Hubungan Rasio Limfosit Monosit Pre Operasi Dengan Prognosis Pasien Osteosarkoma Di RSUP. Haji Adam Malik Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Osteosarkoma
Osteosarkoma disebut juga osteogenik sarcoma adalah suatu neoplasma ganas yang

berasal dari sel primitive (poorly differentiated cells) di daerah metafise tulang panjang.
Disebut osteogenik oleh karena perkembangannya berasal dari seri osteoblastik sel mesenkim
primitif. Osteosarkoma merupakan neoplasma primer dari tulang yang tersering setelah
myeloma multiple. Osteosarkoma biasanya terdapat pada metafisis tulang panjang di mana
lempeng pertumbuhannya (epiphyseal growth plate) sangat aktif, yaitu pada distal femur,
proksimal tibia dan fibula, proksimal humerus dan pelvis(Bielack, 2009).
Osteosarkoma merupakan tumor ganas primer tulang terbanyakdan menempati urutan
ke-8 pada tumor ganas setelah leukemia (30%), keganasan otak dan sistem saraf (22,3%),
neuroblastoma

(7,3%),

tumor


Wilms

(5,6%),

limfoma

non-Hodgkin

(4,5%),

rabdomiosarkoma (3,1%), retinoblastoma (2,8%), osteosarkoma (2,4%).
Osteosarkoma dapat terjadi pada rentang usia 2 sampai 92 tahun, tetapi paling sering
terjadi pada dekade kedua (60%) dan dekade ketujuh (10%). Puncak pertama pada usia 10 –
20 tahun dan puncak kedua pada usia 60 tahun. Osteosarkoma primer terjadi pada usia
dekade kedua, sedangkan pada usia tua biasanya merupakan osteosarkoma sekunder. Pada
orang tua dengan usia di atas 50 tahun, osteosarkoma bisa terjadi akibat degenerasi ganas dari
Paget’s disease, dengan prognosis sangat jelek. Kejadian pada laki-laki dibandingkan
perempuan lebih kurang 1,4 : 1. Berdasarkan lokasi lesi, osteosarkoma intraosseus sering
terjadi padadekade kedua, sedangkan osteosarkoma ekstraskeletal sering terjadi pada

orangdewasa (Ottaviani, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Dalam 5 tahun setelah terdiagnosis osteosarkoma 56,3% pasien mengalami kematian
(Liu, 2015).Hasil akhir terapi tergantung tahap perkembangan penyakit (stadium),keberadaan
metastasis, kekambuhan lokal, regimen kemoterapi, lokasi anatomi,ukuran tumor dan
persentase jumlah sel tumor yang dihancurkan setelahkemoterapi adjuvant (Geller, 2010).

2.1.1

Etiologi
Penyebab osteosarkoma secara umum tidak diketahui. Osteosarkoma yang tidak

diketahui penyebabnya merupakan osteosarkoma primer, sedangkan osteosarkoma sebagai
akibat keadaan lainnya merupakan osteosarkoma sekunder. Osteosarkoma sekunder misalnya
terjadi pada penderita Paget disease, dysplasia fibrosa, radiasi ionisasi eksternal atau adanya
riwayat makan atau terpapar zat radioaktif. Dikatakanbeberapa virus dapat menimbulkan
osteosarkoma padahewan percobaan.Radiasi ion dikatakan menjadi 3%penyebab langsung
osteosarkoma, begitu pula alkylatingagent yang digunakan pada kemoterapi (Errol, 2005).

Adanya hubungan kekeluargaan menjadi suatu predisposisi

pada kejadian

osteosarkoma, begitu pula adanya hereditary retinoblastoma dan sindroma Li-Fraumeni.
Lokasi tumor dan usia penderita padasaat pertumbuhan pesat dari tulang memunculkan
perkiraan adanya pengaruh usia dan predileksi dalam patogenesis osteosarkoma (Patterson,
2008).
Belakangan ini dikatakan ada dua tumor suppressor gene yangberperan secara
signifikan terhadap tumorigenesis padaosteosarkoma, yaitu protein p53 (kromosom 17) dan
Rb (kromosom 13) (Patterson, 2008).
2.1.2

Predileksi Anatomi
Osteosarkoma intraosseus umumnya terjadi di tulang panjang anggota tubuh dekat

lempeng pertumbuhan metafiseal. Paling seringdijumpai pada femur (42% dengan tujuh
puluh lima persennya pada distal), tibia (19% dengan delapan puluh persennya berada di tibia

Universitas Sumatera Utara


proksimal), humerus (10% dengan sembilan puluh persennya berada di humerus proksimal),
tengkorak atau rahang (8%) dan pelvis (8%) (Geller, 2010).
Ada tiga lokasiosteosarkoma yaitu intraosseus atau intrameduler, jukstakortikal
danekstraosseus atau ekstraskeletal. Osteosarkoma intraosseus/intrameduleradalah jika lesi
terdapat di dalam tulang (91-95% kasus), osteosarkomajukstakortikal/permukaan jika lesi
terdapat pada permukaan tulang (5-8% kasus)dan ekstraosseus/ekstraskeletal jika
osteosarkoma terdapat di luar sistem tulang(1% kasus). Osteosarkoma ekstraskeletal paling
sering terjadi di jaringan lunakaspek profunda, anggota gerak atas dan retroperitoneum.Pada
beberapa kasus terjadi lesi osteosarkoma pada banyak tempat disebutosteosarkoma
multifokal, osteosarkomatosis, osteosarkoma sklerotik multipel ataumultisentrik sinkronous
(Ottaviani, 2009).

2.1.3

Klasifikasi
Berdasarkan atas gradasi, lokasi, jumlah dari lesinya, penyebabnya, maka

osteosarkoma dibagi atas beberapa klasifikasi atau variasi yaitu:
1. Osteosarkoma klasik

2. Osteosarkoma hemoragi atau telangektasis
3. Parosteal osteosarkoma
4. Periosteal osteosarkoma
5. Osteosarkoma sekunder
6. Osteosarkoma intrameduler derajat rendah
7. Osteosarkoma akibat radiasi
8. Multifokal osteosarkoma

Universitas Sumatera Utara

2.1.3.1 Osteosarkoma Klasik
Osteosarkoma klasik merupakan tipe yang paling sering dijumpai. Tipe ini disebut
juga osteosarkoma intrameduler derajat tinggi (High-Grade Intramedullary Osteosarcoma).
Tipe ini sering terdapat di daerah lutut pada anak-anak dan dewasa muda. Terbanyak pada
distalfemur.Sangat jarang ditemukan pada tulangkecil di kaki maupun di tangan, begitu juga
padakolumna vertebralis. Apabila terdapat pada kaki biasanyamengenai tulang besar pada
kaki bagian belakang (hindfoot), yaitu pada tulang talus dan calcaneus dengan prognosis
yang lebih jelek (Errol, 2005).
Penderita biasanya datang karena nyeri atauadanya benjolan, padahal keluhan
biasanya sudah ada minimal


tiga bulan sebelumnya dan sering kali dihubungkan

dengantrauma. Nyeri semakin bertambah, dirasakan bahkan saatistirahat atau pada malam
hari dan biasanya tidak berhubungandengan aktivitas.Terdapat benjolan pada daerah dekat
sendi yangsering kali sangat besar, nyeri tekan dan tampakpelebaran pembuluh darah pada
kulit di permukaannya.Tidak jarang menimbulkan efusi pada sendi yangberdekatan. Sering
juga ditemukan adanya patah tulangpatologis (Salter, 1999).
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukanpeningkatan alkaline fosfatase dan laktat
dehidrogenase, yang mana ini dihubungkan dengankepastian diagnosis dan prognosis dari
osteosarkomatersebut. Gambaran klasik osteosarkoma pada plain foto menunjukkan lesi yang
agresif pada daerah metafise tulang panjang. Rusaknya gambaran trabekula tulang dengan
batas yang tidak tegas tanpa reaksi endosteal. Tampak juga campuran area radio-opak dan
radio-lusen oleh karena adanya proses destruksi tulang (bone destruction) dan proses
pembentukan

tulang

(boneformation).Pembentukan


tulang

baru

pada

periosteum,

pengangkatan kortek tulang, dengan pembentukan Codman’s triangle, dan gambaran
Sunburst dan disertai dengan gambaran massa jaringan lunak, merupakan gambaran yang
sering dijumpai.

Universitas Sumatera Utara

Plain foto torak perlujuga dibuat untuk menentukan adanya metastase pada paru. CT
(Computed Tomographic) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dikerjakan untuk
mengetahuiadanya ekstensi dari tumor ke jaringan sekitarnya,termasuk juga pada jaringan
neurovaskuler atauinvasinya pada jaringan otot. CT pada torak sangatbaik untuk mencari
adanya metastase pada paru.
Sesuai dengan perilaku biologis dari osteosarkoma, osteosarkoma tumbuh secara

radial danmembentuk seperti bentukan massa bola. Apabila tumormenembus kortek tulang ke
jaringan ototsekitarnya akan membentuk seperti suatu kapsul(pseudocapsul) yang disebut
daerah reaktif atau reactivezone. Kadang-kadang jaringan tumor dapat invasif daerah zona
reaktif ini dan tumbuh berbentuk nodulyang disebut satellites nodules. Tumor kadang bisa
bermetastase secara regional dalam tulang bersangkutan,dan berbentuk nodul yang berada di
luar zona reaktifpada satu tulang yang disebut dengan skip lesions.Bentukan-bentukan ini
semua sangat baik dideteksidengan MRI.
Bone scan (Bone Scintigraphy) seluruh tubuhbertujuan menentukan tempat terjadinya
metastase,tumor yang poliosteotik, dan eksistensi tumorapakah intraoseous atau ekstraoseous.
Juga dapat untukmengetahui adanya skip lesions, sekalipun hasil masih lebihbaik dengan
MRI. Radio aktif yang digunakan adalahThallium (Tl) 201. Thallium scantigraphy digunakan
jugauntuk memonitor respons tumor terhadap pengobatankemoterapi dan mendeteksi
rekurensi lokal dari tumor tersebut (Satelli, 2014).
Angiografi merupakan pemeriksaan yang lebihinvasif. Dengan angiografi dapat
ditentukan diagnose jenis suatu osteosarkoma, misalnya pada High-gradeosteosarcoma akan
ditemukan

adanya

neovaskularisasiyang


sangat

ekstensif.

Selain

itu

angiografi

dilakukanuntuk mengevaluasi keberhasilan pengobatan kemoterapi preoperatif, apabila
terjadipenurunan atau hilangnya vaskularisasi tumormenandakan respon terapi kemoterapi
preoperative berhasil.

Universitas Sumatera Utara

Biopsi merupakan diagnosis pasti untukmenegakkan osteosarkoma. Biopsi yang
dikerjakan tidakbenar sering kali menyebabkan kesalahan diagnosis(misdiagnosis) yang lebih
lanjut akan berakibat fatalterhadap penentuan tindakan. Akhir-akhir ini banyakdianjurkan

dengan biopsi jarum perkutan (percutaneousneedle biopsy) dengan berbagai keuntungan
seperti:invasi yang sangat minimal, tidak memerlukan waktupenyembuhan luka operasi,
risiko infeksi rendah, dan dapat dicegah terjadinya patah tulang post biopsi.
Pada gambaran histopatologi akanditemukan stroma (high-grade sarcomatous)dengan
sel osteoblast yang ganas, yang akan membentukjaringan osteoid dan tulang. Pada bagian
sentral akanterjadi mineralisasi yang banyak, sedangkan bagianperifer mineralisasinya
sedikit. Sel-sel tumor biasanyaanaplastik, dengan nukleus yang pleomorfik danbanyak
mitosis. Kadang-kadang pada beberapa tempatdari tumor akan terjadi diferensiasi
kondroblastik ataufibroblastik diantara jaringan tumor yang membentuk osteoid (Geller,
2010).
Secara patologi, osteosarkoma dibagi menjadihigh-grade dan low-grade varian,
bergantung padaselnya yaitu pleomorfisnya, anaplasia, dan banyaknyamitosis. Secara
konvensional

pada

osteosarkomaditemukan

sel


spindle

yang

ganas

dengan

pembentukanosteoid.

2.1.4

Beberapa Varian Osteosarkoma

2.1.4.1 Parosteal Osteosarkoma
Parosteal osteosarkoma yang tipikal ditandai dengan lesi pada permukaan tulang,
dengan terjadinya diferensiasi derajat rendah dari fibroblas dan membentuk woven bone atau
lamellar bone. Biasanya terjadi pada umur lebih tua dari osteosarkoma klasik, yaitu pada
umur 20 sampai 40 tahun. Bagian posterior dari distal femur merupakan daerah predileksi
yang paling sering, selain bisa juga mengenai tulang-tulang panjang lainnya. Tumor dimulai

Universitas Sumatera Utara

dari daerah korteks tulang dengan dasar yang lebar, yang makin lama lesi ini bisa invasi
kedalam korteks dan masuk ke endosteal. Pengobatannya adalah dengan cara operasi,
melakukan eksisi dari tumor dan survival ratenya bisa mencapai 80 - 90%.

2.1.4.2 Periosteal Osteosarkoma
Periosteal osteosarkoma merupakan osteosarkoma derajat sedang (moderate-grade)
yangmerupakan lesi pada permukaan tulang bersifat kondroblastik, dan sering terdapat pada
daerah proksimal tibia. Sering juga terdapat pada diafise tulang panjang seperti pada femur
dan bahkan bisa pada tulang pipih seperti mandibula. Terjadi pada umur yang sama dengan
pada klasik osteosarkoma. Derajat metastasenya lebih rendah dari osteosarkoma klasik yaitu
20% - 35% terutama ke paru-paru.Pengobatannya adalahdilakukan operasi marginal-wide
eksisi (wide-marginsurgical resection), dengan didahului kemoterapi preoperatif dan
dilanjutkan sampai post-operasi (Errol, 2005).

2.1.4.3 Telangiectasis Osteosarkoma
Pada plainradiografi kelihatan gambaran lesi yang radiolusendengan sedikit
kalsifikasi atau pembentukan tulang.Dengan gambaran seperti ini sering dikelirukan dengan
lesi benigna pada tulang seperti aneurysmal bone cyst.Terjadi pada umur yang sama dengan
klasikosteosarkoma. Tumor ini mempunyai derajat keganasanyang sangat tinggi dan sangat
agresif. Diagnosis denganbiopsi sangat sulit oleh karena tumor memiliki sedikit jaringanyang
padat, dan sangat vaskuler. Pengobatannya samadengan osteosarkoma klasik. Sifatnya sangat
responsif terhadap kemoterapi adjuvan.

Universitas Sumatera Utara

2.1.4.4 Osteosarkoma Sekunder
Osteosarkoma dapat terjadi dari lesi jinak padatulang, yang mengalami mutasi
sekunder dan biasanyaterjadi pada umur lebih tua. Dapat berasal dari Paget’s disease,
osteoblastoma, fibous dysplasia, dan benigngiant cell tumor. Contoh klasik dari
osteosarkomasekunder adalah yang berasal dari Paget’s disease yangdisebut pagetic
osteosarcomas(Bielack, 2009).
Di Eropa merupakan3% dari seluruh osteosarkoma dan terjadi pada umurtua. Lokasi
yang tersering adalah di humerus, kemudiandi daerah pelvis dan femur. Perjalanan penyakit
sampaimengalami degenerasi ganas memakan waktu cukup lama berkisar 15 - 25 tahun
dengan keluhan nyeri padadaerah inflamasi dari Paget’s disease. Selanjutnya rasanyeri
bertambah dan disusul dengan terjadinya destruksitulang.
Prognosis dari pagetic osteosarcoma sangat jelekdengan five years survival rate ratarata hanya 8%. Olehkarena terjadi pada orang tua, maka pengobatan dengankemoterapi tidak
merupakan pilihan karena toleransinya yang rendah (Ottaviani, 2009).

2.1.4.5 Osteosarkoma Intrameduler Derajat Rendah
Tipe ini sangat jarang dan merupakan variasiosseofibrous derajat rendah yang terletak
intrameduler.Secara mikroskopik gambarannya mirip dengan parostealosteosarkoma.
Lokasinya pada daerah metafise tulangdan terbanyak pada daerah lutut. Penderita
biasanyamempunyai umur yang lebih tua yaitu antara 15 – 65tahun, mengenai laki-laki dan
wanita hampir sama.Padapemeriksaan radiografi, tampak gambaran sklerotik padadaerah
intrameduler metafise tulang panjang. Sepertipada parosteal osteosarkoma, osteosarkoma tipe
inimempunyai prognosis yang baik dengan hanyamelakukan lokal eksisi saja.

Universitas Sumatera Utara

2.1.4.6 Osteosarkoma Akibat Radiasi
Osteosarkoma bisa terjadi setelah mendapatkanradiasi melebihi dari 30Gy. Onsetnya
biasanya sangat lama berkisar antara 3 - 35 tahun, dan derajatkeganasannya sangat tinggi
dengan prognosis jelekdan angka metastase yang tinggi.

2.1.4.7 Multisentrik Osteosarkoma
Disebut juga multifokal osteosarkoma. Variasiini sangat jarang yaitu terdapatnya lesi
tumor yang secarabersamaan pada lebih dari satu tempat. Hal ini sangatsulit membedakan
apakah sarkoma memang terjadibersamaan pada lebih dari satu tempat atau lesi
tersebutmerupakan suatu metastase. Ada dua tipe yaitu tipeSynchronous dimana terdapatnya
lesi secara bersamaanpada lebih dari satu tulang, sering terdapat padaanak-anak dan remaja
dengan tingkat keganasan yang sangat tinggi dan tipe Metachronousyang terdapat pada orang
dewasa

dimana

terdapat

tumorpada

tulang

lain

setelah

beberapa

waktu

atau

setelahpengobatan tumor pertama. Pada tipe ini tingkat keganasannya lebih rendah (Errol,
2005).

2.1.5 Stadium
Sistem stadium tumor tulang yang digunakan adalah sistem yang dikembangkan oleh
Musculoskeletal Tumor Society (Enneking) dan sistem TNM (AJCC-UICC). Yang dianut saat
ini adalah sistem Enneking. Sistem yang dikembangkan oleh Enneking et al. adalah membagi
stadium tumor berdasarkan tingkat (grade=G), letak tumor (T) dan adanya metastasis (M)
.Tingkat terdiri dari jinak (G0), ganas tingkat rendah (G1) dan ganas tingkat tinggi (G2).
Letak tumor menilai terhadap adanya tumor dalam kompartemen atau di luar kompartemen
tulang, yaitu bila tumor hanya berada dalam kompartemen maka dimasukkan dalam
klasifikasi intrakompartemen (T1), sedangkan bila tumor telah melewati tulang dan meluas

Universitas Sumatera Utara

ke jaringan lunak sekitarnya diklasifikasikan sebagai ekstrakompartemen(T2).Metastasis
dibagi menjadi dua keadaan yaitu tanpa metastasis (M0) dan denganmetastasis (M1). Jika
tampak adanya metastasis limfonodi maka staging menjadimetastasis jauh.Sistem Enneking
ini menggabungkan gambaran histologis,radiologis (sistem tingkat Lodwick) dan temuan
klinis.

Tabel 2.1 Staging Osteosarkoma berdasarkan kriteria Enneking ((Enneking, 2003)

Staging sistem ini sangat berguna dalam perencanaan strategi, perencanaan pengobatan dan
memperkirakan prognosis dari osteosarkoma tersebut (Enneking, 2003).

2.1.6

Penatalaksanaan
Belakangan ini osteosarkoma mempunyai prognosis yang lebih baik, disebabkan oleh

prosedur penegakan diagnosis dan staging dari tumor yang lebih baik, begitu juga dengan

Universitas Sumatera Utara

adanya pengobatan yang lebih canggih. Dalam penanganan osteosarkoma modalitas
pengobatannya dapat dibagi atas dua bagian yaitu dengan kemoterapi dan dengan operasi.

2.1.6.1 Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pengobatan yang sangat vital pada osteosarkoma, terbukti
dalam 30 tahun belakangan ini dengan kemoterapi prosedur operasi penyelamatan
ekstremitas (limb salvage procedure) menjadi lebih mudah dan meningkatkan survival rate
dari penderita. Kemoterapi juga mengurangi metastase ke paru-paru dan sekalipun ada,
mempermudah melakukan eksisi pada metastase tersebut. Regimen standar kemoterapi yang
dipergunakan dalam pengobatan osteosarkoma adalah kemoterapi preoperative yang disebut
juga dengan induction chemotherapy atau neoadjuvant chemotherapy dan kemoterapi
postoperatif yang disebut juga dengan adjuvant chemotherapy(Salter, 1999).
Kemoterapi preoperatif merangsang terjadinya nekrosis pada tumor primernya,
sehingga tumor akan mengecil. Selain itu akan memberikan pengobatan secara dini terhadap
terjadinya mikro-metastase.Keadaan ini akan membantu mempermudah melakukan operasi
reseksi secara luas dari tumor dan sekaligus masih dapat mempertahankan ekstremitasnya.
Pemberian kemoterapi post operatif paling baik dilakukan secepat mungkin sebelum
mencapai 3 minggu setelah operasi. Obat-obat kemoterapi yang mempunyai hasil cukup
efektif untuk osteosarkoma adalah: doxorubicin (Adriamycin¨), cisplatin (Platinol¨),
ifosfamide (Ifex¨), mesna (Mesnex¨), dan methotrexate dosis tinggi (Rheumatrex¨) (Ta,
2009).
Protokol standar yang digunakan adalah doxorubicin dan cisplatin dengan atau tanpa
methotrexate dosis tinggi. Ini diberikan sebagai terapi induksi atau terapi adjuvant. Kadangkadang dapat ditambah dengan ifosfamide. Dengan menggunakan pengobatan multi-agent

Universitas Sumatera Utara

dengan dosis yang intensif, terbukti memberikan perbaikan terhadap survival rate hingga 60
- 80% (Ta, 2009).

2.1.6.2 Operasi
Saat ini prosedur limb salvage merupakan tujuan yang diharapkan dalam operasi
suatu osteosarkoma. Maka dari itu melakukan reseksi tumor dan melakukan rekonstruksinya
kembali dan mendapatkan fungsi yang memuaskan dari ekstremitas merupakan salah satu
keberhasilan dalam melakukan operasi. Dengan memberikan kemoterapi preoperatif,
melakukan operasi mempertahankan ekstremitas (limb-sparing resection) dan sekaligus
melakukan rekonstruksi akan lebih aman dan mudah sehingga amputasi tidak perlu dilakukan
pada 90 sampai 95% dari penderita osteosarkoma.
Dalam penelitian terbukti tidak terdapat perbedaan survival rate antara operasi
amputasi dengan limb-sparing resection. Amputasi terpaksa dikerjakan apabila prosedur
limb-salvage tidak dapat atau tidak memungkinkan lagi dikerjakan. Setelah melakukan
reseksi tumor, terjadi kehilangan cukup banyak dari tulang dan jaringan lunaknya, sehingga
memerlukan kecakapan untuk merekonstruksi kembali dari ekstremitas tersebut (Ta, 2009).
Biasanya untuk rekonstruksi digunakan endo-prostesis dari metal. Prostesis ini
memberikan stabilitas fiksasi yang baik sehingga penderita dapat menginjak (weight-bearing)
dan mobilisasi secara cepat, memberikan stabilitas sendi yang baik, dan fungsi dari
ekstremitas yang baik dan memuaskan. Endoprostesis metal dapat meminimalisasi
komplikasi post operasi dibanding dengan menggunakan bone graft.

2.1.6.3 Follow-up Post-operasi
Post operasi dilanjutkan pemberian kemoterapiobat multiagent seperti pada sebelum
operasi. Setelahpemberian kemoterapi selesai maka dilakukanpengawasan terhadap

Universitas Sumatera Utara

kekambuhan tumor secara lokal maupun metastase dan komplikasi terhadapproses
rekonstruksinya.

Komplikasi

yangbiasa

terjadi

terhadap

rekonstruksinya

adalah:

longgarnyaprostesis, infeksi, serta kegagalan mekanik. Pemeriksaan fisiksecara rutin pada
lokasi operasi maupun secarasistemik terhadap terjadinya kekambuhan tumor lokal maupun
wajib dilakukan adanya metastase (Ta, 2009).
Pembuatan plain-foto dan CT scandari lokal ekstremitasnya maupun pada paruparumerupakan hal yang harus dikerjakan. Pemeriksaan inidilakukan setiap 3 bulan dalam 2
tahun pertama paska operasi dan setiap 6 bulan pada 5 tahun berikutnya.

2.2

Respon Imun Terhadap Tumor
Patogenesis kanker dipengaruhi oleh sistem imun dan inflamasi. Hubungan antara

inflamasi dan kanker pertama kali ditemukan pada tahun 1863 oleh Virchow, yang
mengamati leukosit pada jaringan neoplastik (Liu, 2015).Sel kanker dikenal sebagai nonself
antigenpada sistem imunitas tubuh manusia sehingga ia akan menimbulkan respons imun
secara seluler maupun humoral. Imunitas humoral lebih sedikit berperan daripada imunitas
seluler dalam proses penghancuran sel kanker, tetapi tubuh tetap membentuk antibodi
terhadap antigen tumor.
Dua mekanisme antibodi diketahui dapat menghancurkan target kanker yaitu,
Antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC) dan Complement Dependent
Cytotoxicity. Pada ADCC antibodi IgG spesifik berikatan terhadap Tumor Associated Antigen
(TAA) dan sel efektor yang membawa reseptor untuk bagian Fc dari molekul Ig. Antibodi
bertindak sebagai jembatan antara efektor dan target. Antibodi yang terikat dapat merangsang
pelepasan superoksida atau peroksida dari sel efektor. Sel yang dapat bertindak sebagai
efektor di sini adalah limfosit null (sel NK), monosit, makrofag, lekosit PMN

Universitas Sumatera Utara

(polimorfonuklear) dan fragmen trombosit. Ini akan mengalami lisis optimal dalam 4 sampai
6 jam (Abbas, 2010).
Pada Complement Dependent Cytotoxicity, pengikatan antibodi ke permukaan sel
tumor menyebabkan rangkaian peristiwa komplemen klasik dari C 1,4,2,3,5,6,7,8,9.
Komponen C akhir menciptakan saluran atau kebocoran pada permukaan sel tumor. IgM
lebih efisien dibanding IgG dalam merangsang proses ini (Abbas, 2010).
Pada pemeriksaan patologi-anatomi tumor, sering ditemukan infiltrat sel-sel yang
terdiri atas sel fagosit mononuklear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mastosit. Pada
beberapa neoplasma, infiltrasi sel mononuklear merupakan indikator untuk prognosis yang
baik. Sistem imun yang nonspesifik dapat langsung menghancurkan sel tumor tanpa
sensitisasi sebelumnya. Sedangkan pada sistem imun spesifik, aktivasi sel T melibatkan sel
Th dan Tc. Sel Th penting pada pengerahan dan aktivasi makrofag dan sel NK (Satelli, 2014).
Kontak langsung antara sel target dan limfosit T menyebabkan interaksi antara
reseptor spesifik pada permukaan sel T dengan antigen membran sel target yang mencetuskan
induksi kerusakan membran yang bersifat letal. Mekanisme penghancuran sel tumor yang
pasti masih belum diketahui walaupun pengrusakan membran sel target dengan hilangnya
integritas osmotik merupakan peristiwa akhir. Pelepasan limfotoksin (LT), interaksi
membran-membran langsung dan aktifitas sel T diperkirakan merupakan penyebab rusaknya
membran. Interleukin (IL), interferon (IFN) dan sel T mengaktifkan pula sel NK. Lisis sel
target dapat terjadi tanpa paparan pendahuluan dan target dapat dibunuh langsung. Kematian
sel tumor dapat sebagai akibat paparan terhadap toksin yang terdapat dalam granula, produksi
superoksida atau aktivitas protease serine pada permukaan sel efektor (Kresno, 2010).
Aktivitas NK dapat dirangsang secara in vitro dengan pemberian IFN. Penghambatan
aktivasi sel NK terlihat pada beberapa PG (PGE1, PGE2, PGA1 dan PGA2), phorbol ester,
glukokortikoid dan siklofosfamid. Sel NC (Natural Cytotoxic) juga teridentifikasi

Universitas Sumatera Utara

menghancurkan sel tumor. Berbeda dengan sel NK, sel NC kelihatannya distimulasi oleh IL3 dan relatif tahan terhadap glukokortikoid dan siklofosfamid.
Selain itu, sitotoksisitas melalui makrofag menyebabkan makrofag yang teraktivasi
berikatan dengan sel neoplastik lebih cepat dibanding dengan sel normal. Pengikatan khusus
makrofag yang teraktivasi ke membran sel tumor adalah melalui struktur yang sensitif
terhadap tripsin. Pengikatan akan bertambah kuat dan erat dalam 1 sampai 3 jam dan ikatan
ini akan mematikan sel. Sekali pengikatan terjadi, mekanisme sitotoksisitas melalui makrofag
berlanjut dengan transfer enzim lisosim, superoksida, protease, faktor sitotoksis yang resisten
terhadap inhibitor protease dan yang menyerupai LT. Sekali teraktivasi, makrofag dapat
menghasilkan PG yang dapat membatasi aktivasinya sendiri (Kresno, 2010).
Makrofag yang teraktivasi dapat menekan proliferasi limfosit, aktivitas NK dan
produksi mediator. Aktivasi supresi dapat berhubungan dengan pelepasan PG atau produksi
superoksida. Ini berarti bahwa makrofag dapat merangsang dan juga menghambat
pertumbuhan sel tumor. Makrofag dapat pula berfungsi sebagai efektor pada ADCC terhadap
tumor. Indometasin dapat menghambat efek perangsangan makrofag pada pertumbuhan
tumor ovarium yang mana diperkirakan prostaglandin mungkin berperan sebagai
mediatornya. Di samping itu makrofag dapat menimbulkan efek negatif berupa supresi yang
disebut makrofag supresor. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tumor itu sendiri atau akibat
pengobatan (Dunn, 2004).

2.2.1

Limfosit
Limfosit berperan penting dalam respons imun sebagai limfosit T dan limfosit B.

Dalam keadaan normal, jumlah limfosit berkisar 25-35 % atau 1.7-3.5 x10^3/mm. Jumlah
limfosit meningkat (disebut limfositosis) terjadi pada infeksi kronis dan virus. Limfositosis
berat umumnya disebabkan karena leukemia limfositik kronik. Limfosit mengalami

Universitas Sumatera Utara

penurunan jumlah (disebut leukopenia) selama terjadi sekresi hormon adenokortikal atau
pada pemberian terapi steroid yang berlebihan atau jangka waktu yang lama.
Pada percobaan eksperimental terbukti bahwa sel T sitotoksik (CTL) menghasilkan
respon imun antitumor yang efektif in vitro. Sebagian sel efektor yang berperan dalam
mekanisme anti tumor adalah sel T-CD8 yang secara fenotip dan fungsional identik dengan
sel CTL yang berperan dalam pembunuhan sel yang terinfeksi virus atau sel alogenik. CTL
berfungsi melakukan survailance dengan mengenal dan membunuh sel yang potensial ganas
yang mengekspresikan peptida yang berasal dari protein seluler mutan atau protein virus
onkogenik yang dipresentasikan oleh molekul MHC Kelas I pada sel dendritik ( Abbas,
2008).
Limfosit T yang menginfiltrasi jaringan tumor (tumor infiltrating lymphocytes=TILs)
juga memiliki kemampuan melisiskan sel tumor. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa
selain efek sitotoksik atau sitolisis, sel T CD8 terbukti dapat menghambat pertumbuhan sel
tumor melalui efek sitostatik khusunya untuk sel tumor yang bermetastase.Peningkatan
kadarCyclic Adenosine Monophosphate (cAMP) dalam sel T dapat menghambat daya
sitotoksisitasnya dan efek inhibisi Prostaglandin (PG) E1 dan E2 terhadap sitotoksisitas dari
limfosit mungkin diperantarai cAMP.
Peran sel T CD4 dalam imunitas tumor belum jelas. Pada umumnya sel T CD4 tidak
bersifat sitotoksik bagi tumor, tetapi sel-sel itu dapat berperan dalam respon anti tumor
dengan memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan untuk perkembangan sel-sel CTL
menjadi sel efektor. Di samping itu sel TCD4 yang diaktivasi oleh antigen tumor dapat
mensekresi TNFdan IFN-ɣ yang mampu meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I dan
sensitivitas tumor terhadap lisis oleh CTL (Baratawidjaya, 2010).

2.2.2

Monosit

Universitas Sumatera Utara

Monosit adalah baris pertahanan kedua terhadap infeksi bakteri dan benda asing. Sel
ini lebih kuat daripada netrofil dan dapat mengonsumsi partikel debris yang lebih besar.
Monosit berespons lambat selama fase infeksi akut dan proses inflamasi, dan terus berfungsi
selama perjalanan penyakit dan menjadi suatu proses yang kronik. Dalam keadaan normal,
jumlah monosit berkisar antara 4-6 % atau 0.2-0.6 x10^3/mm3.
Fungsi monosit adalah untuk membantu sel-sel lain dalam darah menghilangkan
jaringan yang rusak. Monosit juga membantu menghancurkan sel-sel kanker. Monosit
diproduksi di sumsum tulang dan melakukan perjalanan melalui tubuh dalam darah. Saat
monosit mulai melakukan perjalanan, mereka memasuki organ utama seperti hati dan
pankreas. Saat monosit menjadi dewasa, mereka memainkan peran besar dalam sistem
kekebalan tubuh. Ketika jumlah monosit meningkat, ini menunjukkan bahwa tubuh sedang
mencoba untuk melawan penyakit tertentu seperti kanker, infeksi atau kelainan darah.
Monosit yang bertambah banyak sedang mencoba untuk melawan sel-sel jahat. Dalam
memainkan peranan dalam sistem imun, monosit yang masuk dan beredar ke jaringan dikenal
sebagai makrofag (Baratawidjaya, 2010).
Peranan makrofag saat ini menjadi issue sentral tentang adanya hubungan perubahan
genetik yang menyebabkan kanker dengan aktivasi reaksi inflamasi pro tumor. Perubahan
genetik ini menghasilkan populasi sel dengan sifat-sifat pertumbuhan tidak terkendali yang
merupakan ciri sel kanker dan memiliki kemampuan

menginvasi jaringan normal di

sekitarnya serta kemampuan bermetastasis dan tumbuh di tempat yang letaknya jauh dari
jaringan asal.
Berbagai produk gen pro-inflamatorik diketahui mempunyai peran penting dalam
mensupresi apoptosis, meningkatkan proliferasi, angiogenesis, invasi dan metastasis.
Diantaranya TNF α, ILα1, IL1β, IL-6, IL-8, IL-18, khemokin, MMP-9, VEGF, dan COX-2.
Terlihat bahwa Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Intermediates (RNI)

Universitas Sumatera Utara

yang dihasilkan oleh sel-sel inflamatorik menyebabkan mutasi sel-sel yang berdekatan
(Abbas, 2010).
TNF α yang diproduksi oleh makrofag yang merupakan mediator penting dalam
terjadinya inflamasi terbukti dapat menginduksi transformasi, proliferasi dan promosi tumor.
TNF-α juga meningkatkan kemampuan invasi, angiogenesis dan motilitas sel kanker melalui
jalur persinyalan intraseluler bekerja sama dengan NF-kB, TNFα melalui NF-kB
menginduksi CD147 pada makrofag yang merupakan matrix metalloproteinase inducer yang
berakibat peningkatan kemampuan invasi sel-sel tumor.
Makrofag dengan fenotip M2 juga menekan respon inflamasi dengan memproduksi
sitokin IL-4,IL-10 dan IL-13 menekan ekspresi MHC kelas II dan mempromosikan
proliferasi sel tumor dengan memproduksi factor pertumbuhan dan meningkatkan
angiogenesis. Sebagian besar tumor associated macrophage (TAM) merupakan fenotip M2
(Baratawidjaya, 2010).

2.3

Rasio Limfosit Monosit
Rasio limfosit-monosit (RLM) merupakan suatu marker inflamasi yang baru-baru ini

diperkenalkan dan dipergunakan pada banyak penelitian, dimana RLM ini sederhana dan
biayanya murah (Zhang, 2015).
Banyak penelitian sebelumnya menunjukkan leukosit, neutrofil dan limfosit berperan
pada respons inflamasi dan proses aterosklerosis. Nilai RLM mempunyai nilai prediksi pada
prognosis, keparahan dan mortalitas pada banyak kasus keganasan termasuk kelainan darah
dan tumor solid. Nilai RLM yang rendah pre operasi berhubungan dengan prognosis yang
buruk pada pasien osteosarkoma (Liu, 2015).

Universitas Sumatera Utara

2.4

Kerangka Teori

OSTEOSARKOMA

LIMFOSIT

RESPON IMUNOLOGI TERHADAP
TUMOR

MONOSIT

RASIO LIMFOSIT MONOSIT

FOLLOW UP

OUTCOME
(KEMATIAN)

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara