URGENSI METODOLOGI STUDI ISLAM INTERDISI (3)

URGENSI METODOLOGI STUDI ISLAM INTERDISIPLENER DI ERA
MILLENIAL
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Study Islam
Dosen pengampu: Prof. Zackiyuddin Baidhawi, M.Ag

Disusun Oleh

:

Muhamad Muhlas
120 101 70018

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PASCA SARJANA)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017

URGENSI METODOLOGI STUDY ISLAM INTERDISIPLINER DI ERA
MILLENIAL
A. Pendahuluan
Keberadaan Islam bukan hanya sebagai agama monodimensi. Islam bukan hanya

agama yang didasarkan pada intuisi mistis manusia dan terbatas hanya pada hubungan
antara manusia dengan Tuhan. Ini hanyalah satu dari sekian banyak dimensi agama
Islam. Untuk mempelajari aspek multidimensional dari Islam, metode filosofis niscaya
dipergunakan untuk menemukan sisi-sisi terdalam dari hubungan manusia dengan Tuhan
dengan segenap pemikiran metafisikanya yang umum dan bebas(Thahir: 2004). Dimensi
lain dari agama Islam adalah masalah kehidupan manusia di bumi ini. Untuk
mempelajari dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini
dipergunakan dalam “ilmu manusia”(Ali: 1991: 47). Thahir (2004) dalam pengantarnya
menjelaskan bahwa agama dengan cara pandang seperti ini, tidak lagi berwajah tunggal
(Single Face) melainkan memiliki banyak wajah (Multiface).
Keragaman dimensi Islam mengindikasikan bahwa memahami Islam tidak cukup
dengan satu pendekatan atau keilmuan tertentu saja, akan tetapi membutuhkan banyak
pendekatan yang didasarkan pada berbagai disiplin ilmu. Dengan kata lain, perlu
pengkajian secara interdisipliner yang berparadigma dengan menggunakan berbagai
perspektif, tidak hanya secara normatif-teologis. Dalam hal ini pendekatan-pendekatan
keilmuan yang telah dibahas sebelumnya seperti Historis, Filosofis, Sosiologi,
Antropologi, Psikologi, Filologi, Fenomenologi, Hermeneutik, dan seterusnya sangat
diperlukan.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam masyarakat luas masih kuat
beranggapan bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua Entitas yang tidak bisa


dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan
lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran,
peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing bahkan sampai
ke institusi penyelenggaranya. Dengan lain ungkapan, ilmu tidak memperdulikan agama
dan agama tidak memperdulikan ilmu. Begitulah sebuah gambaran praktik kependidikan
dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negatif yang
ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karenanya, anggapan yang tidak
tepat tersebut perlu dikoreksi dan diluruskan (Abdullah: 2010: 92-94).
Kajian agama termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana
Barat dengan menggunakan berbagai macam ilmu, sehingga muncul sejarah agama,
psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan
dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai
lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di Negara-negara berkembang, yang
kemudian memunculkan Orientalisme.
Sementara itu, agama atau keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam
kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang Islam khususnya,
sebagai agama yang telah berkembang selama empat belas abad lebih menyimpan
banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan
maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Demikianlah, maka pembahasan dalam makalah ini ingin menegaskan perlunya
pengembangan Studi Islam dalam segala aspek kehidupan, dikaji secara interdisipliner
dengan teoretis, praktis-metodis ingin menggambarkan betapa kajian tentang Islam
membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi aplikasi metodologi dari disiplin
keilmuan lain, utamanya pendekatan secara humanities dan social sciences.

B. Pengertian Metodologi Study Islam
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta
(sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau langkah-

langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut
pengajaran atau penelitian (Mudzhar: 2007: 11).
Menurut istilah“metodologi” berasal dari bahasa yunani yakni metodhos dan
logos, methodos berarti cara, kiat dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya
menyelsaikan sesuatu, sementara logos berarti ilmu pengetahuan, cakrawala dan
wawasan. Dengan demikian metodologi adalah metode atau cara-cara yang berlaku
dalam kajian atau penelitian (Rozak: 2008: 68)
Ketika metodologi digabungkan dengan Study Islam, maka artinyapun juga
akan berbeda. Studi Islam atau Islamic Studies merupakan sebuah kajian mengenai

ajaran-ajaran Islam. Suleiman dan Shihadeh dalam Bidhawy (2011: 2) menawarkan dua
pendekatan mendasar mengenai definisi studi islam, yaitu definisi sempit dan definisi
yang lebih luas. Definisi pertama melihat studi islam sebagai disiplin dengan metodologi,
materi, dan teks-teks kuncinya sendiri. Lebih lanjut penulis menjelaskan bahwa studi ini
berkaitan dengan teks-teks keagamaan klasik dan ilmu-ilmu keagamaan klasik dengan
catatan memperluas ruang lingkupnya berarti akan mengurangi kualitas kajiaanya.
Pendekatan kedua, mendefinisikan Islamic Studies berdasarkan pernyataan bahwa
Islam perlu dikaji dalam konteks evolusi Islam modern yang penuh teka-teki. Selain itu,
adanya kebutuhan untuk memahami tentang teks-teks dan cara orang-orang mengalami
serta menjalani kehidupan mereka (Baidhawy : 2011: 3). Membatasi bidang kajiannya
akan menimbulkan kesan yang salah tentang seperangkat praktik keagamaan Islam,
sehingga menutupi ralitas yang lebih kompleks.
Dari pemaparan pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa metodologi
studi Islam adalah seperangkat cara untuk memahami atau mengkaji ajaran-ajaran Islam.
dengan kata lain, istilah metodologi studi islam dapat digunakan untuk mengkaji seputar
ragam metode yang biasa digunakan dalam studi islam. Objek kajian ini bisa berupa
teks-teks tradisional ataupun budaya-budaya dalam Islam itu sendiri.

C. Urgensi Studi Islam


Dalam satu hadist rasulallah SAW bersabda:
Sesungguhnya bani israil (kaum yahudi dan nasraani) telah berpecah belah menjadi
72 aliran, dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 aliran, mereka semua akan
masuk neraka kecuali satu aliran saja. Para sahabat bertanya “siapakah mereka itu
wahai rasulallah?” beliau menjawab, “siapa yang mengikuti jejakku dan para
sahabatku.” (HR. tirmidzi al-hakim dan al-Aajumi, diharuskan oleh al-albani)
Dari hadist diatas kita tahu bahwa sejak jauh-jauh hari rasulallah telah
menginformasikan (mensinyalir) tentang adanya perpecahan umat, hadis diatas bukanlah
isapan jempol belaka di Indonesia saja, telah muncul beberapa aliran agama baru yang
muncul dari satu agama, terutama islam sejak puluhan tahun yang lalu pada umumnya,
pelopor sekaligus pemimpinnya mengaku sebagai orang pilihan yang diutus oleh tuhan
sebagai juru selamat atau penyempurna suatu agama bagi umat manusia.
Mereka aliran-aliran baru tersebut mengindikasikan adanya kebutuhan besar
terhadap agama yang benar-benar bias memenuhi kebutuhan rohaniah perubahan
masyarakat akibat modernism, globalisme dan terhadap era post industry yang
menyebabkan krisis kemanusiaan serta kurangnya pengetahuan tentang agamalah yang
menjadi

pangkal-pangkal


utama

munculnya

berbagai

macam

aliran

tersebut.penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak akan terjadi jika manusia
khususnya umat islam memahami dan menguasai metodelogi study Agama, yang dalam
hal ini adalah metodelogi study islam.
Studi terhadap misi ajaran Islam secara komprehensif dan mendalam adalah
sangat diperlukan karena beberapa sebab sebagai berikut :
a. Untuk menimbulkan kecintaan manusia terhadap ajaran Islam yang didasarkan
kepada alasan yang sifatnya bulan hanya normatif , yakni karena diperintah
oleh Allah, dan bukan pula karena emosional semata-mata karena didukung
olehargumentasi yang bersifat rasional, kultural dan aktual. Yitu argumen yang
masuk akal, dapat dihayati dan dirasakan oleh umat manusia.


b. Untuk membuktikan kepada umat manusia bahwa Islam baik secara
normatif maupun secara kultural dan rasional adalah ajaran yang dapat
membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik, tanpa harus
mengganggu keyakinan agama Islam.
c. Untuk menghilangkan citra negatif dan sebagian Masyarakat terhadap ajaran
Islam (Abdullah: 2002: 76).

Terdapat sejumlah argumentasi yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa
misi ajaran Islam sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam. Argumentasi tersebut
dikemukakan sebagai berikut :
Pertama, untuk menunjukkan bahwa Islam sebagai pembawa rahmat
dapat dilihat dari pengertian Islam itu sendiri. Kata Islam makna aslinya masuk dalam
perdamaian, dan oran Muslim ialah orang yang damai dengan Allah dan damai
dengan manusia. Damai dengan Allah, artinya berserah diri sepenuhnya kepada
kehendak-Nya dan damai dengan manusia bukah saja berarti menyingkiri berbuat
jahat dan sewenang-wenang kepada sesamanya, melainkan pula ia berbuat baik
kepada sesamanya. Dua pengertian ini dinyatakan dalam Alqur’an sebagai inti agama
Islam yang sebenar-benarnya. Al-Qur’an menyatakan sebagai berikut :
Islam adalah agama perdamaian dan dua ajaran pokoknya, yaitu Keesaan Allah, dan

kesatuan atau persaudaraan umat manusia, menjadi bukti yang nyata bahwa agama
Islam selaras benar dengan mananya. Islam bukan saja dikatakan sebagai agama
sekalian Nabi Allah, sebagaimana tersebut diatas, melainkan juga sesuatu yang secara
taksadar tunduk sepenuhnya kepada undang-undang Allah, yang kita saksikan pada
alam semesta.

Misi ajaran Islam sebagai pembawa rahmat dapat dilihat dari

peran yang

dimainkan Islam dalam menangani berbagai problematika agama, sosial, ekonomi,
politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, dan sebagainya. Dari sejak kelahirannya lima
belas abad yang lalu Islam senantiasa hadir memberikan jawaban terhadap permasalahan
di atas. Islam sebagaimana dikatakan H.A.R. Gibb bukan semata-mata ajaran tentang
keyakinan saja, melainkan sebagia sebuah sistem kehidupan yang multi dimensial
(Abdullah : 2006: 43).
Dalam bidang sosial, keadaan masyarakat terbagi-bagi kedalam sosial atau kasta
yang dibedakan berdasarkan suku bangsa, bahasa, warna kulit, harta benda, jenis
kelamin, dan lain sebagainya. Dengan sistem kelas yang demikian, maka tidak akan
terjadi mobilitas vertikal yang didasarkan pada pretasinya masing-masing.

Selanjutnya dalam bidang ekonomi, ditandai oleh praktik mendapatkan uang
dengan menghalalkan segala cara, seperti dengan praktik riba, mengurangi timbangan,
menipu, monopoli, kapitalisme, dan sebagainya. Keadaan yang demikian itu pada
gilirannya membawa mereka yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Persaingan yang tidak sehat terjadi diantara mereka. Manusia telah menjadi budah dari
harta benda.
Selanjutnya dalam bidang pendidikan, ditandai oleh keadaana di mana pendidikan
atau ilmu pengetahuan hanya milik kaum elit. Rakyat dibiarkan bodoh sehingga dengan
mudah dapat disesatkan akidahnya dan selanjutnya dengan mudah dapat diperbudak.
Dalam pada itu pada masa kedatangan Islam di bidang kebudayaan ditandai oleh
keadaan masyarakat yang semata-mata mengikuti hawa nafsu syahwat dan nafsu
duniawi. mereka gemar melakukan mabuk-mabukan, foya,foya, berzina, berjudi, dan
sebagainya. Mereka tenggelam dalam dosa- dosa maksiat.
Dari sejak kelahirannya Islam sudah memiliki komitmen dan respon yang tinggi
untuk ikut terlibat dalam memecahkan berbagai masalah tersebut di atas. Islam bukan
hanya mengurusi sosial ibadah dan seluk beluk yang ukhrowi.

Jelasnya untuk mengenal Islam, kita tidak memilih satu pendekatan saja, karena
Islam bukanlah berdimensi satu. Islam bukanlah agama yang didasarkan semata-mata
pada perasaan-perasaan mistik manusia atau hanya terbatas kepada hubungan antara

Tuhan dan manusia. Ini hanya dimensi dari akidah Islam
Untuk itulah umat islam harus mempelajari Metodelogi Study Islam karena
agama islam bukanlah agama teoritis saja tetapi butuh kepada explementasi, sehingga
umat islam dapat memahami islam secara mendetail. Dalam studi islam kita dikenalkan
apa itu agama dan bagaimana kedudukan agama islam dimuka bumi ini, sehingga orang
islam bias mencapai tujuan akhir dalam menjalankan agama islam itu sendiri.
Dalam studi Islam dengan pendekatan ilmiah-empiris terhadap fenomena agama
yang muncul akan membangun keilmuan Islam pemilahan tersebut akan lebih
menjernihkan fenomena agama secara jelas dalam lingkaran Apllied scences yang
berhubungan dengan persoalan yang berhubungan dengan persoalan agama yang bersifat
Tabbudy eksklusif dan lingkaran pure sciences yang berhubungan dengan persoalan
agama yang bersifat tazquly (Abdullah, 2000 : 17). Perkembangan studi agama yang
nampak terutama pada model pendekatan diatas memberi peluang pesat munculnya
cabang keilmuan keagamaan seperti, sejarah agama, psikologi agama, antropologi
agama, dan lain-lain (Abuddin: 2005: 95).
Jika dilihat dari segi normatif islam lebih merupakan agama yang dapat
berlakukan kepada paradigma ilmu pengetahuan yaitu paradigma analisis, kritis, jika
dilihat dari segi historis islam dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu, karena ia
dipraktikan oleh manusia dan tumbuh serta berkembang dalam kehidupan manusia,
sehingga ia bisa disebut sebagai ilmu keislaman atau islamic studies.

Pengertian studi islam di atas berbeda dengan pengertian sains islam. Sains islam
mencakup beberapa atau berbagai pengetahuan modern yang dibangun atas arahan nilainilai islami. Sementara studi islam adalah pengetahuana yang dirumuskan dari ajaran
islam yang dipraktikan dalam sejarah dan kehidupan manusia. Sedang pengetahuan

agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran tentang akidah
ibadah, membaca Al Qur’an dan akhlak.
Kini jelaslah bahwa yang dimaksud dengan metodologi studi islam adalah sebuah
kajian yang sistematis menggunakan pendekatan empiris tentang islam sebagai ajaran
agama dan islam yang berwujud kebudayaan dalam kehidupan umat islam dengan tujuan
untuk dapat lebih memahami islam secara rasional dan dapat dipraktikan dalam
kehidupan umat secara nyata.

D. Pengertian Dan Karakteristik Era Millenial
Istilah generasi millenial atau sering juga disebut generasi Y memang sedang
akrab terdengar, istilah ini pertama kali dicetuskan oleh dua pakar sejarah dan juga
penulis amerika, William strauss dan Neill howe dalam beberapa bukunya. Secara
harfiah memang tidak ada demografi khusus dalam menentukan kelompok generasi yang
satu ini, namun pada awalnya penggolongan pada generasi ini terbentuk bagi mereka
yang lahir pada tahun 1990 dan juga pada awal 2000,dan seterusnya (Farizna: 2017).
Pada saat ini generasi millenial lebih memilih ponsel dibanding TV, sebab
generasi ini lahir di era kecanggihan teknologi, dan internet berperan besar dalam
keberlangsungan hidup mereka, maka televisi bukanlah prioritas generasi millenial untuk
mendapatkan informasi atau melihat iklan yang tidak ada pentingnya. Generasi millenial
lebih suka mendapatkan informasi dari ponselnya, dengan mencarinya ke Google atau
perbincangan pada forum-forum, yang diikuti generasi ini untuk selalu up-to-date dengan
keadaan sekitar. Jika dihadapkan pada sebuah pilihan, mayoritas generasi sekarang akan
lebih memilih ponsel daripada TV.
Winastiti (2016) mengutip penelitian dari Pew Research Center menyebutkan
bahwa karakteristik pemuda era millenial sebagai berikut:
a. Millennial lebih percaya User Generated Content (UGC) daripada informasi searah.
b. Millennial lebih memilih ponsel dibanding TV
c. Millennial wajib punya media sosial.
d. Millennial kurang suka membaca secara konvensional.
e. Millennial lebih tahu teknologi dibanding orangtua mereka.
f. Millennial cenderung tidak loyal namun bekerja efektif.
g. Millennial mulai banyak melakukan transaksi secara tidak tunai atau cashless.

