Advokasi SKA-PKPA (Sanggar Kreativitas Anak – Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) Dalam Penanggulangan Kekerasan Pada Anak Jalanan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Fenomena anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang
kompleks. Anak jalanan merupakan salah satu persoalan dari beberapa
permasalahan anak yang memerlukan penanganan secara cepat dan tepat. Hidup
menjadi anak jalanan bukanlah suatu pilihan yang menyenangkan bagi seorang
anak. Keberadaan anak jalanan tidak jarang menjadi sebuah masalah tersendiri
bagi banyak pihak seperti keluarga, masyarakat maupun negara. Banyak faktor
yang melatarbelakangi seorang anak menjadi anak jalanan.
Menurut Raksanaga dan Soetarso secara umum ada tiga penyebab
munculnya masalah anak-anak jalanan, yaitu: pertamatingkat mikro yaitu
berhubungan dengan anak dan keluarganya. Pada tingkatan ini penyebabnya dapat
dilihat dari keluarganya maupun dirinya sendiri. Contohnya, lari (kabur) dari
keluarga, disuruh orang tua bekerja setelah pulang sekolah, putus sekolah, dan
diajak oleh teman. Kedua tingkat messo, yaitu berhubungan dengan lingkungan
sekitarnya seperti teman sebaya ataupun teman sekolahnya. Pada tingkatan ini
penyebab yang dapat dilihat dari ketidakmampuannya orang tua dalam
menyediakan kebutuhan anak, ditolak orang tua, dan kekerasan yang terjadi di
rumah. Ketiga tingkat makro, yaitu berhubungan dengan lingkungan masyarakat


Universitas Sumatera Utara

yang lebih luas ataupun kebijakan sosial yang berkaitan dengan anak jalanan.
Biasanya pada masyarakat miskin, anak-anak menjadi aset dalam membantu
meningkatkan penghasilan dalam keluarganya. Anak-anak diajarkan untuk
bekerja yang sering sekali mengakibatkan putus sekolah.
Jika disimpulkan dari penjelasan di atas, maka anak jalanan dilihat dari
sebab mereka berada di jalanan tidak bisa di sama ratakan. Dilihat dari sebab,
sangat dimungkinkan tidak semua anak jalanan berada dijalanan karena tekanan
ekonomi keluarga, bisa jadi karena pergaulan, pelarian, atau atas dasar pilihannya
sendiri.UNICEF mendefinisikan anak jalanan sebagai “street child are those who
have abandoned their home, schools, and immediate communities before they are
sixteen years of age have drifted into a nomadic street life” (anak-anak berumur
di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan
lingkungan masyarakat terdekat, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah).
Departemen Sosial RI mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang
sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di
jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Anak sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan makhluk sosial sejak dalam kandungan sampai dengan dilahirkan
mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan, baik dari

orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Anak sebagai modal

Universitas Sumatera Utara

pembangunan yang akan memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan
yang ada dimasa depan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008
menyebutkan terdapat 154.861 jiwa anak jalanan di Indonesia.
Kemudian, pada tahun 2009 meningkat menjadi sebanyak
230.000 anak jalanan. Tahun 2010 jumlah anak jalanan di
Indonesia diperkirakan mencapai 200.000 anak dan tahun 2012
menjadi 230.000 anak. Jika dilihat dari data tersebut, pada tahun
2010 anak jalanan yang ada di Indonesia mengalami penurunan,
namun kembali meningkat di tahun 2012. Itu artinya, jumlah anak
jalanan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sama halnya
dengan kota Medan, yang juga menghadapi permasalahan anak
jalanan dan setiap tahunnya juga mengalami peningkatan.
Berdasarkan data dari Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara,
menyatakan pada tahun 2008 jumlah anak jalanan di kota Medan
ada 663 anak dan menjelang akhir tahun 2009 mencapai 500-an

anak. Sedangkan pada tahun 2011 jumlah anak jalanan
meningkat menjadi 745 anak, dan pada tahun 2012 jumlah anak
jalanan meningkat menjadi 837 anak. Jumlah ini juga diprediksi
akan meningkat karena faktor ekonomi keluarga yang semakin
hari menjadi semakin buruk. Kementerian Sosial RI pernah
menegaskan bahwa akhir tahun 2014 Indonesia akan bebas dari
masalah anak jalanan, dan sejak tahun 2011 Kementerian Sosial
RI telah melakukan penanganan sekitar 80 persen anak jalanan.
Namun kenyataannya, sampai saat ini masih banyak dijumpai
anak jalanan di persimpangan jalan maupun tempat-tempat
umum lainnya. Ada beberapa lokasi di kota Medan yang sering
dijadikan anak jalanan sebagai tempat untuk beraktivitas yaitu
sekitar Terminal Terpadu Amplas, Terminal Pinang Baris,
Simpang Sei Sikambing, Simpang Ramayana-Katamso, Simpang
Pos, Titi Kuning/Simpang Tritura, Krakatau/Cemara, dan
Persimpangan
Halat/Sisingamangaraja.
(http://www.google.com/search?q=jumlah+anak+jalanan+tahun
+2011+di+kota+medan&clint=ms-rim&hl=en&oe=UTF8&channel=browser&ie=UTF-8&bm, diakses tanggal 12
November 2015, pukul 22.00 WIB).


Universitas Sumatera Utara

Jika melihat kondisi yang ada, tampaknya nasib anak-anak khususnya
anak jalanan belum menjadi kesadaran bersama. Anak jalanan masih dipandang
sebagai urusan keluarganya dan komunitas lokal. Dalam kenyataannya,
pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak kerap diabaikan. Anak
yang seharusnya dilindungi bersama justru terabaikan sehingga rentan terhadap
diskriminasi dan kekerasan. Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi pada anak
yaitu berupa kekerasan secara fisik, kekerasan emosional, dan kekerasan seksual,
bahkan penelantaran anak.
Dalam UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat
(15) butir a menjelaskan bahwa: “kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis,
seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan”. Kekerasan yang dimaksud dapat
berbentuk kekerasan fisik seperti pukulan, penganiayaan, dan sebagainya,
kekerasan mental (psikis) seperti mengancam, menghina, dan sebagainya dan
kekerasan seksual seperti pemaksaan hubungan seksual (pemerkosaan), pelecehan
seksual, dan sebagainya. Sedangkan penelantaran atau pengabaian terhadap anak

mengacu pada pengabaian emosional atau perilaku orang tua yang ditujukan
langsung kepada anak tetapi memicu tumbuhnya kenakalan atau kejahatan seperti

Universitas Sumatera Utara

perilaku seks menyimpang, kejahatan narkoba, penggunaan alkohol dan kejahatan
lainnya.
Kekerasan sudah menjadi bagian kehidupan yang tidak terpisahkan yang
dialami oleh setiap anak jalanan. Berbagai bentuk kekerasan terhadap anak
jalanan telah memperburuk kondisi kehidupan anak jalanan. Kasus kekerasan
terhadap anak semakin hari semakin banyak terjadi apabila kita memperhatikan di
berbagai media. Kasus kekerasan terhadap anak banyak terjadi di dalam keluarga
dan pada umumnya dilakukan oleh orang yang paling dekat dengan mereka yang
seharusnya melindungi mereka. Hal itu sering dilakukan dengan alasan untuk
mendisiplinkan anak supaya anak tidak menjadi pembangkang, namun
kenyataannya tidak semua perlakuan keras terhadap anak menjadikan anak
semakin lebih baik.
Kasus kekerasan juga tidak hanya terjadi bagi anak-anak yang biasa
menghabiskan waktu di rumah, namun anak jalanan juga menjadi salah satu objek
yang paling rentan terhadap kekerasan. Kehidupan jalanan yang keras menjadikan

anak jalanan terbiasa dengan keadaan yang demikian. Berdasarkan data yang
dikumpulkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI pada tahun 2007,
kekerasan terhadap anak jalanan paling banyak dialami oleh mereka yang
berprofesi sebagai pengamen, pengemis, dan gepeng. Sebanyak 62% anak-anak

Universitas Sumatera Utara

perempuan masih sering mendapat perlakuan tak semestinya, sedangkan untuk
anak laki-laki tercatat 38%.
Peran pemerintah sebagai pemegang regulasi sangatlah diharapkan oleh
masyarakat yang memiliki suatu kebijakan akan permasalahan anak jalanan. Jika
dilihat, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memberikan
perlindungan kepada anak termasuk anak jalanan. Salah satunya dengan
mensahkan UU No. 3 tentang peradilan anak pada tahun 1999. Pemerintah juga
membentuk UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang saat ini telah
mengalami perubahan dan disempurnakan menjadi UU No. 35 tahun 2014 dalam
rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak. Namun tampaknya upaya
tersebut tidak terealisasikan dengan baik. Perlindungan terhadap anak jalanan
haruslah diberikan karena anak jalanan sangat rentan terhadap kekerasan.
Jika dilihat lebih jauh, permasalahan ini tidak mungkin hanya menjadi

fokus pemerintah saja yang mengambil peranan dalam permasalahan anak jalanan
tetapi merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, akademisi, dan
masyarakat yang dalam hal ini LSM (Lembaga Swadaya Mayarakat) ataupun
rumah singgah secara bersama-sama. Dampak dari terbatasnya program
pemerintah dalam menangani permasalahan anak jalanan menyebabkan tidak
semua

anak

jalanan

terjangkau

oleh

program

pelatihan

pemerintah


Universitas Sumatera Utara

tersebut,ditambah dengan semakin meningkatnya jumlah anak-anak jalanan setiap
tahunnya.
Dari titik tolak inilah melahirkan konsep bahwa suatu partisipasi
masyarakat dalam proses memberikan perlindungan ataupun pelatihan bagi anak
jalanan tidak dapat hanya sekedar strategi, namun juga menjadi hasil yang sangat
diharapkan dari program tersebut. Masyarakat dan peran LSM sebagai lembaga
yang non-pemerintah diharapkan bisa membantu permasalahan yang dihadapi
oleh anak-anak jalanan. Keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
mulai bermunculan pada awal tahun 1970-an yang menangani permasalahan anak
jalanan secara sosial tidak dapat diabaikan. Bangkitnya LSM terjadi beriringan
dengan kebijakan pemerintah yang mendorong dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam program pemberdayaan masyarakat pada tahun 1980-an.
Keberadaan LSM yang banyak sekarang ini tidak hanya menawarkan jalan
aternatif yang praktis untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat pembangunan sosial
dan ekonomi, namun juga kegiatan yang bersifat penyadaran dan pembelaan
kepentingan kaum marginal. Kegiatan LSM baik yang dilakukan sendiri-sendiri
maupun bekerjasama dengan pemerintah telah mencakup banyak sektor, salah

satunya mengenai program bagi anak jalanan melalui pendidikan dan
pendampingan ekonomi. LSM juga merupakan salah satu pelaku advokasi.

Universitas Sumatera Utara

Advokasi dapat diartikan sebagai tindakan atau proses untuk membela
atau memberi dukungan. Pembelaan atau dukungan biasanya diberikan kepada
kelompok masyarakat yang lemah atau kelompok marginal. Advokasi pada
hakekatnya adalah apa yang ingin kita ubah, siapa yang akan melakukan
perubahan tersebut, seberapa besar dan kapan perubahan itu bermula. Walaupun
tidak ada jangka waktu yang absolute untuk mencapai tujuan dari advokasi
tersebut, namun pada umumnya kegiatan pencapaian tujuan advokasi tersebutlah
yang dilihat dan diperhatikan.
Salah satu LSM yang ada di kota Medan adalah SKA-PKPA (Pusat Kajian
dan Perlindungan Anak). SKA adalah unit layanan PKPA khusus anak jalanan
yang didirikan sejak tahun 1998 dan sudah beroperasi sejak tahun 2001, yang
berlokasi di daerah Terminal Pinang Baris, Medan. SKA mengkhususkan
kegiatannya pada kegiatan pencegahan, perlindungan terhadap tindak kekerasan
pada anak jalanan serta pengembangan minat dan bakat anak jalanan. Terminal
Pinang Baris merupakan terminal terbesar kedua di Medan setelah Terminal

Amplas. Terminal ini menjadi salah satu lokasi strategis bagi aktivitas anak
jalanan di kota Medan.
Hasil pendataan dari SKA-PKPA ada lebih dari 200 anak jalanan yang
pada saat ini yang dilayani oleh SKA. Anak-anak jalanan tersebut rentan
mengalami penindasan atau kekerasan. Penindasan terhadap anak jalanan adalah

Universitas Sumatera Utara

segala bentuk diskriminasi atau tekanan dalam bentuk fisik, psikologis (mental)
dan seksual yang pernah dialami oleh anak jalanan baik dari keluarga, lingkungan
kerja ataupun aparat pemerintahan (Satpol PP). Berdasarkan data dari PKPA,
adapun bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi pada anak diantaranya pencabulan,
pemerkosaan, kekerasan fisik terhadap anak, penelantaran anak, penculikan,
persetubuhan anak, kekerasan psikologis, serta trafficking. Menurut data dari
SKA-PKPA, setiap tahunnya anak jalanan yang mengalami tindak kekerasan lebih
kurang sebanyak sepuluh orang yang didampingi dan ditangani secara hukum
maupun tidak. SKA sendiri tidak memiliki data yang pasti jumlah dari anak-anak
jalanan yang mengalami kekerasan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti bermaksud melakukan
penelitian dengan mengambil judul “Advokasi SKA-PKPA (Sanggar Kreativitas

Anak – Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) Dalam Penanggulangan Kekerasan
Pada Anak Jalanan”.
1.2. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam

penelitian

ini

adalah:

“Bagaimana

SKA-PKPA

mengadvokasi

penanggulangan kekerasan pada anak jalanan?”

Universitas Sumatera Utara

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan bagaimana SKAPKPA (Sanggar Kreativitas Anak – Pusat Kajian dan Perlindungan Anak)
mengadvokasi penanggulangan kekerasan pada anak jalanan.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
tentang tentang SKA-PKPA mengadvokasi penanggulangan kekerasan
pada anak jalanan.
b. Secara akademis, penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat
memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu sosiologi dan juga
sebagai bahan referensi atau bacaan yang serupa di hari dan masa yang
akan datang.
c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan
wacana bagi lembaga-lembaga sosial serta pemerhati anak dan anak
jalanan sehingga mampu melakukan upaya perlindungan secara optimal
dan menyeluruh.

Universitas Sumatera Utara

1.5. Definisi Konsep
1.5.1. Advokasi
Advokasi didefinisikan sebagai upaya nyatauntuk memperbaiki atau
mengubah suatu kebijakan publik sesuai dengankehendak dan kepentingan
mereka yang mendesak terjadinya perbaikandan perubahan tersebut. Secara
sederhana, kerja advokasi adalah mempengaruhi serta mengubah. Ini adalah kata
kunci yang selalu ada dalam kerja advokasi. Dalam bahasa Inggris, to advocate
tidak hanya berarti to defend (membela), melainkan pula to promote
(mengemukakan atau memajukan), to create (menciptakan) dan to change
(melakukan perubahan). Dalam konteks pemberdayaan anak jalanan, advokasi
tidak hanya berarti membela atau mendampingi anak jalanan, melainkan pula
bersama-sama dengan mereka melakukan upaya-upaya perubahan sosial secara
sistematis dan strategis. Advokasi yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah
advokasi sosial.
1.5.2. Anak
Dalam UU Nomor 35 tahun 2014 pasal 1 ayat (1) berbunyi, bahwa anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Dengan demikian, apabila ditinjau dari pengertian tersebut usia anak
yang akan diteliti oleh peneliti adalah anak yang berusia 8 sampai 18 tahun.

Universitas Sumatera Utara

1.5.3. Anak Jalanan
Menurut PBB, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian
besar waktunya dijalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas lain. Dapat
dikatakan juga, anak jalanan ialah anak yang melewatkan atau memanfaatkan
sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan.
Selain itu juga, anak jalanan ada yang masih bersekolah dan ada yang tidak
bersekolah, serta ada yang masih berhubungan dengan keluarga dan ada yang
sudah lepas dari keluarga.
1.5.4. Kekerasan
Menurut Soetji Andari, kekerasan adalah setiap perilaku seseorang yang
dapat menyebabkan keadaan perasaan (psikologis) atau tubuh (fisik) orang lain
menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini bisa berupa kekhawatiran,
ketakutan, kesedihan mendalam, ketersinggungan ataupun kemarahan. Sedangkan
keadaan fisik tidak nyaman dapat berupa luka, memar, patah tulang dan lain
sebagainya.

Universitas Sumatera Utara