Pengaruh Perlakuan Awal (PRE-TREATMENT) Terhadap Karakteristik Fisikokimia Dan Fungsional Tepung Ubi Jalar Ungu

TINJAUAN PUSTAKA

Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L. Poir)
Ubi jalar ungu merupakan salah satu jenis ubi jalar yang banyak di temui
di Indonesia selain yang berwarna putih, kuning, dan merah. Ubi jalar ungu jenis
Ipomoea batatas L. Poir memiliki warna ungu yang cukup pekat pada daging
umbinya, sehingga banyak menarik perhatian. Warna ungu pada ubi jalar
disebabkan oleh adanya pigmen ungu antosianin yang menyebar dari bagian kulit
sampai dengan daging ubinya. Konsentrasi antosianin inilah yang menyebabkan
beberapa jenis ubi ungu mempunyai gradasi warna ungu yang berbeda
(Ginting, dkk., 2011).
Dalam budidaya dan usaha pertanian, ubi jalar tergolong tanaman
palawija. Tanaman ini membentuk umbi di dalam tanah. Umbi itulah yang
menjadi produk utamanya. Menurut Juanda dan Cahyono (2000), tanaman ubi
jalar dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisio

: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Subdivisio


: Angiospermae (berbiji tertutup)

Kelas

: Dicotyledoneae (berbiji belah atau berkeping dua)

Ordo

: Convolvulales

Famili

: Convolvulaceae (kangkung-kangkungan)

Genus

: Ipomoea

Spesies


: Ipomoea batatas (L.) Lamb

Varietas

: Ipomoea batatas (L.) Poir

6
Universitas Sumatera Utara

7

Adapun gambar ubi jalar ungu dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ubi jalar ungu
Keragaman sifat tanaman ubi jalar dapat dibedakan berdasarkan
penampilan fisik dan usia tanam. Berdasarkan tekstur daging umbi, ubi jalar dapat
dibedakan dalam dua golongan, yaitu umbi berdaging lunak karena banyak
mengandung air dan umbi berdaging keras karena banyak mengandung pati.
Ubi jalar juga dibedakan satu sama lain berdasarkan warna kulit, warna daging,
bentuk daun dan warna batang (Sarwono, 2005).

Ayamurasaki dan Yamagawamurasaki adalah dua varietas ubi jalar
berwarna ungu asal Jepang yang telah diusahakan secara komersial di beberapa
daerah di Jawa Timur dengan potensi hasil 15-20 ton/ha. Beberapa varietas lokal
juga memiliki daging umbi berwarna ungu, hanya intensitas keunguannya masih
di bawah kedua varietas tersebut (Ginting, dkk., 2011).

Kandungan Gizi Ubi Jalar
Ubi jalar memiliki kandungan air yang cukup tinggi, sehingga bahan
kering yang terkandung relatif rendah. Kandungan rata-rata bahan kering ubi jalar
sebesar 30 %. Selain sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar juga berfungsi sebagai
sumber vitamin A dan C serta mineral seperti kalium, besi dan fosfor. Namun

Universitas Sumatera Utara

8

kadar protein dan lemaknya relatif rendah, sehingga konsumsinya perlu
didampingi

oleh


bahan

pangan

lain

yang

berprotein

tinggi

(Ginting, dkk., 2005).
Sebagian besar karbohidrat pada ubi jalar terdapat dalam bentuk pati.
Komponen lain adalah serat pangan dan beberapa jenis gula yang bersifat larut
seperti maltosa, sukrosa, fruktosa dan glukosa. Kandungan gula dalam ubi jalar
yang telah dimasak jumlahnya meningkat bila dibandingkan dengan jumlah gula
pada ubi jalar mentah (Sulistiyo, 2006).
Ubi jalar kaya akan serat, mineral, vitamin dan antioksidan seperti asam

fenolat, antosianin, tokoferol dan betakaroten. Selain bekerja sebagai antioksidan,
senyawa karotenoid dan fenolat juga menjadikan ubi jalar menjadi menarik
dengan warna krem, kuning, oranye dan ungu. Ubi jalar ungu mengandung
0,4-0,6 mg antosianin/g berat segar (Antarlina, 1993). Kandungan gizi ubi jalar
ungu dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi ubi jalar ungu dalam 100 g bahan
Zat Gizi
Ubi jalar ungu
Kalori (kkal)
123,00
Protein (g)
1,8
Lemak (g)
0,70
Karbohidrat (g)
27,90
Kalsium (mg)
30,00
Fosfor (mg)
49,00

Zat besi (mg)
0,70
Natrium (mg)
Kalium (mg)
Niasin (mg)
Vitamin A (SI)
7.700,00
Vitamin B1(mg)
0,90
Vitamin B2 (mg)
Vitamin C (mg)
22,0
Air (g)
68,50
Bagian yang dapat dimakan (%)
86,00
Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI (1981)

Universitas Sumatera Utara


9

Kandungan protein kasar ubi jalar berkisar dari 3-7 % berat kering. Protein
pada ubi jalar terdistribusi secara merata pada umbinya. Tetapi secara umum asam
amino mempunyai jumlah yang cukup banyak. Asam amino essensial ubi jalar
adalah lisin, metionin, sistein dan treonin (Sulistiyo, 2006). Lemak merupakan
komponen yang sangat kecil dalam ubi jalar dengan kandungan sebesar
0,29-2,7 % berat kering. Asam linoleat merupakan asam lemak terbanyak diikuti
dengan asam palmitat, linolenat, dan stearat (Kadarisman dan Sulaeman, 1993).
Ubi jalar ungu memiliki rasa yang manis mengandung antosianin yang
berfungsi sebagai antioksidan, antimutagenik, hepatoprotektif, antihipertensi dan
antihiperglisemik (Suda, dkk., 2003). Kandungan antosianin pada ubi jalar ungu
lebih tinggi daripada ubi jalar yang berwarna putih, kuning, dan jingga. Di antara
ubi jalar ungu, kultivar Ayamurasaki dan Murasakimasari merupakan sumber
pigmen antosianin dengan produksi dan kestabilan warna yang tinggi
(Suardi, 2005).
Perbedaan aktivitas antioksidan pada ubi jalar merah adalah pada jenis zat
warnanya. Pada ubi jalar merah yang ditemukan dominan adalah jenis
pelargonidin-3-rutinosid-5-glukosida, sedangkan pada ubi jalar ungu adalah
antosianin dan peonidin glikosida yang mempunyai aktivitas antioksidan lebih

kuat. Dengan demikian ubi jalar ungu mempunyai potensi besar sebagai sumber
antioksidan alami dan sekaligus sebagai pewarna ungu alami. senyawa
antioksidan alami mampu memperlambat, menunda, ataupun mencegah proses
oksidasi. Kandungan antosianin pada ubi jalar ungu cukup tinggi, kandungannya
mencapai 519 mg/100 g berat basah, sehingga berpotensi besar sebagai sumber
antioksidan untuk kesehatan manusia (Ginting, dkk., 2005).

Universitas Sumatera Utara

10

Pengeringan Ubi Jalar
Pengeringan adalah salah satu cara yang dilakukan untuk tujuan
mengurangi kadar air bahan pangan sehingga diperoleh hasil akhir yang kering
dan menambah masa simpan bahan pangan. Air dari dalam bahan pangan akan
menguap akibat terjadinya proses pindah panas dan pindah masa. Pengeringan ini
dapat dilakukan dengan alat pengering atau pengeringan secara alami dengan
memanfaatkan sinar matahari secara langsung. Pemilihan metode pengeringan
yang paling baik harus dengan memperhatikan segi kualitas, ekonomi serta
karakteristik produk yang akan dihasilkan sehingga diinginkan oleh konsumen

(Koswara, 2009a).
Salah satu alat pengeringan yang sering digunakan untuk pengeringan ubi
jalar adalah pengering kabinet. Pengering kabinet terdiri dari suatu ruangan yang
terisolasi dengan baik untuk mencegah kehilangan panas. Untuk penggunaan
komersial sumber panasnya bisa berasal dari tenaga listrik atau gas. Pengering
kabinet umumnya digunakan untuk potongan-potongan buah dan sayuran.
Pengeringan akan memakan waktu 5-10 jam atau kurang tergantung dari jenis
bahan dan tingkat kadar air yang diinginkan. Bahan yang akan dikeringkan bisa
diletakkan di atas nampan yang berlubang-lubang atau loyang sebagai lapisan
yang tipis. Pada pengering kabinet yang besar nampan diletakkan di atas trolley
untuk memudahkan penanganan untuk ukuran yang kecil dapat diletakkan di atas
penopang yang permanen. Pengering kabinet ini dilengkapi sebuah saluran untuk
mengeringkan udara yang penuh dengan uap air sebelum proses resirkulasi
(Koswara, 2009a).

Universitas Sumatera Utara

11

Tepung Ubi Jalar Ungu

Tepung ubi jalar merupakan produk ubi jalar setengah jadi yang dapat
digunakan sebagai bahan baku dalam industri makanan dan juga mempunyai daya
simpan yang lebih lama. Tepung ubi jalar dibuat dari sawut atau chips kering
dengan cara digiling dan diayak (Richana, 2012). Menurut Murtiningsih dan
Suyanti (2011), mengolah ubi jalar ungu menjadi tepung merupakan salah satu
cara untuk penyimpanan dan pengawetan ubi jalar ungu. Ubi jalar ungu dalam
bentuk tepung juga akan mempermudah pemanfaatannya sebagai bahan baku
industri pangan.
Masalah utama yang dihadapi dalam pembuatan tepung ubi jalar ungu
yaitu reaksi pencoklatan enzimatis. Warna ubi jalar ungu akan menjadi kusam
yang disebabkan oleh enzim fenolase. Untuk menghambat reaksi pencoklatan
enzimatik, maka ubi ungu perlu dikukus untuk merusak struktur enzim fenolase
tersebut. Dengan rusaknya struktur enzim fenolase tersebut, maka reaksi
pencoklatan enzimatis pada ubi ungu dapat dihambat (Richana, 2012).
Dalam proses pembuatan tepung, hal yang paling penting adalah proses
pengeringan. Pengeringan ini berfungsi untuk menguapkan air dari dalam bahan
pangan sehingga umur simpan bahan pangan dapat lebih lama. Secara umum,
sebelum dilakukan proses pengeringan maka ubi jalar terlebih dahulu diberikan
larutan natrium metabisulfit untuk mencegah proses pencoklatan pada irisan ubi
(Koswara, 2009b). Ubi ungu yang telah dijadikan tepung ubi ungu memiliki warna

ungu yang lebih cerah.
Saat ini, produk tepung ubi jalar telah banyak dikembangkan secara
komersial di Indonesia, baik di tingkat pedesaan maupun industri komersial.

Universitas Sumatera Utara

12

Namun, belum ada standar mutu nasional untuk produk tepung ubi jalar di
Indonesia. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang ada (baik di dalam maupun luar
negeri) dan standar yang ditetapkan oleh perusahaan eksportir, maka rekomendasi
penetapan persyaratan standar mutu tepung ubi jalar di Indonesia dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Rekomendasi penetapan persyaratan standar mutu tepung ubi jalar
Parameter
Tepung ubi jalar
Keadaan:
- Bentuk
serbuk
normal
- Bau
normal (sesuai warna umbi)
- Warna
Benda asing
tidak ada
Kehalusan (lolos ayakan 60 mesh)
min. 90 %
Kadar air
maks. 10 %
Kadar abu
maks. 3 %
Kadar lemak
maks. 1 %
Kadar protein
min. 3 %
Kasar serat kasar
min. 2 %
Kadar karbohidrat
min. 85 %
(Sumber: Ambarsari, dkk., 2009)

Penggunaan tepung ubi jalar dalam pembuatan produk pangan sudah
banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa penelitian yang telah banyak dilakukan
yang menggunakan tepung ubi jalar sebagai substitusi tepung terigu dalam
pembuatan beberapa produk patiseri dan bakery (Moehyi, 1992).

Karakteristik Fisik Kimia Tepung Ubi Jalar
Tepung ubi jalar memiliki warna produk yang beranekaragam, mengikuti
warna daging umbi bahan bakunya. Proses yang tepat dapat menghasilkan tepung
dengan warna sesuai warna umbinya. Sebaliknya, proses yang kurang tepat akan
menurunkan mutu tepung, dimana tepung yang dihasilkan akan berwarna kusam,
gelap, atau kecoklatan. Untuk menghindari hal tersebut disarankan untuk
merendam hasil irisan atau hasil penyawutan dalam sodium bisulfit 0,3 %

Universitas Sumatera Utara

13

selama ± 1 jam. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya kontak antara bahan
dengan udara, yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan
(Widowati, 2009). Komposisi kimia tepung ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia tepung ubi jalar ungu
Komposisi
Jumlah
Kadar pati (%)
57,18
Kadar amilosa (%)
28,69
Total antosianin (mg/g)
0,13
Total fenol (mg/g)
0,30
Aktivitas antioksidan (%)
86,68
Rendemen (%)
19,2
(Sumber : Widowati, 2009)

Reaksi Pencoklatan
Reaksi pencoklatan biasa terjadi pada buah atau sayuran yang mengalami
perlakuan mekanis yang dapat menyebabkan perubahan fisik, flavour, dan gizi.
Pada umumnya reaksi pencoklatan dibagi menjadi dua yaitu pencoklatan
enzimatis dan pencoklatan non-enzimatis. Reaksi pencoklatan enzimatis banyak
terjadi pada buah dan sayuran terutama jika terjadi dekstrusi jaringan. Reaksi
pencoklatan non-enzimatis terjadi pada pengolahan bahan pangan yang
menggunakan panas dan selama penyimpanan bahan pangan (Koeswara 1991).
Pencoklatan non-enzimatis terdiri dari reaksi maillard, reaksi karamelisasi, dan
reaksi pencoklatan akibat oksidasi vitamin C (Winarno 1993).
Pencoklatan enzimatis menyebabkan perubahan warna, rasa yang tidak
diinginkan dan penurunan nilai gizi bahan pangan (Lamikanra 2002). Reaksi
pencoklatan enzimatis terjadi pada buah-buahan dan sayuran jika jaringan buah
atau sayuran itu terpotong atau terkelupas. Akibat reaksi ini akan timbul warna
coklat karena konversi senyawa fenolat menjadi melanin dengan bantuan enzim
polifenol oksidase. Kontak antara jaringan yang terluka atau terpotong dengan

Universitas Sumatera Utara

14

udara akan menyebabkan pencoklatan. Hal tersebut dikarenakan senyawa fenol
teroksidasi secara enzimatis menjadi o-kuinon yang secara cepat mengalami
polimerisasi membentuk pigmen coklat (melanin).
Tingkat reaksi pencoklatan enzimatis semakin tinggi jika konsentrasi
fenolik (subtrat polifenol oksidase) pada buah dan sayuran tinggi dan konsentrasi
asam askorbat yang rendah (Bauernfeind dan Pinkert 1990). Menurut
Winarno (2002), banyak sekali senyawa fenolik yang dapat bertindak sebagai
subtrat

dalam

reaksi

pencoklatan

enzimatis

pada

buah

dan

sayuran.

Senyawa-senyawa fenolik tersebut diantaranya adalah katekin dan turunannya,
seperti tirosin, asam kafeat, asam klorogenat, dan leukoantosianin.
Pada umumnya reaksi oksidasi fenol dikatalisis oleh enzim kresolase dan
katekolase. Kresolase mengkatalis oksidasi monofenol (tirosin dan kresol) dengan
mengubah gugus hidroksil pada posisi ortonya sehingga menjadi orto difenol.
Katekolase menghilangkan dua atom hidrogen pada orto-difenol membentuk
ortoquinon (Park dan Luh, 1985).
Menurut Eskin, dkk., (1991), katekolase mengkatalisis reaksi oksidasi
ortodifenol

menjadi

orto-quinon,

orto-quinon

dengan

orto-difenol

akan

terhidroksilasi membentuk trihidroksi benzena kemudian trihidroksi benzena
bereaksi dengan orto-quinon membentuk hidroksi quinon yang akhirnya
berpolimerisasi membentuk warna merah kemudian coklat. Pembentukan
senyawa melanin dari orto-quinon berlangsung secara spontan dan tidak
bergantung pada adanya enzim atau oksigen.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat reaksi pencoklatan enzimatis
adalah kandungan komponen fenolik, aktivitas dari enzim polifenol oksidase,

Universitas Sumatera Utara

15

oksigen, ion logam, pH, dan suhu (Lisinska dan Leszczynski 1989). Reaksi
pencoklatan enzimatis dapat dikontrol oleh inaktivasi enzim polifenol oksidase,
pengeluaran oksigen, modifikasi komponen fenolik, penambahan agen pereduksi,
interaksi dengan logam tembaga, mereduksi atau menjerat senyawa quinon,
bahkan

memindahkan

produk

akhir

dari

reaksi

pencoklatan

(Shahidi dan Naczk 1995).
Enzim polifenol oksidase dapat diinaktivasi dengan perlakuan panas
dengan suhu 90

o

C. Metode lain untuk memperlambat reaksi pencoklatan

enzimatis adalah dengan menurunkan pH jaringan lebih kecil daripada pH
optimum enzim polifenol oksidase yang berkisar antara 4-7. Asam yang dapat
ditambahkan untuk menurunkan pH adalah asam sitrat, malat, askorbat, dan asam
fosfat (Shahidi dan Naczk 1995).
Menurut Eskin (1991), menyatakan bahwa ada 3 teori tentang reaksi
pencoklatan non-enzimatis yang terjadi dalam suatu bahan makanan yaitu
karamelisasi, reaksi maillard dan oksidasi vitamin C. Karamelisasi terjadi karena
bahan mengalami pemanasan pada suhu tinggi. Reaksi pencoklatan akibat
oksidasi vitamin C disebabkan asam askorbat yang dikandung oleh bahan
mengalami oksidasi sehingga senyawa tersebut terpecah menghasilkan furfural
dan karbondioksida. Pencoklatan maillard disebabkan terjadinya reaksi senyawasenyawa karbonil yang berasal dari pemecahan karbohidrat atau lemak dengan
senyawa amino dalam bahan. Di dalam tepung sistem pencoklatan yang terjadi
adalah pencoklatan yang bersifat non-enzimatis (reaksi maillard), hal ini
disebabkan oleh reaksi senyawa asam amino dengan gula reduksi yang lebih cepat
antara aldehid dan keton karena pemanasan di dalam tepung.

Universitas Sumatera Utara

16

Mekanisme

reaksi

pencoklatan

non-enzimatis

berlangsung

sangat

kompleks dan dalam reaksi ini tidak diperlukan oksigen untuk memulai prosesnya
tetapi harus ada senyawa amino. Pembentukan warna coklat yang diakibatkan
oleh reaksi gula dengan asam amino dimulai dengan pembentukan basa schiff’s,
dimana senyawa ini bersifat labil yang selanjutnya akan mengalami siklisasi
membentuk senyawa glikosilamine (N-substituted glycosylamine). Selanjutnya
senyawa ini mengalami isomerisasi dan mengalami penyusunan amadori, serta
mengalami berbagai perubahan komplek sehingga dihasilkan senyawa melanoidin
yang merupakan pigmen yang berwarna coklat. Menurut Winarno (2002), reaksi
maillard berlangsung melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
-

Suatu aldosa bereaksi bolak balik dengan asam amino atau dengan gugus
amino dari protein sehingga menjadi amino ketosa.

-

Dehidrasi

dari

hasil

reaksi

amadori

membentuk

turunan-turunan

furfuraldehid, misalnya heksosa diperoleh hidroksimetil furfural.
-

Proses dehidrasi selanjutnya menghasilkan hasil antara metal L-dikarbonil
yang diikuti penguraian menghasilkan reduktor-reduktor dan L-dikarboksil
seperti metilglioksal, asetol dan diasetil.

-

Aldehid-aldehid aktif dari 3 dan 4 terpolimerisasi tanpa mengikut sertakan
gugus amino (hal ini disebut kondensasi aldol) atau dengan gugusan amino
membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin. Tahapan
reaksi maillard dapat dilihat pada Gambar 2.

Universitas Sumatera Utara

17

Gambar 2. Tahapan reaksi maillard (Winarno 2002)

Cara-cara yang dapat dilakukan untuk mencegah pencoklatan enzimatis menurut
Apandi (1984) adalah:
-

Aplikasi panas, panas yang bisa diaplikasikan berupa proses blanching, yaitu
suatu bagian pengolahan pangan dengan menggunakan uap atau air panas.

-

Aplikasi SO2 dan sulfit, natrium metabisulfit dan natrium bisulfit sebagai
inhibitor fenolase yang kuat.

-

Pencegahan kontak dengan oksigen, cara yang biasa digunakan adalah
merendam bahan yang sudah dikupas kedalam air sebelum dimasak sehingga
tidak terjadi kontak langsung dengan udara.

-

Aplikasi asam, asam yang biasa digunakan adalah asam yang biasa terdapat
dalam jaringan tanaman seperti asam askorbat, sitrat dan malat.

Natrium Metabisulfit (Na2S2O5)
Natrium metabisulfit berbentuk serbuk, berwarna putih, larut dalam air,
sedikit larut dalam alkohol, berbau khas seperti gas sulfur dioksida, serta
mempunyai rasa asam dan asin. Pada konsentrasi 200 ppm bahan pengawet ini

Universitas Sumatera Utara

18

dapat

menghambat

pertumbuhan

bakteri,

kapang

dan

khamir

(Chichester and Tanner, 1975).
Penggunaan SO2 tidak diizinkan dalam makanan yang mengandung tiamin
dalam jumlah yang besar, karena vitamin ini dirusak oleh SO2. Konsentrasi
maksimum SO2 yang diizinkan di Amerika Serikat 350 ppm. SO2 dipakai juga
secara luas dalam buah kering, yang konsentrasinya dapat mencapai 2000 ppm.
Pemakaian lain ialah dalam sayur kering dan produk kentang kering
(deMan, 1997). Batas maksimum penggunaan SO2 dalam makanan yang
dikeringkan, di Amerika Serikat telah ditetapkan oleh Food Drug Administration,
yaitu antara 2000-3000 ppm.
Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K-sulfit, bisulfit
dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang
tidak terdisosiasi dan terutama terbentuk pada pH di bawah 3. Selain sebagai
pengawet, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi itu akan
mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna cokelat. Sulfur
dioksida juga dapat berfungsi sebagai antioksidan (Syarief dan Irawati, 1988).
Molekul sulfit lebih mudah menembus dinding sel mikroba bereaksi
dengan asetaldehid membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi oleh enzim
mikroba, mereduksi ikatan disulfit enzim, dan bereaksi dengan keton membentuk
hidroksi

sulfonat

yang

dapat

menghambat

mekanisme

pernapasan

(Winarno, 1993). Banyaknya SO2 yang ditambahkan ke makanan mempunyai
batasan tersendiri. Karena pada konsentrasi sekitar 3000 ppm, produk
menimbulkan

bau

dan

rasa

menyimpang

yang

tidak

menyenangkan

(Cahyadi, 2006).

Universitas Sumatera Utara

19

SO2 bersifat atsiri dan mudah hilang ke atmosfer, konsentrasi residu akan
jauh lebih rendah daripada jumlah yang dipakai semula (deMan, 1997). Jumlah
penyerapan dan penahanan (residu) SO2 dalam bahan yang dikeringkan
dipengaruhi oleh varietas, kemasakan dan ukuran bahan, konsentrasi SO2 yang
digunakan, waktu sulfuring, suhu, kecepatan aliran udara dan kelembaban udara
selama pengeringan serta keadaan penyimpanan (Susanto dan Saneto, 1994).
Berikut ini merupakan rumus bangun dari natrium metabisulfit dapat dilihat pada
Gambar 3. dibawah ini:

Gambar 3. Rumus bangun natrium metabisulfit (Na2S2O5) (Praja, 2015)
Menurut Slamet (2010), tepung yang dihasilkan dengan diberi perlakuan
pendahuluan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit memiliki warna
yang lebih baik (cerah), hal ini disebabkan karena sulfit dapat menghambat reaksi
pencoklatan yang dikatalis enzim fenolase dan dapat memblokir reaksi
pembentukan senyawa 5 hidroksil metal furfural dari D-glukosa penyebab warna
coklat. Selain perendaman dalam natrium metabisulfit (Na2S2O5), pemanasan
pada suhu tertentu (blanching) dapat menjadi alternatif perlakuan dalam upaya
mengurangi penurunan gizi. Proses ini bertujuan untuk mempertahankan warna,
cita rasa dan vitamin.

Universitas Sumatera Utara

20

Terbentuknya reaksi pencoklatan diakibatkan karena reaksi oksidasi
dengan udara karena pengaruh enzim pencoklatan yang terdapat dalam bahan
pangan. Pencoklatan enzimatis adalah reaksi antara oksigen dan senyawa fenol
yang dikatalis oleh polifenol oksidase. Untuk menghindarinya, setelah buah
dikupas dan diiris hendaknya direndam dalam larutan sodium metabisulfit 0,3 %
selama lebih kurang satu jam (Widowati, 2009). Reaksi pencoklatan dapat
dicegah dengan penambahan sulfit sebelum bahan dikeringkan dapat dilihat pada
Gambar 4.

Gambar 4. Reaksi sulfit dalam mencegah pencoklatan (Danilewicz, dkk., 2008)
Gas SO2 (sulfur dioksida) dapat diberikan dalam bentuk sulfit, bisulfit,
atau metabisulfit, selain bersifat sebagai zat pemucat, sulfit juga dapat mengurangi
jumlah mikroba, menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan browning
enzimatik, mencegah reaksi browning non-enzimatik, serta bekerja sebagai agen
pereduksi (Winarno, 1993).
Natrium metabisulfit (Na2S2O5) merupakan inhibitor yang kuat untuk
mencegah terjadinya browning, pertumbuhan bakteri, dan sebagai antioksidan.
Penambahan natrium metabisulfit harus sesuai standar yang diterapkan
BPOM No 36 2013 yaitu tidak melebihi 200 mg-1gr/kg untuk produk pangan.
Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan untuk

Universitas Sumatera Utara

21

mengawetkan bahan pangan kering akan cenderung mengakibatkan kadar air
rendah pada bahan tersebut.
Senyawa sulfit dapat menghambat reaksi pencoklatan enzimatis, karena
adanya hambatan terhadap enzim fenolase sangat tinggi dan bersifat irreversibel,
sehingga tidak memungkinkan terjadinya regenerasi fenolase (Eskin dkk., 1991).
Menurut Braverman (1990), mekanisme penghambatan reaksi pencoklatan
non-enzimatis oleh senyawa sulfit adalah reaksi antara bisulfit dengan gugus
aldehid dari gula sehingga gugus aldehid tersebut tidak mempunyai kesempatan
untuk bereaksi dengan asam amino.
Dengan demikian sulfit mencegah konversi D-glukosa menjadi 5-hidroksimetil-2-furfural (HMF). Senyawa ini merupakan senyawa antara yang akan
bereaksi dengan gugus amino dari protein atau asam amino membentuk pigmen
coklat melanoidin. Penambahan natrium metabisulfit selain sebagai pengawet juga
dapat mencegah reaksi pencoklatan dengan cara berinteraksi dengan gugus
karbonil, dimana hasil reaksi tersebut dapat mengikat melanoidin sehingga
mencegah terbentuknya warna coklat. Reaksi penghambatan pencoklatan
non-enzimatis oleh sulfit dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar

5.

Reaksi penghambatan
(Hildayati, 2005).

pencoklatan

non-enzimatis

oleh

sulfit

Universitas Sumatera Utara

22

Natrium Klorida (NaCl)
Natrium klorida adalah garam yang secara fisik berupa benda padatan
berwarna putih berbentuk kristal yang merupakan kumpulan senyawa dengan
bagian terbesar Natrium klorida (>80 %) serta senyawa lainnya seperti
magnesium klorida, magnesium sulfat, kalsium klorida, dan lain-lain. Garam
mempunyai sifat atau karakteristik higroskopis yang berarti mudah menyerap air,
bulk density (tingkat kepadatan) sebesar 0,8 - 0,9 dan titik lebur pada tingkat suhu
801 oC (Burhanuddin, 2001).
Perendaman umbi dengan menggunakan natrium klorida (NaCI) berperan
dalam menghambat aktivitas enzim yang dapat menimbulkan reaksi pencoklatan.
Penggunaan NaCI ini merupakan alternatif lain untuk memanfaatkan pencegah
pencoklatan selain sulfit. NaCI merupakan suatu bentuk kristal berwama putih.
NaCI bersifat larut dalam air dan dalam air terpecah menjadi ion Cl- dan Na+. Ion
Na+ akan diikat oleh asam tanat membentuk natrium tanat yang larut dalam air,
sehingga kandungan tanin dalam bahan akan berkurang dan reaksi pencoklatan
dapat dicegah (Suprapto, 2006).
Menurut Syafii (1981), fungsi perendaman garam dapur 5 % pada proses
pembuatan pati adalah untuk mencegah terjadinya pencoklatan dan penyeragaman
warna, selain itu juga sebagai penetral alkaloid, mempercepat pelarutan kalsium
oksalat dan memperpanjang masa simpan pati yang dihasilkan. Menurut
Rindasmara (2008), pencucian dan perendaman dengan air garam dalam
pembuatan pati talas berfungsi untuk menghilangkan zat-zat pengotor pada umbi.
Penurunan kadar kalsium oksalat terjadi karena reaksi antara natrium klorida
(NaCl) dan kalsium oksalat (CaC2O4). Natrium klorida (NaCl) dilarutkan dalam

Universitas Sumatera Utara

23

air terurai menjadi ion-ion Na+ dan Cl-. Ion-ion tersebut bersifat magnet. Ion Na+
menarik ion-ion yang bermuatan negatif dan ion Cl- menarik ion-ion yang
bermuatan positif.

Asam Askorbat
Asam askorbat atau vitamin C adalah jenis asam larut air, tidak berflavor,
dan tidak bersifat korosif terhadap logam. Rumus bangun asam askorbat dapat
dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6.

Rumus bangun asam askorbat (2-oxo-L-treo-hexon-1,4-lakton2,3-enediol) (Wikipedia, 2012)

Asam askorbat lebih efektif dalam menghambat aktivitas enzim polifenol oksidase
jika dibandingkan dengan asam sitrat dan asam malat. Asam askorbat tidak
berflavor sehingga tidak mengganggu produk akhir yang dihasilkan, selain itu
tidak bersifat korosif terhadap logam serta diketahui dengan baik merupakan
vitamin C (Eskin, dkk., 1971). Asam askorbat sangat sensitif terhadap suhu, kadar
garam, gula, dan rasio antara asam dehidroaskorbat dan asam askorbat, asam
askorbat juga labil terhadap cahaya, basa dan oksidasi.
Pada suasana asam dan dengan adanya panas, asam askorbat akan
dioksidasi membentuk asam dehidroaskorbat. Pemanasan dehidroaskorbat
selanjutnya akan membentuk asam 2,3 diketoglukonat dengan mengikat sebuah

Universitas Sumatera Utara

24

molekul air. Asam 2,3 diketoglukonat akan membentuk furfural dengan
melepaskan CO2. Selanjutnya akan membentuk pigmen yang berwarna coklat
(Morsy, 1991).
Asam askorbat merupakan senyawa pengkelat yang bekerja dengan cara
mengikat logam yang ada di dalam umbi sehingga logam tersebut terjerat
membentuk logam yang tidak dapat terionisasi dan tidak dapat berperan aktif
dalam reaksi dengan substrat fenol sehingga senyawa ini mencegah pembentukan
warna gelap. Ion Cu+ dan Fe3+ terbukti dapat mengaktifkan enzim polifenol
oksidase (Mazza and Qi, 1991).
Perlakuan asam adalah metode yang sering digunakan secara luas dalam
mencegah reaksi pencoklatan enzimatis, karena prosesnya

yang dapat

menurunkan pH sehingga dapat menurunkan aktivitas enzim polifenol oksidase.
pH optimum enzim polifenol oksidase berkisar antara 4-8 dan di bawah pH 3
tidak ada aktivitas enzim polifenol oksidase, jenis asam yang biasa digunakan
sebagai penghambat aktivitas enzim polifenol oksidase antara lain asam askorbat,
asam malat, asam sitrat, dan asam fosfat (Eskin, dkk., 1971).
Perubahan warna yang tidak diinginkan akibat pencoklatan dapat diatasi
dengan perlakuan perendaman dalam asam askorbat. Menurut Winarno (2002),
asam askorbat merupakan reduktor yang kuat dan mampu bertindak sebagai
oksigen scavenger, sehingga akan mencegah terjadinya oksidasi enzimatis
senyawa-senyawa fenol yang terkandung dalam umbi-umbian. Penggunaan asam
mampu menginaktivasi enzim, karena pH bahan akan diturunkan hingga dibawah
pH 5 (Eskin, dkk., 1971).

Universitas Sumatera Utara

25

Dalam reaksi pencoklatan enzimatis, asam askorbat berperan sebagai
antioksidan yang menghabiskan oksigen pada permukaan. Selain itu secara
langsung dengan mereduksi o-quinon kembali menjadi o-difenol, bereaksi dengan
quinon-quinon pada komponen yang mengalami perubahan warna dan menekan
kerja enzim (Zawitowski, dkk., 1991). Secara tidak langsung asam askorbat
mereduksi ion logam Cu2+ menjadi Cu+, asam askorbat termasuk sebagai
pereduktor logam yang kuat.
Asam askorbat mereduksi o-quinon dengan 2 gugus hidroksilnya (pada C2
dan C3), sehingga o-quinon yang dapat berperan sebagai oksidator yang baik,
asam askorbat sebagai pereduksi mengakibatkan reaksi oksidasi-reduksi
berlangsung relatif cepat. Reaksi ini mencegah terbentuknya polimer o-quinon.
Oksigen dapat mengoksidasi vitamin C menghasilkan asam dehidroaskorbat dan
hidrogen peroksida. Oksigen yang telah bereaksi dengan vitamin C mencegah
oksidasi o-difenol. Dengan tidak terbentuknya o-quinon sebagai hasil oksidasi
berarti pencoklatan dapat dicegah (Schuler, 1990).
Menurut Eskin dkk., 1971 penghambat reaksi pencoklatan yang efektif
adalah asam askorbat. Asam askorbat juga sebagai antioksidan dan mampu
mereduksi o-quinon menjadi o-dihidroksi fenol alami. Reaksi yang terjadi adalah
sebagai berikut:
o-difenol + ½ O → o-quinon + H2O
o-quinon + asam askorbat

→ o-difenol + asam dehidroaskorbat

Asam askorbat + ½ O2

→ asam dehidroaskorbat + H2O

Dengan tereduksinya o-quinon menjadi o-difenol alami, maka polimerisasi tidak
dapat berjalan karena pengaruh asam askorbat yang teroksidasi menjadi dehidro

Universitas Sumatera Utara

26

asam askorbat (Fennema, 1996). Reduksi o-quinon menjadi o-difenol dan oksidasi
asam askorbat menjadi dehidro asam askorbat dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7.

Reduksi o-quinon menjadi o-difenol dan oksidasi asam askorbat
menjadi dehidro asam askorbat (Eskin, 1991)

Mekanisme kerja asam askorbat tidak menghambat secara langsung seperti
halnya sulfit, melainkan melalui mereduksi quinon yang terbentuk menjadi
substrat polifenol semula. Proses ini disertai dengan penurunan aktivitas enzim,
oleh karena itu dikenal juga sebagai reaksi inaktivasi (Desrosier, 1988). Asam
askorbat memiliki aktivitas tinggi sebagi inhibitor proses browning enzimatis
karena kemampuannya mereduksi quinon kembali menjadi senyawa fenol
sebelum mengalami reaksi lebih lanjut menjadi pigmen. Bahan-bahan yang dapat
digunakan untuk mencegah reaksi pencoklatan adalah cystein, glutathion,
sulfonamides, asam sulfat, sodium sulfat, sodium klorida, asam hidoklorik,
sodium bisulfit dan asam askorbat.
Tingkat keasaman atau pH yang rendah dapat memberikan efek yang
sangat penting pada reaksi pencoklatan. Larutan asam sering digunakan untuk
menurunkan pH dan ini merupakan metode untuk menghambat atau

Universitas Sumatera Utara

27

memperlambat reaksi pencoklatan. Perendaman dalam larutan asam askorbat
berfungsi untuk mencegah reaksi pencoklatan enzimatis. Hal ini disebabkan
protein akan terdenaturasi pada kondisi asam (pH rendah), sehingga enzim
menjadi inaktif. Asam askorbat termasuk kelompok antioksidan oksigen
scavenger karena kemampuannya untuk mengikat oksigen sehingga tidak
mendukung reaksi oksidasi.

Penelitian Sebelumnya
Penelitian Widiyowati (2007), menghasilkan kadar natrium bisulfit yang
digunakan sebagai larutan perendam irisan ubi jalar kuning mempengaruhi kadar
protein dan vitamin C pada tepung ubi jalar kuning yang dihasilkan. Makin tinggi
kadar natrium bisulfit dalam larutan perendam dapat menghambat penurunan
kadar protein dan vitamin C dari tepung yang dihasilkan. Lama perendaman irisan
ubi jalar kuning memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kadar protein dan
kadar vitamin C. Makin lama perendaman maka penurunan kadar protein makin
dapat ditekan, sebaliknya menghasilkan efek kehilangan vitamin C yang semakin
besar. Penggunaan larutan perendaman dengan kadar natrium bisulfit sebesar
0,3 % dan lama perendaman 10 menit merupakan metode terbaik karena dapat
mempertahankan kadar protein hingga 50 % dari kadar protein ubi jalar kuning
segar.
Penelitian Prabasini dkk., (2013) menunjukkan bahwa perlakuan
perendaman dalam natrium metabisulfit (Na2S2O5) meningkatkan kelarutan dan
daya dispersi. Besarnya konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O5) berpengaruh
dalam menurunkan kadar air, kadar abu dan intensitas warna merah. Makin besar
konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O5) maka kadar air dan kadar abu semakin

Universitas Sumatera Utara

28

turun. Besarnya konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O5) tidak berpengaruh
terhadap kadar lemak, kadar protein dan daya serap air. Lama waktu perendaman
berpengaruh dalam meningkatkan kelarutan dan daya dispersi serta menurunkan
kadar abu, lemak, serat kasar dan β-karoten. Lama waktu perendaman tidak
berpengaruh terhadap daya serap air dan kadar protein. Peningkatan lama waktu
perendaman akan menurunkan kadar abu, lemak, serat kasar dan β-karoten, tetapi
akan meningkatkan kelarutan dan daya dispersinya. Perlakuan pendahuluan
berupa blanching berpengaruh dalam mempertahankan kadar lemak, kadar
β-karoten dan daya serap air. Perlakuan blanching dan perendaman dalam natrium
metabisulfit (Na2S2O5) dapat mempertahankan warna tepung labu kuning
(Cucurbita moschata), tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap kadar protein tepung labu kuning.
Penelitian Suprapto (2006), menunjukkan perlakuan penghilangan getah
menggunakan larutan garam ternyata memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan

dengan

penghilangan

getah

dengan

perlakuan

perebusan

(blanching). Dengan perendaman pada larutan garam memudahkan pengupasan,
daging buah pisang masih tetap segar, tidak keriput. Hasil uji terhadap tepung
pisang perlakuan perendaman dalam larutan garam memberikan hasil rendemen
yang lebih tinggi, warna tepung lebih putih, dan nilai vitamin C lebih tinggi.
Penelitian Kumalaningsih dkk., (2011), menunjukkan bahwa peningkatan
konsentrasi asam askorbat dan SAPP menurunkan reaksi pencoklatan tetapi tidak
ada interaksi antar perlakuan. Nilai efektifitas tertinggi (5,39) ditunjukkan dengan
penambahan 2 % asam askorbat dan 0,1 % SAPP yang menurunkan tingkat reaksi
browning dengan R2= 0,7997. Sebaliknya, potongan umbi yang tidak diberi

Universitas Sumatera Utara

29

perlakuan menunjukkan reaksi browning yang lebih cepat dengan R2 = 0,8621
setelah dibiarkan selama 12 jam. Terlihat adanya perbedaan yang signifikan pada
kecerahan tepung. Umbi yang diberi perlakuan memberikan nilai L = 79,67 dan
tanpa perlakuan menunjukkan L = 77,46. Penggunaan 0,3 % asam askorbat dapat
menghambat reaksi pencoklatan pada irisan ubi jalar untuk tujuan tepung
fermentasi (Djauhari, 1998).

Universitas Sumatera Utara