E. Urgensi Metodologi Study Islam Interdisipliner Di Era Millenial

Islam merupakan agama yang rahmatal lil ‘alamiin. Ajaran- ajaran yang
terkandung di dalamnya menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Baik dari segi
moral, sosial, ekonomi, maupun politik. Oleh karenannya Islam mudah diterima oleh
masyarakat. Kehiudupan di dunia dalam Islam, diatur dalam hukum mua’malah (fiqih
mu’amalah). Sementara untuk menuju kehidupan akhirat, diatur dalam hukum ibadah
(fiqih ibadah).
Islam lahir kurang lebih sejak 1500 tahun yang lalu. Al-Qur’an sebagai hukum
tertinggi di dalam Islam mempunyai peranan penting untuk menjawab persoalanpersoalan manusia saat ini. Sementara redaksi Al-Qur’an tidak pernah berubah sejak
diturunkannya kepada Nabi Muhammad. Selain itu, permasalahan-permasalahan saat ini
tentunya berbeda dengan permasalahan yang ada pada zaman Rosulullah.
Karakteristik yang dibawa era millenial merupakan tantangan tersendiri bagi
umat Islam. Sebagai umat Islam tentunya tidak mungkin untuk menepis arus perubahan
yang begitu cepat. Mengkaji ulang sumber-sumber hukum Islam adalah salah satu cara
agar umat Islam mampu mengikuti perkembangan zaman. Lebih dari pada itu, metode
pengkajian-pengkajian teks-teks hukum juga perlu dikembangkan lebih luas. Sebab,
metode ataupun pendekatan ulama’ terdahulu atau pun ulama’ kontemporer dirasa belum
menjawab persoalan-persoalan umat saat ini.
Baidhawy (2011: 15-16) menunjukan kekeliruan-kekeliruan metodologis umat
Islam sebagai berikut:
a. Kesalahan pemahaman realitas dan bagaimana berhubungan dengannya disebabkan
mangabaikan sepenuhnya apa yang nyata dan apa yang merupakan ideal-ideal nyata
tanpa menerapkan apa yang nyata kepada yang ideal dalam kehidupan sehari-sehari.
b. Kesalahan memahami hubungan antara sebab dengan akibat, khususnya tentang
doktrin yang tergantung kepada Tuhan kemudian dimaknai dengan pengahapusan
peran sebab dalam penciptaanya dan akibatnya.
c. Kekeliruan dalam memahami pandangan komprehensif Islam tentang alam.
Oleh karenanya, pendekatan interdisiliner menjadi sangat penting dalam rangka
memecahkan kebuntuan-kebuntuan umat saat ini. Pendekatan Interdisipliner adalah

kajian dengan menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang (Perspektif).
Lebih lanjut penulis menjelaskan studi interdisipliner menghasilkan ahli hukum, ahli
ekonomi, ahli fisika, ahli teknik yang memiliki wawasan dasar Islam; termasuk juga
mampu menampilkan konsep-konsep yang berwawasan Islami (Muhadjir 1994: 182).
Dengan kata lain, interdisipliner merupakan kajian yang menggabungkan beberapa
bidang keilmuan.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) tidak mungkin bisa
ditepis lagi. Paradigma interdisipliner menawarkan pandangan dunia manusia beragama
dan ilmuan yang baru yang lebih terbuka mampu membuka dialog dan kerjasama,
transparan, dapat dipertanggungjawabkan kepada public dan berpandangan ke depan.
Hubungannya dengan berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair,
meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antara budaya pendukung keilmuan yang
bersumber pada teks-teks dan budaya pendukung keilmuan factual-historis-empiris,
yakni ilmu-ilmu sosial dan kealaman serta budaya pendukung keilmuan etis filosofis
masih tetap ada. Hanya saja, cara berfikir dan sikap ilmuan yang membidangi dan
menekuni ilmu-ilmu ini yang perlu berubah. Tegur dan saling menyapa antara ketiganya
dalam birokrasi pendidik, baik dalam level prodi, jurusan maupun fakultas, dan terlebih
lagi dalam diri para ilmuan, dosen, akademisi atau researchers, yang termanifestasikan
dalam keanekaragaman perspektif yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisa
persoalan, program penelitian, tatap muka perkuliahan, pengembangan kurikulum serta
evaluasi pembelajarannya menjadi sibghah dan core values yang harus dipegang teguh
dan dikembangkan terus-menerus oleh para pelaku transformasi (M.Amin Abdullah,
2010). Oleh karenanya, sebagai umat Islam, hendaknya juga tidak menutup diri dari
bidang-bidang keilmuan yang lain.
Kaitanya dengan pembahasan kali ini, misalnya produk hukum ulama’ terdahulu
dalam hal jual beli, mengsyaratkan bertemunya antara penjual dan pembeli. Akan tetapi,

di era millenial ini, banyak orang lebih suka bertransaksi secara online. Hal ini tentunya
menjadi problematika tersendiri bagi umat Islam. Oleh karena itu, perlu adanya
pengkajian dengan pendekatan sosio-historis. Yaitu, dalam memahami Al-Qur’an dan
sunah tidak hanya berdasarkan teks saja, akan tetapi sebab turunya ayat, serta kondisi
budaya masyarakat pada waktu itu juga perlu di kaji. Sehingga akan mendapatkan
pemahaman yang utuh dari maksut dan tujuan ayat tersebut.
Selain itu, menanggapi karakteristik generasi saat ini, yang cenderung lebih suka
menggunakan smartphone. Hal ini tentunya menimbulkan beberapa dampak, baik negatif
ataupun positif. Negatifnya adalah berkurangnya kepekaan sosial atau dalam istilahnya
adalah anti sosial. Sebab mereka sibuk dengan smartphon yang mereka miliki. Positifnya
adalah mereka lebih mudah mendapatkan informasi dari berbagai bidang. Maka dari itu,
hendaknya sebagai umat Islam harus lebih bijak dalam penggunaan teknologi. Lebih
lanjut penulis menjelaskan penggunaan teknologi haruslah didasarkan pada prinsip
efektivitas dan efisiensi. Selain itu, dalam hal pengkajian teks-teks keagamaan,
hendaknya umat Islam tidak menutup diri dari bidang keilmuan yang lain. hal ini
dimaksudkan dalam rangka untuk mendapat produk hukum yang sesuai dengan tuntutan
zaman saat ini.

F. Penutup
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam melakukan kajian
terhadap keilmuan, ada berbagai pendekatan keilmuan yang dapat digunakan untuk
menguak dan menemukan formulasi terhadap kajian secara mendalam dan spesifik.
Namun sesuai perkembangan waktu, kajian monodisiplin yang hanya membidik pada
satu frame of work. Sementara tuntutan era millenial dibutuhkan kajian yang dapat
membidik dari berbagai sudut sehingga akan mendapatkan pemahaman yang holistik dan
komprehensif.
Untuk mendapatkan hasil pemahaman tersebut dalam kajian keislaman
dibutuhkan tidak hanya satu pendekatan disiplin ilmu (monodisiplin). Penggunaan

pendekatan antropologis, sosiologis, filosofis, hukum dan sebagainya secara bersamasama (interdisipliner), akan dapat menguak fakta secara utuh tanpa ada potonganpotongan pemahaman. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa antara pendekatan
monodisiplin maupun interdisiplin tetap membawa karakteristik masing-masing sebagai
ciri dan kosekuensi pilihan bagi orang yang menggunakannya.
Demikian uraian yang bisa penulis sajikan, kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan untuk mendapatkan kajian yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Abdullah, Yatimin. 2006. Studi Islam Kontenporer. Jakarta : Amzah.
Abdul Rozak. 2008. Metodologi Studi Islam, Bandung : Pustaka Setia
Abdullah ,Muhammad Amin. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif,Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Abdullah, Muhammad Amin. 2000.

Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam

Masyarakat Multikultural dan Multireligius, dalam M. Amin Abdullah, dkk. (Ed.),
Antologi Studi Islam Teori dan Metodologi. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press

Ali ,Mukti. 1991. Metodologi Ilmu Agama Islam, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim
(Ed.). Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2011. Islamic Studies : Pendekatan dan Metode. Yogyakarta: Insan
Madani.
Farizna,

Aldilla.

2017.

Zaman

Generasi

Millenial

(Online),

(https://www.kompasiana.com/121199/59f9bccd5169955a6c2aba62/zamangenerasi-milenial, diakses 25 Desember 2017)
Mudzahar , Atho. 2007. Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Muhadjir, Noer, 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika.
Nata, Abuddin. 2005. Metodologi Studi Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Winastiti,

Agnes.

2016.

Genereasi

Millenial

dan

Karakteristiknya

(Online),

(https://student.cnnindonesia.com/edukasi/20160823145217-445-153268/generasimillenial-dan-karakteristiknya, diakses 25 Desember 2017)
Thahir, Lukman S.Studi Islam Interdisipliner, (Yogyakarta: Qirtas, 2004)