Analisis Tingkat Kebisingan, Tekanan Darah dan Frekuensi Denyut Nadi Pada Pekerja Pertenunan di Kecamatan Balige Tahun 2016
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebisingan
2.1.1
Definisi Kebisingan
Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari suatu usaha atau
kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (Subaris dan Haryono, 2007).
2.1.2
Sumber Kebisingan
Doelle (1993) membagi sumber bising berdasarkan lokasi dalam 2
kelompok, yaitu:
a. Bising interior/ dalam, berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga,
mesin gudang dan aktifitas di dalam ruangan atau gedung.
b. Bising eksterior/ luar, bising yang dikategorikan berasal dari aktifitas
diluar ruangan seperti transportasi udara, termasuk bus, mobil, sepeda
motor, transportasi air, kereta api dan pesawat terbang dan bising yang
berasal dari industri. Untuk bising transportasi yang paling penting
diketahui bahwa makin besar kendaraan akan semakin keras suara
bising yang dihasilkan.
Berdasarkan aktivitas yang terjadi di dalam pabrik, Tambunan (2005)
mengelompokkan sumber kebisingan antara lain:
a. Mengoperasikan mesin-mesin produksi “ribut” yang sudah cukup tua.
6
Universitas Sumatera Utara
7
b. Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja
cukup tinggi dalam periode operasi cukup panjang.
c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi ala kadarnya,
misalnya mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami
kerusakan parah.
d. Melakukan modifikasi / perubahan / penggantian secara parsial pada
komponen-komponen mesin produksi tanpa mengindahkan kaidahkaidah keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponenkomponen mesin tiruan.
e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak
tepat (terbalik atau tidak rapat/longgar), terutama pada bagian
penghubung antara modul mesin (bad connection).
f. Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya, misalnya
penggunaan palu / alat pemukul sebagai alat pembengkok benda-benda
metal atau alat bantu pembuka baut.
2.1.3
Jenis Kebisingan
Berdasarkan pengaruh bunyi terhadap manusia, Moeljosoedarmo (2008)
membagi jenis kebisingan sebagai berikut:
a. Bising yang mengganggu (iritating noise), intensitasnya tidak keras
(misalnya orang mendengkur)
b. Bising yang menutupi (masking noise), merupakan bunyi yang
menutupi pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung bunyi ini
akan membahayakan kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, karena
Universitas Sumatera Utara
8
teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam kebisingan dari
sumber lain.
c. Bising yang merusak (damaging/injurious noise), ialah bunyi yang
intensitasnya melampaui Nilai Ambang Batas (NAB), bunyi jenis ini
akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.
Sedangkan Suma’mur (2009) membagi jenis kebisingan berdasarkan sifat
kebisingan tersebut:
a. Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus-putus dengan spektrum
frekuensi lebar (steady state, wide band noise), misalnya bising mesin,
kipas angin, dapur pijar, dan lain-lain.
b. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis
(steady state, narrow band noise), misalnya bising gergaji serkuler,
katup gas, dan lain-lain.
c. Kebisingan terputus-putus (intermitten noise), misalnya bising lalulintas suara kapal terbang di bandara.
d. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti bising
pukulan palu, tembakan bedil atau meriam, dan ledakan.
e. Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di
perusahaan atau tempaan tiang pancang.
2.1.4
Nilai Ambang Batas Kebisingan
Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat
kerja adalah standar sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat
menghadapinya tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam
Universitas Sumatera Utara
9
pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 (delapan) jam sehari dari 5
(lima) hari kerja seminggu atau 40 jam seminggu.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 261/MENKES/SK/II/1998
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja tingkat kebisingan ruangan di
ruang kerja maksimal 85 dBA dalam rata-rata pengukuran 8 jam. Berikut ini
adalah tabel standar tingkat kebisingan maksimal dalam 1 hari pada ruang proses
prosuksi:
Tabel 2.1 Tingkat Kebisingan Maksimal Selama 1 Hari pada Ruang
Proses Produksi
Tingkat Kebisingan (dB)
Pemaparan Harian
85
8 jam
92
6 jam
88
4 jam
87
3 jam
91
2 jam
94
1 jam
97
30 menit
100
15 menit
Sumber : Kepmenkes No. 261/MENKES/SK/II/1998
Universitas Sumatera Utara
10
Standar kebisingan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No.51/MEN/1999 adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu Paparan
Intensitas Kebisingan (dB)
8 Jam
85
4 Jam
88
2 Jam
91
1 Jam
94
30 Menit
97
15 Menit
100
7,5 Menit
103
3,75 Menit
106
1,88 Menit
109
0,94 Menit
112
28,12 Detik
115
14,06 Detik
118
7,03 Detik
121
3,52 Detik
124
1,76 Detik
127
0,88 Detik
130
0,44 Detik
133
0,23 Detik
136
0,11 Detik
139
Sumber : Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51/MEN/1999.
Keterangan : Tidak boleh terapajan lebih dari 140 dB, walaupun sesaat.
2.1.5
Pengukuran Kebisingan
Pengukuran kebisingan bertujuan untuk mengetahui tingkat kebisingan di
lingkungan kerja. Dengan mengetahui besar kebisngan tersebut maka dapat
diketahui apakah pekerja sudah terpajan melampaui NAB atau tidak.
Alat yang digunakan untuk pengukuran itensitas kebisingan adalah Sound
Level Meter (SLM) yang mempunyai beberapa jenis antara lain:
Universitas Sumatera Utara
11
a. Precision Sound Level Meter
b. General Purpose Sound Level Meter
c. Survey Sound Level Meter
d. Special Purpose Sound Level Meter
Sound Level Meter berfungsi untuk mengukur kebisingan antara 30- 130
dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz. Sound Level Meter terdiri dari mikrofon,
amplifier, dan sirkuit attenuator dan beberapa alat lainnya. Sound Level Meter
dilengkapi dengan tombol pengaturan skala pembobotan seperti A, B, C, dan D.
Skala A, contohnya adalah rentang skala pembobotan yang melingkupi frekuensi
suara rendah dan frekuensi suara tinggi yang masih dapat diterima oleh telinga
manusia normal. Sementara itu skala B, C dan D digunakan untuk keperluankeperluan khusus, misalnya pengukuran kebisingan yang dihasilkan oleh pesawat
terbang bermesin jet (Tambunan, 2005).
Sound level meter akan memberikan hasil berupa angka yang dapat
dibandingkan dengan aturan batas maksimum dalam satuan desibel. (85 dBA
untuk shift selama 8 jam per hari, 40 jam per minggu, batasnya akan lebih rendah
untuk waktu kerja yang lebih lama).
Desibel diukur pada skala khusus, yang disebut skala logaritma, dimana
setiap penambahan intensitas suara berlipat dua. Berarti peningkatan dari 90 dB
ke 93 dB berarti suaranya empat kali lebih keras dari pada 90 dB. Hal ini penting
untuk diingat karena peningkatan kecil pada desibel berarti peningkatan kerasnya
suara dan makin parah kerusakan yang dapat diakibatkan pada telinga (Anizar,
2009).
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.6
Dampak Kebisingan
Moeljosoedarmo (2008) mengelompokkan dampak kebisingan menjadi
dua yaitu dampak pada indera pendengaran (Audiotory Effect) dan dampak
kebisingan bukan pada indera pendengaran (Non Audiotory Effect).
2.1.6.1 Audiotory Effect
a. Trauma Akustik
Trauma akustik disebabkan oleh karena terpajan kepada suara (bising)
impulsif dengan tekanan tinggi, seperti letusan senjata, ledakan dan lainlain. Diagnosa mudah dibuat, penderita dengan tepat dapat menyatakan
kapan terjadinya ketulian. Bagian yang rusak adalah membran timpani,
tulang-tulang pendengaran dan cochlea . Tuli terjadi secara akut, tinitus
cepat sembuh secara partial atau secara sempurna.
b. Ketulian
Diantara sekian banyak gangguan (pengaruh) yang ditimbulkan oleh
kebisingan, maka yang paling serius adalah gangguan terjadinya ketulian.
1. Ketulian sementara
Akibat pemajanan terhadap bising dengan intensitas tinggi, tenaga
kerja akan mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya sementara.
Apabila kepada tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup,
daya dengarnya akan pulih kembali kepada ambang dengar yang
semula (recovery dapat sempurna). Untuk suara yang intensitasnya
lebih besar dari 85 dB akan dibutuhkan waktu istirahat antara 3-7 hari.
Namun, apabila waktu istirahat tidak cukup dan tenaga kerja terpajan
Universitas Sumatera Utara
13
kembali kepada bising, dan keadaan ini berlangsung dalam jangka
waktu yang lama, maka ketulian sementara akan bertambah setiap
harinya.
2. Ketulian menetap
Ketulian menetap terjadi oleh karena pemajanan terhadap intensitas
bising yang tinggi dalam jangka waktu yang lama. Ketulian menetap
terjadi sebagai akibat dari proses pemulihan yang tidak sempurna (dari
Temporary Threshold Shift yang terjadi belum sempat kembali ke
ambang dengar semula), yang kemudian sudah kontak dengan
intensitas suara yang tinggi, maka akan terjadi pengaruh kumulatif,
yang pada suatu saat tidak terjadi pemulihan sama sekali. Pada saat
inilah, maka ketulian disebut sebagai ketulian menetap.
2.1.6.2 Non Audiotory Effect
a. Pengaruh Fisiologi
Pada umumnya kebisingan bernada tinggi sangat mengganggu, lebih-lebih
yang terputus-putus atau yang datangnya secara tiba-tiba (mendadak) dan
tidak terduga dapat menimbulkan reaksi fisiologis seperti: peningkatan
tekanan darah (±10 mmHg), peningkatan denyut nadi, basal metabolisme,
gangguan tidur, konstriksi pembuluh darah kecil terutama pada kaki dan
tangan, dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris, serta gangguan
refleks.
b. Pengaruh Psikologi
Universitas Sumatera Utara
14
Kebisingan dapat memengaruhi stabilitas mental dan reaksi psikologis,
menimbulkan rasa khawatir, marah, jengkel dan lain-lain. Yang dimaksud
dengan stabilitas mental adalah kemampuan seseorang untuk berfungsi
atau bertindak normal. Kebisingan memang tidak dapat menimbulkan
mental illness, namun dapat memperberat problem mental yang sudah ada.
c. Annoyance
Suatu kebisingan dikatakan mengganggu (annoying), bila pemajanan
terhadapnya menyebabkan orang tersebut mengurangi, menolak bising
tersebut atau meninggalkan tempat yang bising bila mungkin.
d. Gangguan komunikasi
Gangguan jenis ini dapat disebabkan oleh:
1. Masking effect dari kebisingan
2. Gangguan kejelasan suara (intelligibility)
Sebagai pegangan risiko potensial kepada pendengaran, terjadi apabila
komunikasi pembicaraan harus dijalankan dengan berteriak. Gangguan
komunikasi ini menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin
terjadi kecelakaan, terutama pada peristiwa penggunaan tenaga baru
(Moeljosoedarmo, 2008).
e. Pengaruh kebisingan terhadap performance kerja
Tarwaka, dkk (2004) mengelompokkan pengaruh pemaparan kebisingan
berdasarkan pada tinggi rendahnya intensitas kebisingan dan lamanya waktu
pemaparan. Pertama, pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi (di atas
Universitas Sumatera Utara
15
NAB) dan kedua, adalah pengaruh pemaparan kebisingan intensitas rendah (di
bawah NAB).
1. Pengaruh Kebisingan Intensitas Tinggi
a. Pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi (di atas NAB) adalah
terjadinya kerusakan pada indera pendengaran yang dapat menyebabkan
penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara maupun bersifat
permanen, biasanya didahului dengan pendengarana yang bersifat sementara
yang dapat menganggu kehidupan yang bersangkutan baik di tempat kerja
maupun dilingkungna keluarga dan lingkungan sosialnya.
b. Pengaruh kebisingan akan sangat terasa apabila jenis kebisingannya terputusputus dan sumbernya tidak diketahui.
c. Secara fisiologis, kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan
gangguan kesehatan seperti, meningkatnya tekanan darah dan denyut jantung,
risiko serangan jantung meningkat gangguan pencernaan.
d. Reaksi masyarakat, apabila kebisingan akibat suatu proses produksi demikian
hebatnya sehingga masyarakat sekitarnya protes menuntut agar kegiatan
tersebut dihentikan, dll.
2. Pengaruh kebisingan intensitas rendah
Tingkat intensitas kebisingan rendah atau di bawah NAB banyak
ditemukan dilingkungan kerja seperti perkantoran, ruang administrasi perusahaan
dll. Intensitas kebisingan yang masih di bawah NAB tersebut secara fisiologis
tidak menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya
sering dapat menyebablkan penurunan penurunan performansi kerja, sebagai salah
Universitas Sumatera Utara
16
satu penyebab stres dan gangguan kesehatan lainnya. Stres yang disebabkan
karena yang pemaparan kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dini,
kegelisahan dan depresi.
2.1.7
Pengendalian Kebisingan
Tarwaka, dkk (2004) dalam bukunya menyatakan bahwa sebelum
dilakukan langkah pengendalian, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
membuat rencana pengendalian yang didasarkan pada hasil penilaian kebisingan
dan dampak yang ditimbulkan. Rencana pengendalian dapat dilakukan dengan
pendekatan melalui perspektif manajemen risiko kebisingan. Manajemen risiko
yang dimaksud adalah suatu pendekatan yang logik dan sistemik untuk
mengendalikan risiko yang mungkin timbul. Langkah manajemen risiko
kebisingan tersebut adalah:
a. Mengidentifikasi sumber-sumber kebisingan yang ada ditempat kerja yang
berpotensi menimbulkan penyakit atau cidera akibat kerja.
b. Menilai risiko kebisingan yang berakibat serius terhadap penyakit dan cidera
akibat kerja
c. Mengambil langkah langkah yang sesuai untuk mengendalikan atau
meminimalisasi risiko kebisingan.
Setelah rencana dibuat dengan seksama, langkah selanjutnya adalah
melaksanakan langkah pengendalian kebisingan dengan dua arah pendekatan
yaitu pendekatan jangka pendek (short-term gain) dan pendekatan jangka panjang
(long-term gain) dari hirarki pengendalian.Pada pengendalian kebisingan dengan
orientasi jangka panjang, teknik pengendaliannya secara berurutan adalah
Universitas Sumatera Utara
17
eliminasi sumber kebisingan, pengendalian secara teknik pengendalian secara
berurutan adalah eliminasi sumber kebisingan, pengendalian secara teknik,
pengendalian secara administrative dan terakhir penggunaan penggunaan alat
pelindung diri. Orientasi jangka pendek adalah sebaliknya secara berurutan.
a. Eliminasi sumber kebisingan
1. Pada teknik eliminasi ini dapat dilakukan dengn penggunaan tempat kerja
atau pabrik baru sehingga biaya pengendalian dapat diminimalkan.
2. Pada tahap tender mesin-mesin yang akan dipakai, harus mensyaratkan
maksimum intensitas kebisingan yang dikeluarkan dari mesin baru.
3. Pada tahap pembuatan pabrik dan pemasangan mesin, konstuksi bangunan
harus dapat meredam kebisingan serendah mungkin dll.
b. Pengendalian kebisingan secara teknik
1. Pengendalian kebisingan pada sumber suara.
Penurunan kebisingan pada sumber suara dapat dilakuakan dengan
menutup mesin atau mengisolasi mesin sehingga terpisah dengan pekerja.
Teknik ini dapat dilakukan dengan mendesain mesin memakai remote
control. Selain itu dapat dilakukan redesain landasan mesin dengan bahan
anti getaran. Namun, demikian teknik ini memerlukan biaya yang sangat
besar sehingga dalam prakteknya sulit diimplementasikan.
2. Pengendalian kebisingan pada bagian transmisi kebisingan.
Apabila teknik pengendalian pada sumber suara sulit dilakukan, maka
teknik berikutnya adalah dengan memberi pembatas atau sekat antara
mesin dan pekerja. Cara lain adalah dengan menambah atau melapisi
Universitas Sumatera Utara
18
dinding, plafon dan lantai dengan bahan penyerap suara. Menurut Sanders
dan McCormik dalam Tarwaka, dkk (2004) cara tersebut dapat
mengurangi kebisingan antara 3-7 dB.
4. Pengendalian kebisingan secara administratif
Apabila teknik pengendalian secara teknik belum memungkinkan untuk
dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah merencanakan teknik
pengendalian secara administratif. Teknik pengendalian ini lebih
difokuskan pada manajemen pemaparan. Langkah yang dapat ditempuh
adalah dengan mengatur rotasi kerja antara tempat yang bising dengan
tempat yang lebih nyaman yang didasarkan pada intensitas kebisingan
yang diterima.
c. Pengendalian kebisingan pada penerima atau pekerja
Teknik ini merupakan langkah terakhir apabila seluruh teknik pengendalian
diatas
(eliminasi,
pengendalian
teknik,
dan
administratif)
belum
memungkinkan untuk dilaksanakan. Jenis pengendalian ini dapat dilakukan
dengan pemakaian alat pelindung telinga (tutup atau sumbat telinga).
Pengendalian kebisingan pada penerima ini telah banyak ditemukan di
perusahaan-perusahaan, karena secara sekilas biayanya relatf lebih murah.
Namun demikian banyak ditemukan kendala dalam pemakaian tutup atau
sumbat telinga seperti, tingkat kedisiplinan pekerja, mengurangi kenyamanan
kerja, mengganggu pembicaraan dan lain-lain. Berikut adalah jenis alat
pelindung telinga:
Universitas Sumatera Utara
19
a. Sumbat telinga (Ear plug)
Ukuran dan bentuk saluran telinga tiap-tiap individu dan bahkan untuk
kedua telinga dari orang yang sama adalah berbeda. Untuk itu ear
plugharus dipilih sedemikian rupa sehingga sesuai dengan ukuran dan
bentuk saluran telinga pemakainya. Pada umumnya diameter saluran
telinga antara 5-11 mm dan liang telinga pada umumnya berbentuk
lonjong dan tidak lurus. Ear plug dapat terbuat dari kapas, plastic dan
karet, spon dan malam (wax) hanya dapat digunakan untuk sekali pakai
(Disposable). Sedangkan yang terbuat dari bahan karet dan plastic yang
dicetak (Molded rubber/plastic) dapat digunakan berulang kali (Non
Disposable).Alat ini dapat mengurangi suara sampai 20 dB (A).
b. Tutup telinga (Ear muff)
Alat pelindung telinga jenis ini terdiri dari 2 (dua) buah tutup telinga dan
sebuah headband. Isi dari tutup telinga dapat berupa cairan atau busa yang
berfungsi untuk menyerap suara frekuensi tinggi.Pada pemakaian yang
cukup lama, efektivitas ear muff dapat menurunkan karena bantalannya
menjadi mengeras dan mengerut sebagai akibat reaksi dari bantalan
dengan minyak dan keringat pada permukaan kulit.Alat ini dapat
mengurangi intensitas suara sampai 30 dB (A) dan juga dapat melindungi
bagian luar telinga luar dari benturan benda keras atau percikan bahan
kimia.
Menurut Tarwaka (2004) perlu di perhatikan beberapa criteria di dalam
pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
20
1. Alat pelindung diri harus mampu memberikan perlindungan efektif
kepada pekerja atas potensi bahaya yang dihadapi di tempat kerja.
2. Alat pelindung diri mempunyai berat yang seringan mungkin, nyaman
dipakai dan tidak merupakan beban tambahan bagi pemakainya.
3. Bentuknya cukup menarik, sehingga pekerja tidak malu memakainya
4. Tidak menimbulkan gangguan kepada pemakainya, baik karena jenis
bahayanya maupun kenyamanan dalam pemakaian.
5. Mudah untuk dipakai dan di lepas kembali
6. Tidak mengaanggu penglihatan, pendengaran dan pernafasan serta
gangguan kesehatan lainnya pada waktu dipakai dalam waktu yang
cukup lama.
7. Tidak mengurangi persepsi sensori dalam menerima tanda-tanda
peringatan.
8. Suku cadang alat pelindung diri yang bersangkutan cukup tersedia
dipasaran.
9. Mudah disimpan dan dipelihara pada saat tidak digunakan.
10. Alat pelindung diri yang dipilih harus sesuai standar yang ditetapkan.
Disamping pemenuhan terhadap kriteria-kriteria tersebut, pekerja juga
harus terus-menerus diberikan penyadaran, diberikan instruksi baik secara tertulis
maupun lisan tentang kapan dan dalam keadaan bagaimana alat pelindung diri
wajib dipakai. Penyadaran melalui tulisan atau gambar dan poster tentang
kewaiban memakai alat pelindung diri yang dipasang di tempat-tempat kerja juga
sangat baik untuk mengingatkan pekerja (Tarwaka, 2004).
Universitas Sumatera Utara
21
2.2 Tekanan Darah
2.2.1
Pengertian Tekanan Darah
Tekanan darah adalah menunjukkan keadaan dimana tekanan yang
dikenakan oleh darah pada pembuluh darah arteri ketika darah dipompa oleh
jantung keseluruh anggota tubuh, dengan kata lain tekanan darah juga berarti
kekuatan yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding
pembuluh (Guyton dan Hall, 1997).
Tekanan pada pembuluh darah ketika jantung berkontraksi dan memompa
darah ke seluruh tubuh disebut dengan sistolik. Sedangkan tekanan pada
pembuluh darah ketika jantung sedang berelaksasi disebut tekanan darah diastolik
(Ganong, 1995).
