Pengaruh Sumber Daya Organisasi Terhadap Kesiapsiagaan Petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Bpbd) Kota Langsa Menghadapi Bencana Di Kota Langsa

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kesiapsiagaan Petugas dalam Menghadapi Bencana
Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba tanpa di ketahui datangnya.
Peristiwa bencana selalu membawa dampak kejutan dan merugikan baik harta benda
maupun jiwa. Resiko bencana yang timbul mungkin saja terjadi karena kurangnya
kesiapsiagaan maupun kewaspadaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Dengan
mengenal kondisi dan potensi wilayah maka diharapkan akan lebih waspada peduli
lingkungannya (BNPB, 2012).
Membangun kesiapsiagaan adalah unsur penting, namun tidak mudah
dilakukan karena menyangkut sikap mental dan budaya serta disiplin di tengah
masyarakat. Kesiapsiagaan adalah tahapan paling strategis karena sangat menentukan
ketahanan anggota masyarakat dalam menghadapi datangnya suatu bencana (Ramli,
2010).
2.1.1. Definisi Kesiapsiagaan
Pengertian kesiapsiagaan berdasarkan UU RI No. 24 Tahun 2007,
International Federation Red Cross (IFCR) dan UN-ISDR (United NationInternational Strategy for Disaster Reduction) yaitu:
“Segala upaya untuk menghadapi situasi darurat serta mengenali berbagai sumber
daya untuk memenuhi kebutuhan saat itu. Hal ini bertujuan agar masyarakat memiliki
persiapan yang baik saat menghadapi bencana” (IFRC, 2000).


19

“Segala upaya untuk menghadapi situasi darurat serta mengenali berbagai sumber
daya untuk memenuhi kebutuhan saat itu” (UU RI No.24 Tahun 2007).
“Pengetahuan dan kapasitas yang dikembangkan oleh pemerintah, profesional
kebencanaan, komunitas dan individu untuk secara efektif mengantisipasi, merespon
dan mengatasi kejadian bencana” (UN-ISDR, 2007).
Kesiapsiagaan bisa diartikan sebagai: “Kesiapan masyarakat di semua lapisan
untuk mengenali ancaman yang ada di sekitarnya serta mempunyai mekanisme dan
cara untuk menghadapi bencana”. Kesiapsiagaan dilakukan tahapan PB dan bertujuan
untuk membangun kapasitas yang diperlukan untuk secara efektif mampu mengelola
segala macam keadaan kedaruratan dan menjembatani masa transisi dari respon ke
pemulihan yang berkelanjutan (Nugroho, 2012).
Bagan Tahapan Penanggulangan Bencana , kesiapsiagaan akan ada dalam
posisi sebagaimana terlihat berikut :
Pra bencana

Saat bencana
Tanggap

darurat

Pencegahan
dan Mitigasi
Kesiapsiagaan

Pasca bencana
Rehabilitasi
dan
rekonstruksi

Gambar 2.1. Tahap Penanggulangan Bencana
Sumber : Nugroho (2012)
Menurut UU RI No. 24 Tahun 2007 Pasal 1 Angka 7, Kesiapsiagaan adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.

Kesiapsiagaan

adalah


tindakan-tindakan

yang memungkinkan

pemerintahan,

organisasi, masyarakat, komunitas, dan individu untuk mampu menanggapi suatu
situasi bencana secara cepat dan tepat guna. Termasuk ke dalam tindakan
kesiapsiagaan adalah penyusunan rencana penanggulangan bencana, pemeliharaaan,
dan pelatihan personil (Carter, 1991).
2.1.2. Kesiapsiagaan Bencana
Kesiapsiagaan

bencana

(preparedness)

adalah


upaya-upaya

yang

memungkinkan masyarakat (individu, kelompok, organisasi) dapat mengatasi bahaya
peristiwa alam, melalui pembentukan struktur dan mekanisme tanggap darurat yang
sistematis. Tujuan (1) Untuk meminimalkan korban jiwa dan kerusakan sarana-sarana
umum. (2) Kesiapsiagaan bencana meliputi upaya mengurangi tingkat resiko,
formulasi Rencana Darurat Bencana (Disasters Plan), pengolahan sumber daya
masyarakat, pelatihan warga di lokasi bencana ( Deutsche Humanitare, 2015).
Kesiapsiagaan tahap pra bencana memerlukan perencanaan skenario atas
berbagai kemungkinan tidak terduga, seperti: gempa bumi, vulkano, tsunami, banjir,
longsor, gunung TPA sampah longsor, topan, angin puyuh, kebakaran (hutan),
perubahan iklim, kecelakaan pesawat, kerusuhan, bencana kompleks, bencana
industri, kontaminasi kimia, nuklir, KLB penyakit menular, serangan teroris, bom,
biologis, kimia, fisik (Pusat Kajian Pembangunan Kesehatan SekJen Depkes, 2009).
Upaya kesiapsiagaan bencana meliputi: rencana kontigensi, penyiapan
sarana dan prasarana kesehatan, penyiapan dana operasional, pembentukan tim reaksi
cepat (brigade siaga bencana), pengembangan sistem peringatan dini, penyebaran


informasi masalah kesehatan akibat bencana, upaya penyelamatan, cara menolong,
rencana bantuan, cara bertahan sebelum bantuan datang (Pusat Kajian Pembangunan
Kesehatan SekJen Depkes, 2009).
Unsur

kegiatan

PRB

(Pengurangan

Resiko

Bencana)

dalam

hal

kesiapsiagaan menghadapi bencana sebagai berikut:

a. Keperluan untuk keadaan darurat, seperti barang pasokan kebutuhan dasar untuk
darurat bencana
b. Pengetahuan tentang prosedur tetap dalam keadaan darurat yang meliputi:
1) Lokasi evakuasi, jalur ke lokasi evakuasi, papan tanda menuju lokasi
evakuasi, dan peta jalan menuju lokasi evakuasi serta komponen evakuasi
lainnya
2) Perlengkapan dan fasilitas di lokasi evakuasi
3) Prosedur evakuasi pada saat bencana
4) Tim SAR
5) Sistem keamanan pada saat bencana
6) Layanan medis di lokasi evakuasi
7) Kendaraan transportasi menuju lokasi evakuasi
8) Sarana mandi, cuci, kakus (MCK) di lokasi evakuasi
9) Air bersih di lokasi evakuasi
10) Makanan di lokasi evakuasi
11) Pertolongan pertama, pengobatan darurat dan obat-obatan penting di lokasi
evakuasi

b. Peringatan dini yang meliputi:
1) Pengelolaan peringatan dini

2) Pengamatan gejala bencana secara sederhana
3) Penyebaran informasi peringatan dini
4) Ketersediaan alat penyebaran informasi peringatan dini (telepon, radio baterai,
handy talky)
5) Uji coba dan latihan sistem peringatan dini
c. Manajemen informasi bencana yang meliputi:
1) Sistem informasi yang mudah diakses, dimengerti dan disebarluaskan dimana
informasinya

akurat,

tepat

waktu,

dapat

dipercaya

dan


mudah

dikomunikasikan
2) Informasi penting terkini berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana, seperti
daftar nama, alamat, nomor telepon orang-orang penting dan keluarga,
lembaga, Kantor Polisi, Tim SAR, Palang Merah, Rumah Sakit, Pemadam
Kebakaran, relawan yang bisa dihubungi pada saat bencana
d. Geladi atau Simulasi (simulation), khususnya tentang peringatan dini dan
evakuasi yang dilakukan secara berkala dan rutin di lapangan untuk menguji
tingkat kesiapsiagaan dan membiasakan diri para petugas dan masyarakat (Pusat
Kajian Pembangunan Kesehatan SekJen Depkes, 2009).
Unsur kegiatan PRB dalam hal kesiapsiagaan menghadapi bencana bagi
pemerintah daerah sebagai berikut:

a. Pemerintah daerah yang melakukan, mempunyai, menyediakan dan menyebarkan
data dan informasi
b. Penilaian resiko bencana dengan memperhatikan kearifan lokal yang meliputi:
pengidentifikasian ancaman bencana, penentuan tingkat resiko bencana, dan
pemetaan wilayah resiko bencana

c. Penilaian kemampuan dan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di daerah rentan
bencana
d. Pemerintah daerah yang melakukan, membentuk dan mempunyai:
1) Perencanaan siaga (contigency planning) dengan membuat skenario kejadian
untuk tiap jenis bencana yang dibuat kebijakan penanganannya, dikaji
kebutuhannya, diinventarisasi sumber

dayanya di mana setiap sektor

membuat perencanaan masing-masing yang kemudian diuji kaji dan selalu
dimutakhirkan
2) Mobilisasi sumber daya di mana setiap sektor melakukan inventarisasi sumber
daya yang dimilikinya dan siap digunakan serta sumber daya dari luar yang
bisa dimobilisasi untuk keperluan darurat, seperti: barang pasokan kebutuhan
dasar untuk darurat bencana dan bahan, barang, perlengkapan dan peralatan
untuk pemulihan rumah, sarana dan prasarana publik
3) Pendidikan di sekolah-sekolah dan pelatihan manajerial dan teknis operasional
kebencanaan secara berkelanjutan. Forum koordinasi yang menyelenggarakan
pertemuan berkala secara rutin, saling bertukar informasi dan menyusun
rencana terpadu


4) Manajemen Darurat (response mechanism) yang menyiapkan posko dan
pemimpinnya, menyiapkan tim reaksi cepat dan prosedur tetap evakuasi, yang
meliputi:
a) Lokasi evakuasi, jalur ke lokasi evakuasi, papan tanda menuju lokasi
evakuasi, dan peta jalan menuju lokasi evakuasi
b) Perlengkapan dan fasilitas di lokasi evakuasi
c) Prosedur evakuasi pada saat bencana
d) Tim SAR
e) Sistem keamanan pada saat bencana
f)

Layanan medis di lokasi evakuasi

g) Kendaraan transportasi menuju lokasi evakuasi
h) Sarana mandi, cuci, kakus (MCK) di lokasi evakuasi
i)

Air bersih di lokasi evakuasi


j)

Makanan di lokasi evakuasi

k) Pertolongan pertama, pengobatan darurat dan obat-obatan penting di
lokasi evakuasi
5). Peringatan Dini yang meliputi:
a) Pengelolaan peringatan dini
b) Pembangunan,

pemasangan

dan

pengoperasian

peralatan

mengamati gejala bencana
c) Metode untuk menganalisa hasil pengamatan gejala bencana
d) Proses pembuatan keputusan status bencana berdasar hasil analisa

untuk

e) Sistim penyebaran informasi hasil keputusan status bencana
f)

Ketersediaan alat penyebaran informasi peringatan dini (telepon, radio
baterai, handy talky)

g) Uji coba dan latihan sistem peringatan dini
6). Manajemen informasi bencana yang mempunyai:
a) Sistem informasi yang mudah diakses, dimengerti dan disebarluaskan
dimana informasinya: akurat, tepat waktu, dipercaya dan mudah
dikomunikasikan
b) Informasi penting terkini berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana, seperti
daftar nama, alamat, nomor telepon orang-orang penting dan keluarga,
lembaga, kantor polisi, tim SAR, Palang Merah, rumah sakit, Pemadam
Kebakaran, relawan yang bisa dihubungi pada saat bencana
c) Geladi atau Simulasi (simulation), khususnya tentang peringatan dini dan
evakuasi, yang dilakukan secara berkala dan rutin di lapangan untuk
menguji tingkat kesiapsiagaan dan membiasakan diri para petugas dan
masyarakat (DRRA, 2011).
2.1.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesiapsiagaan
Penanggulangan bencana adalah merupakan bagian integral dari pembukaan
nasional dalam rangka melaksanakan amanat alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945.
Dalam implementasinya, penanggulangan bencana menjadi tugas dan tanggungjawab
pemerintah dan pemerintah daerah bersama-sama masyarakat.

Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
disebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung
jawab pemerintah dan pemerintah daerah yang dilaksanakan secara terencana,
terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh pada tahapan pra bencana, saat tanggap
darurat dan pasca bencana (BNPB, 2008).
Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, bencana dibedakan menjadi 3 yaitu
bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Bencana-bencana ini
dipengaruhi oleh kerentanan pada masyarakat, bahaya bencana, kapasitas dan resiko
bencana tersebut. Untuk itu diperlukan sebuah sistem nasional untuk menanggulangi
bencana, sehingga pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana
membuat sebuah sistem nasional penanggulangan bencana yang mempunyai
komponen

legislasi,

kelembagaan,

perencanaan,

pendanaan,

IPTEK,

dan

penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Upaya penanggulangan bencana merupakan kegiatan yang mempunyai
fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengendalian

dalam

Management Cycle).

lingkup

“Siklus

Penanggulangan

Bencana”

(Disaster

Kesiapsiagaan
Mitigasi

Tanggap darurat
Pra bencana

Saat bencana

Pencegahan
Rekontruksi

Pasca Bencana

Pemulihan

Gambar 2.2. Siklus Penanggulangan Bencana
Sumber: BNPB (2008)
Siklus di atas memperlihatkan bahwa kegiatan penanggulangan bencana
dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap sebelum terjadi bencana (pra bencana), saat
dan pasca bencana. Kegiatan sebelum terjadi bencana meliputi pencegahan, mitigasi
(pelunakan atau penjinakan dampak) dan kesiapsiagaan. Pada saat bencana dilakukan
kegiatan tanggap darurat, sementara pada saat setelah terjadinya (pasca) bencana
dilakukan kegiatan pemulihan dan rekontruksi (Depkes RI, 2006).
Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diartikan sebagai segala bentuk
kegiatan untuk meminimalkan jatuhnya korban jiwa dan hilang atau rusaknya aset
serta harta benda baik melalui upaya mitigasi bencana (pencegahan, peningkatan
kesiapsiagaan) ataupun upaya mengurangi kerentanan (fisik, material, sosial
kelembagaan, perilaku). Model pengurangan resiko bencana yang banyak dianut dan
sekaligus menjadi acuan oleh ahli kebencanaan adalah apa yang tertulis di dalam

Hyogo Framework for Action (HFA) 2005-2015 : Buiding the Resileince of Nations
for Communities of Disasters. Di dalam HFA tersebut disebutkan bahwa pengurangan
resiko bencana dilakukan dengan mengintegrasikan dalam kebijakan-kebijakan
pembangunan yang berkelanjutan dengan memasukkan unsur pengurangan resiko
bencana yang menekankan pada pencegahan bencana, mitigasi, kesiapsiagaan dan
mengurangi kerentanan (Zamroni, 2011).
Menurut Peraturan Kepala BNPB No. 4 Tahun 2008, faktor-faktor yang
mempengaruhi kesiapsiagaaan petugas dalam menghadapi bencana, didasarkan dari
upaya kesiapsiagaan yang dilakukan antara lain:
1.

Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya

2.

Pelatihan simulasi atau geladi teknis bagi setiap sektor penanggulangan bencana
(SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum)

3.

Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan

4.

Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumber daya

5.

Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna
mendukung tugas kebencanaan

6.

Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning)

7.

Penyusunan rencana kontigensi (contigency plan)

8.

Mobilisasi sumber daya (personil dan sarana)
Menurut PAHO (Pan American Health Organization) kesiapsiagaan

menghadapi bencana merupakan suatu aktifitas lintas-sektor yang berkelanjutan.
Kegiatan itu membentuk suatu bagian yang tak terpisahkan dalam sistem nasional

yang bertanggung jawab untuk mengembangkan perencanaan dan program
pengelolaan bencana ( pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons, rehabilitasi atau
rekontruksi). Sistem tersebut namanya bervariasi sesuai negaranya bergantung pada
koordinasi berbagai sektor yang mengemban tugas-tugas sebagai berikut :
1. Mengevaluasi resiko yang ada pada suatu negara atau daerah tertentu terhadap
bencana
2. Menjalankan standar dan peraturan
3. Mengatur sistem komunikasi, informasi, dan peringatan
4. Menjamin mekanisme koordinasi dan tanggapan
5. Menjalankan langkah-langkah untuk memastikan bahwa sumber daya keuangan
dan sumber daya lain tersedia untuk meningkatkan kesiapan dan dapat
dimobilisasikan saat situasi bencana
6. Mengembangkan program pendidikan masyarakat
7. Mengkoordinasikan penyampaian informasi pada media massa
8. Mengorganisasi latihan simulasi bencana yang dapat menguji mekanisme respons
atau tanggapan
LIPI-UNESCO/ISDR (2006) memaparkan ada 5 faktor kritis parameter
kesiapsiagaan bencana yaitu: 1. Pengetahuan dan Sikap terhadap resiko bencana
(Knowledge and Attitude – KA), 2. Kebijakan dan Panduan (Policy Statement – PS),
3. Rencana Tanggap Darurat (Emergency Planning - EP), 4. Sistem Peringatan
Bencana (Warning System - WS), 5. Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya
(Resource Mobilization Capacity - RMC).

2.1.4. Upaya Dilakukan Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana sangat penting dilakukan
untuk memastikan terlaksananya tindakan yang cepat dan tepat pada saat terjadi
bencana. Pelaksanaan kegiatan kesiapsiagaan dilakukan oleh instansi atau lembaga
yang berwenang, baik secara teknis maupun administratif, yang dikoordinasikan oleh
BNPB dan BPBD ( Kadamek, 2014 ).
Upaya kesiapsiagaan dapat dilakukan dengan melakukan suatu rencana aksi
yang diimplementasikan dalam suatu kegiatan yang bertujuan untuk pengurangan
resiko bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan
berubahnya tata kehidupan masyarakat (BNPB, 2008). Upaya kegiatan kesiapsiagaan
dapat berupa :
1. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana
2. Pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini
3. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar
4. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap
darurat
5. Penyiapan lokasi evakuasi
6. Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap
darurat Bencana dan
7. Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan
pemulihan prasarana dan sarana.

Kegiatan kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud di atas adalah merupakan tanggung
jawab pemerintah, pemerintah daerah dan dilaksanakan bersama-sama masyarakat
dan lembaga usaha (Kadamek, 2014).

2.2. Bencana
2.2.1. Pengertian Bencana
Undang-undang No.24 Tahun 2007 mendefinisikan bencana adalah “peristiwa
atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik faktor alam dan faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis”.
Definisi bencana seperti dipaparkan di atas mengandung tiga aspek dasar, yaitu:
a.

Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard)

b.

Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan, dan
fungsi dari masyarakat

c.

Ancaman

tersebut

mengakibatkan

korban

dan

melampaui

kemampuan

masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka
Menurut United Nation Development Program (UNDP), bencana adalah
suatu kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang secara
merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda atau aktifitas sampai pada
tingkat yang menimbulkan bencana (Ramli, 2010).

Bencana adalah suatu kejadian, secara alami maupun karena ulah manusia,
terjadi secara mendadak ataupun berangsur-angsur, menimbulkan akibat yang
merugikan sehingga masyarakat dipaksa untuk melakukan tindakan penanggulangan
(Bakornas PB, 1999).
Menurut NFPA 1600: Standard on Disaster / Emergency Management and
Business Continuity Programs:
Bencana adalah kejadian sumber daya, personal atau material yang tersedia di
daerah bencana tidak dapat mengendalikan kejadian luar biasa yang dapat
mengancam nyawa atau sumberdaya fisik dan lingkungan.
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam,
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis.
Manajemen bencana adalah upaya sistematis dan komprehensif untuk
menanggulangi semua kejadian bencana secara cepat, tepat, dan akurat untuk
menekan korban dan kerugian yang ditimbulkannya (Ramli, 2010).
2.2.2. Jenis Bencana
United Nation for Development Program (UNDP) mengelompokkan bencana
atas 3 (tiga) jenis yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.
a.

Bencana alam (natural disaster) antara lain berupa gempa bumi, letusan gunung
api, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan karena faktor alam,

hama penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian
antariksa (benda-benda angkasa)
b.

Bencana non alam antara lain kebakaran hutan yang disebabkan oleh manusia,
kecelakaan transportasi, kegagalan kontruksi (teknologi), dampak industri,
ledakan nuklir, pencemaran lingkungan, dan kegiatan keantariksaan

c.

Bencana sosial antara lain berupa kerusuhan dan konflik sosial dalam masyarakat
yang sering terjadi termasuk bencana akibat peperangan
Menurut Undang-undang No.24 Tahun 2007, bencana diklasifikasi atas 3 jenis

sebagai berikut:
a.

Bencana Alam yaitu bencana yang bersumber dari fenomena alam seperti gempa
bumi, letusan gunung berapi, meteor, pemanasan global, banjir, topan, dan
tsunami

b.

Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit

c.

Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar
kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror

Pemerintah melalui BNPB, membagi jenis-jenis bencana antara lain:
a.

Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi
yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, aktifitas
gunung api atau runtuhan batuan

b.

Letusan gunung api merupakan bagian dari aktifitas vulkanik yang dikenal
dengan istilah “erupsi”. Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas,
lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir
lahar

c.

Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak lautan (“tsu”
berarti lautan, “nami” berarti gelombang ombak). Tsunami adalah serangkaian
gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena ada pergeseran di dasar laut
akibat gempa bumi

d.

Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun

percampuran

keduanya,

menuruni

atau

keluar

lereng

akibat

terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng
e.

Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau
daratan karena volume air yang meningkat

f.

Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air yang
besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai

g.

Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk
kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi & lingkungan. Adapun yang
dimaksud kekeringan di bidang pertanian adalah kekeringan adalah kekeringan
yang terjadi di lahan pertanian yang ada tanaman (padi, jagung, kedelai dan lainlain) yang sedang dibudidayakan

h.

Kebakaran adalah situasi dimana bangunan pada suatu tempat seperti
pemukiman, pabrik, pasar, gedung dan lain-lain dilanda api yang menimbulkan
korban dan kerugian harta

i.

Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan dan lahan dilanda
api, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan yang menimbulkan
kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan
seringkali menyebabkan bencana asap yang dapat mengggangu aktifitas dan
kesehatan masyarakat sekitar

j.

Angin puting beliung adalah angin kencang yang datang secara tiba-tiba,
mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai spiral dengan kecepatan 4050 km/jam sehingga menyentuh permukaan bumi dan akan hilang dalam waktu
singkat (3-5 menit)

k.

Gelombang pasang atau badai adalah gelombang tinggi yang ditimbulkan karena
efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dan berpotensi kuat
menimbulkan bencana alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi
keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat terjadinya angin
kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras

l.

Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut
yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan
garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam
daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami,
namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi

m. Kecelakaan transportasi adalah kecelakaan moda transportasi yang terjadi di
darat, laut dan udara
n.

Kecelakaan industri adalah kecelakaan yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu
perilaku kerja yang berbahaya (unsafe human act) dan kondisi yang berbahaya
(unsafe conditions). Adapun jenis kecelakaan yang terjadi sangat bergantung
pada macam industrinya, misalnya bahan dan peralatan kerja yang dipergunakan,
proses kerja, kondisi tempat kerja, bahkan pekerja yang terlibat di dalamnya

o.

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah
dalam kurun waktu tertentu. Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004

p.

Konflik sosial atau kerusuhan sosial atau huru hara adalah suatu gerakan massal
yang bersifat merusak tatanan dan tata tertib sosial yang ada, yang dipicu oleh
kecemburuan sosial, budaya dan ekonomi yang biasanya dikemas sebagai
pertentangan antar suku, agama, ras (SARA)

q.

Aksi Teror adalah aksi yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga menimbulkan
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan sehingga
mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda, mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik internasional

r.

Sabotase adalah tindakan yang dilakukan untuk melemahkan musuh melalui
subversi, penghambatan, pengacauan dan penghancuran. Dalam perang, istilah
ini digunakan untuk mendiskripsikan aktivitas individu atau grup yang tidak
berhubungan dengan militer, tetapi dengan spionase. Sabotase dapat dilakukan
terhadap beberapa struktur penting, seperti infrasruktur, struktur ekonomi, dan
lain-lain ( BNPB, 2009)

2.2.3. Faktor Penyebab Bencana
Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau
gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability)
masyarakat. Hubungan keduanya dapat digambarkan, bila gangguan atau ancaman
tersebut muncul ke permukaaan tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti
masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu tersebut, sementara
bila kondisi masyarakat rentan tetapi tidak terjadi peristiwa yang mengancam maka
tidak akan terjadi bencana ( BPBD Banyuwangi, 2015).
Indonesia memiliki banyak wilayah yang rawan bencana, baik bencana alam
maupun bencana yang disebabkan oleh ulah manusia. Bencana dapat disebabkan oleh
beberapa faktor seperti kondisi geografis, geologis, iklim maupun faktor-faktor lain
seperti keragaman sosial, budaya dan politik. Bencana dapat disebabkan oleh
kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia (man-made disaster).
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain:
a.

Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made
hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster

Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological
hazards),

bahaya

hidrometeorologi

(hydrometeorological

hazards)

dan

penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation)
b.

Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta
elemen-elemen di dalam kota atau kawasan yang berisiko bencana

c.

Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat (KEMNEG
PPN/BPPN dan BAKORNAS PB, 2006)

Menurut BNPB faktor-faktor penyebab dari bencana adalah :
1. Banjir
a. Curah hujan tinggi
b. Permukaan tanah lebih rendah dibandingkan muka air laut
c. Terletak pada suatu cekungan yang dikelilingi perbukitan dengan pengaliran
air keluar sempit
d. Banyak pemukiman yang dibangun pada dataran sepanjang sungai
e. Aliran sungai tidak lancar akibat banyaknya sampah serta bangunan di pinggir
sungai
f. Kurangnya tutupan lahan di daerah hulu sungai
2.

Kebakaran
Pada umumnya penyebab kebakaran dan peledakan bersumber pada 3 faktor:
a. Faktor manusia
1) Pekerja (human error, kurang disiplin, dsb)

2) Pengelola (minimnya pengawasan, rendahnya perhatian terhadap
keselamatan kerja, dsb)
b. Faktor teknis
1) Fisik atau mekanis (peningkatan suhu atau adanya api terbuka)
2) Kimia (penanganan, pengangkutan, penyimpanan tidak sesuai petunjuk
yang ada)
3) Listrik (hubungan arus pendek atau korsleting)
4) Faktor alam dan bencana alam (petir, gunung meletus, gempa bumi, dsb)
3.

Gempa bumi
a. Proses tektonik akibat pergerakan kulit atau lempeng bumi
b. Aktivitas sesar di permukaan bumi
c. Pergerakan geomorfologi secara lokal, contohnya terjadi runtuhan tanah
d. Aktivitas gunung api
e. Ledakan nuklir (Ramli, 2010)

4.

Tanah longsor
a. Meningkatnya sudut lereng karena kontruksi baru atau karena erosi sungai
b. Meningkatnya kandungan air yang disebabkan oleh hujan lebat atau naiknya
air tanah
c. Hilangnya

tumbuh-tumbuhan

karena

kebakaran,

penebangan

dan

penggundulan hutan yang menyebabkan melemahnya partikel-partikel tanah
dan erosi

d. Macetnya atau berubahnya materi-materi lereng karena kondisi cuaca dan
proses alam, penempatan pipa bawah tanah untuk sarana, atau penggunaan
lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah
e. Getaran akibat gempa bumi, letusan, gerakan mesin, dan lalu lintas
f. Penambahan beban oleh hujan, materi vulkanis, bangunan atau rembesan dari
irigasi dan sistem-sistem pembuangan sampah
5.

Tsunami
a. Gempa bumi yang diikuti dengan perpindahan massa tanah atau batuan yang
sangat besar di bawah air (laut atau danau)
b. Tanah longsor di dalam laut
c. Letusan gunung api di bawah laut atau gunung api pulau

6.

Letusan Gunung Api
Letusan gunung api merupakan peristiwa yang terjadi akibat endapan magma di
dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi.
Magma adalah cairan pijar yang terdapat di dalam lapisan bumi dengan suhu
yang sangat tinggi yakni diperkirakan lebih dari 1000ºC. Cairan magma yang
keluar dari dalam bumi disebut lava. Suhu lava yang dikeluarkan bisa mencapai
700-1.200ºC. Letusan gunung berapi yang membawa batu dan abu dapat
menyembur sampai sejauh radius 18 km atau lebih, sedangkan lavanya bisa
membanjiri sampai sejauh radius 90 km

7. Kekeringan
Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal
dalam satu musim. Pengukuran kekeringan Meteorologis merupakan indikasi
pertama adanya bencana kekeringan. Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadi
kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur
berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan air tanah. Kekeringan
hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. Kekeringan pada
lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air di
dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada
periode waktu tertentu pada wilayah yang luas yang menyebabkan tanaman
menjadi kering dan mengering
8.

Angin Topan
Angin topan adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan angin 120 km/jam
atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis diantara garis balik utara dan
selatan, kecuali di daerah-daerah yang sangat berdekatan dengan khatulistiwa.
Angin topan disebabkan oleh perbedaan tekanan dalam suatu sistem cuaca.
Angin paling kencang yang terjadi di daerah tropis ini umumnya berpusar dengan
radius ratusan kilometer di sekitar daerah sistem tekanan rendah yang ekstrim
dengan kecepatan sekitar 20 km/jam. Di Indonesia dikenal dengan sebutan angin
badai

9.

Gelombang Pasang
Gelombang pasang adalah gelombang air laut yang melebihi batas normal dan
dapat menimbulkan bahaya baik di lautan, maupun di darat terutama daerah
pinggir pantai. Umumnya gelombang pasang terjadi karena adanya angin
kencang atau topan, perubahan cuaca yang sangat cepat, dan karena ada
pengaruh dari gravitasi bulan maupun matahari. Kecepatan gelombang pasang
sekitar 10-100 km/jam.

10. Kegagalan Teknologi
Kegagalan teknologi adalah semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh
kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam
penggunaan teknologi dan industri
Penyebabnya:
1) Kebakaran
2) Kegagalan atau kesalahan desain keselamatan pabrik dan teknologi
3) Kesalahan prosedur pengoperasian pabrik dan teknologi
4) Kerusakan komponen
5) Kebocoran reaktor nuklir
6) Kecelakaan transportasi (darat, laut, udara)
7) Sabotase atau pembakaran akibat kerusuhan
8) Dampak ikutan dari bencana alam (gempa bumi, banjir, dan sebagainya)

2.3. Sumber Daya Organisasi
2.3.1. Pengertian Sumber Daya Organisasi
Organisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: 1. kesatuan
(susunan dsb) yang terdiri atas bagian-bagian (orang dsb) di perkumpulan dsb untuk
tujuan tertentu; 2. kelompok kerja sama antar orang-orang yang diadakan untuk
mencapai tujuan bersama. Sedangkan menurut Malayu (2001) organisasi adalah suatu
sistem perserikatan formal dari dua orang atau lebih yang bekerjasama untuk
mencapai tujuan tertentu.
Penanganan bencana memerlukan sumber daya yang memadai sesuai
dengan tingkat dan jenis bencana yang akan dihadapi. Oleh karena itu, manajemen
atau pimpinan tertinggi dari organisasi harus menyediakan sumber daya organisasi
yang diperlukan untuk mengelola bencana di lingkungannya masing-masing (Ramli,
2010).
2.3.2. Komponen Sumber Daya Organisasi
Unsur-unsur manajemen yang bisa disamakan seperti komponen sumber daya
organisasi, terdiri dari: man, money, methode, machines, materials, dan market,
disingkat 6M (Malayu, 2001). Menurut Aditama (2003), komponen sumber daya
organisasi adalah: (a) tenaga; (b) dana; (3) sarana; (4) prosedur kerja.
Menurut Peraturan Kepala BNPB No.4 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Penyususunan Rencana Penanggulangan Bencana, bahwa kesiapsiagaan dilaksanakan
untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya
korban

jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat.

Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi
kegiatan yang dilakukan antara lain:
1. Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya
2. Simulasi atau geladi teknis bagi setiap sektor penanggulangan bencana (SAR,
sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum)
3. Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan
4. Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumber daya dan logistik
5. Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna
mendukung tugas kebencanaan
6. Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning)
7. Penyusunan rencana kontigensi (contigency plan)
8. Mobilisasi sumber daya (personil dan sarana)
Konferensi Sedunia tentang Peredaman Bencana (World Conference on
Disaster Reduction) diselenggarakan tanggal 18-22 Januari 2005 di Kobe, Hyogo,
Jepang dan mengadopsi Kerangka Kerja Aksi 2005-2015 : Membangun Ketahanan
Bangsa dan Komunitas terhadap Bencana (Framework for Action 2005-2015 :
Building the Resilience of Nations and Communities to Disasters atau lebih dikenal
dengan Hyogo Framework for Action menetapkan: penggalakan suatu budaya
pencegahan, termasuk melalui mobilisasi sumber daya yang mencukupi untuk
peredaman resiko bencana, merupakan suatu intervensi sangat penting yang
melindungi dan menyelamatkan nyawa, harta benda dan penghidupan, memberi
sumbangan pada keberlanjutan pembangunan, dan jauh lebih efektif dari segi biaya

dalam memperkuat mekanisme bertahap dibandingkan dengan jika mengandalkan
hanya pada respon pasca bencana dan pemulihan.
Menurut Hyogo Framework for Action (2005) hal-hal yang berkaitan dengan
sumber daya adalah:
1.

Menjajaki kapasitas sumber daya manusia yang ada untuk peredaman resiko
bencana di semua tingkat dan mengembangkan rencana dan program
peningkatan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan yang sedang berlangsung dan
di masa depan

2.

Mengalokasikan sumber daya untuk pengembangan dan pelaksanaan kebijakan
dan program pengelolaan resiko bencana, perundangan dan peraturan peredaman
resiko bencana di semua sektor dan kewenangan yang relevan di semua tingkat
administratif dan anggaran dengan berdasar pada aksi-aksi yang mempunyai
prioritas yang jelas

3.

Pemerintah harus menunjukkan kemauan politik yang kuat yang diperlukan
untuk menggalakkan dan mengintegrasikan peredaman resiko bencana ke dalam
program pembangunan

2.4. Landasan Teori
Kesiapsiagaan bencana secara terminologi adalah semua upaya dan kegiatan
yang dilakukan sebelum terjadi bencana alam untuk:
1.

Mengurangi resiko atau dampak bencana alam

2.

Secara cepat dan efektif merespon keadaaan atau situasi pada saat darurat
bencana (apa yang harus dilakukan dan bagaimana) (LIPI-UNESCO/ISDR,
2006)
Upaya kesiapsiagaan dapat dilakukan dengan melakukan suatu rencana aksi

yang diimplementasikan dalam suatu kegiatan yang bertujuan untuk Pengurangan
Resiko Bencana (PRB) guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda
dan berubahnya tata kehidupan masyarakat (BPBD, 2008).
Menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006) memaparkan faktor-faktor kritis
parameter kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana yaitu:
1.

Pengetahuan dan Sikap terhadap resiko bencana (Knowledge and Attitude)
merupakan pengetahuan dasar dan sikap petugas mengenai bencana seperti jenis
dan faktor bencana, bencana banjir, serta prosedur, lokasi dan jalur evakuasi
bencana

2.

Kebijakan dan Panduan (Policy Statement) yang berkaitan dengan kesiapsiagaan
dalam menghadapi bencana seperti tersedianya draft, renstra, protap, tempat
evakuasi, panduan pemenuhan kebutuhan dasar

3.

Rencana Tanggap Darurat (Emergency Planning) adalah rencana/ tindakan yang
diperlukan untuk menangani keadaan darurat dalam hal kesiapsiagaan
menghadapi bencana seperti pembuatan peta, penampungan sementara, nomor
hotline informasi, posko, geladi pelatihan/ simulasi, analisis resiko, perencanaan
kontijensi

4.

Sistem Peringatan Bencana (Warning System) merupakan serangkaian sistem
untuk memberitahukan akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa bencana
meupun tanda-tanda alam lainnya. Dalam hal ini berkaitan dengan sistem
informasi, penyampaian informasi, pengembangan sistem peringatan dini,
pelatihan dan simulasi
Sumber Daya Organisasi adalah alat untuk mencapai tujuan organisasi

(Hafidi, 2007 dalam Elvianita, 2012). Berdasarkan tinjauan kepustakaan yang
dijabarkan diatas, dapat dijelaskan bahwa komponen sumberdaya organisasi dalam
hal ini sumber daya manusia, sarana dan material serta sumber daya finansial sangat
mempengaruhi kesiapsiagaan bencana dari petugas penanggulangan bencana.
Berbagai sumber daya organisasi yang diperlukan untuk menangani suatu bencana
antara lain:
a.

Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia, yang oleh sementara ilmuwan disebut sebagai

manajemen

kepegawaian,

merupakan

pengambilan

langkah-langkah

tertentu

sedemikian rupa sehingga sumber daya manusia sebagai unsur terpenting dalam
setiap organisasi, benar-benar berperan sesuai dengan posisi sentralnya dalam
kehidupan organisasi (Siagian,SP. 1995).
Manajemen sumber daya manusia adalah penarikan, seleksi, pengembangan,
pemeliharaan, dan penggunaan sumber daya manusia untuk mencapai baik tujuantujuan individu maupun organisasi (Handoko, 2000). Penanganan bencana
memerlukan sumber daya manusia yang memadai baik dari segi jumlah maupun

kompetensi dan kemampuannya. Banyak permasalahan timbul ketika bencana terjadi
karena sumber daya yang terlibat dalam penanggulangan kurang memadai atau tidak
tahu tugas dan tanggung jawabnya (Ramli, 2010).
Penyusunan sistem manajemen bencana yang baik, terlebih dahulu harus
diidentifikasi kebutuhan sumber daya manusia yang diperlukan misalnya untuk tim
penanggulangan, tim medis, tim logistik, tim teknis, dan lainnya.
b.

Sarana dan Material
Bencana tidak dapat ditanggulangi dengan efektif dan cepat tanpa didukung

oleh sarana dan logistik yang memadai. Kebakaran misalnya harus dipadamkan
dengan menggunakan peralatan pemadam kebakaran yang handal dan sesuai.
Tumpahan minyak di laut, harus ditanggulangi dengan menggunakan sarana
penanggulangan minyak seperti oil boom, oil skimmer, kapal khusus, dan peralatan
lainnya (Ramli, 2010).
Bencana alam memerlukan sarana khusus untuk mengatasi dampak bencana
misalnya alat berat, alat rescue, peralatan medis, dan lainnya. Tanpa dukungan
peralatan tersebut, jelas upaya penanggulangan akan terhambat bahkan gagal. Sarana
dan

material

merupakan

unsur

penting

dalam

mendukung

keberhasilan

penanggulangan bencana. Banyak kejadian, dimana korban tidak berhasil ditolong
karena tidak tersedianya sarana dan materi yang memadai sehingga korban meningkat
(Ramli, 2010). Dukungan logistik dan sarana yang dibutuhkan harus tepat waktu,
tepat tempat, tepat jumlah, tepat kualitas, tepat kebutuhan dan tepat sasaran,
berdasarkan skala prioritas dan standar pelayanan (BNPB, 2008).

Berbagai peristiwa bencana yang terjadi, terlihat masih lemahnya kondisi
sarana dan materi yang dimiliki oleh tim tanggap darurat di Indonesia. Banyak
kejadian dimana korban yang seharusnya dapat dibantu, justru meninggal karena
terlambatnya bantuan dan kurangnya peralatan. Peralatan adalah segala bentuk alat
dan peralatan yang dapat dipergunakan untuk membantu penyelamatan dan evakuasi
masyarakat terkena bencana, pemenuhan kebutuhan dasar dan untuk pemulihan
segera prasarana dan sarana vital (BNPB, 2008).
Menurut Ramli ( 2010) beberapa sarana yang diperlukan dalam penanganan
bencana antara lain:
1.

Alat rescue seperti dongkrak, pemotong besi dan beton, pengungkit, dan alat
deteksi korban

2.

Alat pemadam kebakaran

3.

Peralatan penanggulangan bahan kimia berbahaya dan beracun

4.

Peralatan keselamatan untuk menanggulangi kejadian seperti topi, masker,
sepatu, sarung tangan

5.

Peralatan komunikasi

6.

Peralatan medis

7.

Peralatan transportasi
Jenis dan jumlah sarana untuk tingkat wilayah, daerah atau perusahaan tentu

berbeda. Adalah sangat sulit dan mahal bagi suatu daerah atau perusahaan memenuhi
semua kebutuhan perlengkapan yang diperlukan. Salah satu upaya paling baik dan
praktis adalah dengan melakukan mobilisasi dan mutual assistance antara semua

unsur atau organisasi yang ada di suatu wilayah. Untuk itu, pihak berwenang atau
atau koordinator bencana setempat dapat melakukan inventarisasi sarana yang
tersedia di seluruh wilayahnya misalnya pemilik, lokasi peralatan, jenis, jumlah dan
ketersediaannya dalam suatu keadaan bencana. Dengan kerjasama tersebut, biaya
pengadaan sarana dapat ditangani bersama (Ramli, 2010).
c.

Sumber Daya Finansial
Kegiatan manajemen tanggap darurat jelas membutuhkan biaya, baik sebelum

kejadian maupun saat dan setelah kejadian. Sebelum kejadian diperlukan dukungan
finansial untuk penyediaan perlengkapan, pelatihan personil dan membangun suatu
sistem atau pusat komando penanggulaangan bencana yang baik. Saat kejadian
bencana akan diperlukan dana yang disesuaikan dengan skala dan tingkat bencana.
Setelah bencana diperlukan dukungan finansial untuk kegiatan rekontruksi dan
pemulihan, oleh karena itu diperlukan komitmen manajemen atau pimpinan tertinggi
organisasi yang telah ditetapkan dalam kebijakan manajemen bencana (Ramli, 2010).
Pada penanggulangan bencana, dibutuhkan alokasi dana yang selalu tersedia
sesuai dengan komitmen pemerintah yang dituangkan dalam UU No.24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana Jo Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2008
tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Penanggulangan Bencana. Dana
penanggulangan bencana adalah dana yang digunakan bagi penanggulangan bencana
untuk tahap pra bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana. Dana
penanggulangan bencana berasal dari:

1. APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) terdiri dari:
a. Dana kontijensi bencana, untuk kegiatan kesiapsiagaan pada tahap pra bencana
b. Dana siap pakai, ditempatkan dalam anggaran BNPB untuk kegiatan pada saat
tanggap darurat
c. Dana bantuan sosial berpola hibah; untuk kegiatan pada tahap pasca bencana
2. APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah)
3. Masyarakat, dimana pemerintah dan pemerintah daerah mendorong partisipasi
masyarakat dalam penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat.
Penanganan bencana tidak akan berhasil baik jika tidak didukung oleh
pengorganisasian baik level taktis maupun level strategis. Untuk itu perlu dibangun
atau ditetapkan organisasi manajemen bencana yang menjadi landasan penanganan
bencana di lingkungan masing-masing. Manajemen bencana harus dijalankan dan
diorganisir dengan baik. Tanpa pengorganisasian yang baik dan rapi, penanganan
bencana akan kacau dan lamban sehingga tidak efektif. Oleh karena itu, salah satu
elemen penting dalam sistem manajemen bencana adalah penetapan organisasi dan
tanggung jawab yang jelas (UU No.24 Tahun 2007).
Berdasarkan UU No.24 Tahun 2007 pasal 10, Pemerintah membentuk Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan pasal 18, Pemerintah Daerah
membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Hal ini juga sesuai
dengan Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang
ditetapkan melalui Peraturan Mendagri No.46 Tahun 2008 dan Peraturan Kepala
BNPB No.3 Tahun 2008.

Komponen sumber daya
organisasi

a. Sumber Daya Manusia
b. Sarana dan Material
c. Sumber Daya
Finansial

Faktor-faktor Kesiapsiagaan Petugas
Penanggulangan Bencana

a.
b.
c.
d.

Pengetahuan
Kebijakan dan Panduan
Rencana Tanggap Darurat
Sistem Peringatan Bencana

Gambar 2.3. Hubungan antara Komponen Sumber Daya Organisasi dengan
Faktor-faktor Kesiapsiagaan Petugas Penanggulangan Bencana
Sumber: LIPI-UNESCO/ ISDR (2006) dalam Ramli (2010)

2.5 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori yang telah peneliti paparkan maka yang menjadi
variabel bebas adalah sumber daya organisasi berupa personil, sarana, dan dana.
Sedangkan variabel terikat adalah kesiapsiagaan petugas BPBD dalam menghadapi
bencana.
Variabel Bebas (X)

Sumber Daya Organisasi
- Personil
- Sarana
- Dana

Variabel Terikat (Y)

Kesiapsiagaan Petugas BPBD
Kota Langsa dalam
Menghadapi Bencana

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian