Pengaruh Peranan Franchisor Terhadap Suksesnya Bisnis Franchise Pada Alfamart Kota Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Franchise
2.1.1

Pengertian Franchise
Franchise atau waralaba dalam bahasa Perancis memiliki arti “kebebasan”

atau “freedom”. Namun dalam praktiknya franchise justru dipopulerkan di
Amerika Serikat. Dalam bahasa Indonesia franchise diterjemahkan sebagai
“waralaba” yang berarti “lebih untung”. “Wara” berarti lebih, sedangkan laba
berarti “untung” (Marimbo: 2007).
Menurut European Code of Ethics for Franchising, defenisi franchise
adalah franchise is a system of marketing goods and/or services and/or
technology, which is based upon a close and ongoing collaboration between
legally and financially separate and independent undertakings, the franchisor
and its individual franchisee, whereby the franchisors grants its individual
franchisees the right, and imposes the obligation, to conduct a business in
accordance with the franchisor`s concept. (Franchising adalah sistem pemasaran
barang dan atau jasa dan atau teknologi, yang didasarkan pada kerjasama

tertutup dan terus menerus antara pelaku-pelaku independen (maksudnya
franchisor dan franchisee individual) dan terpisah baik secara legal (hukum)
dan keuangan, franchisor memberikan hak kepada para individual franchisee dan
membebankan kewajiban untuk melaksanakan bisnisnya sesuai dengan konsep
dari franchisor).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Zimmerer (2008:80) franchise adalah suatu sistem distribusi
dimana pemilik bisnis yang semi mandiri membayar iuran dan royalty kepada
perusahaan induk untuk mendapatkan hak untuk menjual produk atau jasa dan
seringkali menggunakan format dan sistem bisnisnya.
Menurut

Spinelli

(2006:2)

franchising


terjadi

ketika

seseorang

mengembangkan model bisnis dan menjual hak untuk mengoperasikannya ke
pengusaha (franchisee). Franchisee biasanya mendapatkan hak untuk model
bisnis untuk jangka waktu tertentu dan di daerah geografis tertentu.
Menurut Suryana (2006:100) adalah kerja sama antara wirausaha
(franchisee) dengan perusahaan besar (franchisor/parent company) dalam
mengadakan persetujuan jual-beli hak monopoli untuk menyelenggarakan usaha
(franchise).
Menurut Odop (2006:16), franchise adalah pengaturan bisnis dengan
sistem pemberian hak pemakaian nama dagang oleh pewaralaba kepada pihak
independen atau terwaralaba untuk menjual produk atau jasa sesuai dengan
standarisasi kesepakatan untuk membuka usaha dengan menggunakan merek
dagang/nama dagang di bawah bendera mereka.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Franchise
atau waralaba adalah kegiatan bisnis yang didasarkan perjanjian/perikatan antara

franchisor (pemberi waralaba) dengan pihak franchisee (penerima waralaba),
berupa izin (lisensi) kepada penerima waralaba untuk menggunakan atau
memanfaatkan HAKI (Hak kekayaan Intelektual), sistem manajemen, keuangan,
dan pemasaran milik pemberi waralaba untuk dijalankan oleh franchisee.

Universitas Sumatera Utara

Lebih lanjut menurut IFA, Franchise atau Waralaba pada hakekatnya
memiliki 3 elemen yaitu:
1. Dalam setiap perjanjian Waralaba, Pewaralaba (Franchisor) selaku pemilik
dari sistem Waralabanya memberikan lisensi kepada Terwaralaba (Franchisee)
untuk dapat menggunakan merek dagang/jasa dan logo yang dimiliki oleh
Pewaralaba.
2. Sistem Bisnis Keberhasilan dari suatu organisasi Waralaba tergantung dari
penerapan Sistem/Metode Bisnis yang sama antara Pewaralaba dan
Terwaralaba. Sistem bisnis tersebut berupa pedoman yang mencakup
standarisasi produk, metode untuk mempersiapkan atau mengolah produk
atau makanan, atau metode jasa, standar rupa dari fasilitas bisnis,
standar periklanan, sistem reservasi, sistem akuntansi, kontrol persediaan,
dan kebijakan dagang.

