PERAN PENYIDIK PEGAWAI NEGRI SIPIL (PPNS) DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi pada Dinas Kehutanan Propinsi Lampung) - Raden Intan Repository

BAB III LAPORAN PENELITIAN A. Luas kawasan hutan di Propinsi Lampung Luas kawasan hutan di Propinsi Lampung terdapat

  beberapa faktor yaitu: a. faktor umum terdiri dari beberapa indikator yaitu jumlah penduduk (jiwa) berumlah 9.549.070, luas wilayah (KM2) berjumlah 53.288, jumlah APBD 5.59.402.785.048. b. Faktor subtantif/teknis yaitu: indikator luas kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan hutan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alam Laut, dan Tahura) berjumlah 1.004. 735 ha, indikator luas lahan kritis berjumlah 662.819 ha, indikator jumlah kesatuan wilayah pengelolaan hutan (unit) berjumlah 17.

  Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Propinsi Lampung untuk luas hutan yang ada di Propinsi Lampung berjumlah 1.004. 75 ha yang terdiri dari: a. Kawasan hutan konservasi: 662. 030 ha, b. Kawasan hutan lindung: 317.

  615 ha, c. Kawasan hutan produksi: 225. 090 ha.

B. Kondisi tenaga Penyidik PNS di Dinas Kehutanan

  

Propinsi Lampung dan penanganan kasus tindak

pidana Illegal Logging dari tahun 2013-2016.

  1. Personil PPNS Dinas Kehutanan Propinsi Lampung Personil penyidik pegawai negri sipil yang ada di

  Propinsi Lampung berjumlah 4 orang yang masih aktif dalam melakukan penyidikan, hal ini sesuai dengan SK Mentri Hukum dan HAM. Penyidik pegawai negri sipil tentu dikatan penyidik apabila telah memenuhi syarat yang antara lain harus sehat jasmani dan rohani serta sekurang- kurangnya berpangkat penanta muda (III/a).

  Setelah memenuhi syarat-syarat tersebut maka penyidik tersebut haruslah mempunyai surat pengangkatan dari Mentri Hukum dan HAM atau usul dari Kementrian/Departemen yang membawahi pejabat tersebut, dengan terlebih dahulu mendengar Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Sedangkan untuk jumlah personil anggota polisi kehutanan berjumlah 55 orang.

  Selama kurun waktu empat tahun terhitung dari tahun 2013-2016 penyidik pegawai negri sipil telah menangani kasus tindak pidana Illegal Logging sebanyak 7 kasus adapun kasus yang pernah ditangani penyidik pegawai negri sipil yaitu: 1. Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu tanpa dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan yang kayunya diduga berasal dari kawasan TAHURA WAR dengan tersangka Belum ditetapkan dan mengarah kepada KARJAYA Bin IDI, pasal yang dikenakan oleh tersangka yaitu Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 83 ayat (1) huruf bUU No.18 tahun 2013. 2. Menebang pohon tajuk tinggi untuk dijadikan perkebunan dan mendirikan rumah papan tanpa memiliki izin yang sah serta pengrusakan pal batas kawasan hutan TAHURA dengan tersangka belum ditetapkan, pasal yang dikenakan Pasal 12 huruf b dan huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf b Jo. Pasal 92 ayat (1) huruf a UU No. 18 tahun 2013. 3. Membakar hutan dan menebang pohon di dalam kawasan hutan lindung register 22 way wayadenga tersangka Dali Nurohan alias Dali Bin Solihin dikenakan pasal Pasal 5 ayat (3) huruf d Jo. Pasal 78 ayat (3) dan (15) UU No. 41 tahun 1999. 4. Menebang pohon kayu jenis cempaka dan memliki rumah/gubuk di dalam kawasan hutan TAHURA WAR tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang dengan tersangka Hendri Joni bin Marhasan dan dikenakan pasal Pasal 50 ayat (3) huruf e Jo. Pasal 78 ayat (3) dan (15) UU No. 41 tahun 1999. 5. Menebang pohon kayu jati di dalam areal kawasan hutan produksi register 35 tanpa hak atau izin dari pejabat yang berwenang dengan tersangka Achmad Apip bin Tasim dan dikenakan pasal Pasal 50 ayat (3) huruf e Jo. Pasal 78 ayat (5) dan (15) UU. No.41 tahun kayu di dalam kawasan hutan HPT pesisir tanpa hak atau izin dari pejabat yang berwenang dengan tersangka belum ditetapkan dan dikenakan pasal Pasal 50 ayat (3) huruf e Jo. Pasal 78 ayat (5) dan (15) UU. No.41 tahun 1999. 7. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam kawasan hutan TAHURA WAR tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang dengan tersangka belum ditetapkan dan dikenakan pasal

  Pasal 50 ayat (3) huruf e Jo. Pasal 78 ayat (5) dan (15) UU. No.41 tahun 1999. Adapun rincian data dari hasil penelitian sebagaimana tersedia dalam lampiran. C. Hambatan-hambatan PPNS di Lapangan Hambatan-hambatan dalam proses penyidikan tindak pidana illegal loggging ini antara lain:

1. Lemahnya koordinasi antar penegak hukum

  Koordinasi antar penegak hukum memegang peranan penting dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging. Begitu pula halnya dengan proses penyidikan tindak pidana illegal logging yang tidak hanya melibatkan POLRI sebagi penyidik tetapi juga melibatkan Penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS) Kehutanan dan Polisi Hutan (POLHUT) yang diberi kewenangan oleh Undang- Undang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan khususnya illegal

  logging . Selain itu penyidik dari Perwira angkatan Laut

  juga dapat melakukan penyidikan dalam hal terjadinya penyeludupan kayu. Keadaan ini memungkinkan terjadinya tumpang tindih penyidikan terhadap satu tersangka dalam praktek illegal logging, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi dalam satu lembaga penyidikan yang terpadu sehingga berpotensi menimbulkan konflik antar penyidik yang diberi kewenangan oleh undang-undang. Bahkan terkadang muncul arogansi masing-masing penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus tindak pidana kehutanan berdasarkan kewenangan masing- masing yang diberikan oleh undang-undang. Seharusnya antar penyidik yang diberikan kewenangan masing-masing oleh undang- undang dapat saling bekerjasama. Misalnya dapat saling tukar menukar data dan informasi sehingga proses penyidikan dapat berjalan efektif sehingga kasus illegal

  logging dapat terungkapdengan tuntas. Ketidakharmonisan

  antar penyidik tindak pidana illegal logging dalam rangka penegakan hukum ini justru dimanfaatkan oleh para

  1 pelaku illegal logging untuk lepas dari jerat hukum.

2. Pelaku utama (aktor intelektual) yang sulit ditembus oleh hukum.

  Peredaran hasil hutan illegal dan penebangan liar di Indonesia merupakan tindak kejahatan yang terorganisasi karena melibatkan banyak aktor dengan berbagai kepentingan dan jaringan, baik di Kementrian kehutanan, maupun instansi lainnya serta jaringan pasar di dalam negri dan di luar negri. Dalam prakteknya di lapangan sering kali ditemukan bahwa yang tertangkap hanyalah para pekerja lapangan yaitu, para penebang, pengangkut kayu atau, penadah kayu illegal. Sedangkan otak pelaku utama dari tindak pidana illegal logging sepertinya tidak dapat tertembus oleh hukum. Hal ini dikarenakan bisanya para pelaku utama adalah orang-orang yang dekat dengan penguasa atau pejabat-pejabat daerah. Sehingga seolah- olah mendapat perlindungan selain itu sulitnya pelaku utama tertangkap karena pelaku utama telah mengetahui terlebih dahulu bahwa orang yang bekerja padanya telah tertangkap tangan dan ia mempunyai banyak kesempatan untuk melarikan diri dan akhirnya dapat lolos dari jeratan hukum. Dengan tidak tertangkapnya aktor intelektual dari 1 pelaku illegal logging maka akan semakin menghambat

  

Hermansyah Nuri. Wawancara. Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. (30 Mei 2016).

  2 terungkapnya tindak pidana illegal logging yang terjadi.

  3. Kurangnya sarana dan prasarana Sarana dan prasarana yang cukup dan memadai memegang peranan penting dalam rangka penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas yang cukup memadai, maka tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan lancar. Dimana sarana dan prasarana tersebut dapat berupa tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan lainnya. Kalau hal hal tersebut diatas tidak dipenuhi, maka mustahil

  3 penegakan hukum dapat tercapai.

  4. keterbatasan dana

  Minimnya dana yang juga menjadi salah satu penghambat dalam kelancaran proses penyidikan tindak pidana illegal logging. Dalam penanganan tindak pidana tidak ada dana khusus, padahal dalam

  illegal logging

  proses penenganan perkara tindak pidana illegal logging ini memerlukan biaya yang jauh lebih besar dari penyidikan tindak pidana biasa lainnya. Anggaran biaya penyidikan untuk satu perkara pidana illegal logging yang di tangani oleh PPNS, selalu mendapat potongan sebesar 35% anggaran yang sudah diajukan untuk menangani

  4 perkara tindak pidana illegal logging.

  D.

  

Peran PPNS dalam menanggulangi tindak pidana

illegal logging

  Di dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, penyidikan dibidang kehutanan adalah suatu proses yang ditangani oleh suatu pejabat Penyidik Polisi Negera Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS) kehutanan, terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan tindak pidana kehutanan. 2 3 Ibid 4 Ibid Dalam hal melakukan penyidikan, penyidik kehutanan sepenuhnya berpedoman kepada hukum acara pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981, tentan KUHAP. Dengan demikian penyidik PegawaiNegri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang kehutanan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana yang berlaku.

  Kewenangan Penyidik Pegawai Negri Sipil kehutanan dalam melakukan penyelidikan sebagaimana diatur dalam pasal

  30 UU No. 18 Tahun 2013 tentang Kehutanan terdiri dari: 1.

  Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan hutan.

  2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana kerusakan hutan.

  3. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak perusakan hutan.

  4. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan.

  5. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana perusakan hutan.

  6. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

  7. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana perusakan hutan.

  8. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat barang bukti tentang adanya tindakan perusakan hutan.

  9. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

  10. Membuat dan menandatangani berita acara dan surat- surat lain yang menyangkut penyidikan perkara perusakan hutan. Dan, 11. Memotret dan/atau merekam melalui alat potret dan/atau perekam terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Dalam penjelasan Pasal 30 UU No. 18 dijelaskan bahwa dalam hal dimulainya penyidikan penyidik PNS harus memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penyidik POLRI dan hasil penyidikan diserahkan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik POLRI, hal ini dimaksudkan untuk memberikan aminan bahwa hasil penyidikan telah memenuhi ketentuan dan persyaratan dan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dikatakan bahwa:

  Dalam rangka kegiatan administrasi penyidikan Pejabat Pegawai Negri Sipil dalam hal tertentu dapat secara langsung menyampaikan surat pemberitahuan kepada instansi terkait dan tembusannya kepada Penyidik Polri. Dalam hal dimulainya penyidikan penyidik PNS menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penyidik Polri.

  Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan PPNS Kehutanan dalam menangani tindak pidana khusus bidang kehutanan antara lain: 1.

  Penyidik melakukan pemeriksaan ke TKP (Tempat Kejadian Perkara) 2. Melacak dan menangkap pelaku dari tindak pidana tersebut

3. Pelaku tindak pidana diserahkan kepada Polri atau Polres setempat untuk pengusutan lebih lanjut.

  Dalam penanganan kasus tindak pidana khusus bidang kehutanan pada satu bidang ekosistem hutan, ada beberapa tahap-tahap yang harus dilakukan oleh PPNS Kehutanan dan penyidik Polri yaitu: Tahap penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan

  5

  oleh PPNS Kehutanan : 1.

  Penangkapan kasus tindak pidana dilakukan oleh PPNS Kehutanan di tempat kejadian perkara pada pelaku tindak pidana tertangkap tangan dan ketika pelaku ditangkap pada saat hendak melarikan diri. Dalam hal ini penangkapan dilakukan pada pelaku tindak pidana yang sudah diketahui orangnya.

  2. Penahanan sementara tersangka di kantor PPNS kehutanan selama 1(satu) hari atau 1 x 24 jam. Hal ini dilakukan untuk melakukan pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana, saksi dan mengumpulkan barang bukti yang diperoleh PPNS Kehutanan. Dan juga PPNS Kehutana membuat keterangan tersebut.

  3. Pengumpulan barang bukti dilakukan PPNS Kehutanan untuk mengetahui jenis tindak pidana yang dilakukan oleh PPNS Kehutanan dan untuk mengetahui status dari pelaku tindak pidana.

4. PPNS melakukan pemeriksaan terhadap: a.

  Tersangka Sehubungan dengan pemeriksan tersangka, undang- undang telah memberikan beberapa hak yang bersifat perlindungan terhadap hak azasi serta perlindungan terhadap haknya untuk mempertahankan kebenaran dan pembenaran diri.

  b.

  Saksi-saksi Pada dasarnya pemeriksaan yang dilakukan oleh

  PPNS Kehutanan terhadap tersangka hampir sama dengan pemeriksaan yang dilakukan terhadap saksi yang langsung melihat peristiwa tindak pidana itu dilakukan.

  5. Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Hal ini perlu dilakukan untuk dapat mengetahui serta membuat 5 laporan kepada penyidik Polri yang merupakan satu proses tindak lanjut yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana bidang kehutanan tersebut.

  6. Penyerahan tersangka beserta surat pengantar dari PPNS kehutanan kepada Penyidik Polri. Penyerahan tersangka kepada penyidik Polri adalah untuk dapat melakukan tindak lanjut dalam pemeriksaan perkara yang dilakukan kepada pelaku tindak pidana. Setelah dilakukan tahap-tahap penangkapan tindak pidanayang dilakukan PPNS Kehutanan terhadap pelaku tindak pidana, maka dilakukan beberapa tahap-tahap yang dilakukan penyidik Polri sebagai tindak lanjut yang dilakukan, yaitu:

  1. Setelah PPNS Kehutanan menyerahkan tersangka beserta surat pengantar kepada penyidik Polri, maka penyidik Polri melakukan penyidikan lanjut terhadap: tersangka, saksi-saksi, barang bukti yang cukup kuat.

  2. Pembuatan Bertia Acara Pemeriksaan (BAP) Setelah dilakukan proses pemeriksaan, maka penyidik Polri membuat Berita Acara Pemeriksaan yang berarti ada tindak pidana yang terjadi, serta merupakan berkas di Kepolisian agar dapat dilaporkan kepada Kapolda setempat.

  3. Pelimpahan ke kantor Pengadilan atau ke kantor Kejaksaan. Hal ini dilakukan untuk membela akan kepentingan dari tersangka agar dapat memperoleh perlindungan hukum hingga menjadi status terdakwa.

  Dalam melaksanakan tugas penyidik terhadap suatu tindak pidana khusus bidang kehutanan Illegal Logging terdapat ciri-

  6

  ciri yang khas dalam penanganannya, yaitu: 1.

  PPNS kehutanan menerima laporan dan mengetahui sendiri telah terjadinya suatu tindak pidana bidang kehutanan maka dengan segera PPNS Kehutanan melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

  2. PPNS Kehutanan kemudian melakukan penahanan 6 selama-lamanya 1-2 hari, bila kemudian ditemukan cukup bukti-bukti yang kuat dari si pelaku (tersangka) untuk selanjutnya diperiksa untuk dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

  3. Di dalam proses ini pihak Polri setempat harus diberitahu oelh PPNS Kehutanan bahwa telah terjadi tindak pidana Khusus bidang Kehutanan dan si tersangka dalam proses pemeriksaan.

  4. Untuk kepentingan penyidikan. PPNS Kehutanan diberi petunjuk oleh Penyidik Polri mengenai proses penyidikan tindak pidana yang terjadi.

  5. Bila proses pemeriksaan penyidikan dianggap telah cukup oleh PPNS Kehutanan maka si tersangka diserahkan kepada Penyidik Polri setempat yang disertai dengan BAP dan surat pelimpahan pemeriksaan. Bila proses pemeriksaan dianggap lengkap maka pihak Polri berkewajiban untuk melengkapinya.

  6. Dalam proses penyidikan dianggap sudah selesai oleh penyidik PPNS Kehutanan tersebut, maka PPNS Kehutanan segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik Polri.

  7. Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik Polri disertai petunjuk untuk dilengkapi.

  8. Dalam hal Penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan dengan petunjuk dari penuntut umum.

9. Penyidikan dianggap selesai dalam waktu 14 hari

  Penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum bataswaktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari Penuntut Umum kepada penyidik.

E. Pelaku dan modus Operandi Tindak Pidana Illegal Logging

  Secara umum dalam suatu tindak pidana yang terjadi biasanya melibatkan beberapa orang atau lebih dari satu orang. Dimana keterlibatan orang-orang tersebut dapat berupa: 1.

  Beberapa orang bersama-sama melakukan delik 2. Mungkin saja seseorang yang mempunyai kehendak dan merencanakan delik, tapi delik tersebut tidak dilakukannya sendiri tetapi delik tersebut tidak dilakukannya sendiri tetapi ia menggunakan orang lain untuk melaksanakan delik tersebut, 3. Dapat juga terjadi, hanya seseorang yang melakukan delik sedangkan orang lain membantu orang lain itu

  7 dalam melaksanakan delik.

  Mengenai masalah pelaku diatur juga dalam KUHP, dalam KUHP mengenai siapa saja yang dapat dipidana sebagai pelaku dari suatu tindak pidana dimuat dalam Pasal 55 KUHP, yaitu:

  1. Orang yang melakukan (Pleger) Dalam hal ini adalah seseorang yang secara sendiri melakukan perbuatan tindak pidana. Dimana pelakunya adalah tunggal terhadap pelaku tindak pidana yang tunggal dapat diminta pertanggungjawabannya apabila memenuhi semua unsur dari yang terdapat dalam rumusan delik. Misalnya seorang yang secara sengaja mencuri dan menebang kayu di dalam hutan.

  2. Orang yang menyuruh melakukan (Doen Pleger) Dalam hal ini harus ada setidaknya dua orang, yaitu orang yang menyuruh melakukan dan orang yang disuruh melakukan. Orang yang menyuruh melakukan tidak melakukan tindak pidana akan tetapi orang yang disuruhlah yang melakukan tindak pidana tersebut. Misalnya orang yang menyuruh orang lain untuk mencuri 7 dan menebang kayu di dalam hutan.

A. Fuad dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (UMM, 2004), h.

  115.

  3. Orang yang turut serta melakukan (Medepleger) Dalam hal ini harus ada dua orang yang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, mereka ini secara sadar bersama-sama melakukan tindak pidana tertentu.

  Yang termasuk dalam kategori “turut melakukan adalah : apabila beberapa orang melakukan suatu perbuatan pidana secara bersama- sama melakukan perbuatan pidana secara bersama-sama. Jadi perbuatan pidana tersebut dilakukan dengan kekuatan pelaku sendiri.; antara beberapa orang yang secara bersama-sama melakukan perbuatan pidana tersebut harus ada kesadaran bahwa mereka bekerjasama pada waktu melakukan tindak pidana tersebut. Jadi dalam hal in sebelum melakukan tindak pidana terlebih dahulu melakukan peundingan /pemufakatan. Misalnya seseorang yang mengajak orang lain untuk bersama-sama mencuri dan menebang pohon di hutan.

  4. Orang yang membujuk melakukan (Uitloker) Dalam hal ini membutuhkan setidaknya dua orang, yaitu orang yang membujuk, yang menggerakkan orang lain untuk melekukan suatu tindak pidana dan orang yang dibujuk atau digerakkan untuk melakukan tindak pidana.

  Misalnya, seoraang pimpinan perusahaan atau seorang lainnya yang mempunyai pengaruh di perusahaan tersebut membujuk atau menggerakkan karyawannya dengan janji akan memberikan upah atau kenaikan gaji, agar karyawannya tersebut dapat melakukan, misalnya mencuri dan menebang pohon di dalam hutan. Dengan demikian yang membujuk yaitu direktur dan yang dibujuk yaitu karyawan dianggap sebagai pelaku.

  Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 55 KUHP dan UU No.

  41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka yang dapat digolongkan sebagai pelaku tindak pidana illegal logging adalah: 1.

  Penebang Kayu Biasanya yang menjadi penebang kayu adalah masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan namun terkadang ada yang sengaja didatangkan dari luar daerah untuk menjadi penebang kayu bayaran. Mereka melakukan penebangan secara langsung dengan tujuan untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk dijual pada pemilik modal. Kegiatan mereka ini tidak berdampak besar terhadap kerusakan hutan karena sarana atau alat yang mereka gunakan masih sederhana dan minim.

  2. Pengangkut Kayu Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) huruf h dinyatakan bahwa orang yang mengangkut hasil hutan tanpa dilengkapi dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dikategorikan segbagai pelaku tindak pidana.

  3. Pemilik Modal Dalam hal ini pelaku berperan sebagai fasilitator atau penadah kayu hasil kegiatan praktek illegal logging.

  Bahkan terkadang pemilik modal inilah yang menjadi dalang utama atau aktor intelektual dari prakti illegal

  logging itu sendiri.

  4. Pemilik industri kayu atau pemilik Hak Pengelolaan Hutan (HPH) Di sini pelaku bisa berperan sebagai pelaku praktek

  

illegal logging secara langsung ataupun bisa berperan

sebagai penadah kayu hasil praktek illegal logging.

  5. Nahkoda Kapal Dalam praktek illegal logging nahkoda kapal berperan dalam usaha penyeludupan kayu baik keluar daerah maupun ke luar negri melalui laut karena seperti kita tahu bahwa kejahatan illegal logging telah menjadi kejahatan lintas negara. Nahkoda kapal di sini dapat dikategorikan sebagai “turut serta melakukan” dan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan “ turut serta melakukan” di kategorikan sebagai pelaku tindak pidana.

  6. Oknum Pejabat pemerintah atau oknum aparat keamanan Dalam praktek illegal logging oknum pejabat pemerintah dan oknum aparat kemanan turut ambil bagian yaitu melakukan kerjasama dengan pengusaha/pemilik modal atau tentunya kerjasama yang saling menguntungkan diantara mereka. Oknum pejabat pemerintah melakukan manipulasi kebijakan dalam pengelolaan hutan tau memberikan konsesi penebangan yang melampaui batas izin eksploitasi hutan kepada pemilik modal untuk melancarkan aksinya dan aparat kemanan memberikan perlindungan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pemilik modal dimana jelas-jelas kegiatan tersebut merupakan tindak pidana. Pelaku ini terdiri dari oknum TNI, Oknum POLRI, Jagawana/ Polisi Kehutanan, PNS Bea cukai, Oknum pemerintah daerah, oknum anggota DPRD, bahkan oknum politisi juga terkadang turut ambil bagian dalam praktek illegal logging yang marak terjadi. Inilah yang membuat dalang utama tindak pidana illegal logging sulit ditembus hukum karena mendapat perlindungan dari aparat pemerintah dan aparat keamanan.

7. Pengusaha asing

  Pengusaha asing ini berperan sebagai pembeli atau penadah dari kayu hasil praktik illegal logging untuk keperluan atau kepentingan perusahaan atau usaha mereka. Kerjasama yang baik antara pelaku pelaku tindak pidana illegal logging di atas akan membawa dampak semakin kuat dan luasnya jaringan praktek illegal logging yang terjadi tidak hanya dalam hutan produksi tetapi sudah merambat ke dalam kawasan hutan lindung.

  Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana beserta penjelasannya tidak ada yang menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan modus operandi. Sedangkan masalah ini adalah sangat penting dalam hal mengusut dan menumpas kejahatan, karena kejahatan itu tidak hanya ditumpas dengan peraturan perundang-undangan saja melainkan juga ditumpas dari sudut diri pelaku kejahatan. Menurut kamus hukum disebutk an bahwa modus operandi adalah “teknik, atau cara- caranya beroperasi, atau jalannya perbuatan-perbuatan kejahatan.” Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa modus operandi itu adalah merupakan teknik atau cara ataupun metode-metode yang dipergunakan oleh pelaku (subjek) tindak pidana itu. Jadi jelaslah bahwa modus operandi ini titik beratnya adalah terletak pada diri si pelaku dalam mempersiapkan suatu kejahatan.

  Adapun modus operandi yang senantiasa digunakan oleh kejahatan yang terorganisir ini adalah penyandang dana atau cukong melalui sistem sel yang melibatkan anggota masyarakat untuk melakukan penebangan liar. Jaringan organisasi ini terdiri dari petugas/ pejabat kehutanan, bea cukai, kepolisian, TNI AD, TNI AL, Pemda Kejaksaan, Pengadilan, serta Politikus. Berbagai upaaya penanggulangan illegal logging dan pengamanan hutan, baik berupa operasi pengamanan fungsional, gabungan dan operasi khusus serta berbagai kerjasama kelihatannya belum optimal, bahkan cenderung berakibat pada merajalelanya penebangan liar baik di kawasan hutan lindung

  8 maupun kawasan konservasi.

  Untuk lebih jelasnya modus operandi dalam kegiatan illegal logging ini dibedakan dalam dua (dua) bagian yaitu:

1. Modus operandi di daerah hulu adalah: a.

  Melakukan penebangan tanpa izin untuk kepentingan pribadi, dimana biasanya dilakukan oleh masyarakat yang kemudian hasil tebangan illegal dijual kepada pengusaha kayu atau kepada industri pengelolaan kayu.

  b.

  Melakukan penebangan diluar izin yang ditentukan konsesinya oleh pemerintah, biasanya ini dilakukan oleh pemilik Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan pemegang izin Penebangan kayu (IPK) yang sah dengan menggunakan 8 tenaga kerja masyarakat setempat seabagai

  “Memberantas Illegal Logging” (On-Line), tersedia di Htm (22 April 2016) penebang kayu atau mendatangkan langsung dari luar daerah. Modus ini dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi pasokan kayu yang telah disepakati agar terhindar dari kerugian karena tidak dapat memenuhi permintaan industri kayu. Selain itu tujuan modus operandi ini adalah untuk mempercepat tercapainya target produksi perindustrian kayu.

2. Modus operandi di daerah hilir adalah : a.

  pengangkutan kayu tanpa dilengkapi Surat Ketrangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), dalam modus operandi ini tidak hanya melibatkan pemilik kayu sebagai pelaku tetapi juga ikut melibatkan pemilik kayu sebagai pelaku tetapi juga ikut melibatkan pengangkut kayu ( supir) atau nahkoda kapal.

  b. pengangkutan kayu dilengkapi dengan dokumen palsu, dalam hal pemalsuan kayu ini ada tiga modus yang biasa dilakukan oleh para pelaku, yakni pemalsuan blanko dan isinya, blankonya asli tetapi isinya dipalsukan, dan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang digunakan berasal dari daerah lain. Dalam hal pengangkutan kayu dengan dokumen palsu selain pemilik kayu sebagai pelaku, aparat penerbit dokumen palsu stempel dan cap palsu juga adalah pelaku termasuk pengangkut kayu illegal

  9 tersebut.

  c.

  Volume kayu yang diangkut tidak sesuai dengan data yang ada dalam SKSHH, dalam modus operandi ini pemilik kayu bekerjasama dengan penerbit SKSHH. Jadi di sini pelakunya tidak hanya pemilik kayu dan pengantar kayu tetapi pejabat yang mengeluarkan SKSHH juga 9 terlibat. Dalam hal ketidaksesuaian volume kayu ini, aparat memberikan toleransi sebesar 5% dari

  10 data yang tercatat dalam dokumen.

  d.

  Adanya dokomen SKSHH yang digunakan lebih dari satu kali, dalam hal ini pelaku tidak memperbaharui SKSHH, dan mempergunakan SKSHH berulangkali.

  e.

  Menggunakan Dokumen pengganti SKSHH, seperti surat tilang di darat atau dilaut sebagai pengganti SKSHH yang disita, atau faktur kayu sebagai penggantu SKSHH atau surat-surat lain.

  10

Dokumen yang terkait

KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BALAI KARANTINA IKAN DAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN BIBIT LOBSTER DI LAMPUNG (Jurnal Skripsi)

0 1 13

PERANAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) PERPAJAKAN DAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

0 1 12

PERAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEIMIGRASIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN VISA DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG (Studi Kasus Di Kantor Imigrasi Kota Pangkalpinang) SKRIPSI

0 0 14

TINJAUAN HUKUM ISLAMTERHADAP PERAN DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK KEKERASAN ANAK (Studi diDinas PP dan PA Provinsi Lampung) - Raden Intan Repository

0 3 117

SANKSI KEBIRI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PEDOFILIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM - Raden Intan Repository

0 0 11

SANKSI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM - Raden Intan Repository

0 0 98

EKSISTENSI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DALAM STRUKTUR PEMERINTAHAN DAERAH

0 0 11

PERAN PENGAWASAN TERHADAP EFEKTIVITAS KERJA PEGAWAI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi Pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Pesawaran Lampung) - Raden Intan Repository

0 0 144

PERAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI MASALAH ANAK JALANAN YANG BEKERJA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi Pada Dinas Pemerintah Kota Bandar Lampung) - Raden Intan Repository

0 0 161

BAB II LANDASAN TEORI A. Tindak Pidana Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum di Indonesia 1. Peraturan Mengenai Tindak Pidana Illegal - PERAN PENYIDIK PEGAWAI NEGRI SIPIL (PPNS) DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISL

0 0 40