Penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pada Proses Pemeriksaan Di Tingkat Kepolisian

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini dinyatakan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3).
Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan dengan tegas bahwa negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(machstaat).1 Dan dengan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi

manusia,

pemerintahan

diselenggarakan

berdasarkan

undang-undang,

persamaan di depan hukum, adanya peradilan administrasi dan unsur-unsur lainnya. 2
Termasuk juga hak seorang anak, ini semua telah diatur di dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28B ayat 2 yang berbunyi
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia serta
pengakuan terhadap hak asasi manusia merupakan suatu prinsip bagi rakyat Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan konsep negara hukum tersebut. Dan segala bentuk
pelanggaran terhadapnya merupakan pencorengan moral sebagai sesama makhluk

1

C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1989, hal. 346.
2
Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi, PT. Alumni, Bandung, 2008, hal. 52.

Universitas Sumatera Utara

Tuhan Yang Maha Esa, terhadap negara, hukum, dan pemerintah. Perlu dipahami
bahwa hak asasi manusia tersebut tidaklah bersumber dari Negara dan hukum saja,

tetapi semata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta
isinya, sehingga hak asasi manusia itu tidak bisa dikurangi (non derogable rights 3).
Tidak terkecuali hak seorang anak.
Anak termasuk ke dalam salah satu anggota kelompok masyarakat yang rentan
menjadi korban kekerasan dan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya karena anak sebagai bagian intergral dari
komunitas, paling lemah kemampuannya untuk melindungi diri mereka sendiri,
malah mereka menjadi obyek segala bentuk dan manifestasi kekerasan.
Menurut Human Rights Reference disebutkan bahwa yang tergolong ke dalam
kelompok rentan adalah: refugees atau pencari suaka, Internally Displaced Persons
(IDPs) atau pengungsi dalam negeri, national minorities atau kelompok minoritas,
migrant workers atau pekerja migran, indigeneous peoples atau penduduk asli
pedalaman dan women atau perempuan. Individu-individu yang masuk dalam
kategori ini, kadang-kadang mengalami bahwa kemampuan mereka untuk menikmati
dan merasakan suatu standar kehidupan yang setara dan layak sebagaimana kelompok
yang lain menjadi sangat sulit. Kelompok ini dikatakan rentan karena secara
tradisional telah menjadi sasaran proses diskriminasi. 4Jika kelompok ini mengalami

3


Rozali Abdullah, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

diskriminasi tentu saja anak juga akan mengalami hal yang serupa karena anak-anak
secara genealogis merupakan bagian dari kelompok tersebut.
Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menentukan bahwa setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman-hukuman yang tidak
manusiawi. Nyatanya, KPAI mencatat ada 1000 kasus kekerasan pada anak dalam
kurun waktu selama tahun 2016 yang hampir sebagian besar pelaku kekerasan
tersebut adalah orang terdekat korban. Misalnya saudara, kakek bahkan ayah kandung
daripada korban. 5
Salah satu contoh pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak anak adalah
tindak kekerasan yang dilakukan oleh penyidik yaitu oknum Kepolisian Republik
Indonesia dalam mencari informasi atau pengakuan oleh tersangka dalam melakukan
penyidikan. Kepolisian merupakan institusi negara yang tujuan utamanya adalah
untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat, yang dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya senantiasa harus bertindak berdasarkan norma hukum, agama,

kesopanan, kesusilaan, serta yang terpenting adalah menjunjung tinggi hak asasi
manusia.
Secara formal, prosedur penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum maupun kewenangan penyidik telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia. Tapi dalam praktik sistem peradilan

5

Diakses dari http://www.kpai.go.id/berita/8194/, pada tanggal 18 Juli 2017 pukul 12.52

Universitas Sumatera Utara

pidana yang ditegakkan, hak-hak dari tersangka dalam rangkaian proses penyidikan
suatu perkara diwarnai dengan adanya upaya paksa. Upaya paksa adalah suatu
tindakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam ruang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan suatu peraturan yang berlaku yang dapat
berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain lain 6. Dengan adanya upaya
paksa, maka sering terjadi praktik-praktik represif seperti penyiksaan dan kekerasan
lainnya. Hal itu terjadi karena rendahnya kesadaran hukum dan sumber daya manusia
dalam lembaga-lembaga yang tergabung dalam sistem peradilan pidana yang pada

akhirnya menimbulkan ketimpangan dalam tingkah laku hukum.
Ada paradigma yang kurang lebih menyatakan bahwa tersangka, terlepas sudah
dewasa atau tidak, wajar bahkan pantas untuk menjadi sasaran kekerasan yang
dilakukan oleh penyidik pada tahap penyidikan agar mereka tidak mempersulit
ataupun memperlambat proses penyidikan tersebut. Padahal dalam Pasal 52 KUHAP
dianut asas akusator, dimana tersangka dipandang sebagai subjek yang berhak
memberikan keterangan secara bebas dalam mengajukan pembelaan, karena dalam
pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa, “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah

6

Diakses dari http://ardiarmandanufhurhapid.blogspot.co.id/2013/11/upaya-paksa.html, pada
tanggal 19 Mei 2017 pukul 13:56

Universitas Sumatera Utara


sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”. Yang mempunyai pengertian yang sama, yaitu
ketentuan-ketentuan tersebut memberikan asas praduga tak bersalah. Dengan adanya
asas ini, hak asasi seseorang harus dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai manusia. Maka penyidik tidak berhak melakukan perbuatan
sewenang-wenang yang menghakimi tersangka dalam tahap penyidikan.
Berdasarkan data Kontras pada Jurnal Laporan Hari Anti Penyiksaan Sedunia
2016, anggota Polri masih dominan muncul menjadi pelaku penyiksaan dan tindakan
keji lainnya. Meningkatnya angka praktik penyiksaan memuncak di tahun 2013-2014
dengan 108 peristiwa. Penyiksaan sebagai sebuah kejahatan tidak berdiri tunggal.
Kadang ia didahului dengan tindakan-tindakan sewenang-wenang lainnya. Tindakan
ini kebanyakan terjadi pada tingkatan Kepolisian Resor (Polres) dan Kepolisian
Sektor (Polsek) di wilayah Indonesia.

