Kewenangan Proses Penyelidikan Dan Penyidikan Pihak Kepolisian Terhadap Notaris Setelah Terbitnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat seiring dengan
merebaknya

fenomena

supremasi

hukum,

hak

asasi

manusia,

globalisasi,


demokratisasi, desentralisasi, transportasi dan akuntabillitas telah melahirkan
berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan
tanggung jawab KepolisianNegaraRepublik Indonesia yang selanjutnya menyebabkan
pula timbulnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksana tugas
KepolisianNegaraRepublik Indonesia yang semakin meningkat dan lebih berorientasi
kepada masyarakat yang dilayaninya.
Sejak ditetapkan perubahan kedua Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara Ketetapan MPR RI
Nomor VII/MPR/2000 maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang
menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan peran KepolisianNegaraRepublik Indonesia
serta

pemisahan

kelembagaan

Tentara

Nasional


Indonesia

dan

KepolisianNegaraRepublik Indonesia sesuai dengan peran dan tugasnya masingmasing.
Tujuan reformasi dari Kepolisian adalah mewujudkan Polisi sipil yang
professional dan akuntabel dalam bermasyarakat,Polisi dengan menjunjung tinggi
norma-norma demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional. Mewujudkan
Polisi Sipil adalah agenda utama dari Reformasi Kepolisian yang mengandung

1

Universitas Sumatera Utara

2

pengertian adalah Polisi yang berwatak sipil yang menghargai dan menghormati hakhak masyarakat, dimana Polisi-lah yang diharapkan mengawal kepentingan
masyarakat, dalam tugas lebih mengutamakan kemanusiaan, mengedepankan nilainilai peradapan dan keadaban, menjauhi tindakan kekerasan, mengedepankan
komunikasi kepada masyarakat sehingga dalam hal ini dekat dengan masyarakat.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini telah didasarkan kepada paradigma
baru sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta
pelaksanaan tugas KepolisianNegaraRepublik Indonesia, sebagai bagian integral dari
reformasi meneyeluruh segenap tatanan kehidupan bangsa dan Negara dalam
mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945.
Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum dalam
peraturan Perundang-Undangan yang telah ditetapkan, dalam hal ini kewenagan
KepolisianNegaraRepublik Indonesia yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang telah disepakati atau
disahkan oleh DPR dan Presiden, namun tindakan pencegahan preventif tetap
diutamakan melalui pengembangan preventif dan azas kewajiban umum Kepolisian
yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
Akhirnya karakteristik profesi Kepolisian dapat diketahui bahwa Polisi bukan
hanya penegak hukum melainkan juga memiliki tugas dan kewenangan lain sebagai
penegak keamanan dan ketertiban masyarakat serta pelindung masyarakat dan

Universitas Sumatera Utara

3


karakteristik profesi Polisi inilah yang memberikan kewenangan berdiskresi kepada
aparat Kepolisian di lapangan.1
Disisi lain Notaris merupakan profesi yang sangat terhormat dimata
masyarakat dengan kewenangannya yang spesifik dalam membuat akta-akta otentik,
secara sederhana dapat dikatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat Akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang, tentunya dalam membuat Akta-Akta
otentik tersebut Notaris telah memahami dan mempelajari dengan seksama sesuai apa
maksud kehendak dari para pihak yang menghadapnya dengan mempedomani
Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pembuatan Akta otentik dimaksud,
sehingga menghasilkan produk berupa Akta otentik yang valid dan sesuai dengan
keinginan para pihak.
Tugas dan wewenang dimaksud diberikan kepada Notaris adalah tugas-tugas
dan kewenangan yang ditentukan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Selain
Notaris memiliki tugas sebagai Pejabat umum dan memiliki wewenang untuk
membuat AktaOtentik, Notaris juga diberikan kewenangan lainnya sesuai dengan
yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.2 Dengan demikian kedudukan
Notaris diakui secara yuridis sebagai Pejabat yang berwenang membuat AktaOtentik.
Jabatan yang dimiliki oleh seorang Notaris adalah jabatan kepercayaan

dimana seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya.Sebagai seorang
kepercayaan, Notaris memiliki hak untuk merahasiakan semua yang diberitahukan
1

Achmad Ali, Teori Hukum Dan Teori Pradilan, (Jakarta, Kencana Premadia Group, 2012),

hal 509
2

Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, (Yogyakarta: UI Press, 2009),

hal. 13.

Universitas Sumatera Utara

4

kepadanya selaku Notaris, sekalipun ada sebagian yang tidak dicantumkan dalam
Akta. Hal ini terkait dengan hak ingkar seorang Notaris, hak dimana seorang Notaris
dapat mengingkari posisinya sebagai seorang saksi yang mana dibolehkan oleh

Undang-Undang untuk membeberkan semua rahasia yang disimpannya, dalam
keadaan tertentu yaitu hak ingkar dari Notaris dalam sumpah jabatan yang
diucapkannya pada saat diangkat sebagai Notaris dimana Notaris wajib untuk
merahasiakan isi Akta dan keterangan yang diperolehnya sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 ayat (2) UUJN yang menyatakan bahwa, saya akan merahasiakan isi Akta dan
keterangannya diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya.3
Namun dalam implementasinya adakalanya Notaris khilaf atau bahkan
berbuat ekstrim, untuk sengaja demi memenuhi kepentingan-kepentingan pribadinya,
seperti memasukkan keterangan palsu dalam Akta Otentik yang berkaitan langsung
dengan minuta atau surat-surat yang dilekatkan dengan minuta atau protokol, atau
bila ada ahli waris pembuat Akta yang menyatakan bahwa pada tanggal pembuatan
Akta tersebut yang bersangkutan sesungguhnya telah meninggal dunia atau ada
penyangkalan atas tanda tangan para pihak dan lain-lain, akibatnya produk Akta
Otentik tersebut dikemudian hari menjadi bermasalah dan menjadi ranah perbuatan
Pidana, sehingga harus dilakukan proses penyidikan oleh penyidik Polri.
Akta Otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa
yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai

3


Muhammad Ilham Arisaputra, Kewajiban Notaris Dalam Menjaga Kerahasiaan Akta Dalam
Kaitannya Dengan Hak Ingkar Notaris, (Makasar: Fakultas Hukum Hasanuddin, 2012), hal 173

Universitas Sumatera Utara

5

kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguhsungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara
membacakannya sehingga menjadi jelas isi AktaNotaris, serta memberikan akses
terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan Perundang-Undangan yang
terkait bagi para pihak penandatanganan Akta. Dengan demikian, para pihak dapat
menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi AktaNotaris
yang akan ditandatanganinya.4
Apabila suatu Akta merupakan AktaOtentik, maka Akta tersebut akan
mempunyai tiga fungsi terhadap para pihak yang membuatnya yaitu:5
1.
2.
3.

Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan

perjanjiantertentu,
Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian adalah
menjadi tujuan dan keinginan para pihak.
Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu kecuali jika
ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa isi
perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
Berdasarkan hal tersebut apabila terjadi sengketa dimana salah satu pihak

mengajukan Akta Otentik sebagai bukti di Pengadilan.
Akta Notaris sebagai AktaOtentik dapat mengalami degradasi (penurunan
status) dengan alasan tertentu yang mengakibatkan kedudukan AktaNotaris:6
a. Dapat dibatalkan
b. Batal demi hukum
c. Mempunyai kekuatan pembuktian sebagai Akta dibawah tangan
4

Paragraf V Penjelasan UUJN.
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-Serbi Praktek Notaris, Buku I, (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2000), hal 159
6

Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
(Bandung : Refika Aditama, 2013), hal 81
5

Universitas Sumatera Utara

6

d. Dibatalkan oleh para pihak sendiri
e. Dibatalkan oleh Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap karena penerapan asas praduga sah.7
Seorang Notaris dalam menjalankan pelayanannya harus berhati-hati, karena
kelalaian yang dibuatnya dapat menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari,
Jika ada laporan dari pihak yang dirugikan kepada pihak Kepolisian mengenai
AktaNotaris maka disinilah peran Polisi dalam penyelidikan dan penyidikan terhadap
perbuatan hukum para pihak, termasuk dalam hal ini Notaris.
Notaris biasanya dipanggil terkait kasus pertanahan dan pemalsuan dokumen,
ataupun melanggar Undang-Undang Jabatan Notaris dalam membuat Aktanya,
misalnya perjanjian kredit antara bank dan nasabah dan dalam hal ini Notaris
membuat Akta meskipun tidak memenuhi syarat lantaran jaminannya bermasalah,

adapula Notaris yang tidak mengenali kliennya karena limpahan dari Notaris lain dari
daerah yang lain, dan hal-hal inilah yang sering terjadi dan berujung laporan ke
Polisi, dan kapasitas Notaris bisa sebagai saksi maupun sebagai tersangka. Untuk
mengecek sejarah Akta yang bermasalah tersebut maka Polisi biasanya memanggil
Notaris.
Aspek formal dalam AktaNotaris dapat dijadikan dasar untuk memidanakan
Notaris, sepanjang aspek-aspek formal tersebut terbukti secara sengaja bahwa Akta
yang dibuat dihadapan Notaris dan oleh Notaris dijadikan suatu alat untuk melakukan

7
Asas Praduga Sah yaitu Akta Notaris harus dianggap sah sampai ada pihak yang
menyatakan bahwa Akta tersebut tidak sah, dan untuk menilai Akta tersebut tidak sah harus dengan
gugatan ke Pengadilan umum, selama belum ada Keputusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, maka Akta Notaris tetap sah dan mengikat para pihak yang berkepentingan dalam Akta
tersebut. Ibid, hal 80

Universitas Sumatera Utara

7


suatu tindak Pidana atau dalam pembuatan Akta pihak atau relaas dan Notaris secara
sadar, sengaja bersama-sama dengan para pihak yang bersangkutan (penghadap)
melakukan atau membantu melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya
sebagai tindakan yang melanggar hukum.8
Dengan demikian pemidanaan terhadap Notaris dapat saja dilakukan dengan
batasan jika:
1. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal Akta yang
sengaja,penuh kesadaran dan keinsyafan serta di rencanakan, bahwa Akta
yang dibuat di hadapan Notaris, bersama-sama dengan penghadap (sepakat)
untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak Pidana;
2. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat Akta di hadapan atau oleh
Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN; dan
3. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang
(untuk menilai tindakan Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris).9
Pada dasarnya, apabila secara formal apa yang dilakukan Notaris telah sesuai
dengan standar operasional prosedur (SOP), seharusnya Notaris telah sangat kuat
kedudukan hukumnya, dalam pengertian telah memenuhi syarat kebenaran formal
yang menjadi tanggung jawabnya. Namun pada prakteknya, hal ini tidak sesuai
dengan das sollennya.Cukup banyak pada kenyataannya Notaris tidak melakukan
SOP-nya dengan baik, atau terkadang melakukan beberapa kesalahan yang akibatnya
cukup merugikan bagi kliennya ataupun Notaris tersebut.Pada akhirnya ketidak hatihatiannya, baik disengaja maupun tidak di sengaja.Potensi untuk melakukan tindak
Pidana tegantung pada profesionalismenya dalam bekerja dan kualitas diri pribadi
Notaris itu sendiri.10
8
Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT (Kumpulan Tulisan Tentang
Notaris dan PPAT), (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2009), hal 124
9
Ibid, hal. 124-125.
10
Serinem Pinem, Proses Penyidikan di Kepolisian Terhadap Notaris Sebagai Saksi Atau
Tersangka Dalam Tindak Pidana, (Medan, Fakultas Hukum USU, 2012), hal 5.

Universitas Sumatera Utara

8

Berdasarkan nota kesepahaman antara KepolisianNegaraRepublik Indonesia
dengan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 01/MOU/PP-INI/V/2006 tentang Pembinaan
dan Peningkatan Profesionalisme Dibidang Penegakan Hukum bahwa dalam
menjalankan jabatan sesuai dengan tugas pokok dan wewenang masing-masing
terdapat keterkaitan antara Polisi sebagai pihak penyelidik/penyidik dalam upaya
penegakan hukum untuk mencari dan menemukan alat bukti dalam perkara dan
Notaris selaku Pejabat Umum yang berwenang membuat AktaOtentik sebagai alat
bukti yang sempurna dibidang hukum Keperdataan.
Antara Polisi dan Notaris adalah sama-sama abdi hukum yang harus
melaksanakan amanat rakyat yang harus dapat memberikan perlindungan, kepastian
hukum, yang berintikan keadilan dan kebeneran berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, karena itulah maka nota kesepahaman ini disepakati untuk mencegah terjadinya
penyimpangan tugas dan guna meningkatkan kemitraan Polri dengan INI (Ikatan
Notaris Indonesia).
Penyidik Polri sebagai alat Negara mempunyai tugas untuk melakukan
tindakan hukum berupa pemanggilan, pemeriksaan, penyitaan dan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab,11dan hal ini dapat juga dilakukan kepada
Notaris/PPAT baik selaku saksi maupun tersangka, terutama dalam kaitannya suatu
tindakan Pidana dalam pembuatan AktaNotaris-PPAT sesuai dengan ketentuan Pasal
66 UUJN.

11

Pasal 7 ayat 1 huruf j KUHAP

Universitas Sumatera Utara

9

Menurut

Habib Adjie

bahwa,

para Notaris berharap

mendapatkan

perlindungan yang proporsional dalam menjalankan tugas-tugas jabatannya sebagai
seorang Notaris, setidaknya ada pemeriksaan yang adil dan transparan dan ilmiah
ketika Majelis Pengawas Daerah (MPD) memeriksa Notaris atas permohonan pihak
Kepolisian, Kejaksaan, ataupun Pengadilan.12
Namun didalam praktek para Notaris sering memperoleh perlakuan-perlakuan
yang kurang wajar didalam hubungannya dengan hak-hak yang dimiliki oleh Notaris,
apabila Notaris dipanggil untuk dimintai keterangannya atau dipanggil sebagai saksi
dalam hubungannya dengan sesuatu perjanjian yang dibuat dengan Akta dihadapan
Notarisbersangkutan, seringkali pihak-pihak tertentu, apakah itu sengaja atau karena
tidak mengetahui tentang adanya suatu peraturan Perundang-Undangan mengenai itu,
seolah-olah menganggap tidak ada rahasia jabatan Notaris. Disamping itu juga dalam
kenyataannya bahwa dikalangan para Notaris sendiri ada yang tidak atau kurang
memahami tentang hak ingkar yang dimiliki Notaris dan baru mengetahui setelah
mempergunakannya dalam persidangan. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas
maka penelitian ini menarik untuk diangkat menjadi judul penelitian tesis ini
tentang“Kewenangan Proses Penyelidikan Dan Penyidikan Pihak Kepolisian
Terhadap Notaris Setelah Terbitnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun
2014”

12

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hal 228

Universitas Sumatera Utara

10

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan
diteliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini sebagai berikut:
1.

Apa yang menjadi kewenangan Polisi dalam proses penyelidikan dan penyidikan
terhadap Notaris setelah terbitnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2
Tahun 2014 atas Akta yang dibuatnya?

2.

Bagaimana Perlindungan hukum terhadap Notaris dalam proses penyelidikan dan
penyidikan setelah terbitnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun
2014?

3.

Bagaimana hambatan yang dihadapi pihak Kepolisian dalam menemukan
kebenaran isi Akta yang dibuat Notaris sesuai dengan batasan AktaNotaris yang
dapat dijadikan dasar memidanakan Notaris?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam penulisan tesis ini adalah:
1.

Untuk mengetahui dan menganalisa kewenangan Polisi dalam proses
penyelidikan dan penyidikan pihak kepolisian terhadap Notaris setelah terbitnya
Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 atas Akta yang dibuatnya

2.

Untuk mengetahui dan menganalisa perlindungan hukum terhadap Notaris dalam
proses penyelidikan dan penyidikan setelah terbitnya Undang-Undang Jabatan
Notaris Nomor 2 Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara

11

3.

Untuk mengetahui dan menganalisa hambatan yang dihadapi pihak Kepolisian
dalam menemukan kebenaran isi Akta yang dibuat Notaris sesuai dengan batasan
AktaNotaris yang dapat dijadikan dasar memidanakan Notaris.

D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, yaitu:
1.

Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi
maupun masyarakat umum dan dapat memberi manfaat guna menambah
khasanah ilmu hukum Kenotariatan secara umum dan hukum perjanjian secara
khusus yang diharapkan dapat memberikan masukan bagi para Notaris dan
Pihak Kepolisian.

2.

Manfaat Praktis
Pembahasan tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak kepolisian agar
lebih mengetahui sejauh mana ke otentikan Akta yang dibuat Notaris dalam
proses penyelidikan dan penyidikan AktaNotaris dan bermanfaat bagi Notaris
untuk mengetahui sejauh mana kewenangan pihak kepolisian terhadap
pemeriksaan Akta yang dibuatnya sehingga kelaknya tidak perlu merasa terpaksa
untuk dipanggil pihak kepolisian untuk proses penyelidikan dan penyidikan.

Universitas Sumatera Utara

12

E. Keaslian Penelitian
Setelah ditelusuri terhadap judul penelitian tesis yang ada pada Program
Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera

Utara maka

penelitian dengan judul “Kewenangan Proses Penyelidikan Dan Penyidikan Pihak
Kepolisian Terhadap Notaris Setelah Terbitnya Undang-Undang Jabatan Notaris
Nomor 2 Tahun 2014”belum pernah dilakukan.
Adapun penelitian yang pernah dibahas adalah:
a.

Serinem Pinem dengan Nim 097011148 dengan judul tesis “Proses penyidikan di
Kepolisian terhadap Notaris sebagai saksi atau tersangka dalam tindak Pidana”,
Difakultas Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

b.

Andi Mulia Azmi dengan Nim 097011010 dengan judul tesis “Perlindungan
hukum bagi Notaris terhadap Akta yang dijadikan dasar pemeriksaan Polisi” di
fakultas Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
Berdasarkan hasil penelusuran diatas maka penelitian ini dapat dipertanggung

jawabkan secara ilmiah ke asliannya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Pendapat M. Solly Lubis mengenai konsep teori adalah “ kerangka pemikiran

atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem)
yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia
setuju ataupun tidak disetujuinya, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti”.13

13

M. Solly Lubis (I), Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung, Mandar Maju,1994), hal 80

Universitas Sumatera Utara

13

Jadi teori adalah merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan
secara rasional digabungkan dalam pengalaman Empiris, sehingga teori tentang ilmu
merupakan penjelasanrasional yang sesuai dengan objek penelitian dijelaskannya dan
untuk mendapat verifikasi,maka harus didukung oleh data empiris yang membantu
dalam mengungkapkan kebenaran.14
Sedangkan fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistimatiskan
penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan
dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyan, artinya
teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang
dijelaskan dan harus didukung oleh faktaEmpiris untuk dapat dinyatakan benar.15
Dengan memenuhi syarat kerangka teori maka menurut Peter Mahmud bahwa
penelitian hukum yang dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep
baru dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.16
Kerangka Teori yang digunakan dalam menganalisa permasalahan dalam tesis
ini adalah Teori Tanggungjawab didukung dengan Teori Perlindungan Hukum.
Teori tentang tanggung jawab atau pertanggungjawaban hukum.Dalam hal ini
teori dimaksud diambil dari Teori Hans Kelsen yang berlatar belakang aliran
positivistik (hukum murni). Amanat pelaksanaan kewajiban Notaris dalam revisi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dapat dianalisis dari

14

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), hal. 27.
Ibid hal 17
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana Prenada Media, 2005), hal 35
15

Universitas Sumatera Utara

14

teori Hans Kelsen. Berikut ini teori yang dikemukakan Hans Kelsen tentang tanggung
jawab atau pertanggungjawaban, yaitu:
Konsep pertanggungjawaban hukum pada dasarnya terkait, namun tidak
identik dengan konsep kewajiban hukum. Seseorang individu secara hukum
diwajibkan untuk berperilaku dengan cara tertentu, jika Perilakunya yang
sebaliknya merupakan syarat diberlakukannya tindakan paksa. Namun
tindakan paksa ini tidak mesti ditujukan terhadap individu yang diwajibkan
(pelaku pelanggaran) namun dapat ditujukan kepada individu lain yang terkait
dengan individu pertama dengan cara yang ditetapkan oleh tatanan hukum.
Individu yang dikenakan sanksi dikatakan “bertanggung jawab” atau secara
hukum bertanggung jawab atas pelanggaran.Pada kasus pertama, seseorang
bertanggung jawab atas pelanggarannya sendiri di mana individu yang
diwajibkan dan yang bertanggung jawab adalah identik, si calon pelanggar
dianggap bertanggung jawab.Dalam kasus kedua, seseorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan orang lain, individu yang
diwajibkan dan yang bertanggung jawab tidaklah identik.Seseorang individu
diwajibkan atas Perilaku yang berhukum, dan dia bertanggung jawab atas
Perilaku yang tidak berhukum.Individu yang berkewajiban bisa memunculkan
atau menghindari sanksi dengan Peri laku ini. Namun individu yang hanya
bertanggung jawab atas tidak terpenuhinya kewajiban individu lain, (yakni
atas pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain) tidak bisa memunculkan dan
tidak pula menghindari sanksi dengan Perilakunya sendiri. Ini cukup jelas
dalam kasus pertanggungjawaban Pidana atas pelanggaran orang lain, yakni,
ketika sanksinya memiliki karakter penghukuman. Namun ia juga berterap
pada pertanggungjawaban perdata atas pelanggaran orang lain, bila sanksinya
memiliki karakter eksekusi perdata.17
Konsep pertanggungjawaban hukum pada dasarnya terkait, namun tidak
identik dengan konsep kewajiban hukum, maksudnya bahwa pertanggungjawaban
hukum bagi subjek hukum sehubungan dengan kewajiban hukum yang diperintahkan
dalam Undang-Undang kepada jabatan atau tugas-tugas tertentu.Selain sebagai
kewajiban hukum, juga menjadi tanggung jawab hukum untuk dipatuhi oleh subjek
yang diwajibkan hukum.
17

Hans Kelsen, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu
Hukum Normatif, ((Bandung: Nusa Media, 2008), hal. 136.

Universitas Sumatera Utara

15

Seseorang individu secara hukum diwajibkan untuk berprilaku dengan cara
tertentu, jika Prilakunya yang sebaliknya merupakan syarat diberlakukannya tindakan
paksa. Namun tindakan paksa ini tidak mesti ditujukan terhadap individu yang
diwajibkan (pelaku pelanggaran) namun dapat ditujukan kepada individu lain yang
terkait dengan individu pertama dengan cara yang ditetapkan oleh tatanan hukum.18
Hans Kelsen membagi tanggung jawab atau pertanggungjawaban hukum
tersebut dalam 2 (dua) kategori, yakni:19
a.

Seseorang bertanggung jawab atas pelanggarannya sendiri di mana individu yang
diwajibkan dan yang bertanggung jawab adalah identik, si calon pelanggar
dianggap bertanggung jawab.

b.

Seseorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan orang
lain, individu yang diwajibkan dan yang bertanggung jawab tidaklah identik.
Ternyata dalam Teori Hans Kelsen di atas, beliau juga mengakui

pertanggungjawaban hukum secara individu maupun secara kolektif.20 Seseorang
tidak hanya terikat pada pelanggaran yang bersifat individual saja namun termasuk
pula pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain dapat pula dipertanggungjawabkan
oleh orang lain. Dalam kaitan ini, unsur penting yang diperhatikan adalah adanya
hubungan hukum antara para pihak.
Individu tetap bertanggung jawab atas tidak terpenuhinya kewajiban individu

18

Ibid.
Ibid.
20
Hans Kelsen, diterjemahkan oleh Siwi Purwandari, Pengantar Teori Hukum, (Bandung:
Nusa Media, 2010), hal. 89.
19

Universitas Sumatera Utara

16

lain (atas pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain), individu tersebut tidak bisa
menghindari sanksi dengan prilakunya sendiri karena ada hubungan hukum antar
masing-masing subjek hukum. Prinsip tanggung jawab demikian diakui dalam hukum
Pidana dan hukum Perdata yang dikenal dengan istilah Pertanggungjawaban Individu
dan Kolektif.21 Namun prinsip tanggung jawabnya diadakan pembatasan-pembatasan
sejauhmana individu tersebut bertanggung jawab.22
Sehubungan dengan Teori Tanggung jawab atau Pertanggungjawaban dari
Teori Hans Kelsen di atas, dapat diterapkan dalam pelaksanaan jabatan Notaris
sebagai Pejabat Publik yang berwenang membuat Akta Otentik guna menjamin
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan
keadilan yang memerlukan suatu alat bukti tertulis yang bersifat Otentik mengenai
keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan
tertentu. Legalitas kewenangan Notaris sebagai Pejabat Publik dalam membuat Akta
Otentik merupakan salah satu cara memberikan kepastian hukum kepada masyarakat
ketika masyarakat membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat Otentik. Jasa Notaris
dalam proses pembangunan dan proses hukum di Pengadilan merupakan kebutuhan
hukum masyarakat yang mendesak, karena Akta Otentik yang dibuat Notaris adalah
bukti sempurna di sidang pengadilan.
Dengan memperhatikan kewajiban Notaris dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris sebagai dasar untuk pelaksanaan tanggung jawabnya dalam membuat Akta

21
22

Raisul Muttaqien, Op. cit., hal. 138.
Siwi Purwandari, Op. cit, hal. 90.

Universitas Sumatera Utara

17

Otentik. Inilah yang dikatakan oleh Hotma P. Sibuea sebagai “tumpuan berfikir
dalam mewujudkan citra hukum”.23 Notaris sebagai Pejabat Publik, tunduk pada kode
Etik yang memuat asas hukum Moral yang ditentukan oleh perkumpulan Ikatan
Notaris Indonesia (INI). Profesi Notaris merupakan jenis pekerjaan yang karena
sifatnya dituntut harus tunduk pada tanggung jawab profesi hukum. 24
Profesi menuntut pemenuhan nilai Moral dan nilai Moral itu sendiri
merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur yang
mendasari kepribadian profesional hukum.25Moral mengajarkan tentang baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, dan
susila. Kata yang sangat dekat dengan Moral adalah etika.26
Dalam menjalankan jabatannya Notaris mempunyai tanggung jawab Moral
terhadap profesi, Menurut Paul F. Camanisch sebagaimana dikutip oleh K. Bertens
menyatakan bahwa profesi adalah suatu masyarakat Moral (Moral community) yang
memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama, kelompok profesi memiliki kekuasaan
sendiri dan tanggung jawab khusus, sebagai profesi kelompok ini mempunyai acuan
yang disebut kode Etik profesi.27, dalam hal ini juga harus berani bertanggung jawab
dalam menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanan itu yaitu dampak
yang membahayakan dan merugikan diri sendiri, dan pihak lain.28

23

Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 150.
24
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), hal. 19.
25
Ibid.
26

27

Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 1997), hal. 17.

E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum : Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995),hal 147
28

Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2001), hal 60

Universitas Sumatera Utara

18

Notaris harus terbuka (transparan) berkenaan dengan pelayanan klien,
kerelaan melayani secara bayaran maupun secara cuma-cuma. Sifat jujur
mengandung sikap yang wajar artinya pelayanan Notaris terhadap klien pada tingkat
kewajaran, tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak
menindas, dan tidak memeras.29 Kualitas Notaris mudah diukur, sejauh mana Notaris
mampu mengemban tanggung jawab Moral dalam menjalankan tugasnya. K. Bertens,
mengatakan, kualitas Moral suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan
perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apaapa adalah tidak pantas disebut baik.30
Menurut Hans kelsen dalam Jimly Asshidiqie:
”Bahwa suatu konsep terkait dengan kewajiban hukum adalah konsep
tanggung jawab hukum (liability). Seseorang di katakan secara hukum
bertanggung jawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat
dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Normalnya
dalam kasus sanksi dikenakan terhadap deliquent adalah karena perbuatannya
sendiri yang membuat orang tersebut harus bertangung jawab. Dalam kasus
ini subyek resposibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama. Menurut
Teori Tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang dibedakan
yaitu, pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan
pertanggungjawaban mutlak (absolute resposibility).31
Teori tanggung jawab ini menerangkan bahwa Pihak Kepolisian dan Notaris
sama-sama bertanggung jawab untuk melayani kepentingan Publik yang lebih luas
untuk melaksanakan missi yang ditetapkan dalam konstitusi dan peraturan

