Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

BAB II
PROFIL PEMERINTAHAN GAMPONG LHOK PAWOH KECAMATAN
SAWANG KABUPATEN ACEH SELATAN
A. Pemerintahan Gampong
1 Sejarah Lahirnya Pemerintahan Gampong
a. Masa Kerajaan Aceh
Dalam sejarah Aceh, sejak zaman kesultanan Sultan Iskandar Muda (memerintah
1607-1636 M), Aceh telah memiliki tata pemerintahannya tersendiri, mulai dari
pemerintahan pada tingkat terendah yaitu Gampong. Lembaga yang terdapat di dalam
Gampong terdiri dari: Majelis Adat Aceh, Imueum Mukim yang merupakan Kepala
Pemerintahan Mukim. Imeum chik, Imam Masjid pada tingkat mukim, yaitu orang yang
memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di wilayah mukim yang berkaitan dengan bidang
agama Islam dan pelaksanaan Syari’at Islam.
Kemudian juga di dalam gampong juga memerintah seorang Keuchik, yang
merupakan kepala persekutuan masyarakat adat gampong yang bertugas menyelenggarakan
pemerintahan gampong. Tuha Lapan, sebagai lembaga adat pada tingkat mukim dan
gampong yang berfungsi membantu Imeum Mukim dan Keuchik. Imeum Meunasah,
memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di gampong yang berkenaan dengan bidang
Agama Islam, pelaksanaan dan penegakan Syari’at Islam. Keujrun Blang, pemimpin adat

47

Universitas Sumatera Utara

yang membantu pimpinan mukim dan gampong dalam urusan pengaturan irigasi untuk
pertanian atau persawahan dan sengketa sawah. Panglima Laot, pemimpin adat yang
memimpin urusan bidang pengaturan penangkapan ikan di laut dan sengketa laut.
Peutua Sineubok, pemimpin adat yang mengatur ketentuan-ketentuan tentang
pembukaan hutan perladangan, perkebunan pada wilayah gunung atau perbukitan dan
lembah-lembah. Haria Peukan, pemimpin adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan
pengutip retribusi pasar. Syahbandar, pemimpin adat yang mengatur urusan tambatan kapal
atau perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau. Selain lembaga-lembaga adat lain
yang hidup didalam masyarakat Aceh yang diakui keberadaannya, dipelihara dan
diberdayakan. Semua lembaga adat ini mempunyai struktur dan perannya masing-masing di
dalam masyarakat.
Kemudian terdapat sebuah lembaga bernama Tuha peut yang merupakan lembaga
kelengkapan gampong dan mukim, berfungsi memberikan nasehat-nasehat kepada Keuchik
dan Imum mukim dalam bidang pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan
masyarakat serta menyelesaikan segala sengketa ditingkat gampong dan mukim. Untuk
mendukung peran ini, lembaga-lembaga adat tersebut diberikan kewenangan untuk
menyelesaikan konflik yang timbul ditengah masyarakat. 42
Tuha peut telah berfungsi sebagai tata pemerintahan gampong dalam hirearki sosial

aceh, memiliki fungsi, peran dan kekuatan dimata hukum dan masyarakatnya. Tuha peut
42

H.Badruzaman Ismail,SH.M.Hum dan Sanusi M. Syarif. 2012. Sejarah Adat Aceh (2002-2006), Provinsi Aceh: Majelis
Adat Aceh .hal. 60-61

48
Universitas Sumatera Utara

memainkan peranan penting dalam kelangsungan dan dinamika pemerintahan gampong dan
masyarakatnya. Akan tetapi dengan dalih dan faktor apa kemudian seperempat abad
terakhir hilang seolah ditelan masa.
Ciri khas kedaerahan Aceh ini bisa dilihat dari nilai maupun norma yang telah
diimplementasikan dalam bentuk lembaga adat dan sosial sebagai bagian dari interaksi
masyarakat Aceh. Manifestasi dari identitas khas Aceh ini bisa dilihat dari keberadaan
kelembagaan yang asli yaitu gampong. Gampong merupakan sebutan untuk desa atau unit
pemerintahan terendah dalam struktur pemerintahan yang ada di Provinsi Aceh. Aceh
memiliki konsep kekuasaan yang dibangun dari dua pilar, yakni agama dan adat. konsep
kekuasaan ini diwujudkan melalui lembaga-lembaga kekuasaan dan sosial dari tingkat
pusat (kesultanan) hingga ke tingkat gampong sebagai unit pemerintahan terkecil. 43

Gampong sudah dikenal sejak zaman pemerintahan kerajaan Aceh pada tahun 1514.
Pada saat itu bentuk pemerintahan terendah yang asli lahir dari masyarakat dalam sususan
pemerintahan kerajaan Aceh yakni gampong. Gampong ini muncul pada suatu Qanun
Maeukata Alam Al Arsyi yang menyebutkan bahwa kerajaan Aceh Raya Darussalam
tersusun dari gampong (kampung/kelurahan), mukim (kumpulan gampong-gampong),
sagoe (federasi dari beberapa nanggroe dan kerajaan). 44

43

Gayatri, Irine H. 2007 Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh,LIPI Press. Hal
110
44
M.Mansur Amin,dkk.1988. Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di Pedesaan.Jakarta: Pustaka Grafika Kita.
Hal 42-43

49
Universitas Sumatera Utara

Dalam perjalanan sejarahnya, gampong memiliki lika-liku yang beragam disetiap
rezim politik yang memerintah di Indonesia. baik pada masa kolonial dan pasca Indonesia

merdeka. Pada masa kolonial belanda, Aceh dibagi menjadi dua bagian, yakni daerah
indirect yang terdiri dari leih dari 100 zelfbestuur/landschap, dan daerah direct yang terdiri
atas beberapa puluh daerah adat dan administratif. Untuk daerah zelfbestuur sendiri
dipimpin oleh uleebalang, tentu saja sifat mengalir dari kesetiaan gampong dihentikan. 45
Pada masa kolonial belanda, gampong banyak mengalami trasformasi sosial dan
pergeseran nilai dan ikatan tradisional antara uleebalang, ulama dan warga gampong.
Adanya praktik tanam paksa membuat ikatan tradisional antara warga gampong dan elit
gampong berubah menjadi ikatan kontrak. Belanda secara efektif menjalankan politik
indirect rule sampai ke unit pemerintahan paling bawah membuat para uleebalang menjadi
kaki tangan belanda dalam mengontrol komoditas pertanian di gampong, sedangkan disisi
lain, peranan ulama bagi gampong disingkirkan. 46
Tidak berhenti sampai disitu, corak politik indirect rule yang diterapkan oleh
pemerintah kolonial belanda membuat kepemimpinan gampong bercorak patrimonial.
Kondisi gampong makin diperparah dengan masuknya penjajahan Jepang (1942-1945) di
Indonesia. Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan dan
pengendalian yang sangat ketat. Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan perang,
gampong di Aceh juga mengalami hal seperti demikian.
45
46


Nugroho Notosusanto et,al. 1990. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta:Depdikbud. Hal 146
Suhartono.et,al. 2001. Politik Lokal: Parlemen Desa (Awal Kemerdekaan sampai Jaman Otonomi Daerah).
Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Hal 44

50
Universitas Sumatera Utara

Tingkat tetinggi dalam struktur pemerintahan kerajaan Aceh adalah pemerintahan
pusat, yang berkendudukan di ibu kota Kerajaan, yang duhulunya bernama Bandar Aceh
Darussalam. Kepala pemerintahan pusat adalah Sultan yang para kerebat kelompoknya
bergelar Tuwanku. Dalam mengendalikan pemerintahan Sultan dibantu oleh bebeerapa
pembantu yang membawahi bidang masing-masing. Berdasarkan sebuah manuskrip (MS),
susunan pemerintahan pusat Kerajaan Aceh terdiri atas 24 lembaga atau jabatan yang
terdapat dikenal pada saat sekarang adalah menteri. Nama dari masing-masing lembaga
tersebut adalah sebagai berikut:
1.

Kerukunan Katibul, Muluk atau Sekretaris Raja

2.


Rais Wazirat Adddaulah atau Perdana Menteri

3.

Wazirat Addaulah atau Menteri Negara

4.

Wazirat Addaulah Akdham atau Menteri Agung

5.

Wazirat al Harbiah atau Menteri Peperangan

6.

Wazirat al Haqqamiah atau Menteri Kehakiman

7.


Wazirat ad Daraham atau Menteri Keuangan

8.

Wazirat al Mizan atau Menteri Keadilan

9.

Wazirat al Maarif atau Menteri Pendidikan

10. Wazirat al Kharijiyah atau Menteri Luar Negeri
11. Wazirat ad Dhakhiliyah atau Menteri Dalam Negeri
12. Wazirat al Auqaf atau Menteri Urusan Wakaf
13. Wazirat al Ziaarf atau Menteri Pertanian

51
Universitas Sumatera Utara

14. Wazirat al Maliyyah atau Menteri Urusan Harta

15. Wazirat al Muwashalat atau Menteri Perhubungan
16. Wazirat al Asighal atau Menteri Urusan Kerja
17. As Syaikh al Ilam Mufti Empat Syeik Kaabah
18. Qadli al Malik al Adil atau Kadli Raja yang Adil
19. Wazir Tahakkum Muharrijailan atau Ketua Pengurus Kesenian
20. Qadli Mualdlam atau Kadli atau Jaksa Agung
21. Imam Bandar Darul Makmur Darussalam
22. Keuchik Muluk atau Keuchik Raja
23. Imam Muluk atau Imam Raja
24. Panglima Kenduri Muluk atau Ketua Urusan Kenduri Raja.
Kedua puluh empat lembaga atau jabatan yang disebutkan diatas, dipegang oleh
orang-orang tertentu yang diangkat oleh Sultan Aceh. Selain jabatan-jabatan itu di Kerajaan
Aceh, terdapat pula tiga buah badan atau lembaga lainnya yang berfungsi hamper dapat
disamakan dengan lembaga legislative sekarang. Lembaga ini turut mendampingi Sultan
dalam melaksanakan tugasnya. Lembaga ini turut mendampingi Sultan dalam
melaksanakan tugasnya. Ketiga lembaga ini adalah:
1.

Balai lungsari, yaitu tempat bermufakat empat orang Uleebalang (hulubalang
empat) dan tujuh orang alim ulama, serta menteri-menteri Kerajaan Aceh.


2.

Balai Gadeng, yaitu tempat bermufakat dari delapan orang Uleebalang (hulubalang
delapan) dan tujuh orang alim ulama serta menteri-menteri Kerajaan Aceh.

52
Universitas Sumatera Utara

3.

Balai Majelis Mahkamah Rakyat, yaitu sebagai tempat mufakat wakil rakyat
sebanyak tujuh puluh tiga orang yang datang dari tujuh puluh tiga mukim. Jadi
tiap-tiap mukim diwakili oleh satu orang.

Selain ketiga lembaga di atas, dalam sebuah naskah yang bernama “Qanun Meukuta
Alam Sultan Iskandar Muda”, disebut pula ada Balai Laksamana, yang tunduk yang berada
di bawah perintah Sultan. Selanjutnya ada pula yang disebut Balai Fardah, yang tugasnya
emmungut atau mengumpulkan wase’ (bea cukai). Balai ini tunduk kepada perintah
Perdana Menteri atau menteri-menteri. Disebutkan pula, dalam memerintah kerajaan,

Sultan Aceh tunduk kepada Qanun.
Demikianlah struktur kerajaan Aceh hingga berdamainya Sultan yang terakhir Sultan
Muhammad Daud Syah dengan Belanda pada tahun 1903, yang merupakan awal
berakhirnya kerajaan Aceh. karena setelah itu daerah ini diduduki oleh Belanda hingga
tahun 1942. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disebutkan bahwa
masyarakat Aceh dapat dikenal ada dua jenis kelompok pemimpin yaitu kemlompok
pemiimpin adat (umara) dan kelompok pemimpin agama (ulama).
Adapun mereka yang tergolong dalam kelompok pemimpin adat (umara) adalah:
1.

Sultan, yang disebut dengan istilah Potue (tuan kita) atau Poe Teu Raja,yang
keturunan laki-lakinya diberi gelar Tuwanku.

2.

Uleebalang, mereka merupakan raja-raja kecil beserta dengan kerabat-kerabat
yang membantunya. Uleebalang ini pada masa dahulu ( di saat Aceh masih sebuah

53
Universitas Sumatera Utara


kerajaan) merupakan bawahan Sultan Aceh, yang untuk pengukuhannya diberikan
sebuah sarakata (besluit) yang dibubuhi segel atau stempel Sultan Aceh yang
dikenal dengan nama cap sikureueng (cap Sembilan). Para Uleebalang memerintah
unit pemerintahan nanggroe secara otokratis yang ditetapkan menurut adat secara
turun menurun. Anak lelakinya mendapat gelar Teuku dan [anggilan yang lazim
juga untuk mereka Ampon. Bila mereka sudah memegang jabatan Uleebalang
dalam waktu yang cukup lama disebut Ampon Chik. Gelar untuk anak perempuan
mereka yaitu Cut yang ditempatkan di depan namanya. Dalam menjalankan
pemerintahannya Uleebalang dibantu oleh pembantu-pembantunya seperti Kadli,
Bantadan Rakan.
3.

Kepala Mukim, yaitu mengepalai suatu kesatuan wilayah kekuasaan yang
merupakan gabungan dari beberapa buah Gampong yang berdekatan dan
penduduknya melksankan sembahyang bersama pada setiap hari jum’at di sebuah
mesjid dalam wilayah mukim yang bersangkutan.

4.

Panglima Sagoe, yaitu sebagai pimpinan segi yang merupakan federasi dari
mukim-mukim yang khusus terdapat di Aceh Besar yang istilah Aceh Aceh
Rayeuk. Jumlahnya haya tiga buah, yaitu sagi XXII mukim, sagi XXV mukm dan
Sagi XXVI mukim. Ketiga sagi inilah yang lazim disebut dengan nama Aceh lhee
sagoe (Aceh tiga sagi). Gelar untuk Panglima sagoe ini juga ada yang
menyebutnya dengan istilah Uleebalang.

5.

Keuchik atau juga yang menyebutkan Geuchik yaitu yang mengepalai sebuah
Gampong (desa). Selain dibantu Teungku Meunasah, Keuchik juga dibantu oleh

54
Universitas Sumatera Utara

aparat lainnya, seperti yang disebut waki (wakil) yang merupakan wakil Keuchik
dan kelompok orang tua yang dinamakan Ureueng Tuha. Menurut adat jumlah
hanya empat orang, yang disebut Toeha Peuet. Disamping itu juga ada delapan
orang yag disebut Toeha Lapan. Unsur lain dalam suatu Gampong yaitu yang
dinamakan Ureueng leu (orang banyak), yang merupakan anak-anak dari ayah
kampung (Keuchik), Umara dan Ibu kandung (Teungku Meunasah), sebagai
Ulama.
Sementara yang tergolong pemimpin agama (kelompok Ulama) yang mengurusi
masalah keagamaan yang disebut hukom, yaitu:
1.

Kadli yaitu orang yang mengurusi pengadilan agama atau yang dipandang
mengerti mengenai hukum agama di Kerajaan Aceh. Jabatan Kadli ini diadakan
pertama kali di Kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda,
yaitu untuk mengatur pelaksanaan pengadilan agama yang terpisah dengan
pengaturan mengenai adat. Menurut tradisi lisan, Kadli yang pertama di Kerajaan
Aceh bernama Dja Sandang atau disebut juga Dja Bangka, karena ia berasal dari
kawom Dja Sandang. Kadli di kerajaan Aceh popular dengan panggilan Kadli
Malikul Adil. Selain pada tingkat kerajaan Kadli ini juga ada pada tingkat
pemerintahan nanggroe, yaitu yang membantu Uleebalang.

2.

Imum Mukim (imim Mukim), yaitu yang menjadi panasehat Kepala Mukim dalam
bidang hukum, dan Imum Mukim inilah yang bertindak sebagai Imam
sembahyang pada hari jum’at di sebuah mesjid.

55
Universitas Sumatera Utara

3.

Teungku Meunasah, meskipun sebagai pembantu Keuchik dalam sebuah mesjid,
bidang hukom tetapi jabatan ini paling dominan dalam kehidupan masyarakat
Gampong.

4.

Teungku-teungku, pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti
Dayah dan Rangkang juga termasuk murid-muridnya yang juga dipanggil dengan
sebutan Teungku.

Dengan semboyan “Serambi Mekkah” Aceh tempo doeloe, tidak saja telah mengisi
dictum Adt dan Islam seperti Zat dengan Sifat seupama “kuku dan daging” disamping
Keuchik dengan Meunasah yang tak ubahnya sebagai “Ibu dan Ayah”, pengelola Adat juga
dikenal sebagai elit sekuleir dan Ulama sebagai elit religious telah menujukkan suatu
hubungan yang akrab dan intim namun juga adanya masa-masa yang suram dan renggang.
Contoh yang paling konkrit dapat dilihat pada masa perang Belanda di Aceh. Pada mulai
terjadinya perang tersebut Ulama dan Uleebalang bersama-sama telah melakukan
perlawanan yang mengakibatkan Belanda kewalahan. Sebagai Aceh di bawah pimpinan
Ulama dan Uleebalang dengan gigih dan heroic mengangkat senjata secara terbuka maupun
secara gerilya melawan Belanda.
Namun dalam perkembangannya setelah melakukan berbagai usaha dengan politik
divide et empera, pihak Belanda berhasil mematahkan perlawanan Aceh. salah satu cara
yaitu dengan memisahkan atau merenggangkan hubungan antara kelompok ulama dengan
kelompok Uleebalang. Untuk tujuan ini secara khusus Belanda mengirim seorang orientalis
terkemuka di Aceh, yaitu C. Snouck Hurgronje. Dengan politik yang dilaksankan atas saran

56
Universitas Sumatera Utara

C. Snouck Hurgronje ini, kemudian sebagian Uleebalang dapat dirangkul dan selanjutnya
mereka ini dijadikan sebagai aparat-aparat dalam struktur birokrasi Belanda. Mereka
dijadikan sebagai perantara antara Belanda dengan rakyat. Selanjutnya Uleebalang yang
menjadi lebih terampil dan tidak lagi dipengaruhi oleh para Ulama, maka mereka diididik
dengan pendidikan barat. Dalam perkembangannya dari mereka yang dididik ini telah
muncul kelompok baru dalam masyarakat Aceh.
b. Masa Orde Lama
Dalam perjalanan sejarahnya, gampong memiliki lika-liku yang beragam disetiap
rezim politik yang memerintah di Indonesia. baik pada masa kolonial dan pasca Indonesia
merdeka. Pada masa kolonial belanda, Aceh dibagi menjadi dua bagian, yakni daerah
indirect yang terdiri dari leih dari 100 zelfbestuur/landschap, dan daerah direct yang terdiri
atas beberapa puluh daerah adat dan administratif. Untuk daerah zelfbestuur sendiri
dipimpin oleh uleebalang, tentu saja sifat mengalir dari kesetiaan gampong dihentikan. 47
Pada masa kolonial belanda, gampong banyak mengalami trasformasi sosial dan
pergeseran nilai dan ikatan tradisional antara uleebalang, ulama dan warga gampong.
Adanya praktik tanam paksa membuat ikatan tradisional antara warga gampong dan elit
gampong berubah menjadi ikatan kontrak. Belanda secara efektif menjalankan politik
indirect rule sampai ke unit pemerintahan paling bawah membuat para uleebalang menjadi

47

Nugroho Notosusanto et,al. 1990. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta:Depdikbud. Hal 146

57
Universitas Sumatera Utara

kaki tangan belanda dalam mengontrol komoditas pertanian di gampong, sedangkan disisi
lain, peranan ulama bagi gampong disingkirkan. 48
Tidak berhenti sampai disitu, corak politik indirect rule yang diterapkan oleh
pemerintah kolonial belanda membuat kepemimpinan gampong bercorak patrimonial.
Kondisi gampong makin diperparah dengan masuknya penjajahan Jepang (1942-1945) di
Indonesia. Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan dan
pengendalian yang sangat ketat. Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan perang,
gampong di Aceh juga mengalami hal seperti demikian.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, salah satu agenda yang dipersiapkan
bagi daerah-daerah di Indonesia yakni mengenai otonomi daerah. Desa diakui sebagai
komunitas rakyat yang otonom dengan diakuinya hak – hak istimewa. Hak otonomi
diberikan negara di tingkat paling bawah sampai ke desa bukan kelurahan sebagai kesatuan
masyarakat untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Undang-Undang 22 tahun 1948
menyebutkan bahwa Desa sebagai daerah yang memiliki bentuk dan wewenang yang
otonom untuk mengatur dan menjalankan pemerintahannya sendiri.
Meskipun otonomi dan diakuinya hak-hak istimewa bagi unit pemerintahan terkecil
sudah diakui oleh pemerintah pusat. namun pada masa revolusi (1945-1950) terjadi
kemerosotan terhadap komoditi pertanian yang berimbas pada stagnansi ekonomi gampong.
Gampong yang pada awalnya merupakan tanah tempat bercocok tanam yang didiami oleh
48

Suhartono.et,al. 2001. Politik Lokal: Parlemen Desa (Awal Kemerdekaan sampai Jaman Otonomi Daerah).
Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Hal 44

58
Universitas Sumatera Utara

sekelompok manusia kini semakin ditinggalkan karena memudarnya ikatan sosial dan
ikatan territorial.
Melemahnya otoritas pranata pemerintahan gampong seperti uleebalang, keuchik,
dan ulama tidak sekuat pada masa lampau karena adanya trasnformasi sosial dari pola
kehidupan agraris ke pola semi-urban mengakibatkan reduksi identitas cultural warga
gampong. 49
c. Masa Orde Baru
Pada masa orde baru berkuasa yakni tahun 1966 sampai dengan tahun 1998
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah. Isi dari Undang-Undang ini lebih bernuansa sentralistik. Melalui UU no. 5 tahun
1974 pemerintah Orde Baru menerapkan sistem sentralistis dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah mulai dari provinsi sampai ke desa. Pemerintah daerah dijadikan
instrumen pemerintah pusat agar bisa melaksanakan semua kebijakan pusat secara efektif
dan efisien. Oleh karena itu, pemerintah pusat tidak memperkuat daerah otonom, tapi
memperkuat wilayah administrasi. 50
Pada masa orde baru terjadi tekanan politik terhadap desa, dalam konteks negara
Orde Baru yakni ketika rezim memberlakukan Undang-Undang No. 5/Th. 1979 tentang

49

Hiraswari Gayatri, Irine dan Septi Satriani (ed). Dinamika Kelembagaan Gampong dan Kampung Aceh Era
Otonomi Khusus. Jakarta:LIPI Press, 2007, hal 114
50
Hanif Nurcholis.2011.Hubungan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Serta
Peran Wakil Pemerintah.Jakarta:Jurnal Ilmu Pemerintahan Fisip Universitas Terbuka Jakarta Vol. 2 No 2

59
Universitas Sumatera Utara

Pemerintahan Desa yang menyeragamkan kelembagaan desa. Aturan ini mendefenisikan
desa dalam pengertian administratif, yaitu suatu satuan pemerintahan desa sebagai strategi
untuk mengontrol desa. Dengan demikian, secara resmi desa berada di rantai terbawah
hierarki birokrasi sistem pemerintahan nasional. Akibatnya desa menjadi bagian dari
struktur negara, yang meniadakan otonomi asli desa. Potret desa tersebut juga berlangsung
di gampong di Aceh, daerah nusantara yang selama sekian puluh tahun sejak 1976 hingga
2003 mengalami abnormalitas politik karena berlangsungnya konflik bersenjata.
Bisa dilihat bahwa orde baru secara sistematis melakukan penghancuran terhadap
eksistensi gampong di Aceh. Berbekal UU No 5 tahun 1979 yang berisi tentang
penyeragaman satuan unit pemerintahan terkecil sebagai desa ini, orde baru juga menaruh
elit-elit baru untuk menguasai pemerintahan daerah Aceh dalam rangka mengontrol
gampong melalui teknokrat lokal, birokrasi militer dan ulama yang telah dikooptasi melalui
MUI. 51
Dampak dari pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa juga
dirasakan oleh masyarakat Aceh di mana sebelumnya ada Keuchik yang memiliki otoritas
mengurus dan menyelesaikan berbagai persoalan pemerintahan menurut adat, Teungku
Imuem Meunasah berkompeten menangani persoalan di bidang keagamaan. Sedangkan
sebutan untuk desa disebut dengan Gampong. Dan apabila ada persoalan di sebuah
gampong langsung diselesaikan secara internal di dalam Gampong. Sedangkan pada saat

51

Hiraswari Gayatri, Irine dan Septi Satriani (ed). Dinamika Kelembagaan Gampong dan Kampung Aceh Era
Otonomi Khusus. Jakarta:LIPI Press, 2007, hal 114

60
Universitas Sumatera Utara

pemberlakuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, Para keuchik atau pimpinan gampong
tidak lebih dari kepanjangan tangan birokrasi di atasnya, yang tunduk dengan skema
pembangunan, tanpa dapat melakukan inisiatif untuk membangun gampong jabatan
Teungku Imuem meunasah dihilangkan dari kelembagaan formal menjadi informal. Dan
terjadinya penyeragaman sebutan desa di seluruh Indonesia.
Demikian juga halnya fungsi lembaga perwakilan gampong atau lembaga Tuha peut
Gampong yang menyamai fungsi sebagai Lembaga Perwakilan dihapus dan diganti menjadi
Lembaga Musyawarah Desa atau disebut LMD. Dalam kenyataannya LMD juga tidak
mendapat peran yang maksimal, karena bisa dipastikan bahwa peranan LMD dalam rezim
orde baru sangat impoten tidak bisa memenuhi representasi masyarakat karena diketuai
oleh kepala desa sebagai kepanjangan tangan pemerintah secara bersamaan. Sehubungan
dengan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia yang menempatkan Aceh sebagai
satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter
khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh memiliki ketahanan dan daya juang yang tinggi.
d. Masa Reformasi
Setelah Rezim Orde Baru runtuh pada tahun 1998, sistem pemerintahan sentralistik
mulai tergantikan posisinya oleh sistem pemerintahan desentralistik. Gelombang arus
demokratisasi yang semakin populer dan menjadi pilihan negara-negara dalam sistem
pemerintahannya khususnya di negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Terlebih lagi
saat itu keadaan di Indonesia sangat mendukung, karena runtuhnya rezim Orde Baru.

61
Universitas Sumatera Utara

Masyarakat khususnya yang di daerah-daerah, yang selama ini merasa terbelenggu karena
sistem pemerintahan orde baru, kemudian menyambut baik glombang demokratisasi di
Indonesia. Menyambut proses demokratisasi di Indonesia, pemerintah kemudian
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah. UndangUndang ini mengakui Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak asalusul dan adat-istiadatnya. Oleh karena itu Desa bisa disebut dengan nama lain atau sesuai
dengan kondisi sosial-budaya setempat.
Pada masa reformasi ini pula momentum bagi gampong untuk merevitalisasi diri.
Dikeluarkannya UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi NAD yang
ditindaklanjuti dengan Qanun No 5/2003 tentang gampong dalam membuka ruang guna
kembali lagi ke adat dan agama islam. Gampong-gampong kembali untuk membangun
kembali seperti bentuk dahulu sebagai self-governing community di unit pemerintahan
terkecil di Aceh.
Pengakuan negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir
diberikan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-undang Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Aceh dan Gerakan Aceh Merdeka
yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk
rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh
secara berkelanjutan.

62
Universitas Sumatera Utara

Sebelum keluarnya Undang-undang Pemerintahan Aceh ini telah diberlakukan Undangundang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan untuk Aceh Besar telah
mengeluarkan Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Gampong yang merupakan penjabaran dari Pasal 41 Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun
2003 Tentang Pemerintahan Gampong. Qanun tersebut dimaksudkan untuk menata
Pemerintahan Gampong yang salah satunya bertujuan untuk pembangunan masyarakat di
Gampong.
B. Pemerintahan Gampong Lhok Pawoh
Gampong Lhok Pawoh dipimpin oleh seorang keuchik dan dibantu oleh Teungku
Imeum meunasah dan Tuha peut. Adapun struktur pemerintahan gampong Lhok pawoh
adalah sebagai berikut:
1.

Keuchik berserta perangkat desa yang terdiri dari:
a. Bapak Azharudin Ramli sebagai Keuchik Lhok Pawoh.
b. Safriadi sebagai Sekretaris Gampong Lhok Pawoh, yang mana dibantu oleh :
c. Misdar Hasan sebagai kepala dusun Twi Lhok.
d. Tgk. Sulaiman sebagai kepala dusun Pasie.
e. Tgk. Irwata sebagai kepala dusun Tengoh.
f. Suriyadi sebagai kepala dusun Paya.

2. Tuha Peut Gampong lhok Pawoh:

63
Universitas Sumatera Utara

a) Ruzuar Is Maidi, SE sebagai Ketua.
b) M. Nasir, SE sebagai Wakil Ketua 1.
c) Zulkarnaini sebagai Wakil Ketua 2.
d) Muzakkir. S.Pd sebagai Sekretaris.
e) Masrizal sebagai Anggota.
f) Tgk. Yulizar Abdia sebagai Anggota.
g) Afrizal sebagai Anggota.
h) Yuli Iskandar sebagai Anggota.
i) Henazar sebagai Anggota.
j) Mariah sebagai Anggota.
k) Musdar sebagai Anggota.
3. Tokoh Agama:
a. Tgk. Safrinasir
b. Tgk. Sukardi
c. Tgk. Yulizar Abdia
4. Tokoh Pemuda:
a. Muzakkir, S.Pd
b. Ayuzar
5. Tokoh Adat
a. Tgk. Sulaiman
b. Suriadi is

64
Universitas Sumatera Utara

c. Irwata
d. Muajar sebagai Panglima laot gampong lhok pawoh
e. Zulkarnain sebagai peutua seuneubok gampong lhok pawoh
f. Safriadi. 52
Sumber : Kantor Keuchik Gampong Lhok Pawoh Kecamatan Sawang
Sebagai kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh, gampong merupakan kumpulan
hunian yang diikat oleh satu meunasah (madrasah). Gampong sendiri terdiri dari beberapa
jurong, Tumpok (kumpulan rumah) atau ujong (ujung gampong). 53 Penanda dari wilayah
suatu gampong bisa dilihat dari keadaan fisik atau topografi alam setempat untuk menandai
wilayah gampong yang satu dengan yang lain digunakan batas alam (sungai, tanah, gunung
dan bukit). Gampong memiliki karakteristik yang ditandai dengan pola pemukiman yang
padat dan terpusat dengan arah bangunan menghadap ke kiblat. Terdapat bangunan rumah
berbentuk rumah panggung dengan meunasah sebagai tempat beribadah yang terletak di
tengah-tengah gampong. 54 Setiap gampong mempunyai sekurang-kurangnya sebuah
meunasah (mushalla).
Pasal 1(5) Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003
menyebutkan bahwa Mukim atau dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum
dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong
52

Data dari kantor Keuchik Gampong Lhok Pawoh.

53

M. Arief, Sanusi. 2005. Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekronstruksi Pasca Tsunami, Bogor:
Pustaka Latin. Hal. 11
54
Hiraswari Gayatri, Irine dan Septi Satriani (ed). Dinamika Kelembagaan Gampong dan Kampung Aceh Era
Otonomi Khusus. Jakarta:LIPI Press, 2007, hal 48

65
Universitas Sumatera Utara

yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan
langsung di bawah camat atau dengan nama lain dan dipimpin oleh Imeum Mukim atau
dengan nama lain.
Mukim berkedudukan sebagai unit pemerintahan yang membawahi beberapa
gampong yang berada langsung dibawah dan bertanggungjawab kepada camat, sesuai
dengan Pasal 2 Qanun Nomor 4 tahun 2003. Dalam pasal 3 Qanun Nomor 4 tahun 2003
disebutkan bahwa mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan syari’at islam.
Yang mana kemudian dijelaskan lagi dalam pasal 4 Qanun Nomor 4 Tahun 2003, bahwa
untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 tersebut diatas, mukim
mempunyai fungsi :
1. Penyelenggaraan pemerintahan baik berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi
dan urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan lainnya;
2. Pelaksanaan pembangunan baik pembangunan ekonomi,pembangunan fisik, maupun
mental spiritual;
3. Pembinaan kemasyarakatan di bidang pelaksanaan Syari’at Islam, pendidikan,
peradatan, sosial budaya, ketentraman dan ketertiban masyarakat;
4. Peningkatan percepatan pelayanan kepada masyarakat;
5. Penyelesaian dalam rangka memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal
adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat di
daerah pemukiman.

66
Universitas Sumatera Utara

Pada umumnya tugas Mukim bersifat banding yang diajukan oleh Keuchik, karena
tidak selesai pada tingkat Gampong. Pada Kemukiman juga ada Majelis Adat Mukim yang
dipimpin oleh Imeum Mukim dan dibantu oleh Sekretaris Mukim serta dihadiri oleh
seluruh Tuha peut Mukim. Majelis Adat Mukim berfungsi sebagai Badan yang memelihara
dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat dengan cara menyelesaikan
dan memberikan keputusan-keputusan Adat terhadap persilihan-perselisihan dan
pelanggaran adat. Majelis adat mukim juga memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu
hal dan pembuktian lainnya menurut hukum adat. Yang mana keputusan-keputusan dan
ketetapan-ketetapan Majelis Adat Mukim tersebut menjadi pedoman bagi para Keuchik
dalam menjalankan roda pemerintahan Gampong.
Gampong mempunyai tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan
pembangunan, menata masyarakat, dan meningkatkan pelaksanaan syari’at islam. Dalam
menjalankan tugas tersebut gampong juga memiliki fungsi sebagai :
1. Penyelenggaraan

pemerintahan,

baik

berdasarkan

atas

Desentralisasi,

Dekonsentrasi dan Urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan
lainnya yang berada di gampong.
2. Pelaksanaan Pembangunan, baik pembangunan fisik dan pelestarian lingkungan
hidup maupun pembangunan mental spiritual di Gampong.
3. Pembinaan kemasyarakatan di bidang pendidikan, peradaban, sosial budaya,
ketentraman dan ketertiban masyarakat di Gampong.

67
Universitas Sumatera Utara

4. Peningkatan pelaksanaan Syari'at Islam.
5. Peningkatan percepatan pelayanan kepada masyarakat.
6. Penyelesaian persengketaan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan
atau perkara-perkara adat dan adat-istiadat.
Pemerintahan Gampong diselenggarakan oleh pemerintah gampong yaitu Keuchik,
Teungku Imeum meunasah, beserta Perangkat Gampong dan Tuha peut Gampong. Keuchik
sebagai kepala badan eksekutif gampong dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong.
Teungku Imeum meunasah mempunyai tugas memimpin kegiatan keagamaan dan seluruh
kegiatan yang berhubungan dengan kemakmuran Meunasah dan kegiatan lainnya yang
berhubungan dengan pelaksanaan syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat gampong.
Sedangkan Tuha peut adalah lembaga legislatif gampong atau disebut juga badan
perwakilan gampong.
Perangkat Gampong membantu keuchik dalam pelaksanaan fungsi, tugas dan
kewajibannya. Dalam pelaksanaan tugasnya perangkat gampong langsung berada dibwaha
dan bertanggung jawab kepada keuchik. Perangkat gampong diangkat dari penduduk
gampong yang memenuhi syarat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Perangkat gampong diangkat dan dapat diberhentikan dengan keputusan keuchik setelah
mendapat persetujuan dari Tuha peut.
Perangkat Gampong menurut pasal 28 Qanun Provinsi terdiri dari :

68
Universitas Sumatera Utara

1. Unsur staf, yaitu sekretariat gampong yang dipimpin oleh seorang sekretaris
gampong yang merupakan pegawai negeri sipil (PNS). Sekretaris gampong adalah
unsur staf yang membantu keuchik dalam menjalankan hak, wewenang dan
kewajiban pimpinan pemerintahan desa dan bertugas untuk melaksanakan tugas
surat menyurat, kearsipan dan laporan, serta menyampaikan kepada yang
bersangkutan. Sekretaris gampong juga melaksanakan urusan keuangan gampong,
melaksanakan

administrasi

pemerintahan

gampong,

pembangunan

dan

kemasyarakatan dan juga menggantikan tugas dan fungsi keuchik apabila keuchik
sedang berhalangan melaksanakan tugasnya. sekretaris gampong atau dengan nama
lain, yang dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh beberapa orang staf, sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan gampong seperti :
a. Kepala Urusan Pemerintahan
b. Kepala Urusan Perencanaan Dan Pembangunan
c. Kepala Urusan Keistimewaan Aceh Dan Kesejahteraan Sosial
d. Kepala Urusan Ketertiban Dan Ketentraman Masyarakat
e. Kepala Urusan Pemberdayaan Perempuan
f. Kepala Urusan Pemuda
g. Kepala Urusan Umum
h. Kepala Urusan Keuangan
2. Unsur pelaksana, yaitu pelaksana teknis fungsional yang melaksanakan tugas
tertentu sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan kondisi sosial ekonomi dan
sosial budaya masyarakat, seperti ;

69
Universitas Sumatera Utara

a. Tuha adat (mengurusi kelestarian adat-istiadat)
b. Kejreun Blang (mengurusi kegiatan persawahan)
c. Peutua Seuneubok (mengurusi bidang perkebunan, peternakan dan
perhutanan)
d. Pawang Laot (mengurusi sektor perikanan)
e. Haria Peukan (mengurusi kegiatan pasar gampong)
3. Unsur wilayah adalah pembantu keuchik dibagian wilayah gampong yaitu kepala
dusun/kepala jurong atau dengan nama lain sesuai dengan kelaziman tempat.
C. Lokasi dan Keadaan Geografis Gampong Lhok Pawoh
Gampong Lhok Pawoh terletak pada koordinat 55 3°21'24.9 Lintang Utara 97°06'58.5
Bujur Timur di Kecamatan Sawang dengan luas areal 475,00 Ha. Wilayah Kecamatan Aceh
Selatan berbatasan dengan:
1. Sebelah Utara

: Gampong Ujong Kareung

2. Sebelah Selatan

: Gampong Batee Tunggai

3. Sebelah Barat

: Samudra Hindia

4. Sebelah Timur

: Pengunungan Twi Lhok

Secara geografis Gampong Lhok Pawoh berada diwiliyah pesisir dekat denga bibir
pantai dan juga dekat dengan pengunungan, yang menjadikan mayoritas penduduk
55

Kecamatan sawang dalam angka 2013

70
Universitas Sumatera Utara

gampong berprofesi sebagai nelayan, petani, penjaga kebun pala maupun Petani. Fasilitas –
fasilitas publik yang ada digampong termasuk lengkap. Baik sarana pendidikan maupun
kesehatan. Sarana pendidikan yang berada di wilayah Gampong Lhok Pawoh antara lain 1
sekolah dasar, dan 1 pesantren. Sarana kesehatan yakni satu posyandu dan satu puskesmas.
Gampong Lhok Pawoh juga memiliki 1 buah masjid dan 4 meunasah.
Sebagai kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh, gampong merupakan kumpulan
hunian yang diikat oleh satu meunasah (madrasah). Gampong sendiri terdiri dari beberapa
jurong, Tumpok (kumpulan rumah) atau ujong (ujung gampong). 56 Penanda dari wilayah
suatu gampong bisa dilihat dari keadaan fisik atau topografi alam setempat untuk menandai
wilayah gampong yang satu dengan yang lain digunakan batas alam (sungai, tanah, gunung
dan bukit). Gampong memiliki karakteristik yang ditandai dengan pola pemukiman yang
padat dan terpusat dengan arah bangunan menghadap ke kiblat. Terdapat bangunan rumah
berbentuk rumah panggung dengan meunasah sebagai tempat beribadah yang terletak di
tengah-tengah gampong. 57 Setiap gampong mempunyai sekurang-kurangnya sebuah
meunasah (mushalla).
D. Demografis Gampong Lhok Pawoh
1. Jumlah Penduduk

56

M. Arief, Sanusi. 2005. Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekronstruksi Pasca Tsunami, Bogor:
Pustaka Latin. Hal. 11
57
Hiraswari Gayatri, Irine dan Septi Satriani (ed). Dinamika Kelembagaan Gampong dan Kampung Aceh Era
Otonomi Khusus. Jakarta:LIPI Press, 2007, hal 48

71
Universitas Sumatera Utara

Jumlah penduduk Gampong Lhok pawoh pada tahun 2013 sebanyak 1870 jiwa
dengan komposisi penduduk Laki-laki sebesar 822 jiwa dan komposisi penduduk
perempuan sebesar 1048 jiwa. Hal ini penting untuk dipertimbangkan, karena penduduk
merupakan subjek dan sasaran dalam proses pelayanan oleh pemerintah desa.
a. Jumlah penduduk Gampong Lhok pawoh berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel
Jumlah penduduk berdasarkan Jenis Kelamin

Tahun

2010

Jumlah Laki-laki (jiwa)

822

Jumlah Wanita (jiwa)

1048

Total (jiwa)

1870

Sumber : Profil Gampong Lhok pawoh Tahun 2013
Menurut data statistik terakhir di Gampong Lhok pawoh diketahui bahwa jumlah
penduduk 1870 jiwa. Jika dilihat dari faktor jenis kelamin, maka penduduk Gampong Lhok
pawoh terdiri dari 822 jiwa laki-laki dan 1048 jiwa perempuan. Dengan demikian

72
Universitas Sumatera Utara

komposisi penduduk Gampong Lhok pawoh jumlah perempuan lebih tinggi dibandingkan
dengan jumlah penduduk laki-laki.
b. Jumlah penduduk Gampong Lhok pawoh berdasarkan Mata Pencaharian
Secara geografis Gampong Lhok Pawoh berada diwiliyah pesisir dekat denga bibir
pantai dan juga dekat dengan pengunungan, yang menjadikan mayoritas penduduk
gampong berprofesi sebagai nelayan, petani, dan Berkebun. Sedangkan penduduk yang
lainnya bekerja sebagai wiraswasta dan hanya sebagian kecil yang berprofesi sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Tabel
Jumlah penduduk berdasarkan Pekerjaan
Mata Pencaharian

Jumlah (Jiwa)

No
Petani

640

Nelayan

1033

1
2
Pegawai Negeri Sipil

57

Pedagang

134

3
4
Dokter

6

6

73
Universitas Sumatera Utara

Sumber : Profil Gampong Lhok Pawoh Tahun 2013
c. Jumlah Penduduk Gampong Lhok Pawoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu unsur penting dalam pembangunan, karena
dengan pendidikan masyarakat akan membentuk sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas yang akan sangat berpengaruh pada pelaksanaan dan pelayanan di desa. Tingkat
pendidikan masyarakat di Gampong Lhok Pawoh mulai dari yang tidak sekolah sampai
dengan perguruan tinggi dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.4
Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No

Tingkat Pendidikan

Jumlah (Jiwa)

1

Belum/Tidak Pernah Sekolah

54

2

SD

280

3

SMP

461

4

SMA

1032

74
Universitas Sumatera Utara

5

D1/D2/D3

10

6

S-1

23

Total

-

1870

Sumber : Profil Gampong Lhok Pawoh Tahun 2013
E. Adat Istiadat Gampong Lhok Pawoh
Adat berasal dari bahasa arab iaitu perbuatan yang berulang-ulang atau kebiasaan
yang berlaku bagi sesebuah masyarakat 58. Adat pada umumnya bermaksud aturan baik
berupa perbuatan ataupun ucapan yang lazim diturut dan dilakukan sejak dahulu kala. 59
Adat istiadat merupakan seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh
dan berakar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dr. Muhammad Hakim Nyak Pha, Dosen
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala/ Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI,
dalam buku yang berjudul Pedoman Umum Adat Aceh Edisi I, menuliskan bahwa adat
istiadat adalah tata kelakuan atau tata tindakan atau tata perbuatan yang selanjutnya
merupakan kaedah-kaedah yang bukan saja dikenal, diakui dan dihargai, akan tetapi juga
ditaati oleh sebahagian besar warga masyarakat yang bersangkutan.
58

Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptuaisasi Hukum Adat Kontemporer, P.T. Alumni Bandung Cet 1
2002, hal 14
59
Syahrizal, Hukum Adat dan hukum Islam di Indonesia, Nadiya Foundation Nanggroe Aceh , cet Pertama
Mei 2004, hal 63

75
Universitas Sumatera Utara

Adat istiadat merupakan kebiasaan atau tradisi-tradisi yang dijalankan dalam
kebiasaan hidup sehari-hari oleh masyarakat di mana pun. Kebiasaan tersebut menjadi
landasan untuk berpijak bagi masyarakat setempat dalam melakukan sesuatu. Adat, menjadi
kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi dan juga menjadi
landasan hukum bagi masyarakat itu sendiri. Begitu pula bagi masyarakat Aceh, adat
istiadat telah membudaya sebagai hasil dari proses lahirnya sistim masyarakat yang
berperadaban dan mampu bertahan sampai saat ini.
Hukom ngon adat han jeut cre, lagee zat ngon sipheuet (hukum dengan adat tidak
boleh pisah, layaknya zat dengan sifat). Dalam masyarakat Aceh, adat merupakan sesuatu
yang tertulis ataupun tak tertulis yang menjadi pedoman di dalam bermasyarakat Aceh.
Nah, adat yang dipahami ini merupakan titah dari para pemimpin dan para pengambil
kebijakan guna jalannya sistim dalam masyarakat. Dalam masyarakat Aceh, adat atau
hukum adat TIDAK boleh bertentangan dengan ajaran agama islam. Sesuatu yang telah
diputuskan oleh para pemimipin dan ahli tersebut haruslah seirama dengan ketentuan
syariat. Jika bertentangan, maka hukum adat itu akan dihapuskan. Inilah bukti bahwa
masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi kedudukan agama dalam kehidupan sehariharinya.
Menurut Mustafa Ahmad, yang dimaksud dengan adat di Aceh adalah aturan hidup.
Aturan yang mengatur kehidupan rakyat, yang diciptakanoleh para cerdik dan pandai Aceh
bersama Putoe Meureuhom/Sultan Aceh. Aturan hidup ini mengikat seluruh rakyat Aceh

76
Universitas Sumatera Utara

tanpa kecuali. Dan bagi siapa saja yang melanggarnya, akan mendapat sanksi. Kalau
sekarang, aturan hidup ini dikenal dengan istilah Hukum Adat.
Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat
istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi
adat di tingkat gampang atau mukim. Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha
menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan
berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan
masyarakat.
Dalam masyarakat Aceh terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampang dan
mukim. Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam
kehidupan bermasyarakat, Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara
adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh
lembaga adat yang sudah terbentuk.
Lembaga-lembaga adat dimaksud seperti Panglima Uteun, Panglima Laot, Keujruen
Blang, Haria Pekan, Petua Sineubok. Semua lembaga ini berperan di posnya masingmasing sehingga pengelolaan sumberdaya alam di gampang trepelihara. Misalnya,
Panglima Laot yang bertugas mengelola segala hal berkaitan dengan laut dan hasilnya.
Tentunya semua hal berkaitan dengan laut diatur oleh lembaga tersebut. Begitu pun dengan
lembaga lainnya.

77
Universitas Sumatera Utara

Tiap lembaga pemerintahan gampong tersebut mempunyai tugas dan kewenangan
masing-masing. Lembaga-lembaga adat dalam pemerintahan gampong di Aceh sekarang ini
diatur dalam pasal 98 UUPA Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, yang mana
lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dalam Pemerintahan Kabupaten Kota di bidang
keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Tiap lembaga adat
gampong mempunyai tugas dalam melestarikan budaya dan adat istiadat sejalan dengan
penerapan syariat islam. Adapun lembaga adat sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut
meliputi :
1. Majelis Adat Aceh, yang berfungsi membina dan mengembangkan lembagalembaga Adat Aceh, tokoh-tokoh Adat Aceh , kehidupan Adat dan Adat Istiadat
Aceh dan melestarikan nilai-nilai adat yang berlandaskan Syariat Islam;
2. Imeum mukim atau nama lain, kepala Pemerintahan Mukim yang betugas untuk
menjalankan fungsi adat, termasuk peradilan adat bagi masyarakat hukum yang
berada di wilayahnya. Peradilan mukim merupakan peradilan adat tingkat banding
(terakhir), untuk memberikan rasa adil bagi seluruh masyarakat;
3. imeum chik atau nama lain; imeum masjid pada tingkat mukim orang yang
memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di mukim yang berkaitan dengan bidang
agama Islam dan pelaksanaan syari’at Islam;
4. Keuchik atau nama lain; memegang otorita pemerintahan, agama dan adat yang
berfungsi sebagai ketua adat masyarakat gampong yang dipilih secara demokratis

78
Universitas Sumatera Utara

oleh rakyatnya sendiri secara langsung. Dulu jabatan Keuchik tidak ada batasan
waktu, selama tidak mengundurkan diri dan masih disenangi rakyatnya tetap
sebagai Keuchik. Akan tetapi sekarang jabatan Keuchik sudah dibatasi selama 5
(lima) tahun, dan dapat dipilih kembali. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya
Keuchik dibantu oleh Tuha peut dan Tuha Lapan;
5. Tuha peut atau nama lain; (Dewan Empat) Gampong adalah Dewan Empat yang
dipilih oleh masyarakat gampong yang terdiri dari empat anggota/pimpinan
masyarakat gampong, yaitu: ulama, tokoh adat, tokoh pemerintahan dan tokoh
masyarakat. Tuha peut berfungsi sebagai penasehat dan pertimbangan dalam hal
ikhwal masalah masyarakat gampong kepada Keuchik secara aktif dan atau melalui
persidangan/munsyawarah;
6. Tuha lapan atau nama lain; (Dewan delapan) Gampong adalah Dewan Delapan yang
dipilih oleh masyarakat gampong yang terdiri dari ulama, tokoh adat, tokoh
pemerintahan, tokoh masyaraka, intelektual, pemuda, tokoh wanita dan saudagar
(hartawan). Tuha Lapan berfungsi sebagai penasehat dan pertimbangan dan tugas
tambahan lainnya dalam hal ikhwal masalah masyarakat gampong kepada Keuchik
secara aktif dan atau melalui persidangan/munsyawarah;
7. Imeum meunasah atau nama lain; memegang peranan dan otorita di bidang agama
dan adat yang merupakan mitra sejajar bagi Keuchik dalam menjalankan agama dan
adat. Kedudukan imeum meunasah dalam sistem pemerintahan gampong sangat
dominan. Setiap gampong memiliki imeum meunasah masing-masing. Dalam
masyarakat keberadaan imeum meunasah sangat dihormati. Keputusan-keputusan

79
Universitas Sumatera Utara

dan nasehat-nasehat dari imeum menasah lebih dipatuhi oleh masyarakat tanpa
paksaan. Imeum meunasah diangkat melalui musyawarah desa. Namun demikian
orang yang menjadi imeum meunasah haruslah orang yang benar-benar menguasai
ajaran-ajaran agama islam, mempunyai akhlak yang mulia, dan bersifat netral tanpa
memihak pada salah satu golongan;
8. Keujreun blang atau nama lain, adalah yang membantu Keuchik di bidang
pengaturan dan penggunaan irigasi untuk persawahan. Tugasnya mengatur segala
sesuatu yang berhubungan dengan jadwal turun ke sawa dan mengatur pengadaan
air irigasi;
9. Panglima laot atau nama lain; adalah orang yang memimpin adat istiadat,
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan di laut, termasuk
mengatur tempat/ area penangkapan dan penyelesaian sengketa. Lembaga ini
biasanya terdapat pada gampong yang berada di daerah pantai;
10. Pawang glee atau nama lain; orang yang memimpin dan mengatur adat-istiadat yang
berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan;
11. Peutua seuneubok atau nama lain; adalah orang memimpin dan mengatur ketentuanketentuan

tentang

pembukaan

dan

penggunaan

lahan

untuk

perdagangan/perkebunan pada wilayah gunung dan lembah-lembah;
12. Harian peukan atau nama lain; adalah orang yang mengatur ketertiban, keamanan,
kebersihan pasar serta mengutip restribusi pasar gampong; dan

80
Universitas Sumatera Utara

13. Syahbanda atau nama lain. adalah orang yang mengatur dan memimpin tambatan
kapal/perahu, lalu lintas dan masuk-keluar kapal/perahu di bidang angkutan laut,
danau dan sungai.
Pada masyarakat gampong Lhok Pawoh beberapa lembaga yang disebutkan diatas
masih ada dan terus terjaga kelestariannya serta masih aktif dan berfungsi sebagaimana
mestinya. Namun, tidak semua lembaga tersebut masih aktif hingga saat ini. Ada beberapa
lembaga yang sudah tidak ada lagi. Hal ini dikarenakan tidaknya pengurus serta kurangnya
pemahaman warga masyarakat terhadap lembaga tersebut. Hal ini mengakibatkan
hilangnya lembaga tersebut secara perlahan.

81
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Kekuasaan Keuchik Dalam Sistem Pemerintahan Gampong (Kekuasaan Elit Lokal Di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe)

3 69 135

PERAN LEMBAGA ADAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN GAMPONG (Studi Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Gampong Gegarang, Kecamatan Bintang, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

2 25 29

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 28 123

Budaya Organisasi Pemerintahan Gampong Bireuen Meunasah Capa Utara

0 0 2

Kekuasaan Keuchik Dalam Sistem Pemerintahan Gampong (Kekuasaan Elit Lokal Di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe)

0 0 4

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 0 13

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 0 4

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 4 33

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 0 2

TUGAS DAN FUNGSI KEUCHIK, TUHA PEUET DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN GAMPONG LAMPISANG KECAMATAN PEUKAN BADA KABUPATEN ACEH BESAR BERDASARKAN QANUN NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN GAMPONG

0 0 14