7

Sebagai contoh yaitu anak dari Kapten Giyarno, seorang TNI di Salatiga, Jawa
Tengah yang bernama Caesar Alif Arya Pradana. Siswa Kelas IX-G SMP Negeri 4
Kota Salatiga itu menjadi korban penganiayaan oleh polisi. Dia di tangkap dihadapan
teman-teman sekolahnya, tangannya diborgol, mulut ditutup lakban dan matanya di

tutup kain, kemudian korban dianiaya, dipukul menggunakan sandal dan tangan
untuk mengakui perbuatan yang tak pernah korban lakukan oleh empat anggota polisi

7

Diakses
dari
http://www.kontras.org/data/20161107_Penyiksaan_Merusak_Hukum_Laporan_Hari_Anti_Penyiksaa
n_Sedunia_2016_897hf42q87gbt42.pdf, pada tanggal 18 Juli 2017 pukul 14.32

Universitas Sumatera Utara

hingga hidung korban harus dioperasi karena pada bagian hidungnya yang patah
selalu mengeluarkan darah.

8

Kasus serupa terjadi di Bandar Lampung, dimana ada seorang anak bernama Deni
Saputra yang dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Tanjungkarang karena tidak terbukti
dalam dakwaan perkara pencurian. Deni Saputra ditangkap oleh salah seorang

petugas keamanan dan dianiaya juga dipaksa mengaku telah mencuri. Korban
disundut rokok dan dipukul di sekujur tubuh.

9

Dalam penulisan ini permasalahan yang akan dibahas adalah tentang salah satu
kekerasan yang dilakukan oleh penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum hingga akhirnya mengakibatkan kematian dan juga bagaimana penerapan
hukum serta pertanggungjawaban pidananya jika kekerasan tersebut dilakukan oleh
aparat penegak hukum. Bahwasanya hal tersebut adalah pelanggaran hak asasi
manusia, terlebih yang menjadi korban adalah anak dibawah umur yang jelas sudah
terdapat berbagai perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadapnya.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian,
menganalisa dan membuat karya tulis atau skripsi dengan judul:
“PENERAPAN

UNDANG-UNDANG

NOMOR


23

TAHUN

2002

TENTANG PERLINDUNGAN ANAK PADA PROSES PEMERIKSAAN DI
TINGKAT

KEPOLISIAN

(Studi

Putusan

PN

Samarinda

No.


8

Diakses dari https://www.kaskus.co.id/thread/541da2ed0d8b465c038b4570/ini-kronologianak-tentara-yang-salah-tangkap-oleh-polisi/, pada tanggal 18 Juli 2017 pukul 13.58
9
Diakses
dari
https://article.wn.com/view/2011/03/10/Hakim_Bebaskan_Anak_Korban_Salah_Tangkap/,
pada
tanggal 18 Juli 2017 pukul 14.00

Universitas Sumatera Utara

628/Pid.B/2012/Pn.Smda, Putusan PT No. 40/Pid/2013/Pt.Kt.Smda, dan Putusan
MA No. 1309k/Pid.Sus/2013)”.
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum dalam pemeriksaan di tingkat kepolisian?
2. Bagaimanakah penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 terhadap

polisi yang melakukan kekerasan dalam pemeriksaan di tingkat kepolisian
dalam Putusan Pengadilan Negeri No. 628/Pid.B/2012/Pn.Smda, Putusan PT
No. 40/Pid/2013/Pt.Kt.Smda, dan Putusan MA No. 1309k/Pid.Sus/2013?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum dalam pemeriksaan di tingkat kepolisian.
2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan Undang-undang Nomor 28 Tahun
2002 terhadap polisi yang melakukan kekerasan dalam pemeriksaan di tingkat
kepolisian dalam Putusan Pengadilan Negeri No. 628/Pid.B/2012/Pn.Smda,
Putusan

PT

No.

40/Pid/2013/Pt.Kt.Smda,

dan

Putusan

MA

No.

1309k/Pid.Sus/2013.
Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Secara Teoritis

Universitas Sumatera Utara

Manfaat penelitian ini adalah untuk menjadi bahan kajian lebih lanjut yang
menyoroti tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh penyidik terhadap
anak yang dalam proses penyidikan dan sebagai tolak ukur dalam
mengevaluasi peranan kepolisian sebagai penegak hukum dalam
penyidikan tindak pidana agar memelihara dan menumbuhkan sikap yang
baik dalam menyidik tindak pidana.
2. Secara Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat dijadikan sebagai sumber
ilmu pengetahuan bagi masyarakat terkait dengan masalah yang diteliti,
serta dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi peneliti lain yang
ingin mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai penulisan ini.
D.

Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini adalah merupakan karya sendiri, dan dipergunakan untuk

melengkapi penelitian yang sudah terdahulu dilakukan tanpa maksud melakukan
jiplakan dari skripsi orang lain. Dimana dalam proses pembuatan skripsi ini penulis
susun melalui pemikiran sendiri, refrensi buku-buku, makalah-makalah, media
elektronik yaitu internet yang berkaitan dengan perlindungan anak, wewenang
penyidik dan tindak pidana kekerasan, kemudian penulis melakukan riset secara
langsung dan merangkainya sendiri menjadi suatu karya tulis ilmiah yang disebut
dengan skripsi. Dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, serta terbuka, semua
ini merupakan etis dari proses menemukan kebenaran yang ilmiah. Sehingga
penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Universitas Sumatera Utara

E. Tinjauan Pustaka
1. Batasan Usia Anak Sebagai Pelaku dan Korban Menurut Hukum Pidana
di Indonesia
Definisi anak dan batasan usia anak dalam hukum positif di Indonesia
mengalami pluralism sebagai akibat dari setiap peraturan perundang-undangan
memiliki kriterianya sendiri tentang anak. Pengertian tersebut tidak memberikan
suatu konsepsi tentang anak melainkan hanya merupakan pembatasan-pembatasan
saja.
Pengertian anak menurut hukum pidana lebih condong kepada pengertian anak
yang penafsiran hukumnya negatif. Dalam arti seorang anak yang berstatus sebagai
subjek hukum yang seharusnya bertanggungjawab terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukannya sebagai seorang anak
yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang mempunyai
hak-hak khusus dan perlu untuk mendapat perlindungan khusus menurut ketentuan
hukum yang berlaku.

10

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak secara eksplisit
menyebutkan tentang kategori anak, akan tetapi batasan umur anak dapat dijumpai
dalam Pasal 45 KUHP dan Pasal 72 yaitu umur 16 tahun untuk melakukan
penuntutan pidana terhadapnya. Dalam Bab IX Pasal 45 juga tidak ditemukan secara
jelas definisi tentang anak, melainkan digunakannya istiliah “belum cukup umur

10

Maulana Hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, PT. Grasindo, Jakarta,
2000, hal.20.

Universitas Sumatera Utara

(minderjarig). Pasal 283 KUHP menentukan kedewasaan apabila sudah mencapai
umur 17 tahun. Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 287 KUHP, batas umur
dewasa bagi seorang wanita adalah 15 tahun. Namun, dengan keluarnya UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 45 dinyatakan dicabut
dan tidak berlaku lagi.
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak diatur mengenai proses penyelesaian perkara “anak yang berhadapan dengan
hukum”. Yang dimaksud dengan “anak yang berhadapan dengan hukum dalam UU
No. 11 Tahun 2012 ini menurut Pasal 1, terdiri atas:
1. anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka
3);
2. anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak
korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh tindak pidana (Pasal 1 angka 4);
3. anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi
adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan

Universitas Sumatera Utara

pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang di
dengar, dilihat dan/atau dialaminya sendiri (Pasal 1 angka 5). 11
Maka yang dapat disebut sebagai anak sebagai pelaku tindak pidana atau yang
dalam Pasal 1 angka 3 disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum adalah
anak yang telah memenuhi syarat yaitu telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan anak tersebut diduga melakukan tindak
pidana.
Sedangkan batasan usia bagi anak korban cukup jelas dimuat dalam Pasal 1 angka
4 yaitu anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
2. Pengertian Tindak Pidana dan Kekerasan
a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari Bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit, yaitu
istilah yang terdapat dalam KUHP Belanda demikian juga dalam KUHP kita, tetapi
tidak ada penjelasan secara rinci mengenai pengertian strafbaarfeit tersebut.
Dalam Bahasa Belanda, strafbaarfeit itu terdiri dari tiga kata yaitu straf, baar
dan feit. Straf diartikan sebagai pidana atau hukum, baar diartikan sebagai dapat atau
boleh, dan feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. 12 Jadi,
secara harfiah, strafbaarfeit dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dapat
dipidana.

11

R. Wilyono, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hal.

12

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.

14
69.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Simons, strafbaarfeit adalah “Tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat
dihukum.” 13
Sedangkan menurut Pompe, strafbaarfeit adalah
“Suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan
sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana
penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya
tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.”
Selain pengertian menurut para ahli tersebut, ada juga beberapa istilah yang
pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dari berbagai
literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit, yaitu:
1. Tindak Pidana
Merupakan istilah resmi yang digunakan dalam perundang-undangan pidana
kita. Istilah ini digunakan antara lain dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta (yang telah diganti dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002),
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001), dan perundangundangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini yaitu Wirjono
Prodjodikoro. Menurut beliau, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya
dapat dikenakan hukuman pidana.

14

13

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal.5.
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Storia Grafika, Jakarta, 2002, hal. 209.
14

Universitas Sumatera Utara

Ahli hukum lainnya yang menggunakan istilah ini yaitu Satochid Kartanegara.
Menurut beliau, tindak pidana diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh
manusia untuk mana ia dapat dipidana.

15

2. Peristiwa Pidana
Istilah ini digunakan oleh Mr. R. Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum
Pidana. Menurut beliau, peristiwa pidana adalah, “Suatu perbuatan atau rangkaian
perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturanperaturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.” 16
Ahli hukum lainnya yang menggunakan istilah ini adalah Utrecht, dalam
bukunya Hukum Pidana I. Menurut beliau, peristiwa pidana diartikan sebagai:
“Suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nalatennegatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau
melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum
(rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur
oleh hukum.” 17
3. Delik
Istilah ini sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu delictum. Dalam bahasa
Jerman disebut delict, dalam bahasa Perancis disebut delit, dan dalam bahasa
Belanda disebut delict.18

15

Ibid, hal. 208
Ibid.
17
Evi Hartanti, Op.cit, hal. 6.
18
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 7.
16

Universitas Sumatera Utara

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata “delik” diberi Batasan yaitu
“Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang; tindak pidana.” 19
Beberapa ahli hukum pidana memberikan pengertian mengenai delik dalam
arti strafbaarfeit, antara lain yaitu Vos, van Hamel dan Simons. Menurut Vos,
delik didefinisikan sebagai feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan
undang-undang. Menurut van Hamel, delik adalah suatu serangan atau ancaman
terhadap hak-hak orang lain. Sedangkan menurut Simons, delik berarti “Suatu
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan
dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat
dihukum.” 20
4. Pelanggaran Pidana
Digunakan oleh Mr. M. H. Tirtaamidjaja dalam bukunya Pokok-pokok Hukum
Pidana.
5. Perbuatan yang boleh dihukum
Digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya Ringkasan tentang Hukum Pidana.
6. Perbuatan Pidana
Digunakan oleh Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau seperti dalam
buku Asas-asas Hukum Pidana. Menurut beliau, perbuatan pidana adalah perbuatan

19
20

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.21
Menurut beliau pula, untuk adanya perbuatan pidana itu harus ada unsur-unsur
yaitu: (1) perbuatan (manusia), (2) memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat
formil), (3) bersifat melawan hukum (syarat materiil). 22
Sehubungan dengan unsur-unsur tindak pidana tersebut, menurut Simons, ada
dua unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan itu dapat dikatakan sebagai tidak
pidana yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif yaitu berupa tindakan
yang dilarang atau diharuskan, serta akibat keadaan atau masalah tertentu, sedangkan
unsur subjektif yaitu berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggungjawab
(toerekenings vatbaar) dari pelaku. 23
Jadi, berdasarkan doktrin-doktrin tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsurunsur tindak pidana itu terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif.
a) Unsur Subjektif
Yaitu unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku. Asas hukum pidana yang
menyatakan bahwa “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (actus non facit
reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang
diakibatkan oleh kesengajaan (intention/ opzet/ dolus) dan kealpaan (negligence/
culpa).

21

Adami Chazawi, Op.cit, hal. 71.
Evi Hartanti, Op.cit, hal. 7.
23
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit, hal. 205.
22

Universitas Sumatera Utara

Dalam Crimineel Wetboek (KUHP) tahun 1809 dicantumkan: “Kesengajaan
adalah kemauan untuk melakukan atau tidakan melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang dan diperintahkan oleh undang-undang.” 24
Kemudian dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman
sewaktu mengajukan Crimineel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi KUHP Indonesia
tahun 1915), memuat: “Kesengajaan adalah dengan sadar berkehendak untuk
melakukan suatu kejahatan tertentu (de bewuste richting van den wil op een bepaald
misdrijf).25
Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah:
“Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus mengkehendaki
(willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari
perbuatan itu.” 26
Pada umumnya, para pakar telah sepakat bahwa kesengajaan terdiri dari tiga
bentuk yaitu kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), kesengajaan dengan keinsafan
pasti

(opzet

als

zekerheidbewustzijn),

dan

kesengajaan

dengan

keinsafan

kemungkinan (dolus eventualis).
1) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)
Maksud berbeda dengan motif. Umumnya, motif diidentikkan dengan tujuan,

24
25
26

Leden Marpaung, Op.cit, hal. 13.
Ibid.

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Contoh: A bermaksud membunuh B yang menyebabkan ayahnya meninggal. A
menembak B dan B meninggal.
Pada contoh di atas, dorongan untuk membalas kematian ayahnya itu disebut
dengan motif, sedangkan yang disebut dengan maksud adalah kehendak A untuk
melakukan perbuatan atau mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya
ancaman hukuman pidana, dalam hal ini yaitu menghilangkan nyawa B. Sengaja
sebagai maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan dimengerti.
2) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn)
Yaitu dimana si pelaku (doer atau dader) mengetahui pasti atau yakin benar
bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain. Si pelaku
menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan itu, pasti akan timbul akibat lain.
Satochid Kartanegara memberikan contoh sebagai berikut: A berkehendak untuk
membunuh B. Dengan membawa senjata api, A menuju ke rumah B. Akan tetapi,
ternyata setelah sampai di rumah B, C berdiri di depan B. Karena rasa marah,
walaupun ia tahu bahwa C yang berdiri di depan B, A tetap melepaskan tembakan.
Peluru yang ditembakkan oleh A pertama-tama mengenai C dan kemudia B, hingga C
dan B mati.
Dalam hal ini, opzet A terhadap B adalah kesengajaan sebagai maksud
(oogmerk), sedangkan terhadap C adalah kesengajaan dengan keinsafan pasti.
3) Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis)
Kesengajaan ini disebut juga kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan,
yaitu bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu

Universitas Sumatera Utara

akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat
lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-undang. Contohnya yaitu dalam
kasus kue tar di kota Hoorn.
b) Unsur Objektif
Yaitu unsur dari luar diri pelaku, terdiri atas:
1) Perbuatan manusia, berupa:
a. act, yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif,
b. omission, yaitu perbuatan pasif atau perbuatan negatif, seperti
mendiamkan atau membiarkan.
2) Akibat (result) perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa,
badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.
3) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si
pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum, yakni berkenaan degan larangan
atau perintah.
Semua unsur tindak pidana yang telah diuraikan tersebut merupakan satu
kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, dapat menyebabkan terdakwa
dibebaskan dari pengadilan.
b. Pengertian Kekerasan

Universitas Sumatera Utara

Kekerasan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, berarti sifat atau hal
yang keras, kekuatan dan paksaan kekerasan dilukiskan sebagai serangan atau
penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau serangan, penghancuran,
pengrusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang
sangat potensial dapat menjadi milik seseorang 27.
Kekerasan menurut Zakariah Idris adalah “Perihal yang berciri atau bersifat
keras dan atau perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan
cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang
lain.” 28
Menurut penjelasan ini, kekerasan itu merupakan wujud perbuatan yang lebih
bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit, atau penderitaan pada orang lain.
Salah satu unsur penting yang harus ada berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak
adanya persetujuan dari pihak lain yang dilukai. Pemaksaan dapat berbentuk
pemaksaan persuasif dan pemaksaan fisik atau gabungan keduanya. Kemudian
pemaksaan berarti bahwa terjadi pelecehan terhadap kehendak pihak lain, yang
mengalami pelecehan hak-haknya secara total, eksistensinya sebagai manusia dengan
akal, rasa, kehendak dan integritas tubuhnya tidak dipedulikan lagi.
Menurut Mansour Faqih, kata “kekerasan” merupakan padanan dari kata
“violence” dalam bahasa Inggris, meskipun keduanya memiliki konsep yang berbeda.

27

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal.

28

Zakaria Idris, Kamus Hukum, Rineke Cipta, Jakarta, 1998, hal. 452

425.

Universitas Sumatera Utara

Kata “violence” diartikan disini sebagai suatu serangan atau invasi (assault) terhadap
fisik maupun integrrasi mental psikologis seseorang. Sedangkan kata kekerasan
dalam bahasa Indonesia umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik
belaka. 29
Pandangan Mansour Faqiih itu menunjuk pengertian fisik maupun psikologis.
Hanya saja titik tekannya pada bentuk penyerangan secara fisik seperti melukai atau
menimbulkan luka, cacat atau ketidaknormalan pada fisik-fisik tertentu.
WHO (World Health Organization) juga memberikan pemaparan mengenai
kerugian psikologis yang sama dalam pengertian kekerasan yaitu penggunaan
kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri,
perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau
kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis,
kelainan perkembangan atau perampasan hak. 30
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan pengertian yang
otentik tentang apa yang dimaksudkan dengan kekerasan. Hanya dalam Pasal 89
KUHP disebutkan bahwa yang disamakan dengan melakukan kekerasan itu adalah
“Membuat orang pingsan atau tidak berdaya”. 31

29

Abdul Wahid, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, PT. Refika Aditama,
Bandung, 2001, hal. 31.
30
Bagong. S, dkk., Tindak Kekerasan Mengintai Anak-anak Jatim, Lutfansah Mediatama,
Surabaya, 2000, hal. 13.
31
R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Acara Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus,
PT. Karya Nusantara, Bandung, 1984, hal.84

Universitas Sumatera Utara

Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani
tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala
macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. Yang disamakan dengan
kekerasan menurut pasal ini adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak
berdaya. 32
Kejahatan kekerasan di dalam KUHP pengaturannya tidak disatukan dalam
satu bab khusus, akan tetapi terpisah-pisah dalam bab tertentu. Di dalam KUHP,
kejahatan kekerasan dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Kejahatan terhadap nyawa orang lain Pasal (338-350 KUHP)
2. Kejahatan penganiayaan (Pasal 351-358 KUHP)
3. Kejahatan seperti pencurian, penodongan, perampokan (Pasal 365 KUHP)
4. Kejahatan terhadap kesusilaan (Pasal 285 KUHP)
5. Kejahatan yang menyebabkan kematian atau luka karena kealpaan (Pasal
359-367 KUHP)
Mengenai kejahatan kekerasan ini diatur dalam Pasal 170 KUHP yang
menjelaskan bahwa:
1. Barangsiapa secara terang-terangan dan dengan tenaga bersama
menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
2. Yang bersalah diancam
Ke-1.
Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika dengan
sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan
mengakibatkan luka-luka.
Ke-2. Dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun, jika kekerasan
mengakibatkan luka berat.
32

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Ke-3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan
mengakibatkan maut.
3. Pasal 89 tidak berlaku bagi pasal ini.
Menurut Martin R. Haskel dan Lewis Yablonski, pola-pola kekerasan terdapat
dalam empat kategori yang mencakup hampir semua pola-pola kekerasan yakni:
1. Kekerasan legal
Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum,
misalnya tentara yang melakukan tugas dalam peperangan.
2. Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi
Suatu faktor penting dalam menganalisa kekerasan adalah tingkat
dukungan atau sanksi sosial terhadapnya. Misalnya: tindakan kekerasan
seorang suami atas pezina akan memperoleh dukungan sosial.
3. Kekerasan rasional
Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tidak ada sanksi
sosialnya adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam konteks
kejahatan. Misalnya: pembunuhan dalam kerangka suatu kejahatan
terorganisasi, tentang jenis kejahatan ini dikatakan bahwa orang-orang
yang terlibat dalam pekerjaannya pada kejahatan terorganisasi yaitu dalam
kegiatan-kegiatan seperti perjudian, pelacuran, serta lalu lintas narkotika
secara tradisional menggunakan kekerasan untuk mencapai hasil lebih
daripada orang-orang yang ada di lingkungan tersebut.
4. Kekerasan yang tidak berperasaan

