Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kebudayaan adalah sesuatu yang kompleks karena mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. 1 Dengan
kata lain bahwa kebudayaan cukup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang
dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara atau pola
berpikir, merasakan dan bertindak. Budaya sebagai buah pikiran, akal budi selalu muncul
berproses, akibat interaksi dengan wilayah lingkungan dan ruang waktu. Dalam kondisi
wilayah dan ruang waktu itu, dinamika proses pikiran menghasilkan sesuatu; berwujud
budaya kontemporer bahkan wujud budaya ideal untuk menjangkau masa depan.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terbentuk dari beratus etnis. Etnis-etnis ini
bermukim mulai dari Sabang hingga Papua. Aceh adalah nama kelompok etnis yang
mempunyai karakteristik berbeda dengan kelompok etnis lain yang ada di Indonesia.
Daerah asal orang-orang dari kelompok etnis Aceh adalah daerah Aceh, berada di ujung
utara Pulau Sumatera, terutama di bagian pesisirnya. Daerah ini sangat penting
kedudukannya di Indonesia karena, seperti diketahui, dari daerah Aceh inilah hitungan nol
1


Soerjono Soekanto. 2005. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. hal. 172.

14
Universitas Sumatera Utara

kilometer wilayah paling barat Republik Indonesia dimulai. Selain itu, di wilayah Aceh
pula terdapat Selat Malaka, yang merupakan salah satu jalur tersibuk dalam jaringan
pelayaran inteinasional. Dengan demikian, Aceh memiliki nilai strategis yang tinggi dari
sudut pandang ekonomi, politik, penahanan, dan keamanan.
Etnis Aceh seringkali menyebut dirinya sebagai ureueng Aceh (orang Aceh).
Ureueng Aceh memiliki budaya tersendiri dalam bertingkah laku, bersikap, beradat,
berbudaya, dan sebagainya. Ureueng Aceh, menurut sebuah sumber, berkarakter keras,
tidak mau begitu saja didikte, tidak cepat menyerah hampir dalam semua kesempatan dan
teguh dalam menghadapi masa1ah. Kata sumber lainnya Abdullah 2 bahwa adat tata
kelakuan masyarakat Aceh identik dengan nilai-nilai budaya Islam.
Selain seperti yang telah disebutkan, ureueng Aceh juga memiliki karakteristik lain.
Salah satu yang khas adalah sistem Pemerintahan dan Kepemimpinan. Dalam struktur
pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal adanya lapisan masyarakat yang disebut
sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler.
Pemimpin elite sekuler dan pemimpin adat memimpin bersama-sama dalam sebuah

gampong, misalnya, terdapat keuchik (yang memimpin dalam hal pemerintahan) dan
imeum meunasah (yang memimpin dalam hal agama). Sistem ini mempunyai kearifan lokal
yang sesuai dengan budaya Aceh.

2

Abdullah, Irwan .2007. “Potret Retak Komunalisme Aceh”. Makalah Bahan Perbincangan Masa Depan
Aceh di Aceh Institute tanggal 8 Juni 2007.

15
Universitas Sumatera Utara

Salah satu budaya lokal yang ada di Aceh berbentuk sistem pemerintahan dan
kepemimpinan. Budaya lokal di dalam Sistem Pemerintahan tersebut dalam konteks yang
paling rendah. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem pemerintahan gampong yang telah
lama ada di aceh bahkan sebelum Indonesia merdeka. Budaya yang ditemukan di Aceh
sangat dipengaruhi oleh Islam, hal tersebut juga mempengaruhi pelaksanaan pemerintahan,
khususnya apabila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Termasuk dalam sisi
pemerintahan.
Gampong Lhok Pawoh merupakan salah satu gampong yang ada di kecamatan

sawang kabupaten Aceh Selatan yang masih kental dan sangat menjaga budaya lokal yang
ada. Seiring dengan terus berkembangnya zaman namun gampong lhok pawoh masih terus
menjaga dan melestarikan budaya lokal yang ada, hal ini dapat dilihat dari lembagalembaga di dalam sistem pemerintahan Gampong yang terkait dengan unsur-unsur
kebudayaan lokal.
Aceh sebagai salah satu provinsi di Indonesia memiliki sistem pemerintahan daerah
yang mengacu pada nilai-nilai budaya lokal. Hal ini dapat dilihat pada sistem pemerintah
terendah yang di sebut Gampong. Gampong atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan (terendah), mempunyai pimpinan
pemerintahan dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri. 3 Sebagai
kesatuan masyarakat hukum dan merupakan bagian dari struktur pemerintahan, gampong
memiliki hak dan kekuasaan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat dalam
3

Qanun No. 5 Tahun 2003 Bab I Pasal 1

16
Universitas Sumatera Utara

lingkungannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gampong mempunyai tugas
menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, membina masyarakat dan

meningkatkan pelaksanaan syariat Islam. 4
Sebagai kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh, gampong merupakan kumpulan
hunian atau komunitas yang diikat oleh satu meunasah (madrasah). Gampong sendiri terdiri
dari beberapa Lorong/Jurong, dan Tumpok (kumpulan rumah). 5 Penanda dari wilayah
suatu gampong bisa dilihat dari keadaan fisik atau topografi alam setempat untuk menandai
wilayah gampong yang satu dengan yang lain digunakan batas alam (sungai, tanah, gunung
dan bukit). Gampong memiliki karakteristik yang ditandai dengan pola pemukiman yang
padat dan terpusat dengan arah bangunan menghadap ke kiblat. Terdapat bangunan rumah
berbentuk rumah panggung dengan meunasah sebagai tempat beribadah yang terletak di
tengah-tengah gampong. 6
Karena konsep kekuasaan di Aceh tidak memisakan antara adat dan agama, maka
konsep kekuasaan ini dijabarkan dalam pemerintahan hingga ke tingkat gampong.
Gampong sendiri memiliki struktur pemerintahan yang dinamakan pemerintahan gampong.
Gampong sebagai kesatuan masyarakat hukum memiliki hak dan kekuasaan dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat terutama dalam meningkatkan
kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, gampong memiliki peran dan
4

5


6

Abdurrahman. 2008. Reusam Gampong. Majalah Jeumala, Edisi No. XXVII Juli 2008. Majelis Adat Aceh
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh. hal. 13.
M. Arief. Sanusi. 2005. Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekronstruksi Pasca Tsunami. Bogor:
Pustaka Latin. hal 11.
Hiraswari Gayatri, Irine dan Septi Satriani (ed). 2007. Dinamika Kelembagaan Gampong dan Kampung
Aceh Era Otonomi Khusus. Jakarta:LIPI Press. hal 48

17
Universitas Sumatera Utara

fungsi yang strategis, yakni gampong memiliki susunan pemerintahan yang asli
berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, penyelenggaraan pemerintah gampong
merupakan subsistem dari penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan juga subsistem
Pemerintahan Nasional, Gampong juga dapat melakukan penyusunan produk hukum, baik
hukum publik, hukum perdata maupun hukum adat yang dirumuskan dalam bentuk qanun
gampong, memiliki harta kekayaan, harta benda atau aset, bangunan serta dapat dituntut
dan menuntut di pengadilan.
Dewasa ini sistem pemerintahan gampong kembali hadir sebagai bentuk

pemerintahan terkecil yang diterapkan di Aceh. Hal ini di tandai dengan lahirnya Undang
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi di Daerah. UU tersebut telah memberi
kebebasan yang besar kepada daerah. Kebebasan ini tidak sekedar menyangkut kekayaan
alam namun juga dalam menjalankan adat sebagai manifestasi kedaulatan rakyat yang
sesungguhnya.
Sistem pemerintahan digampong Lhok Pawoh sendiri seperti sistem kebanyakan yang
sudah adopsi dan di terapkan di gampong-gampong yang ada di Aceh, yaitu Gampong yang
di Pimpin oleh seorang Keuchik yang merupakan kepala persekutuan masyarakat adat
gampong yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan gampong. Kemudian terdapat
sebuah lembaga bernama Tuha peut yang merupakan lembaga kelengkapan gampong dan
mukim, berfungsi memberikan nasehat-nasehat kepada Keuchik dan Imum mukim dalam
bidang pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat serta menyelesaikan
segala sengketa ditingkat gampong dan mukim. Untuk mendukung peran ini, lembaga-

18
Universitas Sumatera Utara

lembaga adat tersebut diberikan kewenangan untuk menyelesaikan konflik yang timbul
ditengah masyarakat. 7
Untuk Aceh sendiri, di samping UU di atas, juga lahir dua UU lain yaitu UU Nomor

44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan UU Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus untuk Aceh dengan nama Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Hal ini merupakan perkembangan yang cukup spesifik dari keistimewaan yang
pernah didapatkan Aceh.
Dengan dasar undang-undang inilah, upaya mengembalikan Aceh kepada jati dirinya
yang merupakan keisitimewaannya mulai dilakukan. Salah satunya adalah upaya
mengembalikan sistem pemerintahan daerah di Aceh, yaitu dari nuansa UU Nomor 5 tahun
1979 tentang pemerintahan desa yang memiliki pola seragam di seluruh Indonesia kepada
spesifik yang dimiliki Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Usaha ini
sangat sulit. Pemecahan permasalahannya yang kelihatan sederhana ini ternyata tidak
sesederhana yang kita bayangkan. Tidak semudah membalik telapak tangan.demikian juga
dengan formulasi Pemerintahan Gampong di Aceh.
Untuk penjabaran UU Nomor 18 Tahun 2001, pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam pun telah mengesahkan dua qanun, yakni qanun nomor 4 tahun 2003 tentang
pemerintahan mukim dalam provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan qanun nomor 5 tahun
2003 tentang pemerintahan gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
7

H.Badruzaman Ismail,SH.M.Hum dan Sanusi M. Syarif. 2012. Sejarah Adat Aceh (2002-2006). Provinsi
Aceh:Majelis Adat Aceh. hal.60-61


19
Universitas Sumatera Utara

Sekarang ini Qanun nomor 5 Tahun 2003 merupakan acuan dan konsep dalam penerapan
sistem gampong, misalnya dalam aspek pemilihan keuchik sebagai pemimpin gampong,
pemilihan Tuha peut dan pemilihan perangkat-perangkat desa lainnya. .
Gampong sebagai perwujudan demokrasi. Di dalam gampong dibentuk lembaga Tuha
peut atau dengan sebutan lain sebagai lembaga yang menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat, menetapkan legislasi serta mengawasi jalannya pemerintahan gampong. Di
Gampong juga dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat sesuai kebutuhan
yang merupakan mitra kerja Pemerintah Gampong dan juga memiliki sumber pembiayaan
sendiri.
Pemerintahan gampong merupakan penyelenggara pemerintahan yang dilaksanakan
oleh tiga pilar pemerintah gampong yaitu keuchik, Teungku imam meunasah, dan badan
permusyawaratan gampong yang disebut Tuha peut (sekumpulan orang yang dituakan
karena memiliki beberapa kelebihan). Tiga lembaga pemerintah gampong ini berfungsi
sebagai penyelenggara pemerintahan gampong. Peranan masing-masing lembaga sudah
diatur dimana keuchik mengurusi masalah pemerintahan, teungku imam meunasah dalam
bidang keagamaan dan tuha peut sebagai perwakilan masyarakat gampong. 8

Kekuasaan eksekutif berada pada kepala desa atau Keuchik. Keuchik merupakan
representatif dari masyarakat gampong yang diberi mandat dan kepercayaan untuk
menjalankan roda pemerintahan, menetapkan berbagai kebijakan gampong dalan upaya
8

Hurgronje, C Snouck, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya. Jakarta: Indonesian–Netherlands Cooperation in
Islamic Studies.1996 hal 53.

20
Universitas Sumatera Utara

mensejahterakan masyarakat gampong. Urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh
Keuhchik lebih banyak berorientasi pada adat. Hal itu sebagai implikasi dari kehidupan
keseharian masyarakat gampong yang masih patuh menjalankan serta melestarikan nilainilai adat-istiadat dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana adat
istiadat atau budaya lokal di dalam sistem pemerintahan, bagaimana hal tersebut dapat
berjalan dengan sesuai dalam sebuah pemerintahan gampong. Menarik bahwa budaya lokal
yang ada pada masyarakat Aceh bisa berpengaruh didalam sistem pemerintahan gampong
dan berjalan dengan sesuai di dalam sistem pemerintahan gampong yang merujuk pada
qanun nomer 5 Tahun 2003.


B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini
adalah “Seberapa besar pengaruh budaya lokal terhadap sistem Pemerintahan Gampong
dilihat dari Qanun nomor 5 Tahun 2003?”
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

21
Universitas Sumatera Utara

1. Untuk mengetahui bentuk budaya lokal yang terdapat di Gampong di Lhok
Pawoh.
2. Menganalisis kesesuaian budaya lokal di didalam Sistem Pemerintahan
Gampong dilihat dari Qanun nomor 5 tahun 2003.
D. Manfaat Penelitian
1.

Bagi pengembangan Ilmu, menambah khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi
sebuah kajian ilmiah di bidang ilmu politik khususnya tentang budaya lokal

didalam pemerintahan gampong, di Gampong Lhok Pawoh kecamatan Sawang.

2.

Bagi lembaga pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi tentang
kesesuaian Budaya Lokal didalam Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok
Pawoh kecamatan Sawang.

3.

Bagi Masyarakat, untuk lebih mengetahui budaya lokal didalam Pemerintahan
Gampong di Gampong Lhok Pawoh kecamatan Sawang.

E. Kerangka Teori
1. Teori Pemerintahan
Secara etimologis, pemerintahan berasal dari perkataan pemerintah, sedangkan
pemerintah berasal dari perkataan perintah. Menurut kamus kata-kata tersebut mempunyai
arti sebagai berikut:
a.

Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu.

22
Universitas Sumatera Utara

b.

Pemerintah adalah kekuasaan memerintah sesuatu negara (daerah-negara) atau
badan yang tertinggi yang memerintah sesuatu negara (seperti kabinet merupakan
suatu pemerintah);

c.

Pemerintahan adalah perbuatan (cara, hal urusan dan sebagainya) memerintah 9

Untuk memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai pemerintah dan
pemerintahan tersebut maka perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut. Dalam kepustakaan
Inggris dijumpai perkataan “Government” yang sering diartikan sebagai “pemerintah” atau
“pemerintahan”.
C.F Strong 10 dalam bukunya Modern Political Constitution, menyatakan
pemerintah(an) adalah organisasi tertinggi, Pemerintah(an) dalam arti luas merupakan
sesuatu yang lebih besar daripada suatu badan atau kementrian-kementrian, suatu arti yang
biasa kita pakai dalam pembicaraan pada dewasa ini. Pemerintah(an), dalam arti luas, diberi
tanggung jawab pemeliharaan perdamaian dan keamanan negara, di dalam maupun diluar.
Pemerintah (an) harus memiliki, Pertama, kekuasaan militer atau pengawasan atas
angkatan bersenjata; kedua, kekuasaan legislatif atau sarana pembuatan hukum; ketiga,
kekuasaan keuangan yaitu kesanggupan memungut uang yang cukup untuk membayar
biaya untuk mepertahankan negara dan menegakan hukum yang dibuatnya atas nama

9

S. Pamudji. 1992. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Hal: 22

10

C.F Strong dalam S. Pamudji. 1992. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Hal: 23

23
Universitas Sumatera Utara

negara. Singkatnya, pemerintahan mempunyai kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif,
kekuasaan kehakiman, yang boleh kita sebut tiga cabang pemerintahan.
Sementara itu Samuel Edward Finer (S.E. Finer) 11 menyatakan bahwa istilah
“government”, paling sedikit mempunyai empat arti :
1.

Menunjukan kegiatan atau proses memerintah, yaitu melaksanakan control atas
pihak lain;

2.

Menunjukan masalah-masalah (hal ikhwal) negara, dimana kegiatan atau prosesproses di atas dijumpai;

3.

Menunjukan orang-orang (maksudnya pejabat-pejabat) yang dibebani tugastugas untuk memerintah;

4.

Menunjukan cara, metode atau sistem dengan mana suatu masyarakat tertentu
diperintah.

Jelas kelihatan pula di sini bahwa S.E. Finer mengakui ada pemerintahan dan
pemerintahan dalam arti luas. Dengan adanya pemerintah dan pemerintahan dalam arti luas,
maka tentunya kita jumpai pula pengertian pemerintah dan pemerintahan dalam arti sempit.
Menurut ajaran tripraja pemerintah dalam arti sempit hanya meliputi kekuasaan
eksekutif saja, sedangkan pemerintahan dalam arti sempit meliputi segala kegiatan dari
pamerintah dalam arti sempit tersebut.
11

Samuel Edward Finer dalam S. Pamudji. 1992. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara. Hal: 24

24
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan UUD 1945 Pemerintah itu adalah Presiden, Wakil Presiden dengan
Menteri-menteri Negara. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan ”Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar. Selanjutnya
pasal 4 ayat (2) ”Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden”. Kemudian pasal 17 menyatakan : ”Presiden dibantu oleh Menteri-menteri
Negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Menteri-menteri itu
memimpin Departemen Pemerintahan”. Karena pasal ini bersifat normatif dan irnperatif,
maka Presiden harus dibantu oleh Wakil Presiden, Menteri-menteri dan oleh karena itu
pemerintah (dalam arti sernpit) ialah Preslden, Wakil Presiden dengan Menteri-menteri. Hal
yang demikian ini berlaku bagi Negara menganut sistem Presidensial. Dalam sistem
Parlrmenter yang dimaksud dengan pemerintah (dalam arti sempit) ialah Perdana Menteri,
Wakil Perdana Menteri dan Menteri-menteri atau sering juga disebut Dewan Menteri
Kabinet.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapatlah dirumuskan bahwa: Pemerintahan dalam
arti luas adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau badan-badan
legislatif, eksekutif dan yudikatif, dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara
(tujuan Nasional), sedangkan pemerintahan dalam arti sempit, adalah perbuatan
memerintah yang dilakukan oleh organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai
tujuan pemerintahan negara.
2. Teori Kearifan Lokal

25
Universitas Sumatera Utara

Kearifan lokal atau “local genius” merupakan istilah yang diperkenalkan oleh
Wales yaitu „the sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people
have in common as a result of their experiences in early life‟. 12
Selain itu, local genius menurut Wales yaitu, “kemampuan kebudayaan setempat
dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu
berhubungan‟ 13.
Berdasarkan pendapat di atas, kearifan lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh
masyarakat tertentu dan di tempat-tempat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam
menghadapi arus globalisasi, karena kearifan lokal tersebut mengandung nilai-nilai yang
dapat dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa. Hal ini penting terutama di
zaman sekarang ini, yakni zaman keterbukaan informasi dan komunikasi yang jika tidak
disikapi dengan baik maka akan berakibat pada hilangnya kearifan lokal sebagai identitas
dan jati diri bangsa. Hal yang sama disampaikan oleh Lubis 14 bahwa jati diri bangsa adalah
watak kebudayaan (cultural character) yang berfungsi sebagai pembangunan karakter
bangsa (national and character building).
Dilihat dari struktur dan tingkatannya kearifan lokal berada pada tingkat culture.
Hal ini berdasarkan sebuah skema sosial budaya yang ada di Indonesia dimana terdiri dari
masyarakat yang bersifat majemuk dalam struktur sosial, budaya (multikulural) maupun
12

Ayatrohaedi. (1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Pelajar. Hal 30
Rasid Yunus. 2014. NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL (LOCAL GENIUS) SEBAGAI PENGUAT
KARAKTER BANGSA Studi Empiris Tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublish. Hal 37
14
ibid
13

26
Universitas Sumatera Utara

ekonomi. Ranjabar mengatakan bahwa dilihat dari sifat majemuk masyarakat Indonesia,
maka harus diterima bahwa adanya tiga golongan kebudayaan yang masing-masing
mempunyai coraknya sendiri, ketiga golongan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kebudayaan suku bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indonesia
dengan nama kebudayaan daerah);
b. Kebudayaan umum lokal;
c. Kebudayaan nasional. 15
Dalam penjelasannya, kebudayaan suku bangsa adalah sama dengan budaya lokal
atau budaya daerah. Sedangkan kebudayaan umum lokal adalah tergantung pada aspek
ruang, biasanya ini bisa dianalisis pada ruang perkotaan dimana hadir berbagai budaya
lokal atau daerah yang dibawa oleh setiap pendatang, namun ada budaya dominan yang
berkembang yaitu misalnya budaya lokal yang ada di kota atau tempat tersebut. Sedangkan
kebudayaan nasional adalah akumulasi dari budaya-budaya daerah. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Koentjaraningrat budaya lokal terkait dengan istilah suku bangsa sendiri
adalah “suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan
kebudayaan, dalam hal ini unsur bahasa adalah ciri khasnya”. 16
Menurut Judistira kearifan lokal adalah “merupakan bagian dari sebuah skema dari
tingkatan budaya (hierakis bukan berdasarkan baik dan buruk).” 17 Selain itu, Judistira
15

Rasid Yunus. 2014. NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL (LOCAL GENIUS) SEBAGAI PENGUAT
KARAKTER BANGSA Studi Empiris Tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublish. Hal 37
16
Koentjaraningrat. (2009). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press. Hal 89
17
Rasid Yunus. Op. cit. Hal 38

27
Universitas Sumatera Utara

menegaskan bahwa kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional, dan
kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan kebudayaan
nasional. Dalam pengertian yang luas Judistira mengatakan bahwa:
Kebudayaan daerah bukan hanya terungkap dari bentuk dan pernyataan rasa
keindahan melalui kesenian belaka; tetapi termasuk segala bentuk, dan cara-cara
berperilaku, bertindak, serta pola-pola pikiran yang berada jauh dibelakang apa yang
tampak tersebut. 18 Wilayah adminstratif tertentu, menurut Judistira bisa merupakan
wilayah budaya daerah, atau wilayah budaya derah itu meliputi beberapa administratif,
ataupun di suatu wilayah administratif akan terdiri dari bagian-bagian suatu budaya daerah.
Wilayah administratif atau demokrafi pada dasarnya menjadi batasan dari budaya lokal
dalam defenisinya, namun pada perkembangan dewasa ini, dimana arus urbanisasi dan atau
persebaran penduduk yang cenderung tidak merata, menjadi sebuah persoalan yang
mengikis definisi tersebut.
Dalam pengertian budaya lokal atau daerah yang ditinjau dari faktor demokrafi
dengan polemik didalamnya, Kuntowijoyo memandang bahwa wilayah adminstratif antara
antara desa dan kota menjadi kajian tersendiri. Dimana menurutnya, kota yang umumnya
menjadi pusat dari bercampurnya berbagai kelompok masyarakat baik lokal maupun
pendatang menjadi lokasi yang sulit didefinisikan. Sedangkan di wilayah desa, sangat
memungkinkan untuk dilakukan pengidentifikasian. Di kota-kota dan lapisan atas
masyarakat sudah ada kebudayaan nasional, sedangkan kebudayaan daerah dan tradisional
18

ibid

28
Universitas Sumatera Utara

menjadi semakin kuat bila semakin jauh dari pusat kota. Sekalipun inisiatif dan kreatifitas
kebudayaan daerah dan tradisional jatuh ke tangan orang kota, sense of belonging orang
desa terhadap tradisi jauh lebih besar. 19
Interaksi antara budaya pendatang dan masyarakat lokal, pada hakekatnya definisi
budaya berdasarkan konteks wilayah atau demokrafis pada prinsipnya tetap masih relevan
walaupun tidak sekuat definisi pada konteks suku bangsa. Hal ini sesuai yang dikatakan
Abdullah bahwa: Keberadaan suatu etnis di suatu tempat memiliki sejarahnya secara
tersendiri, khususnya menyangkut status yang dimiliki suatu etnis dalam hubungannya
dengan etnis lain. Sebagai suatu etnis yang merupakan kelompok etnis pendatang dan
berinteraksi dengan etnis asal yang terdapat di suatu tempat, maka secara alami akan
menempatkan pendatang pada posisi yang relatif lemah. 20
Merujuk pada beberapa pandangan sejumlah pakar budaya di atas, maka dapat
disimpulkan kearifana lokal dalam definisinya didasari oleh dua faktor utama yakni faktor
suku bangsa yang menganutnya dan kedua adalah faktor demokrafis atau wilayah
administratif.
3. Teori Fungsional Struktural
Metode analisa yang di gunakan dalam ilmu politik dan merupakan hasil pengaruh
yang kuat dari teori sistem umum dikenal sebagai “fungsionalisme”, “fungsionalisme

19
20

Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat (Edisi Paripurna). Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal 42
Abdullah, I. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 84

29
Universitas Sumatera Utara

struktural” atau “analisa sistem”, fungsionalisme struktural merupakan istilah yang lebih
umum dipakai. fungsionalisme structural telah lama menjadi kerangka yang begitu penting
untuk penelitian sosiologi, sebelum ia dipergunakan dalam ilmu politik. Meskipun
kemudian tak dipergunakan lagi dalam sosiologi di akhir tahun 1950-an dan awal tahun
1960-an, pendekatan ini betul-betul digunakan secara sungguh-sungguh dalam ilmu politik,
terutama dalam bidang perbandingan politik. Analisa fungsional struktural pada prinsipnya
berkisar padu beberapa konsep, dan yang paling penting adalah konsep fungsi dan struktur.
Berangkat dari hal ini, maka ada tiga pertanyaan: (a) fungsi dasar apa yang harus dipenuhi
dalam setiap sistem, (b) oleh struktur yang bagaimana dan(c) dibawah keadaan apa. Suatu
fungsi secara umum didefinisikan scbagai hasil yang dituju dari suatu pola tindakan, yang
diarahkan bagi kepentingan sistem (dalam hal ini system sosial atau politik). 21 Jadi pada
akhirnya suatu fungsi selalu berurusan dengan akibat-akibat dari suatu pola tindakan yang
ditujukan bagi suatu sistem. Penting bagi kita untuk membedakan antara fungsi (yang
digambarkan sebagai eu-functions oleh Marion J . Levy Jr) dengan dys-functions
(penyelewengan fungsi). Menurut Robert K. Merton fungsi adalah akibat yang tampak,
yang ditujukan bagi kepentingan adaptasi dan “penyetelan” (adjustments) dari suatu sistem
tertentu, dan dys-function adalah akibat-akibat yang tampak, yang mengurangi daya
adaptasi dari “penyetelan” (adjustments)dari suatu sistem. 22 Hal ini bukan berarti bahwa
akibat-akibat yang bersifat fungsional dan disfungsional selalu dihasilkan oleh pola-pola
tindakan yang berbeda, atau pola-pola ini selalu bekerja dalam tingkat sistem yang sama.
21

Orem Young, dalam S.P. Varma.2007.Teori Politik Modern. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada hal: 69

22

Marion Levy, Jr., dalam S.P. Varma.2007.Teori Politik Modern. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada hal: 69

30
Universitas Sumatera Utara

Bisa saja terjadi, pola-pola tindakan yang fungsional bagi seluruh sistem sosial,
disfungsional bagi individu atau kelompok, demikian juga sebaliknya. Merton membuat
suatu perbedaan yang sangat bermanfaat, antara fungsi nyata (manifest) dengan fungsi yang
bersifat (latent). Fungsi yang nyata bersangkut-paut dengan pola-pola tindakan yang
konsekuensinya benar-benar diharapkan dan dikenal oleh para pesertanya. Sedangkan
fungsi laten berurusan dengan pola-pola tindakan yang konsekuensinya tidak diharapkan
dan dikenal oleh para pesertanya. Bisa juga terdapat pola menengah tak diharapkan tapi
dikenal atau diharapkan tapi tidak dikenal. Lebih penting bagi para peneliti untuk mengenal
fungsi yang bersifat laten, (yang sangat kompleks dan sukar mengenalinya) daripada funggi
yang nyata (yang begitu jelas dan mudah dikenal).
Selain konsep tentang fungsi, konsep lain yang lebih penting dalam fungsional
struktural adalah “struktur”. Sementara fungsi berurusan akibat-akibat atau konsekuensikonsekuensi yang melibatkan tujuan-tujuan serta proses-proses dari suatu pola tindakan,
struktur menunjuk kepada susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-fungsi.
Tidak seperti para ahli antropolgi , Merton tidak mempercayai adanya persesuaian satu per
satu antara fungsi dan struktur. Suatu fungsi tunggal bisa saja dipenuhi oleh kombinasi
yang kompleks dari berbagai struktur, sebagaimana halnya suatu susunan struktur tertentu
dapat melakukan berbagai fungsi, yang mungkin mempunyai berbagai jenis akibat yang
berbeda terhadap struktur tersebut. Merton telah berusaha menentang pemikiran kuno
tentang suatu “keharusan” (indispensability), yakni bahwa setiap pola tindakan atau
struktur harus memenuhi suatu fungsi vital tertentu. Ia telah mengembangkan suatu

31
Universitas Sumatera Utara

pemikiran bahwa suatu fungsi tertentu dapat dipenuhi oleh banyak susunan struktur yang
berbeda-beda konsep pergantian struktur.
Seperti juga para ahli sosiologi, Marion Levy, Jr, sangat menaruh perhatian terutama
pada masalah kelangsungan hidup suatu system, dan ia telah mengembangkan konsep
tentang syarat-syarat fungsional atau kondisi-kondisi yang dibutuhkan bagi kelangsungan
hidup, yang sangat penting untuk mempertahankan sifat-sifat dasar yang penting dari suatu
sistem. Levy sendiri telah berusaha mengidentifikasikan syarat-syarat fungsional dari setiap
sistem sosial di atas suatu landasan yang abstrak, dan ia mengakhiri penjelasannya atas
konsep tersebut, dengan mengemukakan suatu daftar tentang fungsi-fungsi yang
diperlukan. 23 Dengan mengikuti jejak Levy, beberapa analisa mcncoba menyiapkan suatu
daftar tentang fungsi yang harus dimiliki oleh suatu sistem tertentu demi kelangsungan
hidupnya, meskipun sebagian besar di antaranya memungkinkan adanya sejumlah variasi
ketika sampai pada suatu analisa tentang kasus-kasus yang barsifat khusus. Sebagai contoh:
Almond menyatakan bahwa fungsi-fungsi konversi, fungsi-fungsi kapabilitas, fungsi-fungsi
adaptif dan pemeliharaan merupakan syarat fungsional suatu sistem politik.24 Para ilmuwan
politik lainnya mengajukan daftar yang lain, tetapi daftar yang mereka kemukakan ini,
hampir tidak memberi sumbangan terhadap penelitian yang dilakukan secar serius.
Metode analisa ini terutama menekankan pada penelitian tentang hubungan yang
bersifat statis, meskipun penelitian tentang perubahan atau dinamika tidak dikesampingkan.
23

Marion Levy, Jr.,dalam S.P. Varma.2007.Teori Politik Modern. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada hal: 69.

24

Gabriel Almond dalam S.P. Varma.2007.Teori Politik Modern. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada hal: 69

32
Universitas Sumatera Utara

Tidaklah salah, bila Merton menyatakan: “Konsep tentang kekacauan fungsi (disfungsi)
yang membahas konsep-konsep tentang kekacauan, stress, dan ketegangan dalam suatu
tingkat struktur tertentu, memberikan suatu pendekatan analitis yang dapat dipergunakan
dalam penelitian tentang dinamika dan perubahan. 25 Tetapi para ahli teori sistem, terutama
tertarik pada masalah kelangsungan hidup suatu system. Dan jika mareka mengembangkan
suatu strategi tertentu untuk suatu sistem, tujuan utama mereka adalah menemukan Cara
yang mungkin paling baik bagi kelangsungan hidup suatu sistem. Analisa tersebut terutama
diarahkan kepada penafsiran sejumlah perubahan yang terjadi pada tingkat strukural,
sehingga suatu sistem dapat berakomodasi tanpa menghalangi pemenuhan syarat-syarat
fungsionalnya yang mendasar. Pada waktu itu, di tangan Para ilmuwan politik,
fungsionalisme struktural menjadi suatu alat analisa yang amat disegani. Fungsionalisme
struktural telah menggugurkan dalil-dalil tertentu yang tidak sempurna, yang
dikembangkan para ahli sosiologi, Seperti (a) kesatuan fungsional dari masyarakat, (b)
fungsionalisme universal dan (C) keharusan fungsional (functional indispensability).
Pendekatan ini tak lagi mempercayai bahwa semua sistem sosial sangat terintegrasi dan
setiap pola-pola tindakan mempunyai hubungan yang erat dengan mekanisme kerja dari
sistem itu, Para ilmuwan politik juga tidak bisa menerima suatu pandangan bahwa semua
kondisi sosial dan budaya yang telah dibakukan, perlu menunjukkan fungsi-fungsi yang
positif. Lebih jauh mereka juga tidak bisa menerima bahwa suatu fungsi tertentu harus ada

25

Robert K. Merton, dalam S.P. Varma.2007.Teori Politik Modern. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada hal: 69

33
Universitas Sumatera Utara

untuk memelihara suatu sistem social atau politik, atau beberapa susunan struktur yang
bersifat khusus sangat penting bagi fungsi yang dilakukannya.
Dalam kondisinya yang canggih dan telah disempurnakan, fungslionalisme di tangan
para ilmuwan politik, menjadi alat yang efektif dalam penelitian tertentu yang bersifat
khusus. Sejak fungsionalisme struktural memperkenalkan seperangkat kategori yang telah
dibakukan, yang dapat diterapkan dengan berhasil terhadap berbagai sistem politik yang
berbeda satu sama lain, metode ini dianggap sangat cocok, terutama untuk analisa
perbandingan sistem politik. Tetapi orang bisa saja menetapkan syarat-syarat fungsional,
yang merupakan formula yang hanya dapat diterapkan dalam analisa sistem sosial yang
berbeda-beda, dengan modifikasi tertentu. Tentu saja metode ini terbukti sangat bermanfaat
dalam penelitian tentang pola pemeliharaan serta pengaturan suatu sistem. Fungsionalisme
struktural juga mengungkapkan pada para ilmuwan politik yang ingin memainkan peranan
dalam pembangunan masyarakat, bagaimana syarat-syarat dasar dari pemeliharaan suatu
sistem dapat dipenuhi melalui penggunaan mekanisme struktural dan kelembagaan tenentu.
Bagaimana suatu keseimbangan yang layak antara konsekuensi-konsekuensi fungsional dan
disfungsional dari berbagai pola tindakan dapat dipertahankan, Serta keadaan-keadaan
Yang akan mengakibatkan kemacetan dalam suatu sistem dapat Segera diidentifikasikan
dan dicegah. Dengan kata lain, analisa fungsional struktural terbukti sangat bermanfaat
dalam Studi perbandingan system politik, sebagaimana dikembangkan oleh para ilmuwan
politik Barat, yang menaruh perhatian terhadap sasaran serta tujuan-tujuan khusus.
4. Teori Kepemimpinan

34
Universitas Sumatera Utara

Istilah kepemimpinan berasal dari kata dasar "pimpin" yang artinya bimbing atau
tuntun. Dari kata ”pimpin” lahirlah kata kerja ”memimpin” yang artinya membimbing atau
menuntun dan kata benda ”pemimpin” yaitu orang yang berfungsi memimpin, atau orang
yang membimbing atau menuntun. Didalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam
kepustakaan muncullah istilah yang serupa dengan itu dan kadang-kadang dipergunakan
silih berganti seakan~akan tidak ada bedanya satu dengan yang lain, yaitu ”pimpinan”,
”kepimpinan” dan ”kepemimpinan”. Hal tersebut mungkin dapat menimbulkan kekacauan
dalam pemikiran yang berakibat tentunya kekacauan dalam tindakan dan perbuatan
seseorang dan masyarakat, karena istilah-istilah tersebut masing-masing mempunyai arti
sendiri-sendiri.
Adapun istilah ”pemimpin” berasal dari kata asing “leader” dan ”kepemimpinan”
dari ’leadership”. 26 Sekalipun ”kepemimpinan” tidak sama dengan manajemen
(management) tetapi kedua hal itu tidak dapat dipisahkan.
Teori-teori kepemimpinan pada umumnya berusaha menerangkan faktor-faktor
yang memungkinkam munculnya kepemimpinan dan sifat (nature) dari kepemimpinan. 27
Mengikuti berbagai macam pendapat tentang teori-teori kepemimpinan yang diajukan,
dapat disimpulkan beberapa teori yang penting seperti di bawah ini:
a. Teori serba sifat (traits theory) ;

26
27

S. Pamudji. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: BUMI AKSARA.1992. hal: 5
S. Pamudji.op cit. hal: 145

35
Universitas Sumatera Utara

Teori ini dikemukakan oleh L.L Bernard. Teori ini mengajarkan bahwa
kepemimpinan itu memerlukan serangkaian sifat-sifat, Ciri-ciri atau perangai tertentu yang
menjamin keberhasilan pada setiap situasi. Seorang pemimpin akan berhasil apabila ia
memiliki sifat-sifat, ciri-ciri atau perangai tersebut. Berdasarkan asumsi ini maka lalu
diusahakan pemerincian sifat-sifat tertentu itu, lalu diperbandingkan dengan sifat-sifat dari
para pemimpin yang ada, untuk kemudian dirumuskan sifat-sifat umum dari pemimpin.
Sifat-sifat tersebut dapat dijadikan pedoman untuk mengembangkan kepemimpinan. Telah
disinggung di atas teori ini pada mulanya didasarkan atas penelitian terhadap sifat-sifat
“orang besar” (great man) yang berkesimpulan bahwa kepemimpinan “orang besar”
didasarkan atas sifat-sifat yang dibawa sejak lahir, jadi merupakan sesuatu yang
diwariskan. Teori ini kemudian dikenal juga sebagai “teori orang besar 28 (great man
theory). Oleh karena pemimpin dianggap memiliki sifat-sifat yang dibawa sejak lahir dan ia
menjadi pernimpin karena memiliki bakat-bakat kepemirnpinan, maka teori ini juga disebut
teori generatis. 29 Teori ini berkesimpulan bahwa “leaders are born and not made”
(pemimpin-pemimpin dilahirkan dan tidak dibentuk). Sementara pihak menyebut teori ini
sebagai teori bakat. Teori ini mempunyai kelemahan-kelemahan, antara lain :
1. diantara pendukung-pendukungnya tidak ada persesuaian atau kesamaan
mengenai perincian sifat-sifat dimaksud;

28

E.e Jennings dalam S. Pamudji. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: BUMI
AKSARA.1992. hal: 146
29
S. Pamudji. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: BUMI AKSARA.1992. hal: 145

36
Universitas Sumatera Utara

2. terlalu sulit untuk rnenetapkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin;
3. sejarah membuktikan bahwa situasi dan kondisi tertentu memerlukan sifatsifat pemimpin yang tertentu pula.
b. Teori lingkungan (environmental theory).
Telah dikemukakan bahwa teori lingkungan ini mengkonstatir bahwa munculnya
pemimpin-pemimpin itu rnerupakan hasil daripada waktu, tempat dan keadaan atau situasi
dan kondisi. Suatu tantangan atau suatu kejadian penting dan luar biasa akan menampilkan
seseorang untuk menjadi pemimpin. Jelaslah bahwa situasi dan kondisi tertentu melahirkan
tantangan-tantangan tertentu, dan dengan sendirinya diperlukan orang-orang yang memiliki
sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu yang cocok. Dengan perkataan lain setiap situasi dan
kondisi menuntut kualitas kepemimpinan yang berbeda. Seorang pemimpin yang berhasil
pada situasi dan kondisi tertentu tidak menjamin bahwa ia pasti berhasil pada situasi dan
kondisi yang lain. Ternyata daftar sifat-sifat yang telah dihasilkan oleh teori serba sifat juga
tidak menjamin keberhasilan seorang pemimpin. Teori lingkungan ini, karena
memperhitungkan faktor situasi dan kondisi, juga disebut teori serba situasi. Kebangkitan
dan kejatuhan seorang pemimpin dikarenakan oleh situasi dan kondisi; apabila seseorang
”menguasai” situasi dan kondisi maka ia akan dapat menjadi pernimpin.

37
Universitas Sumatera Utara

Sejalan dengan teori ini ialah teori sosial 30 yang menyatakan bahwa “leaders are made
not born” (pemimpin-pemimpin dibentuk bukannya dilahirkan). Seseorang akan muncul
sebagai pemimpin apabila ia berada dalam lingkungan sosial, yaitu suatu kehidupan
kelompok, dan memanfaatkan situasi dan kondisi sosial untuk bertindak dan berkarya
mengatasi masalah-masalah sosial yang timbul. Teori lingkungan ini dianggap kurang
sempurna maka dikembangkanlah teori baru yang merupakan kombinasi dari kedua teori
tadi.
c. Teori pribadi dan situasi (personal-situational theory);
Penganut teori serba sifat dan teori serba situasi hanya berusaha menjelaskan
kepemimpinan sebagai akibat seperangkat kekuatan yang tunggal. Adanya akibat-akibat
interaktif antara faktor pribadi (individu) dan faktor situasi diabaikan. Untuk memperbaiki
kedua teori tadi muncullah teori pribadi-situasi. Teori ini pada dasarnya mengakui bahwa
kepemimpinan merupakan produk dari terkaitnya tiga factor yaitu: 31
1. perangai (sifat-sifat) pribadi dari pemimpin;
2. sifat dari kelompok dan anggota-anggotanya; dan
3. kejadian-kejadian (atau masalah-masalah) yang dihadapi oleh kelompok.
Sementara itu penganut teori ini ada yahg menyatakan bahwa "study of leadership
in terms ofthe status, interactions, perceptions, and behavior of individuals in relation to
30

ibid
C.M Case dalam S. Pamudji. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: BUMI AKSARA.1992.
hal: 148
31

38
Universitas Sumatera Utara

other members of the organized group. Thus leadership is regarded as a relationship
between persons rather than as a characteristic of the isolated individual. 32 (studi tentang
kepemimpinan harus berkenaan dengan status, interaksi, persepsi dan perilaku individuindividu dalam hubungan dengan anggota-anggota lain dari kelompok yang terorganisir.
Jadi kepemimpinan harus dipandung sebagai hubungan di antara orang-orang dan bukannya
sebagai sifat-sifat atau ciri-ciri dari seseorang individu yang terisolir). Jelas di sini bahwa
sifat-sifat atau ciri-ciri seseorang saja belum memungkinkan ia berkembang menjadi
pemimpin. Sifat-sifat atau ciri-ciri itu masih harus dikaitkan dengan situasi dan kondisi.
Pemimpim harus mengenal dirinya (dalam arti sifat-sifatnya, mengenal kelompok
yang dipimpin, mengenal situasi dan kondisi dan selanjutnya mengembangkan sifatsifatnya sendiri ke arah yang sesuai dengan kelompok yang dipimpinnya dan sesuai pula
dengan situasi dan kondisi di mana ia memimpin. la harus mampu menciptakan
kemudahan-kemudahan untuk merangsang kegiatan-kegiatan kelompok untuk mencapai
tujuan.
Teori ini mungkin dapat diparalelkan dengan teori ekologi, yang pada pokoknya
menyatakan bahwa seseorang berhasil melaksanakan kepemimpinan apabila ia pada waktu
lahir telah memiliki bakat-bakat atau sifat-sifat kepemimpinan yang kemudian
dikembangkan melalui pendidikan dan pengalaman. Jadi di sini ditekankan perlunya
pendidikan dan pengalaman. Sementara penulis menyebutkannya sebagai teori hubungan

32

Ralp M. Stogdil dan C.L Sharlete dalam S. Pamudji. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta:
BUMI AKSARA.1992. hal: 148

39
Universitas Sumatera Utara

kepribadian dan situasi di mana dikemukakan bahwa kepemimpinan seseorang ditentukan
oleh kepribadiannya dengan menyesuaikannya kepada situasi yang dihadapi. Situasi
dimaksud terdiri dari tiga lapis :
1. tugas, pekerjaan atau masalah yang dihadapi;
2. orang-orang yang dipimpin;
3. keadaan yang mempenguruhi tugas, pekerjaan dan orang-orang tadi.
d. Teori interaksi dan harapan (interaction-expectation theory);
Golongan teori ini mendasarkan diri pada varisbel-variabel : aksi, reaksi, interaksi
dan perasaan (action, interaction dan sentiment). Seorang pemimpin menggerakkan
pengikut dengan harapan-harupan bahwa ia akan berhasil, ia akan mencapai tujuan
organisasi, ia akan mendapatkan keuntungan, penghargaan dan sebagainya. Demikian pula
pengikut-pengikut, mereka akan mengikuti pemimpin dengan harapan-harapan seperti
harapan si pemimpin tadi. Oleh karena itu aksi-aksi pemimpin harus berisi sesuai dengan
harapan untuk kemudian ditanggapi dengan reaksi, sehingga dengan demikian terjadilah
interaksi yang dipateri dengan perasaan-perasaan tertentu. Interaksi tersebut diusahakan
dapat memenuhi harapan-harapan bersama.
Teori ini berasumsi bahwa semakin terjadi interaksi dan partisipasi dalam kegiatan
bersama semakin meningkat perasaan saling menyukai/menyenangi satu sama lain dan
semakin memperjelas pengertian atas norma-norma kelompok. Demikian pula semakin
tinggi seseorang dalam kelompok, semakin mendekati kesesuaian kegiatannya dengan

40
Universitas Sumatera Utara

norma-norma, semakin luas jangkauan interaksinya dan semakin besar jumlah anggota
kelompok yang tergerak. Yang penting harus dijaga agar aksi pemimpin tidak
mengecewakan harapan-harapan.
Teori ini memakai nama-nama yang berlainan, tergantung pada titik berat
tinjauannya. Misalnya Stogdill menyebutkan nya : expectancy - reinforcement theory of
leadership. 33 Dalam hubungan ini Stogdill mengemukakan manakala anggota-anggota
kelompok berinteraksi dan terlibat dalam pelaksanaan tugas bersama, maka mereka
memperkuat (reinforce) harapan bahwa masing-masing akan terus beraksi dan berinteraksi
sesuai dengan pelaksanaan kerjanya yang terdahulu. Fiedler menyebut : contingency theory
of leadership, 34 dengan mengemukakan bahwa keefektifan pola perilaku pemimpin yang
ada tergantung pada tuntutan-tuntutan yang dihadapkan oleh situasi. Pemimpin yang
memelihara jarak sosial (dengan anak buah) cenderung lebih efektif dalam situasi-situasi
yang sangat mudah dan sangat sulit. Semakin tinggi perasaan keakraban pemimpin dengan
anak buahnya semakin lebih efektif dalam situasi di mana dituntut kepemimpinan yang
moderat.
House menyebutnya motivational theory of leadership dan Evans menyebutnya
path-goal theory of 1eadership. 35
3. Metodologi Penelitian
33

Ralph Stogdil dalam S. Pamudji. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: BUMI
AKSARA.1992. hal: 150
34
ibid
35
Ibid

41
Universitas Sumatera Utara

a. Jenis Penelitian
Penelitian Budaya Lokal di dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi
Aceh No 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong) menggunakan metode kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mempelajari suatu gejala atau realita social dan
mencoba untuk menemukan suatu pemahaman atau interprestasi makna terhadap masalah
tersebut. Orientasi yang ditekankan pada penelitian kualitatif lebih banyak memfokuskan
pada proses dan jalinan peristiwa sehingga penelitian bersifat siklus yang dapat dilakukan
berulang-ulang. 36
Dengan metode kualitatif, selain mengungkap dan memahami sesuatu hal yang baru
dan sedikit diketahui, metode kualitatif juga akan memberikan rincian tentang suatu
fenomena yang sulit diungkap oleh penelitian kuantitatiff. 37 Menurut Bogdan dan Biklen
salah satu kateristik penelitian kualitatif yang memberikan perbedaan yang sangat nyata
dengan penelitian kuantitatif adalah penelitian bersifat deskritif, dimana data-data yang
dibutuhkan pada ummnya berbentuk kata yang dapat menggambarkan dan bukan angkaangka atau kata lain penelitian deskriftif bertujuan mendeskripsikan secara sistematik,
factual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat suatu objek tertentu dengan

36

Kartini kartono. 1996. Pengantar metodologi Riset Sosial,bandung: CV. Maju Mundur. Hal 17
Strauss, Ansem dan Corbin, Juliet. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah dan TeknikTeknik Teorisasi Data, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal.5
37

42
Universitas Sumatera Utara

menggunakan survey data-data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara yang
didukung oleh panduan wawancara 38.
b. Lokasi Penelitian
Untuk mendapatkan informasi tentang tujuan penelitian maka penulis menetukan
lokasi penelitian di Gampong Lhok Pawoh Kecamatan Sawang kabupaten Aceh Selatan.
c. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan,
adalah penelitian atau kajian lapangan (field research), seperti wawancara dan observasi. 39
Dalam penelitian ini, data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder. Untuk
memperoleh data primer peneliti menggunakan daftar pertanyaan wawancara dalam
pengumpulan data, maka sumber data disebut informan, yaitu orang yang merespon atau
menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui
sumber seperti buku, laporan, jurnal dan lain-lain.
d.Teknik Analisis Data
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan lebih banyak bersifat uraian dari
hasil wawancara dan studi dokumentasi. Data yang telah diperoleh akan dianalisis secara
kualitatif serta diuraikan dalam bentuk deskriptif. Menurut Patton, analisis data adalah

38

Sinulingga, Sukaraja. 2011. Metode Penelitian. Medan; USUpress.hal.43.

39

Tatang M. Arimin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal 130

43
Universitas Sumatera Utara

“proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan
uraian dasar”. 40 Definisi tersebut memberikan gambaran tentang betapa pentingnya
kedudukan analisis data dilihat dari segi tujuan penelitian. Prinsip pokok penelitian
kualitatif adalah menemukan teori dari data.Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan langkah-langkah seperti yang dikemukakan oleh Burhan
Bungin, yaitu sebagai berikut: 41
1. Pengumpulan Data (Data Collection)
Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan analisis data. Kegiatan
pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara dan studi
dokumentasi.
2. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di
lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data dimulai dengan membuat ringkasan,
mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya dengan
maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan.
3. Display Data

40
41

Lecy J. Moleong, op.cit., hal 103
Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial, Surabaya: Airlangga University Press. 2001, hal 70

44
Universitas Sumatera Utara

Display data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data
kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajiannya juga dapat berbentuk matrik,
diagram, tabel dan bagan.
4. Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan (Conclution Drawing and Verification)
Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan kesimpulan berupa kegiatan
interpretasi, yaitu menemukan makna data yang telah disajikan. Antara display data dan
penarikan kesimpulan terdapat aktivitas analisis data yang ada. Masalah reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara
berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang terkait. Selanjutnya data yang telah
dianalisis, dijelaskan dan dimaknai dalam bentuk kata-kata untuk mendiskripsikan fakta
yang ada di lapangan, pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
kemudian diambil intisarinya saja. Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap tahap
dalam proses tersebut dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah
seluruh data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan dan dokumen
pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya melalui metode wawancara yang
didukung dengan studi dokumentasi.
4. Sistematika Penulisan
BAB I

: PENDAHULUAN

45
Universitas Sumatera Utara

Dalam Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah apa dan
mengapa penulis tertarik untuk mengangkat masalah budaya lokal didalam
sistem pemerintahan gampong, terdapat juga mengenai perumusan
masalah, pembatasan masalah, tujuan peneilitian, manfaat penelitian,
kerangka dasar teoritis yang menjadi acuan penulis dalam penulisan
penelitian ini, metode penelitian se

Dokumen yang terkait

Kekuasaan Keuchik Dalam Sistem Pemerintahan Gampong (Kekuasaan Elit Lokal Di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe)

3 69 135

PERAN LEMBAGA ADAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN GAMPONG (Studi Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Gampong Gegarang, Kecamatan Bintang, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

2 25 29

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 28 123

Budaya Organisasi Pemerintahan Gampong Bireuen Meunasah Capa Utara

0 0 2

Kekuasaan Keuchik Dalam Sistem Pemerintahan Gampong (Kekuasaan Elit Lokal Di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe)

0 0 4

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 0 13

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 0 4

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 1 35

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 0 2

TUGAS DAN FUNGSI KEUCHIK, TUHA PEUET DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN GAMPONG LAMPISANG KECAMATAN PEUKAN BADA KABUPATEN ACEH BESAR BERDASARKAN QANUN NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN GAMPONG

0 0 14