai, baik
fisik, emosi maupun sosial.Anak yang di abaikan atau ditelantarkan sendiri
mengalami kekurangan gizi (malnutrisi), lemas atau kotor ataupun
menggunakan pakaian tidak layak pakai.Pada kasus yang berat, anak
ditinggalkan seorang diri atau bersama saudara kandungnya tanpa adanya
pengawasan dari orang tua si anak tersebut.Anak yang ditelantarkan atau
diabaikan tersebut bisa saja meninggal karena kelaparan.
Contoh kasus pengabaian anak terjadi di Jepang, seorang bayi
meninggal dunia di dalam bagasi sepeda motor akibat ditinggalkan oleh
kedua orang tuanya yang sedang bermain judi di tempat pachinko. Setelah
meninggal dunia jasad bayi tersebut ditemukan di selokan yang diduga di
buang oleh kedua orang tuanya (The guardian news,2012:14).
Hal inilah yang menyebabkan tingkat pengabaian terhadap bayi di
Jepang meningkat tiap tahunnya. Selain data tertulis dari pemerintah tentang
naiknya jumlah pengabaian terhadap anak juga dapat dilihat dari
meningkatnya jumlah anak yang diletakkan di “akachan pos” yang
merupakan pos berukuran 50cm x 60cm, yang bila dibuka didalamnya


Universitas Sumatera Utara

berbentuk ranjang dengan pemanas atau penghangat kecil. Pos ini di
sediakan pemerintah untuk orang tua yang punya alasan apapun yang tidak
mampu merawat anak mereka bisa meletakkan bayinya di pos tersebut.
Kemudian petugas rumah sakit akan mendapatkan pemberitahuan saat pintu
pos ini dibuka, dan segera datang ke pos untuk mengambil bayi tersebut.
Jadi, menurut Departemen Sosial Jepang hal di atas masuk ke dalam
kriteria pengabaian apabila meninggalkan atau menolak hak pengasuhan
anak, dan Ketidaktahuan akan cara pengasuhan anak.

2.2.3 Penganiayaan Seksual (seiteki gyakutai 性的虐待)
児童に猥褻行為をすること、または児童を性的対象にさせたり、
見せること。
例えば、子供への性的暴力。自らの性器を見せたり、性交を見
せ付けたり、強要する。

Jidou ni waisetsukoui o surukoto, mata wa jidou o seiteki taishou ni
sasetari,


miserukoto.

Tatoeba,

kodomo

e

no

seiteki

bouryoku.Mizukara no seiki o misetari, seikou o misetsuketari,
kyouyousuru.
Terjemahan:

Universitas Sumatera Utara

Orang tua melakukan pencabulan terhadap anak, tindakan seksual,
memperlihatkan kemaluan, alat-alat seksual, memperlihatkan obyek
porno ke anak.
Pelecehan seksual ataupun penganiayaan seksual terhadap anak di
Jepang

merupakan salah satu

bagian dari jidougyakutai, dimana

peningkatannya mengalami kenaikan di tiap tahunnya. Pada tahun 2015
pemerintah yang menangani kesejahteraan masyarakat di Jepang menangani
lebih dari 103.000 kasus dimana persentasnya naik 16% dari tahun
sebelumnya.
Pada tahun 2010, data kepolisian Jepang juga telah mengungkapkan
dalam enam bulan pertama di tahun 2010, tercatat 187 anak menjadi korban
kekerasan fisik dan juga penganiayaan seksual.Dari 187 anak tersebut 18
diantaranya meninggal dunia. Disebutkan juga bahwa pornografi terhadap
anak dalam periode yang sama yakni enam bulan awal di tahun 2010
meningkat 60% menjadi 599 kasus dibandingkan tahun sebelumnya.
Sedangkan di tahun 2013 sendiri, badan kepolisian Jepang
melaporkan 1.644 kasus penganiyaan anak , sehingga jumlah ini menjandi
angka

tertinggi

sejak

perubahan

undang-undang

tahun

1999.

(www.bbc.com)
Hal inilah yang menjadi tugas besar pemerintah Jepang dalam
mengurangi tingkat kekerasan ataupun penganiayaan seksual terhadap anak.
Efek dari kekerasan seksual terhadap anak sendiri antara lain depresi,
gangguan stres pascatrauma, kegelisahan, kencenderungan si anak untuk

Universitas Sumatera Utara

menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasanya, dan anak juga akan
mendapatkan cedera fisik diantara masalah-masalah lainnya. Penganiayaan
terhadap anak ini oleh orang tua memiliki dampak yang serius dan juga
trauma psikologis jangka panjang yang membuat si anak tidak dapat
melupakan kasus tersebut hingga anak tersebut dewasa (Christine,
1988:208).
Menurut buku “prostitution of juvenniles: patterns from NIBRS” oleh
Richard Ormrod, penganiayaan seksual terhadap anak mencakup berbagai
pelanggaran seksual, termasuk didalamnya:
1. Pelecehan Seksual
istilah ini didefinisikan sebagai suatu tindakan pidana dimana
seseorang yang telah dewasa menyentuh anak di bawah umur
untuk tujuan kepuasan seksual, misalnya perkosaan, sodomi, dan
penetrasi seksual dengan objek. Sedikit banyaknya sentuhan
terhadap anak termasuk pelecehan seksual jika dilakukan untuk
tujuan kepuasan seksual.

2. Eksploitasi Anak
istilah ini didefinisikan sebagai suatu tindakan pidana dimana
orang dewasa melakukan kekerasan terhadap anak dibawah umur
untuk promosi, kepuasan seksual, atau keuntungan misalnya

Universitas Sumatera Utara

melacurkan anak, dan menciptakan atau melakukan perdagangan
pornografi anak.

3. Perawatan Seksual
menentukan perilaku sosial dari pelaku seks anak yang potensial
yang berusaha untuk membuat mereka menerima rayuan yang
lebih sedikit.

2.2.4 Penganiayaan secara psikologi (shinriteki gyakutai 心理的虐待)
児童に著しい心理的外傷を与える言動を行うこと。心理的外傷
は、児童の健全な発育を阻害し、場合によっては心的外傷後ス
トレス障害などの症状を生ぜしめるため禁じられている。
例えば、言葉による暴力、一方的な恫喝、無視や拒否、自尊心
を踏みにじる。

Jidou ni ichijirushii shinriteki gaishou o ataeru gendou o okonau koto.
Shinriteki gaishou we, jidou no kenzanna hatsuiku o sogaishi, baai
niyotte wa shinteki gaishou ato sutoresu shougai nado no shoujyou o
shouzeshimeru tame kinjirarete iru. Tatoeba, kotoba niyoru bouryoku,
ippoutekina doukatsu, mushi ya kyohi, jisonshin o fumi nijiru.
Terjemahan:

Universitas Sumatera Utara

Anak diancam, tidak dipedulikan dan tidak diakui keberadaannya,
dilukai harga dirinya dengan perkataan dan perbuatan, dibedakan
perlakuan yang diterima dengan saudara kandungnya yang lain oleh
sang orang tua.
Dapat dikatakan penganiayaan psikologi apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut :
1. Tidak termasuk dalam penganiayaan seksual, penganiayaan yang
berdasarkan penolakan hak asuh atau ketidaktahuan cara
mengasuh anak, serta penganiayaan secara fisik.
2. Penganiayaan yang terbukti ada hubungannya antara perilaku
orang tua atau pengganti orang tua/wali dan perilaku si anak
tersebut.
Penganiayaan psikologis ini sangat berpengaruh akan mental sang
anak yang mendapatkan penganiayaan dari orang tua dimana anak memiliki
kencenderungan akan ketakutan yang sangat tinggi, sehingga anak tersebut
merasa minder dalam pergaulannya sehari-hari. Hal ini juga berpengaruh
akan rasa kurang perhatian dan rasa dendam yang timbul di hati anak
sehingga rasa kurang perhatian dan rasa dendam tersebut melekat terus
sampai si anak tumbuh dewasa.
Selain dari bentuk-bentuk jidougyakutai di atas, menurut Goodman
(2002:24)ada lima kategori Jidougyakutai:
1. Penelantaran anak

Universitas Sumatera Utara

2. Pembunuhan anak
3. Oyaku shinju(orang tua yang mengajak anak untuk bunuh diri bersama)
4. Pembunuhan yang disebabkan penelantaran
5. Kekerasan
Oyaku shinju sendiri termasuk dalam kategori jidougyakutai, karena
oyaku shinju adalah orang tua yang mengajak anak kandungnya sendiri
untuk melakukan bunuh diri bersama dengan berbagai cara. Oyaku shinju
sendiri sudah ada sejak zaman dahulu, tetapi kata oyaku shinju sendiri baru
digunakan pada pertengahan tahun 1920an.
Sebelum tahun 1990-an tidak ada seorang pun di Jepang yang
mengakui adanya penganiayaan terhadap anak di negara mereka sendiri. Hal ini
terjadi akibat faktor keengganan orang ataupun masyarakat untuk melaporkan
kejadian-kejadian yang dirasa itu adalah penganiayaan atau jidougyakutaikepada
jidoushodanjouyang merupakan lembaga yang menangani kekerasan terhadap
anak.Selain itu juga faktor yang mempengaruhi keengganan tersebut karena
adanya ketakutan bisa mempermalukan orang tua korban (Kitamura dalam
Goodman, 2002:135).
Selain itu para orang tua di Jepang masih percaya bahwa hukuman
fisik kepada anak merupakan bentuk disiplin yang mereka tanamkan sejak
dini.Orang tua tidak mengetahui bahwa hukuman fisik yang mereka anggap
bentuk

disiplin

merupakan

salah

satu

kekerasan

pada

anak

atau

Universitas Sumatera Utara

Jidougyakutai.Oleh karena itulah kasus jidougyakutai di jepang dapat dikatakan
terselubung atau tidak diketahui oleh pemerintah.

2.3

Faktor-faktor penyebab terjadinya Jidougyakutai
Seorang psikolog bernama Nick Frost dalam bukunya mengenai

kesejahteraan anak menyebutkan beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya
jidougyakutaiadalah sebagai berikut:

2.3.1 Faktor Orangtua
Dalam banyak kasus, orang tuan yang menjadikan anak nya sendiri
sebagai objek tindakan kekerasan pada umumnya hubungan antara
orangtua dan anak tidak stabil. Seseorang yang tumbuh dalam situasi
seperti ini biasanya cenderung melakukan segala sesuatunya dengan
kekerasan

karena

tidak

adanya

rasa

saling

percaya

dan

rasa

menghargai.Hal inilah yang menyulitkan seseorang untuk menjaga
hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang.Tindak kekerasan justru
lebih mudah menyusup dalam hubungan yang tidak harmonis diantara
orang tua dan anak. Mendukung anak selalu dalam bidang ataupu hal
apapun, serta membantu anak, adalah sangat dibutuhkan dalam hal
mencegah adanya perktik kekerasan terhadap anak (Frost,2000:190).
Selain itu juga, banyak kasus dalam keluarga muda yang tidak
mengerti kebutuhan anak-anaknya dan merasakan kalau mereka sangat

Universitas Sumatera Utara

terjerat dan sengsara dengan keberadaan sang anak. Orangtua seperti ini
tidak dapat menerima secara emosional atas keberadaan anaknya, justru
lebih frustasi karena mereka masih muda dari segi usia dan juga belum
matang dalam menghadapi ataupun mengasuh anak. Penyakit psikologi
seperti kecanduan alkohol dan obat-obatan juga dapat menyebabkan orang
tua menjadi mudah marah terhadap anak-anaknya (Frost,2000:190).
Selain itu faktor kurangnya peran ayah dalam keluarga juga
berpengaruh atas munculnya jidougyakutai. Sebuah buku hasil tulisan
Michiyoshi Hayashi yang membahas masalah figur dari kedudukan ayah
dalam keluarga berjudul Fusei no Fukken (1996) atau Rehabilitasi
Karakter Ayah menjadi best seller di Jepang. Di dalam buku ini Hayashi
secara kritis mengemukakan masalah peran ayah yang menghilang dalam
keluarga. Selain Hayashi, ada pula pendapat seorang profesor dari
Universitas Keio Gijuku bemama Keigo Okonogi yang menyatakan bahwa
kini di dalam keluarga-keluarga Jepang kontemporer, suami dan ayah telah
kehilangan posisinya sebagai kepala keluarga. Mereka kehilangan
kedudukan dan perannya dalam keluarga.Hal inilah yang menyebabkan
munculnya kekerasan anak atau jidougyakutai tersebut.
Selain faktor dari berkurangnya atau menipisnya otoritas ayah dalam
keluarga kontemporer Jepang, kedudukan dan peranan ibu juga sangat
berpengaruh terhadap terjadinya Jidougyakutai.Aspek dinamis dari
kedudukan adalah peranan, yang mempunyai arti sebagai perilaku individu
yang penting bagi struktur keluarga.

Universitas Sumatera Utara

Kedudukan dan peranan adalah hal yang saling terkait satu dengan
yang lain karena pada kedudukan terdapat sejumlah hak dan kewajiban.
Hal inilah yang dilakukan.Tindakan yang harus dilakukan terhadap hak
dan kewajiban inilah diartikan sebagai peranan, karena tidak ada
kedudukan tanpa peranan atau peranan tanpa kedudukan (Soekanto
2000:243).
Dalam keluarga inilah ibu harus memiliki kedudukan atau peranan
ganda menjadi seorang ibu dan kepala dalam keluarga dimana hal ini
berperan membina dan mendidik anak, sehingga juga mempersiapkan anak
untuk bertingkah laku sesuai dengan keadaan sosial dan nilai budaya yang
ada dalam masyarakatnya, yang dimulai dari lingkungan keluarga. Jadi,
peran seorang ibu sangat penting karena jika seorang ibu membina anak
dengan anak akan mengakibatkan kecendrungan terhadap hal negatif
terhadap anak yang akan menyebabkan tidak sesuainya pola tingkah laku
anak terhadap lingkungan sosial dan nilai kebudayaan dalam masyarakat
sekitarnya.
Karena tekanan atau tugas yang banyak itulah kebanyakan seorang ibu
mengalami stres.Mereka untuk meluapkan stres tersebut kepada anak yang
setiap harinya ada dan bersama si ibu di rumah. Lelah ataupun marah sang
ibu diluapkan kepada anak. Hal inilah yang menimbulkan munculnya
jidougyakutai.
Menurut buku “Family and social policy in Japan” (Goodmen,
2002:26) adapun faktor orangtua yang

mempengaruhi terjadinya

peningkatan Jidougyakutaidi Jepang adalah :

Universitas Sumatera Utara

1.

Sang ibu yang tidak meninginkan kehadiran sang anak dari sejak
dalam kandungan

2.

Stres

3.

Harapan pada anak yang tidak realistis

4.

Gangguan jiwa

5.

Orang tua yang pernah jadi korban penganiayaan anak dan terpapar
oleh kekerasan

6.

Anak yang prematur, anak yang retardasi mental, anak yang cacat
fisik, anak yang suka menangis hebat atau banyak tuntutan.

2.3.2 Faktor Anak
Penyebab kekerasan terhadap anak mungkin juga terjadi dari dalam
dirinya sang anak sendiri. Ketika anak sangat sulit menerima keadaan yang
serba sudah atau sulit menerima setatusnya sebagai anak.Ini termasuk anak
yang sering menangis ataupun anak yang sangat sulit untuk ditenangkan,
anak yang banyak maunya dan keras kepala, dan anak yang tidak
merespon keinginan orang tua, serta anak yang memiliki sifat hiperaktif.
Orangtua kadang-kadang merespon hal yang dilakukan anak dengan
respon yang negatif sehingga memunculkan emosi yang bersifat negatif ke
anak tersebut. Selain karena hal itu, ketika orang tua tersebut dihadapkan
dengan kelahiran anaknya yang prematur, atau siam, atau memiliki

Universitas Sumatera Utara

penyakit yang kronis, atau anak yang cacat, orangtua pun kemudian
merasa terbebani dengan hal itu, dan ujungnya akan berakhir dengan
penganiayaan terhadap anak tersebut.

2.3.3 Faktor Keluarga
Adapun faktor keluarga yang mempengaruhi munculnya kekerasan
pada anak adalah:
1. Tidak stabilnya ekonomi keluarga beberapa contoh akibat
ketidakstabilan ekonomi adalah hilangnya pekerjaan dari salah
satu orangtua bahkan lebih, perubahan pekerjaan, terlilit akan
hutang, dan juga hal lain-lain yang menjadi sumber kesulitan
dalam ekonomi keluarga.
2. Stres

dalam

hubungan

keluarga

beberapa

contoh

yang

menimbulkan stres dalam hubungan keluarga adalah terjadinya
perceraian, pisah ranjang antara ibu dan ayah, ketidak harmonisan
dalam keluarga, pertengkaran yang selalu terjadi antara ayah dan
ibu, hubungan pernikahan yang tidak stabil, serta hal lain-lain
yang menyebabkan tingkat stres yang tinggi dalam keluarga.
3. Stres dalam pekerjaan beberapa contoh stres dalam pekerjaan yaitu
mengalami masalah akan tugas di pekerjaan, adanya pertengkaran
antara sesama rekan kerja, serta hal lain-lain yang menimbulkan
stres dalam hal pekerjaan.

Universitas Sumatera Utara

4. Kelahiran anak yang tidak diinginkan beberapa contoh kelahiran
anak yang tidak diinginkan yaitu, anak lahir dengan keadaan fisik
yang

tidak

normal,

anak

prematur,

anak

mengalami

keterbelakangan mental, jenis kelamin tidak sesuai dengan
keinginan oang tua, serta hal lain-lainnya.
5. Anak yang terisolasi dari lingkungan sekitar beberapa contohnya
adalah anak yang diisolasi dari teman-teman dilingkungannya,
anak yang diisolasi dari kluarga, serta hal lain-lainnya.
Ketika faktor-faktor yang memicu adanya kekerasan terhadap anak,
hal-hal di atas tidak menjaminsuatu tindak kekerasan itu akan terjadi. Ketika
faktor-faktor tersebut muncul secara bersamaan, resiko untuk terjadinya kekerasan
terhadap anak akan menjadi semakin besar (Frost,2000:1990-191).

BAB III

Universitas Sumatera Utara