Universitas Sumatera Utara

Kekerasan yang tidak berperasaan disebut juga sebagai “irrational
violence”, yang terjad tanpa adanya provokasi terlebih dahulu, tanpa
memperlihatkan motibasi tertetu dan pada umumnya korban tidak dikenal
oleh pelakunya. Dapat digolongkan kedalamnya adalah apa yang
dinamakan “raw violence” yang merupaka ekspresi langsung dari
gangguan psikis seseorang dalam saat tertentu kehidupannya. 33
.
3. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia
a. Pengertian Kepolisian
Polisi berasal dari kata Yunani yaitu Politeia. Kata ini pada mulanya
dipergunakan untuk menyebut “orang yang menjadi warga negara dari kota Athena”,
kemudian seiring berjalannya waktu pengertian itu berkembang luas menjadi “kota”
dan dipakai untuk menyebut “semua usaha kota” dalam konteks bagian dari suatu
pemerintahan.
Sesuai dengan Kamus Umum Bahasa Indonesia, arti kata polisi adalah:
“Suatu badan yang bertugas memelihara keamanan, ketentraman
dan
ketertiban umum (menangkap orang yang
melanggar hukum), merupakan
suatu anggota badan pemerintah
(pegawai Negara yang bertuas menjaga
keamanan dan ketertiban).” 34
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia:

33

Mulyana W. Kusuma, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 25-26.
34
W.J.S. Poerwadarminta, Op.cit, hal. 763.

Universitas Sumatera Utara

1. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan
lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri
pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang pengertian dari
Kepolisian, Penulis akan memaparkan beberapa pendapat ahli antara lain:
Menurut Van Vollenhoven, istilah polisi didefinisikan sebagai “Organ dan
fungsi, yakni sebagai organ pemerintahan dengan tugas mengawasi, jika perlu
menggunakan paksaan supaya yang diperintah menjalankan dan tidak melakukan
larangan-larangan perintah.

35

Menurut Sadjijono, polisi dan kepolisian memiliki arti yang berbeda dimana
istilah polisi adalah sebagai organ atau lembaga pemerintahan yang ada dalam
negara, sedangkan istilah kepolisian adalah sebagai organ dan sebagai fungsi. Sebagai
organ yaitu suatu lembaga pemerintahan yang terorganisasi dan terstruktur dalam
organisasi negara. Sedangkan sebagai fungsi, yakni tugas dan wewenang serta
tanggung jawab lembaga atas kuasa undang-undang untuk menyelenggarakan
fungsinya, antara lain pemeliharaan keamanan, ketertiban masyarakat, penegak
hukum, pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. 36
Robert R. Friedmann menyatakan bahwa sebenarnya disepakati atau tidak,
polisi adalah pekerja sosial berseragam. Tidak dapat disangkal bahwa mereka
35

Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, PT. Laksbang Presindo, Yogyakarta, 2010, hal.

36

Ibid, hal. 5.

3.

Universitas Sumatera Utara

menyediakan sesuatu yang dalam arti luas dapat disebut sebagai pelayanan sosial
yang menjadi tanggung jawab mereka.

37

Pada dasarnya polisi dihadapkan kepada suatu situasi konflik dan polisi
bertugas untuk mengambil keputusan. Apabila pada akhirnya polisi bertindak, maka
pada saat tersebut polisi telah melakukan sesuatu yang menguntungkan atau
melindungi salah satu pihak dalam konflik, tetap dengan melawan, mengalahkan atau
“merugikan” pihak yang lain.

38

b. Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia
1. Jaman Kerajaan
Pada zaman Kerajaan Majapahit patih Gajah Mada membentuk
pasukan pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara yang bertugas
melindungi raja dan kerajaan.
2. Masa Kolonial Belanda
Pada masa kolonial Belanda, pembentukan pasukan keamanan diawali
oleh pembentukan pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang
pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia
Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1867 sejumlah warga Eropa di Semarang,
merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga kemanan mereka.

37

Robert R. Friedmann, Kegiatan Polisi Dalam Pembinaan Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat Perbandingan Perspektif dan Prospeknya, PT. Cipta Manunggal, Jakarta, 1998, hal. 83
38
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hal. 113

Universitas Sumatera Utara

Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu
asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawwabkan pada procureur
general (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam
bentuk kepolisia, seperti veld politie (polisi lapangan), stands politie (polisi
kota), culture politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja),
dan lain-lain.
Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga
diterapkan pembedaa jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada
dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent (bintara),
inspekteur van politie, dan commisaris van politie.

39

Untuk pribumi selama

menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana,
dan wedana polisi.
Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 18971920 adalah merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
3. Masa Pendudukan Jepang
Pada masa ini Jepang membagi wilayah kepolisian Indonesia menjadi
Kepolisian Jawad an Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera
yang berpusat di Bukit Tinggi, Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat
di Makassar dan Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.

39

Diakses dari https://www.polri.go.id/pdf/Sejarah%20Polri.pdf, diakses pada tanggal 18 Mei
2017 pukul 17.35

Universitas Sumatera Utara

Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang
pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tetapi selalu didampingi oleh pejabat
Jepang yang disebut sidookaan yang dalam prakteknya lebih berkuasa dari
kepala polisi.
4. Masa Pra Kemerdekaan dan UUD 1945 (Tahun 1945-1949)
Dengan proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, maka
Negara akan mengatur diri sendiri sesuai dengan Undang-undang Dasar yang
disahkan sehari sesudah kemerdekaannya diumumkan.

40

Presiden Soekarno

mengeluarkan peritah agar semua pegawai negeri Indonesia tidak lagi menaati
pejabat-pejabat Jepang melainkan hanya menaati pemerintah Republik
Indonesia.

41

Dalam rangka pengaturan lembaga-lembaga pemerintahan yang baru,
pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI menempatkan kepolisian sebagai bagian
dari Kementrian Dalam Negeri RI seperti dalam masa pendudukan jepang.

42

Status kepolisian ditentukan dengan Maklumat Pemerintah pada 1
Oktober 1945 yaitu dua bulan sesudah Proklamasi dimana dinyatakan bahwa
kedudukan polisi tetap berada dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri.
43

40

Anton Tabah, Membangun Polri yang Kuat (Belajar dari Macan-Macan Asia), Mitra
Hardhasuma, Jakarta, 2002, hal. 21
41
Bachtiar W. Harsya, Ilmu Kepolisian: Suatu Cabang Ilmu yang Baru, Gramedia, Jakarta,
1994, hal. 45.
42
Ibid.
43
Momo Kelana, Memahami Undang-undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002, PTIK, Jakarta,
2002, hal. 124.

Universitas Sumatera Utara

Tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu,
Pemeritah Pendudukan Jepang membubarka tantara Pembela Tanah Air
(PETA) dan Heiho. Namun demikian polisi dibiarkan tetap melaksanakan
tugasnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. 44
Pada tanggal 1 Juli 1946, berdasarkan Penetapan Pemerintah No.
11/S.D/1946, Kepolisian beralih status menjadi jawatan tersendiri. Penetapan
Pemerintah tersebut menjadikan kedudukan POLRI setingkat dengan
Departemen dan kedudukan Kepala Kepolisian Negara (KKN) setingkat
dengan Menteri. Dengan ketetapan itu, pemerintah mengharapkan agar
kepolisian dapat berkembang lebih baik dan merintis hubungan vertical
sampai ke kecamatan-kecamatan. Peristiwa pengalihan status kepolisian dari
Departemen Dalam Negeri oleh pihak kepolisian dianggap penting sehingga
setiap tanggal 1 Juli diperingati sebagai hari kepolisian.

45

5. Masa Konstitusi RIS (Tahun 1949-1950)
Pada masa ini pemerintah Kerajaan Belanda akhirnya dengan terpaksa
mengakui kedaulatan Negara Indonesia. Kemudian pada tanggal 19 Januari
1950 Dienet der Algemeene Politie in Nederlandsch-Indie (Dinas Polisi
Umum di Hindia Belanda) diambil alih oleh pejabat-pejabat Pemerintah
Republik Indonesia Serikat (RIS). Kepala Kepolisian Negara Republik

44

Hadiman RS Soekanto, Melalui Spiritual Membangun Kepolisian yang Profesioinal,
Dutarindo, Jakarta, 1999, hal. 37
45
Anonimus, R. Soerbarkah Tokoh Pendidikan Polisi Republik Indonesia, Dinas Sejarah
Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 17.

Universitas Sumatera Utara

Indonesia, R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, diangkat menjadi Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Serikat. 46
Keterangan mengenai status kepolisian pada masa ini dinyatakan
dalam Pasal 130 Undang-undang Dasar Sementara RI Tahun 1950, yaitu:
“Untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum diadakan

alat

kekuasaan kepolisian yang diatur dalam undang-undang.”

Pasal 130 UUDS tahun 1950 merupakan fakta yang sangat penting
dalam perjuangan kepolisian Indonesia, karena baru pertama kali di dalam
sejarah Indonesia rumusan tugas Kepolisian diatur secara konstitusional
dalam Undang-undang Dasar Negara. Dan dengan rumusan tugas polisi dalam
Pasal 130 UUDS Tahun 1950 dalam Bab III bagian IV tentang “Pertahanan
Negara dan Keamanan Umum”, nampak adanya pemikiran modern yang
mengelompokkan tugas polisi dalam kesatuan tugas Pertahanan/Keamanan
Negara.
Sebagai pedoman hidup anggota-anggota Kepolisian Republik
Indonesia dan juga sebagai kode etik progesi Kepolisian di Indonesia, pada
tanggal 1 Juli 1956 diresmikan oleh Kepala Negara “Tribata” yang
mengatakan “Polisi” itu adalah:
1. Restra sewakottama (abdi utama daripada nusa dan bangsa);
2. Negara Yanotama (warga negara utama dari pada Negara);
46

Bachtiar, Op.Cit., hal. 50.

Universitas Sumatera Utara

3. Yana Anucasanadharma (wajib menjaga ketertiban pribadi
daripada rakyat).
6. Kembali ke UUD 1945 (Tahun 1959-1966 / Orde Lama)
Tanggal 5 Juli 1959 Ir. Soekarno sebagai Presiden RI menetapkan
Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan kembali berlakunya
Undang-undang Dasar 1945. Pemerintahan didasarkan atas sistem kabinet
Presidensial denga para Menteri sebagai

pembantu

Presiden

yang

bertanggungjawab kepada Presiden. Dalam kabinet ini, yang dilantik pada
tanggal 1 Juli 1959, R.S. Soekanto Tjokroadiatmodjo memperoleh kedudukan
sebagai Menteri Muda Kepolisian RI bersama dengan Menteri Muda
Pertahanan, Menteri Muda Kehakiman dan Menteri Muda Veteran, mereka
merupakan Menteri muda dalam bidang Pertahanan Keamanan.

47

Pada tanggal 30 Juni 1962 disahkan Undang-undang No. 13 Tahun
1961

tentang

Ketentuan-ketentuan

Pokok

Kepolisian

Negara

yang

menyatakan bahwa Kepolisian Negara merupakan “alat Negara penegak
hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan di dalam negeri” dan
dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat
dan hukum Negara”.

48

7. Masa Orde Baru (Tahun 1966-1998)

47
48

Anton Tabah, Op. cit, hal. 25.
Momo Kelana, Op. cit, hal. 125

Universitas Sumatera Utara

Dalam perjuangan Orde Baru demi melaksanakan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen maka tanggal 1 Juni 1969 dikeluarkan Keputusan
Presiden No. 52 Tahun 1969 yang bertujuan lebih meningkatkan pelaksanaan
tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia dalam rangka menormalisasi
keadaan dan fungsionalisasi semua aparatur Pemerintah dan Angkatanangkatan Bersenjata Republik Indonesia pasca G30SPKI. 49
Pada pokoknya Keppres teresebut menegaskan sebutan, kedudukan
dan tanggung jawab Kepolisian Republik Indonesia yang sederajat dengan
Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai unsur Angkatan
Bersenjata dalam Departemen Pertahanan dan Keamanan.

50

Pada tanggal 1 Juli 1968, Presiden Soeharto dalam pidatonya pada
peringatan Hari Bhayangkari menyatakan agar polisi kembali kepada
fungsinya sebagai kepolisian. Oleh sebab itu, sejak 27 Juni 1969 nama
Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) yang mencerminkan sifat
kemiliteran diubah menjadi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
F.

Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam mengerjakan

skripsi ini meliputi:
1. Spesifikasi Penelitian

49
50

Ibid, hal. 138
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah penelitian
hukum normatif (normative law research) yaitu penelitian yang
menggunakan studi kasus hukum normatif berupa produk perilaku hukum.
Dimana pokok kajian penelitiannya adalah hukum yang dikonsepkan
sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi
acuan perilaku setiap orang. Maka dari itu penelitian ini berfokus pada
inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan
hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi
hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Pengertian
dari data sekunder menurut Sugiono adalah “Sumber data yang tidak
langsung membertikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang
lain atau lewat dokumen”. 51
Data sekunder diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang
mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu
berupa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UndangUndang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-

51

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2013,

hal. 137

Universitas Sumatera Utara

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan
informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana kekerasan yang
dilakukan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
meliputi kasus dari Pengadilan Negeri Samarinda (Putusan No.
628/Pid.B/2012/Pn.Smda),

Pengadilan

Tinggi

Samarinda

(Putusan No. 40/Pid/2013/Pt.Kt.Smda), dan Mahkamah Agung
(Putusan No. 1309k/Pid.Sus/2013), buku-buku karya ilmiah dan
beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang berkaitan
dengan permasalahan dalam skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsepkonsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus,
ensiklopedia dan sebagainya.
3. Metode Pengumpulan Data

Universitas Sumatera Utara

Untuk mengumpulkan data didalam memecahkan permasalahan skripsi
dilakukan dengan studi kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah
buku-buku karangan ilmiah, dan peraturan perundang-undanga yang ada
hubungannya dengan permasalahan pada skripsi ini. Selain itu studi juga
diarahkan terhadap artikel ilmiah yang dimuat di media massa internet.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dianalisis secara
kualitatif, yaitu dengan mempelajari serta memahami data yang ada dan
selanjutnya dianalisis untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
G.

Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terbagi menjadi 5 (lima) bab yaitu:

BAB I.

PENDAHULUAN
Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar
belakang penulisan skripsi yang berjudul “Penerapan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pada Proses
Pemeriksaan di Tingkat Kepolisian (Studi Putusan PN Samarinda No.
628/Pid.B/2012/Pn.Smda, Putusan PT No. 40/Pid/2013/Pt.Kt.Smda,
dan Putusan MA No. 1309k/Pid.Sus/2013)”, kemudian menyebutkan
apa yang menjadi rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
tinjauan pustaka, serta bagaimana metode penelitian dan sistematika
penulisan dari skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

BAB II.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG
BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PEMERIKSAAN DI
TINGKAT KEPOLISIAN
Bab ini memberikan uraian mengenai bagaimana perlindungan hukum
terhadap anak dan hak-hak anak yang harus dilindungi, termasuk juga
perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik denga hukum
dalam proses pemeriksaan di tingkat kepolisian dan wewenang
kepolisian dalam pemeriksaan tersangka dalam Hukum Positif di
Indonesia, baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) maupun yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian.

BAB III.

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
TERHADAP

POLISI

YANG

MELAKUKAN

KEKERASAN

DALAM PEMERIKSAAN DI TINGKAT KEPOLISIAN DALAM
PUTUSAN

PENGADILAN

628/PID.B/2012/PN.SMDA,
40/PID/2013/PT.KT.SMDA,

NEGERI

PUTUSAN
DAN

NO.

PT

PUTUSAN

MA

NO.
NO.

1309K/PID.SUS/2013)
Dalam bab ini akan dijabarkan tentang ruang lingkup tindak pidana
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 dan Perpu Nomor 1 Tahun 2016
beserta

analisis

kasus

Putusan

PN

Samarinda

No.

Universitas Sumatera Utara

628/Pid.B/2012/Pn.Smda, Putusan PT No. 40/Pid/2013/Pt.Kt.Smda,
dan Putusan MA No. 1309k/Pid.Sus/2013).
BAB IV.

KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab penutup atau rangkuman yang berisikan
penyimpulan dari seluruh bab sebelumnya yang menjadi suatu
kesimpulan sekaligus juga memuat saran yang merupakan sumbangan
pemikiran penulis terhadap permasalahan dalam skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara