BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - IKA AFRIATIN BAB IV

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengumpulan bahan dan pemeriksaan makroskopik Salah satu tanaman obat yang digunakan masyarakat Indonesia untuk

  mengobati diare adalah daun salam. Penggunaan daun salam ini sebagai obat diare oleh masyarakat masih bersifat turun temurun atau secara tradisional berdasarkan pengalaman. Penelitian ini mencoba membuktikan efek antidiare daun salam yang dibuat dalam bentuk ekstrak. Daun salam ini diperoleh dari kebun masyarakat Papringan Banyumas Jawa Tengah. Tanaman ini yang digunakan dalam penelitian adalah bagian daun yang sudah kering, lalu dibuat serbuk dengan menggunakan mesin. Tujuan penyerbukan ini adalah untuk meningkatkan luas permuakaan simplisia yang nantinya akan memudahkan larutan penyari untuk menyari zat-zat aktif yang berbeda dalam simplisia karena interaksi larutan penyari dengan luas permukaan semakin luas. Pemeriksaan makroskopik dilakukan untuk mengetahui identitas sampel bahan yang digunakan tanpa menggunakan alat bantu. Pemeriksaan berupa uji organoleptis diantaranya adalah bentuk, bau, rasa dan warna.

Tabel 4.1. Hasil pemeriksaan simplisia daun salam

  

Bentuk Bau Rasa Warna

Daun Salam Khas Salam Pahit Hijau Kehitaman

  Setelah pemeriksaa makroskopik selanjutnya dilakukan determinasi. Determinasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kebenaran dari identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar benar tanaman yang diinginkan. Dengan hal tersebut kesalahan dalam pengumpulan bahan yang akan diteliti dapat dihindari. Tanaman daun salam yang digunakan dalam penelitian ini dideterminasi di Laboratrium Taksonomi Tumbuhan, Fakultas Biologi, Universitas Jendral Soedirman pada tanggal. Hasil determinasi menyatakan benar bahwa tanaman tersebut adalah tanaman daun salam. Hasil determiasi dapat dilihat pada lampiran 1.

  B. Pembuatan ekstrak etanol daun salam Pembuatan ekstrak daun salam dilakukan dengan metode maserasi.

  Metode ini dipilih karena pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan serta baik untuk senyawa yang tidak tahan pemanasan. Proses maserasi ini menggunakan larutan penyari etanol 96% karena senyawa tanin yang terdapat dalam daun yang terdapat dalam daun salam dapat tertarik. Pelarut etanol 96% suatu pelarut yang tidak berwarna (bening) akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif yang akan larut (warna larutan penyari menjadi hijau kehitaman) dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan diluar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke luar dalam waktu 3 hari. Penggunaan pelarut etanol 96% ini juga bertujuan untuk zat aktif yang diharapkan dapat tersari secara maksimal dan sesuai dengan sifat zat aktif tersebut serta untuk menghasilkan ekstrak yang kental (murni) sehingga mempermudah untuk proses identifikasi. Setelah proses maserasi selama 3 hari lalu dilanjutkan dengan proses remaserasi, remaserasi sendiri adalah pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian maserat pertama dan seterusnya. Proses maserasi dan remaserasi tersebut menghasilkan maserat yang akan diuapkan menggunakan rotary evapolator dengan suhu 78°C, karena pada suhu tersebut pelarut akan menguap dan dihasilkan ekstrak kental. Setelah proses rotary evapolator, penguapan dilanjutkan menggunakan waterbath. Berdasarkan 750 gram daun salam diperoleh total esktrak kental sebanyak 90,4 gram. Secara orgaoleptis ekstrak daun salam memiliki bentuk kental, warna hijau kehitaman, rasa pahit, dan bau khas. Untuk mencegah kerusakan senyawa aktif dan untuk menghindari kotaminasi mikroba, ekstrak daun salam disimpan di dalam lemari es dengan suhu 2-8°C.

  C. Pembuatan suspensi ekstrak daun salam

  Suspensi merupakan suatu sediaan cair yang terdapat partikel obat yang halus terdispersi secara homogen pada cairan pembawanya. Hambatan utama dalam memformulasian suspensi adalah kestabilan fisiknya karena masalah yang sering terjadi diantaranya kecepatan sedimentasi, ketidak homogenan, pendispersian kembali dan viskositasnya. Oleh karena itu diperlukan penggunaan suspending agent untuk meningkatkan kestabilan fisik suspensi, mencegah penurunan partikel dan mencegah penggumpalan resin dan bahan berlemak. Suspending agent bekerja dengan meningkatkan kekentalan, kekentalan yang berlebih menyebabkan suspensi sulit terkonstitusi dengan pengocokan dan sulit untuk dituang. Pemilihan suspending agent didasarkan pada karakteristik suspending agent yaitu dapat meningkatkan viskositas untuk membentuk suspensi yang ideal, stabil pada pH sediaan, bersifat kompatibel dengan eksipien lain dan tidak toksik. Formulasi suspensi ekstrak daun salam dilakukan dengan bahan pensuspensinya adalah natrium karboksimetilselulosa (NaCMC). Natrium karboksimetilselulosa merupakan suspending agent golongan selulosa. Penambahan Na CMC berfungsi sebagai bahan pengental, dengan tujuan untuk membentuk sistem dispersi koloid dan meningkatkan viskositas. Dengan adanya Na-CMC ini maka partikel-partikel yang tersuspensi akan terperangkap dalam sistem tersebut atau tetap tinggal ditempatnya dan tidak mengendap oleh pengaruh gaya gravitasi. Sediaan suspensi ini dibuat dengan beberapa formulasi diantaranya adalah suspensi Na CMC sebagai kontrol negatif, suspensi ekstrak daun salam 5% formulasi I, suspensi ekstrak daun salam 10% sebagai formulasi II, suspensi ekstrak daun salam 15% sebagai formulasi III dan suspensi loperamide HCL sebagai sebagai kontrol positif. Perbedaan konsentrasi ekstrak daun salam yang ditambahkan dalam suspensi meghasilkan perbedaan warna fisik suspensi.

D. Penetapan Kadar Tanin

  Tanin merupakan zat organik yang sangat kompleks dan terdiri dari senyawa fenolik yang banyak terdapat pada bermacam-macam tumbuhan. Pada umumnya tanin tesebar hampir pada seluruh bagian tumbuhan seperti bagian kulit kayu, batang, biji, daun, dan buah (Sajaratud, 2013). Tanin dapat mengurangi intensitas diare dengan cara menciutkan selaput lendir usus dan mengecilkan pori sehingga akan menghambat sekresi cairan dan elektrolit (Tjay dan Rahardja, 2002). Selain itu, sifat adstringens tanin akan membuat usus halus lebih tahan (resisten) terhadap rangsangan senyawa kimia yang mengakibatkan diare, toksin bakteri dan induksi diare oleh castor oil (Kumar, 1983). Tujuan dilakukan penelitian penetapan kadar tanin yaitu untuk mengetahui adanya kandungan senyawa tanin pada ekstrak daun salam. Penetapan kadar tanin dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV- Vis yaitu dengan cara mengukur nilai absorbansinya. Absorbansi sebagai analisa kuantitatif karena untuk menentukan kadar dari suatu senyawa tanin yang dilakukan berdasarkan Hukum Lambert-Beer. Prinsip pada senyawa tanin ini menggunakan metode kolorimetri. Prinsip yaitu reaksi reduksi senyawa besi (III) menjadi senyawa besi (II) oleh tanin membentuk warna biru-hitam.

  Reaksi yang terdiri adalah sebagai berikut :

  3+ 2+

  Fe + tanin Fe

  2+

  Fe + K

3 Fe(CN)

  6

  3KF e [Fe(CN)

  6 ]

  Sebelum melakukan penetapan kadar tanin sampel, maka terlebih dahulu melakukan penetapan panjang gelombang maksimum. Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi kesalahan pembacaan serapan seminimal mungkin, karena pengukuran pada panjang gelombang serapan maksimum akan menghasilkan serapan maksimum pula. Pada penelitian ini dicari serapan maksimum dari 400-800 nm, didapatkan panjang gelombang serapan maksimum dari larutan standar tanin murni adalah 620 nm pada konsentrasi 10 ppm yang dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Spektrum penentuan panjang gelombang maksimum tanin

  Pembuatan larutan asam galat digunakan untuk standar pengukuran kadar tanin. Pembuatan kurva standar asam galat ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi asam galat dan absorbansinya. Dibuat enam konsentrasi dari larutan asam galat tersebut yaitu 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 ppm. Selanjutnya kadar asam galat tersebut diukur serapannya pada panjang gelombang 620 nm. Kemudian dibuat suatu kurva kalibrasi asam galat. Standar yang digunakan pada analisis kandungan pada golongan senyawa tanin adalah asam galat, hal ini karena asam galat bersifat stabil, memiliki sensitivitas yang tinggi, dan harganya cukup terjangkau (Xu dan Chang, 2007 dalam Rahayu dkk., 2015). Hasil kurva baku asam galat untuk tanin dapat dilihat pada gambar 4.2. y = 0,050x + 0,174 2 R = 0,997 i ns rba o Abs Konsentrasi Asam Galat (ppm)

