PENGARUH pH SUBSTRAT TANAM TERHADAP KEBERHASILAN AKLIMATISASI EMBRIO SOMATIK KOPI ROBUSTA (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner) - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner)

  Kopi merupakan salah satu tumbuhan dalam famili Rubiaceae yang banyak dibudidayakan di negara tropis. Kopi pertama kali ditemukan pada abad ke-9 oleh bangsa Ethiopia yang memanfaatkan kopi sebagai jenis makanan penambah energi

  “energy bar”. Jenis kopi yang banyak dibudidayakan pertama kali adalah kopi arabika (Coffea arabica L.). Kopi tersebut pertama kali dibudidayakan di Indonesia pada tahun 1696. Namun demikian, jenis kopi arabika tidak tahan terhadap penyakit karat daun (Hemileia vastatrik) sehingga budidaya kopi mengalami kemunduran. Sebagai penggantinya, petani di Indonesia mulai membudidayakan kopi jenis liberika (C. liberica Bull ex. Hiern ) pada pada tahun 1875. Akan tetapi, kopi liberika juga tidak tahan terhadap penyakit karat daun. Pada awal abad ke-19, petani di Indonesia mulai mengenal kopi robusta (C.

  

canephora var. Robusta) dan membudidayakannya karena jeni kopi tersebut tahan

  terhadap penyakit karat daun. Pada saat ini, kopi robusta banyak dibudidayakan di daerah dataran rendah wilayah pulau Jawa, Sumatra, Bali dan Sulawesi (van Steenis et al., 2008).

2.1.1 Morfologi Kopi

  Kopi memiliki sistem perakaran tunggang dengan kedalaman akar utama kurang dari 1 meter. Akar lateral tumbuh dan berkembang dengan panjang sekitar

  3

  • – 4 meter. Akar pada kopi 90 % berada pada lapisan tanah dengan kedalaman kurang dari 30 cm (Gambar 2.1.A; van der Vossen et al., 2000).

  8 Kopi merupakan tanaman perdu dengan batang berkayu yang memiliki tinggi antara 2 - 4 meter. Batang kopi memiliki dua tipe percabangan yaitu cabang orthotrop dan cabang plagiotrop. Cabang orthotrop adalah cabang yang tumbuh tegak serta tidak menghasilkan bunga, sedangkan cabang plagiotrop adalah cabang yang tumbuh mendatar dan berfungsi sebagai penghasil bunga (Gambar 2.1.B; van Steenis et al., 2008).

  Daun tanaman kopi bertangkai pendek sekitar 1 cm ( Gambar 2.1.C; van Steenis et al., 2008) dan berbentuk memanjang (oblongus) dengan ukuran panjang berkisar 20

  • – 30 cm dan lebar 10 – 16 cm, dengan ujung daun meruncing dan pangkal daun membulat atau berbentuk baji (van Steenis et al., 2008). Daun kopi bertepi rata dengan permukaan helaian daun mengkilap dan permukaan bagian atas berwarna hijau gelap serta permukaan daun bagian bawah berwarna hijau lebih terang (van der Vossen et al., 2000).

  Pada umumnya, tanaman kopi mulai berbunga setelah berumur 1 sampai 2 tahun (Gambar 2.1.D). Bunga kopi tumbuh dari ketiak daun pada cabang plagiotrop, memiliki tangkai bunga dengan susunan yang berkelompok, masing- masing kelompok terdiri dari 4

  • – 6 kuntum bunga (van Seenis et al., 2008). Tangkai bunga berukuran 1 mm dengan kelopak bunga berwarna hijau, serta memiliki mahkota berjumlah 5
  • – 7 buah yang berwarna putih dan berbau harum, sedangkan tabung mahkota memiliki panjang sekita
  • – 18 mm dan lebar sekitar

  2

  • – 3,5 mm. Bunga kopi memiliki tangkai putik yang berukuran kecil dengan posisi menjulang jauh ke luar tabung dengan dua cabang yang panjangnya berukuran 5 mm. Benang sari terdiri dari 5
  • – 7 helai, sedangkan kepala sari
memiliki panjang yang berukuran 5 mm dan memiliki tangkai sari dengan panjang 3

  • – 4 mm (van Seenis et al., 2008). Apabila bunga sudah dewasa, akan terjadi penyerbukan dengan membukanya kelopak dan mahkota yang akan berkembang menjadi buah. Penyerbukan yang terjadi pada tanaman kopi robusta merupakan jenis penyerbukan silang (Sudarka et al., 2009). Penyerbukan ini terjadi karena kedudukan tangkai putik pada kopi robusta menjulang tinggi dari posisi benang sari, sehingga kemungkinan benang sari dapat jatuh di tangkai putik sendiri sangat kecil (Sudarka et al., 2009). Selain itu, kopi robusta memiliki sifat self-

  

incompatibility yaitu apabila terjadi penyerbukan sendiri, maka buluh sari tidak

terbentuk sehingga tidak terjadi pembuahan (van der Vossen et al., 2000).

  Buah kopi bertipe batu dan berbentuk bulat telur dengan diameter sekitar 15 - 18 mm (van Steenis et al., 2008). Buah kopi muda berwarna hijau (Gambar dan berwarna merah jika telah masak (van Steenis et al., 2008). Buah kopi

2.1.E)

  terdiri dari daging buah dan biji. Daging buah kopi terdiri dari atas 3 lapisan yaitu lapisan kulit luar (eksokarp), lapisan daging (mesokarp), dan lapisan kulit tanduk (endokarp), sedangkan biji kopi terdiri dari dua bagian, yaitu kulit biji ( kulit ari ) dan endosperma (putih lembaga; Gambar 2.1.F). Pada umumnya, di dalam buah kopi terdapat biji sebanyak 2 butir biji yang berwarna coklat. Biji kopi tersebut berbentuk elips dengan panjang antara 8 - 12 mm (van der Vossen et al., 2000).

  A B C E F D

Gambar 2.1 (A) akar tunggang pada kopi, (B) batang kopi, (C) daun kopi, (D)

  bunga kopi, (E) buah kopi), (F) buah kopi (Hulupi & Martini, 2013).

2.1.2 Varietas Kopi

  Berdasarkan varietasnya ada sekitar 80 jenis kopi di dunia, namun ada dua jenis kopi yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan diperdagangkan secara komersil yaitu kopi arabika (Coffea arabica L.) dan kopi robusta (C. canephora Pierre var robusta; van Steenis et al., 2008).

  Kopi Arabika (Gambar 2.2.A) merupakan jenis kopi yang pertama kali

  masuk di Indonesia sekitar abad ke-17. Kopi arabika tumbuh baik pada daerah

  o tropis maupun sub tropis pada suhu sekitar 18 - 22 C (van Steenis et al., 2008).

  Pada daerah tropis (7 LU - 7 LS) kopi arabika tumbuh pada ketinggian 1000

  • – o o
o

  2100 meter di atas permukaan laut (dpl), sedangkan pada daerah sub tropis (9 LU

  o o o

  • 23 LU dan 9 LS - 23 LS) kopi arabika tumbuh pada ketinggian 300
    • – 1100 m dpl (van der Vossen et al., 2000). Pada saat ini, kopi arabika banyak dibudidayakan di Indonesia seperti Sumatra utara, Aceh, Lampung, dan beberapa propinsi di pulau Sulawesi, Jawa dan Bali (Panggabean, 2011)

  Secara morfologi, buah kopi arabika berwarna hijau dan berubah menjadi merah apabila sudah masak. Buah kopi berbentuk lonjong (ovoid-ellpsoidal) memiliki diameter sekitar 8 - 15 mm dengan panjang 12 - 18 mm. (van der Vossen et al., 2000). Biji kopi arabika memiliki berat sekitar 0,45 - 0,5 gram per biji dengan kandung kafein berkisar 0,6 - 1,7 %. (van der Vossen et al., 2000).

  Selain itu, biji kopi arabika memiliki harga jual yang tinggi karena memiliki rasa yang manis dan memiliki aroma yang kuat (Ibrahim et al., 2013).

  Kopi Robusta (Gambar 2.2.B) merupakan jenis kopi yang mulai banyak

  dibudidayakan di Indonesia pada abad ke-19. Kopi robusta tumbuh ideal di daerah tropis pada ketinggian 100 C (van der

  • – 800 m dpl dengan suhu sekitar 21 – 24 Vossen et al., 2000). Kopi robusta mampu beradaptasi dengan lingkungannya lebih baik dibandingkan dengan kopi arabika. Kopi robusta juga lebih tahan terhadap penyakit karat daun dibandingkan dengan kopi arabika (van Steenis et

  ., 2008). Oleh karena itu, 90 % kopi yang dibudayakan di Indonesia adalah kopi

  al

  robusta (Prastowo et al., 2010). Pada saat ini, kopi robusta banyak dibudidayakan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Aceh (van der Vossen et al., 2000).

  Secara morfologi buah kopi robusta berbentuk bulat telur bola (ovoid- globose) memiliki biji yang berukuran lebih pendek dibandingkan kopi arabika (8

  • 16 mm). Selain itu, biji kopi robusta memiliki ukuran lebih ringan jika dibandingkan dengan kopi arabika sekitar 0,4 g per biji kopi dengan kandungan kafein berkisar 0,6 %. Dari segi rasa, kopi robusta memiliki rasa yang kurang digemari dibandingkan dengan kopi arabika. Kandungan kafeina kopi robusta juga lebih tinggi (1,5 - 3,3 %; van der Vossen et al., 2000) dibandingkan dengan kopi arabika.

  A B Gambar 2.2 (A) kopi arabika, (B) kopi robusta (Sumaryono, 2013).

2.1.3 Manfaat Kopi

  Kopi merupakan tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat untuk dimanfaatkan bijinya. Hal ini dikarenakan biji kopi mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi dan memiliki banyak manfaat bagi tubuh dan kesehatan. Biji kopi banyak mengandung kafein yang dapat memberi efek stimulan pada tubuh dengan cara merangsang kerja otak sehingga menyebabkan tubuh akan terasa lebih segar (Utami, 2011). Selain kafein, di dalam biji kopi juga mengandung

  

chlorogenic acid, yaitu suatu senyawa polyphenol yang berfungsi sebagai

  antioksidan kuat sehingga dapat membantu tubuh untuk memperbaiki sel-sel yang rusak (Johnston et al., 2003). Selain itu, biji kopi juga kaya akan kalsium, magnesium, tembaga, karbohidrat dan beberapa macam vitamin lainnya sehingga banyak dimanfaatkan sebagai sunblock untuk mencegah sengatan matahari dan mencegah kulit keriput (Gambar 2.3.A; Adikasari, 2012).

  Bagian dari tanaman kopi selain biji juga banyak dimanfaatkan oleh manusia. Batang kopi yang telah tua banyak digunakan sebagai bahan kayu bakar atau arang bakar (Gambar 2.3.B). Daun kopi juga banyak digunakan sebagai bahan minuman seperti daun teh (Gambar 2.3.C; Setiono, 2013). Kulit biji sebagai limbah pengolahan buah juga banyak digunakan sebagai bahan alternatif pakan ternak maupun kompos (Gambar 2.3.D; Usman et al.,2013). A B C D

Gambar 2.3 (A) masker kopi, (B) arang kopi, (C) minuman dari kopi, (D) pakan ternak.

2.2 Budidaya Kopi dan Permasalahannya

2.2.1 Produksi Kopi Dunia dan Indonesia

  Kopi merupakan salah satu komoditas pertanian yang paling banyak diperdagangkan di dunia. Pada tahun 2013, produksi kopi di dunia mencapai 8,7 juta ton dari luas lahan sekitar 10 juta hektar (FAO, 2015). Negara-negara utama penghasil kopi dunia di antaranya adalah Brazil dengan rata-rata produksi mencapai 2,8 juta ton kopi per tahun (32,54 %), Vietnam dengan rata-rata produksi mencapai 1,2 juta ton per tahun (14,98 %), maupun Indonesia dengan rata-rata produksi mencapai 679 ribu ton per tahun (7,86 %) (Gambar 2.4; FAO, 2015).

  Total produksi kopi di Indonesia yang tinggi tersebut sangat berkaitan erat dengan luas lahan perkebunan kopi yang mencapai sekitar 1,3 juta Ha. Hal ini, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan luas perkebunan kopi kedua setelah negara Brazil dengan luas perkebunan sekitar 2 juta Ha (FAO, 2015). Oleh karena itu, kopi merupakan salah satu komoditas utama yang banyak dibudidayakan di Indonesia setelah kelapa sawit 6,1 juta Ha dan karet 5,2 juta Ha (FAO, 2015)

  Sebagai salah satu komiditas terbesar di Indonesia, kopi merupakan salah satu komoditas ekspor utama Indonesia dari sektor perkebunan. Pada tahun 2013, total ekspor dari komoditas perkebunan di Indonesia mencapai mencapai 27,6 milyard US$ (BPS, 2014). Dari angka tersebut, kelapa sawit memiliki konstribusi sebesar 17,6 milyard US$ dan karet memiliki kontribusi sebesar 6,9 milyard US$. Komoditas kopi berhasil menghasilkan devisa negara mencapai sekitar 1,1 milyard US$ pada tahun tersebut, sehingga menempatkan kopi sebagai komoditas penyumbang devisa terbesar ketiga setelah kelapa sawit dan karet (BPS, 2014).

  3000000 2500000 ) n 2000000 to (

  1500000 ksi u d o

  1000000 Pr

  500000 Brazil Vietnam Indonesia Colombia Negara

Gambar 2.4 Nilai rata - rata produksi kopi di dunia pada tahun 2009 - 2013 (FAO, 2015).

2.2.2 Permasalahan Budidaya Kopi di Indonesia

  Sebagai negara dengan lahan kopi terluas kedua di dunia, Indonesia hanya mampu menempati urutan ketiga terbesar di dunia sebagai negara penghasil kopi dunia. Hal tersebut terjadi karena produktivitas perkebunan kopi di Indonesia tergolong rendah. Pada tahun 2013, total produksi biji kopi yang mampu dihasilkan oleh setiap hektar lahan per tahunnya hanya berkisar 500 kg biji. Angka tersebut masih jauh di bawah negara - negara penghasil kopi utama lainnya seperti Malaysia, Vietnam, Siera Leone, ataupun China yang mampu menghasilkan biji kopi sekitar 2,4 ton biji kopi untuk setiap hektar lahan setiap tahunnya. Hal tersebut menempatkan Indonesia di urutan ke-38 dari 78 negara penghasil kopi di dunia (Gambar 2.5; FAO, 2015).

  Tahun 4000,

   (Kg ) 3000, n opi k

  Sierra Leone ha a s

  China l

  2000, ta a

  Vietnam H

  Indonesia / ji

  1000, Malaysia bi Produktivi

  0, 2009 2010 2011 2012 2013

  Produktivitas perkebunan kopi Indonesia dibandingkan dengan

  Gambar 2.5

  empat negara dengan produktivitas kopi tertinggi di dunia (FAO, 2015). Ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas lahan kopi di Indonesia, seperti teknik budidaya yang masih sederhana, mayoritas perkebunan berusia tua, maupun penggunaan bibit unggul yang masih rendah. Teknik budidaya kopi seperti penanaman, pemupukan, pemangkasan dan pengendalian hama penyakit yang dilakukan oleh para petani kopi masih secara tradisional, selain itu cara pengelolahan budidaya dan penanganan pasca panen yang kuranag memadai (Arnawa et al., 2010). Penanaman kopi mayoritas perkebunan kopi di Indonesia telah melebihi usia produktif, yaitu sekitar 30 tahun, dengan usia produktif kopi rata-rata sekitar 5 - 20 tahun (Viva, 2013). Mayoritas perkebunan kopi di Indonesia juga menggunakan bibit yang kurang unggul (Santoso & Raharjo, 2011). Oleh karena itu peremajaan perkebunan kopi dengan menggunakan bibit yang unggul menjadi prioritas utama perkebunan kopi di Indoensia.

2.2.3 Pembibitan Kopi di Indonesia

  Pada umumnya petani di Indonesia membudidayakan tanaman kopi dengan menggunakan bibit yang berasal dari biji atau secara generatif (Gambar Ibrahim et al., 2013). Biji kopi yang akan dijadikan benih dipilih, dari

  2.6;

  tanaman unggul dengan produktivitas tinggi. Biji kopi dikecambahkan selama 30

  • 40 hari, kemudian dipelihara selama 8 bulan untuk menghasilkan benih kopi yang siap tanam (Prastowo et al., 2010). Teknik ini mudah dilakukan oleh para petani dan tidak membutuhkan biaya yang besar serta bibit dapat diproduksi secara masal (Prastowo et al., 2010). Namun demikian, bibit yang dihasilkan tidak memiliki kualitas yang unggul seperti induknya. Kopi robusta dikenal sebagai jenis kopi yang melakukan penyerbukan silang (Santoso & Raharjo, 2011). Salah satu dampak penyerbukan silang adalah memunculkan alel-alel resesif yang memungkinkan adanya sifat-sifat yang kurang baik dari salah satu pohon muncul pada keturunannya sehingga pada biji-biji yang dihasilkan dari pohon indukan yang unggul belum tentu menghasilkan keturunan yang unggul pula apabila digunakan sebagai benih (Sunarti et al., 2012).

  Pembibitan tanaman kopi secara generatif (Hulupi dan martini,

Gambar 2.6 2013).

  Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit yang unggul seperti tanaman induknya adalah dengan melakukan pembibitan secara vegetatif, melalui stek, okulasi dan sambung pucuk (Oktavia et al., 2003). Perbanyakan kopi melalui stek (Gambar 2.7.A) dapat dilakukan dengan cara memotong dua atau tiga ruas cabang yang memiliki 2 - 4 daun dari pucuk, kemudian di tanam pada medium tanam. Hasil stek akan terlihat setelah umur 20 hari dan bibit stek tersebut siap ditanam ke lapang setelah berumur sekitar 7 bulan (Prastowo et al., 2010). Teknik ini mampu menghasilkan bibit yang memiliki sifat genetik yang sama dengan induknya, mudah dilakukan, dan lebih cepat menghasilkan bibit. Namun, teknik ini tidak dapat menghasilkan bibit dalam skala besar karena terbatasnya jumlah cabang yang dapat digunakan sebagai bibit. Selain itu, teknik ini juga dapat merusak tanaman induknya, maupun bibit yang dihasilkan akan memiliki akar serabut sehingga mudah roboh (Prastowo et al., 2010).

  Pembibitan kopi secara vegetatif yang mampu menghasilkan tanaman dengan akar tunggang adalah dengan menggunakan teknik okulasi (Gambar . Teknik ini dilakukan dengan cara menempelkan mata tunas yang diambil

2.7.B)

  dari pohon kopi unggul pada batang bawah yang diperoleh dari pembibitan melalui biji. Kemudian, bibit hsil okulasi dipelihara lebih lanjut sekitar sekitar 15 bulan sebelum bibit siap ditanam di lahan (Prastowo et al., 2010). Namun demikian, teknik tersebut masih memiliki keberhasilan yang relatif rendah , yaitu sekitar 11 % (Prastowo et al., 2010; Basri, 2009). Di samping itu, teknik tersebut masih menyebabkan kerusakan pada tanaman induknya.

  Teknik pembibitan kopi lainnya melalui sambung pucuk (Gambar 2.7.C). Memiliki teknik yang mirip seperti okulasi namun yang ditempelkan merupakan cabang yang masih muda yang diambil dari pohon induk unggul. Bibit dapat ditanam pada lahan setelah berumur 6 - 8 bulan (Prastowo et al., 2010). Seperti halnya okulasi, teknik ini mampu menghasilkan bibit dengan kualitas yang sama dengan induknya (Prastowo et al., 2010), namun, Teknik sambung pucuk belum mampu menghasilkan bibit secara masal serta dapat merusak tanaman induk yang digunakan sebagai sumber batang atas (Oktavia et al., 2003).

  induksi kalus embriogenik dilakukan dengan cara menanam eksplan pada medium tanam yang mengandung auksin dengan konsentrasi tinggi atau dengan menggunakan auksin serta sitokinin secara bersamaan (Gambar 2.8.A Ibrahim et

  ., 2013). Tahap induksi kalus pada umunya dilakukan selama 4 minggu

  al

  (Sumaryono, 2014 ) dengan tingkat keberhasilan yang masih tinggi sekitar 100 % (Murni, 2010).

  Tahap selanjutnya yaitu tahap induksi embrio. Tahap induksi embrio dilakukan dengan cara kalus embriogenik ditanam pada medium induksi yang mengandung auksin dengan konsentrasi rendah yang dikombinasikan dengan sitokinin dengan konsentrasi tinggi sehingga terinduksi pembentukan embrio somatik (Purnamaningsih, 2002). Perkembangan embrio somatik dapat melalui beberapa tahap, yaitu embrio globular (Gambar 2.8.C), embrio tahap hati

  

(Gambar 2.8.D) , embrio tahap torpedo (Gambar 2.8.E), embrio tahap pra

  kotiledon(Gambar 2.8.F), dan embrio tahap kotiledon (Gambar 2.8G) (Purnamaningsih, 2002). Pada tahap ini waktu yang dibutuhkan sekitar 8 bulan (Ibrahim, 2013) dengan tingknat keberhasilan yang masih tinggi sekitar 100 % (Riyadi & Tirtoboma, 2004)

  Setelah terbentuk embrio pada fase kotiledon, maka dilanjutnya pada tahap perkecambahan (Gambar 2.8.H-I) yaitu tahapan embrio somatik membentuk tunas dan akar. Pada tahap ini, embrio dikecambahkan pada media perkecambahan dengan penambahan ZPT dengan konsentrasi yang sangat rendah bahkan tidak ditambahkan ZPT (Purnamaningsih, 2002). Pada tahap ini, waktu yang dibutuhkan untuk menumbuhkan kecambah sekitar 3 bulan dengan tingkat keberhasilan masih cukup tinggi sekitar 90 % (Arimarsetiowati & Ardiyani, 2012).

  Tahapan terakhir dari pembibitan kopi melalui embriogenesis somatik adalah aklimatisasi (Gambar 2.8. J-K). Aklimatisasi merupakan tahapan yang menentukan berhasil tidaknya teknik embriogenesis somatik yang digunakan dalam produksi bibit suatu tumbuhan (Purnamaningsih, 2002). Teknik ini perlu dilakukan secara hati - hati karena pemindahan bibit dilakukan dari kondisi antara

  

in vitro ke kondisi ex vitro dengan penurunan kelembaban dan peningkatan

  intensitas cahaya (Purnamaningsih, 2002; Sandra, 2012). Pada tahap ini, waktu sekitar 3 bulan (Yenitasari, 2015) dengan tingkat keberhasilannya sekitar 78 % dengan (Priyono dan Zaenudin, 2002).

  Tahap embriogenesis somatik; Induksi kalus embrioneik ( A-B),

  Gambar 2.8

  Induksi embrio globular (C), embrio tahap hati (D), embrio tahap torpedo (E), pra kotiledon (F), embrio tahap kotiledon (G), perkecambahan (H-I) dan tanaman kopi yang siap di aklimatisasi (J), tahap aklimatisasi (Gatica et al., 2008). Namun demikian, tahapan produksi bibit kopi melalui teknik embriogenesis somatik masih memiliki banyak kendala seperti lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memelihara kultur dalam kondisi in vitro. Sampai saat ini, produksi bibit kopi melalui teknik embriogenesis somatik memerlukan waktu sekitar 12 bulan untuk kondisi in vitro yang terdiri atas pada induksi kalus selama 1 bulan (Sumaryono, 2014), induksi embrio somatik selama 8 bulan (Ibrahim et al., 2013), dan perkecambahan selama 3 bulan (Murni, 2010). Disamping itu bibit yang dihasilkan masih membutuhkan tahapan aklimatisasi selama 3 bulan sebelum siap dibesarkan di screen house (Santoso et al, 2014). Dengan panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk kondisi in vitro tersebut mengakibatkan resiko kegagalan produksi cukup tinggi sebagai akibat adanya kontaminasi bakteri dan jamur, tingginya medium yang digunakan, konsumsi listrik maupun tenaga kerja yang banyak (Ahloowalia & Savangikar, 2002). Oleh karena itu perlu inovasi teknik embriogenesis somatik untuk mempersingkat lamanya waktu oleh embrio kopi dalam kondisi in vitro.

2.4 Aklimatisasi Embrio Somatik Secara Langsung (Direct Sowing)

  Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mempersingkat waktu kultur secara in vitro adalah dengan menggunakan teknik direct sowing. Teknik

  

direct sowing adalah teknik yang menggabungkan tahapan perkecambahan embrio

  sekaligus bersamaan dengan tahapan aklimatisasi bibit terhadap kondisi eksternal (Kubota, 2002). Embrio somatik dikecambahkan secara langsung pada kondisi ex

  

vitro sekaligus dilakukan aklimatisasi. Manfaat teknik direct sowing untuk produksi bibit kopi adalah mempersingkat waktu kultur sehingga mampu menghemat tenaga, biaya serta memperkecil resiko kontaminasi (Priyono & Zaenudin, 2012).

  Beberapa tanaman telah berhasil diperbanyak dengan mengaplikaasikan teknik tersebut seperti tanaman Medicago sativa L (Fujii et al., 1989), Magnolia (Merkle et al., 1994) dan Theobroma cacao L. (Niemenak et al.,

  pyramidata

  2008). Pada tanaman M. sativa embrio somatik berhasil dikecambahkan sekaligus diaklimatisasikan dengan menggunakan teknik direct sowing. Tingkat keberhasilan teknik direct sowing pada embrio somatik tanaman tersebut mencapai 60 % dan mampu mempersingkat waktu kultur in vitro sekitar 6 minggu (Fuji et al., 1989). Hal yang sama juga dilaporkan pada tanaman M. pyramidata dengan tingkat keberhasilan mencapai sekitar 40 % dan mampu mempersingkat waktu kultur in vitro sekitar 5 minggu (Merkle et al., 1994).

  Pada T.cacao L, teknik direct sowing juga berhasil digunakan untuk mempersingkat waktu kultur in vitro sekitar 8 minggu, namun demikian teknik tersebut hanya memiliki tingkat keberhasilan rendah 10 % (Niemenak et al., 2008)

  Pada tanaman kopi arabika, teknik direct sowing juga telah dicobakan untuk meningkatkan produksi bibit kopi unggul secara masal. Embrio somatik yang berumur 4 bulan diaklimatisasikan pada medium campuran tanah : pasir : bubur batang (plup) kopi dengan perbandingan 2 : 1 : 1 kemudian di pelihara selama 2 bulan. Teknik tersebut berhasil digunakan untuk produksi bibit kopi arabika dengan tingkat keberhasilan mencapai 80 %. Teknik tersebut juga mampu mempersingkat lama kultur 13 % lebih cepat dibandingkan dengan teknik embriogenesis somatik secara konvesional (Etienne-Barry et al., 1999).

  Pada tanaman kopi robusta, teknik direct sowing juga telah dicobakan, namun dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah, yaitu sekitar 50 % (Yenitasari, 2015). Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya keberhasilan teknik embrio somatik selama proses aklimatiasai adalah derajat keasaman (pH) substrat tanam

2.5 Derajat Keasaman Substrat Tanam

2.5.1 Pengertian dan Fungsi Derajat Keasaman pada Tumbuhan

  Derajat Keasaman (pH) merupakan tingkat keasaman atau kebasaan yang

  • dimiliki suatu larutan. Tingkat keasaman ditunjukan sebagai konsentrasi ion H pada suatu larutan berpelarut air. Nilai pH berjarak antara 0 (sangat asam) sampai 14 (sangat basa) dan titik netralnya pada pH 7 (Fitriani, 2001). Bila nilai pH suatu larutan bernilai kurang dari 7 maka larutan disebut bersifat asam dan apabila nilai pH lebih besar dari 7 maka larutan tersebut basa.

  Derajat keasaman (pH) memiliki peranan penting pada proses pertumbuhan suatu tanaman. Hal tersebut dikarenakan pH berperan penting dalam keberadaan mikroorganisme tanah, ketersediaan nutrisi makro dan mikro maupun daya serap tanaman terhadap nutrisi (Widiastoety et al., 2005 & Salisbury & Ross, 1992).

  Keberadaan mikroorganisme pada substrat tanam dipengaruhi oleh pH substrat tersebut. Pada umumnya, pH optimum untuk pertumbuhan mikroorganisme bervariasi di sekitar 6,8

  • – 7,8 (Khaerunnisa & Rahmawati, 2013),
namun setiap organisme membutuhkan nilai pH tertentu. Jamur dapat tumbuh secara optimum pada pH sekitar 4

  • – 6 (Budiman et al., 2009), sedangkan bakteri membutuhkan pH sekitar 6
  • – 8 (Khaerunnisa & Rahmawati, 2013), dan algae membutuhkan pH berkisar 7 – 9 (Isnadina & Hermana, 2013).

  Ketersediaan nutrisi pada substrat tanam juga dipengaruhi oleh pH substrat tanam. Pada umumnya, ketersediaan nutrisi yang optimum terjadi pada kisaran 5,2

  • – 6,5 (Soemarno, 2010). Secara umum ketersediaan nutrisi pada suatu substrat tanam sangat dipengaruhi oleh pH substrat tersebut (Gambar 2.9). Sebagai contoh ketersediaan unsur fosfat yang optimum berada pada kisaran pH 4,5 – 7,6.

  Pada pH rendah (< 4,5), fosfat akan bereaksi dengan ion besi dan alumunium membentuk besi fosfat atau alumunium fosfat yang sukar larut dalam air, sedangkan pada pH tinggi, fosfat akan bereaksi dengan ion kalium membentuk kalium fosfat yang juga sukar larut dalam air sehingga senyawa tersebut tidak dapat diserap oleh tanaman (Matson, 2010).

Gambar 2.9. Keberadaan unsur nutrisi tumbuhan sangat dipengaruhi oleh pH substrat tanam (Taiz & Zeiger, 2002, p.77).

  Daya serap tumbuhan terhadap nutrisi yang tersedia pada substrat tanaman juga dipengaruhi oleh pH substrat tersebut. Nilai pH yang tepat agar daya serap tumbuhan terhadap nutrisi optimum sangat tergantung kepada jenis tumbuhan maupun jenis nutrisi yang akan diserap. Pada anggrek, pH optimum untuk penyerapan nutrisi terjadi pada kisaran pH 5,0

  • – 5,5 (Widiastoety et al., 2005), sedangkan pada kedelai, pH optimum untuk penyerapan nutrisi adalah berkisar 6 - 6,8 (Sofia, 2007).

  Pada umumnya, pH optimun yang dibutuhkan agar tumbuhan dapat menyerap nutrisi secara optimum berada pada kisaran 5,0

  • – 7,0. Namun demikian, pH optimum untuk setiap nutisi yang diserap oleh tanaman bervariasi tergantung jenis nutrisi. Ion fosfat diserap oleh tumbuhan secara optimum pada pH di bawah
    • 7. Pada pH tersebut, fosfat berada dalam bentuk anion bervalensi satu (H PO ),

  2

  4 sedangkan pada pH di atas 7 ion fosfat berada dalam bentuk anion valensi dua

  2-

  (HPO , Gambar 2.9 ; Salisbury & Ross, 1992). Hal yang sama juga terjadi pada

  4

  • penyerapan nitrogen dalam bentuk anion (NO ) paling optimum pada pH asam,

  3

  • sedangkan penyerapan nitrogen dalam bentuk kation (NH ) paling optimum pada

  4

  pH basa (George & de Klerk, 2008). Hal sebaliknya terjadi pada penyerapan ion

  • Cl yang optimum pada pH di atas 7 (Schubert et al., 1990).

Gambar 2.10 Grafik penyerapan fosfat terhadap nutrisi pada substrat tanam yang berpengaruh terhadap derajat keasaman (pH).

  

2.5.2 Fungsi Derajat Keasaman (pH) Substrat Tanam dalam Aklimatisasi

Bibit Hasil Kultur Jaringan

  Pada kultur jaringan, pH suatu substrat tanam menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan aklimatisasi suatu tanaman. Perveen et al.

  (2013) melaporkan bahwa pH medium berpengaruh secara nyata terhadap regenerasi dan aklimatisasi Euphorbia cotinifolia L. pH 5,8 memberikan persentase regenerasi paling tinggi (90 %) dibandingkan pH 5,0 (50 %) ataupun pH 6,6 (45%). pH 5,8 juga dilaporkan menjadi nilai pH paling optimum untuk regenerasi dan aklimatisasi Polyscias balfauriana dibandingkan dengan pH 5,0 ataupun 6,6 (Ilyas et al., 2013). Hal yang sedikit berbeda dilaporkan pada tanaman

  (Roxb.) T. Anderson yang menunjukkan bahwa

  Hygrophila polysperma

  perlakuan pH yang bervariasi dari 4,0 sampai 10,0 tidak berpengaruh secara nyata terhadap keberhasilan aklimatisasi karena seluruh plantlet berhasil diaklimatisasikan. Namun demikian, pH berpengaruh secara nyata tinggi tanaman dan jumlah internodus sesudah aklimatisasi dengan pH optimum sebesar 7,0 (Karatas et al., 2013).

  Kemampuan pH berpengaruh erat terhadap keberhasilan aklimatisasi tumbuhan hasil kultur jaringan diduga disamping berkaitan erat dengan ketersediaan nutrisi bagi tumbuhan maupun penyerapan nutrisi bagi tumbuhan juga berhubungan dengan peran pH terhadap aktivitas auksin dalam menginduksi pembentukan akar (George & de Klerk, 2008). pH substrat yang bersifat asam sangat dibutuhkan oleh tanaman dalam proses induksi akar pada tanaman

  Nicotiana tabacum (Thorpe et al., 2008).

Dokumen yang terkait

OPTIMASI SEDIAAN KRIM EKSTRAK KERING ETANOL BIJI KOPI ROBUSTA (Coffea canephora L.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN dengan BASIS VANISHING CREAM

8 51 24

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var. Robusta) TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI PROSTAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR JANTAN

2 10 22

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var. Robusta) TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI PANKREAS PADA TIKUS PUTIH (Ratus Novergicus) STRAIN WISTAR JANTAN

3 21 23

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var. Robusta) TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI OTAK PADA TIKUS PUTIH STRAIN WISTAR JANTAN (Rattus norvegicus)

0 18 19

PENGARUH SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var robusta) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR

5 35 22

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var. robusta) TERHADAP KETEBALAN DINDING CORPUS VERTEBRAE TIKUS STRAIN WISTAR JANTAN (Rattus novergicus Strain wistar)

0 7 26

“PENGARUH ACRYLAMIDE YANG TERKANDUNG DALAM SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var. Robusta) TERHADAP PERUBAHAN MORFOLOGI SEL HEPATOSIT HEPAR PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus Novergicus Strain Wistar)”

1 20 22

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var. Robusta ) SUBKRONIK TERHADAP TEKANAN DARAH DAN PRODUKSI URINE PADA TIKUS PUTIH STRAIN WISTAR JANTAN (Rattus novergicus Strain wistar)

0 27 25

PENGARUH LIMA JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN PUPUK NITROGEN, FOSFOR, DAN KALIUM PADA PERTUMBUHAN BIBIT KOPI ROBUSTA (Coffea canephora Pierre)

0 10 55

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kentang - PENGARUH PERBANDINGAN BAHAN MEDIA TANAM PADA PERTUMBUHAN AWAL AKLIMATISASI PLANLET TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L) - repository perpustakaan

0 0 9