29

Supriadi, Op.Cit, hal. 19.
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Seri Filsafat Atmajaya:2), (Yogyakarta: Kanisius,
2000), hal. 67.
31
Jimly Asshidiqie, dkk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Sekretariat Jendral
dan kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2006), hal 61.
30

Universitas Sumatera Utara

19

Perundang-Undangan pelaksanaannya. Dengan kata lain tugas dan kewenangan pihak
Kepolisian bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia yang tanggung jawabnya berpedoman pada asas-asas
kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan
kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif,
keterbukaan.
Sedangkan teori perlindungan hukum berhubungan dengan hak asasi manusia
yang menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha
Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan
Pemerintah dan setiap orang demi perlindungan harkat dan martabat manusia.32
Menurut Fitzgerald, Teori Perlindungan Hukum yang diutarakan Salmond
menjelaskan bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
berbagai kepentingan dalam masyarakat karena suatu lalu lintas kepentingan, dan
perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan membatasi
berbagai kepentingan dilain pihak.33 Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo,
perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia
(HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat
agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.34

32

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal 53
34
Ibid, hal 54

33

Universitas Sumatera Utara

20

Menurut Phillipus M. Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat sebagai
tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan refresif.35Perlindungan hukum yang
preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan
pemerintah untuk bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan
diskresi dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya
sengketa, termasuk penanganannya di lembaga Pengadilan.36
Teori perlindungan hukum dalam hal ini menerangkan bahwa setiap pihak
yang turut melakukan perbuatan hukum dalam pembuatan suatu Akta, baik itu saksi,
para penghadap, bahkan Notaris dan pihak-pihak lain yang terkait didalamnya samasama mempunyai hak mendapatkan perlindungan hukum sebagai warga Negara.
Dalam hal ini perlindungan hukum terhadap Notaris dalam kewajibannya untuk
merahasiakan isi Akta, menjalankan jabatannya, dan sesuai Pasal 322 KUHPidana
mengatur mengenai perlindungan hukum Notaris mengenai sanksi Pidana terhadap
orang yang wajib merahasiakan isi Akta tetapi membuka rahasia tersebut.
2.

Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam

penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi
dan realitas.37 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.38
Terlihat dengan jelas, bahwa suatu konsepsi pada hakikatnya merupakan suatu
pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoretis (tinjauan pustaka),
35
Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu,
1987), hal 2
36
Ibid
37
Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian , (Jakarta: Survey, LP3ES,1989), hal 34
38
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta:Raja Grafindo, 1989), hal 307

Universitas Sumatera Utara

21

yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsi
belaka kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan defenisidefenisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit didalam proses penelitian.39
Untuk dapat

menjawab

permasalahan

dalam penelitian

tesis perlu

didefenisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi agar secara
operasional dapat dibatasi ruang lingkup variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian
yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Konsep itu adalah
sebagai berikut:
a.

Notaris adalah setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan
sebagai Pejabat umum sebagai mana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 pada Pasal 1 angka 1.40

b.

Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk
melakukan penyidikan41

c.

Penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyelidikan.42

d.

Penyidikan adalah Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti

39

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000), hal 298
Pasal 1 angka 4 Kode Etik Notaris
41
Pasal 1 angka 1 KUHAP
42
Pasal 1 Angka 4 KUHAP
40

Universitas Sumatera Utara

22

yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak Pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya.43
e.

Penyelidikan adalah Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak Pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang.44

G. Metode Penelitian
Istilah metode berasal dari bahasa Yunani Methods yang berarti tata cara atau
jalan. Sehubungan dengan penelitian ilmiah, maka metode dalam hal ini menyangkut
tentang cara kerja yaitu cara kerja yang berfungsi untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan45
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, disamping itu juga
diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul di dalam gejala yang bersangkutan.46
Pemilihan suatu metodologi yang baik untuk suatu penelitian tergantung
kepada sasaran penelitian, bahan yang tersedia, kondisi yang meliputi kegiatan

43

Pasal 1 Angka 2 KUHAP
Pasal 1 Angka 5 KUHAP
45
Koenjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia,1997), hal 16
46
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 2007), hal 43
44

Universitas Sumatera Utara

23

penelitian, dan terutama jenis informasi yang diperlukan. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1.

Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan
Penelitian yang dipergunakan adalah dengan menggunakan PerundangUndangan(statute approach) dan pendekatan konseptual (Conseptual approach)
yaitu:

a.

Statute approach merupakan pendekatan yang mendasarkan pada ketentuan
Perundang-Undangan yang berlaku dan kaitannya dengan permasalahannya yang
dibahas yaitu UUJN, KUHP, KUHAP

b.

Conceptual approach merupakan pendekatan dengan mendasarkan pada
pendapat para sarjana yang memberi jawaban dari permasalahan yang akan
dibahas.yang ditujukan untuk menggambarkan secara tepat, akurat, dan
sistematis gejala-gejala hukum terkait dengan peranan hukum dalam proses
penyelidikan dan penyidikan pihak kepolisianNotaris47.
Jenis Penelitian adalah Yuridis Normatif, Menurut Ronald Dworkin,

penelitian hukum normatif ini disebut juga dengan penelitian doctrinal (doctrinal
research) yaitu Suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as
written in the bok, maupun hukum sebagai law as it decided by judge through judical
process.48

47

Alvi Syahrin, “Modul Perkuliahan Metode Penelitian Hukum: Pendekatan dalam
Penelitian Hukum”, (Medan: Sekolah PascaSarjana Unversitas Sumatera Utara, 2008), hal. 10-35.
48
Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan
Perbandingan hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU

Universitas Sumatera Utara

24

2.

Sumber Data.
Sumber data penelitian ini dilakukan melalui Studi Kepustakaan (library

reseach), dengan menelaah berbagai dokumen, laporan-laporan, buku-buku, literatur,
dan informasi yang relevan dengan masalah yang diteliti:49
a.

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum berupa peraturan-peraturan mengenai
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

b.

Bahan hukum sekunder yaitu Bahan yang memberikan penjelasan dan ulasanulasan terhadap bahan hukum primer, antara lain: buku-buku, makalah, majalah,
jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, dan surat kabar, bahkan
dokumen pribadi atau pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan
permasalahan dalam penelitian ini.

c.

Bahan hukum tersier, yakni yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan
kamus besar hukum bahasa Indonesia.

3.

Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara library research dan

field researchyaitu:
a.

Studi Dokumen yaitu yang terdiri dari bahan hukum yang berkaitan dengan

tanggal 18 Februari 2003, hal 2, dalam Lila Nasution, Analisis Hukum Penggabungan Beberapa Bank
Pemerintah Menjadi Bank Mandiri, Fakultas Ilmu Hukum Bisnis, USU, 2003, hal 35
49
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta, Sinar Grafika, 1991), hal 51

Universitas Sumatera Utara

25

hukum Kenotarisan, hukum Kepolisian ditunjang dengan bahan hukum lainnya.
b.

Wawancara yaitu dengan melakukan Tanya jawab secara langsung dengan
membuat daftar pertanyaan yang sudah direncanakan dengan informan yaitu
pihak Kepolisian di Satuan Reserse Kriminal Polresta Medan, Pengurus Ikatan
Notaris Indonesia yang diwakili di kantorNotaris wilayah Medan, dan tiga orang
Notaris.

4.

Analisa Data
Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka dianalisa secara kualitatif

dengan menyatukan hakikat hubungan diantara variabel-variabel yang dianalisis
dengan menggunakan teori yang obyektif dan satuan gejala kehidupan manusia yang
diperoleh di lapangan kemudian dianalisis gejala-gejala sosial budaya dengan
menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh
gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.50
Pada penelitian hukum normatif, pengelolahan data pada hakikatnya
merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. Dimana sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan
hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.51
Dalam menarik kesimpulan menggunakan Metode penarikan kesimpulan yang
dipakai adalah metode deduktif yaitu data primer yang diperoleh setelah dihubungkan
dengan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan sehingga peraturan Undang-

50
51

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal 21
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal 196

Universitas Sumatera Utara

26

Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 dan Undang-Undang Kepolisian
Nomor 2 tahun 2003 kemudian didukung dengan peraturan hukum lainnya yang
akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian mengenai kewenangan proses
penyelidikan dan penyidikan pihak kepolisian terhadap Notaris setelah terbitnya
Undang-Undang Jabatan Notaris nomor 2 Tahun 2014.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

6 96 116

Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

3 78 167

FUNGSI DAN KEDUDUKAN MAJELIS PENGAWAS DAERAH NOTARIS SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS NOMOR 30 TAHUN 2004.

0 1 12

Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah Dalam Penerapan Sanksi Atas Pelanggaran Administrasi Yang Dilakukan Notaris Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

0 0 14

Kewenangan Proses Penyelidikan Dan Penyidikan Pihak Kepolisian Terhadap Notaris Setelah Terbitnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014

0 0 16

Kewenangan Proses Penyelidikan Dan Penyidikan Pihak Kepolisian Terhadap Notaris Setelah Terbitnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014

0 0 3

Kewenangan Proses Penyelidikan Dan Penyidikan Pihak Kepolisian Terhadap Notaris Setelah Terbitnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014

0 0 40

Kewenangan Proses Penyelidikan Dan Penyidikan Pihak Kepolisian Terhadap Notaris Setelah Terbitnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Chapter III V

0 0 58

Kewenangan Proses Penyelidikan Dan Penyidikan Pihak Kepolisian Terhadap Notaris Setelah Terbitnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014

0 1 3

Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

0 0 14