Respon Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Terhadap Program Pelayanan Sosial Oleh Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA)

(1)

RESPON ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM TERHADAP PROGRAM PELAYANAN SOSIAL

OLEH PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (PKPA)

Skripsi

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh:

RANITA IRENE LUMBANTOBING 060902051

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Ranita Irene Lumbantobing

Nim : 060902051

ABSTRAK

RESPON ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM TERHADAP PROGRAM PELAYANAN SOSIAL OLEH PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (PKPA).

Skripsi ini terdiri dari 6 BAB, 90 halaman, 33 tabel, 2 lampiran serta 24 kepustakaan dan sumber lain yang berasal dari internet.

Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan anak yang disangka, didakwa maupun dipidana dalam masalah hukum. Anak yang berkonflik dengan hukum ini dikategorikan kedalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus karena tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasanya secara melanggar hukum atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan Undang-Undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat. Oleh sebab itu kenyamanan anak ketika mengalami masalah dengan hukum itu dapat di lindungi dengan adanya program pelayanan sosial. Program pelayanan sosial adalah suatu bentuk perlindungan dan pendorong melewati sumber-sumber yang disediakan yaitu membantu orang-orang memperbaiki kompetensi sosialnya, mempengaruhi dan mengubah tingkah laku serta memcahkan masalah penyesuaian diri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana respon Anak yang berkonflik denga hukum terhadap program pelayanan sosial oleh PKPA.Respon diartikan bahwa suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud baik itu pra pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Dalam hal ini respon anak ditujukan terhadap program Layanan Hukum, Konseling, Penjemputan Penyelematan Korban, Pemeriksaan Kondisi Kesehatan dan Monitoring.

Hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa respon anak yang berkonflik dengan hukum sebagai anak dampingan Lembaga PKPA, sangat baik dan positif melalui hasil penghitungan dalam program Layanan Hukum adalah 2.36, Konseling adalah 2.78, Penjemputan Penyelematan Korban adalah 2.85, Pemeriksaan Kondisi Kesehatan adalah 2.475 dan Monitoring adalah 2.625 serta hasil rata-rata skala penilaian adalah 8.22. Respon anak dapat diteliti dengan berbagai cara pendekatan seperti, merayu, bermain bersama, mengikuti gerak-geriknya dan menuruti kemauannya. Hal ini mempermudah peneliti untuk dapat menganalisis berbagai pertanyaan yang diajukan. Kemudian hasil yang diperoleh tersebut menjadi gambaran bagi Lembaga khususnya untuk mempertahankan kualitas program pelayanan sosial bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum Kata Kunci : Respon, Anak, Pelayanan


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Name : Ranita Irene Lumbantobing

Nim : 060902051

ABSTRACT

RESPONSE OF CHILDREN IN CONFLICT WITH THE LAW OF SOCIAL PROGRAM SERVICES BY PKPA.

This Thesis consist of 6 chapters, 90 pages, 33 tables, 2 attachment, 24 bibliographical entries and other sources from the internet.

The child who is a legal conflict with the alleged son, indicted or convicted in a legal matter. Children in conflict with the law which can be categorized into children who need special protection because not a single child can be deprived of their freedom in violation of law or arbitrary. The arrest, detention or imprisonment of a child must be in accordance with the Act, and is used only as a last resort and for the shortest duration and precise. Therefore comfort the child as having problems with the law can be protected by the social service programs. Social service programs is a form of protection and driving through the resources provided that help people improve their social competence, influence and change behavior and solve the problems of adjustment.

This study aims to determine how children respond to conflicting legal premises of social service programs by PKPA. Response mean that a behavior or attitude either pre tangible detailed understanding, assessment, or impact resistance, like it or not and the use of a phenomenon certain. In this case the child response directed against the Legal Services program, counseling, Victim Rescue Pickup, Inspection and Monitoring Health Conditions.

Results of research can be concluded that the response to children in conflict with the law as children have received assistance from Institute PKPA, very good and positive through the calculation results in the Legal Services program is 2.36, Counseling is 2.78, Saving Pickup Victim is 2.85, Check Condition is the 2.475 Health and Monitoring is 2.625 and the average rating scale was 8.22. Response can be studied children with a variety of ways such an approach, flirting, playing together, following her movements, and obey his will. This makes it easier for researchers to analyze the various questions raised. Then the results obtained it becomes an image for the Institute, especially to maintain the quality of social services programs for children that conflict with the law. Keywords: Response, Children, Service


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas Rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa Penulis ucapkan dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini dengan baik, yang berjudul: Respon Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Terhadap Program Pelayanan Sosial Oleh Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak. Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu syarat dalam menempuh Ujian Komprehensif untuk mencapai gelar Sarjana Sosial pada Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

Selama penyusunan skripsi ini, Penulis menyadari akan sejumlah kekurangan dan kelemahan, untuk itu membuka diri untuk saran dan kritik yang dapat membangun guna perbaikan di masa akan datang.

Pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si., selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Husni Thamrin, S.Sos. M.SP selaku Sekretaris Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial yang membantu saya dan juga sekaligus sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia membimbing dan memberi dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.


(5)

4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dan Pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara untuk segala ilmu pengetahuan selama perkuliahan dan dengan segala jasa-jasanya.

5. Bapak Ahmad Sofian selaku Pimpinan PKPA Medan yang telah mengizinkan saya melaksanakan PKL I, PKL II hingga melakukan Penelitian untuk menyelesaikan Skripsi ini di PKPA divisi PUSPA. Terimakasih juga atas kesempatan yang diberikan kepada saya selama 3 bulan diangkat sebagai Volunteer di PUSPA dan ECPAT. Pengalaman yang sangat luar biasa.

6. Orangtua tercinta, Daddy Pdt. T. Lumbantobing, S.Th dan Mommy B. br. Sihombing, Amd, yang telah mendidik dan memberikan motivasi saya dalam segala hal terutama selama masa-masa perkuliahan. Dank dir für eure Gebet und möge Gott euch immer beschützen. Buat abangku Heri si Mr. Talllong, makasih ya atas dukunganmu dan pengertianmu ketika ku merasa sangat terpuruk, cepat selesaikan Extention mu, biar lanjut lagi kita ke S2, hehehe…. Buat alm. Adekku Nina si kritingbebek yang jauh disana, kakak hanya bisa bilang “I miss you”. Buat Opung terimakasih atas uji mentalnya dan semoga opung panjang umur.

7. Sahabatku Fenny dan Lista. KOMA Melodji, Remalakian dan Samridol, Arjun, Nantha & Kokom, Manuk, Nobel, Edho, Idhel, Tho, Nyuz, Lerry, Dear, Bobby, Dicky, Maykel, Lia, Evi, Jupri, Ade, Ollie, B’Alek, Dahran, Anwar, Anang, Rahmat, Nora, Tati, Mei, Yanti dan Mitha, Nova², Dewi³ dan semua Stambuk ’06 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Senior begitu juga dengan Junior, SEMANGAT dan SUKSES selalu..


(6)

8. Teman-teman PNB Gereja HKI Medan Petisah, bang Anto 3J, kak Maria, kak Moniq, Elen karo, Miss Juli, Marty, Lang Winson, Lang Ichan dan yang lainnya, terimakasih atas doa-doanya.

9. Adekku Vierty, Vernandito dan Veronika, hanya kalian yang bisa membuat suasana dirumah jadi rame, betah dan menyenangkan. Belajar lebih giat lagi yaah… sayang kali kakak ma kalian.

10.Buat orang-orang yang tidak tersebutkan namanya yang sudah mendukung dan membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, saya ucapin terima kasih dan sukses buat kalian semua.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik guna menyempurnakannya. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2010 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN

ABSTRAK………...i

KATA PENGANTAR………..iii

DAFTAR ISI……….……….vi

DAFTAR TABEL……….ix

DAFTAR GAMBAR……….xi

DAFTAR LAMPIRAN………xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………...1

1.2. Perumusan Masalah....………..11

1.3. Tujuan Penelitian………..11

1.4. Manfaat Penelitian…….………...11

1.5. Sistematika Penulisan………...13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Respon……….14

2.2. Anak berkonflik dengan Hukum...………16

2.3. Pelayanan Sosial………...18

2.4. Peranan LSM melalui Program sebagai Pendamping terhadap Anak yang berkonflik dengan Hukum………...22


(8)

2.5.1. Defenisi Kesejahteraan Sosial……….24

2.5.2. Usaha Kesejahteraan Sosial………....28

2.6. Kerangka Pemikiran………..30

2.7. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional...33

2.7.1. Defenisi Konsep...33

2.7.2. Defnisi Operasional...34

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian………..35

3.2. Lokasi Penelitian….………..35

3.3. Populasi dan Sampel……….36

3.4. Teknik Pengumpulan Data………36

3.5. Teknik Analisis Data……….37

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1. Latar Belakang berdirinya LSM PKPA………39

4.2. Latar Belakang PKPA-PUSPA……….40

4.3. Letak dan Kedudukan Lembaga ... 42

4.4. Struktur Organisasi Lembaga dan Staff Pendukung ... 43

4.5. Visi dan Misi ... 46

4.6. Program ... 46

4.7. Strategi ... 47

4.8. Job Description ... 47


(9)

4.8.2. Layanan Hukum Tim Pengacara ... 49

4.8.3. Layanan Non Hukum ... 50

4.9. Pendanaan Lembaga ... 51

BAB V ANALISIS DATA 5.1. Data Identitas Responden ... 53

5.2. Data Pengetahuan Anak terhadap Program Pelayanan Sosial ... 60

5.2.1. Layanan Hukum ... 60

5.2.2. Konseling ... 68

5.2.3. Penjemputan Penyelamatan Korban ... 74

5.2.4. Pemeriksaan Kondisi Kesehat ... 79

5.2.5. Monitoring ... 83

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan ... 92

6.2. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA………...95 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

TABEL JUDUL HALAMAN

5.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 53

5.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 54

5.3. Karakteristik Responden berdasarkan Suku Etnis ... 56

5.4. Karakterstik Responden Berdasarkan Agama... 56

5.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 58

5.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Tempat Tinggal ... 59

5.7. Informasi Tentang Program Layanan Hukum bagi Responden ... 60

5.8. Tingkat Pengertian Responden terhadap Program Layanan Hukum ... 61

5.9. Tingkat Kepuasan Responden terhadap Program Layanan Sosial... 62

5.10. Tingkat Manfaat Program Layanan Hukum bagi Responden ... 63

5.11. Tingkat Kebaikan Lembaga dalam Menanggapi Pengaduan ... 64

5.12. Tingkat Bantuan oleh PKPA dalam Menyelesaikan Masalah ... 65

5.13. Tingkat Kemudahan dalam Prosedur Layanan Hukum PKPA ... 65

5.14. Tingkat Kepuasan Responden Terhadap Penanganan Kasus ... 66

5.15. Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Layanan Hukum... 67

5.16. Tingkat Keaktifan menjalani Program Konseling selama 1 Bulan ... 68

5.17. Tingkat Kepuasan Responden terhadap Pelaksanaan Program Konseling ... 70

5.18. Tingkat Manfaat Program Konseling bagi Responden ... 71

5.19. Tingkat Penjiwaan Staff PKPA Terhadap Klien ... 72

5.20. Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Konseling ... 74

5.21. Tingkat Kenyamanan Dalam Proses Penjemputan Bagi Klien ... 75


(11)

5.22. Tingkat Kepuasan Responden tentang

Program Penjemputan Penyelamatan Korban ... 76

5.23. Pengalaman Tidak Menyenangkan Responden ketika Proses Penjemputan Penyelamatan ... 76

5.24. Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Penjemputan Penyelamatan Korban ... 78

5.25. Jenis Pemeriksaan Kondisi Kesehatan ... 79

5.26. Tingkat Kepuasan Responden terhadap Program Pemeriksaan Kondisi Kesehatan ... 80

5.27. Tingkat Kesesuaian Program Pemeriksaan Kondisi Kesehatan terhadap Kebutuhan Klien ... 81

5.28. Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Pemeriksaan Kondisi Kesehatan ... 82

5.29. Tingkat Keikutsertaan Responden dalam Program Monitoring ... 83

5.30. Tingkat Kepuasan Responden tentang Program Monitoring ... 84

5.31. Tingkat Gangguan Program Monitoring bagi Responden ... 85

5.32. Harapan Responden terhadap Proses Pemantauan Kondisi Klien ... 86


(12)

DAFTAR GAMBAR

2.1. Bagan Alur Pemikiran ... 32 4.1. Struktur Organisasi Lembaga PKPA dan Staff Pendukung ... 43 4.2. Struktur Organisasi PUSPA ... 46


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Hasil Penghitungan Respon Anak ... 90 Lampiran II Hasil Penghitungan Skala Penilaian ... 91


(14)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Ranita Irene Lumbantobing

Nim : 060902051

ABSTRAK

RESPON ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM TERHADAP PROGRAM PELAYANAN SOSIAL OLEH PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (PKPA).

Skripsi ini terdiri dari 6 BAB, 90 halaman, 33 tabel, 2 lampiran serta 24 kepustakaan dan sumber lain yang berasal dari internet.

Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan anak yang disangka, didakwa maupun dipidana dalam masalah hukum. Anak yang berkonflik dengan hukum ini dikategorikan kedalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus karena tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasanya secara melanggar hukum atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan Undang-Undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat. Oleh sebab itu kenyamanan anak ketika mengalami masalah dengan hukum itu dapat di lindungi dengan adanya program pelayanan sosial. Program pelayanan sosial adalah suatu bentuk perlindungan dan pendorong melewati sumber-sumber yang disediakan yaitu membantu orang-orang memperbaiki kompetensi sosialnya, mempengaruhi dan mengubah tingkah laku serta memcahkan masalah penyesuaian diri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana respon Anak yang berkonflik denga hukum terhadap program pelayanan sosial oleh PKPA.Respon diartikan bahwa suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud baik itu pra pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Dalam hal ini respon anak ditujukan terhadap program Layanan Hukum, Konseling, Penjemputan Penyelematan Korban, Pemeriksaan Kondisi Kesehatan dan Monitoring.

Hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa respon anak yang berkonflik dengan hukum sebagai anak dampingan Lembaga PKPA, sangat baik dan positif melalui hasil penghitungan dalam program Layanan Hukum adalah 2.36, Konseling adalah 2.78, Penjemputan Penyelematan Korban adalah 2.85, Pemeriksaan Kondisi Kesehatan adalah 2.475 dan Monitoring adalah 2.625 serta hasil rata-rata skala penilaian adalah 8.22. Respon anak dapat diteliti dengan berbagai cara pendekatan seperti, merayu, bermain bersama, mengikuti gerak-geriknya dan menuruti kemauannya. Hal ini mempermudah peneliti untuk dapat menganalisis berbagai pertanyaan yang diajukan. Kemudian hasil yang diperoleh tersebut menjadi gambaran bagi Lembaga khususnya untuk mempertahankan kualitas program pelayanan sosial bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum Kata Kunci : Respon, Anak, Pelayanan


(15)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Name : Ranita Irene Lumbantobing

Nim : 060902051

ABSTRACT

RESPONSE OF CHILDREN IN CONFLICT WITH THE LAW OF SOCIAL PROGRAM SERVICES BY PKPA.

This Thesis consist of 6 chapters, 90 pages, 33 tables, 2 attachment, 24 bibliographical entries and other sources from the internet.

The child who is a legal conflict with the alleged son, indicted or convicted in a legal matter. Children in conflict with the law which can be categorized into children who need special protection because not a single child can be deprived of their freedom in violation of law or arbitrary. The arrest, detention or imprisonment of a child must be in accordance with the Act, and is used only as a last resort and for the shortest duration and precise. Therefore comfort the child as having problems with the law can be protected by the social service programs. Social service programs is a form of protection and driving through the resources provided that help people improve their social competence, influence and change behavior and solve the problems of adjustment.

This study aims to determine how children respond to conflicting legal premises of social service programs by PKPA. Response mean that a behavior or attitude either pre tangible detailed understanding, assessment, or impact resistance, like it or not and the use of a phenomenon certain. In this case the child response directed against the Legal Services program, counseling, Victim Rescue Pickup, Inspection and Monitoring Health Conditions.

Results of research can be concluded that the response to children in conflict with the law as children have received assistance from Institute PKPA, very good and positive through the calculation results in the Legal Services program is 2.36, Counseling is 2.78, Saving Pickup Victim is 2.85, Check Condition is the 2.475 Health and Monitoring is 2.625 and the average rating scale was 8.22. Response can be studied children with a variety of ways such an approach, flirting, playing together, following her movements, and obey his will. This makes it easier for researchers to analyze the various questions raised. Then the results obtained it becomes an image for the Institute, especially to maintain the quality of social services programs for children that conflict with the law. Keywords: Response, Children, Service


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latarbelakang Masalah

Anak adalah mahluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Anak merupakan mahluk sosial, perkembangan sosial anak membutuhkan pemeliharaan kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang semuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa anak-anak

(http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/19/pengertian-anak-tinjauan-secara-kronologis-dan-psikologis diakses 19 September 2009 pukul 18.00 WIB). Anak merupakan aset bangsa sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis sebagai succesor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.

Masih banyak anak-anak Indonesia yang rentan terhadap situasi kekerasan, beberapa fakta yang cukup memprihatinkan misalnya diperkirakan sekitar 60 persen anak balita Indonesia tidak memiliki akte kelahiran. Lebih dari 3 juta anak terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Bahkan, sekitar sepertiga


(17)

pekerja seks komersil berumur kurang dari 18 tahun. Sementara 40.000-70.000 anak lainnya telah menjadi korban eksploitasi seksual. Ditambah lagi sekitar 100.000 wanita dan anak-anak diperdagangkan setiap tahunnya. Belum lagi 5.000 anak yang ditahan atau dipenjara dimana 84 persen di antaranya ditempatkan di penjara dewasa. Masalah lain yang tak kalah memprihatinkan adalah pelecehan terhadap anak terutama anak-anak dan wanita yang tinggal di daerah konflik atau daerah bekas bencana, lebih dari 2.000 anak tidak mempunyai orang tua.

Seperti halnya anak-anak di belahan dunia lain, anak-anak di Indonesia pun mengalami kekerasan dalam rumah tangga, di jalanan, di sekolah dan di antara teman sebaya mereka. Hal tersebut mengakibatkan banyak anak yang secara tidak sadar berkonflik dengan hukum, tetapi ada juga anak yang berkonflik dengan hukum sebagai akibat tindak kriminal yang memang secara sadar dilakukan oleh anak.

Anak yang berkonflik dengan hukum dari waktu ke waktu selalu menjadi sorotan terutama dari perspektif masyarakat yang gelisah dan resah akibat perilaku anak yang sering disebut nakal. Bahkan saat ini masalah kenakalan anak tersebut mendapat perhatian yang cukup besar karena kuantitas dan kualitasnya yang meningkat. Indonesia merupakan salah satu dari 191 negara yang telah meratifikasi konvensi hak anak Convention on the Right of Children pada tahun 1990 melalui Kepres No. 36 tahun 1990. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak bagi semua anak tanpa terkecuali, salah satu hak anak yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan adalah hak anak yang berkonflik dengan hukum.


(18)

Hasil studi dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat menunjukan anak yang berkonflik dengan hukum sering memperoleh perlakuan yang buruk, bahkan dalam beberapa hal telah diperlakukan lebih buruk bila dibandingkan dengan orang dewasa yang berada dalam situasi yang sama. Mayoritas dari anak yang berkonflik dengan hukum mengaku telah mengalami tindak kekerasan ketika berada di kantor polisi. Bentuk kekerasan yang umum terjadi yaitu kekerasan fisik berupa tamparan dan tendangan, namun ada juga kasus kekerasan yang sekaligus berupa pelecehan seksual seperti kekerasan yang ditujukan pada alat kelamin atau tersangka anak yang ditelanjangi. Dua hal seperti ini terjadi pada anak yang disangka melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan

(http://pembaharuan-hukum.blogspot.com/2009/02/upaya-penyelesaian-masalah-anak_03.html diakses 20 September 2009 Pukul 19.05 WIB).

Selain kekerasan pada fisik dan kekerasan seksual yang dilakukan pada anak, bentuk kekerasan lain yang terjadi yaitu perampasan uang yang ada pada anak. Selain itu kekerasan juga terjadi dalam wujud penghukuman yaitu berupa tindakan memaksa anak untuk membersihkan kantor polisi seperti menyapu dan mengepel, dan membersihkan mobil milik polisi.

Perlakuan buruk juga kadang masih terjadi ketika anak sudah berada dalam tahanan maupun Lembaga Pemasyarakatan, perlakuan tersebut berupa pemalakan atau bentuk eksploitasi lainnya. Banyak terdapat kasus kekerasan semacam ini yang dilakukan oleh para tahanan atau napi anak dan dewasa sehingga anak sering ditempatkan dalam sel yang terpisah.

Berdasarkan data oleh Departemen Sosial, anak yang berkonflik dengan hukum diperkirakan berjumlah sekitar 150.000 dan anak-anak sekitar remaja yang


(19)

terlibat penyalahgunaan zat atau obat bejumlah 120.000. Jumlah ini belum termasuk jumlah pengguna obat-obatan Psikotropik, Ecstasy, obat penenang, dan sebagainya. Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum ini antaralain diatur dalam UU Pengadilan Anak yang akhirnya telah disahkan oleh DPR (Irwanto, 99: 53).

Anak-anak yang berkonflik dengan hukum tentu membutuhkan perlindungan khusus, karena rentan dengan kekerasan, penyalahgunaan prosedural hukum dan rawan akan perampasan hak-hak untuk hidup, berkembang dan berpartisipasi. Oleh karena itu, anak-anak yang berkonflik dengan hukum, dalam terminologinya Konvensi Hak Anak (KHA) dikategorikan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (Children in need special protection), disamping anak-anak yang dieksploitasi, anak-anak dalam situasi darurat. Jika berbicara tentang advokasi bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum maka sebagian besar yang harus dilakukan adalah memberikan suatu intervensi hukum demi pembelaan hak-hak dari anak-anak tersebut. Dalam konteks ini agar mampu mengkritisi berbagai aspek yang nonhumanistis, yang jelas-jelas dihadapi anak-anak yang berkonflik dengan hukum (Prasadja, 98: 110).

Berdasarkan hasil survei terakhir oleh Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) dari 41 form pendokumentasian anak yang berkonflik dengan hukum diketahui, bahwa dalam tahap penyidikan oleh kepolisian tidak satu responden yang didampingi oleh penasihat hukum. Pada saat proses penyelidikan 95 persen anak tidak didampingi oleh orang tua atau wali. Saat akan ditahan, 60 persen orang tua atau wali tidak mendapatkan surat tembusan. Pada saat pemeriksaan hanya 50 persen responden yang menyatakan diberitahukan hak-hak mereka. Pada


(20)

proses penuntutan oleh kejaksaan, 90 persen responden tidak didampingi oleh penasihat hukum dan 68 persen tidak didampingi oleh orang tua atau wali. Mengenai surat pemberitahuan penahanan oleh kejaksaan, 41 persen orang tua atau wali maupun pengacara tahanan tidak mendapat surat tembusan. Tahap persidangan, 63 persen responden tidak didampingi penasihat hukum, dan 68 persen didampingi orang tua atau wali (Pengakuan Anak yang Berkonflik dengan Hukum diakses dari http://www.wikimu.com=12381 tanggal 19 September 2009 Pukul 18.25 WIB).

Anak berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus. UNICEF menyebut anak dalam kelompok ini sebagai children in especially difficult circumstances karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga atau berada pada lingkup otoritas institusi negara yang membutuhkan proteksi berupa regulasi khsusus, serta membutuhkan perlindungan dan keamanan diri (http://www.ypha.or.id/Praktekpraktek_sistem_peradilan_pidana_anak.pdf+anak+ yang+berkonflik+dengan+hukum diakses 19 September 2009 Pukul 17.50 WIB).

Kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi karena anak tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak dari orang dewasa yang berada di lingkungan tempat di mana anak biasanya menjalani hidup. Anak dengan kondisi belum matangnya fisik dan psikologisnya menyebabkan mereka membutuhkan perlindungan khusus. Pada dasarnya, apapun kondisinya anak adalah korban, walaupun anak adalah pelaku kejahatan. Sebagai pelaku kejahatan mereka adalah korban, korban kerasnya kehidupan, korban dari kehidupan keluarga yang kurang beruntung dan korban tidak berpihaknya pembangunan dan


(21)

kebijakan terhadap anak. Sebagai korban, mereka harus dilindungi dan dijamin untuk mendapatkan hak-haknya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari suatu Lembaga Swadaya Masyarakat anak di Sumatera Utara, Medan menempati peringkat tertinggi kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Sejumlah kasus kekerasan terhadap anak di Sumatera Utara ditemukan sebanyak 25 kasus di Medan dan dari jumlah itu sebanyak 17 merupakan perkosaan tarhadap anak di bawah umur. Sedangkan kasus lain adalah penganiayaan, delapan perkosaan terhadap anak atau incest, dua sodomi, empat penculikan dan tiga korban pembunuhan.

Daerah yang menempati rating kedua kasus kekerasan terhadap anak adalah Langkat disusul Deli Serdang, Asahan dan Nias. Di Simalungun, sepanjang tahun 2008 terjadi tiga kali pemerkosaan terhadap anak di bawah umur. Selanjutnya orang tua yang dianggap sebagai pelindung anak ternyata menempati tempat pertama pelaku kekerasan terhadap anak. Sepanjang tahun 2008 sebanyak 35 orang tua di berbagai daerah di Sumatera Utara melakukan penganiayaan dan pemerkosaan terhadap anak.

Refleksi akhir tahun Yayasan Pusaka Indonesia baru-baru ini menyebutkan, dari kasus pemerkosaan dan penganiayaan 15 orang diantaranya melakukan pemerkosaan terhadap anak kandung sendiri. Fakta ini sungguh memprihatinkan, karena orang tua seharusnya bertugas melindungi anaknya tetapi kenyataannya mereka justru jadi pelaku kekerasan. Rata-rata anak anak yang menjadi korban kekerasan orang tua berusia antara 15-16 tahun dengan rincian sebanyak 10 orang diperkosa, 11 dianiaya dan 3 orang dibunuh. Sementara anak yang berusia 9-10 tahun, 5 korban diperkosa, 10 dianiaya dan 1 orang mengalami


(22)

incest (http://www.Antara.Co.Id/View/?I=1173788569&C=NAS&S diakses 11 Oktober 2009 Pukul 19.25 WIB).

Anak-anak yang berkonflik dengan hukum yang menjadi terdakwa dalam persidangan harus dilihat bahwa mereka adalah korban. Mereka merupakan korban konflik rumah tangga, masalah perekonomian, lingkungan sosial, dan lain-lain. Pada dasarnya anak-anak dilahirkan dalam keadaan suci dan tidak memiliki persoalan, tetapi karena persoalan lingkungan ataupun konflik orangtua menyebabkan mereka berkonflik dengan hukum. Misalnya, anak melakukan perbuatan kriminal sebagi dampak kurangnya orang tua memberikan perhatian ataupun pengaruh berbagai tontonan yang tidak mendidik.

Berdasarkan hal tersebut maka persidangan untuk anak dibuat khusus. Anak selaku terdakwa diperlakukan berbeda dengan terdakwa orang dewasa. Mereka tidak boleh ditempatkan di ruang tahanan di pengadilan bercampur dengan terdakwa orang dewasa. Selain itu, para hakim yang menyidangkannya adalah hakim tunggal yang harus memenuhi beberapa ketentuan. Di antaranya, hakim tidak boleh mengenakan toga hakim dan ruangan siding dibuat senyaman mungkin tanpa menghilangkan identitas pengadilan. Selain itu, selama persidangan hakim harus menggunakan bahasa percakapan serta bahasa anak-anak dengan lemah lembut dan tidak menggambarkan bahasa yang bisa membuat mereka menjadi takut. Dengan demikian, suasana sidang yang dibuat sedemikian rupa akan lebih menampilkan suasana tidak formal (Penegakan Hukum Bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum diakses dari www.pikiranrakyat.com tanggal 20 September 2009 Pukul 20.11 WIB).


(23)

Dalam segala tindakan yang menyangkut anak, kepentingan terbaik bagi anak harus jadi pertimbangan utama. Inilah poin penting yang tertulis dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Indonesia yang sudah meratifikasi konvensi ini, sepertinya belum serius menjalankannya karena masih banyak kasus yang mencerminkan tidak adanya pertimbangan tersebut. Perlindungan harus dengan serius diberikan terhadap anak, pemerintah selaku lembaga yang berkewajiban untuk melindungi hak-hak anak belum cukup untuk memberikan perlindungan terhadap anak, tidak hanya pemerintah masyarakat juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Disamping itu peran lembaga swadaya masyarakat juga sangat penting dalam memberikan pelayanan sosial dan perlindungan terhadap anak.

Negara Indonesia punya segudang perundang-undangan yang bertujuan memberikan perlindungan, jaminan dan kepastian hukum bagi anak. Ada ratifikasi Konvensi Hak Anak PBB melalui Keppres 39/1990 dan sebagai bentuk implementasinya juga ada UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Ada lagi UU 3/1997 tentang Peradilan Anak yang khusus mengatur mengenai prosedur hukum bagi anak yang terlibat konflik dengan hukum. Sayangnya, banyak fakta yang menggambarkan UU yang ada tidak mampu melindungi dan menjamin anak dari kondisi hidupnya yang kurang beruntung. UU belum mampu mengeluarkan anak dari kondisi kehidupan yang muram, keluar dari kondisi tidak/putus sekolah, dan akhirnya menjadi pengemis, pemulung, penyemir sepatu, bekerja di pabrik, menjadi pekerja seks komersial dan sebagainya. UU juga belum mampu melindungi dan menjamin bahwa anak tidak lagi yang mengalami tindak kekerasan.


(24)

Salah satu kasus tindak kekerasan terhadap anak terjadi di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Bocah berusia 3,5 tahun, Endy Tegar Kurniadinata ditabrakkan ayah tirinya Puryanto ke keretaapi sehingga Tegar kehilangan salah satu kakinya. Belum lagi sejumlah kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, baik yang dilakukan guru dalam bentuk pemberian sanksi maupun kekerasan yang dilakukan sesama anak, pada kasus tersebut secara tidak langsung anak sudah berkonflik dengan hukum tetapi tidak mendapatkan perlindungan hukum dan pelayanan sosial dari berbagai pihak, padahal anak mempunyai hak untuk mendapatkan bantuan dan pelayanan sosial dari pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat.

Perlindungan dan jaminan kepastian hukum juga belum mampu diberikan Undang-Undang Perlindungan yang dikeluarkan oleh pemerintah terhadap anak yang sedang berkonfik dengan hukum (children conflict with the law), khususnya anak sebagai pelaku tindak pidana. Fakta tersebut bisa dilihat dari kasus Raju pada tahun 2005. Dalam usia sembilan tahun pada waktu itu, dia diproses secara hukum di Pengadilan Negeri Stabat, Langkat, karena berkelahi. Proses hukum yang dijalani Raju adalah proses hukum sebagaimana layaknya orang dewasa.

Kasus terbaru adalah penangkapn sepuluh anak yang kedapatan bermain judi di sekitar Bandara Soekarno-Hatta. Polisi menahan anak tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya kepada orangtua mereka. Kesepuluh anak tersebut hanya bisa menangis di balik jeruji besi Pengadilan Negeri Tangerang karena tidak dapat melakaukan apa-apa sampai menunggu sidang terhadap kasus mereka digelar (http://www.kksp.or.id/ind/?pilih=lihat&topik=9&id=286 diakses tanggal 4 Oktober 2009 Pukul 17.55 WIB).


(25)

Demikian juga di daerah Sumatera Utara, masih cenderung mengabaikan masalah anak-anak yang menjadi korban kekerasan di sekolah. Anak-anak korban kekerasan di sekolah, anak-anak korban kekerasan seksual, anak-anak korban traffiking dan anak-anak yang berkonflik dengan hukum merupakan kelompok yang paling menderita lemahnya perlindungan hukum ini.

Kasus-kasus kekerasan terhadap anak memang cukup tinggi, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) beserta divisi sebagai penanggungjawab yaitu Pusat Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA) adalah salah satu lembaga swadaya masyakat yang aktif berperan dalam memberikan bantuan dan pelayanan sosial terhadap anak menyebutkan, terhitung Januari-November 2008 tercatat 373 kasus kekerasan terhadap anak, meningkat dari tahun sebelumnya 308 terhitung Januari-November 2007. PKPA menangani 130 kasus kekerasan pada anak tahun 2008 (http://www.pkpa.or.id/ind/?pilih=lihat&topik=7&id=121 diakses 4 Oktober 2009 Pukul 18.30 WIB).

PKPA sejak tahun 2006 sampai 2009 berhasil menangani dan mendampingi kasus anak baik secara litigasi dan nonlitigasi yaitu mulai dari proses di kepolisian, kejaksaan sampai ke pengadilan, tercatat kasus yang ditangani tahun 2006 kasus trafficking 37 kasus, kasus kekerasan terhadap anak baik fisik maupun seksual 28 kasus dan kasus anak yang berkonflik dengan hukum 6 kasus. Tahun 2007 untuk kasus trafficking 27 kasus, kasus kekerasan terhadap anak baik fisik maupun seksual 35 kasus dan kasus anak yang berkonflik dengan hukum 12 kasus. Sementara tahun 2009 kasus trafficking sebanyak 33 kasus, kasus kekerasan terhadap anak baik fisik maupun seksual 23 kasus, dan kasus anak yang berkonflik dengan hukum sebanyak 20 kasus. Dapat terlihat


(26)

bahwa hal ini mengalami tingkat penurunun, tetapi pada dasarnya jumlah kasus tersebut tentu relatif sangat kecil dibandingkan dengan fakta sebenarnya, karena banyak kasus yang tidak melapor ke PKPA atau selesai pada tingkat keluarga.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana respon anak yang berkonflik dengan hukum terhadap program pelayanan sosial. Dengan melihat respon dapat diketahui bagaimana sebenarnya tanggapan dan sikap anak tersebut terhadap program pelayanan sosial. Karena perbedaan respon dapat memunculkan perbedaan yang tajam pada pemanfaatan suatu program. Penelitian ini dirangkum dalam skripsi dengan judul : “Respon Anak yang Berkonflik dengan Hukum terhadap Program Pelayanan Sosial oleh PKPA”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latarbelakang masalah, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

“Bagaimana respon anak yang berkonflik dengan hukum terhadap Program Pelayanan Sosial oleh PKPA”

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon anak yang berkonflik dengan hukum terhadap Program Pelayanan Sosial oleh PKPA.


(27)

1.3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan gambaran harapan-harapan peneliti akan hasil akhir dari penelitian tersebut, dimana apabila terdapat kesesuaian atau kecocokan antara hasil dan harapan berarti bahwa penelitian ini sukses. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :

1. Sebagai bahan masukan bagi LSM PKPA-PUSPA sebagai unit Pelayanan Teknis agar lebih peka lagi dalam menangani dan memberikan Pelayanan-pelayanan yang terbaik melalui Program-Program Pelayanan Sosial

2. Lembaga khususnya PKPA-PUSPA untuk mengetahui sejauhmana respon anak penerima tersebut terhadap program-program pelayanan sosial yang mereka tetapkan

3. Hasil penelitian dapat menambah wawasan pengetahuan dan meningkatkan kemampuan berfikir penulis melalui karya ilmiah.

4. Sebagai referensi dan bahan sumbangan pemikiran serta bacaan bagi kelompok-kelompok yang tertarik terhadap permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum.


(28)

1.4. Sistematika Penulisan

Penulisan ini disajikan dalam 6 (enam) BAB dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latarbelakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tipe penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknis analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang lokasi penelitian, sejarah dan latarbelakang berdirinya lembaga.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini menguraikan bagaimana menganalisis data, berisikan penganalisaan data-data yang diperoleh dalam penelitian

BAB VI : PENUTUP

Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran-saran penulis, atas penelitian yang telah dilaksanakan.


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Respon

Respons dikatakan Darly Beum sebagai tingkah laku balas atau sikap yang menjadi tingkah laku adekuat. Sementara itu Scheerer menyebutkan respons merupakan proses pengorganisasian rangsang dimana rangsang-rangsang prosikmal di organisasikan. Sedemikian rupa sehingga sering terjadi representasi fenomenal dari rangsang prosikmal (Sarwono, 1998: 84).

Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang, karena sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku kalau ia menghadapi suatu rangsangan tertentu. Jadi berbicara mengenai respon atau tidak respon tidak terlepas dari pembahasan sikap. Respon juga diartikan suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu.

Melihat sikap seseorang atau sekelompok orang tehadap sesuatu maka akan diketahui bagaimana respon mereka terhadap kondisi tersebut. Menurut Louis Thursone, respon merupakan jumlah kecenderungan dan perasaan, kecurigaan, dan prasangaka, pra pemahaman yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal yang khusus. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa cara pengungkapan sikap dapat melalui:

1. Pengaruh atau penolakan 2. Penilaian


(30)

3. Suka atau tidak suka

4. Kepositifan atau kenegatifan suatu objek psikologi

Perubahan sikap dapat menggambarkan bagaimana respon seseorang atau sekelompok orang terhadap objek-objek tertentu seperti perubahan lingkungan atau situasi lain. Sikap yang muncul dapat positif yakni cenderung menyenangi, mendekati dan mengharapkan suatu objek, seseorang disebut mempunyai respon positif dilihat dari tahap kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Sebaliknya seseorang mempunyai respon negatif apabila informasi yang didengarkan atau perubahan suatu objek tidak mempengaruhi tindakan atau malah menghindar dan membenci objek tertentu. Terdapat dua jenis variable yang mempengaruhi respon :

1. Variable struktural yakni faktor-faktor yang terkandung dalam rangsangan fisik

2. Variable fungsional yakni faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat, misalanya kebutuhan suasana hati, penglaman masa lalu (Cruthefield, dalam Sarwono, 1998: 47)

Menurut Hunt (1962) orang dewasa mempunyai sejumlah unit untuk memproses informasi-informasi. Unit-unit ini dibuat khusus untuk menangani representasi fenomenal dari keadaaan diluar individu. Lingkungan internal ini dapat digunakan untuk memperkirakan peristiwa-peristiwa yang terjadi diluar. Proses yang berlangsung secara rutin inilah yang disebut Hunt sebagai suatu respon (Adi, 1994: 129).

Teori rangsang balas (stimulus respon theory) yang sering juga disebut sebagi teori penguat dapat digunakan untuk menerangkan berbagai gejala tingkah laku sosial dan sikap. Yang artinya disini adalah kecenderungan atau kesediaan


(31)

seseorang untuk bertingkah laku tertentu kalau ia mengalami rangsang tertentu. Sikap ini terjadi biasanya terhadap benda, orang, kelompok, nilai-nilai dan semua hal yang terdapat di sekitar manusia.

2.2. Anak berkonflik dengan Hukum

Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan istilah internasional yang digunakan terhadap anak yang disangka, didakwa maupun dipidana dalam masalah hukum. Dalam KHA, anak yang berkonflik dengan hukum ini dikategorikan ke dalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Salah satunya dinyatakan dalam pasal 37 KHA: "Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat."

Dalam berbagai regulasi nasional, ada beberapa penyebutan untuk anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam UU Pengadilan Anak disebut anak nakal, sementara dalam UU Perlindungan Anak terdapat dua penyebutan, yakni anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang berkonflik dengan hukum. Apapun sebutannya, yang terpenting adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan anak harus dilakukan dengan mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku.

Penegak hukum harus mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak dalam proses penegakan hukum. Salah satunya dengan menggunakan alternatif hukuman lain selain pidana formal. Misalnya dengan mengembalikan kepada


(32)

orangtua atau menempatkan mereka di pusat-pusat pembinaan. Jadi anak yang tertangkap tangan melakukan kejahatan tidak langsung ditangkap, ditahan dan diajukan ke pengadilan, tetapi harus menjalani proses-proses tertentu seperti pendampingan dan konseling untuk mengetahui apa yang menjadi kepentingan terbaik bagi mereka. Untuk mencegah masalah-masalah sejenis di masa mendatang, ada beberapa hal yang harus diperhatikan penegak hukum dalam rangka mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak yang berkonflik dengan hukum:

1. Pertama usia pertanggungjawaban pidana. Hal ini bermanfaat agar tidak sembarang anak dapat dibawa ke proses hukum, tetapi berdasarkan usia yang sudah ditetapkan. Indonesia menetapkan seorang anak dapat dibawa ke proses peradilan mulai dari usia delapan tahun. Usia ini sebenarnya sangat rendah. Di banyak negara usia pertanggungjawaban pidana antara 12-17 tahun. Seringkali usia ini menjadi masalah karena banyak anak tidak memiliki akta kelahiran sehingga sulit untuk mengasumsikan usia anak yang tidak diketahui usianya. Kondisi ini menyebabkan anak diberlakukan seperti orang dewasa saat berhadapan dengan hukum. Padahal berdasarkan Asian Guidelines for Child Trafficking dinyatakan bahwa apabila usia anak sulit ditebak, maka dia harus diasumsikan sebagai anak.

2. Kedua proses hukum dan sistem administrasi peradilan anak. Mulai dari tahap penyidikan, persidangan dan pemenjaraan seringkali sebagai tempat dilanggarnya hak-hak anak. Pada tahap awal proses penyidikan, semestinya orangtua anak harus telah diberitahukan mengenai kondisi anak. Bila orangtua tidak ada, maka harus dipilih walinya. Selanjutnya


(33)

anak harus mendapatkan pendampingan, baik pendampingan untuk proses konseling oleh psikolog, maupun pendamping hukum dengan biaya yang ditanggung negara.

3. Ketiga mengenai kesehatan. Perawatan kesehatan fisik dan psikis anak sering tidak menjadi perhatian negara selama anak menjalani proses penahanan dan pemidanaan. Bahkan dalam banyak kasus anak mengalami kekerasan fisik baik yang dilakukan oleh aparat negara, maupun sesama tahanan atau narapidana lainnya.

4. Keempat pendidikan. Anak yang melakukan tindak pidana umumnya dikeluarkan dari sekolah, padahal belum ada keputusan tetap yang mengikat, apakah anak tersebut bersalah atau tidak, sehingga menyalahi prinsip praduga tak bersalah dan tentunya menghilangkan hak anak atas pendidikan. Harus diingat, pemenjaran hanya menghilangkan hak bergerak seseorang, sementara hak-hak lainnya tetap wajib didapatkan. Jika seorang anak dipidana penjara, maka seluruh hak-haknya yang lain wajib diberikan, misalnya hak atas pendidikan, hak untuk terbebas dari tindak kekerasan (http://www.kksp.or.id/ind/?pilih=lihat&topik=9&id=286 diakses 4 Oktober 2009 Pukul 17.55 WIB).

2.3. Pelayanan Sosial

Pelayanan sosial adalah usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tujuan dalam pencapaian kesejahteraan sosial. Pelayanan sosial merupakan usaha pendorong, penawar, pengganti bagi keluarga yang institusi pendidikan; serta merupakan bagian dari mekanisme sosialisasi dan kontrol sosial keluarga, sekolah


(34)

dan pelayanan-pelayanan yang dirangkai untuk menyediakan sumber-sumber pribadi dan sosial yang esensial guna pelaksanaan peranan-peranan sosial yang efektif (Sekarningsih, 1983: 77).

Pelayanan sosial bukan hanya sebagai usaha memulihkan, memelihara, meningkatkan kemampuan berfungsi sosial individu dan keluarga, melainkan juga sebagai usaha untuk menjamin berfungsinya kolektifitas seperti kelompok-kelompok sosial, organisasi serta masyarakat (Fadhil, 1990: 30).

Pelayanan-pelayanan sosial membentuk dan menyediakan sumber-sumber yang disediakan untuk membantu orang-orang memperbaiki kompetensi sosialnya, mempengaruhi dan mengubah tingkah laku dan memecahkan masalah penyesuaian diri.

Pelayanan sosial telah dan mungkin akan diklasifikasikan dalam berbagai cara, tergantung dari tujuan klasifikasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan fungsi pelayanan sosial sebagai berikut:

1. Peningkatan kondisi kehidupan masyarakat 2. Pengembangan sumber-sumber manusiawi

3. Organisasi masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial dan penyesuaian sosial

4. Mobilisasi dan pencipta sumber-sumber masyarakat. Untuk tujuan pembangunan

5. Penyediaan dan Penyelenggaraan struktur kelembagaan untuk tujuan agar pelayanan-pelayanan yang terorganisasi dapat berfungsi.


(35)

Alfred J. Khan menyatakan bahwa fungsi utama pelayanan sosial adalah: 1. Pelayanan Sosial untuk Sosialisasi dan pengembangan

2. Pelayanan Sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi 3. Pelayanan akses.

Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan dimaksudkan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam diri anak dan pemuda melalui program-program pemeliharaan, pendidikan (non formal) dan pengembangan. Tujuannya yaitu untuk menanamkan nilai-nilai masyarakat dalam usaha pengembangan kepribadian anak. (Soetarso, 1979: 40)

Bentuk-bentuk pelayanan sosial tersebut antara lain: 1. Program Penitipan Anak

2. Program-program kegiatan remaja atau pemuda

3. Program-program pengisian waktu terulang bagi anak dan remaja dalam keluarga.

Pelayanan Sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi mempunyai tujuan untuk melaksanakan pertolongan kepada seseorang, baik secara individual maupun di dalam kelompok atau keluarga dan masyarakat agar mampu mengatasi masalah-masalahnya.

Bentuk-bentuk pelayanan sosial tersebut antara lain : 1. Bimbingan sosial bagi keluarga

2. Program asuhan keluarga dan adopsi anak

3. Program bimbingan bagi anak nakal dan bebas hukuman 4. Program-program rehabilitasi bagi penderita cacat


(36)

6. Program-program penyembuhan bagi penderita gangguan mental

7. Program-program bimbingan bagi anak-anak yang mengalami masalah dalam bidang pendidikan

8. Program-program bimbingan bagi para pasien di rumah-rumah sakit Kebutuhan akan program pelayanan sosial akses disebabkan oleh karena: 1. Adanya birokrasi modern

2. Perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap hal-hal dan kewajiban/tanggung jawabnya.

3. Diskriminasi dan

4. Jarak geografi antara lembaga-lembaga pelayanan dari orang-orang yang memerlukan pelayanan sosial.

Dengan adanya berbagai kesenjangan tersebut, maka pelayanan sosial disini mempunyai fungsi sebagai “akses” untuk menciptakan hubungan bimbingan yang sehat antara berbagai program, sehingga program-program tersebut dapat berfungsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkannya. Pelayanan akses bukanlah semata-mata memberikan informasi, tetapi juga termasuk menghubungkan seseorang dengan sumber-sumber yang diperlukan dengan melaksanakan program-program referral.

Fungsi tambahan dari pelayanan sosial ialah menciptakan partisipasi anggota masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Tujuannya dapat berupa : Terapi individual dan sosial untuk memberikan kepercayaan pada diri individu dan masyarakat dan untuk mengatasi hambatan-hambatan sosial dalam pembagian politis, yaitu untuk mendistribusikan sumber-sumber dan kekuasaan.


(37)

Partisipasi mungkin merupakan konsekuensi dari bagaimana program itu diorganisir, dilaksanakan dan disusun. Partisi kadang-kadang merupakan alat, kadang-kadang merupakan alat, kadang-kadang merupakan tujuan. Ada yang memandang bahwa partisipasi dan pelayanan merupakan dua fungsi yang selalu konflik, karenanya harus dipilih salah satu. Karenanya harus dipilih partisipasi sebagai tanggungjawab masyarakat dan pelayanan sebagai tanggungjawab program. Pada umumnya sesuatu program sulit untuk meningkatkan kedua-duanya sekaligus. Pendapat demikian selalu benar. Pelayanan sosial membutuhkan pada tingkat tertentu partisipasi masyarakat (Muhidin, 1992: 41)

2.4. Peranan LSM melalui Program sebagai Pendamping terhadap anak yang berkonflik dengan hukum

Pendampingan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam bidang advokasi sangatlah penting dalam proses hukum yang dialami anak. Anak adalah warga negara yang belum dewasa, tidak memiliki kemampuan hukum (consent) untuk melakukan perbuatan hukum. Untuk itu, anak yang berkonflik dengan hukum harus melibatkan orangtua atau wali maupun pendamping, khususnya pendamping LSM sebagai orang yang memiliki consent untuk menuntut hak asasi mereka dalam proses hukum tersebut. Proses pemeriksaan juga harus dilakukan dengan tatacara ramah anak, seperti dilakukan orang yang ahli dalam bidang anak berdasarkan persetujuan anak, dalam bahasa yang dimengerti anak dan bila bahasa itu tidak dimengerti harus diberikan penerjemah.

Anak harus diberikan kesempatan untuk beristirahat, kehidupan pribadi yang tidak di publikasikan dan tentu saja tanpa kekerasan terhadap anak.


(38)

Selanjutnya dalam proses peradilan, hakim dan jaksa tidak boleh mengenakan toga karena akan menimbulkan ketakutan dan dampak psikologis lainnya bagi anak.

Adapun Program yang dilakukan oleh PKPA-PUSPA secara tertulis:

1. Layanan Hukum yaitu pendampingan yang diberikan baik secara litigasi dan non litigasi terhadap korban tidak hanya pada saat pelaporan/ pengaduan dan pengambilan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di kepolisian tetapi tidak sampai pada proses penuntutan di kejaksaan dan pemeriksaan di pengadilan.

2. Konseling yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan kepada korban untuk mengetahui kondisi psikologi termasuk mempertanyakan keinginan korban terhadap kasus yang sedang dialaminya, apakah korban setuju kasusnya diproses secara hukum atau tidak. Prinsip yang akan digunakan tetap berpegang kepada prinsip terbaik bagi anak.

3. Penjemputan atau penyelamatan korban merupakan tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya sesuatu hal yang mengancam keselamatan korban. Apabila pelaku atau korban telah kembali maka upaya ini dianggap tidak perlu dilakukan

4. Pemeriksaan kondisi kesehatan korban merupakan langkah medis yang dilakukan untuk menyelamatkan korban dari tindak kekerasan yang dialami. Dalam pemeriksaan kesehatan secara umum di lakukan di Unit Layanan kesehatan anak dan perempuan LKAP-PKPA. Sementara untuk pemeriksaan visum et repertum dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sumut atau atas petunjuk penyidik.


(39)

5. Drop In Center (DIC) merupakan rumah aman sementara bagi korban yang tujuannya semata-mata untuk melindungi korban dari intimidasi ataupun ancaman yang datang dari pelaku/ keluarga pelaku, keluarga korban atau pihak ketiga yang sengaja ingin mengambil keuntungan atau mengeksploitasi korban kembali. Korban akan kembali ke keluarga apabila kondisi sudah memungkinkan untuk itu.

6. Monitoring dan evaluasi merupakan pemantauan yang dilakukan secara reguler terhadap korban guna mengetahui kegiatan positif yang telah dilakukan oleh korban setelah kembali kepada keluarga.

2.5. Kesejahteraan Sosial

2.5.1. Definisi Kesejahteraan Sosial

Istilah kesejahteraan sosial banyak diulas sebagai suatu padanan kata yang benar-benar padu. Istilah ini sudah menjadi konsep sehari-hari, termasuk dalam hal ketatabahasannya. Istilah kesejahteraan sosial sering diidentikkan dengan “kesejahteraan masyarakat atau kesejahteraan umum”.

Begitu pun ada baiknya kita memilah kedua padanan kata tersebut. Istilah “kesejahteraan sosial” juga dibangun oleh dua kata, yaitu “kesejahteraan dan sosial”. Istilah sosial tadi sudah kita ulas di atas. Sedangkan tentang kesejahteraan kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan : “Sejahtera artinya aman, sentosa, makmur, selamat (terlepas dari segala macam gangguan dan kesusahan). Sedangkan kesejahteraan artinya keamanan, keselamatan, ketentraman, kesenangan hidup dan kemakmuran (Mahadi, 1993: 550).


(40)

Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 1dinyatakan:

1. Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

2. Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.

3. Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial.

4. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.

5. Relawan Sosial adalah seseorang dan/atau kelompok masyarakat, baik yang berlatar belakang pekerjaan sosial maupun bukan berlatar belakang pekerjaan sosial, tetapi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan di bidang


(41)

sosial bukan di instansi sosial pemerintah atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan.

6. Pelaku Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah individu, kelompok, lembaga kesejahteraan sosial, dan masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

7. Lembaga Kesejahteraan Sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hokum maupun yang tidak berbadan hukum.

8. Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.

9. Perlindungan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial.

10. Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

11. Jaminan Sosial adalah skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

12. Warga Negara adalah warga negara Republik Indonesia yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

13. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik


(42)

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

14. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah.

15. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan

(http://www.depsos.go.id/modules.php?name=Downloads&d_op=getit&lid= 105 diakses tanggal 27 Februari 2010 pukul 20.00 WIB)

Oleh Walter A. Friedlander, mengutarakan bahwa konsep dan istilah kesejahteraan sosial dalam pengertian program yang ilmiah baru saja dikembangkan sehubungan dengan masalah sosial dari pada masyarakat kita yang industrial. Kemiskinan, kesehatan yang buruk, penderitaan dan disorganisasi sosial telah ada dalam sejarah kehidupan umat manusia, namun masyarakat yang industrial dari abad ke 19 dan 20 ini menghadapi begitu banyak masalah sosial sehingga lembaga-lembaga insani yang sama seperti keluarga, ketetanggaan, gereja, dan masyarakat setempat tidak mampu lagi mengatasinya secara memadai.

Berikut ini beberapa defenisi yang menjelaskan arti kesejahteraan sosial. W.A Fridlander mendefenisikan :

“Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari usaha-usaha dan lembaga-lembaga sosial yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai standart hidup dan kesehatan yang memuaskan serta untuk mencapai relasi perseorangan dan sosial yang dapat memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan-kemampuannya secara penuh untuk mempertinggi kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat”. (Muhidin, 1984: 1-2.)


(43)

Defenisi menurut W.A Fridlander menjelaskan :

1. Konsep kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem atau “organized system” yang berintikan lembaga-lembaga dan pelayanan sosial. 2. Tujuan sistem tersebut adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang

sejahtera dalam arti tingkat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan juga relasi-relasi sosial dengan lingkungannya. 3. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara, meningkatkan

“kemampuan individu” baik dalam memecahkan masalahnya maupun dalam memenuhi kebutuhannya.

Dalam Kamus Ilmu Kesejahteraan Sosial disebutkan pula :

“Kesejahteraan Sosial merupakan keadaan sejahtera yang meliputi keadaan jasmaniah, rohaniah dan sosial tertentu saja. Bonnum Commune atau kesejahteraan sosial adalah kesejahteraan yang menyangkut keseluruhan syarat, sosial yang memungkinkan dan mempermudah manusia dalam memperkembangkan kepribadianya secara sempurna” (Suparlan, 1989: 53).

Sementara itu Skidmore, sebagaimana dikutip oleh Drs. Budie Wibawa, menuturkan : “Kesejahteraan Sosial dalam arti luas meliputi keadaan yang baik untuk kepentingan orang banyak yang mencukupi kebutuhan fisik, mental, emosional, dan ekonominya” (Wibawa, 1982: 13).

2.5.2. Usaha Kesejahteraan Sosial

Dalam Undang-undang RI No. 6 Tahun 1974, tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial disebabkan bahwa usaha-usaha kesejahteraan sosial adalah semua upaya, program dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan,


(44)

membina, memelihara, memulihkan, dan mengembangkan kesejahteraan sosial (Nurdin, 1989: 79).

Dalam pernyataan tersebut terkandung pengertian bahwa usaha-usaha kesejahteraan sosial merupakan upaya ditujukan kepada manusia baik individu, kelompok maupun masyarakat.

Dalam undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, pasal 2 dinyatakan :

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar.

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.

3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan,baik semasa dalam kandungan maupun setelah dilahirkan.

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar (Nurdin, 1989: 123).

Pernyataan tersebut di atas menegaskan bahwa anak berhak untuk mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial anak-anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat.


(45)

2.6. Kerangka Pemikiran

Perlakukan terhadap anak perlu dibedakan karena pada saat itu darah, tubuh dan jiwa si anak sedang mengalami perkembangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa si anak sedang dalam keadaan labil. Jadi ada sesuatu yang berbeda ketika kita berbicara tentang anak. Anak itu bukan orang dewasa dalam ukuran mini, karena itu kita harus memberikan treatment yang berbeda. Kemudian dia juga dalam masa pertumbuhan dan situasi ini masuk kelompok rawan yang harus diproteksi sejak awal. Hal itu menyebabkan adanya pembedaan perlakuan terhadap anak terkhusus bagi anak-anak yang mengalami konflik dengan hukum.

Dalam hal ini Lembaga Swadaya Masyarakat PKPA-PUSPA sebagai salah satu unit pelaksana teknis untuk memberikan layanan dan dampingan anak-anak yang berkonflik dengan hukum bagi anak sebagai pelaku maupun anak sebagai korban. Melalui program-programnya dapat membantu anak-anak yang mengalami masalah dan yang dapat mengganggu kejiwaan maupun kehidupan sosialnya. Adapun program pelayanan sosial bagi anak yang berkonflik dengan hukum adalah:

1. Layanan Hukum 2. Konseling

3. Penjemputan/penyelamatan korban 4. Pemeriksaan kondisi kesehatan korban 5. Monitoring dan evaluasi

Dengan adanya program-program layanan sosial ini, maka timbullah respon dari anak itu sendiri yang berupa tingkah laku atau sikap, apakah memang


(46)

si anak nyaman dengan layanan program yang telah diberikan atau tidak untuk mengatasi masalah yang dihadapi anak tersebut.

Respon yang akan muncul dapat terbagi menjadi dua respon yang berbeda dan yang menimbulkan perbedaan tingkahlaku anak secara langsung maupun tidak lansung yaitu:

1. Respon Positif (p) 2. Respon Negatif (n)


(47)

Gambar 2.1. Bagan Alur Pemikiran

PROGRAM PELAYANAN

SOSIAL 1. Layanan Hukum 2. Konseling

3. Penjemputan penyelamatan korban 4. Pemeriksaan kondisi kesehatan korban 5. Monitoring dan evaluasi

LSM PKPA

Respon Positif (+) : 1. Setuju dengan program

pelayanan sosial.

2. Mengharapkan hasil yang memuaskan dari program pelayanan sosial

Respon Negatif (-) : 1. Tidak setuju dengan

program pelayanan sosial.

2. Bersikap apatis terhadap program pelayanan sosial

3. Tidak mengharapkan apa apa dari program

pelayanan sosial Respon Anak


(48)

2.7. Definisi Konsep dan Definisi Operasional 2.7.1. Definisi Konsep

Konsep adalah unsur penelitian yang terpenting dan merupakan defenisi yang dipakai oleh para peneliti yang memnggambar abstrak suatu fenomena sosial ataupun fenomena alami (Singarimbun, 1989 : 17)

Penelitian ini dimaksud untuk mengetahui respon anak yang berkonflik dengan hukum terhadap program pelayanan sosial oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, oleh karena itu yang menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini maka dirumuskan dan didefenisikan istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta suatu persamaan persepsi dan tidak muncul salah pengertian pemakaian istilah yang dapat mengatur tujuan penelitian.

Yang menjadi konsep penelitian ini adalah:

1. Respon adalah tingkah laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu.

2. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, didakwa, maupun yang dipidana serta anak yang sangat membutuhkan perlindungan hukum.

3. Pelayanan Sosial adalah suatu aktivitas yang terorganisir yang bertujuan untuk menolong orang-orang agar mendapat suatu penyesuaian timbal balik antara individu dan lingkungan sosialnya.

4. Program Pelayanan Sosial adalah Kegiatan-kegiatan pelayanan sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi mempunyai tujuan untuk melaksanakan pertolongan kepada seseorang, baik secara individual


(49)

maupun di dalam kelompok atau keluarga dan masyarakat dalam upaya mencapai saling penyesuaian.

5. PKPA-PUSPA adalah sebuah lembaga sosial yang memfokuskan pada kajian dan perlindungan anak serta menangani anak bermasalah dan yang berkonflik dengan hukum.

2.7.2. Definisi Operasional

Defenisi operasional adalah informasi ilmiah yang membantu peneliti dengan menggunakan suatu variabel atau dengan kata lain defenisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana mengukur suatu variabel (Singarimbun, 1989 : 46).

Untuk memberikan kemudahan dalam memahami variabel dalam penelitian ini, maka diukur melalui indikator-indikator sebagai berikut:

1. Respon Positif

1. Setuju dengan program Pelayanan Sosial oleh PKPA

2. Mengharapkan hasil yang memuaskan dari program Pelayanan Sosial oleh PKPA

2. Respon Negatif

Respon negatif terjadi apabila informasi atau program yang didengar atau perubahan sesuatu objek tidak mempengaruhi tindakannya atau malah menghindari dan membenci objek tertentu.

1. Tidak setuju dengan program Pelayanan Sosial oleh PKPA 2. Bersikap apatis terhadap program Pelayanan Sosial oleh PKPA 3. Tidak mengharapkan apa-apa dari Pelayanan Sosial oleh PKPA.


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran melukiskan kenyataan yang ada tentang masyarakat atau sekelompok orang tertentu di lapangan secara analisis yang prosesnya meliputi penguraian hasil observasi dari suatu gejala yang diteliti atau lebih (Irawan, 2004:35). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan respon atau tanggapan anak yang berkonflik dengan hukum terhadap program Pelayanan Sosial oleh Lembaga PKPA.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dalam divisi Pusat Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA) di Jl. Abdul Hakim No.5A dan No.1. Pasar I Setia Budi Medan, Sumatera Utara. Adapun alasan penulis memilih PKPA sebagai lokasi penelitian adalah untuk mendapatkan informasi dan data tentang respon anak yang berkonflik dengan hukum terhadap program pelayanan sosial oleh lembaga PKPA tersebut.


(51)

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu didalam suatu penelitian (Nawawi, 2001 : 141).

Berdasarkan uraian tersebut maka, populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh anak yang berkonflik dengan hukum yang telah melewati maupun sedang mengalami konflik hukum pada Tahun 2009 yang berjumlah 20 orang. Karena jumlah populasi kurang dari 100, maka dalam penelitian ini adalah seluruh anak yang berkonflik dengan hukum yang telah melewati maupun sedang mengalami konflik hukum yang berjumlah 20 orang.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data-data melalui:

1. Studi Kepustakaan, yaitu pengumpulan data melalui data atau informasi yang menyangkut masalah yang akan diteliti dengan mempelajari dan menalaah buku, serta tulisan lainnya yang ada releansinya dengan masalah yang diteliti.

2. Studi Lapangan, yaitu pengumpulan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung turun ke lokasi penelitian untuk mencari fakta-fakta yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, melalui:

a. Wawancara, yaitu data variabel (kata-kata) sebagai data yang diperoleh melalui percakapan atau tanya jawab.


(52)

b. Angket, yaitu kegiatan mengumpul data dilakukan dengan cara menyebar suatu daftar pertanyaan tertutup dan terbuka untuk tanya jawab oleh responden.

3.5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, sehingga nantinya penulis dapat mendeskripsikan informasi dan data yang diperoleh dalam penelitian, dimana pengolahan data dilakukan dengan manual, data dikumpulkan dari hasil kuesioner (angket) dan wawancara. Kemudian ditabulasikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan kemudian dianalisa. Dan untuk mengukur variabel-variabel yang ditentukan yaitu dengan menggunakan Skala Likert, dimana setiap jawaban atau tanggapan dijumlahkan sehingga mendapat nilai total dan pertanyaan-pertanyaan yang disajikan dibuat bervariasi (Irawan, 2004 :77)

Untuk mengetahui apakah hasil dari respon tersebut maka digunakan Interval sebagai skala pengukuran.

ί = Nilai atas – Nilai bawah Variabel

= 1-(-)1 3 = 2 3 = 0.667


(53)

Dan untuk mengetahui hasil respon anak dari setiap program, maka dapat dilihat dari ketentuan Interval berikut:

1. -1.000 – (-)0.667 = Negatif 2. -0.668 – 0.335 = Netral 3. 0.336 – 1.000 = Positif


(54)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PRAKTIKUM

4.1. Latar Belakang Berdirinya LSM PKPA

Realita bahwa masih banyak anak yang dilanggar dan terbaikan haknya, dan menjadi korban dari berbagai bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, bahkan tindakan yang tidak manusiawi terhadap anak menunjukkan kurang memadainya perlindungan terhadap anak. Padahal, anak belum cukup mampu melindungi dirinya sendiri. Anak membutuhkan perlindungan yang memadai dari keluarganya, masyarakat dan pemerintah.

Begitu pula halnya dengan kondisi kaum perempuan (girl). Banyak praktek kehidupan sosial menempatkan perempuan dalam kondisi terjepit, subordinatif, terdiskriminasi, termarjinalkan, dilecekan bahkan menjadi objek tindak kekerasan. Praktek-praktek semacam ini terus berlangsung dalam masyarakat dan dialami oleh perempuan hamper disetiap belahan bumi baik itu praktek norma-norma budaya tertentu, religius atau karena factor sosial-politik.

Menyikapi realita tersebut, sejumlah aktivis LSM, dosen dan mahasiswa di Medan pada tanggal 21 Oktober 1996 mendirikan PKPA; lembaga yang independent yang memegang teguh prinsip pertanggungjawaban publikl, mengedepankan peluang dan kesempatan partisipasi pada anak dan perempuan serta menghargai dan memihak pada prinsip dasar hak anak dan perempuan serta pluralisme dan dalam memegang prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.


(55)

Penegakan hak-hak anak dan perempuan sebagaimana dimaksud Konvensi Hak Anak (KHA) & Konvensi Penghapusan Tindak Kekerasan & Diskriminasi terhadap Perempuan (KTP) merupakan upaya terpenting melandasi PKPA menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia.

4.2. Latar Belakang PKPA-PUSPA

Pada tahun 2001 PKPA mendirikan unit layanan pengaduan anak yang di berinama Pusat Layanan Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA-PKPA). PUSPA merupakan unit layanan untuk memberikan perlindungan dan penanganan masalah anak diantaranya adalah korban kekerasan seksual seperti pelacuran paksa dikalangan anak-anak, traffiking untuk tujuan seksual, kekerasan fisik/seksual anak di dalam rumah tangga, incest (perkosaan dalam keluarga), anak yang berkonflik dengan hukum dan bentuk kekerasan lainnya.

PUSPA sebagai sebuah pusat layanan informasi dan pengaduan juga membangun kerjasama antar institusi pemerintah dan non pemerintah di Sumatera Utara dalam mengatasi masalah-masalah terkait dengan anak juga mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk memberikan perlindungan terbaik terhadap anak di Sumatera Utara. Layanan yang ada di unit PUSPA dapat di akses semua lapisan masyarakat luas terutama bagi keluarga ekonomi tidak mampu yang membutuhkan bantuan pendampingan baik secara litigasi dan non litigasi.

Pada umumnya korban yang membutuhkan bantuan hukum ke PUSPA-PKPA membutuhkan penanganan serius dan perlindungan. Kondisi tersebut diatas apabila tidak cepat ditangani akan menambah permasalahan dan mengganggu kehidupan anak dikemudian hari. Dengan didirikannya unit PUSPA oleh Pusat


(56)

Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) diharapkan akan mampu berperan dalam membantu memberikan perlindungan terbaik bagi anak-anak khususnya di Sumatera Utara.

Dalam menjalankan programnya khususnya dalam memberikan perlindungan terhadap korban, PUSPA PKPA memiliki 2 orang staff litigasi dan dibantu oleh para relawan. Relawan yang direkrut dan dilibatkan dalam kegiatan di unit PUSPA adalah mahasiswa/i yang memiliki latar belakang pendidikan hukum, sosial dan psikologi yang masih duduk diperkuliahan yang mau meluangkan waktunya untuk membantu kegiatan di unit PUSPA.

Untuk menjadi relawan di PUSPA ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu harus mengikuti pelatihan bantuan hukum dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum (PEBAKUM) di kantor PKPA selama 3 hari penuh. Dengan adanya pelatihan PEBAKUM ini Sangat membantu bagi mereka yang ingin bergabung menjadi relawan di PUSPA dimana mereka telah memiliki pengetahuan dasar tentang bagaimana menghadapi korban dan juga proses perlindungan terhadap korban baik secara litigasi dan non litigasi. Selain itu mereka juga memiliki wawasan tentang hak-hak anak dan aturan-aturan hukum dan psikologi yang mengatur tentang anak.

Sejak kurun waktu tahun 2008 PUSPA telah melakukan 2 kali perekrutan relawan dengan pelatihan PEBAKUM dan kehadiran mereka sangat membantu kegiatan pendampingan dalam memberikan layanan kepada korban, Dapat dikatakan bahwa kehadiran relawan sangat membantu pelaksanaan kegiatan, kendala yang dihadapi bila relawan memiliki aktivitas diperkuliahan atau ujian menyebabkan mereka tidak dapat hadir penuh sesuai waktu dan jadwal, sehingga


(57)

dibutuhkan adanya relawan tetap. Namun mengingat keuangan PUSPA saat ini belum dapat merekrut staff konselor diharapkan diantara relawan biasa dapat menjadi relawan tetap untuk membantu kegiatan-kegiatan konseling terhadap korban yang didalamnya diatur hak dan kewajibannya sesuai dengan aturan yang ada di PKPA.

Selain hal tersebut diatas sebagai sebuah lembaga perlindungan anak yang profesional dan sudah diakui kredebilitasnya di Sumatera Utara dianggap perlu memiliki sebuah landasan untuk mengatur tingkah laku pendamping baik itu staff maupun relawan dalam memberikan perlindungan terhadap korban. Hal ini perlu dilakukan dalam upaya menghindari hal-hal negatif yang akan terjadi antara korban dan pendamping, hal ini harus dimuat dalam kode etik yang menjadi acuan bagi staff maupun relawan di unit PUSPA dalam melaksanakan program perlindungan anak.

4.3. Letak dan Kedudukan Lembaga Kantor Induk

PKPA Medan : Jl. Abdul Hakim No.5 A Pasar 1 Setia Budi Medan Telp. (061) 8200170, 8201113 Hotline. (061) 8211117 Fax. (061) 8213009 Email. pkpamdn@indosat.net.id Kantor Unit

PUSPA – PKPA : Jl. Abdul Hakim No.1 Pasar 1 Setia Budi Medan Telp. (061) 8210385


(58)

4.4. Struktur Organisasi Lembaga dan Staff Pendukung Gambar 4.1.


(59)

Pendiri PKPA

1. Aminah Azis (Almh) 2. Ahmad Sofian 3. Emil W. Aulia 4. Fadli Nurzal Pembina

1. Fadli Nurzal, S.Ag (Ketua) 2. Erlina, SH (Sekretaris) 3. Emil W. Aulia, SH (Bendahara) Pengawas

1. Iswan Kaputra 2. Irsan Rangkuti Pengurus

1. Ahmad Sofian (Ketua) 2. Misran Lubis (Sekretaris) 3. Sony Sucihati (Bendahara) 4. Rosmalinda

5. Sulaiman Zuhdi Manik 6. Supriadi

7. Azmiati Zuliah 8. Irwan Hadi Pelaksana Harian

1. Ahmad Sofian (Direktur Eksekutif) 2. Rosmalinda (Deputi Direktur)


(60)

3. Misran Lubis (Manajer Nias)

4. Sulaiman Zuhdi Manik (Manajer Aceh) 5. Sony Sucihati (Manajer Keuangan) 6. Fitriana Harahap (Office Manager) 7. Azmiati Zuliah (Koordinator PUSPA) 8. Catur M Sarjono (Koordinator SKA) 9. Irwan Hadi (Koordinator SKA) 10.Andy Ardian (Kordinator PIKIR) 11.Ramlan (Staff Penterjemah) 12.Eliza Fitriani (Staff Administrasi) 13.Novriza Noerza (Kepala Keuangan) 14.Emma (Staff Kasir)

15.Ummi Salamah (Staff Kasir) 16.Ikhsan (Kepala Akuntansi) 17.Vita Amalia Personalia 18.Jufri (Staff Media Officer) 19.Susi (Perpus)

20.Wina Mariana (Staff Pendidikan SKA) 21.Poppy Dian Ariani ( Staff Litigasi PUSPA) 22.Suryani Guntari (Staff Litigasi PUSPA) 23.Sumadi (Project Manager ECPAT)

24.Tengku Erwin Helfika (Staff Divisi Media & KIE (Komunikasi Informasi & Edukasi) PIKIR


(61)

Gambar 4.2.

Struktur Organisasi PUSPA.

Struktur PUSPA terdiri dari koordinator program, adminsitrasi databased dan hotline servise, layanan Hukum, layanan non hukum dan Drop In Center (DIC). Masing-masing komponen ini memiliki tugas yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitasnya masing. Berikut ini adalah penjabaran tugas masing-masing komponen:

4.5. Visi dan Misi

Visi : Terwujudnya kepentingan terbaik anak Misi : Menegakkan hak-hak anak

4.6. Program

1. Penelitian dan Pengkajian masalah anak 2. Pendidikan dan pelatihan anak

3. Advokasi litigasi dan non litigasi anak 4. Publikasi dan sosialisasi hak-hak anak

KOORDINATOR PUSPA

ADMINISTRASI, DATABASED HOTLINE SERVICE

LAYANAN HUKUM

LAYANAN NON HUKUM


(1)

BAB VI PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data penulis melihat bahwa rata-rata hasil respon adalah positif terhadap seluruh program pelayanan sosial oleh PKPA.Secara spesifik akan dijabarkan sebagai berikut :

Beberapa kasus dalam program Layanan Hukum kurang berhasil ditangani, sehingga beberapa anak harus menjalankan hukuman dibalik jeruji besi. Walaupun demikian anak tetap diperjuangkan oleh lembaga agar penahanan sesuai dengan usia mereka yang masih dibawah umur, kasus yang dialami maupun anak yang masih menjalankan rutinitas sekolah. Hal ini disebut dengan penangguhan tahanan agar aktivitas mereka selaku pelajar tidak terganggu. Pada umumnya responden merasa puas dengan program ini dengan hasil yang positif dan dengan nilai 0.36.

Mayoritas responden dalam program Konseling merasa sangat puas dengan adanya konseling ataupun dapat disebut dengan pendekatan psikologis yang bertujuan untuk mendapatkan informasi. Hanya saja responden tidak ingin adanya pemaksaan ketika mereka memang belum bisa menceritakan kejadian secara rinci. Program dapat berjalan lancar jika ada sarana pendukung yang memicu anak ingin bercerita, seperti mainan anak-anak atau buku gambar dan lain-lain. Responden merasa puas dengan program ini dengan hasil yang positif dan dengan nilai 0.78.


(2)

Responden merasa dalam program Penjemputan Penyelamatan Program sangat berterimakasih bagi pihak lembaga sudi menjemput, mengantar dan menemani anak selama proses kasus berlangsung. Terutama bagi anak yang tempat tinggalnya jauh dari kantor PKPA. Responden merasa puas dengan program ini dengan hasil yang positif dan dengan nilai 0.85.

Responden merasa program Pemeriksaan Kondisi Kesehatan sangat penting untuk mengetahui kondisi fisik anak dan mentalnya. Tetapi adapula responden yang merasa program ini tidaklah terlalu penting untuk diikuti terutama bagi anak yang memang tidak mengalami gangguan kesehatan fisik maupun mental. Responden merasa puas dengan program ini dengan hasil yang positif dan dengan nilai 0.475.

Pada umumnya responden tidak merasa terganggu dengan adanya program Monitoring ini. Karena program ini berjalan ketika kasus telah selesai atau setelah keputusan persidangan. monitoring hanya melihat dan memantau bagaimana perkembangan anak dan kasus. Dan program ini berhenti jika pihak lembaga yakin melepas anak tersebut yang merupakan tanggungjawab lembaga ketika memiliki kasus hukum. Responden merasa puas dengan program ini dengan hasil yang positif dan dengan nilai 0.625.


(3)

6.2. Saran

Setelah memperhatikan kesimpulan yang telah dipaparkan secara ringkas tersebut, maka dapat dirangkum beberapa saran-saran sebagai berikut :

1. Agar dapat mensosialisasikan apa itu PKPA beserta program-program yang bersangkutan dengan pelayanan sosial lembaga. Hal ini sangat berguna bagi masyarakat sebagai informasi dan pengetahuan sedikit-banyak tentang perlindungan hukum dan kepedulian terhadap anak yang membutuhkannya. 2. Diharapkan bagi LSM PKPA agar dapat mempertahankan kualitas sebagai

lembaga sosial yang siap melindungi anak dari segala masalah yang menimpa mereka melalui program-program pelayanan sosial yang telah disediakan. Sehingga anak yang memerlukan perlindungan hukum tidak ragu mengadukan kasus mereka ke pihak lembaga.

3. Dengan adanya respon anak dapat dilihat bagian yang mana dan program apa yang kurang cocok maupun disenangi, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan maupun kenyamanan bagi anak yang menjalankan program pelayanan sosial oleh lembaga PKPA tersebut. Hal ini dapat dihindari agar tidak terjadi keterhambatan dalam proses penyelesaian kasus anak dengan cara menambah program baru ataupun menghapus program yang tidak sesuai.

4. Lembaga juga harus bijak membaca situasi dan kondisi serta kepribadian anak dalam menjalankan program pelayanan sosial terutama ingin mendapatkan informasi yang akurat dari anak. Memahami jiwa anak adalah hal yang utama dan selanjutnya adalah mengikuti keiinginan mereka tetapi dengan batasan-batasan tertentu.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Rukminto. 1994. Psikologi Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Jakarta : PT. Rajawali

Faisal, Sanapiah. 1989. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Irawan, Prasetya. 2004. Metode Penelitian. Jakarta : Universitas Terbuka

Irwanto, M. Farid, Jeffry Anwar. 1999. Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus Di Indonesia: Analisis Situasi. Jakarta: Copyright UNICEF

Mahadi. 1993. Sosiologi, Medan : FH USU

Muhidin, Syarif. 1984. Pengantar Kesejahteraan Sosial. Bandung : Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial

Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajahmada University Pers

Nurdin, Fadhil, M. 1989. Pengantar Studi Kesejahteraan Sosial. Bandung. Jakarta Prasadja, Heru. 1998. Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum. Jakarta : Pusat

Kajian Pembangunan Masyarakat

Sekarningsih, Renny. 1983. Pengantar Pekerjaan Sosial. Bandung : UNPAD Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Social. Jakarta : LP3S

Soehartono, Irawan. 2004. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Suparlan, Y.B. 1989. Kamus Istilah Kesejahteraan Sosial. Yogjakarta : Pustaka Pengarang

Wibawa, Budie. 1982. Pengantar Kesejahteraan Sosial, Fisip Unpad, Bandung Sarwono, Wirawan Sarlito. 1998. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta : CV.

Rajawali Sumber-sumber lain:

Achmad, Ruben. 2009. Upaya Penyelesaian Masalah Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di Kota Palembang. http://pembaharuan-hukum.blogspot.com/2009/02/upaya-penyelesaian-masalah-anak_03.html diakses 20 September 2009 Pukul 19.05 WIB.


(5)

Depsos. 2009. Undang-undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

http://www.depsos.go.id/modules.php?name=Downloads&d_op=getit&lid =105 diakses tanggal 27 Februari 2010 pukul 20.00 WIB.

Fitri. 2008. Pengertian Anak Tinjauan Secara Kronologis Dan Psikologi.s

http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/19/pengertian-anak-tinjauan-secara-kronologis-dan-psikologis diakses 19 September 2009 pukul 18.00 WIB

HMS, Masngudin. 2004. Kenakalan Remaja Sebagai Perilaku Menyimpang Hubungannya Dengan Keberfungsian Sosial Keluarga. http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2004/Masngudin. htm diakses tanggal 24 Februari 2010 pukul 16.25 WIB.

Ikhsan, Eddy. 2007. Medan Duduki Peringkat Tertinggi Kasus Anak Berkonflik

Dengan Hukum. http://www.Antara.Co.Id/View/?I=1173788569&C=NAS&S diakses 11

Oktober 2009 Pukul 19.25 WIB.

Manik, Sulaiman Zuhdi. 2007. Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum: Antara

Hukuman Dan Perlindungan. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&dn=20070908205200

diakses 19 Sepetember 2009 Pukul 17.30 WIB.

Ministry of Gender & Family. 2009. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en%7Cid&u=http:/

/www.mgf.gov.mv/en/counselling.html diakses tanggal 24 Februari 2010 pukul 17.15 WIB.

Päivi, Honkatukia. 1998. Gender, Sosial Control dan Kejahatan Perilaku yang PenurutGirls.

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en%7Cid&u=http:// www.optula.om.fi/4888.htm diakses tanggal 24 Februari 2010 pukul 16.40 WIB.

Utama, Arya. 2009. Jenis Bimbingan dan Konseling

http://ilmupsikologi.wordpress.com/2009/12/31/jenis-bimbingan-konseling diakses tanggal 24 Februari pukul 16.55 WIB.

Yamani, Zaky /Ahmad Yusuf. 2007. Pengakuan Anak yang Berkonflik

dengan Hukum http://www.wikimu.com=12381 diakses 19 September

2009 Pukul 18.25 WIB.

Widodo, Nurdin. 2009. Evaluasi Program Subsidi Panti dalam mendukung Pelayanan Sosial. http://www.depsos.go.id/modules.php?name=Downloads&d_op=getit&lid =128 diakses tanggal 27 Februari 2010 pukul 18.15 WIB.


(6)

Zulkarnaen, Sander Diki. Penegakan Hukum Bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum. www.pikiranrakyat.com diakses 20 September 2009 Pukul 20.11 WIB.

http://www.ypha.or.id/Praktekpraktek_sistem_peradilan_pidana_anak.pdf+anak+ yang+berkonflik+dengan+hukum diakses 19 September 2009 Pukul 17.50 WIB.

http://www.kksp.or.id/ind/?pilih=lihat&topik=9&id=286 diakses 4 Oktober 2009 Pukul 17.55 WIB.

http://www.pkpa.or.id/ind/?pilih=lihat&topik=7&id=121 diakses 4 Oktober 2009 Pukul 18.30 WIB.