BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - FITRI KURNIAWATI, BAB IV

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perijinan Ethical Clearance Perijinan ini diajukan kepada komisi Etik Penelitian Kedokteran FKIK dan

  dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Jendral Soedirman. Telaah etik ini mengacu pada kaidah etik yang tertera pada Deklarasi Helsinki tahun 2008. Hasil perijinan menyatakan bahwa penelitian ini telah memenuhi kaidah etik dan prosedur-prosedurnya telah disetujui. Hasil perijinan dapat dilihat pada Lampiran 1.

B. Determinasi Tanaman

  Determinasi tanaman dilakukan di Laboratorium Botani dan Genetika, Progran Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Determinasi ini bertujuan untuk mengetahui kebenaran identitas tanaman yang akan digunakan pada penelitian. Determinasi ini dilakukan berdasarkan karakteristik tanaman sehingga dapat menghindari kesalahan dalam pengumpulan bahan. Pedoman yang digunakan adalah buku Flora of Java (Backer dan Bakhuizen Van Den Brink volume I tahun 1963. Hasil determinasi tanaman binahong adalah sebagai berikut:

  Gambar 3. Hasil determinasi tanaman (lampiran 2)

  22

  C. Pembuatan Simplisia

  Pembuatan serbuk simplisia dimulai dengan pengumpulan daun binahong di daerah Purwokerto. Daun binahong yang telah diperoleh sebanyak 3 kg dibersihkan dari kotoran kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa kotoran yang masih menempel.

  Daun binahong yang telah dicuci kemudian ditiriskan untuk menghilangkan air yang masih tersisa pada daun, kemudian dikeringkan menggunakan lemari pengering selama 3 hari. Pada saat pengeringan daun ditata agar tidak bertumpuk sehingga pengeringan berlangsung cepat dan merata. Pengeringan ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan air dalam daun sehingga didapat simplisia yang tidak mudah rusak dan terhindar dari tumbuhnya jamur dan bakteri. Daun binahong yang telah kering diserbukan dengan mesin penyerbuk yang bertujuan meningkatkan efektifitas penyarian dimana penyarian akan bertambah baik bila luas permukaan serbuk semakin luas (Depkes RI, 1986) dan serbuk yang didapat sebanyak 250,82 gram, kemudian serbuk ini diayak dengan menggunakan ayakan 20/40, sehingga diperoleh serbuk halus sebanyak 177,93 gram. Pengayakan bertujuan untuk menyeragamkan ukuran serbuk sehingga sari yang didapat efektif.

  C. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Binahong.

  Ekstrak daun binahong dibuat dengan menggunakan metode maserasi dengan penyari etanol 70%. Pemilihan etanol sebagai pelarut adalah karena etanol merupakan pelarut yang memiliki kepolaran yang mirip dengan air sehingga dapat menarik zat aktif yang terdapat dalam daun binahong. Pemilihan etanol dengan konsentrasi 70% karena dalam larutan tersebut mengandung 50% etanol dan 30% air, sehingga zat aktif yang terdapat dalam daun binahong yang larut dalam air maupun larut dalam etanol dapat terekstraksi secara bersamaan. Maserasi adalah metode penyarian simplisia yang paling sederhana yang dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dengan cairan penyari. Cairan penyari akan masuk ke dinding sel, kemudian ke rongga sel yang megandung zat aktif, sehingga terjadi perbedaan konsentrasi antara zat di dalam dan zat di luar sehingga menyebabkan zat aktif yang terlarut terdesak keluar sel (Depkes RI, 1986).

  Metode maserasi dimulai dengan membasahi serbuk simplisia dengan cairan penyari selama 15 menit yang bertujuan untuk memudahkan penyarian zat aktif. Selanjutnya serbuk daun binahong yang telah dibasahi, direndam dengan etanol 70% dengan perbandingan 1:10 yaitu 177,93 : 1800 mL etanol 70% kemudian diaduk setiap 30 menit selama 3 hari. Tujuan pengadukan adalah untuk menjaga derajat perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Endapan I dan filtrat I dipisahkan dengan cara disaring lalu diperas. Endapan I yang didapat direndam kembali (diremaserasi), dengan menggunakan etanol 1:5, kemudian di aduk selama 30 menit selama 2 hari. Remaserasi sebanyak 3 kali. Filtrat III disatukan dengan campuran filtrat I dan II dengan total volume filtrate yang diperoleh 1 liter dan jumlah pelarut yang digunakan adalah 3600 ml. Filtrat hasil maserasi diuapkan menggunakan evaporator sampai kental dan penguapan dilanjutkan dengan menggunakan waterbath sampai tidak berbau etanol. Ekstrak kental yang didapat berwarna hijau kehitaman dengan berat 57,29 gram dan rendemen akhir didapat 32,198% dari serbuk kering. Ekstrak kental yang diperoleh kemudian digunakan untuk uji toksisitas akut. Perhitungan rendemen adalah: D.

   Uji Pendahuluan (sighting study)

  Uji pendahuluan (Shighting study) ini mengacu pada OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development Guidlines for

  

Testing of Chemicals number 420 (OECD, 2001). Sighting study dilakukan untuk mendapatkan dosis tertinggi yang menyebabkan kematian dan akan digunakan untuk uji toksisitas (main study). Pada sighting study menggunakan 3 hewan uji, pemberian preparat uji dimulai dari dosis 300 mg/kgBB sebanyak 2 mL akuades secara peroral karena belum ada informasi toksisitas mengenai daun binahong (OECD, 2001). Pengamatan selama 24 jam meliputi gejala efek toksik dan kematian pada hewan uji. Gejala efek toksik yang diamati berupa perilaku (kecemasan, keberangsangan, agresif dan ketakutan), saluran cerna (diare, muntah tinja berdarah), kulit (kerontokan rambut, kulit kemerahan dan udema). Setelah pengamatan 24 jam tidak terdapat kematian pada hewan uji. Kemudian pada hari berikutnya dosis dinaikan menjadi 2000 mg/kg BB, menggunakan 3 ekor hewan uji, kemudian diamati lagi gejala efek toksik dan kematian hewan uji seperti pada dosis 300 mg/kgBB selama 24 jam. Tabel perhitungan dosis dapat dilihat pada Lampiran 3.

  Pengamatan selama 24 jam tidak ditemukan gejala efek toksik maupun kematian pada hewan uji, sehingga dosis yang digunakan pada

  

main study adalah 2000 mg/kgBB yang berarti LD yang didapat untuk

  50

  ekstrak etanol daun binahong termasuk berdasarkan GHS (Globally

  

Harmonized System for Chemical Substant and Mixtures ) pada kategori 4

  dimana LD

  50

  berkisar >300 mg/kgBB ≤ 2000 mg/kgBB. Tabel hasil pengamatan gejala efek toksik terlampir pada Lampiran 4. Gambar klasifikasi GHS terlampir pada Lampiran 5.

E. Uji utama (Main study)

  Pada uji utama digunakan 10 tikus yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Bagan uji utama dapat dilihat pada Gambar 4.

  10 tikus

5 tikus (kontrol) 5 ekor tikus (uji)

akuades 2000 mg/kg BB

Berat badan, gejala efek toksik (kegelisahan, keberangasan, agresif, ketakutan,kebingungan muntah, diare, tinja berdarah, kerontokan bulu, kulit kemerahan), fungsi darah (sel darah merah dan sel darah putih), fungsi hati (SGOT, SGPT, bobot hati dan histopatologi hati), fungsi ginjal (urea darah, bobot organ ginjal dan histopatologi ginjal)

  

Gambar 4. Gambar uji utama

  Hewan uji ditempatkan di masing-masing kandang dengan tujuan agar hewan uji memiliki ruang lebih luas sehingga diharapkan hewan uji tidak stress, juga nutrisi dan air minum juga terpenuhi. Alas kandang menggunakan sekam yang berfungsi untuk mempertahankan suhu agar hewan uji tidak kedinginan sehingga menyebabkan kematian pada hewan uji. Sekam diganti 2 hari sekali untuk mempertahankan kebersihan kandang karena sekam juga cepat lembab, sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi. Hewan uji diberi makan ±28,5 gram per hari yang diberikan untuk 2 kali pemberian pakan yaitu jam 08.00 dan 16.00. Pemberian pakan sebanyak 200 gram perminggu bertujuan untuk mengontrol pemberian pakan sehingga dapat meminimalisir kondisi lain yang dapat menyebabkan toksisitas pada hewan uji, sehingga efek toksik atau kematian yang terjadi benar-benar di karenakan pemberian ekstrak etanol daun binahong. Kelompok kontrol hanya diberi akuades 2 mL, sedangkan kelompok perlakuan diberi ekstrak etanol daun binahong sebanyak 2 mL yang mengandung ekstrak etanol daun binahong dosis 2000 mg/kg BB, perhitungan dosis pada uji utama dapat dilihat pada

  Lampiran 6. kemudian diamati berat badan, gejala efek toksik, fungsi

  darah, biokimia darah, bobot organ hati dan ginjal dan histopatologi hati dan ginjal.

  1. Gejala efek toksik Pengamatan gejala efek toksik dilakukan selama 5 menit sebanyak tiga kali sehari selama 14 hari, tujuannya untuk mengetahui gejala yang timbul setelah pemberian sediaan uji. Pengamatan dilakukan selama 14 hari setelah pemberian ekstrak etanol daun binahong dosis 2000 mg/kg BB secara peroral pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Hasil pengamatan menunjukan tidak adanya gejala efek toksik dan dapat dilihat pada Lampiran 7.

  Pengamatan gejala efek toksik dilakukan pada tanda-tanda ketoksikan yang dapat dilihat secara langsung. Gangguan saluran cerna seperti diare dan muntah sering dihubungkan dengan gejala efek toksik. Diare terjadi karena adanya gangguan resorpsi air dan terjadinya hipersekresi sehingga menyebabkan penumpukan cairan di usus. Proses resorpsi dan proses sekresi berjalan dalam waktu yang bersamaan dimana proses resorpsi lebih cepat dari proses sekresi, proses resorpsi diatur oleh hormon enkefalin dan proses sekresi diatur oleh prostaglandin tetapi karena sesuatu sebab, sekresi menjadi lebih besar dari resorpsi sehingga menyebabkan diare. Penyebab diare bisa berupa agen pengiritasi atau pengkorosi, arsen, detergen, keracunan jamur, infeksi, alergi makanan dan zat asing lainnya. Iritasi dan inflmasi gastrointestinal berkaitan dengan sakit perut yang menyebabkan translokasi endotoksin dan bakteri ke dalam sirkulasi sistemik dan mengakibatkan diare dan jika zat asing yang menyebabkan iritasi saluran cerna tidak segera dikeluarkan akan menyebabkan pendarahan pada saluran cerna dan menyebabkan tinja berdarah (Tjay dan Rahardja, 2007).

  Muntah adalah pengeluaran isi lambung yang disebabkan oleh kontraksi otot perut yang kuat yang dianggap sebagai reaksi perlindungan alamiah terhadap zat-zat yang merangsang seperti racun dan makanan juga obat-obatan. Rasa mual menandakan lambung sedang mengendur dan terjadi aktivitas antiperistaltik diusus halus sehingga terjadi pembalikan isi usus halus ke bagian atas lambung, disusul dengan menutupnya glottis (bagian pangkal tenggorokan), penahanan nafas, katup esophagus dan lambung merelaks, sehingga menimbulkan kontraksi dari diagfragma serta otot-otot pernafasandan menyebabkan muntah. Penyebab muntah adalah adanya penghalang pada saluran nafas seperti toksikan dan zat asing, trakeobronkhitis, bronkopneumonia sekunder akibat kontaminasi pada saluran nafas. Gejala efek toksik pada kulit sperti kerontokan bulu, kulit kemerahan dan terjadinya udem dapat terjadi karena absorpsi senyawa toksik secara oral maupun absorpsi secara transdermal (Tjay dan Rahardja,

  2007). Pengamatan gejala efek toksik yang berupa perilaku hewan dilakukan selama 5 menit, dimana gejala efek toksik yang diamati berupa kegelisahan, keberangasan, agresif, ketakutan, kebingungan.

  2. Pengamatan Berat badan Berat badan tikus ditimbang setiap hari dengan tujuan untuk mengetahui perubahan berat badan selama 14 hari. Data pengukuran berat badan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Data pengukuran berat badan dapat dilihat pada Tabel

3. Hasil penimbangan hewan uji selama 14 hari terdapat pada Lampiran 8.

  

Tabel 2. Pengukuran berat badan hewan uji pada kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan

Berat badan (gram)

Waktu

  P value

Kontrol Perlakuan

H-1 139,5±16,78 153,8±22,40 0,287

  H+7 169,8±10,65 184,1±17,65 0,162 H+14 168,8±16,57 188,1±6,73 0,043

nilai yang tertera adalah nilai rata ± standar deviasi, n = 10, kelompok kontrol 5

ekor hewan uji dan kelompok perlakuan 5 ekor hewan uji.

  Tabel 3. Hasil analisis statistik berat badan pada kelompok perlakuan Waktu Perlakuan P value H-1 vs H+7 -30,30±36,09 0,134 H-1 vs H+14 -34,31±28,36 0,054

nilai yang tertera adalah nilai rata ± standar deviasi, n = 10, kelompok kontrol

5 ekor hewan uji dan kelompok perlakuan 5 ekor hewan uji.

  Hasil perhitungan statistik menggunakan uji T tidak berpasangan, nilai rataan sebelum perlakuan (H-1) dan pada H+7 pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol p value yang diperoleh masing 0,287 dan 0,162 (P>0,05), yang berarti tidak terdapat perbedaan berat badan yang signifikan antara kelompok kontrol dan perlakuan baik itu pada H-1 maupun H+7. Tetapi hal ini tidak terjadi pada H+14 dimana terdapat perbedaan berat badan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (P<0,05).

  Tabel 4. Tabel komposisi pakan hewan uji (hi-pro-vit) komposisi Kadar air minimal 13,0% Protein

  17,5-19,5% Lemak minimal 3,0% Serat maksimal 8,0% Abu maksimal 7,0% Kalsium minimal 0,90% Fospor minimal 0,60%

  Selain menggunakan perhitungan uji T tidak berpasangan, digunakan juga uji T berpasangan untuk membandingkan perubahan berat badan inter kelompok perlakuan. Hasil yang diperoleh adalah tidak terdapat perubahan berat badan pada H-1 vs H+7 (p > 0,05) namun ada perubahan yang nyata pada H-1 vs H+14 pada kelompok perlakuan. Karena pada uji T tidak berpasangan pada H+14 menunjukan perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, sehingga diduga peningkatan berat badan terjadi karena pemberian ekstrak etanol daun binahong. Diduga perubahan yang signifikan terjadi karena adanya senyawa saponin yang dapat meningkatkan permeabilitas dinding usus, sehingga meningkatkan absorpsi makanan (komposisi nutrisi pakan hewan uji dapat dilihat pada Tabel 4), selanjutnya akan meningkatkan nafsu makan hewan uji dan akhirnya akan meningkatkan berat badan (Cheeke, 1989). Selain itu, menurut Yi Liang et al (2010), dalam Anredera cordifolia terdapat nutrisi seperti protein, vitamin C dan mineral, sehingga di duga pada H+14 terjadi penyerapan kandungan ekstrak daun binahong yang optimal, sehingga berat badan hewan uji meningkat.

  3. Uji hematologi Pada uji hematologi digunakan sampel darah. Pada uji hematologi digunakan sampel darah. Darah merupakan sarana penyebaran hormon dan penyampaian pesan kimiawi terhadap organ-organ lain yang berjauhan untuk menjalankan fungsinya. Darah diambil sebanyak ±0,5 ml dengan cara menyayat ekor tikus yang sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol, kemudian darah ditampung ke dalam tabung reaksi yang telah berisi antikoagulan EDTA. Data hasil jumlah eritrosit terlampir pada Lampiran 9.

  

Tabel 5. Hasil pengukuran eritrosit pada kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan 6 3 H-1 H+1 H+7 H+14

kontrol (10 /mm ) 7,93±1,63 10,16±2,39 16,06±7,18 6,40±2,46

6 3 Perlakuan (10 /mm ) 8,02±1,03 8,08±2,93 14,56±5,88 7,36±1,43

P value 0,921 0,254 0,727 0,473

nilai yang tertera adalah nilai rata ± standar deviasi, n = 10, kelompok kontrol 5

ekor hewan uji dan kelompok perlakuan 5 ekor hewan uji.

  

Tabel 6. Hasil analisis statistik eritrosit pada kelompok perlakuan sebelum dan

setelah perlakuan 6/ 3 H-1 vs H+1 H-1 vs H+7 H-1 vs H+14 Eritrosit (10 mm ) -0,06±2,93 -6,54±4,99

  0,66±0,66 P value 0,966 0,043

  0,090

nilai yang tertera adalah nilai rata ± standar deviasi, n = 10, kelompok kontrol 5

ekor hewan uji dan kelompok perlakuan 5 ekor hewan uji.

  Penghitungan jumlah sel darah merah perlu ditambahkan larutan hayem, Larutan hayem mengandung 5 gr Na-sulfat, 1 gr NaCl, 0,5 gr HgCl

  2 dan aquadest ad 100 mL. Larutan hayem berfungsi sebagai

  pengencer sehingga memudahkan dalam penghitungan sel darah merah karena harus bersifat isotonis dan fiksatif terhadap eritrosit. Eritrosit di pilih dalam penelitian ini karena eritrosit berperan dalam penghantaran oksigen melalui pengikatan dengan hemoglobin dan kemudian di edarkan ke seluruh tubuh, sehingga dapat dikatakan bahwa darah merupakan sumber kehidupan.

  Nilai rataan eritrosit kelompok kontrol dan perlakuan masing pada H-1 berkisar 7 juta sampai 8 juta. Hal ini masih normal seperti yang disebutkan oleh Anonim (2010) yang menyebutkan bahwa nilai normal

  6

  6

  3

  eritrosit pada tikus adalah 7x10 /mm . Analisis uji T

  • – 13x10 berpasangan dilakukan untuk mengetahui perubahan hematologi pada kelompok perlakuan dengan membandingkan H-1 dengan H+1, H-1 dengan H+7 dan H-1 dengan H+14. Hasil analisis tersebut menunjukan jumlah eritrosit pada H-1 vs H+1, H-1 vs H+14 tidak berubah secara signifikan sedangkan pada H-1 dengan H+7 terdapat perubahan nilai hematologi yang signifikan (P<0,05). Pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (dapat dillihat pada Tabel 3.) Jumlah eritrosit pada H+1 dan H+7 meningkat dan pada H+14 menurun.

  Seharusnya kandungan flavonoid dan saponin dalam ekstrak etanol daun binahong dapat meningkatkan jumlah eritrosit namun hasil uji T tidak berpasangan menunjukan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok kontrol dan perlakuan. Sehingga dapat disimpulkan ekstrak etanol daun binahong tidak mempengaruhi jumlah eritrosit pada hewan uji namun peningkatan eritrosit pada kelompok ini diduga disebabkan kondisi dari hewan uji seperti faktor umur, aktivitas tubuh, gizi dan keadaan lingkungan (Triana dan Nurhidayat, 2006).

  Flavonoid dalam ekstrak daun binahong dapat meningkatkan jumlah eritrosit. Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang dapat menangkap radikal bebas dengan jalan menghambat pembelahan sel. Di dalam tubuh radikal bebas tetap diproduksi melalui kegiatan metabolisme sehari-hari. Radikal bebas tersebut bersifat prooksidasi (pemicu oksidasi). Pembentukan prooksidasi normalnya seimbang dengan pembentukkan antioksidan di dalam tubuh. Sel darah merah menghasilkan radikal bebas, sehingga dengan penambahan flavonoid sebagai penangkal radikal bebas, akan mengurangi produksi sel darah merah sehingga agar tetap seimbang antara prooksidasi dengan antioksidan, maka jumlah sel darah merah meningkat (Sundaryono, 2011). Saponin juga dapat meningkatkan eritrosit melalui hemolisis (pemecahan eritrosit), terjadinya hemolisis akan merangsang sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit dalam bentuk retikulosit (pra eritrosit) (Nijveld, 2001; Nadjeeb, 2010; Frandson, 1992).

  Leukosit terlibat dalam pertahanan seluler dan humoral dari zat-zat toksik dan rangsangan infeksi dalam tubuh. Sel darah putih dapat dihitung dengan menggunakan larutan pengencer turk. Larutan turk mengandung larutan gentian violet 1% dalam 1 mL air, asam asetat glacial 1 mL, aquadest ad 100 mL. Larutan gentian violet berfungsi memberikan warna pada inti dari granula leukosit dengan memecah eritrosit dan trombosit (Sundaryono, 2011). Hasil pengukuran jumlah leukosit antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil pengukuran jumlah leukosit pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah pemberian sediaan uji dapat dilihat pada Tabel 8. Data hasil jumlah leukosit terlampir pada Lampiran 9.

  Tabel 7. Hasil pengukuran leukosit pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan 3 3 H-1 H+1 H+7 H+14

kontrol (10 /mm ) 4.52±1645.2 7.62±1248.7 8.60±1200 7.680±1242.2

3 Perlakuan(10 /mm) 5.36±0.551 7.71±0.855 8.07±1236.2 7.93±1150.8 P value 0.897 0.330 0.511 0.750 nilai yang tertera adalah nilai rata ± standar deviasi, n = 10, kelompok kontrol 5 ekor hewan uji dan kelompok perlakuan 5 ekor hewan uji. Tabel 8. Hasil analisis statistik leukosit pada kelompok perlakuan sebelum dan setelah perlakuan 3/ 3 H-1 vs H+1 H-1 vs H+7 H-1 vs H+14

  Leukosit(10 mm ) -3,10±1,23 -3,55±2,51 -3,41±1,87 P value 0,005 0,034 0,015 nilai yang tertera adalah nilai rata ± standar deviasi, n = 10, kelompok kontrol 5 ekor hewan uji dan kelompok perlakuan 5 ekor hewan uji.

  Nilai rataan jumlah leukosit pada H-1 pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing 4,52±1,645dan 5,36±0,551 dimana kisaran

  3

  ini masih normal untuk tikus dewasa, yaitu 5000-12000/mm (Anonim, 2010). Pada uji T berpasangan pada kelompok perlakuan terdapat peningkatan jumlah leukosit secara signifikan (P<0,05). Namun setelah penghitungan secara statistik menggunakan uji T tidak berpasangan menunjukan tidak terdapat perbedaan antara kelompok kontrol dan perlakuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun binahong tidak mempengaruhi jumlah leukosit pada hewan uji.

  Peningkatan leukosit pada penelitian ini diduga karena luka sayatan pada ekor tikus dapat menyebabkan inflamasi sehingga dapat meningkatkan leukosit, juga karena infeksi cacing jenis trematoda yang di temukan pada saat uji histopatologi. Perubahan jumlah leukosit dapat dipengaruhi oleh keadaan fisiologi maupun patologis dari hewan uji. Pengaruh fisiologi dapat berupa aktivitas otot, rangsangan ketakutan dan gangguan emosional. Sedangkan pengaruh patologis bisa berupa rangsangan terhadap suatu penyakit (Ganong, 1999)

  4. Uji Biokimia Darah Pada pengukuran aktivitas enzim GPT digunakan sampel plasma.

  Darah diambil dengan cara melukai pembuluh vena bagian ekor tikus, kemudian ditampung ke dalam tabung reaksi yang telah berisi antikoagulan EDTA dan sebelumnya telah dikalibrasi sebanyak 2 mL, kemudian di sentrifuge dengan kesepatan 3000 rpm selama 10 menit. Reaksi yang enzimatik GPT adalah sebagai berikut: L-alanin + 2-Oksoglutarat L-Glutamat + Piruvat

  ↔

  Piruvat + NADH + H D-Laktat + NAD

  ↔

  GPT yang terdapat dalam plasma akan bereaksi dengan L-alanin dan 2-Oksoglutarat dalam larutan buffer. GPT akan mengkatalisis pemindahan gugus amino yang ada dalam L-alanin ke 2-oksoglutarat sehingga akan menghasilkan piruvat dan L-Glutamat. 2-oksoglutarat adalah enzim yang berperan sebagai sepasang donor dan akseptor pada semua reaksi transfer amino. Piruvat yang dihasilkan akan bereaksi dengan NADH dengan bantuan enzim LDH (lactat dehidrogenase)

  • dan akan menghasilkan D-Laktat dengan NAD . NADH merupakan enzim yang dapat di baca pada panjang gelombang 340 nm. Pembacaan absorbansi pada sisa NADH yang tidak bereaksi. Absorbansi yang kecil menandakan peningkatan NADH (Moss et al, 1996)

  Hasil pengukuran enzim GPT antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil pengukuran SGPT pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah pemberian sediaan uji dapat dilihat pada Tabel 10. Data hasil pengukuran SGPT terlampir dalam Lampiran 10.

  Tabel 9. Hasil pengukuran GPT pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan H-1 H+1 H+7 H+14 kontrol (U/L) 21,14±2,79 29,9±5,46 35,26±14,59 20,7±4,17

Perlakuan (U/L) 33,3±21,96 38,5±17,81 28,56±5,08 28,98±8,13

P value 0,285 0,331 0,361 0,078 nilai yang tertera adalah nilai rata ± standar deviasi, n = 10, kelompok kontrol 5 ekor hewan uji dan kelompok perlakuan 5 ekor hewan uji. Tabel 10. Hasil pengukuran GPT pada kelompok perlakuan sebelum dan setelah perlakuan H-1 vs H+1 H-1 vs H+7 H-1 vs H+14

  SGPT -5,22±20,31 4,74±24,47 4,32±24,60 P value 0,596 0,687 0,715 nilai yang tertera adalah nilai rata ± standar deviasi, n = 10, kelompok kontrol 5 ekor hewan uji dan kelompok perlakuan 5 ekor hewan uji.

  Plasma darah merupakan larutan berair yang mengandung protein plasma (albumin dan fibrinogen) sebanyak 7%, garam anorganik 0,9% dan sebanyak 10% senyawa organik (asam amino, lipoprotein, vitamin, hormon dsb).

  Rataan nilai GPT hewan uji kelompok kontrol dan perlakuan sebelum perlakuan (H-1) masing-masing adalah 21,14 U/L dan 33,3 U/L. Nilai rataan ini masih normal seperti yang disebutkan Fukuda (2004) nilai GPT pada tikus wistar betina galur wistar berumur 2 bulan sampai 6 bulan adalah 18,7-31,6 U/L. Hasil uji statistik T tidak berpasangan pada H+1 dan H+7 kelompok kontol dapat dilihat terjadi peningkatan nilai rataan aktivitas enzim GPT, sedangkan pada H+14 aktivitas enzim GPT menurun. Sedangkan pada kelompok perlakuan H+1 terjadi peningkatan nilai rataan GPT dan pada H+7 terlihat adanya penurunan dan nilainya tetap pada H+14. Meskipun terdapat kenaikan dan penurunan nilai rataan GPT, nilai P masih menunjukan angka > 0,05. Pada uji T berpasangan juga menunjukan tidak terdapat perubahan aktivitas enzim yang signifikan (p>0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan dan penurunan nilai GPT bukan akibat pemberian ekstrak etanol daun binahong.

  Pada pengukuran aktivitas enzim GOT digunakan sampel plasma. Reaksi enzimatik GOT adalah sebagai berikut : L-aspartat + 2-Oksoglutarat L-Glutamat + Oksaloasetat

  ↔

  • Oksaloasetat + NADH + H L-Malat + NAD
  • Enzim GOT yang terdapat dalam plasma akan bereaksi dengan L- aspartat dan 2-oksoglutarat dalam larutan buffer. GOT akan mengkatalisis pemindahan gugus amino yang ada dalam L-aspartat ke 2-oksoglutarat sehingga akan menghasilkan oksaloasetat dan L- glutamat. 2-oksoglutarat berperan sebagai sepasang donor dan akseptor pada semua reaksi transfer amino. oksaloasetat yang dihasilkan akan bereaksi dengan NADH dengan bantuan enzim MDH (malate

  ↔

  • dehidrogenase ) akan menghasilkan L-Malat dengan NAD . NADH

  merupakan enzim yang dapat di baca pada panjang gelombang 340 nm. Pembacaan absorbansi pada sisa NADH yang tidak bereaksi (Moss et al, 1996).

  Hasil pengukuran enzim GOT antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil pengukuran GOT pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah pemberian sediaan uji dapat dilihat pada Tabel 12. Data hasil pengukuran enzim GOT terlampir pada Lampiran 11.

  Tabel 11. Hasil pengukuran enzim GOT pada kelompok kontrol dan perlakuan Parameter H-1 H+1 H+7 H+14

kontrol (U/L) 66,44±14,8 98,16±1,19 139,8±41,911 94,78±18,12

Perlakuan (U/L) 85,94±24,11 118,2±40,81 07,3±21,77 99,26±23,32

P value 0,162 0,337 0,163 0,743 nilai yang tertera adalah nilai rata ± standar deviasi, n = 10, kelompok kontrol 5 ekor hewan uji dan kelompok perlakuan 5 ekor hewan uji. Tabel 12. Hasil statistik enzim GOT pada kelompok perlakuan sebelum dan setelah perlakuan Waktu H-1 vs H+1 H-1 vs H+7 H-1 vs H+14

  GOT -3,25±53,30 -21,44±27,61 -13,32±39,28 P value 0,244 0,158 0,491 nilai yang tertera adalah nilai rata ± standar deviasi, n = 10, kelompok kontrol 5 ekor hewan uji dan kelompok perlakuan 5 ekor hewan uji.

  Nilai rataan GOT hewan uji pada H-1 adalah 66,44 U/L untuk kelompok kontrol dan 85,94 U/L untuk kelompok perlakuan. Menurut Fukuda (2004) nilai normal aktivitas enzim GOT pada tikus betina galur wistar yang berumur 2-6 bulan berkisar antara 51,9-97,5 U/L. Sehingga nilai GOT masih dikatakan normal. Pada H+1 dan H+7 kelompok kontrol terjadi peningkatan aktivitas enzim GOT dan terjadi penurunan pada H+14. Sedangkan pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan aktivitas GOT pada H+1 dan penurunan pada H+7 dan H+14. Meskipun terjadi peningkatan dan penurunan aktivitas enzim GOT, namun menurut perhitungan statistik hal tersebut bukan disebabkan oleh ekstrak etanol daun binahong (p>0,05), karena pada kelompok kontrol pun menunjukan hal serupa dan hasil uji T berpasangan menunjukan tidak terdapat perubahan aktivitas enzim GOT yang signifikan pada kelompok perlakuan baik sebelum perlakuan maupun setelah perlakuan (P>0,05). Peningkatan dan penurunan aktivitas enzim GPT dan GOT dapat disebabkan oleh bobot badan hewan uji, terjadinya hemolisis, reaksi biokimia, fisika atau kimia, perbedaan fisiologi dan makro enzim dari individu hewan uji dan stress akibat pencekokkan sediaan uji (Girindra, 1989). Degenerasi melemak yang terlihat pada hasil histopatologi bukan disebabkan karena nilai GOT dan GPT. Karena nilai GOT dan GPT menurut Sass (2005) tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap terjadinnya degenerasi melemak namun yang berpengaruh adalah rasio GOT terhadap GPT.

  Urea merupakan zat hasil metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh, sehingga harus dibuang oleh ginjal dalam bentuk urin. Kerusakan pada ginjal, akan menyebabkan penumpukan urea di dalam darah. Reaksi enzimatik urea adalah sebagai berikut:

  Urea + 2 H

2 O +

  2 NH

  4 + 2 CO

  

3

  2-Oksoglutarat + NH

  4 + H

  2 O

  • NADH + →L-Glutamat + NAD Urea ditambah dengan air membentuk 2 amonium dan karbondioksida dengan bantuan enzim urease yang ada dalam plasma. Amonium akan bereaksi dengan 2-oksoglutarat dan NADH dengan bantuan enzim GLDH (Glutamat Dehidrogenase) menjadi L-glutamat,
  • NAD serta air. Yang di ukur adalah NADH yang akan berubah +.

  menjadi NAD Semakin rendah nilai absorbansi maka semakin banyak NADH yang digunakan untuk reaksi. Berarti kadar urea semakin tinggi.

  Hasil pengukuran enzim urea antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil pengukuran urea pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah pemberian sediaan uji dapat dilihat pada Tabel 14. Data hasil pengukuran urea terlampir dalam Lampiran 12.

  Tabel 13. Hasil pengukuran urea darah pada kelompok kontrol dan perlakuan Parameter H-1 H+1 H+7 H+14

kontrol (mg/dL) 34,80±9,88 31,20±3,67 31,40±3,91 28,20±5,54

Perlakuan (mg/dL) 36,80±14,20 43,40±29,33 27,60±4,00 34,00±5,03

P value 0,803 0,388 0,329 0,862 nilai yang tertera adalah nilai rata ± standar deviasi, n = 10, kelompok kontrol 5 ekor hewan uji dan kelompok perlakuan 5 ekor hewan uji Tabel 14. Hasil hasil analisis statistik urea darah pada kelompok perlakuan sebelum dan setelah perlakuan Waktu H-1 vs H+1 H-1 vs H+7 H-1 vs H+14

  Urea -6,60±24,52 9,20±12,15 2,80±15,03 P value 0,580 0,166 0,699 nilai yang tertera adalah nilai rata ± standar deviasi, n = 10, kelompok kontrol 5 ekor hewan uji dan kelompok perlakuan 5 ekor hewan uji

  Kadar urea tikus betina galur wistar berumur 2-6 bulan menurut Fukuda (2004) adalah 17-19,7 mg/dL. Kadar rataan urea hewan uji pada H-1 adalah 34,80 -38,80 mg/dL nilai ini lebih besar dari normal.

  Pada kelompok kontrol terlihat tidak terdapat kenaikan kadar urea darah secara bermakna, namun pada kelompok perlakuan terdapat peningkatan rataan kadar urea darah pada H+1 dan penurunan di H+7 dan H+14 namun tidak bermakna. Hasil uji T berpasangan tidak ada perbedaan kadar urea yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (p>0,05), sehingga peningkatan kadar urea ini bukan disebabkan oleh pemberian ekstrak etanol daun binahong. Uji T berpasangan (P>0,05) yang berarti bahwa ekstrak etanol daun binahong tidak mempengaruhi perubahan nilai urea darah hewan uji pada sebelum dan setelah perlakuan.

  Peningkatan urea di duga dari pakan hewan uji yang mengandung banyak protein, sehingga meningkatkan kadar urea (lihat Tabel 4). Protein yang dibutuhkan maupun yang tidak dibutuhkan tubuh akan dimetabolisme oleh hati. Protein yang tidak dibutuhkan oleh tubuh akan dipecah menjadi asam amino. Asam amino akan dipecah menjadi urea. Asam amino yang tinggi karena konsumsi protein tinggi maka kadar urea yang diekskresikan akan meningkatkan (Almatsier, 2006).

  5. Bobot Organ Organ hati dan ginjal merupakan organ penting dalam metabolisme, detoksifikasi, penyimpanan, ekskresi xenobiotik dan metabolitnya juga. Organ ini rentan terhadap kerusakan akibat metabolit yang bersifat toksik, sehingga organ hati dan ginjal yang dipilih untuk uji toksisitas (Brzoska et al., 2003). Hewan uji dibunuh dengan cara dimasukan ke dalam bejana yang telah telah dijenuhi eter, kemudian hewan uji dibedah mulai dari bagian perut sampai uterus menggunakan pisau steril, organ hati dan ginjal diambil kemudian dibersihkan dengan NaCL 0.9% selanjutnya ditiriskan diatas kertas kertas saring, kemudian organ ditimbang menggunakan timbangan analitik

  

Shimadzu . Data hasil penimbangan bobot organ hati terlampir dalam

Lampiran 13.

  

Tabel 15. Bobot organ hati tikus pada kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan Bobot organ (gram) Organ

  P value Kontrol Perlakuan

Hati (g) 6,52±0,35 6,58±1.09 0,100

Berat relatif (%) 3,89 3,49

nilai yang tertera adalah nilai rata ± standar deviasi, n = 10, kelompok kontrol 5

ekor hewan uji dan kelompok perlakuan 5 ekor hewan uji.

  Rataan bobot organ hati pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan adalah 6,52 gram dan 6,58 gram dengan bobot relatif hati kelompok kontrol adalah 3,89% dan bobot relatif kelompok perlakuan adalah 3,49%. Menurut Popp (1991) berat relatif normal organ hati adalah 3,5%- 4,0%, sehingga berat organ hati kelompok perlakuan masih dalam kisaran normal. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun binahong tidak mempengaruhi bobot organ hati. Hasil uji T juga menunjukan (P>0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan bobot organ yang signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Hal ini sejalan dengan penelitian Purwani et al (2013) yang menyatakan bahwa flavonoid tidak mempengaruhi bobot organ hati mencit.

  Penurunan berat hati dapat terjadi karena gangguan hepatik akut dan kronik. Peningkatan berat hati bisa bersifat adaptif maupun toksik, tetapi umumnya bersifat adaptif. Peningkatan berat hati yang bersifat adaptif seperti proliferasi retikulum endoplasma halus, peningkatan kandungan sitokrom P-450, peningkatan metabolisme obat. Selain itu peningkatan berat hati yang bersifat toksik, seperti hepatotoksikan yang akan mengganggu struktur membran retikulum endoplasma, menurunkan kandungan sitokrom P-450 dan menurunkan aktivitas metabolisme obat (Popp, 1991 ;Lu, 1995). Data hasil penimbangan bobot organ ginjal terlampir pada Lampiran 13.

  Tabel 16. Bobot organ ginjal tikus pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan Bobot organ (gram) Ginjal P value

  Kontrol Perlakuan Kanan 0,55±0,06 0,57±0,05 0,647 Berat relatif (%) 0,32 0,30 Kiri 0,52±0.08 0,56±0.05 0,411 Berat relatif (%) 0,30 0,29 nilai yang tertera adalah nilai rata ± standar deviasi, n = 10, kelompok kontrol 5 ekor hewan uji dan kelompok perlakuan 5 ekor hewan uji.

  Rataan bobot organ ginjal kanan dan kiri dan pada hewan uji 0,55±0,06 dan 0,52±0,08 dengan berat relatif 0,32 % dan 0,30 % untuk kelompok kontrol dan 0,57±0.05 dan 0,56±0,05 dengan berat relatif

  0,30 % dan 0,29 % untuk kelompok perlakuan, hal ini sejalan dengan Sihombing (2011) melalui penelitiannya menyebutkan bahwa rataan bobot organ ginjal tikus betina yang berumur 3 bulan adalah 0,520 gram.Hasil perhitungan statistik menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan rataan berat organ ginjal kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (P>0,05). Lu (1995) menyebutkan bahwa bobot organ ginjal merupakan indikator nefrotoksiksisistas yang paling peka, sehingga meskipun nilai urea darah hewan uji lebih besar dari normal (dapat dilihat pada Tabel 13), namun bobot organ dan tikus masih normal dan pada uji histopatologi pun menunjukan tidak ditemukan perubahan patologi maupun morfologi, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak etanol daun binahong masih aman dan tidak mempengaruhi bobot organ ginjal (Lu, 1995).

  6. Histopatologi Pemeriksaan histopatologi hati dilakukan terhadap 6 hewan uji, dimana 3 ekor hewan uji yang termasuk pada kelompok kontrol dan 3 ekor kelompok perlakuan. Hasil histopato;ogi terlampir pada Lampiran 14.

  Tabel 17. Tabel hasil uji histopatologi organ hati dan ginjal hewan uji Kode hati ginjal Kontrol

F6 DM++ TAP

  F7 F9 DM+ TAP perlakuan

DM+ TAP

  F1 F4 DM++ TAP F5 DM+ TAP

  

Ket: F6, F7 dan F8: kelompok kontrol, F1, F4 dan F5: Kelompok perlakuan,

TAP: Tidak ada perubahan patologi, DM: Degenerasi Melemak

  Pembacaan secara mikroskopik dilakukan pada tikus nomor 4 yang mengalami pembentukan degenerasi melemak cukup parah. Setelah pemberian ekstrak etanol daun binahong dosis 2000 mg/kg BB secara peroral menunjukkan adanya degenasi melemak pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Degenerasi melemak adalah penimbunan lemak secara abnormal pada sel parenkim yang terdapat dalam sitoplasma sel. Degenerasi melemak ditandai dengan adanya vakuola lemak atau air (hidrofik) dalam sitoplasma dengan ukuran yang besar maupun kecil, sehingga inti sel terdesak ke tepi sitoplasma vakuola lemak yang dapat dilihat secara mikroskopik (Robbins dan Kumar, 1992). Degenerasi melemak terjadi karena adanya gangguan hepatosit (diet atau toksin) yang menyebabkan ketidakseimbangan kecepatan penyerapan asam lemak dan sekresinya sebagai VLDL (Very Low Density Lipoprotein ) dalam sirkulasi sistemik. Terhambatnya pembentukkan lipoprotein ini menyebabkan akumulasi trigliserida dalam parenkim hati yang menyebabkan degenerasi melemak (Popp, 1991). Penyebab degenerasi melemak adalah toksin, malnutrisi protein, diabetes mellitus, obesitas dan anoksia (Suhita, 2013).

  Gambar 5. Struktur histopatologi hati normal (kiri) Struktir histopatologi hati Degenerasi melemak (kanan) yang ditandai dengan adanya vakuola –vakuola berbagai ukuran dengan batas jelas sitoplasma dan tampak beberapa inti terdesak ke tepi.

  Degenerasi melemak terjadi bisa karena induksi alkohol dan tanpa diinduksi alkohol. Ciri-ciri degenerasi melemak yang diinduksi alkohol gejala dan tanda berupa asimptomatik, perbandingan GOT dengan GPT adalah >2 (Marsano et al, 2003). Degenerasi melemak tanpa diinduksi alkohol dapat disebabkan karena resisten insulin, gangguan metabolisme, nutrisi, penggunaan obat dan toksin (Sass et al, 2005). Menurut Sass et al pada tahun 2005, penyakit degenerasi melemak biasanya tidak disertai gejala, sehingga pada pengamatan efek toksik tidak ditemukan gejala yang signifikan (Tabel 2).

  Flavonoid sebagai antioksidan yang dapat mengurangi oksidasi kolesterol LDL. Saponin dapat menurunkan kolesterol hati dan menurunkan trigliserida sehingga dapat mencegah terjadinya hiperkolesterolemia yang dapat menyebabkan hiperlipidemia yang merupakan salah satu penyebab terjadinya degenerasi melemak pada hati tanpa diinduksi alkohol (Knektm, 2007; Matsui, 2009). Ekstrak etanol daun binahong mengandung senyawa flavonoid dan saponin. Bedasarkan penelitian sebelumnya, senyawa tersebut seharusnya dapat menurunkan kolesterol darah sehingga tidak menyebabkan degenerasi melemak, tetapi dalam penelitian ini pada kelompok perlakuan ditemukan adanya pembentukan degenerasi melemak. Ditemukannya degenerasi melemak ini diduga sebelum dilakukannya penelitian, hewan uji telah menderita degenerasi melemak karena perbandingan GOT terhadap GPT >2 mulai dari sebelum perlakuan sampai H+14. Degenerasi melemak terjadi karena pemberian makan dan minum yang tidak teratur, kondisi kandang yang kurang ideal, faktor stress tikus, pengaruh zat atau penyakit lain, serta faktor internal lain seperti daya tahan tubuh dan kerentanan tikus terhadap pengaruh luar (Bhara, 2013).

  Organ hati pada kelompok perlakuan no 6 dan kelompok kontrol no 5 ditemukan flek putih yang mengindikasikan infeksi cacing jenis trematoda (caing daun) hati, namun kelompok cacingnya belum bisa dipastikan. Salah satu jenis cacing trematoda hati adalah Fasciola a Penyebab infeksi Fasciola hepatica ini diduga karena

  hepatic

  pengkonsumsian air minum yang tercemar cacing tersebut, sehingga menimbulkan infeksi dan menyebabkan jumlah sel darah putih meningkat (Tabel 8). Cacing terematoda adalah cacing yang secara morfologi berbentuk pipih seperti daun. Salah satu jenis cacing trematoda adalah trematoda hati (Fasciola hepatica). Cacing ini dikeluarkan melalui empedu ke dalam tinja dalam keadaan belum matang. Pematangan telur terjadi dalam air selama 9-15 hari dan berisis mirasidium. Telur akan menetas dan mirasidium keluar mencari keong air. Keong air mengeluarkan serkaria dan berenang mencari hospes perantara kedua yaitu tumbuh-tumbuhan air dan membentuk kista pada permukaan tumbuhan air. Bila tertelan, metasekaria menetas dalam usus halus, menembus dinding usus dan bermigrasi dalam ruang peritoneum hingga menembus hati, larva masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa (Sutanto et al, 2008). Sehingga infeksi yang terjadi pada hewan uji tidak disebabkan karena pemberian ekstrak etanol daun binahong tetapi diduga disebabkan karena air minum yang tercemar.

  Gambar 6.Struktur histopatologi ginjal normal

  Hasil histopatologi organ ginjal pada kelompok kontrol maupun perlakuan tidak ditemukan perubahan patologi seperti nekrosis ataupun degenarasi melemak. Hal ini menunnjukan bahwa pemberian ekstrak etanol daun binahong tidak mempengaruhi fungsi ginjal dan masih aman digunakan sampai dosis 2000 mg/kg BB. Ginjal merupakan organ tubuh yang vital berfungsi mengeluarkan sisa-sisa metabolisme. Kerusakan ginjal dapat dilihat berdasarkan perubahan struktur histologi. Perubahan struktur histologi dapat dipengaruhi oleh jumlah senyawa yang masuk ke dalam tubuh. Selain itu ada faktor lain yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal yaitu kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan xenobiotik di dalam sel. Ginjal akan mengeluarkan sisa metabolisme dalam bentuk urin, zat kimia terlebih dahulu diakumulasikan dalam tubulus proksimal untuk dikeluarkan dari darah ke urin. Pada proses reabsorpsi senyawa yang tidak dibutuhkan tubuh akan dibuang ke luar tubuhdan senyawa yang dibutuhkan tubuh termasuk zat-zat toksik akan diserap kembali melalui sel epitel tubulus dalam konsentrasi tinggi akibatnya akan terjadi pemekatan dan zat-zat toksik ini akan terakumulasi di ginjal dan menyebabkan kerusakan ginjal (Yuanita, 2008).