Olahraga tontonan dalam dominasi globali

olahraga tontonan dalam dominasi globalisasi ekonomi ( kapitalisme global ).
Dewasa ini, kita sedang gencar-gencarnya disuguhi oleh media massa utamanya
televisi akan tayangan olahraga semacam Liga Inggris, Liga Itali, Liga Spanyol, Liga
Indonesia, dan Liga Champions. Topik pembicaraan kita tidak pernah lepas dari tayangan
olahraga tersebut. Kita mungkin tidak asing lagi dari namanya pemain bola sekelas Lionel
Messi, Cristiano Ronaldo, Samir Handanovic dan masih banyak nama beken yang lainnya.
Berbicara tentang olahraga tontonan, pertama tentu berbicara mengenai klub olahraga
( sepakbola, bola basket dan banyak lainnya ), namun ia juga sebuah industri. Mengapa
demikian? Kita ambil contoh Klub bola Itali Inter Milan. Fenomena kepopuleran Inter Milan
ditunjang oleh peran media massa. Sorotan media, khususnya TV, telah mengubah sifat khas
olahraga yang pada dasarnya bertujuan untuk kesehatan, having fun, atau untuk pertandingan,
kini bergeser pada kegiatan untuk mengejar keuntungan. Sepak bola dikemas sedemikian
rupa agar enak ditonton sehingga penonton tidak segan-segan untuk mengeluarkan uang
berapa pun harganya agar pertandingan yang dimainkan tim kesayangannya tidak
terlewatkan.
Olahraga atau sepakbola khususnya, sejak awal erat hubungannya dengan industri
karena merupakan reaksi terhadap industri. Hal ini disebabkan adanya mesin-mesin industri
yang memerlukan pengembangan otot-otot, kecepatan, dan kecepatan gerak.Di awal
industrialisasi olahraga dilakukan buruh untuk mendapatkan kelegaan dan hiburan selepas
kerja.
Namun, efek kelegaan dan hiburan di masa industrialisasi awal itu kini berubah di

alam globalisasi. Sepak bola, seperti yang dimainkan oleh Inter Milan, berubah menjadi
komoditi hiburan bagi penonton. Sebagai bentuk hiburan, sepakbola dieksploitasi sedemikian
rupa agar menjadi tontonan yang menarik. Hal ini ditanggapi oleh pemirsa media massa. Di
dalam kehidupan modern, media massa khususnya TV dengan siaran sepakbola membawa
manusia yang tertekan dan teralienasi ke tempat “ surga artifisial “ atau surga yang dibuatbuat. Melalui klub-klub favorit dan bintang-bintang kesayangan, seorang penggemar
memiliki tempat untuk memproyeksikan diri. Selama dua jam, ia menonton sesuatu, berhenti
menjadi dirinya sendiri, karena kepribadiannya lebur dalam massa anonim sepakbola.
Pertandingan sepakbola mampu membuat menangis, tertawa, berteriak. Seseorang tiba-tiba
memiliki arti hidup lagi dan merasa teridentifikasi dengan kekalahan atau kemenangan dalam
suatu pertandingan.
Identifikasi diri antarpenonton yang telah meresap menjadi “ penggemar fanatik “
inilah yang secara sadar dieksploitasi oleh media massa dan industri sepak bola. Mereka
diikat sehingga merasa saling memiliki dengan media kepemilikan saham bersama dan
pengelolaan penggemar secara profesional. Mereka pasar bagi perputaran roda industri
produk-produk yang dikeluarkan klub mulai dari kaos, pin, hingga tiket pertandingan.

Selain itu, dengan nilai-nilai dasar yang dibawa dari kapitalisme, dapat dijelaskan
bahwa penggemar yang telah menjadi semacam pasar dan tersebar luas tersebut mau tidak
mau membuat satu wilayah tidak lagi memadai untuk memasarkan klub dan produkproduknya. Ia memerlukan ruang yang lebih luas lagi dan menembus batas-batas negara.
Pengelolaan pasar memerlukan sorotan TV, pemilihan pemain-pemain yang mewakili

berbagai negara, serta penokohan salah satu pemain seperti Balotelli, Messi, Beckham,
Ronaldo atau Bale. Kesemuanya merupakan beberapa strategi untuk mempopulerkan
sepakbola sehingga menjadi global brand. Dengan demikian sepak bola telah keluar jauh dari
sasaran utamanya. Kini ia menjadi bagian dari kapitalisme global. Sebagai bagian dari
kapitalisme global, tujuan akhir industri olahraga ini tidak lebih dari pengejaran keuntungan
material semata.
Penulis

MUH.ILHAM DHANI ASRIAWAN
KOORDINATOR Biro Penelitian Pengembangan & Minat Bakat KEMASOS FISIP
UNHAS