Korupsi dalam perspektif Psikologi Sosia
KORUPSI DALAM PANDANGAN PSIKOLOGI SOSIAL
(Makalah)
Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester (UTS) semester genap
Matakuliah Psikologi Sosial 1
Dosen Pengampu : Ikhwan Luthfi, M.Si
Disusun Oleh :
ANA MARIANA
NIM. 11140700000068
Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta
2015
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT. karena rahmat dan
hidayah-Nya lah, penulis telah menyelesaikan karya ilmiah berbentuk makalah ini.
Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas Ujian Tengah Semester (UTS)
semester genap matakuliah Psikologi Sosial 1 tahun ajaran 2014/2015, yang
diberikan oleh dosen yaitu, bapak Ikhwan Lutfi, M.Si.
Dalam kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah terlibat dan membantu proses penyusunan makalah ini.
Akhir kata, penulis memohon maaf bila terdapat kesalahan dan kekurangan
dalam berbagai penulisan di makalah ini. Penulis juga memohon kritik dan saran
yang membangun untuk kesempurnaan penulisan di waktu yang akan datang,
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, Mei 2015
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama
dalam media masa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya
tentang masalah korupsi ini. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan
dapat merusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu
sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya
pemerintahan
dan
pembangunan
pada
umumnya.
Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas,
oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping itu sangat
sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi
merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat
itu
sendiri.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang
sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor
yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan
elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status social yang
tinggi
dimata
masyarakat.
Dalam perspektif agama Islam korupsi dapat digolongkan sebagai ghulul yaitu tindakan
orang yang diberi amanah jabatan tapi mengambil keuntungan yang tidak seharusnya dari
jabatan tersebut. Seperti dalam hadits: dalam riwayat Buraidah, Rasulullah juga menegaskan
makna ghulul, beliau bersabda, “Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu
kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul
(korupsi).” (HR. Abu Daud). Serta dalam hadis riwayat Adi bin Amirah al-Kindi, Rasulullah Saw
bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu
dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (harta
korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.”
Di Indonesia banyak sekali kasus korupsi yang melibatkan para pejabat publik, yang
seharusnya mereka menjadi suri tauladan/ panutan bagi masyarakat. lihat saja di Koran ternama
di negeri ini, banyak sekali pemberitaan kasus korupsi. seakan tiada hari tanpa pemberitaan
kasus korupsi. Salah satu kasus yang cukup menghebohkan adalah Mantan Bendahara Partai
Demokrat yang menghebohkan indonesia dengan terlibatnya dia atas 35 kasus korupsi yang
merugikan negara sebesar 6 triliun rupiah.
3
Belum lagi kasus-kasus lain seperti kepala daerah yang tahun 2012 ini tercatat sekitar 137 kepala
daerah terbelit kasus korupsi. sungguh ironis. ada apa dengan para penguasa saat ini. Apakah
korupsi ini paksaan orang lain atau memang inisiatif dari dirinya sendiri.
Oleh karena banyaknya kasus korupsi yang diberitakan saya tertaruk untuk melihat pandangan
korupsi dalam perspektif Psikologi Sosial.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Bagaimana pandangan Psikologi sosial terhadap korupsi ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui bagaimana pandangan Psikologi Sosial terhadap korupsi.
4
BAB II
KAJIAN TEORI
Kasus korupsi yang mewabah di Negara Indonesia ini dapat kita kaji dan analisa dengan
beberapa pendekatan teori psikologi berikut :
1. Pendekatan teori biologis
2. Pendekatan teori belajar
3. Pendekatan teori insentif
4. Pendekatan teori kognitif
Walaupun tidak bisa menggambarkan secara sempurna hasil analisa mengenai kasus korupsi ini,
paling tidak sedikit mendekati agar kita bisa melakukan tindak pencegahan atas kasus korupsi
ini.
2.1. Pendekatan Biologis
Pendekatan biologis menitikberatkan pada perilaku sosial manusia berasal dari sebabsebab biologis. Secara umum teori ini mengasumsikan bahwa segala perilaku sosial manusia
sangat erat berhubungan dengan penyebab-penyebab yang tidak dipelajari atau bersumber dari
genetis. Konrad Lorenz, seorang ethologist yang mempelajari fenomena sosial hewan. Dia
beranggapan bahwa perilaku agresif merupakan manifestasi dari insting (instinct), dorongan
agresif bawaan sejak lahir yang menjadi kebutuhan untuk melawan demi menjaga diri. William
McDougall (dalam Feldman,1985:10) juga telah mendasarkan konsep genetik dalam
mempelajari perilaku sosial. Dia meyakini bahwa banyak sekali perilaku manusia yang dapat
dijelaskan oleh insting, yakni perilaku langsung yang tujuannya tidak dipelajari terlebih dahulu.
Ia mencontohkan seorang ibu yang bersikap protektif terhadap anaknya, McDougall menjelaskan
perilaku tersebut dengan sebutan “insting orang tua”(parental instinct). Begitu juga dengan
orang-orang yang menyesuaikan diri dengan orang lain karena adanya sebuah “insting
berkumpul” (herd instinct). Pada tahap berikutnya pendekatan genetis menjelma sebagai
pendekatan sosiobiologis dengan tokohnya Edmund Wilson (Bucaille, 1992:57). Sosiobiologi
beranggapan bahwa melalui proses seleksi alam, perilaku sosial terus berkembang yang
membuat spesies manusia terus bertahan hidup (survival). Perilaku adaptif, misalnya, tumbuh
dan berkembang untuk kelangsungan gen-gen. Perilaku yang dipertahankan atau dikembangkan
manusia dalam evolusi adalah yang dapat meneruskan gen-gen, bukan survival individual.
(Sarlito W.S, 2002:65). Misalnya, anak yang terjebak kebakaran, maka ayah dengan sekuat
5
tenaga menolong anak. Perilaku ayah tersebut bukan hanya sekedar mempertahankan nilai-nilai
sosial, melainkan lebih dari itu dan menjadi dasar sosiobiologis, karena ayah mempertahankan
kelangsungan keturunannya.
Fenomena korupsi yang terjadi di berbagai daerah di Negara kita ini jika kita kaji
berdasarakan pendekatan biologis, memang pada dasarnya manusia merupakan mahluk yang
tidak ada puasnya dengan masalah yang menyangkut masalah kebutuhan biologis dan itu
merupakan suatu sifat yang melekat pada diri manusia atau sifat bawaan yang ada sejak lahir
dengan berbagai karakterisrik, namun manusia mempunyai pilihan untuk menentukan
perilakunya karna perbedaan perilaku ini yang membedakan karakteristik seseorang antara satu
dengan
yang
lain.
Fenomena korupsi yang terjadi diberbagai daerah di Negara kita ini telah melampaui batas
ketidakwajaran. Jika kita kaji masalah ini berdasarkan pendekatan biologis memang pada
dasarnya manusia merupakan makhluk yang tidak mempunyai rasa puas akan apa yang telah
mereka dapat selama ini. Manusia lahir dengan berbagai karakteristik yang membedakan dengan
yang lain dan berperan menentukan perilakunya.
Karakteristik biologis dalam kontek ini adalah :
a. Naluri (karakteristik bawaan)
Manusia memiliki naluri untuk selalu memenuhi kebutuhan dan tidak pernah puas dengan apa
yang sudah dimiliki.
b. Faktor Genetika (karakteristik fisik yang berkembang sejak lahir)
Secara biologis, perbedaan genetika menimbulkan perbedaan perilaku. Misalnya, sebagian dari
kita ada perempuan (bisa melahirkan) dan ada pria (tak dapat melahirkan), ada yang tumbuh
lebih besar dan kuat, ada pula yang kurus dan kecil.
c. pertumbuhan fisik sementara .
Yang di maksud disini adalah pengaruh produksi hormonal atau perangsang otak yang di
pengaruhi oleh lingkungan dan kebutuhan biologisnya.
Karakteristik diatas bisa jadi menjadi faktor utama sehingga mereka melakukan perbuatan
korupsi, perbuatan korupsi yang mereka lakukan ini mungkin suatu dorongan yang timbul dari
dalam diri seseorang tersebut sehingga melakukan perbuatan korupsi untuk memenuhi kebutuhan
biologisnya.
6
Dengan adanya faktor yang sedemikian rupa, masih ada lagi factor yang mempengaruhi
orang tersebut melalukan tindakan korupsi, yakni dengan adanya kesempatan untuk dapat
melakukan tindakan korupsi. Dengan adanya kesempatan yang seperti ini, dan para koruptor
beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan tidak akan diketahui oleh pihak lain. Faktor
kesempatan ini juga dipengaruhi oleh genetis. ketika orang mendapat kesempatan untuk berbuat
jelek tapi factor genetis maupun nalurinya tidak terbiasa dengan hal tersebut, maka orang itu
tidak akan melakukan tindakan korupsi. berbeda dengan orang yang tidak melatih nalurinya
untuk menjaga dari hal-hal yang jelek. atau malah akan jauh berbeda dengan orang-orang yang
punya genetis egoisme untuk berusaha memenuhi kebutuhan pribadinya mengalahkan rasa
kasihannya
kepada
orang
lain.
2.2. Pendekatan Belajar
Teori belajar menjelaskan fenomena perilaku sosial melalui peran-peran atau aturan-aturan
situasional dan lingkungan sebagai penyebab tingkah laku. Dalam teori ini terdapat tiga
pendekatan; proses belajar operant, proses belajar sosial, dan kerja sama dengan individu yang
lebih mahir (baca Sarwono, 2002:68). Proses belajar melalui pendekatan operant dalam
mengamati perilaku manusia didasari atas stimulus-respons, reinforcement, dan reward &
punishment. Beberapa nama seperti Ivan Pavlov, J.B. Watson, dan B.F. Skinner merupakan tokoh
pendekatan ini. Sedangkan proses belajar sosial dipelopori oleh Albert Bandura mengakui
adanya faktor internal (kognitif) sebagai penyebab tingkah laku disamping juga faktor-faktor
eksternal (lingkungan). Pendapat ini menambah faktor internal atau kesadaran dalam
mempelajari tingkah laku manusia. Perilaku baru di peroleh karena seseorang melakukan suatu
modelling pada pengamatannya terhadap perilaku yang terjadi. Pendekatan ketiga dalam teori
belajar adalah kerja sama dengan individu yang dianggap lebih mahir. Lev Vygotsky berpendapat
bahwa proses belajar sosial juga dapat terjadi dengan bekerja sama dengan orang yang lebih
mahir (orang tua, kakak, guru, dan sebagainya). Proses belajar yang terarah ini lebih cepat karena
anak dapat menghindari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu (Sarlito WS, 2002:73).
Kali ini kita menganalisis permasalahan tindak korupsi ditinjau dari pendekatan belajar, yang
seakan-akan fenomena ini terjadi hanyalah dianggap sebagai masalh biasa yang sering terjadi
dikalangan hidup sesorang terlebih para petinggi-petinggi Negara. Dalam teori belajar dikatakan
bahwa perilaku banyak ditentukan oleh apa yang telah dipelajarinya sebelumnya.
Ada 3 mekanisme dalam belajar, yaitu :
a. Asosiasi; atau yang lebih dikenal dengan classical conditioning. Pada anjing, Pavlov
mengasosiasikan bel dengan daging.
7
b. Reinforcement; Orang belajar menampilkan perilaku karena disertai sesuatu yang
menyenangkan, (demikian juga sebaliknya)
c. Imitasi; Sering kali seseorang mempelajari sikap dan perilaku dengan mengimitasi sikap dan
perilaku orang yang menjadi model.
Pendekatan belajar memiliki tiga karakteristik yaitu :
a. Sebab-sebab perilaku terletak pada pengalaman belajar individu dimasa lampau.
b. Menempatkan sumber perilaku pada lingkungan eksternal, bukan pada pengartian subyektif
individu terhadap apa yang terjadi.
c. Pendekatan belajar, untuk menjelaskan perilaku yang nyata, bukan keadaan
subyektif/psikologis tertentu.
Pada kasus kali ini para koruptor telah mempelajari perilaku sebagai kebiasaan. Saat
mereka dihadapkan pada situasi yang sama, maka merekan akan melakukan halsama seperti apa
yang
telah
mereka
pelajari
sebelumnya.
Dalam kasus korupsi ini dapat dikatan bahwa para petinggi-petinggi Negara telah
melakukan tindak korupsi dikarenakan sebelumnya mereka mengalami atau bahkan melakuakan
perbuatan ini. Dengan adanya hal yang demikian maka mereka mengimitasi perbuatan korupsi
tersebut.
2.3. Pendekatan Insentif
Berdasarkan pandangan teori insentif, para koruptor melakuakn tindakan yang seperti itu
berdasarkan pada keuntungan dan kerugian yang akan diterima setelah mereka melakukan
tindakan tersebut usai. Pada kasus ini para koruptor mempunyai beberapa pilihan yakni mereka
dapat melarikan diri atau menyerah pada KPK. Jika mereka menyerah maka akan ditangkapdan
dipenjarakan (insentif negatif). Dengan melarikan diri maka merekan akan bersenang-senang
dengan
hasil
uang
korupsi
yang
mereka
dapat
(insentif
positif).
Dalam kasus korupsi ini, koruptor dan KPK dapat dianalisis dalam bentuk permusuhan
karena kepentingan mereka yang saling bertetangan. Para koruptor beruntung bila dapat lolos
dari KPK, begitupun sebaliknya jika KPK dapat menangkap para koruptor tersebut maka ia
beruntung.
8
Para pelaku korupsi dalam melakukan tindakan yang seperti ini tentunya mereka sudah
memikirkan terlebih dahulu secara rasional dengan memperhitungkan keuntungan dan kerugian
dari tindakan yang di lakukannya dan secara rasional akan memilih alternatif yang terbaik. Para
pelaku korupsi memilih alternative yang di dasarkan pada prinsip nilai dari perbuatan yang
mereka lakukan yang akan timbul dan dugaan keputusan dari tindakan mereka yang akan timbul.
Dalam kasus ini dapat di analisis karna adanya kesempatan dan niat yang ada dalam diri pelaku
korupsi yang bertentangan dengan nilai-nilai dan peraturan hukum yang ada.
2.4. Teori Kognitif
Teori yang didasarkan pada pendekatan kognitif sebagai pijakannya adalah teori Gestalt.
Sekalipun teori gestalt sering kali digunakan dalam area atau penelitian mengenai persepsi,
namun dalam aplikasinya teori ini berimplikasi pada psikologi sosial. Alasannya adalah para
psikolog gestalt telah mengembangkan teknik eksperimen dalam mempelajari fenomena dan
studi mengenai struktur kelompok, komunikasi interpersonal, dan perubahan sikap adalah yang
memungkinkan untuk dieksperimenkan oleh pendekatan gestalt. (Feldman,1985:14-15).
Wiggins, Wiggins, & Zanden (1994:7-9) membagi teori psikologi sosial berbasis kognitif
menjadi empat pendekatan yaitu Teori Lapangannya Kurt Lewin, Teori Atribusi dan Sikap
Konsistensinya Fritz Heider, Teori Belajar Sosialnya Albert Bandura, dan Teori Kognitif
Kontemporer. Kurt Lewin dengan teori lapangannya beranggapan bahwa perilaku (behavior)
adalah fungsi dari keadaan diri pribadi (personality) dan lingkungan (environment) (Sarwono,
2002:81). Sedangkan menurut Fritz Heider beranggapan bahwa seseorang cenderung mengatur
sikapnya untuk tidak mengalami konflik. Ia juga mengemukakan teori tentang hubungan antara
dua orang. Hubungan antara orang pertama (P) dengan orang kedua (O) dapat dipengaruhi oleh
faktor lain (X). Sementara Albert Bandura memodifikasi teori belajar sosial dengan memasukkan
intervensi kesadaran (kognitif) seseorang dalam perilakunya. Bahwa perilaku kita dipengaruhi
oleh reinforcement, proses imitasi, dan proses kognisi. Agak melangkah kedepan pendekatan
kognitif kontemporer memandang manusia sebagai agen aktif dalam menerima, menggunakan,
memanipulasi, dan mentransformasi informasi. Fokus utama pendekatan kognitif kontemporer
adalah bagaimana kita secara mental menstruktur dan memproses informasi yang datang dari
lingkungan. Kita tidak dapat memahami perilaku sosial, jika tanpa mendapatkan informasi dan
memprosesnya
dalam
kognisi
(Wiggins,
Wiggins,
&
Zanden,
1994:9-10)
Pada dasarnya perilaku seseorang sangat tergantung pada persepsinya terhadap situasi sosial, dan
hukum persepsi sosial mirip dengan hukum persepsi obyek. Orang mengorganisasikan persepsi,
pikiran dan keyakinannya tentang situasi sosial kedalam bentuk yang sederhana dan bermakna
dan pengorganisasian itu mepengaruhi perilaku sesorang dalam situasi sosial.
Secara kognitif, orang cenderung mengelompokkan obyek atas dasar prinsip kesamaan,
kedekatan, dan pengalaman yang cenderung menginterpretasi aspek yang tak jelas pada diri
orang. Interpretasi ini merupakan implikasi dari caranya mengamati orang lain dan situasi sosial.
9
Secara umum, prinsip-prinsip dasar kognitif bisa di kategorikan menjadi beberapa bagian seperti
berikut:
a. Secara kognitif, orang cenderung mengkelompokkan obyek atas dasar prinsip kesamaan,
kedekatan, dan pengalaman.
b. Secara kognitif, orang cenderung memperhatikan (tertarik) pada sesuatu yang mencolok
(figure) berwarna-warni, bergerak-gerak, bersuara, unik & antik.
c. Secara kognitif orang cenderung menginter- pretasi aspek yang tak jelas pada diri orang,
(tujuan, motif, sikap, ciri kepribadian, perasaan, dll). Interpretasi ini merupakan implikasi dari
caranya mengamati orang lain dan situasi sosial.
Proses interpretasi dan organisasi kognitif sangatlah penting (dalam kontek ini), karena
merupakan implikasi dari cara seorang mengamati orang lain dan situasi sosialnya.
Kembali pada kasus korupsi yang telah dikaji, para pelaku korupsi tidak mengamati KPK atau
hukum dan perangkatnya yang berlaku di Indonesia sebagai bagian-bagian yang terpisah,
melainkan secara keseluruhan para koruptor melihatnya sebagai KPK secara umum yang
tugasnya, sifatnya, perilakunya, dll seperti yang telah ia ketahui sebelumnya. Sehingga seperti
apa yang telah mereka persepsi, KPK merupakan ancaman baginya. Atas dasar interpretasi dan
organisasi kognitif tersebut, para pelaku korupsi berekaksi untuk dapat melarikan diri dan dapat
bersenang-senang dengan uang hasil korupsinya.
Teori kognitif menekankan pada dua hal yaitu:
1. Memusatkan perhatian pada interpretasi (organisasi perseptual) mengenai keadaan saat ini
bukan keadaan masa lalu. (bagaimana korupsi itu dilakukan karena kebutuhannya sekarang
untuk memperkaya dirinya tanpa melihat keadaan masa lalunya. Sehingga bisa jadi dulu yang dia
adalah orang yang baik namun karena dalam kesempatan yang dia dapatkan dia dapat melakukan
korupsi karena posisi dia saat ini yang menguntungkan)
2. Sebab-sebab perilaku terletak pada persepsi (interpretasi) individu terhadap situasi, bukan
pada realitas situasinya sendiri. (bagaimana seorang yang korupsi menginterpretasikan situasi
(waktu itu) merupakan hal yang penting, dari pada bagaimana sebenarnya situasi itu. Sehingga
waktu yang dipikirkan itu tidak akan pernah dilewatkan untuk melakukan korupsi.
10
DAFTAR PUSTAKA
Gerungan, W A. 2000. Psikologi Sosial. Bandung : Refika Aditama
11
Sarwono, S.W. 1999. Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai
Pustaka.
Walgito, B. 1999. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: CV Andi. Offset.
BAB III
ANALISA KASUS
3.1 Analisa Kasus
Dari abstraksi fenomena dan penjabaran teori yang ada bisa di analisa beberapa hal tentang
12
kasus korupsi melalui perspektif psikologi ini. melalui pendekatan teori biologis bisa di lihat
bahwa naluri (karakter bawaan) manusia siapapun meskipun bukan pejabat dia pasti akan
cenderung memperkaya dirinya untuk memenuhi kebutuhannya dan akan selalu menambah dan
menumpuk
kekayaannya.
Dari sini bisa sedikit memberi gambaran bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan
yang bisa dilakukan oleh siapapun karena naluri bawaannya yang tidak pernah puas dengan apa
yang dimiliki dan cenderung memperkaya diri sendiri. Faktor genetik juga punya peranan
penting, karena naluri memperkaya diri antar orang yang satu dengan yang lain akan beda.
Demikian pula sebagian orang mungkin karena alasan-alasan genetik, lebih mempunyai nilai
egois untuk memperkaya diri sendiri dari pada yang lain bahkan yang dilakukan itu bisa
membuat orang sengsara seperti halnya korupsi. Dalam kasus diatas, Korupsi bisa saja para
pejabat memiliki genetic yang lebih dominan nilai egoisya sehingga selalu mementingkan
kepentingan
pribadi
dalam
memenuhi
kebutuhannya.
Melalui pendekatan teori belajar, hasil analisa yang bisa diperoleh adalah bahwa para
koruptor ini ada kemungkinan mereka beranggapan bahwa tindakan mereka sah dilakukan
karena orang-orang sebelum mereka juga melakukan hal yang sama dan tidak mendapat
hukuman
yang
terlalu
berat
ketika
tertangkap.
Jika melalui pendekatan teori insentif, ada alasan lain kenapa koruptor melakukan tindak
korupsi. Perilaku (seorang) ditentukan oleh insentif yang tersedia. Orang bertindak berdasarkan
pada keuntungan & kerugian yang akan diterima setelah perilakunya selesai, Pada kasus korupsi
oleh beberapa para pejabat, para pejabat mempunyai beberapa pilihan yang bisa diuraikan
sebagai
berikut:
a. Jika korupsi tidak terbongkar maka pelaku akan menjadi orang yang kaya dan bisa melakukan
apapun
dengan
uang
yang
dimilikinya
(insentif
positif)
b. Jika dia tidak korupsi maka kesempatan untuk menjadi kaya dengan menggunakan jabatannya
akan
hilang
(insentif
positif)
c. Jika korupsi dan tertangkap maka akan menjadikan dia dipenjara dan dipenjara juga masih
bisa dibeli dengan uang sehingga dia masih bisa bebas dari penjara bahkan uang hasil korupsi
masih
lebih
dari
cukup
untuk
suap
dipenjara
(insentif
positif)
d. Jika korupsi maka nilai moral pribadi akan turun dan terhinakan (insentif negative)
Dari uraian insentif yang sedikit ini dapat kita lihat bahwa korupsi mempunyai banyak
insentif positif yang didapat bagi seorang dan insentif negatif yang sedikit. mungkin dari sinilah
banyak para pejabat yang melakukan korupsi. Namun jika pejabat mempunyai kepribadian yang
13
kuat dalam nilai moralnya maka insentif positif yang bernilai moral negative itu tidak akan
menjadi insentif yang positif tetapi justru menjadi insentif yang negatif. sehingga pejabat yang
mempunyai kepribadian dan bermoral tinggi tidak akan pernah melakukan korupsi.
Dari pendekatan teori kognitif didapat hasil analisa bahwa pejabat yang korupsi saat ini
tidak mempunyai rasa bersalah sama sekali sehingga menimbulkan saat ini bahwa korupsi
merupakan hal yang biasa dalam persepsi masyarakat. Sehingga saat ini korupsi merupakan hal
yang wajar dilakukan karena situasi sosial yang tercipta saat ini menjadikan korupsi adalah hal
yang
biasa
terjadi
pada
para
pejabat.
3.2 Saran/Solusi
Korupsi merupakan suatu fenomena, dan fonomena yang melekat ini sedang menikmati
hasil karyanya di bumi nusantara tercinta ini. Kebiasaan korupsi terutama di institusi pemerintah
nampaknya benar-benar terstruktur dan bahkan kebiasaan ini seakan terwariskan dari satu
generasi ke generasi yang lainnya. Untuk itu perlu diadakan tindak pencegahan, diantaranya
yang
di
usulkan
penulis
adalah
sebagai
berikut
:
1. Pendidikan dini kepada masyarakat tentang bagaimana menjadi pribadi yang selalu menjauhi
cara-cara kotor dalam hidupnya.
2. Pendidikan kepada masyarakat agar cerdas dalam melihat kebijakan dan regulasi-regulasi
yang ada di wilayahnya.
3. Perkuat sistem pengawasan intern pemerintah (SPIP), agar para pemegang kebijakan merasa
terawasi.
4. Bagi yang sudah menjadi terdakwa harus diberikan hukuman maksimal agar muncul efek jera.
misal terpidana kasus korupsi mendapat hukuman penjara seumur hidup dan penyitaan atas
seluruh harta bendanya sehingga dia dan keluarganya mengalami pemiskinan. Hukuman seperti
ini akan benar-benar membuat takut para pemegang kebijakan untuk melakukan korupsi.
5. Setelah selesai masa hukumannnya, terpidana kasus korupsi tidak boleh mencalonkan diri
menjadi pemegang kekuasaan agar tidak punya kesempatan untuk mengulang tindakannya.
Karena regulasi yang ada saat ini masih mengijinkan mantan terpidan kasus korupsi
mencalonkan diri menjadi penguasa.
6. Masyarakat harus mulai cerdas atas fenomena money politik. Pemberian uang kepada
masyarakat hanya akan berbuntut korupsi untuk mengembalikan modal kampanye mereka.
14
15
(Makalah)
Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester (UTS) semester genap
Matakuliah Psikologi Sosial 1
Dosen Pengampu : Ikhwan Luthfi, M.Si
Disusun Oleh :
ANA MARIANA
NIM. 11140700000068
Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta
2015
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT. karena rahmat dan
hidayah-Nya lah, penulis telah menyelesaikan karya ilmiah berbentuk makalah ini.
Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas Ujian Tengah Semester (UTS)
semester genap matakuliah Psikologi Sosial 1 tahun ajaran 2014/2015, yang
diberikan oleh dosen yaitu, bapak Ikhwan Lutfi, M.Si.
Dalam kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah terlibat dan membantu proses penyusunan makalah ini.
Akhir kata, penulis memohon maaf bila terdapat kesalahan dan kekurangan
dalam berbagai penulisan di makalah ini. Penulis juga memohon kritik dan saran
yang membangun untuk kesempurnaan penulisan di waktu yang akan datang,
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, Mei 2015
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama
dalam media masa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya
tentang masalah korupsi ini. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan
dapat merusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu
sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya
pemerintahan
dan
pembangunan
pada
umumnya.
Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas,
oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping itu sangat
sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi
merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat
itu
sendiri.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang
sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor
yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan
elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status social yang
tinggi
dimata
masyarakat.
Dalam perspektif agama Islam korupsi dapat digolongkan sebagai ghulul yaitu tindakan
orang yang diberi amanah jabatan tapi mengambil keuntungan yang tidak seharusnya dari
jabatan tersebut. Seperti dalam hadits: dalam riwayat Buraidah, Rasulullah juga menegaskan
makna ghulul, beliau bersabda, “Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu
kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul
(korupsi).” (HR. Abu Daud). Serta dalam hadis riwayat Adi bin Amirah al-Kindi, Rasulullah Saw
bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu
dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (harta
korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.”
Di Indonesia banyak sekali kasus korupsi yang melibatkan para pejabat publik, yang
seharusnya mereka menjadi suri tauladan/ panutan bagi masyarakat. lihat saja di Koran ternama
di negeri ini, banyak sekali pemberitaan kasus korupsi. seakan tiada hari tanpa pemberitaan
kasus korupsi. Salah satu kasus yang cukup menghebohkan adalah Mantan Bendahara Partai
Demokrat yang menghebohkan indonesia dengan terlibatnya dia atas 35 kasus korupsi yang
merugikan negara sebesar 6 triliun rupiah.
3
Belum lagi kasus-kasus lain seperti kepala daerah yang tahun 2012 ini tercatat sekitar 137 kepala
daerah terbelit kasus korupsi. sungguh ironis. ada apa dengan para penguasa saat ini. Apakah
korupsi ini paksaan orang lain atau memang inisiatif dari dirinya sendiri.
Oleh karena banyaknya kasus korupsi yang diberitakan saya tertaruk untuk melihat pandangan
korupsi dalam perspektif Psikologi Sosial.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Bagaimana pandangan Psikologi sosial terhadap korupsi ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui bagaimana pandangan Psikologi Sosial terhadap korupsi.
4
BAB II
KAJIAN TEORI
Kasus korupsi yang mewabah di Negara Indonesia ini dapat kita kaji dan analisa dengan
beberapa pendekatan teori psikologi berikut :
1. Pendekatan teori biologis
2. Pendekatan teori belajar
3. Pendekatan teori insentif
4. Pendekatan teori kognitif
Walaupun tidak bisa menggambarkan secara sempurna hasil analisa mengenai kasus korupsi ini,
paling tidak sedikit mendekati agar kita bisa melakukan tindak pencegahan atas kasus korupsi
ini.
2.1. Pendekatan Biologis
Pendekatan biologis menitikberatkan pada perilaku sosial manusia berasal dari sebabsebab biologis. Secara umum teori ini mengasumsikan bahwa segala perilaku sosial manusia
sangat erat berhubungan dengan penyebab-penyebab yang tidak dipelajari atau bersumber dari
genetis. Konrad Lorenz, seorang ethologist yang mempelajari fenomena sosial hewan. Dia
beranggapan bahwa perilaku agresif merupakan manifestasi dari insting (instinct), dorongan
agresif bawaan sejak lahir yang menjadi kebutuhan untuk melawan demi menjaga diri. William
McDougall (dalam Feldman,1985:10) juga telah mendasarkan konsep genetik dalam
mempelajari perilaku sosial. Dia meyakini bahwa banyak sekali perilaku manusia yang dapat
dijelaskan oleh insting, yakni perilaku langsung yang tujuannya tidak dipelajari terlebih dahulu.
Ia mencontohkan seorang ibu yang bersikap protektif terhadap anaknya, McDougall menjelaskan
perilaku tersebut dengan sebutan “insting orang tua”(parental instinct). Begitu juga dengan
orang-orang yang menyesuaikan diri dengan orang lain karena adanya sebuah “insting
berkumpul” (herd instinct). Pada tahap berikutnya pendekatan genetis menjelma sebagai
pendekatan sosiobiologis dengan tokohnya Edmund Wilson (Bucaille, 1992:57). Sosiobiologi
beranggapan bahwa melalui proses seleksi alam, perilaku sosial terus berkembang yang
membuat spesies manusia terus bertahan hidup (survival). Perilaku adaptif, misalnya, tumbuh
dan berkembang untuk kelangsungan gen-gen. Perilaku yang dipertahankan atau dikembangkan
manusia dalam evolusi adalah yang dapat meneruskan gen-gen, bukan survival individual.
(Sarlito W.S, 2002:65). Misalnya, anak yang terjebak kebakaran, maka ayah dengan sekuat
5
tenaga menolong anak. Perilaku ayah tersebut bukan hanya sekedar mempertahankan nilai-nilai
sosial, melainkan lebih dari itu dan menjadi dasar sosiobiologis, karena ayah mempertahankan
kelangsungan keturunannya.
Fenomena korupsi yang terjadi di berbagai daerah di Negara kita ini jika kita kaji
berdasarakan pendekatan biologis, memang pada dasarnya manusia merupakan mahluk yang
tidak ada puasnya dengan masalah yang menyangkut masalah kebutuhan biologis dan itu
merupakan suatu sifat yang melekat pada diri manusia atau sifat bawaan yang ada sejak lahir
dengan berbagai karakterisrik, namun manusia mempunyai pilihan untuk menentukan
perilakunya karna perbedaan perilaku ini yang membedakan karakteristik seseorang antara satu
dengan
yang
lain.
Fenomena korupsi yang terjadi diberbagai daerah di Negara kita ini telah melampaui batas
ketidakwajaran. Jika kita kaji masalah ini berdasarkan pendekatan biologis memang pada
dasarnya manusia merupakan makhluk yang tidak mempunyai rasa puas akan apa yang telah
mereka dapat selama ini. Manusia lahir dengan berbagai karakteristik yang membedakan dengan
yang lain dan berperan menentukan perilakunya.
Karakteristik biologis dalam kontek ini adalah :
a. Naluri (karakteristik bawaan)
Manusia memiliki naluri untuk selalu memenuhi kebutuhan dan tidak pernah puas dengan apa
yang sudah dimiliki.
b. Faktor Genetika (karakteristik fisik yang berkembang sejak lahir)
Secara biologis, perbedaan genetika menimbulkan perbedaan perilaku. Misalnya, sebagian dari
kita ada perempuan (bisa melahirkan) dan ada pria (tak dapat melahirkan), ada yang tumbuh
lebih besar dan kuat, ada pula yang kurus dan kecil.
c. pertumbuhan fisik sementara .
Yang di maksud disini adalah pengaruh produksi hormonal atau perangsang otak yang di
pengaruhi oleh lingkungan dan kebutuhan biologisnya.
Karakteristik diatas bisa jadi menjadi faktor utama sehingga mereka melakukan perbuatan
korupsi, perbuatan korupsi yang mereka lakukan ini mungkin suatu dorongan yang timbul dari
dalam diri seseorang tersebut sehingga melakukan perbuatan korupsi untuk memenuhi kebutuhan
biologisnya.
6
Dengan adanya faktor yang sedemikian rupa, masih ada lagi factor yang mempengaruhi
orang tersebut melalukan tindakan korupsi, yakni dengan adanya kesempatan untuk dapat
melakukan tindakan korupsi. Dengan adanya kesempatan yang seperti ini, dan para koruptor
beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan tidak akan diketahui oleh pihak lain. Faktor
kesempatan ini juga dipengaruhi oleh genetis. ketika orang mendapat kesempatan untuk berbuat
jelek tapi factor genetis maupun nalurinya tidak terbiasa dengan hal tersebut, maka orang itu
tidak akan melakukan tindakan korupsi. berbeda dengan orang yang tidak melatih nalurinya
untuk menjaga dari hal-hal yang jelek. atau malah akan jauh berbeda dengan orang-orang yang
punya genetis egoisme untuk berusaha memenuhi kebutuhan pribadinya mengalahkan rasa
kasihannya
kepada
orang
lain.
2.2. Pendekatan Belajar
Teori belajar menjelaskan fenomena perilaku sosial melalui peran-peran atau aturan-aturan
situasional dan lingkungan sebagai penyebab tingkah laku. Dalam teori ini terdapat tiga
pendekatan; proses belajar operant, proses belajar sosial, dan kerja sama dengan individu yang
lebih mahir (baca Sarwono, 2002:68). Proses belajar melalui pendekatan operant dalam
mengamati perilaku manusia didasari atas stimulus-respons, reinforcement, dan reward &
punishment. Beberapa nama seperti Ivan Pavlov, J.B. Watson, dan B.F. Skinner merupakan tokoh
pendekatan ini. Sedangkan proses belajar sosial dipelopori oleh Albert Bandura mengakui
adanya faktor internal (kognitif) sebagai penyebab tingkah laku disamping juga faktor-faktor
eksternal (lingkungan). Pendapat ini menambah faktor internal atau kesadaran dalam
mempelajari tingkah laku manusia. Perilaku baru di peroleh karena seseorang melakukan suatu
modelling pada pengamatannya terhadap perilaku yang terjadi. Pendekatan ketiga dalam teori
belajar adalah kerja sama dengan individu yang dianggap lebih mahir. Lev Vygotsky berpendapat
bahwa proses belajar sosial juga dapat terjadi dengan bekerja sama dengan orang yang lebih
mahir (orang tua, kakak, guru, dan sebagainya). Proses belajar yang terarah ini lebih cepat karena
anak dapat menghindari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu (Sarlito WS, 2002:73).
Kali ini kita menganalisis permasalahan tindak korupsi ditinjau dari pendekatan belajar, yang
seakan-akan fenomena ini terjadi hanyalah dianggap sebagai masalh biasa yang sering terjadi
dikalangan hidup sesorang terlebih para petinggi-petinggi Negara. Dalam teori belajar dikatakan
bahwa perilaku banyak ditentukan oleh apa yang telah dipelajarinya sebelumnya.
Ada 3 mekanisme dalam belajar, yaitu :
a. Asosiasi; atau yang lebih dikenal dengan classical conditioning. Pada anjing, Pavlov
mengasosiasikan bel dengan daging.
7
b. Reinforcement; Orang belajar menampilkan perilaku karena disertai sesuatu yang
menyenangkan, (demikian juga sebaliknya)
c. Imitasi; Sering kali seseorang mempelajari sikap dan perilaku dengan mengimitasi sikap dan
perilaku orang yang menjadi model.
Pendekatan belajar memiliki tiga karakteristik yaitu :
a. Sebab-sebab perilaku terletak pada pengalaman belajar individu dimasa lampau.
b. Menempatkan sumber perilaku pada lingkungan eksternal, bukan pada pengartian subyektif
individu terhadap apa yang terjadi.
c. Pendekatan belajar, untuk menjelaskan perilaku yang nyata, bukan keadaan
subyektif/psikologis tertentu.
Pada kasus kali ini para koruptor telah mempelajari perilaku sebagai kebiasaan. Saat
mereka dihadapkan pada situasi yang sama, maka merekan akan melakukan halsama seperti apa
yang
telah
mereka
pelajari
sebelumnya.
Dalam kasus korupsi ini dapat dikatan bahwa para petinggi-petinggi Negara telah
melakukan tindak korupsi dikarenakan sebelumnya mereka mengalami atau bahkan melakuakan
perbuatan ini. Dengan adanya hal yang demikian maka mereka mengimitasi perbuatan korupsi
tersebut.
2.3. Pendekatan Insentif
Berdasarkan pandangan teori insentif, para koruptor melakuakn tindakan yang seperti itu
berdasarkan pada keuntungan dan kerugian yang akan diterima setelah mereka melakukan
tindakan tersebut usai. Pada kasus ini para koruptor mempunyai beberapa pilihan yakni mereka
dapat melarikan diri atau menyerah pada KPK. Jika mereka menyerah maka akan ditangkapdan
dipenjarakan (insentif negatif). Dengan melarikan diri maka merekan akan bersenang-senang
dengan
hasil
uang
korupsi
yang
mereka
dapat
(insentif
positif).
Dalam kasus korupsi ini, koruptor dan KPK dapat dianalisis dalam bentuk permusuhan
karena kepentingan mereka yang saling bertetangan. Para koruptor beruntung bila dapat lolos
dari KPK, begitupun sebaliknya jika KPK dapat menangkap para koruptor tersebut maka ia
beruntung.
8
Para pelaku korupsi dalam melakukan tindakan yang seperti ini tentunya mereka sudah
memikirkan terlebih dahulu secara rasional dengan memperhitungkan keuntungan dan kerugian
dari tindakan yang di lakukannya dan secara rasional akan memilih alternatif yang terbaik. Para
pelaku korupsi memilih alternative yang di dasarkan pada prinsip nilai dari perbuatan yang
mereka lakukan yang akan timbul dan dugaan keputusan dari tindakan mereka yang akan timbul.
Dalam kasus ini dapat di analisis karna adanya kesempatan dan niat yang ada dalam diri pelaku
korupsi yang bertentangan dengan nilai-nilai dan peraturan hukum yang ada.
2.4. Teori Kognitif
Teori yang didasarkan pada pendekatan kognitif sebagai pijakannya adalah teori Gestalt.
Sekalipun teori gestalt sering kali digunakan dalam area atau penelitian mengenai persepsi,
namun dalam aplikasinya teori ini berimplikasi pada psikologi sosial. Alasannya adalah para
psikolog gestalt telah mengembangkan teknik eksperimen dalam mempelajari fenomena dan
studi mengenai struktur kelompok, komunikasi interpersonal, dan perubahan sikap adalah yang
memungkinkan untuk dieksperimenkan oleh pendekatan gestalt. (Feldman,1985:14-15).
Wiggins, Wiggins, & Zanden (1994:7-9) membagi teori psikologi sosial berbasis kognitif
menjadi empat pendekatan yaitu Teori Lapangannya Kurt Lewin, Teori Atribusi dan Sikap
Konsistensinya Fritz Heider, Teori Belajar Sosialnya Albert Bandura, dan Teori Kognitif
Kontemporer. Kurt Lewin dengan teori lapangannya beranggapan bahwa perilaku (behavior)
adalah fungsi dari keadaan diri pribadi (personality) dan lingkungan (environment) (Sarwono,
2002:81). Sedangkan menurut Fritz Heider beranggapan bahwa seseorang cenderung mengatur
sikapnya untuk tidak mengalami konflik. Ia juga mengemukakan teori tentang hubungan antara
dua orang. Hubungan antara orang pertama (P) dengan orang kedua (O) dapat dipengaruhi oleh
faktor lain (X). Sementara Albert Bandura memodifikasi teori belajar sosial dengan memasukkan
intervensi kesadaran (kognitif) seseorang dalam perilakunya. Bahwa perilaku kita dipengaruhi
oleh reinforcement, proses imitasi, dan proses kognisi. Agak melangkah kedepan pendekatan
kognitif kontemporer memandang manusia sebagai agen aktif dalam menerima, menggunakan,
memanipulasi, dan mentransformasi informasi. Fokus utama pendekatan kognitif kontemporer
adalah bagaimana kita secara mental menstruktur dan memproses informasi yang datang dari
lingkungan. Kita tidak dapat memahami perilaku sosial, jika tanpa mendapatkan informasi dan
memprosesnya
dalam
kognisi
(Wiggins,
Wiggins,
&
Zanden,
1994:9-10)
Pada dasarnya perilaku seseorang sangat tergantung pada persepsinya terhadap situasi sosial, dan
hukum persepsi sosial mirip dengan hukum persepsi obyek. Orang mengorganisasikan persepsi,
pikiran dan keyakinannya tentang situasi sosial kedalam bentuk yang sederhana dan bermakna
dan pengorganisasian itu mepengaruhi perilaku sesorang dalam situasi sosial.
Secara kognitif, orang cenderung mengelompokkan obyek atas dasar prinsip kesamaan,
kedekatan, dan pengalaman yang cenderung menginterpretasi aspek yang tak jelas pada diri
orang. Interpretasi ini merupakan implikasi dari caranya mengamati orang lain dan situasi sosial.
9
Secara umum, prinsip-prinsip dasar kognitif bisa di kategorikan menjadi beberapa bagian seperti
berikut:
a. Secara kognitif, orang cenderung mengkelompokkan obyek atas dasar prinsip kesamaan,
kedekatan, dan pengalaman.
b. Secara kognitif, orang cenderung memperhatikan (tertarik) pada sesuatu yang mencolok
(figure) berwarna-warni, bergerak-gerak, bersuara, unik & antik.
c. Secara kognitif orang cenderung menginter- pretasi aspek yang tak jelas pada diri orang,
(tujuan, motif, sikap, ciri kepribadian, perasaan, dll). Interpretasi ini merupakan implikasi dari
caranya mengamati orang lain dan situasi sosial.
Proses interpretasi dan organisasi kognitif sangatlah penting (dalam kontek ini), karena
merupakan implikasi dari cara seorang mengamati orang lain dan situasi sosialnya.
Kembali pada kasus korupsi yang telah dikaji, para pelaku korupsi tidak mengamati KPK atau
hukum dan perangkatnya yang berlaku di Indonesia sebagai bagian-bagian yang terpisah,
melainkan secara keseluruhan para koruptor melihatnya sebagai KPK secara umum yang
tugasnya, sifatnya, perilakunya, dll seperti yang telah ia ketahui sebelumnya. Sehingga seperti
apa yang telah mereka persepsi, KPK merupakan ancaman baginya. Atas dasar interpretasi dan
organisasi kognitif tersebut, para pelaku korupsi berekaksi untuk dapat melarikan diri dan dapat
bersenang-senang dengan uang hasil korupsinya.
Teori kognitif menekankan pada dua hal yaitu:
1. Memusatkan perhatian pada interpretasi (organisasi perseptual) mengenai keadaan saat ini
bukan keadaan masa lalu. (bagaimana korupsi itu dilakukan karena kebutuhannya sekarang
untuk memperkaya dirinya tanpa melihat keadaan masa lalunya. Sehingga bisa jadi dulu yang dia
adalah orang yang baik namun karena dalam kesempatan yang dia dapatkan dia dapat melakukan
korupsi karena posisi dia saat ini yang menguntungkan)
2. Sebab-sebab perilaku terletak pada persepsi (interpretasi) individu terhadap situasi, bukan
pada realitas situasinya sendiri. (bagaimana seorang yang korupsi menginterpretasikan situasi
(waktu itu) merupakan hal yang penting, dari pada bagaimana sebenarnya situasi itu. Sehingga
waktu yang dipikirkan itu tidak akan pernah dilewatkan untuk melakukan korupsi.
10
DAFTAR PUSTAKA
Gerungan, W A. 2000. Psikologi Sosial. Bandung : Refika Aditama
11
Sarwono, S.W. 1999. Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai
Pustaka.
Walgito, B. 1999. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: CV Andi. Offset.
BAB III
ANALISA KASUS
3.1 Analisa Kasus
Dari abstraksi fenomena dan penjabaran teori yang ada bisa di analisa beberapa hal tentang
12
kasus korupsi melalui perspektif psikologi ini. melalui pendekatan teori biologis bisa di lihat
bahwa naluri (karakter bawaan) manusia siapapun meskipun bukan pejabat dia pasti akan
cenderung memperkaya dirinya untuk memenuhi kebutuhannya dan akan selalu menambah dan
menumpuk
kekayaannya.
Dari sini bisa sedikit memberi gambaran bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan
yang bisa dilakukan oleh siapapun karena naluri bawaannya yang tidak pernah puas dengan apa
yang dimiliki dan cenderung memperkaya diri sendiri. Faktor genetik juga punya peranan
penting, karena naluri memperkaya diri antar orang yang satu dengan yang lain akan beda.
Demikian pula sebagian orang mungkin karena alasan-alasan genetik, lebih mempunyai nilai
egois untuk memperkaya diri sendiri dari pada yang lain bahkan yang dilakukan itu bisa
membuat orang sengsara seperti halnya korupsi. Dalam kasus diatas, Korupsi bisa saja para
pejabat memiliki genetic yang lebih dominan nilai egoisya sehingga selalu mementingkan
kepentingan
pribadi
dalam
memenuhi
kebutuhannya.
Melalui pendekatan teori belajar, hasil analisa yang bisa diperoleh adalah bahwa para
koruptor ini ada kemungkinan mereka beranggapan bahwa tindakan mereka sah dilakukan
karena orang-orang sebelum mereka juga melakukan hal yang sama dan tidak mendapat
hukuman
yang
terlalu
berat
ketika
tertangkap.
Jika melalui pendekatan teori insentif, ada alasan lain kenapa koruptor melakukan tindak
korupsi. Perilaku (seorang) ditentukan oleh insentif yang tersedia. Orang bertindak berdasarkan
pada keuntungan & kerugian yang akan diterima setelah perilakunya selesai, Pada kasus korupsi
oleh beberapa para pejabat, para pejabat mempunyai beberapa pilihan yang bisa diuraikan
sebagai
berikut:
a. Jika korupsi tidak terbongkar maka pelaku akan menjadi orang yang kaya dan bisa melakukan
apapun
dengan
uang
yang
dimilikinya
(insentif
positif)
b. Jika dia tidak korupsi maka kesempatan untuk menjadi kaya dengan menggunakan jabatannya
akan
hilang
(insentif
positif)
c. Jika korupsi dan tertangkap maka akan menjadikan dia dipenjara dan dipenjara juga masih
bisa dibeli dengan uang sehingga dia masih bisa bebas dari penjara bahkan uang hasil korupsi
masih
lebih
dari
cukup
untuk
suap
dipenjara
(insentif
positif)
d. Jika korupsi maka nilai moral pribadi akan turun dan terhinakan (insentif negative)
Dari uraian insentif yang sedikit ini dapat kita lihat bahwa korupsi mempunyai banyak
insentif positif yang didapat bagi seorang dan insentif negatif yang sedikit. mungkin dari sinilah
banyak para pejabat yang melakukan korupsi. Namun jika pejabat mempunyai kepribadian yang
13
kuat dalam nilai moralnya maka insentif positif yang bernilai moral negative itu tidak akan
menjadi insentif yang positif tetapi justru menjadi insentif yang negatif. sehingga pejabat yang
mempunyai kepribadian dan bermoral tinggi tidak akan pernah melakukan korupsi.
Dari pendekatan teori kognitif didapat hasil analisa bahwa pejabat yang korupsi saat ini
tidak mempunyai rasa bersalah sama sekali sehingga menimbulkan saat ini bahwa korupsi
merupakan hal yang biasa dalam persepsi masyarakat. Sehingga saat ini korupsi merupakan hal
yang wajar dilakukan karena situasi sosial yang tercipta saat ini menjadikan korupsi adalah hal
yang
biasa
terjadi
pada
para
pejabat.
3.2 Saran/Solusi
Korupsi merupakan suatu fenomena, dan fonomena yang melekat ini sedang menikmati
hasil karyanya di bumi nusantara tercinta ini. Kebiasaan korupsi terutama di institusi pemerintah
nampaknya benar-benar terstruktur dan bahkan kebiasaan ini seakan terwariskan dari satu
generasi ke generasi yang lainnya. Untuk itu perlu diadakan tindak pencegahan, diantaranya
yang
di
usulkan
penulis
adalah
sebagai
berikut
:
1. Pendidikan dini kepada masyarakat tentang bagaimana menjadi pribadi yang selalu menjauhi
cara-cara kotor dalam hidupnya.
2. Pendidikan kepada masyarakat agar cerdas dalam melihat kebijakan dan regulasi-regulasi
yang ada di wilayahnya.
3. Perkuat sistem pengawasan intern pemerintah (SPIP), agar para pemegang kebijakan merasa
terawasi.
4. Bagi yang sudah menjadi terdakwa harus diberikan hukuman maksimal agar muncul efek jera.
misal terpidana kasus korupsi mendapat hukuman penjara seumur hidup dan penyitaan atas
seluruh harta bendanya sehingga dia dan keluarganya mengalami pemiskinan. Hukuman seperti
ini akan benar-benar membuat takut para pemegang kebijakan untuk melakukan korupsi.
5. Setelah selesai masa hukumannnya, terpidana kasus korupsi tidak boleh mencalonkan diri
menjadi pemegang kekuasaan agar tidak punya kesempatan untuk mengulang tindakannya.
Karena regulasi yang ada saat ini masih mengijinkan mantan terpidan kasus korupsi
mencalonkan diri menjadi penguasa.
6. Masyarakat harus mulai cerdas atas fenomena money politik. Pemberian uang kepada
masyarakat hanya akan berbuntut korupsi untuk mengembalikan modal kampanye mereka.
14
15