I. HUKUM PEMBUKTIAN. ALAT BUKTI ELEKTRON

I.

HUKUM PEMBUKTIAN. ALAT BUKTI ELEKTRONIK KASUS PEMALSUAN KARTU
ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM) DAN PEMALSUAN KARTU KREDIT
Oleh : PINOS PERMANA, SH.
Mengingat tindak pidana pemalsuan kartu ATM atau Kartu Kredit bersingungan dengan suatu
kegiatan atau ketentuan khusus di bidang perbankan dengan mengunakan kecanggihan teknologi,
apakah kualifikasi delik yang tepat untuk menyangkakan terhadap perbuatan tersebut ? Kemajuan dan
perkembangan teknologi, khususnya telekominikasi, multi media dan teknologi informasi (telematika)
pada akhirnya dapat merubah tatanan organisasi dan hubungan kemasyarakatan. Hal ini tidaklah dapat
di hindari karena karena fleksibilitas dan kemampuan telematika dengan cepat memasuki berbagi
aspek kehidupan manusia. Fenomena ini telah mengubah prilaku manusia dalam berinteraksi dengan
manusia lain sehingga memunculkan norma-norma dan nilai-nilai baru. 1 Syamsul Muarif mantan
Menteri Komunikasi dan Informatika menyatakan bahwa pembentukan peraturan perundangundangandi era teknologi informasi ini harus dilihat dari berbagai aspek. Misalnya dalam hal
pengembangan dan pemanfaatan Rule of Law dan internet, juridiksi dan konflik hukum, pengakuan
hukum terhadap dokumen serta tanda tangan elektronik, perlindungan dan privasi konsumen, cyber
crime, pengaturan konten dan cara-cara penyelesaian sengketa domain.2
Teknologi Informasi dan komunikasi telah mengubah prilaku masyarakat dan peradaban manusia
secara global. Penggunaan internet dalam electronic commerce ini memberikan dampak yang sangat
positif yakni dalam kecepatan dan kemudahan serta kecanggihan dalam melakukan interaksi global
tanpa batasan tempat dan waktu yang kini menjadi hal biasa. Transaksi bisnis yang lebih praktis tanpa

perlu kertas dan pena, perjanjian face to face sehingga perdagangan elektronik atau e-commerce ini
menimbulkan aspek positif menjadi penggerak ekonomi baru dalam bidang teknologi khususnya di
Indonesia. Disisi lain aspek negatif dari perkembangan ini adalah berkaitan dengan persoalan
keamanan-keamanan dalam bertransaksi dan jaminan kepastian hukum (Legal Certainly).3
Pada Tahun 2008, telah disahkan produk legislasi berupa Undang-Undang Informasi Transaksi
Elektronik yakni Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 yang biasa di sebut dengan Undang-Undang
ITE. Implementasi Undang-Undang ini sempat menyedot perhatian publik ketika seorang ibu rumah
tangga yang bernama Prita Mulyasari mantan pasien RS Omni Internasional yang menuliskan keluhan
1 Marwan Effendy, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty dalam penegakan hukum, Referensi, Jakarta,
2012, hlm 45.
2 Ibid., hlm 46.
3 Abdul Hakim Berkatullah, Bisnis e-commerce, Studi Sistem Keamanan dan hukum di Indonesia, Yogyakarta, 2005, hal 3.

pelayanan RS tersebut melalui surat elektronik yang kemudian menyebar berbagai mailing list di
dunia maya. Seolah dengan kasus Prita ini, Undang-Undang ITE adalah lebih cenderung mengatur
soal-soal berkaitan dengan pidana semata. padahal apabila diteliti lebih mendalam Undang-Undang
ITE ini sebenarnya mengatur dua nomenklatur yaitu Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik.4
Dalam praktek sehari-hari sebenarnya kita seringkali sudah bersentuhan dengan dunia siber.
Penggunaan telepon seluler dengan SMS atau penggunaan e-banking, bahkan pengiriman uang via

ATM (anjungan tunai mandiri). Jadi, sebenarnya penggunaan informasi elektronik maupun transaksi
elektronik sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Legislasi Tradisional tidak
menjangkau semua aspek-aspek hukum dalam dunia siber untuk itulah di buat Undang-Undang ITE.
Undang-Undang ITE mencakup dua nomenklatur sekaligus yaitu transaksi elektronik dan informasi
elektronik.5
Jadi dari Perkembangan Legislasi yang ada pengaturan ketentuan pidana dalam Undang-Undang
ITE bukanlah suatu yang utama, karena ketentuan pidana hanyalah salah satu bab dalam UndangUndang ITE, hal mana sejalan dengan prinsip pidana yang bersifat Ultimum Remedium.6 Menjadi
suatu pertanyaan, apakah pemalsuan kartu ATM termasuk di kategorikan sebagai tindak pidana
pemalsuan data, yakni identitas nasabah termasuk di dalamnya data rahasia untuk masuk terhadap
akses keuangan nasabah tersebut, tetapi pada intinya hal tersebut dilakukan untuk suatu tujuan utama
atau sasaran utama yakni secara melawan hukum mengambil alih kepemilikan uang yang terdapat
dalam sistem keuangan atau sistem perbankan dari nasabah perbankan tersebut untuk dimiliki,
walaupun mengunakan sarana transaksi elektronik, sehingga berlandaskan filosofi tujuan utama
apakah dapat di kategorikan pemalsuan kartu ATM sebagai tindak pidana pencurian dalam bentuk
yang umum ataukah berdasarkan asas lex spesialis tetap di pergunakan Undang-Undang Perbankan
atau ITE.
Dalam kaitannya tindak pidana yang berkaitan dengan suatu teknologi informasi, bagaimanakah
relevansinya dengan ketentuan pidana dalam KUHP. Dalam upaya menangani kasus kejahatan dunia
maya, terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang mengkriminalisasi cyber crime dengan
menggunakan metode interpretasi ekstensif (perumpamaan dan persamaan) terhadap pasal-pasal yang

terdapat dalam KUHP. Adapun pasal-pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP yang

4 Marwan Effendy, Diskresi.. Op.Cit., hlm 48.
5 Ibid, hlm 50.
6 Ibid., hlm 51

2

mengkriminalisasi terhadap kejahatan dunia maya, sebagaimana dikatakan oleh Petrus Reinhard
Golose diantaranya adalah :7
a.

Pasal 362 KUHP untuk kasus Carding dimana pelaku mencuri kartu kredit milik orang lain
walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan
software card generator di internet untuk melakukan transaksi di E-Commerce.

b.

