Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B di Ruang Rindu B2 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

(1)

Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian

A dan B di Ruang Rindu B2 Rumah Sakit Umum Pusat

Haji Adam Malik Medan

Nanda Sartika 101121012

SKRIPSI

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kekuatan dan kesempatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B di Ruang Rindu B2 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan”.

Skripsi ini dapat selesai ditulis karena arahan, masukan, dukungan, dan koreksi dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Achmad Fathi, S.Kep, Ns, MNS selaku dosen pembimbing skripsi saya di Fakultas Keperawatan USU yang telah banyak memberikan arahan, masukan, dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini.

3. Ibu Siti Zahara Nasution, S.Kp, MNS selaku penguji proposal skripsi saya yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Siti Saidah, S.Kp, M.Kep, Sp.Mat selaku dosen penguji I dan Ibu Salbiah, S.Kp, M.Kep selaku dosen penguji II, yang telah memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Dr. M. Nur Rasyid Lubis, SpB, FINACS selaku Direktur SDM dan Pendidikan Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan


(4)

6. Ibu Arliza Juairiani, Msi, Psikolog selaku dosen Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungannya dalam memvalidasi instrumen penelitian saya.

7. Teristimewa kepada Papa, Mama, dan keluarga tercinta yang selalu memberikan semangat dan doanya sehingga skripsi ini dapat segera diselesaikan.

8. Adikku tersayang Dwinta Kartika yang telah banyak membantu dalam mengarahkan penulisan pengetikan.

9. Sahabat-sahabatku Dwi, Ismu, dan Uni, yang banyak membantu, selalu mendukung dan mendoakanku dalam menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Hal ini bukanlah suatu kesengajaan melainkan karena keterbatasan ilmu dan kemampuan peneliti. Oleh karena itu, kritikan dan saran demi kesempurnaan skripsi ini sangat diharapkan.

Akhir kata peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya dalam pengembangan ilmu keperawatan.

Medan, Januari 2012

Penulis


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan Skripsi ... ii

Prakata ... iii

Daftar isi ... v

Daftar Tabel ... viii

Daftar Gambar ... ix

Daftar Skema ... x

Abstrak ... xi

Bab 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Pertanyaan Penelitian ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

Bab 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Konsep Nyeri ... 6

2.1.1. Definisi Nyeri ... 6

2.1.2. Klasifikasi Nyeri ... 7

2.1.3. Fisiologi Nyeri ... 8

2.1.4. Teori Nyeri ... 10

2.1.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri ... 13

2.1.6. Efek Membahayakan dari Nyeri ... 18

2.1.7. Pengkajian Nyeri ... 19

2.2. Operasi ... 23

2.2.1. Defenisi ... 23

2.2.2. Klasifikasi Operasi ... 23

2.2.3. Tahapan Operasi ... 24

2.2.4. Anestesi ... 25

2.2.5. Nyeri Post Operasi ... 27

2.3. Perilaku Nyeri ... 27

2.3.1. Defenisi ... 27

2.3.2. Macam-macam Perilaku Nyeri ... 28

2.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri ... 30

2.3.3. Instrumen Perilaku Nyeri ... 32

2.4. Tipe Kepribadian A dan B ... 36

Bab 3. Kerangka Penelitian 3.1. Kerangka Konsep ... 40

3.2. Definisi Operasional ... 41

Bab 4. Metodologi Penelitian 4.1. Desain Penelitian ... 43


(6)

4.2. Populasi dan Sampel ... 43

4.2.1. Populasi ... 43

4.2.2. Sampel ... 44

4.2.3. Sampling ... 44

4.3. Tempat dan Waktu Penelitian ... 45

4.4. Pertimbangan Etik ... 45

4.5. Instrumen Penelitian ... 46

4.5.1. Kuesioner Data Demografi ... 46

4.5.2. Kuesioner Tipe Kepribadian A dan B ... 46

4.5.3. Lembar Observasi Perilaku Nyeri ... 48

4.6. Uji Validitas ... 50

4.7. Uji Reabilitas ... 51

4.8. Pengumpulan Data ... 52

4.9. Analisa Data ... 54

Bab 5. Hasil Penelitian dan Pembahasan 5.1. Hasil Penelitian... 55

5.1.1. Karakteristik Demografi Tipe Kepribadian A ... 55

5.1.2. Karakteristik Demografi Tipe Kepribadian B ... 58

5.1.3. Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B ... 61

5.2. Pembahasan ... 63

5.2.1. Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A ... 63

5.2.2. Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian B ... 68

5.2.3. Parameter Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B ... 71

Bab 6. Kesimpulan dan Saran 6.1. Kesimpulan ... 74

6.2. Saran ... 75

6.2.1. Saran Bagi Perawat... 75

6.2.2. Saran Bagi Pendidikan Keperawatan ... 75

6.2.3. Saran Bagi Penelitian Selanjutnya ... 75

Daftar Pustaka Lampiran:

1. Surat Persetujuan Menjadi Responden 2. Instrumen Penelitian

3. Perkiraan Biaya Penelitian 4. Jadwal Kegiatan Penelitian 5. Lembar Bimbingan Skripsi 6. Surat Izin Penelitian dari Fakultas 7. Surat Izin Penelitian dari Rumah Sakit 8. Lembar Hasil Uji Validitas


(7)

9. Lembar Hasil Uji Reliabilitas 10.Master Tabel


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Indikator perilaku nyeri ...29 Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Karakteristik

Demografi Responden Tipe Kepribadian A ...56 Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Karakteristik

Demografi Responden tipe Kepribadian B ...59 Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Perilaku Nyeri Pasien Post

Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B ...62 Tabel 5.4. Mean dan Standar Deviasi Parameter Perilaku Nyeri Pasien Post


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Mekanisme Teori Gate-Control ...12 Gambar 2.2. Intensitas (skala) Nyeri ...20 Gambar 2.3. Dimensi Nyeri ...21


(10)

DAFTAR SKEMA


(11)

Judul Penelitian : Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B di Ruang Rindu B2 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Nama : Nanda Sartika

Jurusan : Sarjana Keperawatan

Tahun : 2012

Abstrak

Perilaku nyeri merupakan perilaku yang muncul setelah mempersepsikan nyeri. Mengobservasi langsung perilaku nyeri merupakan cara pengukuran yang menghasilkan nilai yang akurat. Dalam mengobservasi perilaku nyeri penting untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku nyeri sehingga dapat dikontrol agar hasil pengukuran perilaku nyeri benar dan akurat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku nyeri yang diekspresikan oleh pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif, sampel diambil dengan metode pengampilan sampel purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 47 orang. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner data demografi, kuesioner tipe kepribadian A dan B, dan protokol observasi perilaku nyeri (Pain

Behavior Observation Protocol). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa lebih

dari setengah responden (51,85%) tipe kepribadian A mengekspresikan perilaku nyeri pada tingkat tinggi. Sedangkan pada tipe kepribadian B, mayoritas responden (75%) tipe kepribadian B mengekspresikan perilaku nyeri pada tingkat sedang. Dari kelima parameter perilaku nyeri yang diukur, grimacing (ekspresi wajah) adalah perilaku nyeri yang frekuensinya paling sering diekspresikan oleh responden dengan tipe kepribadian A (M = 1.81, SD = .39) dan B (M = 1.4, SD = .50). Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperhatikan diagnosa yang sama untuk setiap responden, intensitas nyeri yang sama, lama hari rawat yang sama ketika memberikan aktivitas-aktivitas untuk mengkaji perilaku nyeri pasien agar didapatkan hasil yang lebih akurat.

Kata kunci: Perilaku Nyeri, Pasien Post Operasi, Tipe Kepribadian A dan B, Parameter Perilaku Nyeri


(12)

Judul Penelitian : Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B di Ruang Rindu B2 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Nama : Nanda Sartika

Jurusan : Sarjana Keperawatan

Tahun : 2012

Abstrak

Perilaku nyeri merupakan perilaku yang muncul setelah mempersepsikan nyeri. Mengobservasi langsung perilaku nyeri merupakan cara pengukuran yang menghasilkan nilai yang akurat. Dalam mengobservasi perilaku nyeri penting untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku nyeri sehingga dapat dikontrol agar hasil pengukuran perilaku nyeri benar dan akurat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku nyeri yang diekspresikan oleh pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif, sampel diambil dengan metode pengampilan sampel purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 47 orang. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner data demografi, kuesioner tipe kepribadian A dan B, dan protokol observasi perilaku nyeri (Pain

Behavior Observation Protocol). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa lebih

dari setengah responden (51,85%) tipe kepribadian A mengekspresikan perilaku nyeri pada tingkat tinggi. Sedangkan pada tipe kepribadian B, mayoritas responden (75%) tipe kepribadian B mengekspresikan perilaku nyeri pada tingkat sedang. Dari kelima parameter perilaku nyeri yang diukur, grimacing (ekspresi wajah) adalah perilaku nyeri yang frekuensinya paling sering diekspresikan oleh responden dengan tipe kepribadian A (M = 1.81, SD = .39) dan B (M = 1.4, SD = .50). Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperhatikan diagnosa yang sama untuk setiap responden, intensitas nyeri yang sama, lama hari rawat yang sama ketika memberikan aktivitas-aktivitas untuk mengkaji perilaku nyeri pasien agar didapatkan hasil yang lebih akurat.

Kata kunci: Perilaku Nyeri, Pasien Post Operasi, Tipe Kepribadian A dan B, Parameter Perilaku Nyeri


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kepribadian adalah pola kognitif, afektif, dan perilaku yang berbeda dan karakteristik yang menentukan gaya personal individu serta mempengaruhi interaksinya dengan lingkungan (Sarafino, 2002). Kepribadian mengatur tingkah laku manusia dalam merespons hal-hal yang ada di lingkungannya, dan setiap individu mempunyai cara yang berbeda-beda dalam merespons hal tersebut sesuai dengan tipe kepribadiannya. Tipe kepribadian dibagi dalam dua jenis, yaitu tipe kepribadian A dan B. Hal ini diungkapkan Friedman dan Rosenman (1974 dalam Sarafino, 2002; Sarafino, 2006) sebagai orang yang pertama sekali memperkenalkan pembagian tipe kepribadian A dan B pada manusia. Tipe kepribadian A adalah perilaku atau emosional yang dikarakteristikka n dengan tingkat kompetitif (persaingan) yang tinggi, sangat menghargai waktu, pemarah, dan suka bermusuhan. Sedangkan tipe kepribadian B adalah perilaku atau emosional yang dikarakteristikkan dengan tingkat kompetitif (persaingan) yang rendah, lebih santai terhadap waktu, tenang, dan tidak mudah marah (Sarafino, 2006).

Hasil penelitian Friedman & Rosenman (1974 dalam Sarafino, 2002), menyatakan bahwa ada hubungan kepribadian dengan perilaku seseorang. Sehingga dengan mengetahui tipe kepribadian pasien, perawat dapat mengobservasi perilaku pasien khususnya perilaku nyeri. Oleh karena itu,


(14)

penting bagi perawat mengindentifikasi tipe kepribadian pasien pada saat melakukan pengkajian nyeri. Karena setiap individu cenderung untuk menunjukkan perilaku nyeri ketika mereka merasakan ketidaknyamanan, dan setiap individu menunjukkan tipe dan pola perilaku yang berbeda pula (Sarafino, 2002). Seperti halnya fenomena yang sering kita lihat di rumah sakit, setiap individu mempunyai perilaku yang berbeda-beda dalam menghadapi nyeri yang mereka rasakan. Perilaku ini sangat beragam dari waktu ke waktu (Smeltzer & Bare, 2001). Ketika pasien berada pada beberapa tingkat nyeri, perilaku tersebut dihubungkan dengan nyeri yang akan terjadi (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006). Dengan menganalisa perilaku nyeri dapat membantu perawat dalam memberikan penilaian dasar dan cara menentukan hal-hal apa yang menyebabkan nyeri yang dialami pasien (Taylor, 1995; Taylor, 2009).

Perilaku nyeri ini mencakup perilaku verbal dan nonverbal dalam merespons suatu nyeri seperti keluhan, rintihan, berteriak, sikap, dan ekspresi wajah. Ada orang yang menanggapinya dengan perasaan takut, gelisah, dan cemas. Ada pula yang menanggapinya dengan sikap yang optimis dan penuh toleransi (Smeltzer & Bare, 2001). Sebagian orang merespons nyeri dengan menangis, mengerang dan menjerit-jerit, meminta pertolongan, gelisah di tempat tidur, atau berjalan mondar-mandir tidak tentu arah untuk mengurangi rasa nyeri. Ada juga orang yang tidur sambil menggemertakkan gigi atau mengepalkan tangan ketika mengalami nyeri (Berger, 1992).


(15)

Nyeri merupakan masalah utama pasien post operasi (Alexander & Hill, 1987). Kira-kira 80 % pasien post operasi mengalami nyeri sedang sampai hebat (Rekozar, 2005). Nyeri post operasi biasanya berlokasi pada area pembedahan. Intensitas nyeri yang dirasakan tergantung pada lokasi, jenis pembedahan, persepsi pasien tentang nyeri, dan lain-lain (Good & Roykulcharoen, 2004).

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 19 Maret 2011, didapatkan data bahwa jumlah pasien post operasi di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan rata-rata sebanyak 47 orang per bulan selama satu tahun terakhir. Dengan jumlah pasien yang relatif banyak ini, perawat harus lebih fokus lagi dalam mengkaji nyeri yang dirasakan pasien. Salah satu komponen pengkajian yang penting adalah mengidentifikasi tipe kepribadian pasien sehingga perawat mengetahui perilaku nyeri pasiennya. Penelitian mengenai perilaku nyeri pada pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B belum pernah dilakukan di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian mengenai perilaku nyeri pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan, agar kita sebagai perawat dapat lebih memahami perilaku yang ditunjukkan individu khususnya pasien dalam menghadapi nyeri yang dirasakannya, sehingga perawat dapat bersikap tepat dalam menghadapi pasien dan dapat menjalankan asuhan keperawatan dengan efektif dan efisien karena telah memahami kepribadian pasiennya.


(16)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah perilaku nyeri pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana perilaku nyeri pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi perilaku nyeri yang diekspresikan oleh pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Praktik Keperawatan

Sebagai informasi dan tambahan pengetahuan bagi perawat dalam memahami perilaku nyeri pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B sehingga dapat memberikan intervensi yang tepat kepada pasien dengan masalah keperawatan nyeri dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.

1.5.2. Pendidikan Keperawatan

Sebagai informasi dan tambahan pengetahuan kepada perawat bahwa perlu adanya pengkajian tipe kepribadian A dan B di dalam pengkajian


(17)

nyeri agar perawat lebih mengetahui perilaku nyeri yang ditunjukkan pasien post operasi.

1.5.3. Penelitian Keperawatan

Sebagai masukan atau sumber data bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai perilaku nyeri pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Nyeri 2.1.1. Definisi Nyeri

The International Association for the Study of Pain (Townsend,

2008), mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak nyaman yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial. Perasaan yang tidak nyaman tersebut sangat bersifat subjektif dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Mubarak & Chayatin, 2007). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Smeltzer dan Bare (2001) bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial, menyakitkan tubuh, serta diungkapkan oleh individu yang mengalaminya. Sedangkan menurut Barbara dan Joan (1983), nyeri diartikan sebagai suatu fenomena biopsikososial yang kompleks. Nyeri tidak hanya ditunjukkan sebagai nilai yang negatif yang terjadi di tubuh, tetapi nyeri sering ditunjukkan sebagai tanda atau peringatan bahwa ada suatu kerusakan jaringan di tubuh.

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah suatu perasaan tidak nyaman yang bersifat subjektif dan tidak dapat dilihat atau dirasakan orang lain, yang diungkapkan oleh individu yang


(19)

merasakannya, serta berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial. Oleh karena itu tenaga medis harus mempercayai apapun yang dikatakan pasien tentang nyeri yang dirasakannya, karena sifat subjektif dari nyeri ini.

2.1.2.Klasifikasi Nyeri

Nyeri diklasifikasikan atas dua bagian, yaitu (1) nyeri akut dan (2) nyeri kronis (Berger, 1992). Nyeri akut dapat dideskripsikan sebagai suatu pengalaman sensori, persepsi, dan emosional yang tidak nyaman yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan, yang disebabkan oleh kerusakan jaringan dari suatu penyakit seperti pada luka yang diakibatkan oleh kecelakaan, operasi, atau oleh karena prosedur terapeutik (Lewis, 1983). Nyeri akut biasanya mempunyai awitan yang tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistematik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan. Nyeri akut umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau memerlukan pengobatan (Smeltzer & Bare, 2001).

Nyeri kronik merupakan nyeri berulang yang menetap dan terus menerus yang berlangsung selama enam bulan atau lebih. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan


(20)

sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Meskipun tidak diketahui mengapa banyak orang menderita nyeri kronis setelah suatu cedera atau proses penyakit, hal ini diduga bahwa ujung-ujung syaraf yang normalnya tidak mentransmisikan nyeri menjadi mampu untuk memberikan sensasi nyeri, atau ujung-ujung syaraf yang normalnya hanya mentransmisikan stimulus yang sangat nyeri menjadi mampu mentransmisikan stimulus yang sebelumnya tidak nyeri sebagai stimulus yang sangat nyeri (Smeltzer & Bare, 2001).

2.1.3. Fisiologi Nyeri

Struktur spesifik dalam sistem syaraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai sistem nosiseptif. Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung syaraf bebas yang pertama sekali merasakan nyeri. Jejas atau stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor untuk melepaskan zat-zat kimia, yaitu prostaglandin, histamine, bradikinin, asetilkolin, dan substansi P (Smeltzer & Bare, 2001). Zat-zat kimia ini mensensitisasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls nyeri ke otak. Ada dua jenis ujung syaraf bebas yang termasuk dalam nosisepsi, yaitu (1) serabut A-delta, adalah serabut halus, bermielin, dan merupakan serabut hantaran cepat yang membawa sensasi tusukan tajam. Serabut-serabut ini membantu kita untuk menentukan lokasi dan


(21)

intensitas nyeri. (2) Serabut C, adalah serabut syaraf yang tidak dibungkus oleh mielin. Serabut ini halus dan hantarannya lambat serta bertanggung jawab terhadap nyeri tumpul, menyebar, dan persisten (Taylor, 2009).

Nyeri pada insisi pada awalnya diperantarai oleh serabut A-delta, tetapi beberapa menit kemudian nyeri menjadi menyebar akibat aktifasi serabut C. Impuls nyeri dibawa oleh serabut A-delta perifer dan dihantarkan langsung ke substansia gelatinosa pada akar dorsal sum-sum tulang belakang, kemudian konduksi lambat serabut C membuat durasi impuls rasa sakit menjadi lebih lama (Alexander & Hill, 1987).

Impuls sensori/ eferen memasuki akar dorsal sumsum tulang belakang, membentuk sinaps kimia dengan menggunakan neurotransmiter (seperti substansi P). Impuls nyeri berpindah ke sisi yang berlawanan dari sumsum tulang belakang dan merambat ke otak melalui sistem spinotalamus. Sistem spinotalamus bersinapsis di thalamus dan impuls disampaikan ke korteks serebral dimana stimulus nyeri diinterpretasikan. Ketika transmisi nyeri dikirim ke otak, individu merasakan nyeri. Beberapa impuls nyeri berakhir langsung di neuron motorik melalui arkus reflex di sumsum tulang. Neuron motorik kemudian muncul dari kornu anterior sumsum tulang belakang untuk mengaktifkan struktur yang sesuai seperti, bila seseorang menyentuh permukaan yang panas, sinyal nyeri diubah menjadi impuls


(22)

motorik yang merangsang tangan menjauh dari sumber panas (Potter & Perry, 2009).

Persepsi nyeri dalam tubuh diatur oleh substansi yang dinamakan neuroregulator. Substansi ini mempunyai aksi rangsang dan aksi hambat. Substansi P adalah salah satu contoh neurotansmiter dengan aksi merangsang. Ini mengakibatkan pembentukan aksi potensial, yang menyebabkan hantaran impuls dan mengakibatkan pasien merasakan nyeri. Serotonin adalah salah satu contoh neurotransmiter dengan aksi menghambat. Serotonin mengurangi efek dari impuls nyeri. Substansi kimia lainnya mempunyai efek inhibitor terhadap transmisi nyeri adalah endorfin dan enkafelin. Substansi ini bersifat seperti morfin yang diproduksi oleh tubuh. Endorfin dan enkafelin ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi dalam sistem syaraf pusat. Kadar endorfin dan enkafelin setiap individu berbeda. Kadar endorfin ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ansietas. Hal ini akan berpengaruh juga terhadap perasaan nyeri seseorang. Walaupun stimulusnya sama, setiap orang akan merasakan nyeri yang berbeda. Individu yang mempunyai kadar endorfin yang banyak akan merasakan nyeri yang lebih ringan daripada mereka yang mempunyai kadar endorfin yang sedikit (Smeltzer & Bare, 2001).

2.1.4. Teori Nyeri

Dari beberapa hasil penelitian, mekanisme respons nyeri yang tepat masih merupakan misteri. Namun ada tiga teori nyeri yang


(23)

dikemukakan, yaitu specificity theory, pattern theory, dan gate control theory.

a. Teori Spesificity

Teori specificity menyatakan bahwa ada ujung syaraf spesifik di tubuh yang menerima rangsangan hanya dari rangsangan nyeri. Ketika reseptor nyeri menerima stimulus, sebuah impuls ditransmisikan di sepanjang jalur nyeri spesifik kemudian diterjemahkan di pusat nyeri, yaitu thalamus (Berger, 1992; Lewis, 1983).

b. Teori Dasar

Teori dasar mengasumsikan bahwa tipe tertentu dari stimulus pada reseptor yang nonspesifik akan menyampaikan sekumpulan impuls ke jalur neuron untuk menghasilkan dasar yang diinterpretasikan oleh otak sebagai nyeri. Rangsangan ini digabungkann dalam akar dorsal sumsum tulang belakang untuk menghasilkan intensitas tertentu dari rangsangan nyeri (Berger, 1992; Lewis, 1983).

c. Teori Gate-Control

Teori ini dikemukakan oleh Melzack & Wall (1965). Teori ini menggambarkan bagaimana neuron akar dorsal dari sumsum tulang belakang berperan sebagai gerbang yang mengatur penyampaian impuls nyeri ke otak (Berger, 1992; Lewis, 1983).

Menurut Melzack & Wall (1965 dalam Berger, 1992), teori Gate-Control mengasumsikan bahwa akar dorsal dari sumsum tulang


(24)

belakang yang dikenal sebagai substansia gelatinosa berperan sebagai pintu gerbang yang dapat meningkatkan atau menurunkan rangsang nyeri dari syaraf perifer ke otak. Gerbang ini terbuka atau tertutup tergantung input dari serabut syaraf besar dan kecil. Peningkatan aktifitas serabut syaraf kecil akan membuka gerbang, dan menyebabkan sensasi nyeri sampai ke otak. Sebaliknya, peningkatan aktifitas serabut syaraf besar akan menutup pintu gerbang sehingga sensasi nyeri tidak sampai ke otak. Melzack & Wall (1965 dalam Berger, 1992) juga menggambarkan pengaruh kognitif terhadap persepsi nyeri. Umur, kecemasan, pengalaman nyeri sebelumnya, perhatian, harapan, jenis kelamin, latar belakang budaya, status sosial ekonomi, semuanya mempunyai pengaruh terhadap persepsi nyeri (Berger, 1992). Persepsi nyeri merupakan interpretasi individu terhadap stimulus nyeri, dimulai ketika individu pertama sekali merasakan nyeri (Berger, 1992).

Gambar 2.1

Mekanisme Teori Gate-Control (Mubarak & Chayatin, 2007)

Serabut tebal (besar)

Serabut halus Rangsangan Nyeri

Medula Spinalis otak Kontrol Sentral


(25)

Keterangan :

SG: Sel di dalam substansi gelatinosa

T : Sel transmisi sentral (Sel T) terletak di dalam akar belakang (radiks posterior)

+ : Efek menguat : Efek menekan

2.1.5.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Nyeri merupakan suatu keadaan yang kompleks yang dipengaruhi oleh faktor fisiologi, spiritual, psikologis, dan budaya. Setiap individu mempunyai pengalaman yang berbeda tentang nyeri. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nyeri adalah sebagai berikut:

a. Faktor Fisiologi

Faktor fisiologi yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) umur, (2) jenis kelamin, (3) kelelahan, (4) gen dan (5) fungsi neurologi. Umur mempengaruhi persepsi nyeri seseorang karena anak-anak dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan dengan orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan. Anak-anak belum mempunyai perbendaharaan kata yang cukup sehingga mereka sulit untuk mengungkapkan nyeri secara verbal dan sulit untuk mengekspresikannya kepada orang tua ataupun perawat. Pada orang tua, nyeri yang mereka rasakan sangat kompleks, karena mereka umumnya memiliki berbagai macam penyakit dengan gejala yang


(26)

sering sama dengan bagian tubuh yang lain. Oleh karena itu, perawat harus teliti melihat dimana sumber nyeri yang dirasakan pasien (Taylor, 1997; Potter & Perry, 2009).

Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam merespons terhadap nyeri (Gill, 1990 dikutip dari Potter & Perry, 2005). Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya, menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2005).

Begitu juga dengan kelelahan, seseorang yang merasakan kelelahan akan terfokus terhadap pengalaman nyerinya. Jika kelelahan terjadi disepanjang waktu istirahat, persepsi nyeri yang dirasakan pasien akan meningkat. Nyeri merupakan pengalaman yang sering dirasakan setelah istirahat daripada menghabiskan waktu sepanjang hari (Berger, 1992; Potter & Perry, 2009).

Penelitian kesehatan mengungkapkan bahwa informasi genetik yang diturunkan oleh orang tua kemungkinan dapat meningkatkan atau menurunkan sensitifitas nyeri. Genetik mempunyai kemungkinan untuk dapat menentukan ambang batas nyeri seseorang atau toleransi seseorang terhadap nyeri (Potter & Perry, 2009). Fungsi neurologi juga dapat mempengaruhi pengalaman


(27)

nyeri seseorang. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi normal dari nyeri (seperti cedera spinal cord, neuropati perifer, atau penyakit neurologi) sebagai efek kewaspadaan dan respons pasien (Potter & Perry, 2009).

b. Faktor Sosial

Faktor sosial yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) perhatian, (2) pengalaman nyeri sebelumnya, dan (3) keluarga dan dukungan sosial. Peningkatan perhatian dihubungkan dengan peningkatan nyeri (Carrol & Seers, 1998 dalam Potter & Perry, 2009). Seseorang yang memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsinya. Konsep ini merupakan salah satu hal yang dapat dilihat perawat dari beberapa nyeri yang dirasakan pasien sehingga perawat dapat memberikan intervensi yang tepat seperti relaksasi, massase, dan lain sebagainya. Namun dengan memfokuskan perhatian terhadap stimulus yang lain, dapat menurunkan persepsi nyeri (Potter & Perry, 2009). Pengalaman nyeri sebelumnya juga berpengaruh terhadap persepsi nyeri individu dan kepekaannya terhadap nyeri. Karena setiap orang belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya. Jika sebelumnya seseorang pernah mengalami nyeri tanpa adanya pertolongan, maka nyeri yang dirasakannya saat ini akan dipandangnya sebagai suatu kecemasan dan ketakutan. Dengan kata lain, jika pengalaman nyeri sebelumnya dapat diterima dengan koping yang baik, maka individu tersebut


(28)

mungkin dapat lebih baik mempersiapkan dirinya dengan peristiwa nyeri yang lain (Berger, 1992; Potter & Perry, 2009).

Seseorang yang merasakan nyeri sering bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk mendukung, menemani, atau melindunginya. Walaupun nyeri masih ada, kehadiran keluarga atau teman-teman dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan (Potter & Perry, 2009). Misalnya, individu yang sendirian, tanpa keluarga atau teman-teman yang mendukungnya, cenderung merasakan nyeri yang lebih berat dibandingkan dengan individu yang mendapat dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekatnya (Mubarak & Chayatin, 2007).

c. Faktor Spiritual

Spiritual membuat seseorang mencari tahu makna atau arti dari nyeri yang dirasakannya, seperti mengapa nyeri ini terjadi pada dirinya, apa yang telah dia lakukan selama ini, dan lain-lain (Potter & Perry, 2009).

d. Faktor Psikologis

Faktor psikologis yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) kecemasan dan (2) koping individu. Kecemasan dapat meningkatkan persepsi seseorang terhadap nyeri. Ancaman yang tidak jelas asalnya dan ketidakmampuan mengontrol nyeri atau peristiwa di sekelilingnya dapat memperberat persepsi nyeri. Sebaliknya, individu yang percaya bahwa mereka mampu


(29)

mengontrol nyeri yang mereka rasakan akan mengalami penurunan rasa takut dan kecemasan yang akan menurunkan persepsi nyeri mereka (Mubarak & Chayatin, 2007). Wall & Melzack (1999 dalam Potter & Perry, 2009) mengemukakan bahwa stimulus nyeri yang aktif pada bagian sistem limbik dipercayai dapat mengontrol emosi, salah satunya adalah kecemasan. Sistem limbik memproses reaksi emosional terhadap nyeri, dapat meningkatkan ataupun menurunkannya (Potter & Perry, 2009).

Koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memperlakukan nyeri. Seseorang yang mengontrol nyeri dengan lokus internal merasa bahwa diri mereka sendiri mempunyai kemampuan untuk mengatasi nyeri. Sebaliknya, seseorang yang mengontrol nyeri dengan lokus eksternal lebih merasa bahwa faktor-faktor lain di dalam hidupnya seperti perawat merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap nyeri yang dirasakannya. Oleh karenan itu, koping pasien sangat penting untuk diperhatikan (Potter & Perry, 2009).

e. Faktor Budaya

Faktor budaya yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) makna nyeri dan (2) suku. Makna dari nyeri yang dirasakan seseorang dihubungkan dengan pengaruh pengalaman nyeri dan bagaimana seseorang tersebut mengadaptasikannya. Hal ini sangat berhubungan dengan latar belakang budaya. Seseorang akan merasa


(30)

nyeri yang berbeda jika mendapatkan sebuah ancaman, kehilangan, hukuman, atau tantangan (Potter & Perry, 2009).

Budaya mempercayai dan mempengaruhi nilai individu dalam mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan diterima oleh budaya mereka, termasuk bagaimana reaksi mereka terhadap nyeri (Davidhizar & Giger, 2004; Lasch, 2002 dalam Potter & Perry, 2009).

2.1.6. Efek Membahayakan dari Nyeri

Menurut Smeltzer & Bare (2001), efek membahayakan dari nyeri dibedakan berdasarkan klasifikasi nyeri, yaitu nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut mempunyai efek yang membahayakan diluar ketidaknyamanan yang disebabkannya. Selain merasa ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri akut yang tidak reda dapat mempengaruhi sistem pulmonary, kardiovaskular, gastrointestinal, endokrin, dan immunologik (Benedetti dkk; Yeager dkk, 1987, 1984 dikutip dari Smeltzer & Bare, 2001). Pasien dengan nyeri hebat dan stress yang berkaitan dengan nyeri dapat tidak mampu untuk nafas dalam dan mengalami peningkatan nyeri dan mobilitas menurun. Nyeri kronis mempunyai efek yang membahayakan seperti supresi fungsi imun yang berkaitan dengan nyeri kronis dapat meningkatkan pertumbuhan tumor. Nyeri kronis juga sering mengakibatkan depresi dan ketidakmampuan. Pasien mungkin tidak mampu untuk melanjutkan aktivitas dan melakukan hubungan interpersonal.


(31)

Ketidakmampuan ini dapat berkisar dari membatasi keikutsertaan dalam aktivitas fisik sampai tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pribadi, seperti berpakaian atau makan.

2.1.7. Pengkajian Nyeri

Walaupun tidak dapat diketahui secara pasti bagaimana nyeri dirasakan oleh pasien, perawat harus mengerti tentang nyeri dan menggunakan pendekatan dalam pengkajian nyeri, termasuk deskripsi verbal tentang nyeri. Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya. Pengkajian nyeri yang dilakukan meliputi: data subjektif dan data objektif.

a. Data subjektif

1. Intensitas (skala) nyeri

Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal, misalnya tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat, atau sangat hebat; atau sampai 10. Dimana 0 mengindikasikan tidak adanya nyeri, dan 10 mengindikasikan nyeri sangat hebat.

2. Karakteristik nyeri, termasuk area nyeri yang dirasakan, durasi (menit, jam, hari, bulan), irama (terus-menerus, hilang timbul, periode bertambah dan berkurangnya intensitas atau keberadaan dari nyeri), dan kualitas (seperti ditusuk, terbakar, sakit, nyeri seperti di tekan).


(32)

3. Faktor-faktor yang meredakan nyeri, misalnya gerakan, kurang bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas, dan apa yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya. 4. Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari, misalnya

tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja, dan aktivitas-aktivitas santai.

5. Kekhawatiran individu tentang nyeri. Dapat meliputi berbagai masalah yang luas, seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri (Smeltzer & Bare, 2001).

Gambar 2.2 Intensitas (skala) Nyeri

(Taylor, 1997; Potter & Perry, 2009; Smeltzer & Bare, 2001)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Sederhana

Tidak ada nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri hebat Nyeri paling hebat Nyeri sangat hebat

Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10

Tidak ada nyeri Nyeri sedang Nyeri paling hebat


(33)

Menurut McGuire dan Sheidler (1993 dalam Ardinata, 2007) ada enam dimensi nyeri, yaitu: (1) fisiologis, meliputi faktor pencetus, karakteristik, durasi, (2) sensori, meliputi intensitas dan kualitas nyeri, (3) afektif, meliputi emosional dan psikologis seperti kecemasan dan depresi, (4) kognitif, meliputi persepsi dan interpretasi tentang nyeri, (5) perilaku, seperti menyeringai, menangis, merapatkan gigi, dan lain-lain, (6) sosiokultural, nyeri bisa dipersepsikan berbeda pada etnis yang berbeda.

Gambar 2.3 Dimensi Nyeri

Fisiologis Sensoris Afektif Kognitif Perilaku Sosiokultural (Disimpulkan dari Ardinata, 2007)

b. Data objektif

Data objektif didapatkan dengan mengobservasi respons pasien terhadap nyeri. Menurut Taylor (1997), respons pasien terhadap nyeri berbeda-beda, dapat dikategorikan sebagai (1) respons perilaku, (2) respons fisiologik, dan (3) respons afektif.

Skala Analog Visual (VAS)

Tidak ada nyeri

Nyeri paling hebat


(34)

Respons perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan verbal, perilaku vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik dengan orang lain, atau perubahan respons terhadap lingkungan. Respons perilaku ini sering ditemukan dan kebanyakan diantaranya dapat di observasi. Individu yang mengalami nyeri akan menangis, merapatkan gigi, mengepalkan tangan, melompat dari satu sisi ke sisi lain, memegang area nyeri, gerakan terbatas, menyeringai, mengerang, pernyataan verbal dengan kata-kata. Perilaku ini sangat beragam dari waktu ke waktu (Berger, 1992).

Respons fisiologik antara lain seperti meningkatnya pernafasan dan denyut nadi, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya ketegangan otot, dilatasi pupil, berkeringat, wajah pucat, mual, dan muntah (Berger, 1992). Respons fisiologik ini dapat digunakan sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada pasien tidak sadar (Smeltzer & Bare, 2001).

Respons afektif seperti cemas, marah, tidak nafsu makan, kelelahan, tidak punya harapan, dan depresi juga terjadi pada pasien yang mengalami nyeri. Cemas sering diasosiasikan sebagai nyeri akut dan frekuensi dari nyeri tersebut dapat diantisipasi. Sedangkan depresi sering diasosiasikan sebagai nyeri kronis (Taylor, 1997).


(35)

2.2. Operasi 2.2.1. Definisi

Operasi adalah tindakan invasif yang direncanakan atau tidak direncanakan, mayor atau minor yang melibatkan bagian atau sistem tubuh (Taylor, 1997). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (1998), operasi adalah tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindakan perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Operasi umumnya dilakukan untuk berbagai alasan seperti diagnostik, kuratif, separatif, rekonstruktif, kosmetik, dan paliatif (Taylor, 1997).

2.2.2.Klasifikasi Operasi

Menurut Taylor (1997), berdasarkan tingkat risikonya, maka operasi dibagi atas: (1) operasi mayor, (2) operasi minor. Operasi mayor bersifat elektif, urgen, dan emergensi. Operasi mayor melibatkan organ vicera. Tujuan dari operasi ini adalah menyelamatkan nyawa (hidup), mengangkat atau memperbaiki bagian tubuh, memperbaiki fungsi tubuh, dan meningkatkan kesehatan. Contoh: kolesistektomi, nefrektomi, kolostomi, histerektomi, radikal mastektomi, amputasi, dan operasi akibat trauma. Operasi mayor membutuhkan hospitalisasi, biasanya lama, dengan risiko yang tinggi,


(36)

melibatkan organ tubuh yang penting serta berpotensi terhadap komplikasi postoperasi (Taylor, 1997). Sedangkan operasi minor secara umum bersifat elektif, bertujuan untuk memperbaiki fungsi tubuh, mengangkat lesi pada kulit, dan memperbaiki deformitas. Operasi minor prosedurnya langsung, risikonya rendah, dan komplikasinya sedikit. Contoh: pencabutan gigi, pengangkatan kutil, biopsy kulit, kuretase, laparoskopi, arthroskopi, dan ekstraksi katarak (Taylor, 1997).

2.2.3. Tahapan Operasi

Menurut Taylor (1997), tindakan operasi dibagi atas tiga fase yang terdiri dari: (1) fase preoperasi, (2) fase intraoperasi, (3) fase post operasi. Fase preoperasi adalah fase ketika keputusan untuk melakukan operasi dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi. Persiapan preoperasi penting sekali untuk memperkecil risiko operasi.

Fase intraoperasi adalah aktivitas di ruang operasi yang dipusatkan pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan untuk perbaikan, koreksi, atau menghilagkan masalah fisik. Fase ini di mulai ketika pasien masuk ke ruang bedah berakhir sampai saat pasien dipindahkan kembali ke ruang pemulihan.

Fase post operasi adalah fase menstabilkan kembali ekuilibrium fisiologis pasien, menghilangkan nyeri, dan pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera dalam membantu pasien kembali pada fungsi optimalnya dengan cepat, aman, dan senyaman


(37)

mungkin. Mulai masuknya pasien ke ruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik (Taylor, 1997).

2.2.4.Anestesi

Anestesi adalah suatu keadaan narkosis, analgesia, relaksasi, dan hilangnya refleks. Anestesi dibagi menjadi dua yaitu: (1) anestetik yang menghambat sensasi di seluruh tubuh (anestesi umum) dan (2) anestetik yang menghambat sensasi di sebagian tubuh, seperti anestesi lokal, regional, epidural, atau anestesi spinal (Smeltzer & Bare, 2001).

Anestesi umum biasanya segera tercapai ketika diberikan anestetik diinhalasi atau secara intravena. Namun pada anestesi lokal, larutan yang mengandung anestetik lokal disuntikkan ke dalam jaringan pada bidang yang direncanakan sebagai tempat insisi (Smeltzer & Bare, 2001). Obat-obat anestesi lokal dapat menghambat hantaran syaraf pada semua jaringan syaraf, dan ini bersifat reversibel serta dapat terjadi perbaikan yang sempurna pada fungsi fisiologis. Obat-obat yang digunakan dalam anestesi lokal yaitu: (1) procaine, dengan waktu kerja selama ½ jam, (2) lidocaine, dengan waktu kerja selama 1-2 jam, (3) mepivacaine, dengan waktu kerja selama 1-2 jam, (4) teracaine, dengan waktu kerja selama 1-2 jam, (5) bupivacaine, dengan waktu kerja selama 5-7 jam, dan (6) etidocaine, dengan waktu kerja selama 4-6 jam (Siahaan, 2000).


(38)

Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikkan agens anestetik di sekitar syaraf sehingga area yang dipersyarafi oleh syaraf ini teranestesi (Smeltzer & Bare, 2001).

Anestesi epidural dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan anestesi ke dalam kanalis spinalis dalam spasium sekeliling dura mater (Smeltzer & Bare, 2001). Obat-obat yang digunakan dalam anestesi epidural yaitu: (1) procaine, dengan waktu kerja selama 1 jam, (2) lidocaine, dengan waktu kerja selama 1,5 jam, (3) mepivacaine, dengan waktu kerja selama 1-2 jam, (4) etidocaine, dengan waktu kerja selama 4-6 jam, (5) tetracaine, dengan waktu kerja selama 1,5- 2 jam, dan (6) bupivacaine, dengan waktu kerja selama 3,5- 5 jam (Siahaan, 2000).

Anestesi spinal merupakan tipe blok konduksi syaraf yang luas dengan memasukkan anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid di tingkat lumbal (biasanya L4 dan L5). Cara ini menghasilkan anesthesia pada ekstremitas bawah, perineum, dan abdomen bawah (Smeltzer & Bare, 2001). Obat yang selalu disediakan pada anestesi spinal yaitu tetracaine (dengan waktu kerja selama 1,5-2 jam), lidocaine (dengan waktu kerja selama 1,5 jam), dan procaine (dengan waktu kerja selama 1 jam). Namun anestesi spinal yang paling banyak digunakan adalah tetracaine (Siahaan, 2000).


(39)

2.2.5. Nyeri Post Operasi

Nyeri akut yang sering terjadi adalah nyeri post operasi. Kualitas, kuantitas, dan durasi nyeri berhubungan secara alamiah dengan proses pembedahan. Beberapa trauma, termasuk trauma pembedahan, merupakan kerusakan jaringan. Nyeri dihasilkan dengan melepaskan substansi di bawah jaringan yang trauma sampai pada ambang batas nyeri, ini merupakan stimulus normal yang tidak membahayakan. Panjangnya insisi secara langsung dapat menimbulkan sensasi nyeri yang dirasakan yang di produksi dengan melepaskan substansi. Durasi dan luasnya pembedahan juga secara langsung menimbulkan besarnya nyeri yang dirasakan. Insisi pembedahan yang transversal umumnya menimbulkan nyeri yang lebih ringan daripada insisi pembedahan yang vertikal atau diagonal, karena beberapa syaraf dan otot serta fascia sedikit yang terpotong (Lewis, 1983).

2.3.Perilaku Nyeri 2.3.1. Definisi

Perilaku nyeri merupakan salah satu aspek dari pengalaman nyeri. Perilaku ini terlihat dan dapat diobservasi, seperti ekspresi wajah (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006). Adanya suatu nyeri yang dirasakan biasanya ditandai dengan semacam perilaku yang terlihat atau terdengar yang dapat diinterpretasikan sebagai suatu perilaku nyeri (Pilowski, 1994 dalam Harahap, 2006).


(40)

Perilaku nyeri dapat didefenisikan sebagai sebahagian atau seluruh output individu yang terobservasi yang menunjukkan adanya nyeri seperti postur tubuh, ekspresi wajah, perkataan, berbaring, mengkonsumsi obat, mencari pengobatan, dan pencarian kompensasi. Perilaku nyeri adalah suatu aktivitas individu untuk mengkomunikasikan ketidakberdayaan, ketidaknyamanan, dan berperan signifikan dalam penurunan tingkat fungsional individu (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006).

2.3.2. Macam-macam Perilaku Nyeri

Perilaku nyeri ini mencakup perilaku verbal dan nonverbal dalam merespons suatu nyeri seperti keluhan, rintihan, berteriak, sikap, dan ekspresi wajah. Ada orang yang menanggapinya dengan perasaan takut, gelisah, dan cemas, ada pula yang menanggapinya dengan sikap yang optimis dan penuh toleransi (Smeltzer & Bare, 2001). Sebagian orang merespons nyeri dengan menangis, mengerang dan menjerit-jerit, meminta pertolongan, gelisah di tempat tidur, atau berjalan mondar-mandir tidak tentu arah untuk mengurangi rasa nyeri. Ada juga orang yang tidur sambil menggemertakkan gigi, mengepalkan tangan ketika mengalami nyeri (Berger, 1992).

Cara yang dilakukan individu sebagai respons dari nyeri yang dirasakannya dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku yang telah ditemukan oleh Turk et al (1985 dalam Ogden, 2000) adalah berupa ekspresi


(41)

wajah atau ekspresi suara seperti merapatkan gigi dan mengerang (merintih), mengubah sikap badan atau bergerak seperti berjalan pincang, dan menjaga area yang sakit. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku nyeri memperkuat bahwa mereka benar-benar merasakan nyeri, menerima pengakuan mereka dan selanjutnya dapat menguntungkan mereka seperti tidak pergi kerja. Penguatan perilaku nyeri yang positif mungkin dapat meningkatkan persepsi nyeri. Perilaku nyeri juga dapat menyebabkan berkurangnya aktivitas dan mengecilnya otot-otot serta mengurangi hubungan atau interkasi sosial (Ogden, 2000).

Tabel 2.1

Indikator Perilaku Nyeri (Potter & Perry, 2009)

Vokal Ekspresi wajah Pergerakan tubuh Interaksi sosial 1.Mengerang (merintih) 2.Menangis 3.Menghembuskan nafas 4.Mendengkur (mengorok) 1.Menyeringai 2.Merapatkan gigi 3.Mengerutkan dahi 4.Menutup mata atau

mulut dengan rapat sekali, atau

membukanya lebar-lebar

5.Menggigit bibir

1.Gelisah

2.Tidak dapat bergerak 3.Ketegangan otot 4.Peningkatan gerakan

tangan dan jari 5.Aktivitas yang cepat 6.Gerakan berirama

atau mengikuti 7.Menjaga pergerakan

bagian tubuh yang

1.Menghindari percakapan 2.Hanya fokus

pada aktivitas yang tidak menimbulkan nyeri 3.Menghindari kontak sosial 4.Perhatian


(42)

Tabel 2.1 (lanjutan)

Vokal Ekspresi wajah Pergerakan tubuh Interaksi sosial nyeri

8. Memegang bagian tubuh yang nyeri

berkurang 5. Interaksi

dengan lingkungan berkurang

2.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri

Menurut Harahap (2007), yang mempengaruhi perilaku nyeri meliputi beberapa faktor, yaitu:

a. Jenis Kelamin

Jenis kelamin mungkin menyumbang kepada pertunjukkan perilaku nyeri. Beberapa penelitian tela menunjukkan bahwa jenis kelamin mempunyai hubungan yang kuat dengan perilaku nyeri tertentu (Lofvander & Forhoff, 2002; Asghari & Nicholas, 2001). Wanita khususnya ibu rumah tangga mungkin lebih sering menunjukkan dan mengeluhkan perilaku nyeri daripada laki-laki (Philips & Jahanshahi, 1986).

b. Intensitas Nyeri


(43)

c. Suku/ Budaya

Setiap suku dan budaya mempersepsikan sakit dengan cara yang berbeda (Waddle & et al, 1998) dan juga berbeda dalam mengekspresikan perilaku mereka yang berhubungan dengan nyeri (Lovander & Forhoff, 2002). Kepercayaan barat sungguh berbeda dengan kepercayaan budaya timur yang mana budaya timur lebih tenang dan tabah serta lebih sedikit bisa menerima sakit dan kelemahan, sedangkan budaya barat lebih liberal, bebas, dan pluralistik. Bates, Edwards, dan Anderson (1993) mengatakan bahwa Negara dan suku dapat mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan emosional serta psikologi (Harahap, 2007).

d. Percaya Diri

Percaya diri menunjukkan pada kepercayaan bahwa percaya diri dapat mengalihkan situasi secara spesifik (Bandura, 1997 dalam Harahap, 2007). Pasien dengan kepercayaan diri yang tinggi dapat menunjukkan pergaulan yang positif dengan latihan dan negatifnya dengan menggunakan pengobatan. Menurut Kores, Murphy, dan Rosenthal dkk (1990 dalam Harahap, 2007) bahwa percaya diri berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas dasar seperti duduk, berdiri, dan berjalan. Oleh karena itu, percaya diri telah menunjukkan untuk bisa memprediksikan ketidakmampuan pasien pada nyeri kronik dan pasien percaya tentang nyeri mereka dapat mempengaruhi fungsi psikologis dan telah banyak penelitian


(44)

yang sudah menemukan hubungan yang penting antara percaya diri dengan perilaku nyeri (Harahap, 2007).

e. Pasangan/ anggota keluarga

Pasangan merupakan sumber yang sangat penting bagi keutuhan kehisupan sosial pasien dan boleh juga diisyaratkan sebagai syarat yang berbeda dan pilihan yang tepat untuk mengekspresikan sebuah perilaku nyeri (Fordyce, 1976). Menurut Flor, Turk, dan Rudy (1992 dalam Harahap, 2007) bahwa pasangan dan anggota keluarga yang lain sering termasuk dalam pengobatan dan mengajarkan kepada pasien untuk berespons positif pada setiap aktivitas yang dilakukan pasien dan indikasi yang lainnya bagi perilaku yang baik. Pasangan mempunyai peran yang kuat bagi peningkatan nyeri pasien.

2.3.4. Instrumen Perilaku Nyeri

Pasien yang berada dalam tingkat nyeri tertentu akan menunjukkan perilaku seperti istirahat di tempat tidur, mencari pengobatan, menjaga area tubuh yang sakit, atau mengekspresikan raut wajah. Perilaku ini merupakan cara pasien berkomunikasi bahwa mereka sedang merasakan nyeri (Harahap, 2007).

Pertama kali penelitian tentang perilaku nyeri yang menunjukkan bahwa perilaku nyeri dapat diukur dengan metode pengawasan diri. Fordyce (1976) mengembangkan metode pengawasan diri melalui catatan harian untuk mengukur perilaku nyeri. Di dalam catatan harian


(45)

nyeri tersebut, pasien diminta untuk mengidentifikasi berapa lama mereka sibuk menghabiskan waktu dalam tiga kategori perilaku seperti: duduk, berdiri, atau berjalan. Pasien juga diminta untuk melaporkan setiap kali mereka melakukan pengobatan dan jumlah dosis obat yang diberikan. Metode pengawasan diri sangat mudah dan sederhana, dan lebih dari itu, dapat meningkatkan kesadaran pasien tentang perilaku nyeri mereka sendiri (Keefe at al, 2000 dalam Harahap, 2007). Bagaimanapun, keabsahan metode pengawasan diri pada perilaku nyeri kelihatannya akan berat sebelah atau tidak akurat karena pada umumnya pasien tidak mungkin selalu akurat dalam melaporkan perilaku nyeri mereka sendiri (Turk & Flor, 1978 dalam Harahap, 2007).

Moores dan Watson (2004 dalam Harahap, 2007) menggunakan metode yang lain untuk mengukur perilaku nyeri berstandar pada pertanyaan atau wawancara. Pasien diminta untuk menjawab serial pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku nyeri. Metode ini juga telah dikritik karena pasien akan cenderung untuk memilih jawaban yang terbaik atau yang paling benar. Keterbatasan yang paling utama pada metode pertanyaan dan wawancara adalah bahwa tidak mengamati perilaku itu sendiri secara langsung.

Saat ini metode untuk mengukur perilaku nyeri adalah metode pengamatan secara langsung atau tidak langsung. Metode ini dikembangkan berdasarkan pada dasar pemikiran bahwa perilaku nyeri


(46)

itu tampak dan jelas. Dalam pengamatan langsung perilaku nyeri biasanya berdasarkan pada keahlian dan berdasarkan pada sebuah pertimbangan pada hasil pengamatan. Sedangkan pada pengamatan yang tidak langsung, perilaku nyeri biasanya dinilai dengan mengandalkan video tape. Kedua metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bagaimanapun pada prakteknya pengamatan secara tidak langsung kelihatannya tidak praktis, mahal dan rumit, lebih dari itu kapan pasien mengetahui kalau dia sedang diamati, mereka mungkin akan memanipulasi perilaku mereka, terutama sekali dalam kebudayaan Indonesia. Menurut Simmond (1999 dalam Harahap, 2007), alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku nyeri harus mudah digunakan, dapat dipercaya, dapat diterima oleh pasien, hemat biaya, dan memberikan hasil yang cepat. Metode pengamatan langsung kelihatannya lebih bisa diandalkan, sederhana dan lebih mudah digunakan (Harahap, 2007). Oleh karena itu penelitian ini menggunakan metode pengamatan langsung.

Pada metode pengamatan ini, biasanya pasien diminta untuk melakukan beberapa aktivitas yang telah diinstruksikan dalam protokol yang sudah distandarisasi. Penggunaan protokol yang telah distandarisasi ini pertama sekali dikembangkan oleh Keefe dan Block pada tahun 1982. Keefe dan Block menetapkan serangkaian aktivitas seperti duduk, berdiri, berbaring, dan berjalan. Aktivitas ini akan diulangi sebanyak dua kali. Ketika pasien melakukan aktivitas ini, ada


(47)

lima parameter perilaku yang dapat diamati yaitu guarding, braching,

rubbing, grimacing, dan sighing. Kelima parameter inilah yang

nantinya akan diamati (Harahap, 2007).

Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan Pain Behavior

Observation Protocol (PBOP) yang telah distandarisasikan oleh Keefe

dan Block pada tahun 1982. PBOP terdiri dari lima parameter perilaku nyeri dan dirating dalam 3 poin likert-skale (0 = tidak ada nyeri, 1 = sering, 2 = selalu). Nilai total perilaku nyeri merupakan penjumlahan dari kelima parameter perilaku nyeri tersebut diatas. Skor tertinggi (10) mengidentifikasikan level perilaku nyeri yang tinggi. Serial aktivitas protokol Keefe dan Block yang telah distandarisasi ini akan diadaptasikan selama 10 menit. Protokol aktivitas ini meliputi: duduk untuk periode 1 menit dan lagi selama 2 menit, berdiri untuk periode 1 menit dan lagi selama 2 menit, berbaring untuk periode 1 menit dan lagi selama 1 menit kedua, dan berjalan untuk 1 menit dan lagi selama 1 menit kedua. Pendeskripsian dari kelima parameter perilaku nyeri tersebut adalah: (1) guarding, yang mana mengacu pada penjagaan area tubuh yang sakit, (2) braching, yang mana mengacu pada kekakuan tubuh yang tidak normal, menyela, atau pergerakan yang kaku, (3) rubbing, yang mana mengacu pada sentuhan atau rabaan pada bagian tubuh yang sakit, (4) grimacing, yang mana mengacu pada guratan wajah dalam mengekspresikan rasa nyeri seperti mengerutkan dahi, menyipitkan mata, mengatupkan bibir, menyingkap sudut mulut,


(48)

dan merapatkan gigi, (5) sighing, yang mengacu pada pernafasan atau menghela nafas (Harahap, 2007).

2.4. Tipe Kepribadian A dan B

Kepribadian adalah karakteristik unik yang dimiliki setiap individu sebagai suatu kesan yang dapat dilihat oleh orang lain yang mungkin dapat berganti sebagai respons pada situasi yang berbeda (Schultz, 1994). Sedangkan menurut Sarafino (2002), kepribadian adalah pola kognitif, afektif, dan perilaku yang berbeda dan karakteristik yang menentukan gaya personal individu serta mempengaruhi interaksinya dengan lingkungan.

Ahli kardiologi bernama Meyer Friedman dan Ray Rosenman adalah orang yang pertama sekali mengemukakan tipe kepribadian A dan B. Mereka melihat adanya perbedaan emosional antara individu yang menderita penyakit jantung dengan individu yang sehat. Perbedaan emosional ini mereka lihat dari karakteristik perilaku individu tersebut, sehingga mereka menyebut perilaku individu yang menderita penyakit jantung tersebut sebagai perilaku kepribadian A. Sedangkan individu yang sehat disebut sebagai perilaku kepribadian B (Sarafino, 2002; Sarafino, 2006).

Perilaku tipe kepribadian A terdiri dari tiga karakteristik, yaitu sebagai berikut:

a. Kompetitif dalam prestasi

Individu dengan tipe kepribadian A cenderung menjadi seseorang yang sangat kritis, pekerja keras, suka tantangan dan kompetisi untuk


(49)

mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa merasakan kenikmatan hasil dari usahanya atau prestasinya.

b. Sangat menghargai waktu

Individu dengan tipe kepribadian A adalah seseorang yang sangat menghargai waktu. Sehingga mereka sering menjadi seseorang yang tidak sabar dan tidak suka dengan keterlambatan dan waktu yang mendesak, mereka juga sangat komitmen dengan jadwal yang sudah mereka susun dan mereka selalu mencoba melakukan satu kegiatan atau lebih secara bersamaan, seperti membaca sambil makan atau menonton TV.

c. Pemarah dan suka bermusuhan

Individu dengan tipe kepribadian A cenderung mudah marah sehingga mereka terlihat sebagai orang yang suka bermusuhan (Sarafino, 2002; Sarafino, 2006).

Tipe kepribadian A adalah perilaku dan tipe emosional yang ditandai dengan perjuangan yang agresif secara terus menerus untuk mencapai sesuatu dalam waktu yang singkat (sedikit) dan sering bersaing dengan orang lain. Tipe kepribadian A mempunyai kecenderungan (risiko) untuk menderita penyakit kardiovaskular karena individu ini sering mendapatkan serangan jantung yang tiba-tiba dan sangat rentan terhadap stress.

Individu dengan tipe kepribadian A tidak sabar dengan orang-orang yang berperilaku lambat, mereka suka tantangan dan berkompetensi yang lain, khususnya pada keadaan dengan tingkat persaingan yang sedang, dan mereka mungkin tidak fokus pada hal-hal yang tidak pasti (Rosenman, 1978 dalam


(50)

Taylor, 2003). Individu dengan tipe kepribadian A sangat sulit untuk berhubungan atau menjalin hubungan dengan orang lain, dan mereka mungkin mempunyai masalah koping dalam situasi yang mengharuskan pekerjaan yang lambat (situasi yang lambat), berhati-hati dalam bekerja yang memerlukan fokus dan perhatian yang lebih (K.A. Mattheus, 1982 dalam Taylor, 2003). Mereka juga mempunyai rasa ketidakpuasan terhadap karier mereka. Mungkin mereka juga dapat merusak keutuhan keluarga karena sedikitnya waktu yang mereka habiskan bersama keluarga.

Pada umumnya, individu dengan tipe kepribadian A akan mengorbankan hubungan sosialnya untuk mencapai prestasi, dan mereka mungkin memiliki masalah kesehatan yang lebih banyak. Tetapi individu dengan tipe kepribadian A juga mempunyai perilaku adaptasi. Individu dengan tipe kepribadian A sangat senang melanjutkan pendidikannya daripada individu dengan tipe kepribadian B (Glass, 1977 dalam Taylor, 2003), mempunyai banyak teman dengan jabatan-jabatan yang tinggi, banyak menghabiskan waktu dengan bekerja dan kurang mendukung hubungan dengan teman sekerja daripada tipe kepribadian B (Taylor, 2003), memiliki rasa percaya diri, berbicara keras, berbicara cepat, tidak sabar, dan suka bermusuhan (Ogden, 2000).

Hal ini sangat berlawanan dengan karakteristik tipe kepribadian B, yang tidak terlalu kompetitif dalam prestasi, tidak suka mengganggu, rileks, lebih santai terhadap waktu, tenang, dan tidak mudah marah. Tipe kepribadian B


(51)

cenderung lebih santai dan sangat menikmati hidupnya (Sarafino, 2002; Sarafino, 2006).


(52)

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku nyeri pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B. Adapun parameter perilaku nyeri yang digunakan dalam penelitian ini mencakup

guarding, braching, rubbing, grimacing, dan sighing (Harahap, 2007).

Berdasarkan tinjauan pustaka, nyeri merupakan masalah utama pada pasien post operasi (Alexander & Hill, 1987). Dalam hal ini yaitu nyeri akut, karena nyeri yang dirasakan pasien post operasi berlangsung beberapa jam setelah operasi, dan keadaan ini membuat pasien merasa tidak nyaman. Setiap individu cenderung untuk menunjukkan perilaku nyeri ketika mereka merasakan ketidaknyamanan, dan setiap individu menunjukkan tipe dan pola perilaku yang berbeda pula (Sarafino, 2002). Hasil penelitian Friedman & Rosenman (1974 dalam Sarafino, 2002), menyatakan bahwa ada hubungan kepribadian dengan perilaku seseorang. Mereka membagi tipe kepribadian menjadi dua bagian yaitu tipe kepribadian A dan B. Dengan adanya tipe kepribadian ini, memungkinkan individu untuk menunjukkan perilaku yang berbeda terhadap nyeri.


(53)

Skema 3.1

Kerangka Penelitian Perilaku Nyeri

Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B

Keterangan:

--- : variabel yang tidak diteliti : variabel yang diteliti

3.2. Definisi Operasional

Perilaku nyeri adalah suatu aktivitas pasien post operasi untuk mengkomunikasikan ketidakberdayaan, ketidaknyamanan, dan berperan signifikan dalam penurunan tingkat fungsionalnya. Perilaku nyeri ini diukur dengan cara mengobservasi perilaku pasien post operasi ketika merasakan nyeri dengan menggunakan lembar observasi. Perilaku nyeri pasien post operasi di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan diobservasi dengan menggunakan 5 parameter perilaku nyeri yaitu: (1) guarding, yaitu menjaga area yang sakit, (2) braching, yaitu pergerakan anggota tubuh yang sakit, (3) Nyeri post operasi: - Akut - Kronis Perilaku nyeri: - Guarding - Braching - Rubbing - Grimacing - Sighing (Harahap, 2007) Tipe kepribadian:

- Tipe A - Tipe B

- Kronis

Level perilaku nyeri:

- Rendah - Sedang - Tinggi


(54)

yaitu berkaitan dengan ekspresi wajah, (5) sighing, yaitu menghela nafas. Selanjutnya perilaku nyeri tersebut dirating dalam 3 point skala likert, yaitu 0 menunjukkan nyeri tidak ada, 1 menunjukkan nyeri sering, 2 menunjukkan nyeri selalu. Perilaku nyeri ini diobservasi secara langsung selama 10 menit. Jumlah skor perilaku nyeri dimasukkan dalam 3 level yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat skor perilaku nyeri tersebut adalah (0-3) rendah, (4-7) sedang, dan (8-10) tinggi. Nilai total perilaku nyeri merupakan penjumlahan dari kelima parameter perilaku nyeri yang tersebut diatas. Skor tertinggi (10) mengindikasikan bahwa level perilaku nyeri yang tinggi. Perilaku nyeri ini termasuk dalam skala pengukuran interval.


(55)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam mengidentifikasi permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data (Nursalam, 2009). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Desain ini dipakai untuk menerangkan atau menggambarkan bagaimana perilaku nyeri yang diekspresikan oleh pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan.

4.2. Populasi dan Sampel 4.2.1. Populasi

Populasi adalah subjek yang mempunyai kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien post operasi minimal hari ke tiga yang mengalami nyeri yang dirawat di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan. Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 19 Maret 2011, diperoleh data bahwa jumlah pasien post operasi yang dirawat di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan rata-rata sebanyak 47 orang per bulan selama satu tahun terakhir.


(56)

4.2.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2009). Menurut Arikunto (2002), apabila populasi kurang dari 100 maka sampel yang diambil adalah semua jumlah dari populasi. Maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 47 orang pasien post operasi yang dirawat di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan.

4.2.3. Sampling

Sampling adalah proses seleksi sampel yang digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili keseluruhan populasi yang ada (Hidayat, 2009). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010). Subjek yang dijadikan sampel adalah subjek yang kebetulan jumpa di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan secara bersamaan pada waktu pengumpulan data (Nursalam, 2009), dengan kriteria sampel sebagai berikut:

a. Pasien post operasi minimal hari ke 3 (Wardani, 2011). b. Pasien sadar dan kooperatif dengan GCS: 15 (komposmentis). c. Pasien yang mengalami nyeri akibat tindakan operasi.


(57)

e. Bersedia menjadi subjek penelitian.

4.3. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan pada tanggal 19 Juli 2011-13 Agustus 2011. Alasan peneliti memilih ruang rindu B2 RSUP HAM Medan tersebut sebagai tempat penelitian adalah karena jumlah pasien post operasi yang dirawat di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan relatif banyak, serta keterbatasan dana dan waktu yang dimiliki peneliti sehingga penelitian ini hanya dilakukan di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan. Pertimbangan lain adalah efesiensi waktu dan lokasi RSUP HAM Medan yang dekat dengan Universitas Sumatera Utara. Selain itu, di ruang rindu B2 RSUP HAM Medan tersebut belum pernah dilakukan penelitian mengenai perilaku nyeri pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B.

4.4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin penelitian dari Fakultas Keperawatan USU dan izin dari RSUP HAM Medan. Lembar persetujuan untuk menjadi responden diberikan kepada subjek penelitian. Sebelum responden menandatangani lembar persetujuan, peneliti terlebih dahulu menjelaskan maksud, tujuan, dan proses penelitian yang akan dilakukan serta dampak yang mungkin terjadi selama dan setelah proses pengumpulan data. Jika subjek bersedia untuk diteliti, maka subjek harus menandatangani


(58)

lembar persetujuan tersebut dan atau menyetujuinya secara lisan. Jika subjek menolak untuk diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya.

Untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek, peneliti tidak mencantumkan nama subjek pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang diisi oleh subjek. Lembar tersebut hanya diisi dengan menggunakan inisial nama subjek. Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subjek dijamin oleh peneliti.

4.5. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari tiga bagian, yaitu (1) kuesioner data demografi, (2) kuesioner tipe kepribadian A dan B, dan (3) lembar observasi perilaku nyeri.

4.5.1. Kuesioner Data Demografi

Kuesioner data demografi terdiri dari inisial nama, usia, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, agama, suku, jumlah penghasilan tiap bulan, diagnosa, skala nyeri, pengalaman operasi sebelumnya, obat penurun nyeri, jenis anestesi dan jenis operasi.

4.5.2. Kuesioner Tipe Kepribadian A dan B

Kuesioner ini menggambarkan tentang tipe kepribadian seseorang A atau B, sebagai data penunjang terhadap perilaku nyeri yang dirasakan pasien postoperasi. Kuesioner ini terdiri dari 26 pertanyaan


(59)

dengan pilihan jawaban ya atau tidak. Adapun klasifikasi pertanyaan terdiri dari pertanyaan karakteristik tipe kepribadian A sebanyak 20 butir (No. 1-20) dan pertanyaan karakteristik tipe kepribadian B sebanyak 6 butir (No. 21-26).

Kuesioner ini dimodifikasi sendiri oleh peneliti berdasarkan teori yang sudah ada dengan menggunakan skala Guttman, dengan cara menetapkan bobot jawaban untuk tiap-tiap item, yaitu apabila pasien menjawab ya pada butir pertanyaan (No. 1-20) maka nilainya 1 untuk masing-masing jawaban, dan apabila pasien menjawab tidak maka nilainya 0 untuk masing-masing jawaban. Sedangkan apabila pasien menjawab ya pada butir pertanyaan (No. 21-26) maka nilainya 0 untuk masing-masing jawaban, dan apabila pasien menjawab tidak maka nilainya 1 untuk masing-masing jawaban. Karena pada dasarnya tipe kepribadian A dan B adalah saling berlawanan.

Nilai terendah yang mungkin dicapai adalah 0 dan nilai tertinggi adalah 26. Berdasarkan rumusan statistika Hidayat (2009):

Dimana ί merupakan panjang kelas dengan rentang nilai tertinggi dikurangi nilai terendah. Rentang kelas sebesar 26 dan banyak kelas 2, sehingga diperoleh ί = 13. Dengan ί = 13 dan nilai terendah 0 sebagai batas bawah kelas pertama, maka pasien yang digolongkan sebagai tipe kepribadian A adalah jika nilai jawabannya berada pada interval


(60)

14-26, sedangkan pasien yang digolongkan sebagai tipe kepribadian B adalah jika nilai jawabannya berada pada interval 0-13.

4.5.3. Lembar Observasi Perilaku Nyeri

Lembar observasi ini menggambarkan tentang perilaku nyeri pasien post operasi yaitu Protokol Observasi Perilaku Nyeri (PBOP). Perilaku nyeri akan diobservasi selama 10 menit. Protokol perilaku nyeri ini diobservasi secara langsung oleh peneliti dengan memberikan instruksi kepada pasien untuk melakukan beberapa aktivitas meliputi: duduk untuk periode 1 menit dan lagi selama 2 menit, berdiri untuk periode 1 menit dan lagi selama 2 menit, berbaring untuk periode 1 menit dan lagi selama 1 menit kedua, dan berjalan untuk 1 menit dan lagi 1 menit kedua. Aktivitas protokol observasi perilaku nyeri (PBOP) tersebut diadopsi dari Keefe dan Block pada tahun 1982. Harahap (2007) juga menggunakan protokol aktivitas ini untuk mengukur perilaku nyeri pada pasien kanker kronik.

Perilaku nyeri diobservasi dan dirating dalam 3 poin skala likert, yaitu: (0) tidak ada, jika perilaku nyeri tidak terjadi selama 10 menit aktivitas, (1) frekuensi sering, jika perilaku nyeri sekali terjadi selama ada aktivitas tapi tidak dalam semua aktivitas, dan (2) selalu terjadi, jika perilaku nyeri terjadi sekali disetiap aktivitas, atau terjadi lebih dari satu kali. Nilai total perilaku nyeri merupakan penjumlahan dari kelima parameter perilaku nyeri yang tersebut diatas. Skor tertinggi


(61)

(10) mengindikasikan bahwa level perilaku nyeri yang tinggi (Harahap, 2007).

Nilai tertinggi yang diperoleh adalah 10 dan nilai terendah adalah 0. Skala ukur yang digunakan dalam variabel ini adalah skala interval, dimana nilainya diperoleh dengan menggunakan rumus Hidayat (2009), yaitu:

Berdasarkan rumus statistik diatas, maka skor perilaku nyeri diklasifikasikan ke dalam tiga kelas, yaitu: rendah, sedang, dan tinggi. Dimana ί = panjang kelas dengan rentang sebesar 10 (selisih nilai tertinggi dan nilai terendah) dan banyak kelas adalah 3 sehingga didapatkan panjang kelas sebesar 3. Dengan menggunakan ί = 3 maka didapatkan nilai interval perilaku nyeri pasien post operasi adalah sebagai berikut:

0-3 (rendah) 4-7 (sedang) 8-10 (tinggi)

Perilaku nyeri ini terdiri dari lima parameter, yaitu guarding

(menjaga area yang sakit), braching (pergerakan tubuh yang kaku),

rubbing (meraba atau menyentuh area tubuh yang sakit), grimacing


(62)

4.6. Uji Validitas

Validitas adalah suatu pengukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen dalam mengumpulkan data (Nursalam, 2009; Arikunto, 2002). Suatu instrumen dapat dikatakan valid apabila dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang validitas yang dimaksud (Arikunto, 2002).

Instrumen tipe kepribadian A dan B telah dilakukan uji validitas dengan menggunakan face validity, yaitu tingkat kevalidan yang mengukur instrumen dengan melihat apakah instrumen tersebut mempunyai pokok isi untuk diukur (Polit & Beck, 2008). Uji validitas ini dilakukan oleh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang ahli di bidang Psikologi Kepribadian, yaitu Ibu Arliza Juairiani. Msi. Psikolog. Beliau menilai dan mengevaluasi konsep-konsep dari instrumen ini apakah instrumen ini relevan dan memadai dalam mengukur atau menggolongkan tipe kepribadian A atau B. Beliau diminta untuk menilai tiap item dengan pilihan jawaban valid atau tidak valid. Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa instrumen ini layak dan baik untuk digunakan.

Uji validitas instrumen perilaku nyeri telah dilakukan oleh Harahap (2007) yang telah meneliti tentang perilaku nyeri pasien kanker kronik. Instrumen tersebut divalidasi oleh tiga orang ahli yang terampil dalam perawatan dan pengobatan pasien bedah. Dua diantaranya adalah perawat pendidik dari


(63)

Fakultas Keperawatan Universitas Songkla Thailand, dan Satu orang lagi adalah Dokter dari Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.

Para ahli tersebut menilai dan mengevaluasi konsep-konsep dari instrumen ini apakah instrumen ini sudah relevan dan memadai dalam mengukur tiap-tiap variable dalam penelitian ini. Ketiga ahli tersebut diminta untuk menilai setiap item pada 4 skala poin mulai dari (1 = tidak relevan sampai 4 = sangat relevan). Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa instrumen ini layak dan baik untuk digunakan (Harahap, 2007).

4.7. Uji Reliabilitas

Reliabilitas (keandalan) adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta atau kenyataan diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan (Nursalam, 2009). Reliabilitas menunjuk pada instrumen tersebut cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data (Arikunto, 2002). Sebelum diberikan kepada responden, instrumen diujicobakan kepada 20 responden diluar sampel yang memenuhi kriteria agar diperoleh distribusi nilai hasil pengukuran yang mendekati normal (Notoatmodjo, 2010).

Instrumen tipe kepribadian A dan B dilakukan uji reliabilitas dengan menggunakan rumus K-R (Kuder dan Richardson) 21 dengan jumlah pertanyaan dalam kuesioner genap dan penilaian menggunakan skala Guttman (Arikunto, 2002). Uji reliabilitas ini dilakukan kepada 20 orang responden. Dimana responden dalam uji reliabillitas ini memiliki


(64)

karakteristik dan kriteria yang sama dengan responden penelitian. Nilai uji reliabilitas ini adalah 0,99. Nilai ini menunjukkan bahwa instrumen ini dapat diterima dan dapat digunakan.

Instrumen perilaku nyeri telah dilakukan uji reliabilitas oleh Harahap (2007) yang dilakukan terhadap 20 orang responden. Dimana responden dalam uji reliabillitas tersebut memiliki karakteristik dan kriteria yang sama dengan responden penelitian. Harahap (2007) mengungkapkan bahwa nilai

interrater reliabilitas pada PBOP pasien kanker kronik mencapai nilai .93. Nilai ini menunjukkan bahwa instrumen ini memadai dan dapat diterima.

Menurut McCracken dan Eccleston (2006, dalam Harahap, 2007) mengatakan bahwa nilai interrater reliabilitas pada PBOP dalam penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang memuaskan yaitu berkisar .96-.99.

4.8. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian lembar kuesioner dan teknik observasi yang dilengkapi dengan lembar observasi. Tujuan dilakukannya teknik observasi adalah agar data mengenai perilaku nyeri yang didapat dari responden penelitian lebih akurat sehingga kesimpulan penelitian nantinya dapat dipercaya. Pengumpulan data dimulai setelah peneliti mendapat izin untuk melakukan penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan izin dari lokasi penelitian yaitu ruang rindu B2 RSUP HAM Medan.


(65)

Dalam pengumpulan data diberikan penjelasan terlebih dahulu kepada calon subjek tentang tujuan penelitian serta menanyakan kesediaan calon subjek untuk menjadi responden. Calon subjek yang bersedia diminta untuk menandatangani surat persetujuan dan atau menyetujui secara lisan. Seteleh itu peneliti mengisi lembar kuesioner. Untuk kuesioner data demografi, peneliti mengisi sendiri lembar tersebut dengan melihat status responden melalui buku rekam medik responden. Untuk kuesioner tipe kepribadian diisi sendiri oleh responden dan langsung diperiksa oleh peneliti apakah responden termasuk dalam tipe kepribadian A atau B. Bagi responden yang sulit untuk menulis dikarenakan terpasangnya infus pada tangannya, maka kuesioner diisi oleh peneliti berdasarkan jawaban dari responden. Lembar observasi perilaku nyeri diisi oleh peneliti dengan mengobservasi langsung perilaku nyeri pasien post operasi selama 10 menit untuk setiap responden selama penelitian berlangsung. Setiap responden diminta untuk melakukan aktivitas yang telah diterapkan dalam PBOP, yaitu responden diminta untuk melakukan aktivitas dalam 2 periode duduk, berdiri, berbaring, dan berjalan.

Pada saat pengumpulan data, terdapat 13 responden dari 47 responden yang hanya mampu melakukan 3 aktivitas dari 4 aktivitas yang diberikan oleh peneliti. Sehingga peneliti memutuskan untuk tidak memberikan aktivitas lagi karena jika aktivitas dilanjutkan sampai 4 aktivitas, hal itu akan menambah rasa nyeri yang tidak dapat di tahan lagi oleh pasien. Sehingga peneliti mengasumsikan bahwa perilaku nyeri dari 13 responden tersebut berada pada tingkat tinggi.


(66)

Perilaku nyeri ini diukur dengan Pain Behavior Observation Protocol

(PBOP) yang diadopsi dari Keefe dan Block (1982) dan telah dikembangkan oleh Harahap (2007). Setelah peneliti selesai mengisi lembar observasi perilaku nyeri maka seluruh data dikumpulkan kembali untuk diperiksa kelengkapannya dan dianalisa.

4.9. Analisa Data

Analisa data dilakukan setelah semua data terkumpul dengan memeriksa kembali semua data satu persatu, yaitu identitas dan data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi dengan benar. Selanjutnya memasukkan data ke dalam program analisa statistik pada komputer dan memeriksa ulang kelengkapan data. Setelah semua data dipastikan benar kemudian dilakukan pengolahan data dengan sistem komputerisasi.

Data demografi responden dan tipe kepribadiannya, ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Sedangkan perilaku nyeri dianalisa dengan menggunakan analisa data secara deskriptif untuk mengetahui frekuensi, mean, dan standar deviasi yang bertujuan untuk menjelaskan atau menggambarkan Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B di Ruang Rindu B2 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.


(67)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perilaku nyeri pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B di ruang rindu B2 Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 19 Juli 2011 sampai dengan 13 Agustus 2011 dengan jumlah responden sebanyak 47 orang di ruang rindu B2 Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan.

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Karakteristik Demografi Tipe Kepribadian A (N = 27)

Hasil penelitian tentang karakteristik responden dengan tipe kepribadian A didapatkan bahwa rata-rata responden berusia 39 tahun (SD = 12,59), dengan usia maksimum 58 tahun dan usia minimum 20 tahun. Untuk karakteristik jenis kelamin, mayoritas responden (70,37%) berjenis kelamin perempuan. Untuk karakteristik status perkawinan, lebih dari setengah responden (62,96%) sudah menikah. Untuk tingkat pendidikan lebih dari setengah responden (62,96%) berpendidikan SMA. Hampir setengah responden (48,14%) bekerja sebagai wiraswasta, dan mayoritas responden (70,37%) beragama Islam. Lebih dari setengah jumlah responden (55,56%) tipe kepribadian A bersuku batak. Sedangkan untuk penghasilan keluarga,


(68)

lebih dari setengah responden (59,25%) berpenghasilan antara Rp. 1.000.000-Rp. 3.000.000.

Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa mayoritas responden (77,78%) tidak pernah mengalami operasi sebelumnya dengan mayoritas (66,67%) skala nyeri berada pada rentang sedang (M = 6,11 dan SD = 1,08), dan hampir setengah responden (44,44%) dengan diagnosa appendiktomi. Untuk pengobatan yang diberikan dalam 24 jam, lebih dari setengah responden (66,67%) mendapatkan obat penurun nyeri yang termasuk dalam Nonsteroid Anti Inflamasi Drugs (NSAIDs) yaitu ketorolac, dan kurang lebih sepertiga responden (33,33%) mendapatkan tramadol. Mayoritas responden (74,07%) mendapatkan general anestesi dengan lebih dari setengah responden (59,25%) dikategorikan dalam jenis pembedahan mayor.

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Karakteristik Demografi Responden Tipe Kepribadian A (N=27)

No. Karakteristik Demografi Frekuensi (n) Persentase (%) 1. Umur

a. 18-25 b. 26-33 c. 34-42 d. 43-50 e. 51-58

Mean = 39,37 SD = 12,59 Max = 58 Min = 20

6 2 8 4 7 22,23% 7,40% 29,63% 14,81% 25,93%


(69)

No. Karakteristik Demografi Frekuensi (n) Persentase (%)

2. Jenis Kelamin a. Perempuan b. Laki-laki 19 8 70,37% 29,63% 3. Status Perkawinan

a. Menikah b. Belum Menikah c. Janda/ Duda

17 5 5 62,96% 18,52% 18,52% 4. Pendidikan

a. SD b. SMP c. SMA

d. Perguruan Tinggi

4 5 17 1 14,82% 18,52% 62,96% 3,70% 5. Pekerjaaan

a. Petani b. Pedagang c. Wiraswasta d. PNS e. Lainnya 4 3 13 4 3 14,82% 11,11% 48,14% 14,82% 11,11% 6. Agama

a. Islam b. Protestan 19 8 70,37% 29,63% 7. Suku

a. Melayu b. Jawa c. Batak d. Aceh e. Lainnya 1 7 15 3 1 3,70% 25,93% 55,56% 11,11% 3,70%

8. Penghasilan

a. < Rp. 1.000.000

b. Rp. 1.000.0000-3.000.000 c. > Rp. 3.000.000

4 16 7 14,82% 59,25% 25,93% 9. Pernah Operasi

a. Ya b. Tidak 6 21 22,22% 77,78%


(70)

No. Karakteristik Demografi Frekuensi (n) Persentase (%) 10. Skala Nyeri

a. Sedang b. Berat

Mean = 6,11 SD = 1,08 Max = 8 Min = 4

18 9

66,67% 33,33%

11. Diagnosa

a. Appendiktomi b. Laparotomi c. Kolesistektomi d. Gastroyeyenostomi 12 8 4 3 44,44% 29,63% 14,82% 11,11% 12. Obat Penurun Nyeri

a. Ketorolac b. Tramadol 18 9 66,67% 33,33% 13. Jenis Anestesi

a. General Anestesi b. Spinal

20 7

74,07% 25,93% 14. Jenis Pembedahan

a. Mayor b. Minor 16 11 59,25% 40,75%

5.1.2. Karakterestik Demografi Tipe Kepribadian B (N = 20)

Hasil penelitian tentang karakteristik responden dengan tipe kepribadian B didapatkan bahwa rata-rata responden berusia 35 tahun (SD = 12,11), dengan usia maksimum 55 tahun dan usia minimum 18 tahun. Untuk karakteristik jenis kelamin, mayoritas responden (75%) berjenis kelamin laki-laki. Untuk karakteristik status perkawinan, setengah responden (50%) tipe kepribadian B sudah menikah. Untuk tingkat pendidikan, hampir setengah responden (40%) berpendidikan SMA. Lebih dari setengah responden (55%) bekerja sebagai


(71)

wiraswasta, dan mayoritas responden (80%) beragama islam. Setengah dari jumlah responden (50%) tipe kepribadian B bersuku jawa. Sedangkan untuk penghasilan keluarga, lebih dari setengah responden (55%) berpenghasilan antara Rp. 1.000.000-Rp. 3.000.000.

Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa mayoritas responden (60%) tidak pernah mengalami operasi sebelumnya dengan skala nyeri berada pada rentang sedang sebanyak 60% (M = 5,75 dan SD = 1,65), dan setengah responden (50%) dengan diagnosa appendiktomi. Untuk pengobatan yang diberikan dalam 24 jam, mayoritas responden (70%) mendapatkan obat penurun nyeri yang termasuk dalam Nonsteroid Anti Inflamasi Drugs (NSAIDs) yaitu ketorolac, dan kurang lebih sepertiga responden (35%) mendapatkan tramadol. Mayoritas responden (80%) mendapatkan general anestesi yang dikategorikan dalam jenis pembedahan mayor.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Karakteristik Demografi Responden Tipe Kepribadian B (N=20)

No. Karakteristik Demografi Frekuensi (n) Persentase (%) 1. Umur

a. 18-25 b. 26-33 c. 34-42 d. 43-50 e. 51-58

Mean = 34,9 SD = 12,11 Max = 55 Min = 18

5 5 4 3 3 25% 25% 20% 15% 15%


(72)

No. Karakteristik Demografi Frekuensi (n) Persentase (%) 2. Jenis Kelamin

a. Perempuan b. Laki-laki 5 15 25% 75% 3. Status Perkawinan

a. Menikah b. Belum Menikah c. Janda/ Duda

10 8 2 50% 40% 10% 4. Pendidikan

a. SD b. SMP c. SMA

d. Perguruan Tinggi

4 7 8 1 20% 35% 40% 5% 5. Pekerjaaan

a. Petani b. Pedagang c. Wiraswasta d. PNS e. Lainnya 5 1 11 1 2 25% 5% 55% 5% 10% 6. Agama

a. Islam b. Protestan 16 4 80% 20% 7. Suku

a. Melayu b. Jawa c. Batak d. Aceh 1 10 6 3 5% 50% 30% 15% 8. Penghasilan

a. < Rp. 1.000.000

b. Rp. 1.000.0000-3.000.000 c. > Rp. 3.000.000

8 11 1 40% 55% 5% 9. Pernah Operasi

a. Ya b. Tidak 8 12 40% 60% 10. Skala Nyeri

a. Ringan b. Sedang c. Berat

Mean = 5,75 SD = 1,65 Max = 8 Min = 2

1 12 7 5% 60% 35%


(73)

No. Karakteristik Demografi Frekuensi (n) Persentase (%) 11. Diagnosa

a. Appendiktomi b. Laparotomi c. Kolesistektomi d. Gastroyeynostomi 10 3 5 2 50% 15% 25% 10% 12. Obat Penurun Nyeri

a. Ketorolac b. Tramadol 14 6 70% 30% 13. Jenis Anestesi

a. General Anestesi b. Spinal

16 4

80% 20% 14. Jenis Pembedahan

a. Mayor b. Minor 16 4 80% 20%

5.1.3. Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi dengan Tipe Kepribadian A dan B di Ruang Rindu B2 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan (N=47)

Berdasarkan hasil penjumlahan perilaku nyeri yang diobservasi pada saat kegiatan protokol nyeri yang diterapkan selama 10 menit untuk setiap responden, didapatkan bahwa pada responden dengan tipe kepribadian A lebih dari setengah responden (51,85%) mengekspresikan perilaku nyeri pada tingkat tinggi, sepertiga dari responden (44,45%) mengekspresikan perilaku nyeri pada tingkat sedang, dan hanya sedikit dari responden (3,70%) yang mengekspresikan perilaku nyeri pada tingkat rendah. Distribusi frekuensi perilaku nyeri pasien post operasi dengan tipe kepribadian A dan B dapat dilihat pada tabel 5.3.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Lampiran 11 DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Nanda Sartika

Tempat/ Tanggal Lahir : Medan/ 30 Desember 1988

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan Kewarganegaraan : Indonesia Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat : Jl. Keruntung. Gang Famili No. 3 Medan Riwayat Pendidikan :

1. TK Al-kautsar (1994) 2. SDN 066054 (1994-2000)

3. SLTP Negeri 13 Medan (2000-2003) 4. SMA Negeri 8 Medan (2003-2006)

5. Program Studi D III Keperawatan Fakultas Kedokteran USU (2007-2010) 6. Program Ekstensi S1 Keperawatan Fakultas Keperawatan USU