2.2.2
Penggolongan Tekanan Darah
Guyton dan Hall (1997) mengelompokkan jenis tekanan darah sebagai
berikut:
1. Tekanan darah normal
Seseorang dikatakan mempunyai tekanan darah normal bila tekanan darah
untuk sistolik
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebisingan
2.1.1
Definisi Kebisingan
Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari suatu usaha atau
kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (Subaris dan Haryono, 2007).
2.1.2
Sumber Kebisingan
Doelle (1993) membagi sumber bising berdasarkan lokasi dalam 2
kelompok, yaitu:
a. Bising interior/ dalam, berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga,
mesin gudang dan aktifitas di dalam ruangan atau gedung.
b. Bising eksterior/ luar, bising yang dikategorikan berasal dari aktifitas
diluar ruangan seperti transportasi udara, termasuk bus, mobil, sepeda
motor, transportasi air, kereta api dan pesawat terbang dan bising yang
berasal dari industri. Untuk bising transportasi yang paling penting
diketahui bahwa makin besar kendaraan akan semakin keras suara
bising yang dihasilkan.
Berdasarkan aktivitas yang terjadi di dalam pabrik, Tambunan (2005)
mengelompokkan sumber kebisingan antara lain:
a. Mengoperasikan mesin-mesin produksi “ribut” yang sudah cukup tua.
6
Universitas Sumatera Utara
7
b. Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja
cukup tinggi dalam periode operasi cukup panjang.
c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi ala kadarnya,
misalnya mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami
kerusakan parah.
d. Melakukan modifikasi / perubahan / penggantian secara parsial pada
komponen-komponen mesin produksi tanpa mengindahkan kaidahkaidah keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponenkomponen mesin tiruan.
e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak
tepat (terbalik atau tidak rapat/longgar), terutama pada bagian
penghubung antara modul mesin (bad connection).
f. Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya, misalnya
penggunaan palu / alat pemukul sebagai alat pembengkok benda-benda
metal atau alat bantu pembuka baut.
2.1.3
Jenis Kebisingan
Berdasarkan pengaruh bunyi terhadap manusia, Moeljosoedarmo (2008)
membagi jenis kebisingan sebagai berikut:
a. Bising yang mengganggu (iritating noise), intensitasnya tidak keras
(misalnya orang mendengkur)
b. Bising yang menutupi (masking noise), merupakan bunyi yang
menutupi pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung bunyi ini
akan membahayakan kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, karena
Universitas Sumatera Utara
8
teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam kebisingan dari
sumber lain.
c. Bising yang merusak (damaging/injurious noise), ialah bunyi yang
intensitasnya melampaui Nilai Ambang Batas (NAB), bunyi jenis ini
akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.
Sedangkan Suma’mur (2009) membagi jenis kebisingan berdasarkan sifat
kebisingan tersebut:
a. Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus-putus dengan spektrum
frekuensi lebar (steady state, wide band noise), misalnya bising mesin,
kipas angin, dapur pijar, dan lain-lain.
b. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis
(steady state, narrow band noise), misalnya bising gergaji serkuler,
katup gas, dan lain-lain.
c. Kebisingan terputus-putus (intermitten noise), misalnya bising lalulintas suara kapal terbang di bandara.
d. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti bising
pukulan palu, tembakan bedil atau meriam, dan ledakan.
e. Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di
perusahaan atau tempaan tiang pancang.
2.1.4
Nilai Ambang Batas Kebisingan
Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat
kerja adalah standar sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat
menghadapinya tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam
Universitas Sumatera Utara
9
pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 (delapan) jam sehari dari 5
(lima) hari kerja seminggu atau 40 jam seminggu.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 261/MENKES/SK/II/1998
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja tingkat kebisingan ruangan di
ruang kerja maksimal 85 dBA dalam rata-rata pengukuran 8 jam. Berikut ini
adalah tabel standar tingkat kebisingan maksimal dalam 1 hari pada ruang proses
prosuksi:
Tabel 2.1 Tingkat Kebisingan Maksimal Selama 1 Hari pada Ruang
Proses Produksi
Tingkat Kebisingan (dB)
Pemaparan Harian
85
8 jam
92
6 jam
88
4 jam
87
3 jam
91
2 jam
94
1 jam
97
30 menit
100
15 menit
Sumber : Kepmenkes No. 261/MENKES/SK/II/1998
Universitas Sumatera Utara
10
Standar kebisingan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No.51/MEN/1999 adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu Paparan
Intensitas Kebisingan (dB)
8 Jam
85
4 Jam
88
2 Jam
91
1 Jam
94
30 Menit
97
15 Menit
100
7,5 Menit
103
3,75 Menit
106
1,88 Menit
109
0,94 Menit
112
28,12 Detik
115
14,06 Detik
118
7,03 Detik
121
3,52 Detik
124
1,76 Detik
127
0,88 Detik
130
0,44 Detik
133
0,23 Detik
136
0,11 Detik
139
Sumber : Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51/MEN/1999.
Keterangan : Tidak boleh terapajan lebih dari 140 dB, walaupun sesaat.
2.1.5
Pengukuran Kebisingan
Pengukuran kebisingan bertujuan untuk mengetahui tingkat kebisingan di
lingkungan kerja. Dengan mengetahui besar kebisngan tersebut maka dapat
diketahui apakah pekerja sudah terpajan melampaui NAB atau tidak.
Alat yang digunakan untuk pengukuran itensitas kebisingan adalah Sound
Level Meter (SLM) yang mempunyai beberapa jenis antara lain:
Universitas Sumatera Utara
11
a. Precision Sound Level Meter
b. General Purpose Sound Level Meter
c. Survey Sound Level Meter
d. Special Purpose Sound Level Meter
Sound Level Meter berfungsi untuk mengukur kebisingan antara 30- 130
dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz. Sound Level Meter terdiri dari mikrofon,
amplifier, dan sirkuit attenuator dan beberapa alat lainnya. Sound Level Meter
dilengkapi dengan tombol pengaturan skala pembobotan seperti A, B, C, dan D.
Skala A, contohnya adalah rentang skala pembobotan yang melingkupi frekuensi
suara rendah dan frekuensi suara tinggi yang masih dapat diterima oleh telinga
manusia normal. Sementara itu skala B, C dan D digunakan untuk keperluankeperluan khusus, misalnya pengukuran kebisingan yang dihasilkan oleh pesawat
terbang bermesin jet (Tambunan, 2005).
Sound level meter akan memberikan hasil berupa angka yang dapat
dibandingkan dengan aturan batas maksimum dalam satuan desibel. (85 dBA
untuk shift selama 8 jam per hari, 40 jam per minggu, batasnya akan lebih rendah
untuk waktu kerja yang lebih lama).
Desibel diukur pada skala khusus, yang disebut skala logaritma, dimana
setiap penambahan intensitas suara berlipat dua. Berarti peningkatan dari 90 dB
ke 93 dB berarti suaranya empat kali lebih keras dari pada 90 dB. Hal ini penting
untuk diingat karena peningkatan kecil pada desibel berarti peningkatan kerasnya
suara dan makin parah kerusakan yang dapat diakibatkan pada telinga (Anizar,
2009).
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.6
Dampak Kebisingan
Moeljosoedarmo (2008) mengelompokkan dampak kebisingan menjadi
dua yaitu dampak pada indera pendengaran (Audiotory Effect) dan dampak
kebisingan bukan pada indera pendengaran (Non Audiotory Effect).
2.1.6.1 Audiotory Effect
a. Trauma Akustik
Trauma akustik disebabkan oleh karena terpajan kepada suara (bising)
impulsif dengan tekanan tinggi, seperti letusan senjata, ledakan dan lainlain. Diagnosa mudah dibuat, penderita dengan tepat dapat menyatakan
kapan terjadinya ketulian. Bagian yang rusak adalah membran timpani,
tulang-tulang pendengaran dan cochlea . Tuli terjadi secara akut, tinitus
cepat sembuh secara partial atau secara sempurna.
b. Ketulian
Diantara sekian banyak gangguan (pengaruh) yang ditimbulkan oleh
kebisingan, maka yang paling serius adalah gangguan terjadinya ketulian.
1. Ketulian sementara
Akibat pemajanan terhadap bising dengan intensitas tinggi, tenaga
kerja akan mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya sementara.
Apabila kepada tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup,
daya dengarnya akan pulih kembali kepada ambang dengar yang
semula (recovery dapat sempurna). Untuk suara yang intensitasnya
lebih besar dari 85 dB akan dibutuhkan waktu istirahat antara 3-7 hari.
Namun, apabila waktu istirahat tidak cukup dan tenaga kerja terpajan
Universitas Sumatera Utara
13
kembali kepada bising, dan keadaan ini berlangsung dalam jangka
waktu yang lama, maka ketulian sementara akan bertambah setiap
harinya.
2. Ketulian menetap
Ketulian menetap terjadi oleh karena pemajanan terhadap intensitas
bising yang tinggi dalam jangka waktu yang lama. Ketulian menetap
terjadi sebagai akibat dari proses pemulihan yang tidak sempurna (dari
Temporary Threshold Shift yang terjadi belum sempat kembali ke
ambang dengar semula), yang kemudian sudah kontak dengan
intensitas suara yang tinggi, maka akan terjadi pengaruh kumulatif,
yang pada suatu saat tidak terjadi pemulihan sama sekali. Pada saat
inilah, maka ketulian disebut sebagai ketulian menetap.
2.1.6.2 Non Audiotory Effect
a. Pengaruh Fisiologi
Pada umumnya kebisingan bernada tinggi sangat mengganggu, lebih-lebih
yang terputus-putus atau yang datangnya secara tiba-tiba (mendadak) dan
tidak terduga dapat menimbulkan reaksi fisiologis seperti: peningkatan
tekanan darah (±10 mmHg), peningkatan denyut nadi, basal metabolisme,
gangguan tidur, konstriksi pembuluh darah kecil terutama pada kaki dan
tangan, dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris, serta gangguan
refleks.
b. Pengaruh Psikologi
Universitas Sumatera Utara
14
Kebisingan dapat memengaruhi stabilitas mental dan reaksi psikologis,
menimbulkan rasa khawatir, marah, jengkel dan lain-lain. Yang dimaksud
dengan stabilitas mental adalah kemampuan seseorang untuk berfungsi
atau bertindak normal. Kebisingan memang tidak dapat menimbulkan
mental illness, namun dapat memperberat problem mental yang sudah ada.
c. Annoyance
Suatu kebisingan dikatakan mengganggu (annoying), bila pemajanan
terhadapnya menyebabkan orang tersebut mengurangi, menolak bising
tersebut atau meninggalkan tempat yang bising bila mungkin.
d. Gangguan komunikasi
Gangguan jenis ini dapat disebabkan oleh:
1. Masking effect dari kebisingan
2. Gangguan kejelasan suara (intelligibility)
Sebagai pegangan risiko potensial kepada pendengaran, terjadi apabila
komunikasi pembicaraan harus dijalankan dengan berteriak. Gangguan
komunikasi ini menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin
terjadi kecelakaan, terutama pada peristiwa penggunaan tenaga baru
(Moeljosoedarmo, 2008).
e. Pengaruh kebisingan terhadap performance kerja
Tarwaka, dkk (2004) mengelompokkan pengaruh pemaparan kebisingan
berdasarkan pada tinggi rendahnya intensitas kebisingan dan lamanya waktu
pemaparan. Pertama, pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi (di atas
Universitas Sumatera Utara
15
NAB) dan kedua, adalah pengaruh pemaparan kebisingan intensitas rendah (di
bawah NAB).
1. Pengaruh Kebisingan Intensitas Tinggi
a. Pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi (di atas NAB) adalah
terjadinya kerusakan pada indera pendengaran yang dapat menyebabkan
penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara maupun bersifat
permanen, biasanya didahului dengan pendengarana yang bersifat sementara
yang dapat menganggu kehidupan yang bersangkutan baik di tempat kerja
maupun dilingkungna keluarga dan lingkungan sosialnya.
b. Pengaruh kebisingan akan sangat terasa apabila jenis kebisingannya terputusputus dan sumbernya tidak diketahui.
c. Secara fisiologis, kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan
gangguan kesehatan seperti, meningkatnya tekanan darah dan denyut jantung,
risiko serangan jantung meningkat gangguan pencernaan.
d. Reaksi masyarakat, apabila kebisingan akibat suatu proses produksi demikian
hebatnya sehingga masyarakat sekitarnya protes menuntut agar kegiatan
tersebut dihentikan, dll.
2. Pengaruh kebisingan intensitas rendah
Tingkat intensitas kebisingan rendah atau di bawah NAB banyak
ditemukan dilingkungan kerja seperti perkantoran, ruang administrasi perusahaan
dll. Intensitas kebisingan yang masih di bawah NAB tersebut secara fisiologis
tidak menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya
sering dapat menyebablkan penurunan penurunan performansi kerja, sebagai salah
Universitas Sumatera Utara
16
satu penyebab stres dan gangguan kesehatan lainnya. Stres yang disebabkan
karena yang pemaparan kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dini,
kegelisahan dan depresi.
2.1.7
Pengendalian Kebisingan
Tarwaka, dkk (2004) dalam bukunya menyatakan bahwa sebelum
dilakukan langkah pengendalian, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
membuat rencana pengendalian yang didasarkan pada hasil penilaian kebisingan
dan dampak yang ditimbulkan. Rencana pengendalian dapat dilakukan dengan
pendekatan melalui perspektif manajemen risiko kebisingan. Manajemen risiko
yang dimaksud adalah suatu pendekatan yang logik dan sistemik untuk
mengendalikan risiko yang mungkin timbul. Langkah manajemen risiko
kebisingan tersebut adalah:
a. Mengidentifikasi sumber-sumber kebisingan yang ada ditempat kerja yang
berpotensi menimbulkan penyakit atau cidera akibat kerja.
b. Menilai risiko kebisingan yang berakibat serius terhadap penyakit dan cidera
akibat kerja
c. Mengambil langkah langkah yang sesuai untuk mengendalikan atau
meminimalisasi risiko kebisingan.
Setelah rencana dibuat dengan seksama, langkah selanjutnya adalah
melaksanakan langkah pengendalian kebisingan dengan dua arah pendekatan
yaitu pendekatan jangka pendek (short-term gain) dan pendekatan jangka panjang
(long-term gain) dari hirarki pengendalian.Pada pengendalian kebisingan dengan
orientasi jangka panjang, teknik pengendaliannya secara berurutan adalah
Universitas Sumatera Utara
17
eliminasi sumber kebisingan, pengendalian secara teknik pengendalian secara
berurutan adalah eliminasi sumber kebisingan, pengendalian secara teknik,
pengendalian secara administrative dan terakhir penggunaan penggunaan alat
pelindung diri. Orientasi jangka pendek adalah sebaliknya secara berurutan.
a. Eliminasi sumber kebisingan
1. Pada teknik eliminasi ini dapat dilakukan dengn penggunaan tempat kerja
atau pabrik baru sehingga biaya pengendalian dapat diminimalkan.
2. Pada tahap tender mesin-mesin yang akan dipakai, harus mensyaratkan
maksimum intensitas kebisingan yang dikeluarkan dari mesin baru.
3. Pada tahap pembuatan pabrik dan pemasangan mesin, konstuksi bangunan
harus dapat meredam kebisingan serendah mungkin dll.
b. Pengendalian kebisingan secara teknik
1. Pengendalian kebisingan pada sumber suara.
Penurunan kebisingan pada sumber suara dapat dilakuakan dengan
menutup mesin atau mengisolasi mesin sehingga terpisah dengan pekerja.
Teknik ini dapat dilakukan dengan mendesain mesin memakai remote
control. Selain itu dapat dilakukan redesain landasan mesin dengan bahan
anti getaran. Namun, demikian teknik ini memerlukan biaya yang sangat
besar sehingga dalam prakteknya sulit diimplementasikan.
2. Pengendalian kebisingan pada bagian transmisi kebisingan.
Apabila teknik pengendalian pada sumber suara sulit dilakukan, maka
teknik berikutnya adalah dengan memberi pembatas atau sekat antara
mesin dan pekerja. Cara lain adalah dengan menambah atau melapisi
Universitas Sumatera Utara
18
dinding, plafon dan lantai dengan bahan penyerap suara. Menurut Sanders
dan McCormik dalam Tarwaka, dkk (2004) cara tersebut dapat
mengurangi kebisingan antara 3-7 dB.
4. Pengendalian kebisingan secara administratif
Apabila teknik pengendalian secara teknik belum memungkinkan untuk
dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah merencanakan teknik
pengendalian secara administratif. Teknik pengendalian ini lebih
difokuskan pada manajemen pemaparan. Langkah yang dapat ditempuh
adalah dengan mengatur rotasi kerja antara tempat yang bising dengan
tempat yang lebih nyaman yang didasarkan pada intensitas kebisingan
yang diterima.
c. Pengendalian kebisingan pada penerima atau pekerja
Teknik ini merupakan langkah terakhir apabila seluruh teknik pengendalian
diatas
(eliminasi,
pengendalian
teknik,
dan
administratif)
belum
memungkinkan untuk dilaksanakan. Jenis pengendalian ini dapat dilakukan
dengan pemakaian alat pelindung telinga (tutup atau sumbat telinga).
Pengendalian kebisingan pada penerima ini telah banyak ditemukan di
perusahaan-perusahaan, karena secara sekilas biayanya relatf lebih murah.
Namun demikian banyak ditemukan kendala dalam pemakaian tutup atau
sumbat telinga seperti, tingkat kedisiplinan pekerja, mengurangi kenyamanan
kerja, mengganggu pembicaraan dan lain-lain. Berikut adalah jenis alat
pelindung telinga:
Universitas Sumatera Utara
19
a. Sumbat telinga (Ear plug)
Ukuran dan bentuk saluran telinga tiap-tiap individu dan bahkan untuk
kedua telinga dari orang yang sama adalah berbeda. Untuk itu ear
plugharus dipilih sedemikian rupa sehingga sesuai dengan ukuran dan
bentuk saluran telinga pemakainya. Pada umumnya diameter saluran
telinga antara 5-11 mm dan liang telinga pada umumnya berbentuk
lonjong dan tidak lurus. Ear plug dapat terbuat dari kapas, plastic dan
karet, spon dan malam (wax) hanya dapat digunakan untuk sekali pakai
(Disposable). Sedangkan yang terbuat dari bahan karet dan plastic yang
dicetak (Molded rubber/plastic) dapat digunakan berulang kali (Non
Disposable).Alat ini dapat mengurangi suara sampai 20 dB (A).
b. Tutup telinga (Ear muff)
Alat pelindung telinga jenis ini terdiri dari 2 (dua) buah tutup telinga dan
sebuah headband. Isi dari tutup telinga dapat berupa cairan atau busa yang
berfungsi untuk menyerap suara frekuensi tinggi.Pada pemakaian yang
cukup lama, efektivitas ear muff dapat menurunkan karena bantalannya
menjadi mengeras dan mengerut sebagai akibat reaksi dari bantalan
dengan minyak dan keringat pada permukaan kulit.Alat ini dapat
mengurangi intensitas suara sampai 30 dB (A) dan juga dapat melindungi
bagian luar telinga luar dari benturan benda keras atau percikan bahan
kimia.
Menurut Tarwaka (2004) perlu di perhatikan beberapa criteria di dalam
pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
20
1. Alat pelindung diri harus mampu memberikan perlindungan efektif
kepada pekerja atas potensi bahaya yang dihadapi di tempat kerja.
2. Alat pelindung diri mempunyai berat yang seringan mungkin, nyaman
dipakai dan tidak merupakan beban tambahan bagi pemakainya.
3. Bentuknya cukup menarik, sehingga pekerja tidak malu memakainya
4. Tidak menimbulkan gangguan kepada pemakainya, baik karena jenis
bahayanya maupun kenyamanan dalam pemakaian.
5. Mudah untuk dipakai dan di lepas kembali
6. Tidak mengaanggu penglihatan, pendengaran dan pernafasan serta
gangguan kesehatan lainnya pada waktu dipakai dalam waktu yang
cukup lama.
7. Tidak mengurangi persepsi sensori dalam menerima tanda-tanda
peringatan.
8. Suku cadang alat pelindung diri yang bersangkutan cukup tersedia
dipasaran.
9. Mudah disimpan dan dipelihara pada saat tidak digunakan.
10. Alat pelindung diri yang dipilih harus sesuai standar yang ditetapkan.
Disamping pemenuhan terhadap kriteria-kriteria tersebut, pekerja juga
harus terus-menerus diberikan penyadaran, diberikan instruksi baik secara tertulis
maupun lisan tentang kapan dan dalam keadaan bagaimana alat pelindung diri
wajib dipakai. Penyadaran melalui tulisan atau gambar dan poster tentang
kewaiban memakai alat pelindung diri yang dipasang di tempat-tempat kerja juga
sangat baik untuk mengingatkan pekerja (Tarwaka, 2004).
Universitas Sumatera Utara
21
2.2 Tekanan Darah
2.2.1
Pengertian Tekanan Darah
Tekanan darah adalah menunjukkan keadaan dimana tekanan yang
dikenakan oleh darah pada pembuluh darah arteri ketika darah dipompa oleh
jantung keseluruh anggota tubuh, dengan kata lain tekanan darah juga berarti
kekuatan yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding
pembuluh (Guyton dan Hall, 1997).
Tekanan pada pembuluh darah ketika jantung berkontraksi dan memompa
darah ke seluruh tubuh disebut dengan sistolik. Sedangkan tekanan pada
pembuluh darah ketika jantung sedang berelaksasi disebut tekanan darah diastolik
(Ganong, 1995).
2.2.2
Penggolongan Tekanan Darah
Guyton dan Hall (1997) mengelompokkan jenis tekanan darah sebagai
berikut:
1. Tekanan darah normal
Seseorang dikatakan mempunyai tekanan darah normal bila tekanan darah
untuk sistolik