Advokasi SKA-PKPA (Sanggar Kreativitas Anak – Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) Dalam Penanggulangan Kekerasan Pada Anak Jalanan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Advokasi
Istilah advokasi sering sekali dihubungkan dengan profesi hukum.
Menurut bahasa Belanda, advocaat atau advocateur adalah pengacara atau
pembela. Banyak orang menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja
pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan
pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini
kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai
advokasi. Advokasi seoalah-olah merupakan urusan sekaligus monopoli dari
organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata. Karena itu
tidak mengherankan jika advokasi sering diartikan sebagai kegiatan pembelaan
kasus di pengadilan. Namun jika kita mengacu pada kata advocate dalam bahasa
Inggris, pengertian advokasi akan menjadi luas, tidak hanya berarti to defend
(membela), melainkan pula to promote (mengemukakan atau memajukan), to
create (menciptakan) dan to change (melakukan perubahan).
Istilah advokasi dapat merujuk kepada dua pengertian, yaitu pertama,
pekerjaan atau profesi dari seorang advokat dan kedua, perbuatan atau tindakan
pembelaan untuk atau secara aktif mendukung suatu maksud (Edi Suharto,
2006:1). Ada beberapa pengertian terkait dengan definisi advokasi, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
Mansour Faqih dkk, mengartikan advokasi sebagai usaha sistematis dan
terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan
dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental).
Institut Advokasi Washington DC, mengartikan advokasi sebagai usaha
terorganisir maupun aksi yang menggunakan sarana-sarana demokrasi
untuk menyusun dan melaksanakan undang-undang dan kebijakan yang
bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan merata.
Webster’s New Collegiate Dictionary, memberikan pengertian advokasi
sebagai tindakan atau protes untuk membela atau memberi dukungan.
Jika kita melihat dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa advokasi
lebih merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan
mendesak perubahan dengan memberikan dukungan dan pembelaan terhadap
kaum lemah (miskin,terbelakang, dan tertindas) atau terhadap mereka yang
menjadi korban ketidakadilan. Ada banyak sekali alasan mengapa seseorang
diharuskan untuk melakukan advokasi.
Secara umum alasannya ialah: (a) karena kita selalu diperhadapkan dengan
persoalan-persoalan kemanusiaan dan kemiskinan, (b) keserakahan, kebodohan,
dan kemunafikan semakin tumbuh subur di sekitar kita, (c) yang kaya semakin
kaya, yang miskin semakin miskin dan tertindas. Dari beberapa alasan inilah
timbul kesadaran untuk melakukan suatu perubahan, perlawanan, dan pembelaan
Universitas Sumatera Utara
atas apa yang dirasakan oleh banyak orang. Salah satu bentuk perlawanan dan
pembelaan yang ‘anggun (elegan)’ ialah advokasi.
Ada dua unsur penting dalam membangun konsep advokasi yaitu pertama,
advokasi ditujukan untuk membela dan meringankan beban kelompok yang lemah
dan tujuan yang seharusnya berorientasi kepada perubahan sosial. Kedua,
advokasi dapat dijadikan untuk membuka kemungkinan baru bagi masyarakat
yang menjadi korban untuk menentukan strategi dan orientasi perubahan
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Melakukan advokasi
berarti bertindak sebagai seorang perantara, penengah, atau pembela yang akan
bertindak seperti penghubung.
Advokasi akan lebih efektif jika dilaksanakan dengan prinsip kemitraan,
yaitu dengan membentuk jejaring advokasi atau forum kerjasama. Dengan
dilakukannya advokasi diharapkankesadaran dan pemahaman kelompok
masyarakat maupun individu semakinmeningkat untuk memperjuangkan
hak-haknya
serta
mengorganisir
dirinyasecara
berkesinambungan.
Beberapa karakteristik advokasi, antara lain:
a) Berorientasi tindakan, yaitu suatu advokasi berorientasi kepada tindakan
untuk mencapai perubahan.
b) Menentang ketidakadilan.
Universitas Sumatera Utara
c) Tidak netral, yaitu para pekerja berpihak kepada yang lemah, yang perlu
dibantu melalui usaha advokasi.
d) Mengaitkan kebijakan kepada praktek, yaitu kegiatan advokasi adalah
menterjemahkan kebijakan ke dalam praktek dan memberi manfaat kepada
semua orang.
e) Kesabaran dan penuh harapan, yaitu advokasi harus dilakukan dengan
kesabaran penuh agar hasil advokasi dapat tercapai dengan baik.
f) Pemberdayaan, yaitu setiap usaha advokasi tujuannya ialah pemberdayaan
korban agar dapat mengatasi masalah dan mandiri.
Konsep advokasi sering sekali disandingkan dengan pemberdayaan,
karena proses advokasi yang dilakukan oleh banyak LSM membutuhkan
pengorganisasian dan pemberdayaan kelompok masyarakat yang diajak untuk
melakukan advokasi. Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan
(empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan).
Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan
dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan dalam arti
bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan,
bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan (Edi Suharto, 2009:59).
Universitas Sumatera Utara
Pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses,
pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau
keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, pemberdayaan
menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan
sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai
pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang
bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu
menyampaikan aspirasi atau pendapat di depan umum, mempunyai mata
pencaharian, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, advokasi dan pemberdayaan tidak dapat dipisahkan.
Pemberdayaan dan avokasi bagaikan dua sisi mata uang yang keduanya memiliki
tujuan akhir yang sama yaitu perubahan sosial di masyarakat menuju masyarakat
yang lebih bermanfaat dan sejahtera. Di dalam penanggulangan terhadap kaum
lemah ataupun marginal yang pertama sekali dilakukan adalah mengadvokasi
mereka yang menjadi korban ketidakadilan sebelum memberdayakan mereka.
Pemaknaan advokasi di pemberdayaan tidak hanya sebagai pembela yang menjadi
korban, melainkan bersama-sama dengan masyarakat melakukan upaya-upaya
perubahan sosial secara sistematis.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Lembaga Swadaya Masyarakat adalah organisasi swasta yang secara
umum bebas dari intervensi pemerintah. LSM didirikan dengan sebuah idealisme
untuk memberikan perhatian terhadap isu-isu sosial, kemanusiaan, perbaikan
kesejahteraan kelompok marginal, perlawanan terhadap kesenjangan dan
kemiskinan. Menurut PBB, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah sebuah
organisasi non pemerintah yang tidak mencari keuntungan materi, didirikan secara
sukarela oleh masyarakat dengan skala lokal maupun internasional, serta
bertujuan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat. LSM didirikan dengan
tujuan-tujuan tertentu oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan
pandangan.
Lembaga Swadaya Masyarakat melakukan berbagai pelayanan dan fungsi
kemanusiaan, menyampaikan keinginan warga Negara kepada pemerintah,
memonitor implementasi kebijakan dan program, serta meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengambilan kebijakan Negara. Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) merupakan suatu organisasi kemasyarakatan yang dibentuk atas prakarsa
masyarakat untuk membantu pelaksanaan program pembangunan. Istilah LSM
secara tegas didefinisikan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri)
No. 8 tahun 1990 yang ditujukan kepada Gubernur di seluruh Indonesia tentang
Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran II dari Inmendagri menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi
atau lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik
Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat bergerak di bidang
kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi atau lembaga sebagai wujud
partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya. Dalam
Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan pasal 1,
yang dimaksud dengan organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang
dibentuk oleh anggota masyarakat WNI (Warga Negara Indonesia) secara suka
rela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Masa Esa untuk berperan serta dalam pembangunan dalam
rangka mencapai tujuan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan pancasila.
Menurut Philips J. Elridge, kelahiran LSM di Indonesia didorong oleh dua
hal. Pertama,adanya upaya mencari model partisipasi dalam pembangunan sosial
dan ekonomi yang memberikan penekanan lebih besar bagi masyarakat sendiri
dalam menentukan kebutuhan dan meningkatkan kemampuan dalam mengelola
kegiatan pembangunan secara mandiri. Kedua,adanya tuntutan kepada LSM
sebagai katalisator bagi pengembangan nilai-nilai dan proses demokrasi dalam
kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia secara lebih luas. Peter Hannan,
Universitas Sumatera Utara
seorang pakar ilmu-ilmu sosial dari Australia yang pernah melakukan penelitian
tentang LSM di Indonesia pada tahun 1986, menyatakan bahwa LSM ialah
organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan pembangunan pada level
masyarakat bawah (grassroots), biasanya melalui penciptaan dan dukungan
terhadap kelompok-kelompok swadaya lokal. Kelompok ini biasanya mempunya
20 sampai 50 anggota. Sasaran LSM adalah untuk menjadikan kelompokkelompok ini berswadaya setelah proyeknya berakhir. Organisasi ini dalam
terjemahan harfiahnya dari bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non
pemerintah yang disingkat Ornop atau ONP (bahasa Inggris non-governmental
organization; NGO).
Menurut Hadiwinata mengatakan bahwa LSM telah menjadi sektor ketiga,
yaitu sektor publik yang mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Sektor
pertama adalah sektor negara atau pemerintah yang berkewajiban menjamin
pelayanan bagi warga Negaranya dan menyediakan kebutuhan sosial dasar,
sedangkan sektor kedua adalah sektor swasta yang terdiri dari kalangan bisnis dan
industrial yang bertujuan mencari penghidupan dan menciptakan kekayaan.
Sebagai sektor ketiga, LSM beroperasi diluar pemerintah dan pasar. Secara garis
besar ciri-ciri LSM ataupun organisasi non pemerintah sebagai berikut :
Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai kantor
dengan seperangkat aturan dan prosedur.
Universitas Sumatera Utara
Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari
pemerintah.
Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit)
kepada direktur atau pengurusnya.
Menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol
oleh pihak luar.
Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu.
Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama.
Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu.
LSM lahir dalam konteks untuk mengimbangi peran dominatif negara.
Tujuannya adalah untuk menjadi sparing partner pemerintah secara kritis dan
memberdayakan masyarakat agar mereka memiliki kekuatan dalam bernegosiasi
dan berjaringan guna menentukan masa depannya sendiri. Tidak jarang peran
LSM cenderung radikal dan galak terhadap pemerintah lantaran kebijakan
pembangunannya yang dianggap elitis. Peran LSM sering kali menjadi tumpuan
dan harapan masyarakat yang hak-hak sosial politik dan ekonominya telah
terampas. Sebaliknya, LSM tidak didirikan dengan tujuan untuk mendapatkan
uang atau materi. Jika ada LSM yang proses pendiriannya dimotivasi oleh tujuantujuan materi, maka ia telah menyalahi kodratnya sebagai LSM.
(Zubaedi,
2013:89).
Universitas Sumatera Utara
2.3. Anak
Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa,
memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa
mendatang. Menurut Konvensi Hak-hak Anak (Convention on The Right of The
Child ), yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden
(Keppres) nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah setiap individu
yang berusia dibawah 18 tahun. Sebaliknya, Undang-Undang No. 4 tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, batasan seseorang dapat dikatakan sebagai anak
ialah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan
dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, disebut
sebagai anak jika seseorang telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai
18 tahun dan belum pernah nikah. Selain itu dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 35 tahun 2014 pasal 1 ayat (1), anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan
(Abu Huraerah, 2007:31).
2.4. Anak Jalanan
Istilah anak jalanan pertama sekali diperkenalkan di Amerika Selatatan
(Brazil) dengan nama Menimos de Ruas untuk menyebutkan kelompok anak-anak
yang hidup di jalanan dan tidak memiliki ikatan dengan keluarga. Dalam diskusi
Universitas Sumatera Utara
Badan Koordinasi Kesejahteraan Sosial (1996), mendefinisikan anak-anak jalanan
adalah anak-anak yang hidup dan bekerja di jalanan, ditinggalkan atau
diterlantarkan, atau melarikan diri dari keluarga yang masih ada hubungan dengan
keluarganya tetapi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja di jalan.
Sedangkan menurut PBB, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian
besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas lain. Anak
jalanan tidak jarang menghadapi resiko seperti pemerasan, perkelahian,
kecelakaan dan kekerasan yang lain. Lebih dari itu, anak jalanan lebih mudah
terpengaruh kebiasaan tidak sehat dari kultur jalanan, khususnya seks bebas dan
penyalahgunaan obat.
Anak jalanan pada umumnya berasal dari keluarga yang memiliki
perekonomian yang lemah. Anak jalanan tumbuh dengan latar kehidupan jalanan
dan akrab dengan penganiayaan, kemiskinan dan hilangnya kasih sayang yang
akhirnya membuat anak jalanan berperilaku negatif. Menurut Suyanto, munculnya
anak jalanan memiliki penyebab yang tidak tunggal. Munculnya fenomena anak
jalanan tersebut disebabkan oleh dua hal yaitu:
Problema sosiologis, karena faktor keluarga yang tidak kondusif bagi
perkembangan si anak. Misalnya, orang tua yang kurang perhatian kepada
anak-anaknya, tidak ada kasih sayang dalam keluarga, diacuhkan dan
banyak tekanan dalam keluarga serta pengaruh teman.
Universitas Sumatera Utara
Problema ekonomi, karena faktor kemiskinan anak terpaksa memikul
beban ekonomi keluarga yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang
tua.
Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang
semir, pengais sampah, dan sebagainya. Anak jalanan ini terutama beroperasi di
perempatan jalan (traffic light). Jenis pekerjaan anak jalanan oleh Departemen
Sosial RI (1998) dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu :
1. Usaha dagang yang terdiri dari pedagang asongan, penjual koran, majalah
serta menjual sapu atau lap kaca mobil.
2. Usaha di bidang jasa yang terdiri dari pembersih bus, pengelap kaca
mobil, pengatur lalu lintas, kuli angkut pasar, ojek payung, tukang semir
sepatu dan kernek atau calo.
3. Pengamen, dalam hal ini menyanyikan lagu dengan berbagai macam alat
musik seperti gitar, kecrekan, suling bambu, gendang, radio karaoke dan
lain-lain.
4. Kerja serabutan yaitu anak jalanan tidak mempunyai pekerjaan tetap,
dalam artian dapat berubah sesuai keinginan mereka.
Hasil penyelidikan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) dan
Childhope, Philipina (1995), membagi dua kategori anak-anak jalanan
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan penggunaan masa dan aktivitas yang mereka lakukan (Didin
Saripudin, 2010:156):
a. Anak yang bekerja di jalanan (children of the street).
Anak-anak dalam kategori ini menghabiskan sebagian besar masanya di
jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya untuk bekerja dan penghasilannya
digunakan untuk membantu kehidupan keluarga. Sebagian besar anak jalanan
yang termasuk dalam kategori ini masih berhubungan dengan orang tua, karena
sebagian besar di antara anak-anak ini masih tinggal bersama orang tua.
b. Anak-anak yang hidup di jalanan (children on the street).
Anak jalanan yang termasuk dalam kategori ini menghabiskan sebagian
besar masanya di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya, tetapi hanya
sedikit masa yang digunakan untuk bekerja. Anak jalanan dalam kategori ini
jarang berhubungan dengan keluarganya dan mempunyai kecenderungan untuk
melakukan tindak kriminal serta penggunaan obat terlarang. Beberapa orang
diantara anak jalanan ini tidak memiliki rumah tinggal (homeless), anak-anak ini
hidup dan tinggal di jalanan mana saja.
Selanjutnya Departemen Sosial RI dan UNDP (1997) menambahkan satu
kategori lagi, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
c. Anak yang rentan menjadi anak jalalan (vurnerable to be street children).
Anak-anak yang masih tinggal dan berhubungan dengan keluarganya dan
sebagian besar masih bersekolah. Dalam waktu luangnya (pulang sekolah), anakanak ini bekerja di jalanan dan penghasilannya digunakan untuk membiayai
sekolah atau keluarganya.
Beberapa karakteristik atau sifat-sifat yang menonjol dari anak jalanan,
diantaranya adalah :
i. Kelihatan kumuh atau kotor, baik kotor tubuh maupun kotor pakaian.
ii. Memandang orang lain yang tidak hidup di jalanan sebagai orang yang
dapat dimintai uang.
iii. Mandiri, artinya anak jalanan tidak terlalu menggantungkan hidupnya
terutama dalam hal tempat tidur atau makan.
iv. Mimik wajah yang selalu memelas, terutama ketika berhubungan dengan
orang yang bukan dari jalanan.
v. Anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi baik berbicara
dengan siapaun selama di jalanan.
vi. Malas untuk melakukan kegiatan anak “rumahan”, misalnya jadwal tidur
selalu tak beraturan, mandi, membersihkan badan, dan sebagainya.