3. Biaya (Fees) dalam setiap format bisnis waralaba, sang pewaralaba baik
secara langsung atau tidak langsung menarik pembayaran dari terwaralaba
atas penggunaan merek dan atas partisipasi dalam sistem waralaba yang
dijalankan. Biaya biasanya terdiri atas biaya awal, biaya royalti, biaya jasa,
biaya lisensi dan atau biaya pemasaran bersama. Biaya lainnya juga dapat
berupa biaya atas jasa yang diberikan kepada terwaralaba (misalnya: biaya
manajemen).
Menurut British Franchise Association, sebagai garansi lisensi kontraktual
satu orang (franchisor) ke pihak lain (franchisee) dengan:

Universitas Sumatera Utara

1. Mengijinkan atau meminta franchisee menjalankan usaha dalam periode
tertentu pada bisnis yang menggunakan merek yang dimiliki oleh franchisor.
2. Mengharuskan franchisor untuk melatih control secara kontiniu selama periode
perjanjian.
3. Mengharuskan franchisor untuk menyediakan asistensi terhadap franchisee
pada subyek bisnis yang dijalankan di dalam hubungan terhadap organisasi
usaha franchisee seperti training terhadap staf, merchandising, manajemen,
atau yang lainnya.

4. Meminta kepada franchisee secara periodic selama masa kerja sama franchise
untuk membayarkan sejumlah fee franchise atau royalty untuk produk atau
servis yang disediakan oleh franchisor kepada franchisee.
Defenisi waralaba juga diberikan oleh Institut Pendidikan dan Manajemen
yang antara lain mendefenisikan waralaba sebagai berikut:
1. Waralaba adalah suatu sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa,
dimana sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan hak istimewa
untuk melakukan suatu sistem usaha dengan cara, waktu, dan lokasi tertentu
kepada individu atau perusahaan lain (franchisee) yang berskala kecil dan
menengah.
2. Waralaba merupakan sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada
masyarakat konsumen, yang dijual kepada pihak lain.
2.1.2

Subyek dan Obyek Franchise
Dalam sebuah perikatan atau perjanjian tentu terdapat adanya subyek

dan obyek dari perikatan tersebut. Subyek dan obyek hukum dari franchise,
sehingga terbentuknya sebuah perikatan franchise yaitu:


Universitas Sumatera Utara

a. Subyek franchise
Subyek hukum franchise dalam sebuah perikatan franchise, terdiri dari 2 (dua)
yaitu sebagai berikut:
1. Franchisor
Franchisor adalah orang atau badan usaha yang memberikan lisensi,
baik berupa paten, penggunaan merek perdagangan/merek jasa, ciri khas
maupun hal-hal pendukung lainnya kepada franchise.
2. Franchisee
Franchisee adalah orang atau badan usaha yang menerima lisensi dari
franchisor untuk dapat menggunakan merek perdagangan/merek jasa
maupun ciri khas dari franchisor, namun harus tetap tunduk kepada
peraturan dan tata cara dari franchisor.
Selain 2 (dua) subyek hukum franchise yang telah dikemukakan masih
terdapat dua pihak lainnya yang dapat dikaitkan sebagai subyek hukum franchise
dalam perjanjian franchise yang juga terkena dampak dari perjanjian ini, yakni:
a. Franchise lain dalam sebuah sistem franchise (franchising system) yang sama.
b. Konsumen atau klien dari franchise maupun masyarakat sebagai pengguna
produk dan jasa pada umumnya.

Menurut Basarah dan Mufidin objek pengaturan dalam franchise dapat
meliputi hal-hal sebagai berikut: Nama dagang atau merek dagang, rahasia dagang
(trade secret), jasa pelatihan, Bantuan teknis operasional, Pembelian bahan
dan peralatan, Pengawasan kualitas produk, Biaya waralaba (franchise fee),
Jangka waktu waralaba, Pengalihan waralaba, Pemutusan pejanjian waralaba dan
perjanjian untuk tidak berkompetisi dengan franchisor.

Universitas Sumatera Utara

2.1.3

Penggolongan Franchise
Penggolongan franchise menurut East Asian Executive Report. East Asian

Executive Report telah menggolongkan franchise dalam 3 golongan yakni sebagai
berikut:
1. Product franchise
Franchise jenis ini, seorang atau badan usaha penerima franchise hanya
bertindak mendistribusikan produk dari rekannya dengan pembatasan areal,
seperti: pengecer bahan bakar Shell yang telah dibagi jaringan atau divisi

wilayah pendistribusiannya.
2. Processing franchise or manufacturing franchise
Franchise jenis ini, seorang atau badan usaha pemberi franchise (franchisor)
hanya memegang peranan memberi know-how, dari suatu proses produksi,
seperti: Minuman ringan Coca Cola.
3. Business formal/System franchise
Franchise jenis ini, seorang atau badan usaha pemberi franchise (franchisor)
sudah memiliki cara yang unik dalam menyajikan produk dalam satu paket
kepada konsumen, seperti: Dunkin Donuts dan Kentucky Fried Chicken.
2.1.4

Keunggulan dan kelemahan franchise
Menurut Anoraga (2002:241), keunggulan bisnis dengan menggunakan

sistem franchise adalah sebagai berikut:
a. Bimbingan
Kelemahan usaha kecil yang menyolok adalah kurangnya kemampuan
manajerial. Seseorang dengan ketrampilan manajerial yang terbatas mungkin
dapat diterima oleh perusahaan besar, karena ia hanya salah satu dari sekian


Universitas Sumatera Utara

banyak manajer. Tetapi tidak seorangpun dapat menutupi kelemahan tersebut
bila menjadi seorang manajer franchise. Banyak franchisor mencoba mengatasi
kekurangan atau kurang pengalaman dengan memberikan beberapa bentuk
pelatihan.
b. Brand name
Investor yang menandatangani perjanjian franchise mendapat hak untuk
menggunakan promosi nama merk secara nasional maupun regional. Hal ini
mengidentifikasikan unit lokal dengan suatu produk atau jasa yang terkenal.
c. Produk yang terjamin
Franchisor dapat menawarkan kepada franchisee suatu produk dan metode
pengoperasian bisnis yang terjamin. Produk atau jasa yang terkenal dan
diterima oleh masyarakat luas.
d. Bantuan finansial
Melalui kerjasama dengan perusahaan franchise, investor individual mungkin
dapat terjamin bantuan finansialnya. Biaya permulaan bisnis yang sangat
tinggi, dan investor prospektif biasanya memiliki dana yang terbatas.
Dalam beberapa kasus, asosiasi dengan franchisor yang telah mapan melalui
reputasinya dan pengendalian keuangannya dapat mempertinggi tingkat kredit

investor dengan bank lokal. Sedangkan kelemahan dari bisnis franchise ini
adalah:
1) Biaya
Franchisee harus membayar biaya franchise. Sebagai imbalannya
franchisor dapat memberikan pelatihan, bimbingan atau memberi
dukungan lainnya yang memerlukan biaya.

Universitas Sumatera Utara

2) Pengendalian eksternal
Seseorang yang menandatangani perjanjian franchise kehilangan beberapa
kebebasan. Franchisor, dalam hal mengoperasikan seluruh tempat penjualan
franchise sebagai suatu bisnis harus melakukan pengendalian atas aktivitas
promosional, catatan finansial, penyewaan, prosedur pelayanan, dan
pengembangan manajerial. Walaupun bermanfaat, pengendalian ini tidak
menyenangkan bagi seseorang yang mencari kebebasan.
3) Program pelatihan yang lemah
Beberapa franchisor telah mengembangkan program pelatihan yang baik.
Tetapi beberapa promotor menjanjikan pelatihan tetapi tidak pernah
terealisasi. Dalam kasus lain, program pelatihan lemah, terlalu singkat dan

diberikan oleh pelatih yang tidak memiliki keterampilan instruksional.
Fasilitas kadangkala tidak sesuai bagi pelatihan dan pengembangan yang
sebenarnya.
2.1.5

Hak dan Kewajiban Franchisor dan Franchisee
a.

Pemberi waralaba (franchisor) berhak menerima fee atau royalty dari
penerima waralaba,dan selanjutnya pemberi waralaba berkewajiban
untuk memberikan pembinaan secara berkesinambungan kepada
penerima waralaba.

b.

Penerima waralaba (franchisee ) berhak menggunakan Hak Kekayaan
Intelektual atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba,
dan selanjutnya penerima waralaba berkewajiban untuk menjaga kode
etik/Kerahasiaan Hak Kekayaan Intelektual atau ciri khas usaha yang
diberikan pemberi waralaba.

Universitas Sumatera Utara

2.2 Peran Franchisor Dalam Keberhasilan Usaha Bisnis Franchise
Peran franchisor dalam keberhasilan usaha bisnis franchisee dapat
dikonseptualkan dengan 4 (empat) fase yaitu: pertama adalah perkenalan atau
pendahuluan, dimana saling ketergantungan dan motivasi yang terbagi untuk
keberhasilan dan keuntungan. Fase yang kedua dapat dengan perkembangan awal
ketika bisnis mulai berfungsi. Selama fase ini, franchisor menawarkan dukungan
kepada franchisee baru dan hubungan antar keduanya mulai berkembang.
Pada fase ini, hubungan antara keduanya dapat menjadi problematik jika
franchisor tidak memberikan dukungan atau training yang tepat.
Ketika tiap partisipan dapat mengerti apa yang diharapkan oleh yang lain,
maka dapat dikatakan bahwa fase kedewasaan telah dicapai. Pada point ini,
franchisee memiliki kesan yang akurat terhadap keahlian dan kompetensitas
franchisor dan kontribusi franchisor terhadap hubungannya dengan franchisee.
Namun sebaliknya apabila tahap akhir dalam hubungan antara frenchisee dan
franchisor terjadi penolakan. Kemungkinan yang pertama adalah, bisnis tidak
berjalan baik sehingga franchisee termotivasi untuk mengakhiri hubungan dengan
franchisor, dan kemungkinan kedua yaitu bisnis berjalan terus dan hubungan
antara franchisee dan franchisor menjadi lebih solid.
Permasalahaan franchise dapat dialami oleh dua pihak baik itu fanchisee
maupuun franchisor juga. Menurut Karamoy (2004) hal-hal yang perlu
diperhatikan bagi pebisnis franchise yang harus mendapat penekanan yaitu
manajemen hubungan atau franchise relationship management.

Universitas Sumatera Utara

Franchise yang menghadapi tekanan baik internal maupun eksternal
secara signifikan, tekanan-tekanan tersebut dapat menyebabkan kekacauan sistem
yang akan berimbas pada penyedia eksternal, customer, dan supplier juga
franchisee dalam sistem franchise (Kaufmann, 1990 dalam Tikoo, 2005:329).
Ada konflik-konflik yang potensial dalam hubungan antara franchisee dan
franchisor dimana kedua pihak saling tergantung, terikat oleh kontrak,
dan banyaknya franchisee yang mengajukan komplain kepada franchisor.
Format bisnis franchise telah berkembang secara luas dalam sektor ekonomi
di USA dan UK (Mandelsohn, 1995:69). Pemberian ijin franchisor kepada
franchisee untuk mengembangkan bisnis menggunakaan mereknya. Pada dasarnya
franchisor menyediakan proses managerial kepada franchisee untuk menjalankan
bisnis sesuai dengan kontrak franchise (Cughlan, 2001:86). Sistem franchise tidak
hanya sekedar sistem ekonomi tapi juga sistem sosial karena adanya unsur
relationship yang berdasarkan dimensi ketergantungan, komunikasi dan konflik
(Stern dan Reve dalam Tikoo, 2005:331). Hubungan antara franchisor dalam
mempengaruhi franchisee sering disertai dengan konflik.
Dari hasil penelitian Tikoo (2005:329) peran franchisor meliputi
permintaan, ancaman dan perjanjian mempunyai hubungan positif terhadap
perselisihan hubungan franchise. Konflik sendiri biasanya terjadi disebabkan oleh
asimetri distribusi atas kekuatan franchisor (Quinn dan Doherty, 2000:354).
Aspek konflik harus dikelola untuk menciptakan hubungan baik antara franchisor
dan franchisee. Karena hubungan franchise tidak dapat dikendalikan oleh
ketergantungan franchisee, sehingga peran franchisor diatas mempunyai

Universitas Sumatera Utara

hubungan negatif terhadap ketergantungan franchisee. Artinya keterikatan
franchisee tidak bisa dilakukan dengan tekanan pihak franchisor. Sehingga solusi
terbaik adalah terciptanya hubungan fair/adil atas dua arah antara franchisor
dengan franchisee (Tikoo, 2005:329) misal menggunakan pertukaran informasi
(information exchange), kesanggupan (promise), pengendalian diri (restrain)
atas penekanan sebelumnya demand, treat dan legalistic dalam mempengaruhi
franchisee. Dimensi dari hubungan baik antara franchisor dan franchisor adalah
information exchange, recommedations, promises, request, treat, legalistic pleas
(Tikoo, 2005:329).
Menurut Johnsin (1999:4) kualitas hubungan digambarkan sebagai
kedalaman dan iklim organisasi dari sebuah hubungan antar perusahaan. Ada juga
yang menyatakan kualitas hubungan sebagai evaluasi menyeluruh dari kekuatan
hubungan (Smit, 1998; Garbarino dan Johnson, 1999). Dalam dunia franchise ada
beberapa studi yang menyatakan variabel yang menggambarkan atas kualitas
hubungan dalam jaringan franchise yaitu kepercayaan komitmen, konflik,
kekeluargaan, kerjasama. Sehingga merupakan suatu hal yang penting mengukur
kualitas hubungan antara franchisor dengan franchisee untuk menetapkan
kekuatan hubungan ini dan untuk menjelaskan bahwa bukan hanya dalam network
patner tetapi dalam kinerja penjualan.
a. Kepercayaan
Kepercayaan adalah hal terpenting penentu kesuksesan kerjasama. Disamping
itu kepercayaan dapat digambarkan dalam 2 komponen berbeda yaitu
kredibilitas dan benevolence (kebajikan) (Monroy dan Alzola, 2005:585).

Universitas Sumatera Utara

Kredibilitas mengacu pada perluasan dimana satu partner mempercayai
bahwa partner lain memiliki kacakapan untuk menampilkan kerja yang
efektif dan dapat diandalkan. Sedangkan benevolence berdasarkan perluasan
dimana satu partner mempercayai partner lain karena memiliki motivasi yang
bermanfaat untuk mengatasi masalah yang ada.
b. Komitmen
Beberapa peneliti menyatakan bahwa komitmen adalah unsur yang essensial
dalam kesuksesan hubungan. Menurut Varadarajan and Cunningham (1995)
Komitmen penting sebagai hasil dari kerjasama yang mengurangi potensi
ketertarikan alternatif ke hal lain dan akhirnya mampu meningkatkan profit.
Geyskens (1996 dalam Monroy dan Alzola, 2005:585) menyatakan bahwa
perbedaan antara komitmen afektif dan komitmen kalkulatif adalah hal yang
terpenting dalam hubungan antar organisasi. Secara umum komitmen afektif
menghubungkan dengan keinginan untuk meneruskan hubungan karena
pengaruh positif kedepan dalam mengidentifikasi partnernya. Partner yang
memiliki komitmen afektif meneruskan hubungan karena menyukai partner
lain, enjoyment dan rasa setia dan rasa memiliki. Namun sebaliknya komitmen
kalkulatif merupakan komitmen yang berdasarkan pada perluasan partner
yang menerima kebutuhan dalam menjaga hubungan yang mengacu pada
perpindahan biaya yang ditinggalkan. Yang menghasilkan perhitungan antara
biaya dan manfaat termasuk penetapan investasi yang dibuat dalam sebuah
hubungan.

Universitas Sumatera Utara

c. Relasionalism (rasa kekeluargaan)
Realsionalism dapat disebut sebagai kerjasama sosial yang mempertimbangkan
referensi dari evaluasi perilaku patner. Pada kenyataannya mereka
mengijinkan pertimbangan atas kenyamanan dari tindakan satu pihak dengan
standar yang pasti dalam melengkapi penyusunan dasar untuk penyelesaian
konflik. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam relasionalism adalah
fleksibilitas, solidaritas, mutuality dan harmonisasi konflik.
Menurut Hirayanti (2009) bahwa peranan franchisor adalah sebagai
berikut:
1.

Training merupakan kegiatan peningkatan kemampuan staf dan karyawan
untuk mengelola usaha dan pengambilan keputusan.

2.

Support service merupakan dukungan ataupun bantuan pelayanan yang
diberikan franchisor seperti bimbingan ataupun konsultasi masalah-masalah
operasional dan keuangan.

3.

Control System merupakan sebagai alat kontrol dalam menjalankan proses
sesuai dengan petunjuk teknis yang ditetapkan.

4.

Communication, Franchisor dapat melakukan komunikasi dengan baik sesuai
dengan mekanisme terhadap franchisee untuk melakukan perubahan-perubahan
dan perbaikan-perbaikan serta saling pengertian dalam mewujudkan kepentingan
bersama.

5.

Promotion merupakan bentuk penyajian tentang ide-ide, produk dan jasa
yang ditawarkan dalam menginformasikan dan mempengaruhi orang atau
pihak lain sehingga tertarik untuk melakukan transaksi produk dan barang
atau jasa.

6.

Supply adalah Persediaan bahan baku yang disiapkan oleh franchisor.

Universitas Sumatera Utara

2.3 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.3
Review Penelitian Terdahulu
No.
1

2

Peneliti
(Tahun)
Simarmata
(2012)

Sulastri
(2013)

Judul
Analisis peranan
franchisor
terhadap
suksesnya bisnis
franchise pada
Mc. Donald‟s
Cabang Ringroad
Medan

Analisis Pengaruh
Peran Franchisor
Terhadap
Keberhasilan
Usaha Bisnis
Franchise pada
PT. Indomaret
Pristama
(Indomaret)
di Kota Medan

Variabel
Penelitian
Variabel
independen:
Analisis Peranan
Franchisor
(X1).
Variabel Dependen:
Suksesnya bisnis
franchise (Y)

Variabel
independen:
Analisis Pengaruh
Peran Franchisor
(X1).
Variabel Dependen:
Keberhasilan usaha
bisnis franchise (Y).

Hasil Penelitian
Hasil penelitian
ini menunjukan
bahwa
promotion,
support service,
training, control
system,
communication
yang dilakukan
oleh
franchisor
memiliki
peranan yang
sangat penting
sekali. Karena
segala
sesuatunya
sangat
membutuhkan
dukungan
langsung dari
pihak franchisor
Hasil uji t
menunjukkan
bahwa
Pelatihan/
Training,
Dukungan/
Support,
Menyediakan/
Supply, Fasilitas
Financial,
Asistensi
manajemen dan
mudah diakses
secara parsial
berpengaruh
terhadap
keberhasilan
usaha bisnis
Franchise.

Universitas Sumatera Utara

3

Sarosa
(2006)

4

Rizky
Pamungkas
(2014)

Pengaruh Faktor
Dukungan dari
Franchisor,
Alasan Ekonomis,
Pemasaran, dan
Pribadi pada
Keputusan
memilih Format
dan Merek
Franchise.

Variabel
independen:
Dukungan dari
Franchisor (X1),
Alasan Ekonomis
(X2), Pemasaran
(X), Pribadi (X).
Variabel Dependen:
Keputusan memilih
Format dan Merek
(Y)

Faktor-faktor yang
Mempengaruhi
Keberhasilan
Usaha Pemegang
Usaha Waralaba.
Studi Kasus Pada
Waralaba
Makanan dan
Minuman Lokal di
Kota Semarang

Variabel
independen:
Karakteristik
Kewirausahaan (X1),
Lokasi Usaha (X2),
Kinerja Manajerial
(X3).
Variabel Dependen:
Keberhasilan Usaha
(Y)

Faktor
pemasaran tidak
berpengaruh
terhadap
keputusan
memilih format
dan merek
franchise,
sedangkan faktor
dukungan dari
franchisor,
alasan ekonomis,
dan pribadi
berpengaruh
terhadap
keputusan
memilih format
dan merek
franchise.
Menunjukkan
bahwa
karakteristik
kewirausahaan,
lokasi usaha dan
kinerja
manajerial
berpengaruh
terhadap
keberhasilan
usaha waralaba
di kota
Semarang.

2.4 Kerangka Konseptual
Franchisor adalah orang atau badan usaha yang memberikan lisensi,
baik berupa paten, penggunaan merek perdagangan/merek jasa, ciri khas maupun
hal-hal pendukung lainnya kepada franchisee.
Pemberi waralaba atau franchisor akan secara terus-menerus memberikan
berbagai jenis pelayanan yang berbeda-beda menurut tipe format bisnis yang
diwaralabakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa proses bantuan dan
bimbingan yang diberikan secara terus-menerus tersebut meliputi antara lain:

Universitas Sumatera Utara

Kunjungan berkala dari dan akses ke staf pendukung lapangan pemberi waralaba
guna membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-penyimpangan
terhadap pelaksanaan cetak biru yang dapat menyebabkan kesulitan dagang
bagi penerima waralaba, menghubungkan antara pemberi waralaba dan seluruh
penerima waralaba secara bersama-sama untuk saling bertukar pikiran dan
pengalaman, inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai
kemungkinan-kemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan bisnis yang ada,
pelatihan dan fasilitas-fasilitas pelatihan kembali untuk penerima waralaba dan
mereka yang menjadi stafnya, riset pasar, iklan dan promosi pada tingkat lokal
dan nasional.
Menurut Hirayanti (2009) bahwa peranan franchisor adalah Training
merupakan kegiatan peningkatan kemampuan staf dan karyawan untuk mengelola
usaha dan pengambilan keputusan, Support service merupakan dukungan
ataupun bantuan pelayanan yang diberikan franchisor seperti bimbingan ataupun
konsultasi masalah-masalah operasional dan keuangan. Control System merupakan
sebagai alat kontrol dalam menjalankan proses sesuai dengan petunjuk teknis
yang ditetapkan, Communication, Franchisor dapat melakukan komunikasi
dengan baik sesuai dengan mekanisme terhadap franchisee untuk melakukan
perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan serta saling pengertian dalam
mewujudkan kepentingan bersama, Promotion merupakan bentuk penyajian
tentang ide-ide, produk dan jasa yang ditawarkan dalam menginformasikan dan
mempengaruhi orang atau pihak lain sehingga tertarik untuk melakukan transaksi
produk dan barang atau jasa, Supply adalah Persediaan bahan baku yang disiapkan
oleh franchisor.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Waridah dalam Lindrayanti (2003:15) “keberhasilan usaha yaitu
adanya peningkatan kegiatan usaha yang dicapai oleh para pengusaha industri
kecil, baik dari segi peningkatan laba yang dihasilkan dicapai oleh pengusaha
dalam kurun waktu tertentu”.
Menurut Simarmata (2012) menunjukan bahwa promotion,support service,
training, control system, communication yang dilakukan oleh franchisor
memiliki peranan yang sangat penting sekali. Karena segala sesuatunya sangat
membutuhkan dukungan langsung dari pihak franchisor. Dimulai dari pemberian
awal waralaba hingga prosedur, standard perusahaan, pelatihan karyawan,
pemasaran dan lain-lain.
Menurut

Sulastri

(2015)

menunjukkan

bahwa

Pelatihan/Training,

Dukungan/Support, Menyediakan/Supply, Fasilitas Financial, Asistensi manajemen
dan mudah diakses secara simultan berpengaruh terhadap suksesnya bisnis
franchise.
Dengan adanya training guna menunjang keterampilan para staf karyawan
untuk dapat membuat franchisee tetap berkembang, adanya support kepada
franchisee untuk memotivasi dan membantu dalam membangun bisnisnya,
melakukan control system secara rutin untuk tetap menjaga kestabilan bisnis
franchise, menjaga communication yang lancar pada franchisee untuk tetap
membina adanya kepercayaan dan solidaritas dalam hubungan bisnis, dan
memberikan supply yang baik kepada agen-agen franchise adalah sub variabel
yang sangat berpengaruh terhadap suksesnya suatu bisnis franchise.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka kerangka konseptual
untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Peranan Franchisor (X):
1. Promotion
2. Support service

Suksesnya bisnis franchise

3. Training

(Y)

4. Control system
5. Communication
6. Supply
Sumber : Hirayanti (2009) dan Lindrayanti (2003)

Gambar 2.3
Kerangka Konseptual

Universitas Sumatera Utara