Pasal 378 KUHP untuk penipuan dengan seolah-olah menawarkan dan menjual suatu produk atau
barang dengan memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk membelinya

lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan.

c.

Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan
melalui email.

d.

Pasal 331 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan
media internet. Modusnya adalah pelaku menyebarkan email kepada teman-teman korban tentang
suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan e-mail secara berantai melalui mailing list (milis)
tentang berita yang tidak benar.

e.

Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara online di
Internet dengan penyelenggara dari Indonesia.

f.


Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang
banyak beredar dan mudah diakses di internet.

g.

Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk penyebara foto atau film pribadi seseorang yang
vulgar di internet.

h.

Pasal 378 dan 263 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding, karena pelaku melakukan
penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan membayar dengan kartu kredit yang nomor
kartu kreditnya merupakan curian.

i.

Pasal 406 KUHP dapat dikenaan pada kasus deface suatu website, karena pelaku setelah berhasil
memasuki website korban, selanjutnya melakukan pengrusakan dengan cara menganti tampilan
asli dari website tersebut.

Terhadap perbuatan dalam ketentuan-ketentuan pasal diatas. masalah yang timbul adalah pasal-

pasal tersebut tidak menyebutkan data computer atau informasi yang dihasilkan komputer.
Perkembangan teknologi informasi seiring berkembangnya sistem jaringan komputer telah mengubah
pandangan konvensional terhadap unsur barang atau benda sebagai alat bukti menjadi digital evidence

7 Petrus Reinhard Golose dalam Marwan Effendy, Ibid, hlm 59-60.

3

atau alat bukti elektronik baik sebagai media seperti disket, tape storage, disk storage, compact disc,
hard disk, USB, flash disc dan hasil cetakan bukti elektronik tersebut.8
Jaringan komputer yang menghasilkan cyberspace dan komunitas virtualnya berkembang seiring
dengan berkembangnya kejahatan yang menghasilkan tindak pidana yang dianggap dahulu tidak
mungkin pada saat sekarang ini menjadi mungkin bahkan dampaknya dapat dirasakan di luar
tempat/wilayah Negara. Oleh karena itu penerapan pasal-pasal KUHP sudah tidak relevan dalam
penanggulangan tindak pidana teknologi informasi.9
Apakah Undang-Undang ITE sudah membuat kriminalisasi baru terhadap suatu perbuatan ?
Secara sederhana kita dapat merujuk kepada pendekatan computer crime dan computer related crime.
Dalam computer crime dapat dikatakan ada suatu kriminalisasi, karena perbuatannya berkaitan dengan

perkembangan teknologi dimana banyak beberapa perbuatan dengan perkembangan teknologi.
Sedangkan dengan computer related crime sebenarnya perbuatannya sudah diatur dalam ketentuan
pidana yang sudah ada namun karena deliknya sudah dikualifisir dengan karakteristik dunia siber
maka computer related crime sebenarnya adalah delik-delik yang dikualifisir dari tindak pidana yang
sudah ada sebelumnya. Beberapa bentuk kualifisirnya adalah dengan penambahan unsur bahkan ada
dengan memperberat ancaman pidananya.10
Dari pendekatan ini maka ada beberapa hal dari ketentuan pidana yang patut menjadi perhatian kita :11
1.

Terdapat unsur dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum. Unsur tampak hak seolah
tumpang tindih dengan unsur melawan hukum karena dalam melawan hukum dapat saja berarti
tanpa hak. Tanpa hak di sini adalah padanan dari without right dari bahasa inggris dan bukan
makna dari wederrechtelijkeheid dalam bahasa belanda. Mengapa unsur ini di cantumkan ?
Karena berkaitan dengan sifat dan karakteristik kejahatan lintas Negara. Sebagai ilustrasi adalah
judi secara on-line. Apabila yang membuat judi on-line adalah berdasarkan hukum belanda maka
semua unsur pasal 27 ayat (2) terpenuhi kecuali unsur tanpa hak. Kenapa demikian ? Karena
berdasarkan hukum belanda orang tersebut mempunyai hak untuk mempunyai situs on-line.
Apabila unsur tanpa hak ini tidak ada maka orang yang berhak membuat judi online berdasarkan
sistem hukum negaranya apabila situsnya dapat diakses di Indonesia maka pemilik situs itu
dapat dipidana. Hal ini menjadi penting menginggat adanya asas dual criminality. Permohonan

bantuan hukum timbal balik maupun ekstradisi adalah untuk suatu perbuatan yang harus
dianggap pidana baik oleh Negara pemohon maupun termohon. Apabila di Negara termohon judi

8 Ibid., hlm 61.
9 Loc.Cit.,
10 Ibid., hlm 69.
11 Ibid., hlm 70.

4

on-line bukan tindak pidana maka tidak mungkin memproses orang tersebut berdasarkan hukum
Indonesia. Untuk itulah unsur tanpa hak (withoutright) di cantumkan.
2.

Sebagian besar ketentuan pidana dalam Undang-Undang ITE bukanlah suatu kriminalisasi.
Sebagian besar perbuatan yang dikenakan sanksi pidana adalah delik yang dikualifisir yaitu
Pasal 27 ayat (1) Delik Kesusilaan, ayat (2) delik Perjudian, ayat (3) Delik Penghinaan dan
Pencemaran nama baik, ayat (4) Pemerasan atau Pengancaman, Pasal 28 ayat (1) berita bohong
merugikan konsumen, ayat (2) Hatzaai artikelen, Pasal 29, Ancaman kekerasan atau menakutnakuti secara pribadi, Pasal 34 Pemberatan Pasal 27, Pasal 35 Pemalsuan data elektronik yang
otentik, Pasal 36 Pemberatan untuk Pasal 27 s/d 34. Jadi Pasal-Pasal di atas bukanlah suatu

kriminalisasi baru, namun adalah delik yang dikualifisir karena kualifikasi delik merujuk ke
Undang-Undang lain seperti KUHP. Delik-delik ini di golongkan sebagai Computer Related
Crime. Sedangkan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1), (2), (3) Ilegal access, Pasal 31 ayat (1), (2),
(3) unlawful interception, Pasal 32 ayat (1), (2), (3), hacking dan cracking dan Pasal 33
gangguan sistem elektronik adalah kriminalisasi karena karakteristik dari dunia siber sehingga
Pasal-Pasal ini dapat digolongkan sebagai Computer Crime.
Berdasarkan hal terebut diatas dapat dikatakan bahwa Pemalsuan Kartu ATM ataupun

Kartu Kredit dari Bank tertentu dapat digolongkan sebagai suatu bentuk tindak pidana
Computer Related Crime, yakni suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dengan
menggunakan sarana program komputer dalam transaksi elektronik dan bukan Pasal yang
merupakan suatu kriminalisasi baru, namun adalah delik yang dikualifisir karena kualifikasi
delik merujuk ke Undang-Undang lain seperti KUHP, sehingga terhadap pelaku dapat
dikenakan Pasal-Pasal yang terdapat dalam Undang-Undang ITE yang disesuaikan dengan
perbuatannya tersebut.
Bentuk-bentuk kejahatan yang berkaitan dengan Kartu ATM sangat bervariasi dan semakin
meningkat jumlahnya. Kejahatan kartu ATM yang sering terjadi adalah pemalsuan kartu ATM, dimana
si pelaku kejahatan membuat kartu ATM palsu lengkap dengan magnetic stripe yang sudah berisi
rekaman data dari kartu yang dipalsukan. Selain memalsukan kartu si pelaku juga mengetahui nomor
PIN dari kartu yang digandakannya. Cara kebiasaan yang digunakan oleh si pelaku kejahatan untuk

mengetahui nomor kartu dan nomor PIN si korban (nasabah) adalah sebagai berikut :
1.

Untuk mencuri PIN biasanya si pelaku mengintip calon korban dari belakang antrian lewat bahu
korban yang sedang melakukan transaksi pada mesin ATM, ini bisa terjadi pada tempat-tempat

5

seperti di Mall atau di lobby bank yang letak ATM-nya terbuka. Dan si pelaku pasti orang yang
punya daya ingat tinggi karena dapat merekam nomor PIN dikepala hanya dengan sekilas.
2.

Si pelaku kejahatan memasang kamera kecil (Spycamera) dan Card reader pada mesin ATM.
Mesin card reader berfungsi untuk merekam data dari magnetic stripe kartu ATM, sementara
kamera kecil yang tersembunyi digunakan untuk mengintip atau merekam nomor PIN korban saat
menggunakan keypad ATM.

3.

Membaca Record Terakhir : Modus yang satu ini tergolong berbahaya, anda tidak akan

menemukan keanehan atau sesuatu yang tidak wajar di dalam anjungan atau ruangan ATM, modus
kejahatan ATM yang satu ini telah banyak terjadi di luar negeri, cara kerja kejahatan ini membaca
record terakhir dari transaksi mesin ATM dengan menggunakan kartu ATM kosong (akan tetapi
kartu ATM tersebut telah di program untuk berkerja membaca transksi terakhir dari mesin ATM),
dan seandainya si korban atau nasabah melaporkan kejadian seperti ini pada bank yang
bersangkutan, tentu si korban akan di tuduh melakukan penipuan, karena transaksi yang dilakukan
valid. Kenapa dianggap Valid ? karena biasanya si pelaku kejahatan ikut mengantri transaksi ATM
di belakang anda, dengan demikian selisih waktu penarikan uang pun hanya beda beberapa menit,
sehingga anda akan dianggap menarik uang secara berturut-turut oleh pihak bank. Bagaimana
menghindari kejahatan seperti ini? caranya sangat sederhana, setelah anda melakukan transaksi
pengambilan uang atau transaksi apapun yang anda lakukan di mesin ATM, dan setelah kartu anda
keluar dari mesin ATM, anda tinggal memasukan kartu anda kembali dan memasukan PIN yang
salah atau melakukan cancel, jadi record terakhir yang dibaca atau terekam oleh pelaku adalah
PIN yang salah, jadi kita juga perlu nakal untuk menghindari kejahatan.

4.

Modus lainnya dari kejahatan kartu ATM adalah bisa dilakukan oleh oknum pegawai bank, (tapi
ini hanya kemungkinan kecil), yaitu dengan cara membuat kartu ATM fiktif melalui nomor
rekening nasabah yang tidak menginginkan kartu ATM. Oknum pelaku biasanya memakai
rekening yang saldonya besar akan tetapi pasif dalam aktivitas transaksi. Dengan kartu ATM yang
fiktif tadi si oknum menguras isi rekening nasabahnya yang tidak aktif tadi dengan nyaman.

5.

Modus lainya adalah dengan cara agar kartu ATM menyangkut pada ATM slot, dengan
menyisipkan sesuatu benda (bisa plastik, permen karet, korek api, atau benang nilon dll) yang
akan membuat kartu ATM tertahan didalam. Dan si pelaku kejahatan akan pura-pura membantu
atau menolong si korban dengan menyuruh kembali mencoba memasukan PIN, setelah berkalikali dicoba gagal dan kartu ATM-pun seolah telah ditelan mesin, maka si korban pergi untuk
melakukan pengaduan pada bank yang bersangkutan, pada saat si korban pergi, si pelaku
6

kejahatan mengambil kartu dari slot ATM dengan menarik benda yang dipasangnya, selanjutnya
menarik tunai uang si korban. Dalam modus ini ada juga si penjahat yang memasang striker palsu
serta memalsukan nomor telepon bank, sehingga pada saat si nasabah atau korban menghubungi
nomor telepon yang tercantum di stiker palsu, si penjahat akan mengarahkan anda dengan
berbagai cara agar anda menyebutkan nomor PIN anda. Modus telepon pengaduan palsu ini,
kadang si penjahat bisa menggunakan cara hipnotis melalui telepon, yang akan membuat anda
mengkuti semua instruksi si penjahat.12
Penerapan Undang-Undang ITE Dalam Penanggulangan Aksi Pembobolan ATM Bank dapat
dilakukan mengingat sanksi pidana yang relatif lebih berat dan sifat kualifikasinya yang memenuhi
karakteristiknya sebagai Computer Related Crime. Dalam konteks ini Kementerian Kominfo telah
menyampaikan penjelasan tentang penggunaan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Traksaksi Elektronik (yang lebih populer dengan istilah UU ITE) dalam memberikan referensi
hukum untuk menjerat aksi kriminalitas yang menggunakan sistem elektronik. Dalam UU ITE telah
diatur banyak perbuatan yang terkait dengan tindak pidana siber termasuk perbuatan yang dilarang
mendistribusikan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik,
perbuatan yang berakibat tergangunya sistem elektronik, perbuatan yang dapat diaksesnya informasi
elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dan perjudian, dan UU ITE juga jelas
telah mengatur perbuatan yang dilarang untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik serta yang merusak, menghilangkan, memindahkan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik milik orang lain. Dengan demikian dalam UU ITE telah mengatur tentang konsekuensi
hukum atas perusakan alat untuk memasukkan kartu ATM yang diganti dengan skimmer yang tengah
terjasdi di mesin-mesin ATM.13
Terhadap pelaku yang diduga telah melakukan pembobolan tersebut, UU ITE menyebutkan,
bahwa minimal dapat dijerat dengan :14
A. Pasal 30 ayat (1) yang menyebutkan, bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara
apa pun ; dan ayat (3) yang menyebutkan, bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun
dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan . Di samping
itu, juga dapat dijerat dengan Pasal 32 ayat (2) yang menyebutkan, bahwa setiap orang dengan
12 https://mediatorinvestor.wordpress.com/artikel/kejahatan-kartu-atm-kartu-kredit/, diakses pada tanggal 31 Januari 2015.
13 http://www.postel.go.id/info_view_c_26_p_1066.htm, di akses pada tanggal 31 Januari 2015.
14 Loc.Cit.,

7

sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau
mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang
lain yang tidak berhak . Dan ketentuan berikutnya yang juga dapat digunakan adalah Pasal 36,
yang menyebutkan, bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang
mengakibatkan kerugian bagi orang lain . Ini artinya, tindakan kejahatan perbankan dan
berikut ancaman hukumannya tersebut dapat dijerat dengan UU ITE sehingga aparat kepolisian
telah mempunyai landasan hukum untuk mengambil tindakan penyelidikan dan penyidikan
kejahatan kartu ATM dan transaksi elektronik lainnya.
B. Ketentuan-ketentuan yang bisa dikenakan pada orang yang diduga telah melakukan
pembobolan nasabah melalui ATM bank adalah karena salah satu tujuan pemanfaatan teknologi
informasi dan transaksi elektronik sebagaimana diatur pada Pasal 4 huruf (e) UU ITE adalah
untuk memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara teknologi informasi. Sedangkan kepada pihak bank yang melakukan layanan
ATM dan terhadap ATM tersebut telah terjadi pembobolan rekening nasabah, maka diminta
kehati-hatiannya, karena bank dalam hal ini dapat dianggap sebagai penyelenggara sistem
elektronik karena menyelenggarakan sistem transaksi dalam layanan perbankan melalui ATM.
Yang diperlukan kehati-hatian oleh pihak bank adalah terkait Pasal 1 UU ITE, khususnya
pada point (6) menyebutkan, bahwa penyelenggaraan sistem elektronik adalah pemanfaatan
sistem

elektronik

oleh

penyelenggara

negara,

orang,

badan

usaha,

dan/atau

masyarakat. Dalam implementasinya, pihak suatu bank yang menyelenggarakan layanan ATM
dan telah terjadi pembobolan harus memperhatikan Pasal 15 ayat (1) yang menyebutkan,
bahwa setiap penyelenggara sistem elektronik harus menyelenggarakan sistem elektronik
secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik
sebagaimana mestinya . Selain itu disebut pula pada Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan,
bahwa penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem
elektroniknya . Akan tetapi, ada juga ketentuan yang dapat melindungi pihak bank,
sebagaimana disebut pada Pasal 15 ayat (3) yang menyebutkan, bahwa ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan
memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik. UU ITE juga
mengatur tentang hak hukum yang dimiliki masyarakat tersebut diatur di Pasal 38 ayat (1)
yang menyebutkan, bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
8

menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi Informasi yang
menimbulkan kerugian ; dan ayat (2) yang menyebutkan, bahwa masyarakat dapat
mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem
elektronik dan/atau menggunakan teknologi informasi yang berakibat merugikan masyarakat,
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan . Lebih lanjut tentang konsekuensi
hukum perbankan diatur di dalam UU Perbankan.
C. Kementerian Kominfo juga menyadari, bahwa aparat penegak hukum tentu pada awalnya
secara primer menggunakan ketentuan yang diatur di dalam KUHP, khususnya Pasal 263 ayat
(1) yang menyebutkan, bahwa barang siapa yang membuat surat palsu atau memalsukan surat
yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu,
diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat,
dengan pidana penjara paling lama enam tahun . Demikian pula yang disebut pada Pasal 263
ayat (2) yang menyebutkan, bahwa diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan
sengaja memakai surat palsu atau dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian . Selanjutnya, masih menurut KUHP, maka pelaku yang diduga
telah melakukan pembobolan rekening nasabah bank tersebut juga dapat dianggap melanggar
ketentuan yang diatur di Pasal 362, yang menyebutkan, barangsiapa mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan pemalsuan kartu ATM atau Kartu kredit merupakan
salah satu tindak pidana di bidang perbankan. Tindak pidana di bidang perbankan adalah segala jenis
perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank, baik
bank sebagai sasaran maupun sarana. Pelakunya bisa perorangan, maupun badan hukum (korporasi)
dimana pelakunya bertindak karena yakin sering terjadi ketidak hati-hatian pada perbankan serta
penyembunyian perkara ini terjadi karena bila suatu bank kebobolan dianggapnya suatu aib yang tidak
boleh diketahui oleh nasabahnya.15
Kelompok pertama disebut tindak pidana perbankan, berhubung perbuatanperbuatan tersebut
secara langsung melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun
15 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.281

9

1998. Meskipun Undang-Undang tentang pokok perbankan itu mengatur secara umum tentang
lembaga bank serta fungsinya, tetapi di sisi lain memuat juga ketentuan-ketentuan pidana yang
melarang dan mengancam dengan sanksi beberapa perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan
umum dalam Undang-Undang tersebut.
Dalam Perundang-undangan, kejahatan di bidang perbankan dikelompokkan dalam tiga jenis
perbuatan, yakni:
1.

Kejahatan di bidang perjanjian/legalitas bank, berupa menjalankan usaha yang serupa bank.

2.

Kejahatan pemalsuan dokumen yang dipakai sebagai jaminan kredit atau agunan berkali-kali
sehingga mendapat kredit berulang kali dengan maksud melakukan penipuan.

3.

Pemalsuan yang menyangkut lalu lintas giral antara lain bentuknya pemalsuan dan
penggunaan surat aplikasi transfer serta pemalsuan dan penggunaan alat/ warkat bank
lainnya yang semuanya dengan maksud untuk melakukan penipuan.16

Diantara ketiga jenis kejahatan di bidang perbankan sebagaimana tersebut diatas maka tindak
pidana penyalahgunaan kartu kredit termasuk dalam jenis kejahatan pemalsuan yang menyangkut lalu
lintas giral. Tindak pidana di bidang perbankan yang menggunakan kartu kredit terjadi dengan cara
memalsukan kartu kredit dengan bantuan pejabat bank menyerahkan kartu kredit hasil curian/ temuan
dan memalsukan tanda tangan pemegang sah kartu kredit tersebut. Adanya beberapa modus carding
yakni counterfeiting, yaitu kartu asli atau palsu yang diubah menyerupai kartu asli. Pelaku
counterfeiting adalah perorangan atau sindikat dengan dana besar dan jaringan luas. Modus lain adalah
dengan menggunakan peranti lunak tertentu yang tersedia secara umum.17
Kenyataan yang terjadi pada saat ini dimana kasus mengenai penyalahgunaan kartu kredit
disangkakan ketentuan Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP yang tidak relevan untuk digunakan dalam
menanggulangi / menjaring pelaku kejahatan kartu kredit karena memiliki beberapa kelemahan antara
lain :
1.

Kartu kredit tidak dapat diinterpretasikan sebagai surat

2.

Hal yang dipalsukan dalam penyalahgunaan kartu kredit adalah pin orang lain yang telah
berhasil dicuri melalui penipuan lewat telepon kepada si korban.

Dewasa ini peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan tindak
pidana di bidang perbankan yaitu :

16 Ibid., hlm 73.
17 Telkom, 15 Juni 2006, “Kejahatan Kartu Kredit via Internet Kian Marak”, http://www.telkom.net/index.php?
option=com_content&task=view&id=412&Itemid=35,

10

1.

Undang Undang No. 7 Tahun 1992 jo. Undang Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan.

2.

Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

3.

Undang Undang No. 3 Tahun 1971 jo, Undang Undang No, 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4.

Undang Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.

5.

Undang Undang No. 32 Tahun 1964 jo. Undang Undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

6.

Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik g. Rancangan
Undang – Undang Tentang Transfer dana

7.

Ordonansi Riba ( Stbl. 1938 No. 534)18

Pengertian Kartu Kredit merupakan “uang plastik” yang dikeluarkan oleh bank, kegunaannya
adalah sebagai alat pembayaran di tempat-tempat tertentu seperti supermarket, hotel, restaurant, tempat
hiburan dan tempat lainnya.19 Di dalam Pasal 1 ayat (8) Keputusan Presiden Republik Indonesia No.
61 Tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan disebutkan bahwa Perusahaan kartu kredit (credit card
company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan untuk membeli barang dan jasa
dengan menggunakan kartu kredit.
Dengan demikian kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh pihak Bank atau lembaga
keuangan lainnya, dimana si pemilik kartu dalam melakukan suatu transaksi dapat memperoleh
barang-barang atau pelayanan jasa dengan menunjukkan kartu tersebut yang juga dapat berfungsi
sebagai alat pembayaran secara tunai.
Kejahatan kartu kredit memerlukan proses hukum yang adil. Menurut Mardjono Reksodiputro,
proses hukum yang adil adalah lebih jauh dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan
formal. Dalam pengertian proses hukum yang adil terkandung penghargaan akan kemerdekaan seorang
warga negara. Dengan demikian, meskipun warga masyarakat telah melakukan suatu perbuatan tercela
(tindak pidana), hakhaknya sebagai warga negara tidaklah hapus atau hilang.20
Dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perbankan, khususnya dalam tindak pidana
pemalsuan, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 263 KUHP, yaitu :
1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menimbulkan sesuatu hak,
perikatan atau pembebasan hutang, atau yang dapat diperuntukkan sebagai bukti dari pada
18 Marulak Pardede, Hukum Pidana Bank, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm 35.
19 Kasmir, Manaiemen Perbankan. PT. Raja Grafmdo Persada, Jakarta, 2000, hal 117
20 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, 1994, hal 28.

11

sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai suratsurat
tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam juga pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun;
2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang
dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbuikan kerugian
Rumusan pada ayat (1) terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
A. Unsur-unsur obyektif
1.

Perbuatan :
a. membuat palsu;
b. memalsu;

2.

Obyeknya, yakni surat :
a. yang dapat menimbulkan suatu hak;
b. yang menimbulkan suatu perikatan;
c. yang menimbulkan suatu pembebasan hutang;
d. yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal;

3.

Dapat menimbulkan kerugian akibat dari pemakaian surat tersebut.

B. Unsur Subyektif : dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.
Sedangkan ayat (2) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
A. Unsur-unsur obyektif :
1. Perbuatan : memakai;
2. Obyeknya :
a. surat palsu;
b. surat yang dipalsukan;
3. Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian;
B. Unsur subyektif : Dengan sengaja.
Surat (geschrift) adalah suatu lembaran kertas yang diatasnya terdapat tuiisan yang terdiri
dari kalimat dan huruf termasuk angka yang mengandung /berisi buah pikiran ataumakna tertentu, yang dapat berupa tuiisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer
komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apapun. Membuat surat palsu
(membuat palsu valselijk opmaaken sebuah surat) adalah membuat sebuah surat yang

12

seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan
yang sebenarnya.
Pasal 263 KUHP tidak relevan digunakan untuk menanggulangi tindak pidana pemalsuan kartu
kredit. Pengenaan Pasal 263 KUHP untuk menjaring pelaku kejahatan kartu kredit memiliki beberapa
kelemahan. Dalam rumusan Pasal 263 KUHP tersebut, dikatakan bahwa tindak pidana dilakukan
dengan membuat surat palsu atau memalsukan surat, sementara untuk melakukan kejahatan kartu
kredit, pelaku tidak perlu memalsukan surat (misalnya memalsukan surat berupa data nasabah yang
dikeluarkan oleh lembaga pembiayaan kartu kredit). Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Dengan kecanggihan teknologi, pelaku dapat membuat program spyware, trojan, worm dan
sejenisnya yang berfungsi seperti keylogger (program mencatat aktivitas keyboard) dan
program ini disebar lewat E-mail Spamming, messenger (yahoo, MSN), atau situs-situs tertentu
dengan icon atau iming-iming yang menarik netter untuk mengunduh dan atau membuka file
tersebut. Program ini akan mencatat semua aktivitas komputer ke dalam sebuah file, dan akan
mengirimnya ke email hacker. Dalam hal ini tidak ada surat yang dipalsukan/ surat yang tidak
sesuai atau bertentangan dengan kebenaran (sekalipun itu PIN kartu kredit) sebab pelaku
menggunakan PIN asli, hanya saja PIN asli tersebut didapatkan secara melawan hukum.
b. Perkembangan tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit juga dapat dilihat dari penggunaan
kartu kredit palsu (virtual credit card). Cara kerja virtual credit card adalah provider
mengeluarkan kartu kredit yang dapat digunakan untuk berbelanja (semacam debit card). Klien
diwajibkan menyetor uang untuk membuat kartu kredit virtual ini. Pemalsuan kartu kredit yang
dilakukan sindikat kejahatan juga dapat dilakukan dengan mencuri data kartu kredit melalui
skimmer yang dipasang pada alat penggesek kartu, atau E-D-C. Untuk memasang skimmer
pada EDC inilah, para pelaku bekerja sama dengan oknum yang bekerja di tempat incaran
pelaku, seperti restoran dan tempat hiburan mewah. Kemudian melalui alat encoder, data pada
kartu kredit dimasukkan ke dalam kartu kredit palsu. 21 Kartu kredit palsu ini sebenarnya tidak
dapat diintepretasikan sebagai surat palsu sebab surat berbeda dengan kartu kredit
Mengenai penerapan pasal 378, Kelemahan dari ketentuan tersebut

dimana tidak dapat

menjaring para pelaku penipuan dikarenakan pelaku melakukan penipuan melalui jaringan internet
dimana pelaku memiliki program tersendiri dimana apabila si korban membuka program tersebut maka
secara langsung data dari si korban terkirim kepada si pelaku. Tindak pidana pemalsuan umumnya

21 “ Indosiar, “Sindikat Pemalsu Kartu Kredit Tertangkap”, http://www.indosiar.com/beritaterkini/85689/sindikat-pemalsukartu-kredit-tertangkap

13

banyak berkaitan dengan penipuan, atau dengan pengertian lain tindak pidana pemalsuan umumnya
bermuara pada penipuan. Penipuan pada dasarnya merupakan tujuan akhir dari perbuatan pemalsuan.22
Hakim sebagai salah satu organ pengadilan tidak dimungkinkan untuk menolak suatu perkara
yang belum ada pengaturannya. Telah menjadi kewajiban para hakim untuk mencari, menggali dan
menemukan hukum terhadap permasalahan yang diajukan kepadanya. Dalam kaitan inilah hakim dapat
berfungsi sebagai pembentuk hukum (Recht Finding).23 Termasuk dalam pengertian tersebut adalah
Jaksa Penuntut Umum. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak
berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta
wajib menggali dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang hidup dalam masyarakat, serta
senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.24
II.

ALAT BUKTI
(suatu pencarian politik hukum pembuktian dalam peraturan perundang-undangan mengenai alat bukti
khususnya mengenai alat bukti yang bersifat eletronik atau sejenisnya)
Ada suatu perbedaan yang tajam antara pembuktian dalam hukum acara pidana dan pembuktian
dalam hukum acara perdata. Disamping perbedaan tentang jenis alat bukti, terdapat juga perbedaan
tentang sistem pembutian. Sistem Pembuktian dalam acara pidana dikenal dengan “sistem negatif”
(negatief wettelijk bewijsleer) sedangan dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif
(positief wettelijk bewijsleer), dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang formal.25 Karena
dalam sistem pembuktian perdata berlaku sistem positif, maka yang dicari oleh hakim adalah suatu
kebenaran formal sehingga jika alat bukti sudah mencukupi secara hukum, hakim harus
mempercayainya sehingga unsur keyakinan hakim dalam sistem pembuktian perdata tidak berperan. 26
Karena yang di cari oleh hakim hanyalah suatu kebenaran formal, jadi bukan kebenaran yang
sesungguhnya, bahkan suatu kebenaran yang bersifat “kemungkinan” (Probable) saja sudah
mencukupi, maka suatu kebenaran yang sesungguhnya sulit diwujudkan dalam praktik.27
Dalam Hukum Acara Perdata, tingkat pembuktian yang harus dicapai cukup dengan tingkat
“bukti lebih besar kemungkinan” (preponderance of evidence), yang sering diartikan sebagai tingkat
22 Marulak Pardede, Hukum Pidana Bank., Op.Cit, hlm 100.
23 Ibid, hlm 130.
24 Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
25 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm 2.
26 Ibid, hlm 3.
27 Loc.Cit.,

14

pembuktian yang menghasilkan suatu kesimpulan bahwa lebih besar kemungkinan eksistensi fakta
yang dibuktikan itu daripada noneksistensinya. Akan tetapi, menurut Teori Hukum Pembuktian,
terhadap pembuktian dalam hukum acara perdata, untuk kasus-kasus tertentu, disyaratkan tingkat
pembuktian yang lebih tinggi dari sekedar pembuktian propenderans, yakni disyaratkan terbukti secara
jelas dan menyakinkan (clear and convicing evidence), misalnya, diterapkan terhadap kasus-kasus
perdata yang dekat dengan pidana seperti terhadap kasus penipuan perdata.28
Akan tetapi, teori hukum pembuktian mengajarkan juga bahwa tidak setiap fakta dalam Acara
Pidana harus dibuktikan dengan tingkat pembuktian yang tinggi. Untuk fakta-fakta tertentu, seperti
untuk membuktikan kesehatan mental dari tersangka tersebut, membuktikannya tanpa harus sampai ke
tingkat yang lebih tinggi, tetapi tingkat terbukti dengan kemungkinan lebih besar (preponderance)
sudah dianggap memadai.29
Kelemahan dari alat bukti baik dalam bidang hukum pidana maupun dalam bidang hukum
perdata, yang menyebabkan pencarian keadilan tidak selamanya dapat di realisasi. kelemahankelemahan tersebut misalnya :30
1.

alat bukti yang palsu

2.

alat bukti yang hanya menghasilkan prasangka atau dugaan saja

3.

kebohongan atau kelicikan

4.

keterbatasan para pihak untuk membuktikan

5.

keterbatasan hakim dalam menafsirkan pengunaan dari alat bukti

6.

mafia peradilan.
Teori hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat

bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat-syarat sebagai berikut :31
1.

Di perkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti

2.

Reability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu)

3.

Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.

4.

Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
Dilihat dari segi kedekatan antara alat bukti dan fakta yang akan dibuktikannya, terdapat dua

macam alat bukti, yaitu sebagai berikut :32
1.

Alat bukti langsung (Direct Evidence)

28 Ibid, hlm 46.
29 Ibid, hlm 47.
30 Ibid, hlm 4.
31 Loc.Cit.,
32 Ibid, hlm 5.

15

Suatu alat bukti dimana saksi melihat langsung fakta yang akan dibuktikan sehingga fakta
tersebut terbukti langsung (dalam satu tahap saja) dengan adanya alat bukti tersebut. contoh :
manakala saksi melihat langsung bahwa si pelaku kejahatan mencabut pistolnya dan menembak
kearah korban, saksi mendengar bunyi letusan, dan kemudian melihat langsung korban
terkapar.
2.

Alat bukti tidak langsung (Inderect Evidence) / Sirkumtansial
Suatu alat bukti dimana antara fakta yang terjadi dan alat bukti tersebut hanya dapat dilihat
hubungannya setelah ditarik kesimpulan-kesimpulan tertentu. Contoh : manakala ditempat
kejadian, saksi untuk kasus pembunuhan melihat korban tersungkur dengan darah diperutnya,
dan di dekatnya terlihat tersangka memegang pisau yang berlumuran darah, dan kemudian
pelaku melarikan diri. Jadi, saksi sebenarnya tidak melihat dengan matanya sendiri tentang
proses terjadinya pembunuhan tersebut, tetapi dari keterangan dalam kesaksiannya, dapat
ditarik kesimpulan bahwa korban dibunuh oleh tersangka dengan pisau.
Dilihat dari segi fisik alat bukti, alat bukti tersebut dapat di bagi kedalam tiga kategori,

yaitu :33
1.

Alat Bukti Testimonial
Adalah Pembuktian yang diucapkan (oral testimony) yang diberikan oleh saksi di depan
pengadilan.

2.

Alat Bukti Yang Berwujud (tangible evidence)
Adalah model-model alat bukti yag dapat dilihat wujudnya/bentuknya, yang pada prinsipnya
terdiri atas dua macam, yaitu :
a. Alat Bukti Riil
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan alat bukti rill adalah sejenis alat bukti yang
merupakan benda yang nyata ada ditempat kejadian, misalnya pistol atau pisau yang
telah digunakan untuk membunuh atau mesin yang tidak berfungsi sehingga
menyebabkan kecelakaan.
b. Alat Bukti Demonstratif
Yang dimaksudkan dengan alat bukti demonstratif adalah alat bukti yang merupakan
benda tetapi bukan benda yang ada di tempat kejadian, misalnya, alat bantu visual atau
audio visual, foto, gambar, grafik, omodel anatomi tubuh, dan sebagainya.
c. Alat bukti berwujud tetapi bersifat testimonial

33 Ibid, hlm 5 s/d 6.

16

Adalah bentuk campuran antara alat bukti testimonial dan alat bukti berwujud. Dalam
hal ini, sebenarnya alat bukti tersebut fisiknya berwujud, tetapi memiliki sifat yang
testimonial, misalnya transkrip dari keterangan saksi (deposisi) atau transkrip dari
kesaksian dalam sidang sebelumnya dikasus yang lain.
Bahwa dalam kenyataannya, disamping alat bukti konvensional yang sudah lama dikenal,
seperti alat bukti surat, saksi, pengakuan, dan sebagainya, sangat banyak model alat bukti yang non
konvensional, tidak terantisipasi pada saat HIR dan KUHAP dibentuk, misalnya tentang alat bukti
elektronik, saintifik, dan lain-lain. Oleh karena itu, dapat atau tidaknya diterima alat bukti tersebut di
prngadilan, masih mengandung banyak perdebatan. Akan tetapi, agar hukum pembuktian kita tidak
ketingalan kereta api, alat-alat bukti non konvensional tersebut haruslah dipertimbangkan hakim untuk
diterima sebagai alat bukti di pengadilan. Hal ini dapat dilakukan, baik lewat alat bukti “persangkaan”
dalam hukum acara perdata (vide Pasal 164 HIR) maupun melalui alat bukti “petunjuk” dalam hukum
acara pidana (vide Pasal 184 KUHAP).34
Salah satu karakter dari hukum pembuktian adalah bahwa hukum pembuktian merupakan suatu
cabang ilmu hukum yang sangat technology oriented. Artinya, perkembangan tehnologi memberikan
dampak langsung pada perkembangan pembuktian di pengadilan. Dewasa ini akibat perkembangan
tehnologi tersebut, kejahatan sudah dapat dibuktikan dengan sangat menyakinkan hanya dengan
memakai tes DNA misalnya, suatu tehnologi yang sebelumnya dikenal oleh ilmu dan tehnologi itu.
Hanya perlu diamati, seberapa jauh penggunaan teknologi modern tersebut dapat digunakan di
pengadilan, sampai dimana reliabilitasnya, dan bagaimana agar penggunaan tersebut tidak
menimbulkan praduga yang tidak perlu atau berbagai penyalahgunaan lainnya.35
Dari perkembangan hukum pembuktian sebagaimana terjadi dalam sejarah hukum, ada satu
trend yang pasti yang bersfifat evolutif bahwa tatkala di sadari bahwa sistem pembuktian tertentu atau
suatu model alat bukti tertentu menjadi tidak lagi efektif dan tidak efisien untuk mencari kebenaran,
misalny karena terlalu banyak di manipulasi, maka sistem hukum yang cerdas akan mencari sistem
pembuktian lain atau alat bukti lain, setidak-tidaknya tidak lagi mengunakan sistem pembuktian atau
alat bukti yang sudah ada itu. Perkembangan terakhir adalah dengan digunakannya berbagai
pembuktian modern, seperti pembuktian dengan menggunakan elektronik, ilmu pengetahuan, dan
teknologi, misalnya, pembuktian dengan menggunakan tes DNA yang sudah sangat terkenal itu.36

34 Loc.Cit.,
35 Ibid, hlm 8.
36 Ibid., hlm 14.

17

Ini berkaitan juga dengan Teori Relevansi alat bukti, relevansi alat bukti merupakan salah satu
di samping berbagai alasan lain untuk menolak dimunculkannya suatu alat bukti dalam suatu perkara. 37
Dengan demikian, agar suatu alat bukti dapat diterima di pengadilan, alat bukti tersebut haruslah
relevan dengan yang akan dibuktikan. Jika alat bukti tersebut tidak relevan, pengadilan haruslah
menolak bukti semacam itu karena menerima bukti yang tidak relevan akan membawa resiko tertentu
bagi proses pencarian keadilan yaitu :
1.

Membuang-buang waktu sehingga dapat memperlambat proses peradilan

2.

Dapat menjadi misleading yang menimbulkan praduga-praduga yang tidak perlu

3.

Penilaian terhadap masalah tersebut menjadi tidak proposional, dengan membesar-besarkan
yang sebenarnya kecil, atau mengecilkan yang sebenarnya besar.

4.

Membuat proses peradilan menjadi tidak rasional.
Oleh karena itu, amatlah penting bagi hakim dalam proses pengadilan untuk mengetahui dan

cepat memutuskan apakah suatu alat bukti relevan atau tidak dengan fakta yang akan dibuktikannya.
Alat bukti menjadi relevan manakala alat bukti tersebut memiliki hubungan yang cukup dengan
masalah yang akan dibuktikan. Setelah diputuskan bahwa alat bukti tersebut relevan, langkah
selanjutnya (langkah kedua) adalah melihat apakah ada hal-hal yang dapat menjadi alasan untuk
mengesampingkan alat bukti tersebut, misalnya karena alasan saksi de auditu.38
Dalam proses melihat relevan atau tidaknya suatu alat bukti (langkah pertama), haruslah dicari
tahu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan :39
1.

Apakah yang akan dibuktikan oleh alat bukti tersebut ?

2.

Apakah yang akan dibuktikan itu merupakan hal yang material/substansial bagi kasus tersebut ?

3.

Apakah bukti tersebut memiliki hubungan secara logis dengan masalah yang akan dibuktikan ?

4.

Apakah bukti tersebut cukup menolong menjelaskan persoalan (cukup memiliki unsur
pembuktian) ?
Manakala jawaban terhadap semua pertanyaan tersebut positif, baru dilanjutkan pada tahap

kedua, yaitu melihat apakah ada ketentuan lain yang merupakan alasan untuk menolak alat bukti
tersebut. Alasan atau aturan yang harus di pertimbangkan tersebut antara lain, sebagai berikut :40
1.

Bagaimana dengan prinsip penerimaan alat bukti secara terbatas ?

2.

Alat bukti tersebut ditolak manakala penerimaannya dapat menyebabkan timbulnya praduga
yang tidak fair atau dapat menyebabkan kebingungan

37 Ibid., hlm 25.
38 Ibid., hlm 26.
39 Loc.Cit.,
40 Ibid., hlm 27.

18

3.

Merupakan saksi de auditu yang harus ditolak

4.

Ada alasan yang ekstrinsik yang dapat membenarkan penolakan alat bukti tersebut, misalnya,
ada perbaikan yang dilakukan kemudian, atau ada asuransi yang dapat mengcover kerugian
tersebut, seperti asuransi tanggung jawab (liability insurance).

5.

Adanya pembatasan-pembatasan untuk menggunakan bukti karakter (ingat kasus
pembunuhan wanda, bukti karakter suka minum dan suka main perempuan yang dilekatkan
polisi kepada tersangka).
Alat bukti yang relevan adalah suatu alat bukti dimana penggunaan alat bukti tersebut dalam

proses pengadilan lebih besar kemungkinan akan dapat membuat fakta yang dibuktikan tersebut
menjadi lebih jelas daripada jika alat bukti tersebut tidak digunakan. Dengan demikian, relevansi lat
bukti bukan hanya diukur dari ada atau tidaknya hubungannya dengan fakta yang akan dibuktikan,
melainkan dengan hubungan tersebut dapat membuat fakta yang bersangkutan menjadi lebih jelas.
Untuk itu, perlu dibedakan antara masalah relevansi alat bukti dan materialitas dari alat bukti tersebut.
Dalam hal ini, relevansi alat bukti diukur dari apakah alat bukti tersebut relevan dengan fakta yang
akan dibuktikan. Sementara itu, masalah materialitas (materiality) dari alat bukti merupakan jawaban
terhadap pertanyaan apakah fakta yang akan dibuktikan tersebut cukup signifikan (cukup penting) bagi
kasus tersebut secara keseluruhan ?41
Permasalahan dalam praktek adalah banyak persoalan tentang relevansi alat bukti jika alat bukti
tersebut adalah alat bukti sirkumtansial, yakni alat bukti yang hanya dapat membuktikan sesuatu
setelah ditarik suatu kesimpulan-kesimpulan tertentu. Sebagai contoh, saksi tidak melihat proses
terjadinya pencurian, tetapi melihat dengan jelas tersangka yang sedang menjual barang hasil
curiannya sehingga jika tidak ada bukti sebaliknya yang lebih kuat, dapat ditarik kesimpulan bahwa
tersangka tersebutlah pelaku pencurian yang bersangkutan. Persyaratan relevansi bagi suatu alat bukti
sirkumtansial haruslah relevansi yang rasional. Dalam hal ini, haruslah dapat ditunjukan secara
rasional penggunaan alat bukti tersebut dalam proses pengadilan lebih besar kemungkinan akan dapat
membuat fakta yang dibuktikan tersebut menjadi lebih jelas daripada jika tidak digunakan alat bukti
tersebut.42
Untuk kasus yang melibatkan alat bukti yang sirkumtansial ini dapat diberikan contoh sebagai
berikut :43


Contoh alat bukti sirkumtansial yang relevan

41 Loc.Cit.,
42 Ibid., hlm 28
43 Loc.Cit.,

19

Jika saksi tidak melihat proses terjadinya pembunuhan, tetapi melihat tersangka lari dari tempat
kejadian dengan tangan berlumuran darah, alat bukti sirkumtansial tersebut relevan dengan
kasus pembunuhan yang bersangkutan karena orang yang tangannya berlumuran darah yang
lari dari tempat kejadian besar kemungkinan adalah pembunuh itu sendiri. Jadi, besar
kemungkinan alat bukti tersebut dapat lebih memperjelas duduk permasalahan ketimbang tanpa
alat bukti.


Contoh alat bukti sirkumtansial yang tidak relevan
Bahwa untuk membuktikan suatu perbuatan melawan hukum karena kelalaian, tidak perlu
didatangkan saksi yang dapat membuktikan bahwa tersangka setelah sebelumnya menggunakan
asuransi tanggung jawab (liability insurance). Alat bukti sirkumtansial tersebut secara rasional
tidak relevan, yakni tidak mebuat fakta menjadi lebih jelas. Hal ini karena orang yang masuk
asuransi tanggung jawab tidak berarti lebih cenderung melakukan kelalaian daripada orang
yang tidak masuk asuransi tersebut.
Bagaimanakah relevansi karakter dan kebiasaan manusia sebagai alat bukti, dalam teori hukum

pembuktian diajarkan bahwa secara prinsip, pembuktian yang berhubungan dengan karakter dan
kebiasaan secara hukum dianggap tidak relevan dengan perkara dimana masalah karakter dan
kebiasaan bukan menjadi persoalan yang dipersengketakan. Jadi katakanlah terbukti salah satu pihak
memang memilik karakter yang jelek dibidang tertentu, tetapi hal tersebut tidak dapat digunakan untuk
membuktikan bahwa dia mengulangi hal yang sama dalam kasus yang bersangkutan. Jika ada kasus
perceraian karena pasangannya telah melakukan zina, jika pasangannya itu dahulunya suka gonta ganti
pasangan, bahkan pernah hidup bersama dengan lawan pasangan jenis tanpa menikah, fakta tersebut
tidak berarti bahwa sekarang dia juga suka berzina. Oleh karena itu, secara hukum, bukti yang
demikian dianggap tidak relevan.44
Namun demikian, prinsip tidak relevannya alat buk