Menurut Mohammad Farid, sebagian anak jalanan bertahan hidup dengan
cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima, disebabkan
Universitas Sumatera Utara
tantangan kehidupan yang anak jalanan hadapi pada umumnya memang berbeda
dengan kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Dalam banyak kasus, anak
jalanan sering hidup dan berkembang di bawah tekanan dan stigma atau cap
sebagai pengganggu. Perilaku anak jalanan sebenarnya merupakan konsekuensi
logis dari stigma sosial dan keterasingan mereka dalam masyarakat. Tidak ada
yang berpihak kepada mereka dan justru sebenarnya perilaku mereka
mencerminkan cara masyarakat memperlakukan mereka (Bagong, 2010:190). Ada
perbedaan perilaku sosial anak-anak jalanan yang hidup di jalanan dengan anak
yang bekerja di jalanan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Perbedaan Anak Jalanan yang Hidup di Jalanan dan Anak yang
Bekerja di Jalanan
No
1
Aspek-aspek
Waktu
Anak yang hidup di
Anak yang bekerja di
jalanan
jalanan
24 jam
Temporal menurut jam
kerja
2
3
Ruang hidup
Tempat tinggal
Semua fasilitas jalan dan
Tertentu sesuai tempat
public space
kerja
Jalanan dan public space
Ibu bapak, mengontrak
atau di tempat kerja
4
Hubungan dengan Terputus
Pulang ke rumah setiap
orang tua
hari atau secara
periodik
5
Latar belakang
Non ekonomi: kekerasan,
Ekonomi: mencari
penolakan, penyiksaan,
uang, membantu
perceraian
keluarga, memenuhi
kebutuhan sendiri
6
Aktivitas
Berkeliaran dan berganti-
Aktivitas ekonomi:
ganti pekerjaan seperti
menyemir sepatu,
mengamen, mengemis,
mengasong, mengamen,
menyemir sepatu
menjual koran, mencuci
bis dan lain-lain
7
Sifat hidup
Berpindah-pindah
Menetap
(nomaden)
8
Sikap
Curiga, susah diatur, liar,
Lebih lunak
reaktif, tertutup, bebas
Universitas Sumatera Utara
No
9
Aspek-aspek
Perilaku norma
Anak yang hidup di
Anak yang bekerja di
jalanan
jalanan
Mengembangkan nilai sub
Masih normatif
kultur jalanan untuk
survival
10
Jenis masalah
Eksploitasi jenis pekerjaan, Biaya sekolah,
seksual, kriminalitas,
kebutuhan keluarga,
kesehatan, dll
biaya hidup, pengaruh
teman dan eksploitasi
keluarga
11
Frekuensi masalah Sering dan banyak terjadi,
kurang kontrol orang tua
Sering dan sedikit
terjadi, masih ada
bantuan orang tua/LSM
12
Motivasi kerja
Untuk hidup terus
Untuk memperoleh
uang
13
Minat
kembali
untuk Umumnya tidak berminat
kepada
Masih tinggal dengan
ibu bapak
keluarga
Sumber: Modul YKAI – Dep – Sos. 1999
Departemen Sosial (2004), mengungkapkan cukup banyak anak yang
mengalami tindakan kekerasan dengan dampak yang sangat mendalam bagi anak.
Bentuk kekerasan tersebut bukan hanya secara fisik saja tetapi juga non-fisik.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Bentuk Kekerasan yang dialami Anak Jalanan dan Pelakunya
No
1
Bentuk Kekerasan
Pelaku
Diancam, dimarahi,
Ayah kandung, sesama anak jalanan, anak
dimaki
jalanan senior, preman, supir, pengendara,
polisi, petugas kamtib (Satpol PP)
2
Dipukuli/ditempeleng
Ayah kandung, ayah tiri, penculik, teman,
petugas kamtib (Satpol PP), polisi
3
Digebuki/ditendang
Ibu kandung, ayah tiri, ibu tiri, kakak, anak
jalanan, kernek, polisi, satpam
4
Dipalak
Anak jalanan, preman
5
Dikeroyok
Preman
6
Kepala dibenturkan ke
Ayah dan ibu
tembok
7
Disetrum
Satpam
8
Dieksploitasi ekonomi
Ibu kandung, penculik, pacar
9
Diganggu/dilecehkan
Orang lain, polisi
10
Disodomi
Orang dewasa, sesama anak jalanan
Sumber: Pemetaan dan Survei Sosial Anak Jalanan 1999
2.5. Kekerasan
Kekerasan adalah bentuk tindakan yang dilakukan terhadap pihak lain,
baik yang dilakukan oleh perorangan maupun lebih dari seorang yang dapat
mengakibatkan penderitaan pada pihak lain. Dalam Undang-Undang No. 35 tahun
2014 tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (15) butir a, menyatakan bahwa
kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya
Universitas Sumatera Utara
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
dan UNICEF dalam Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak,
mendefinisikan kekerasan terhadap anak sebagai bentuk tindakan/perlakuan
menyakitkan
secara
fisik
ataupun
emosional,
penyalahgunaan
seksual,
penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lainnya, yang mengakibatkan
cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kekerasan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang
dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 351 menjelaskan
penganiayaan atau tindak kekerasan adalah setiap perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk merugikan kesehatan orang lain, dan setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan pada orang lain. Tindak
kekerasan dapat dibagi dalam dua, yaitu :
Kekerasan yang dialami di lingkungan sosial
Kekerasan yang dialami anak pada lingkungan sosial kebanyakan
merupakan penganiayaan atau child abuse, yaitu perilaku-perilaku yang dilakukan
orangtua atau orang dewasa terhadap anaknya dan dianggap tidak wajar. Definisi
mengenai child abuse ini biasanya ditentukan oleh empat faktor, yaitu pertama
Universitas Sumatera Utara
intensitas perilaku atau tindakan, kedua efek yang ditimbulkan pada diri anak,
ketiga penilaian terhadap perilaku atau tindakan tersebut, dan keempat standar
dimana penilaian itu dilakukan. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa pelaku
penganiayaan terhadap anak adalah orang-orang sakit. Ada juga yang menyatakan
bahwa penganiayaan adalah hasil dari ketidakpuasan orangtua, kurangnya
pengendalian diri, tidak adanya konsep diri yang kuat, dan merupakan proyeksi
penganiayaan sewaktu kanak-kanak. Penganiayaan terhadap anak adalah hasil dari
masyarakat itu sendiri dan bukan sifat-sifat dari individu. Walaupun demikian,
tidak ada budaya yang memperbolehkan perilaku-perilaku atau tindakan-tindakan
yang mengakibatkan luka atau trauma secara fisik. Child abuse atau perlakuan
kejam terhadap anak, mulai dari pengabaian anak sampai pada pemerkosaan anak
dan pembunuhan anak.
Kekerasan yang dialami dalam keluarga (Domestic Violence)
Kekerasan yang dialami dalam keluarga adalah kekerasan yang diterima
anak dari orangtuanya, baik berupa kekerasan fisik atau mental. Pada umumnya
kekerasan dalam keluarga yang diterima anak terjadi apabila ada penyalahgunaan
kekerasan oleh mereka yang merasa memiliki kekuasaan lebih.
Selain itu ada juga bentuk-bentuk kekerasan yang dibagi menjadi 4
kategori, sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a) Kekerasan fisik, merupakan setiap perbuatan yang menyebabkan rasa
sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang dan atau menyebabkan
kematian. Misalnya, memukul, menampar, menendang, melukai dengan
tangan kosong atau dengan alat, melempar barang ke tubuh korban, dan
sebagainya.
b) Kekerasan psikologis, merupakan setiap perbuatan dan ucapan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, dan hilangnya
kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya pada seseorang.
Misalnya, mengancam, berteriak-teriak, merendahkan, dan yang lainnya
yang merupakan tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut.
c) Kekerasan seksual, merupakan tiap-tiap perbuatan yang mencakup
pelecehan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai
oleh korban, dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan
seksualnya. Misalnya, memaksa berhubungan seks dengan korban tanpa
persetujuan, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban,
ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan yang mengarah pada
aspek jenis kelamin korban, dan sebagainya.
d) Kekerasan ekonomi, merupakan tiap-tiap perbuatan yang membatasi
seseorang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan
uang dan atau barang, serta membiarkan korban bekerja untuk
Universitas Sumatera Utara
dieksploitasi, atau menelantarkan anggota keluarga. Misalnya, mengambil
uang korban secara paksa, mengawasi pengeluaran uang sampai sekecilkecilnya, semuanya dengan maksud hanya untuk dapat mengendalikan
tindakan korban.
2.6. Teori Konflik
Teori konflik adalah suatu pandangan bahwa masyarakat sebagai satu
sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang
memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dimana komponen ini saling
menaklukkan satu sama lain untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingan
diri sendiri maupun kelompok. Konflik berasal dari bahasa Latin yaitu con yang
berarti bersama dan figere, yang artinya benturan atau tabrakan (saling memukul).
Menurut Soerjono Soekanto, konflik merupakan suatu proses sosial dimana orang
perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan
jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman atau kekerasan. Kekerasan
terjadi dikarenakan tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan
kekerasan, baik itu dari kekerasan yang terkecil hingga peperangan.
Konflik merupakan gejala sosial yang selalu hadir dalam kehidupan sosial,
artinya konflik akan senantiasa hadir dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja
dan kapan saja. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan
selamanya berada pada keteraturan, karena dalam masyarakat menapun pasti
Universitas Sumatera Utara
pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Menurut teori
konflik, masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, setiap masyarakat
kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik, setiap elemen dalam
masyarakat menyumbang pada disintegrasi dan perubahan sosial, serta setiap
keteraturan yang terdapat di dalam masyarakat didasarkan atau berasal dari
paksaan atas beberapa anggotanya oleh orang lain. Teoritisi konflik menekankan
pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat
(Wirawan, 2012:74).
Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari sebagai
konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang seharusnya menjadi
permasalahan
bukanlah
bagaimana
meredam
konflik,
tetapi
bagaimana
menanganinya secara tepat sehingga tidak menghancurkan hubungan antar
pribadi, bahkan menghancurkan tujuan organisasi. Ralf Dahrendorf mengatakan
bahwa ada empat jenis konflik, yaitu:
a) Konflik antar atau yang terjadi dalam peranan sosial yang biasa disebut
dengan konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana
individu menghadapi harapan-harapan yang berlawanan dari bermacammacam peranan yang dimilikinya.
b) Konflik antara kelompok-kelompok sosial. Misalnya antar keluarga atau
antar gank.
Universitas Sumatera Utara
c) Konflik
antara
kelompok-kelompok
yang
terorganisir
dan
tidak
terorganisir. Misalnya, polisi yang melawan massa.
d) Konflik antara satuan nasional. Seperti antar partai politik, antar negara,
atau organisasi internasional.
Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat
mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi
harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi
konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik
harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat
masyarakat bersama dihadapan tekanan (Ritzer, 2014:148). Dahrendorf mengakui
bahwa masyarakat tidak akan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi
persyaratan satu sama lain. Jadi, seseorang tidak akan punya konflik kecuali ada
konsensus sebelumnya. Sebaliknya konflik dapat mengarahkan konsensus dan
integrasi. Menurutnya, masyarakat disatukan oleh ‘ketidakbebasan’ yang
dipaksakan (kekuatan pemaksa). Dengan demikian posisi tertentu di dalam
masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas (wewenang) terhadap posisi
yang lain.
Kekuasan diartikan sebagai kemampuan untuk memaksakan kemauan
seseorang meskipun mendapatkan perlawanan, sedangkan otoritas diartikan
sebagai hak yang sah untuk mengharapkan kepatuhan dari seseorang. Otoritas
Universitas Sumatera Utara
tidak terletak dalam individu, tetapi dalam kedudukan dan kewenangan. Otoritas
yang melekat pada posisi adalah elemen kunci dalam analisis Dahrendorf. Mereka
yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengontrol atau mengendalikan orang
yang berada di bawahnya. Mereka berkuasa karena harapan orang-orang di
sekelilingnya, bukan karena karakteristik/ciri-ciri psikologis mereka. Seperti
otoritas, harapan ini melekat pada posisi (kedudukan) bukan pada orangnya
(Maliki, 2012:237).
Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum, mereka yang tunduk pada
kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol, ditentukan di dalam
masyarakat. Karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada hak yang
menentang. Menurutnya, otoritas tidak konstan karena terletak dalam posisi bukan
di dalam diri orangnya (Ritzer, 2014:150). Banyak faktor telah menyebabkan
terjadinya konflik, diantarnya:
•
Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan
konflik-konflik antar individu. Dalam konflik seperti ini terjadilah
bentrokan-bentrokan pendirian dan masing-masing pihak berusaha
membinasakan lawannya. Membinasakan tidak selalu harus diartikan
sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa diartikan dalam bentuk pemusnahan
simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tidak disetujuinya.
Kenyataannya bahwa setiap individu tidak satu pun memiliki karakter
Universitas Sumatera Utara
yang sama, sehingga perbedaan pendapat, keinginan dan tujuan dapat
memperngaruhi munculnya timbulnya sosial.
•
Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan
menimbulkan konflik antar individu, akan tetapi dapat juga antar
kelompok. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan polapola kepribadian dan pola-pola perilaku yang berbeda dikalangan khalayak
kelompok yang luas, sehingga apabila terjadi konflik karena alasan ini,
kemungkinan besar konflik tersebut akan bersifat luas dan karenanya
dapat bersifat konflik antar kelompok.
•
Kepentingan-kepentingan
yang
berbeda-beda.
Mengejar
tujuan
kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan
bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana
(Narwoko, 2004:68).
Konflik tidak selamanya berdampak negatif seperti keretakan hubungan
antar kelompok yang bertikai, kerusakkan harta benda, bahkan hilangnya jiwa
manusia. Adapun konflik juga memiliki fungsi, antara lain (a) konflik dapat
dipakai sebagai indikator kekuatan dan stabilitas suatu hubungan, (b) konflik tidak
selalu berakhir dengan rasa permusuhan, (c) meningkatkan solidaritas sesama
anggota kelompok (in-group) yang mengalami konflik dengan kolompok lain. (d)
mempunyai fungsi komunikasi, dan (e) mengaktifkan peranan individu yang
Universitas Sumatera Utara
semula terisolasi. Apabila terjadi pertentangan antara dua kelompok yang
berlainan, individu-individu akan mudah untuk mengubah kepribadiannya untuk
mengidentifikasikan dirinya secara penuh dengan kelompoknya (Soetomo,
2008:105).
Menurut Nasikun, ada beberapa bentuk-bentuk pengendalian konflik
diantaranya:
1) Konsiliasi. Pengendalian ini dapat terwujud melalui lembaga-lembaga
tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan
keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai
persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan.
2) Mediasi. Bentuk ini dilakukan bila dari kedua belah pihak yang
bersengketa/berkonflik
nasihatnya
tentang
bersama-sama
bagaimana
sepakat
mereka
untk
sebaiknya
memberikan
menyelesaikan
pertentangan mereka.
3) Arbitrasi yang berarti melalui pengadilan dengan seorang hakim (arbiter)
sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan
mediasi. Seorang hakim (arbiter) memberi keputusan yang mengikat
kedua pihak yang bersengketa, yang artinya keputusan seorang hakim
harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, maka
Universitas Sumatera Utara
ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai kepada
instansi pengadilan nasional yang tertinggi.
4) Perwasitan.
Di
dalam
bertentangan/berkonflik
hal
ini
bersepakat
kedua
untuk
belah
pihak
memberikan
yang
keputusan-
keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara
mereka.
2.7. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian yang berjudul “Peran Lembaga Advokasi Anak dalam
mendampingi korban eksploitasi seksual komersial anak di Bandar Lampung”,
yang ditulis oleh Elfira Susanty (Alumni Sosiologi FISIP Universitas Lampung)
dan Endry Fatimaningsih (Staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Lampung).
Dalam penelitian ini, peranan Lembaga Advokasi Anak dalam upaya
perlindungan anak dibagi menjadi tiga kategori yaitu pertama, advokasi kebijakan
perlindungan anak, dimana mereka mendorong pemerintah daerah Bandar
Lampung untuk mengembangkan peraturab-peraturan daerah untuk mewujudkan
oemenuhan hak-hak anak. Kedua, memberikan pendampingan terhadap anak
korban kekerasan baik yang terlibat dalam hukum maupun tidak, serta
memberikan pelatihan keterampilan kerja. Dan yang terakhir adalah penguatan
ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
Faktor utama mengapa pentingnya peranan Lembaga Advokasi Anak
dalam mendampingi anak korban kekerasan di Bandar Lampung karena tidak
adanya strategi khusus yang dilakukan pemerintah dalam menangani anak-anak
korban kekerasan ini sehinggan semakin banyaknya anak di Bandar Lampung
yang menjadi korban. Selain perlindungan litigasi atau perlindungan hukum,
bentuk pendampingan non litigasi juga dilakukan dan menjadi fokus utama
Lembaga ini yaitu, (a) Fisik, metujuk korban ke Unit Pelayanan Terpadu
Penanganan Korban Tindak Kekerasan, (b) Shelter (rumah aman), jika korban
dianggap tidak aman untuk tetap berada dilingkungannya maka korban dirujuk ke
rumah aman, (c) Psikis, berupa konseling psikologis dan sosiologis.
Terapi psikologis dilakukan untuk meminimalisir gangguan psikologis
yang muncul akibat kekerasan yang dialami anak, sedangkan terapi sosiologis
bertujuan untuk membantu anak menghilangkan rasa malu terhadap stigma
negatif yang didapatnya dari lingkungan. Di dalam mendampingi anak, LSM ini
melakukan strategi khusus yang digunakan dalam proses pendampingan dilakukan
dengan pendekatan secara emosional, hal ini dilakukan untuk mendapatkan
kepercayaan anak terhadap mereka. Setelah mendapatkan kepercayaan, maka
anak akan mau untuk mengikuti semua layanan yang diberikan oleh LSM. Proses
selanjutnya yaitu pembinaan. Pembinaan yang dilakukan berupa layanan
pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Advokasi
Istilah advokasi sering sekali dihubungkan dengan profesi hukum.
Menurut bahasa Belanda, advocaat atau advocateur adalah pengacara atau
pembela. Banyak orang menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja
pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan
pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini
kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai
advokasi. Advokasi seoalah-olah merupakan urusan sekaligus monopoli dari
organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata. Karena itu
tidak mengherankan jika advokasi sering diartikan sebagai kegiatan pembelaan
kasus di pengadilan. Namun jika kita mengacu pada kata advocate dalam bahasa
Inggris, pengertian advokasi akan menjadi luas, tidak hanya berarti to defend
(membela), melainkan pula to promote (mengemukakan atau memajukan), to
create (menciptakan) dan to change (melakukan perubahan).
Istilah advokasi dapat merujuk kepada dua pengertian, yaitu pertama,
pekerjaan atau profesi dari seorang advokat dan kedua, perbuatan atau tindakan
pembelaan untuk atau secara aktif mendukung suatu maksud (Edi Suharto,
2006:1). Ada beberapa pengertian terkait dengan definisi advokasi, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
Mansour Faqih dkk, mengartikan advokasi sebagai usaha sistematis dan
terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan
dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental).
Institut Advokasi Washington DC, mengartikan advokasi sebagai usaha
terorganisir maupun aksi yang menggunakan sarana-sarana demokrasi
untuk menyusun dan melaksanakan undang-undang dan kebijakan yang
bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan merata.
Webster’s New Collegiate Dictionary, memberikan pengertian advokasi
sebagai tindakan atau protes untuk membela atau memberi dukungan.
Jika kita melihat dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa advokasi
lebih merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan
mendesak perubahan dengan memberikan dukungan dan pembelaan terhadap
kaum lemah (miskin,terbelakang, dan tertindas) atau terhadap mereka yang
menjadi korban ketidakadilan. Ada banyak sekali alasan mengapa seseorang
diharuskan untuk melakukan advokasi.
Secara umum alasannya ialah: (a) karena kita selalu diperhadapkan dengan
persoalan-persoalan kemanusiaan dan kemiskinan, (b) keserakahan, kebodohan,
dan kemunafikan semakin tumbuh subur di sekitar kita, (c) yang kaya semakin
kaya, yang miskin semakin miskin dan tertindas. Dari beberapa alasan inilah
timbul kesadaran untuk melakukan suatu perubahan, perlawanan, dan pembelaan
Universitas Sumatera Utara
atas apa yang dirasakan oleh banyak orang. Salah satu bentuk perlawanan dan
pembelaan yang ‘anggun (elegan)’ ialah advokasi.
Ada dua unsur penting dalam membangun konsep advokasi yaitu pertama,
advokasi ditujukan untuk membela dan meringankan beban kelompok yang lemah
dan tujuan yang seharusnya berorientasi kepada perubahan sosial. Kedua,
advokasi dapat dijadikan untuk membuka kemungkinan baru bagi masyarakat
yang menjadi korban untuk menentukan strategi dan orientasi perubahan
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Melakukan advokasi
berarti bertindak sebagai seorang perantara, penengah, atau pembela yang akan
bertindak seperti penghubung.
Advokasi akan lebih efektif jika dilaksanakan dengan prinsip kemitraan,
yaitu dengan membentuk jejaring advokasi atau forum kerjasama. Dengan
dilakukannya advokasi diharapkankesadaran dan pemahaman kelompok
masyarakat maupun individu semakinmeningkat untuk memperjuangkan
hak-haknya
serta
mengorganisir
dirinyasecara
berkesinambungan.
Beberapa karakteristik advokasi, antara lain:
a) Berorientasi tindakan, yaitu suatu advokasi berorientasi kepada tindakan
untuk mencapai perubahan.
b) Menentang ketidakadilan.
Universitas Sumatera Utara
c) Tidak netral, yaitu para pekerja berpihak kepada yang lemah, yang perlu
dibantu melalui usaha advokasi.
d) Mengaitkan kebijakan kepada praktek, yaitu kegiatan advokasi adalah
menterjemahkan kebijakan ke dalam praktek dan memberi manfaat kepada
semua orang.
e) Kesabaran dan penuh harapan, yaitu advokasi harus dilakukan dengan
kesabaran penuh agar hasil advokasi dapat tercapai dengan baik.
f) Pemberdayaan, yaitu setiap usaha advokasi tujuannya ialah pemberdayaan
korban agar dapat mengatasi masalah dan mandiri.
Konsep advokasi sering sekali disandingkan dengan pemberdayaan,
karena proses advokasi yang dilakukan oleh banyak LSM membutuhkan
pengorganisasian dan pemberdayaan kelompok masyarakat yang diajak untuk
melakukan advokasi. Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan
(empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan).
Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan
dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan dalam arti
bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan,
bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan (Edi Suharto, 2009:59).
Universitas Sumatera Utara
Pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses,
pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau
keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, pemberdayaan
menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan
sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai
pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang
bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu
menyampaikan aspirasi atau pendapat di depan umum, mempunyai mata
pencaharian, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, advokasi dan pemberdayaan tidak dapat dipisahkan.
Pemberdayaan dan avokasi bagaikan dua sisi mata uang yang keduanya memiliki
tujuan akhir yang sama yaitu perubahan sosial di masyarakat menuju masyarakat
yang lebih bermanfaat dan sejahtera. Di dalam penanggulangan terhadap kaum
lemah ataupun marginal yang pertama sekali dilakukan adalah mengadvokasi
mereka yang menjadi korban ketidakadilan sebelum memberdayakan mereka.
Pemaknaan advokasi di pemberdayaan tidak hanya sebagai pembela yang menjadi
korban, melainkan bersama-sama dengan masyarakat melakukan upaya-upaya
perubahan sosial secara sistematis.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Lembaga Swadaya Masyarakat adalah organisasi swasta yang secara
umum bebas dari intervensi pemerintah. LSM didirikan dengan sebuah idealisme
untuk memberikan perhatian terhadap isu-isu sosial, kemanusiaan, perbaikan
kesejahteraan kelompok marginal, perlawanan terhadap kesenjangan dan
kemiskinan. Menurut PBB, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah sebuah
organisasi non pemerintah yang tidak mencari keuntungan materi, didirikan secara
sukarela oleh masyarakat dengan skala lokal maupun internasional, serta
bertujuan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat. LSM didirikan dengan
tujuan-tujuan tertentu oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan
pandangan.
Lembaga Swadaya Masyarakat melakukan berbagai pelayanan dan fungsi
kemanusiaan, menyampaikan keinginan warga Negara kepada pemerintah,
memonitor implementasi kebijakan dan program, serta meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengambilan kebijakan Negara. Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) merupakan suatu organisasi kemasyarakatan yang dibentuk atas prakarsa
masyarakat untuk membantu pelaksanaan program pembangunan. Istilah LSM
secara tegas didefinisikan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri)
No. 8 tahun 1990 yang ditujukan kepada Gubernur di seluruh Indonesia tentang
Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran II dari Inmendagri menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi
atau lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik
Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat bergerak di bidang
kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi atau lembaga sebagai wujud
partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya. Dalam
Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan pasal 1,
yang dimaksud dengan organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang
dibentuk oleh anggota masyarakat WNI (Warga Negara Indonesia) secara suka
rela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Masa Esa untuk berperan serta dalam pembangunan dalam
rangka mencapai tujuan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan pancasila.
Menurut Philips J. Elridge, kelahiran LSM di Indonesia didorong oleh dua
hal. Pertama,adanya upaya mencari model partisipasi dalam pembangunan sosial
dan ekonomi yang memberikan penekanan lebih besar bagi masyarakat sendiri
dalam menentukan kebutuhan dan meningkatkan kemampuan dalam mengelola
kegiatan pembangunan secara mandiri. Kedua,adanya tuntutan kepada LSM
sebagai katalisator bagi pengembangan nilai-nilai dan proses demokrasi dalam
kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia secara lebih luas. Peter Hannan,
Universitas Sumatera Utara
seorang pakar ilmu-ilmu sosial dari Australia yang pernah melakukan penelitian
tentang LSM di Indonesia pada tahun 1986, menyatakan bahwa LSM ialah
organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan pembangunan pada level
masyarakat bawah (grassroots), biasanya melalui penciptaan dan dukungan
terhadap kelompok-kelompok swadaya lokal. Kelompok ini biasanya mempunya
20 sampai 50 anggota. Sasaran LSM adalah untuk menjadikan kelompokkelompok ini berswadaya setelah proyeknya berakhir. Organisasi ini dalam
terjemahan harfiahnya dari bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non
pemerintah yang disingkat Ornop atau ONP (bahasa Inggris non-governmental
organization; NGO).
Menurut Hadiwinata mengatakan bahwa LSM telah menjadi sektor ketiga,
yaitu sektor publik yang mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Sektor
pertama adalah sektor negara atau pemerintah yang berkewajiban menjamin
pelayanan bagi warga Negaranya dan menyediakan kebutuhan sosial dasar,
sedangkan sektor kedua adalah sektor swasta yang terdiri dari kalangan bisnis dan
industrial yang bertujuan mencari penghidupan dan menciptakan kekayaan.
Sebagai sektor ketiga, LSM beroperasi diluar pemerintah dan pasar. Secara garis
besar ciri-ciri LSM ataupun organisasi non pemerintah sebagai berikut :
Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai kantor
dengan seperangkat aturan dan prosedur.
Universitas Sumatera Utara
Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari
pemerintah.
Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit)
kepada direktur atau pengurusnya.
Menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol
oleh pihak luar.
Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu.
Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama.
Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu.
LSM lahir dalam konteks untuk mengimbangi peran dominatif negara.
Tujuannya adalah untuk menjadi sparing partner pemerintah secara kritis dan
memberdayakan masyarakat agar mereka memiliki kekuatan dalam bernegosiasi
dan berjaringan guna menentukan masa depannya sendiri. Tidak jarang peran
LSM cenderung radikal dan galak terhadap pemerintah lantaran kebijakan
pembangunannya yang dianggap elitis. Peran LSM sering kali menjadi tumpuan
dan harapan masyarakat yang hak-hak sosial politik dan ekonominya telah
terampas. Sebaliknya, LSM tidak didirikan dengan tujuan untuk mendapatkan
uang atau materi. Jika ada LSM yang proses pendiriannya dimotivasi oleh tujuantujuan materi, maka ia telah menyalahi kodratnya sebagai LSM.
(Zubaedi,
2013:89).
Universitas Sumatera Utara
2.3. Anak
Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa,
memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa
mendatang. Menurut Konvensi Hak-hak Anak (Convention on The Right of The
Child ), yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden
(Keppres) nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah setiap individu
yang berusia dibawah 18 tahun. Sebaliknya, Undang-Undang No. 4 tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, batasan seseorang dapat dikatakan sebagai anak
ialah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan
dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, disebut
sebagai anak jika seseorang telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai
18 tahun dan belum pernah nikah. Selain itu dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 35 tahun 2014 pasal 1 ayat (1), anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan
(Abu Huraerah, 2007:31).
2.4. Anak Jalanan
Istilah anak jalanan pertama sekali diperkenalkan di Amerika Selatatan
(Brazil) dengan nama Menimos de Ruas untuk menyebutkan kelompok anak-anak
yang hidup di jalanan dan tidak memiliki ikatan dengan keluarga. Dalam diskusi
Universitas Sumatera Utara
Badan Koordinasi Kesejahteraan Sosial (1996), mendefinisikan anak-anak jalanan
adalah anak-anak yang hidup dan bekerja di jalanan, ditinggalkan atau
diterlantarkan, atau melarikan diri dari keluarga yang masih ada hubungan dengan
keluarganya tetapi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja di jalan.
Sedangkan menurut PBB, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian
besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas lain. Anak
jalanan tidak jarang menghadapi resiko seperti pemerasan, perkelahian,
kecelakaan dan kekerasan yang lain. Lebih dari itu, anak jalanan lebih mudah
terpengaruh kebiasaan tidak sehat dari kultur jalanan, khususnya seks bebas dan
penyalahgunaan obat.
Anak jalanan pada umumnya berasal dari keluarga yang memiliki
perekonomian yang lemah. Anak jalanan tumbuh dengan latar kehidupan jalanan
dan akrab dengan penganiayaan, kemiskinan dan hilangnya kasih sayang yang
akhirnya membuat anak jalanan berperilaku negatif. Menurut Suyanto, munculnya
anak jalanan memiliki penyebab yang tidak tunggal. Munculnya fenomena anak
jalanan tersebut disebabkan oleh dua hal yaitu:
Problema sosiologis, karena faktor keluarga yang tidak kondusif bagi
perkembangan si anak. Misalnya, orang tua yang kurang perhatian kepada
anak-anaknya, tidak ada kasih sayang dalam keluarga, diacuhkan dan
banyak tekanan dalam keluarga serta pengaruh teman.
Universitas Sumatera Utara
Problema ekonomi, karena faktor kemiskinan anak terpaksa memikul
beban ekonomi keluarga yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang
tua.
Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang
semir, pengais sampah, dan sebagainya. Anak jalanan ini terutama beroperasi di
perempatan jalan (traffic light). Jenis pekerjaan anak jalanan oleh Departemen
Sosial RI (1998) dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu :
1. Usaha dagang yang terdiri dari pedagang asongan, penjual koran, majalah
serta menjual sapu atau lap kaca mobil.
2. Usaha di bidang jasa yang terdiri dari pembersih bus, pengelap kaca
mobil, pengatur lalu lintas, kuli angkut pasar, ojek payung, tukang semir
sepatu dan kernek atau calo.
3. Pengamen, dalam hal ini menyanyikan lagu dengan berbagai macam alat
musik seperti gitar, kecrekan, suling bambu, gendang, radio karaoke dan
lain-lain.
4. Kerja serabutan yaitu anak jalanan tidak mempunyai pekerjaan tetap,
dalam artian dapat berubah sesuai keinginan mereka.
Hasil penyelidikan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) dan
Childhope, Philipina (1995), membagi dua kategori anak-anak jalanan
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan penggunaan masa dan aktivitas yang mereka lakukan (Didin
Saripudin, 2010:156):
a. Anak yang bekerja di jalanan (children of the street).
Anak-anak dalam kategori ini menghabiskan sebagian besar masanya di
jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya untuk bekerja dan penghasilannya
digunakan untuk membantu kehidupan keluarga. Sebagian besar anak jalanan
yang termasuk dalam kategori ini masih berhubungan dengan orang tua, karena
sebagian besar di antara anak-anak ini masih tinggal bersama orang tua.
b. Anak-anak yang hidup di jalanan (children on the street).
Anak jalanan yang termasuk dalam kategori ini menghabiskan sebagian
besar masanya di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya, tetapi hanya
sedikit masa yang digunakan untuk bekerja. Anak jalanan dalam kategori ini
jarang berhubungan dengan keluarganya dan mempunyai kecenderungan untuk
melakukan tindak kriminal serta penggunaan obat terlarang. Beberapa orang
diantara anak jalanan ini tidak memiliki rumah tinggal (homeless), anak-anak ini
hidup dan tinggal di jalanan mana saja.
Selanjutnya Departemen Sosial RI dan UNDP (1997) menambahkan satu
kategori lagi, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
c. Anak yang rentan menjadi anak jalalan (vurnerable to be street children).
Anak-anak yang masih tinggal dan berhubungan dengan keluarganya dan
sebagian besar masih bersekolah. Dalam waktu luangnya (pulang sekolah), anakanak ini bekerja di jalanan dan penghasilannya digunakan untuk membiayai
sekolah atau keluarganya.
Beberapa karakteristik atau sifat-sifat yang menonjol dari anak jalanan,
diantaranya adalah :
i. Kelihatan kumuh atau kotor, baik kotor tubuh maupun kotor pakaian.
ii. Memandang orang lain yang tidak hidup di jalanan sebagai orang yang
dapat dimintai uang.
iii. Mandiri, artinya anak jalanan tidak terlalu menggantungkan hidupnya
terutama dalam hal tempat tidur atau makan.
iv. Mimik wajah yang selalu memelas, terutama ketika berhubungan dengan
orang yang bukan dari jalanan.
v. Anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi baik berbicara
dengan siapaun selama di jalanan.
vi. Malas untuk melakukan kegiatan anak “rumahan”, misalnya jadwal tidur
selalu tak beraturan, mandi, membersihkan badan, dan sebagainya.
Menurut Mohammad Farid, sebagian anak jalanan bertahan hidup dengan
cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima, disebabkan
Universitas Sumatera Utara
tantangan kehidupan yang anak jalanan hadapi pada umumnya memang berbeda
dengan kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Dalam banyak kasus, anak
jalanan sering hidup dan berkembang di bawah tekanan dan stigma atau cap
sebagai pengganggu. Perilaku anak jalanan sebenarnya merupakan konsekuensi
logis dari stigma sosial dan keterasingan mereka dalam masyarakat. Tidak ada
yang berpihak kepada mereka dan justru sebenarnya perilaku mereka
mencerminkan cara masyarakat memperlakukan mereka (Bagong, 2010:190). Ada
perbedaan perilaku sosial anak-anak jalanan yang hidup di jalanan dengan anak
yang bekerja di jalanan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Perbedaan Anak Jalanan yang Hidup di Jalanan dan Anak yang
Bekerja di Jalanan
No
1
Aspek-aspek
Waktu
Anak yang hidup di
Anak yang bekerja di
jalanan
jalanan
24 jam
Temporal menurut jam
kerja
2
3
Ruang hidup
Tempat tinggal
Semua fasilitas jalan dan
Tertentu sesuai tempat
public space
kerja
Jalanan dan public space
Ibu bapak, mengontrak
atau di tempat kerja
4
Hubungan dengan Terputus
Pulang ke rumah setiap
orang tua
hari atau secara
periodik
5
Latar belakang
Non ekonomi: kekerasan,
Ekonomi: mencari
penolakan, penyiksaan,
uang, membantu
perceraian
keluarga, memenuhi
kebutuhan sendiri
6
Aktivitas
Berkeliaran dan berganti-
Aktivitas ekonomi:
ganti pekerjaan seperti
menyemir sepatu,
mengamen, mengemis,
mengasong, mengamen,
menyemir sepatu
menjual koran, mencuci
bis dan lain-lain
7
Sifat hidup
Berpindah-pindah
Menetap
(nomaden)
8
Sikap
Curiga, susah diatur, liar,
Lebih lunak
reaktif, tertutup, bebas
Universitas Sumatera Utara
No
9
Aspek-aspek
Perilaku norma
Anak yang hidup di
Anak yang bekerja di
jalanan
jalanan
Mengembangkan nilai sub
Masih normatif
kultur jalanan untuk
survival
10
Jenis masalah
Eksploitasi jenis pekerjaan, Biaya sekolah,
seksual, kriminalitas,
kebutuhan keluarga,
kesehatan, dll
biaya hidup, pengaruh
teman dan eksploitasi
keluarga
11
Frekuensi masalah Sering dan banyak terjadi,
kurang kontrol orang tua
Sering dan sedikit
terjadi, masih ada
bantuan orang tua/LSM
12
Motivasi kerja
Untuk hidup terus
Untuk memperoleh
uang
13
Minat
kembali
untuk Umumnya tidak berminat
kepada
Masih tinggal dengan
ibu bapak
keluarga
Sumber: Modul YKAI – Dep – Sos. 1999
Departemen Sosial (2004), mengungkapkan cukup banyak anak yang
mengalami tindakan kekerasan dengan dampak yang sangat mendalam bagi anak.
Bentuk kekerasan tersebut bukan hanya secara fisik saja tetapi juga non-fisik.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Bentuk Kekerasan yang dialami Anak Jalanan dan Pelakunya
No
1
Bentuk Kekerasan
Pelaku
Diancam, dimarahi,
Ayah kandung, sesama anak jalanan, anak
dimaki
jalanan senior, preman, supir, pengendara,
polisi, petugas kamtib (Satpol PP)
2
Dipukuli/ditempeleng
Ayah kandung, ayah tiri, penculik, teman,
petugas kamtib (Satpol PP), polisi
3
Digebuki/ditendang
Ibu kandung, ayah tiri, ibu tiri, kakak, anak
jalanan, kernek, polisi, satpam
4
Dipalak
Anak jalanan, preman
5
Dikeroyok
Preman
6
Kepala dibenturkan ke
Ayah dan ibu
tembok
7
Disetrum
Satpam
8
Dieksploitasi ekonomi
Ibu kandung, penculik, pacar
9
Diganggu/dilecehkan
Orang lain, polisi
10
Disodomi
Orang dewasa, sesama anak jalanan
Sumber: Pemetaan dan Survei Sosial Anak Jalanan 1999
2.5. Kekerasan
Kekerasan adalah bentuk tindakan yang dilakukan terhadap pihak lain,
baik yang dilakukan oleh perorangan maupun lebih dari seorang yang dapat
mengakibatkan penderitaan pada pihak lain. Dalam Undang-Undang No. 35 tahun
2014 tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (15) butir a, menyatakan bahwa
kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya
Universitas Sumatera Utara
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
dan UNICEF dalam Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak,
mendefinisikan kekerasan terhadap anak sebagai bentuk tindakan/perlakuan
menyakitkan
secara
fisik
ataupun
emosional,
penyalahgunaan
seksual,
penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lainnya, yang mengakibatkan
cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kekerasan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang
dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 351 menjelaskan
penganiayaan atau tindak kekerasan adalah setiap perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk merugikan kesehatan orang lain, dan setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan pada orang lain. Tindak
kekerasan dapat dibagi dalam dua, yaitu :
Kekerasan yang dialami di lingkungan sosial
Kekerasan yang dialami anak pada lingkungan sosial kebanyakan
merupakan penganiayaan atau child abuse, yaitu perilaku-perilaku yang dilakukan
orangtua atau orang dewasa terhadap anaknya dan dianggap tidak wajar. Definisi
mengenai child abuse ini biasanya ditentukan oleh empat faktor, yaitu pertama
Universitas Sumatera Utara
intensitas perilaku atau tindakan, kedua efek yang ditimbulkan pada diri anak,
ketiga penilaian terhadap perilaku atau tindakan tersebut, dan keempat standar
dimana penilaian itu dilakukan. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa pelaku
penganiayaan terhadap anak adalah orang-orang sakit. Ada juga yang menyatakan
bahwa penganiayaan adalah hasil dari ketidakpuasan orangtua, kurangnya
pengendalian diri, tidak adanya konsep diri yang kuat, dan merupakan proyeksi
penganiayaan sewaktu kanak-kanak. Penganiayaan terhadap anak adalah hasil dari
masyarakat itu sendiri dan bukan sifat-sifat dari individu. Walaupun demikian,
tidak ada budaya yang memperbolehkan perilaku-perilaku atau tindakan-tindakan
yang mengakibatkan luka atau trauma secara fisik. Child abuse atau perlakuan
kejam terhadap anak, mulai dari pengabaian anak sampai pada pemerkosaan anak
dan pembunuhan anak.
Kekerasan yang dialami dalam keluarga (Domestic Violence)
Kekerasan yang dialami dalam keluarga adalah kekerasan yang diterima
anak dari orangtuanya, baik berupa kekerasan fisik atau mental. Pada umumnya
kekerasan dalam keluarga yang diterima anak terjadi apabila ada penyalahgunaan
kekerasan oleh mereka yang merasa memiliki kekuasaan lebih.
Selain itu ada juga bentuk-bentuk kekerasan yang dibagi menjadi 4
kategori, sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a) Kekerasan fisik, merupakan setiap perbuatan yang menyebabkan rasa
sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang dan atau menyebabkan
kematian. Misalnya, memukul, menampar, menendang, melukai dengan
tangan kosong atau dengan alat, melempar barang ke tubuh korban, dan
sebagainya.
b) Kekerasan psikologis, merupakan setiap perbuatan dan ucapan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, dan hilangnya
kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya pada seseorang.
Misalnya, mengancam, berteriak-teriak, merendahkan, dan yang lainnya
yang merupakan tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut.
c) Kekerasan seksual, merupakan tiap-tiap perbuatan yang mencakup
pelecehan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai
oleh korban, dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan
seksualnya. Misalnya, memaksa berhubungan seks dengan korban tanpa
persetujuan, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban,
ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan yang mengarah pada
aspek jenis kelamin korban, dan sebagainya.
d) Kekerasan ekonomi, merupakan tiap-tiap perbuatan yang membatasi
seseorang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan
uang dan atau barang, serta membiarkan korban bekerja untuk
Universitas Sumatera Utara
dieksploitasi, atau menelantarkan anggota keluarga. Misalnya, mengambil
uang korban secara paksa, mengawasi pengeluaran uang sampai sekecilkecilnya, semuanya dengan maksud hanya untuk dapat mengendalikan
tindakan korban.
2.6. Teori Konflik
Teori konflik adalah suatu pandangan bahwa masyarakat sebagai satu
sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang
memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dimana komponen ini saling
menaklukkan satu sama lain untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingan
diri sendiri maupun kelompok. Konflik berasal dari bahasa Latin yaitu con yang
berarti bersama dan figere, yang artinya benturan atau tabrakan (saling memukul).
Menurut Soerjono Soekanto, konflik merupakan suatu proses sosial dimana orang
perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan
jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman atau kekerasan. Kekerasan
terjadi dikarenakan tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan
kekerasan, baik itu dari kekerasan yang terkecil hingga peperangan.
Konflik merupakan gejala sosial yang selalu hadir dalam kehidupan sosial,
artinya konflik akan senantiasa hadir dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja
dan kapan saja. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan
selamanya berada pada keteraturan, karena dalam masyarakat menapun pasti
Universitas Sumatera Utara
pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Menurut teori
konflik, masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, setiap masyarakat
kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik, setiap elemen dalam
masyarakat menyumbang pada disintegrasi dan perubahan sosial, serta setiap
keteraturan yang terdapat di dalam masyarakat didasarkan atau berasal dari
paksaan atas beberapa anggotanya oleh orang lain. Teoritisi konflik menekankan
pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat
(Wirawan, 2012:74).
Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari sebagai
konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang seharusnya menjadi
permasalahan
bukanlah
bagaimana
meredam
konflik,
tetapi
bagaimana
menanganinya secara tepat sehingga tidak menghancurkan hubungan antar
pribadi, bahkan menghancurkan tujuan organisasi. Ralf Dahrendorf mengatakan
bahwa ada empat jenis konflik, yaitu:
a) Konflik antar atau yang terjadi dalam peranan sosial yang biasa disebut
dengan konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana
individu menghadapi harapan-harapan yang berlawanan dari bermacammacam peranan yang dimilikinya.
b) Konflik antara kelompok-kelompok sosial. Misalnya antar keluarga atau
antar gank.
Universitas Sumatera Utara
c) Konflik
antara
kelompok-kelompok
yang
terorganisir
dan
tidak
terorganisir. Misalnya, polisi yang melawan massa.
d) Konflik antara satuan nasional. Seperti antar partai politik, antar negara,
atau organisasi internasional.
Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat
mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi
harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi
konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik
harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat
masyarakat bersama dihadapan tekanan (Ritzer, 2014:148). Dahrendorf mengakui
bahwa masyarakat tidak akan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi
persyaratan satu sama lain. Jadi, seseorang tidak akan punya konflik kecuali ada
konsensus sebelumnya. Sebaliknya konflik dapat mengarahkan konsensus dan
integrasi. Menurutnya, masyarakat disatukan oleh ‘ketidakbebasan’ yang
dipaksakan (kekuatan pemaksa). Dengan demikian posisi tertentu di dalam
masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas (wewenang) terhadap posisi
yang lain.
Kekuasan diartikan sebagai kemampuan untuk memaksakan kemauan
seseorang meskipun mendapatkan perlawanan, sedangkan otoritas diartikan
sebagai hak yang sah untuk mengharapkan kepatuhan dari seseorang. Otoritas
Universitas Sumatera Utara
tidak terletak dalam individu, tetapi dalam kedudukan dan kewenangan. Otoritas
yang melekat pada posisi adalah elemen kunci dalam analisis Dahrendorf. Mereka
yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengontrol atau mengendalikan orang
yang berada di bawahnya. Mereka berkuasa karena harapan orang-orang di
sekelilingnya, bukan karena karakteristik/ciri-ciri psikologis mereka. Seperti
otoritas, harapan ini melekat pada posisi (kedudukan) bukan pada orangnya
(Maliki, 2012:237).
Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum, mereka yang tunduk pada
kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol, ditentukan di dalam
masyarakat. Karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada hak yang
menentang. Menurutnya, otoritas tidak konstan karena terletak dalam posisi bukan
di dalam diri orangnya (Ritzer, 2014:150). Banyak faktor telah menyebabkan
terjadinya konflik, diantarnya:
•
Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan
konflik-konflik antar individu. Dalam konflik seperti ini terjadilah
bentrokan-bentrokan pendirian dan masing-masing pihak berusaha
membinasakan lawannya. Membinasakan tidak selalu harus diartikan
sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa diartikan dalam bentuk pemusnahan
simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tidak disetujuinya.
Kenyataannya bahwa setiap individu tidak satu pun memiliki karakter
Universitas Sumatera Utara
yang sama, sehingga perbedaan pendapat, keinginan dan tujuan dapat
memperngaruhi munculnya timbulnya sosial.
•
Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan
menimbulkan konflik antar individu, akan tetapi dapat juga antar
kelompok. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan polapola kepribadian dan pola-pola perilaku yang berbeda dikalangan khalayak
kelompok yang luas, sehingga apabila terjadi konflik karena alasan ini,
kemungkinan besar konflik tersebut akan bersifat luas dan karenanya
dapat bersifat konflik antar kelompok.
•
Kepentingan-kepentingan
yang
berbeda-beda.
Mengejar
tujuan
kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan
bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana
(Narwoko, 2004:68).
Konflik tidak selamanya berdampak negatif seperti keretakan hubungan
antar kelompok yang bertikai, kerusakkan harta benda, bahkan hilangnya jiwa
manusia. Adapun konflik juga memiliki fungsi, antara lain (a) konflik dapat
dipakai sebagai indikator kekuatan dan stabilitas suatu hubungan, (b) konflik tidak
selalu berakhir dengan rasa permusuhan, (c) meningkatkan solidaritas sesama
anggota kelompok (in-group) yang mengalami konflik dengan kolompok lain. (d)
mempunyai fungsi komunikasi, dan (e) mengaktifkan peranan individu yang
Universitas Sumatera Utara
semula terisolasi. Apabila terjadi pertentangan antara dua kelompok yang
berlainan, individu-individu akan mudah untuk mengubah kepribadiannya untuk
mengidentifikasikan dirinya secara penuh dengan kelompoknya (Soetomo,
2008:105).
Menurut Nasikun, ada beberapa bentuk-bentuk pengendalian konflik
diantaranya:
1) Konsiliasi. Pengendalian ini dapat terwujud melalui lembaga-lembaga
tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan
keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai
persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan.
2) Mediasi. Bentuk ini dilakukan bila dari kedua belah pihak yang
bersengketa/berkonflik
nasihatnya
tentang
bersama-sama
bagaimana
sepakat
mereka
untk
sebaiknya
memberikan
menyelesaikan
pertentangan mereka.
3) Arbitrasi yang berarti melalui pengadilan dengan seorang hakim (arbiter)
sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan
mediasi. Seorang hakim (arbiter) memberi keputusan yang mengikat
kedua pihak yang bersengketa, yang artinya keputusan seorang hakim
harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, maka
Universitas Sumatera Utara
ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai kepada
instansi pengadilan nasional yang tertinggi.
4) Perwasitan.
Di
dalam
bertentangan/berkonflik
hal
ini
bersepakat
kedua
untuk
belah
pihak
memberikan
yang
keputusan-
keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara
mereka.
2.7. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian yang berjudul “Peran Lembaga Advokasi Anak dalam
mendampingi korban eksploitasi seksual komersial anak di Bandar Lampung”,
yang ditulis oleh Elfira Susanty (Alumni Sosiologi FISIP Universitas Lampung)
dan Endry Fatimaningsih (Staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Lampung).
Dalam penelitian ini, peranan Lembaga Advokasi Anak dalam upaya
perlindungan anak dibagi menjadi tiga kategori yaitu pertama, advokasi kebijakan
perlindungan anak, dimana mereka mendorong pemerintah daerah Bandar
Lampung untuk mengembangkan peraturab-peraturan daerah untuk mewujudkan
oemenuhan hak-hak anak. Kedua, memberikan pendampingan terhadap anak
korban kekerasan baik yang terlibat dalam hukum maupun tidak, serta
memberikan pelatihan keterampilan kerja. Dan yang terakhir adalah penguatan
ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
Faktor utama mengapa pentingnya peranan Lembaga Advokasi Anak
dalam mendampingi anak korban kekerasan di Bandar Lampung karena tidak
adanya strategi khusus yang dilakukan pemerintah dalam menangani anak-anak
korban kekerasan ini sehinggan semakin banyaknya anak di Bandar Lampung
yang menjadi korban. Selain perlindungan litigasi atau perlindungan hukum,
bentuk pendampingan non litigasi juga dilakukan dan menjadi fokus utama
Lembaga ini yaitu, (a) Fisik, metujuk korban ke Unit Pelayanan Terpadu
Penanganan Korban Tindak Kekerasan, (b) Shelter (rumah aman), jika korban
dianggap tidak aman untuk tetap berada dilingkungannya maka korban dirujuk ke
rumah aman, (c) Psikis, berupa konseling psikologis dan sosiologis.
Terapi psikologis dilakukan untuk meminimalisir gangguan psikologis
yang muncul akibat kekerasan yang dialami anak, sedangkan terapi sosiologis
bertujuan untuk membantu anak menghilangkan rasa malu terhadap stigma
negatif yang didapatnya dari lingkungan. Di dalam mendampingi anak, LSM ini
melakukan strategi khusus yang digunakan dalam proses pendampingan dilakukan
dengan pendekatan secara emosional, hal ini dilakukan untuk mendapatkan
kepercayaan anak terhadap mereka. Setelah mendapatkan kepercayaan, maka
anak akan mau untuk mengikuti semua layanan yang diberikan oleh LSM. Proses
selanjutnya yaitu pembinaan. Pembinaan yang dilakukan berupa layanan
pendidikan.
Universitas Sumatera Utara