Gambar 4.3 Kurva baku asam galat tanin

  Hasil dari pengukuran absorbansi sejumlah standar asam galat dengan seri konsentrasi 2-12 ppm pada panjang gelombang 620 nm diperoleh a = 0,174; b = 0,050; c = 0,997 dengan persamaan regresi y = 0,050x + 0,174 dengan nilai r = 0,997. Perhitungan terdapat pada Lampiran 6. Nilai ini menunjukkan bahwa absorbansi dengan konsentrasi memberikan hubungan yang linear. Penentuan kadar tanin pada ekstrak etanol daun salam ditentukan dengan absorbansi sampe kurva kalibrasi. Absorbansi diukur dengan tiga kali replikasi pada sampel tersebut. Data absorbansi serta kadar tanin yang diperoleh pada ekstrak etanol daun salam dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Absorbansi kadar tanin

  Sampel Absorbansi Kadar Tanin (%) Replikasi I 0,768 0,1188 Replikasi II 0,717 0,1086 Replikasi III 0,688 0,1028

  Hasil penetapan kadar tanin ekstrak etanol daun salam dengan menggunakan metode spektrofotometer UV-Vis. Karena hasil yang didapatkan terlalu pekat maka untuk memenuhi absorbansi yang baik dilakukan pengenceran dengan cara ambil 1 ml larutan yang telah dibuat kemudian ad 10 ml menggunakan aquabidest kemudian diperoleh hasil yang sudah memenuhi syarat absorbansi yang baik karena pada pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan untuk absorban yang terbaca pada spektrofotometer harusnnya antara 0,2 sampai 0,8 (Abdul., et al 2007). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada setiap replikasi mempunyai nilai absorbansi tidak ada perbedaan yang bermakna sehingga diperoleh nilai rata- rata kadar tanin 0,11006%.

E. Penetapan Kadar Fenol

  Kadar fenol total ditentukan dengan metode Follin-Ciocalteu (Roy dkk., 2009). Standar yang digunakan pada analisis kandungan fenolik adalah asam galat, pemilihan asam galat ini dipilih karena bersifat stabil, memiliki sensitivitas yang tinggi. Penentuan kandungan fenolik total dilakukan pada panjang gelombang 765 nm. Menurut Shahidi dan Marian (1995) dalam Yulia O. (2007) pengujian total fenol bertujuan untuk menentukan total senyawa fennolik yang terkandung didalam sampel ekstrak etanol daun salam.

  Kadar fenol yang diukur tidak sesuai dengan panjang gelombang yang telah ditentukan sebelumnya yaitu 765 nm, maka pada penetapan kadar fenol dilakukan berdasarkan panjang gelombang yang telah ditentukan sebelumnya yaitu 765 nm. Hasil spektrum dapat dilihat pada gambar 4.3.

Gambar 4.4 Spektrum penentuan panjang gelombang maksimum fenol

  Pembuatan kurva standar asam galat sama seperti pada penetapan kadar tanin yang dibuat enam konsentrasi yaitu 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 ppm. Berikutnya diperoleh kurva standar asam galat untk total senyawa fenol diukur pada panjang gelombang 765 nm. Untuk kandungan fenolik dari standar asam galat dapat ditentukan dengan menggunakan metode Follin- Ciocalteau (Xu dan Chang, 2007 dalam Rahayu dkk., 2015). Prinsip dari metode folin-Ciocalteau ini adalah reaksi oksidasi senyawa fenol dalam suasana basa oleh pereaksi folin-Ciocalteau menghasilkan komplek berwarna biru yang memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 760 nm.

  Peningkatan itensitas warna biru akan sebanding dengan jumlah senyawa fenolik yang ada dalam sampel (Blainski et al., 2013).

  Prinsip metode Folin-Ciocalteu adalah oksidasi gugus fenolik hidroksil. Pereaksi ini mengoksidasi fenolat (garam alkali), mereduksi asam heteropoli menjadi suatu kompleks molibdenum-tungsten (Mo-W). Fenolat hanya terdapat pada larutan basa, tetapi pereaksi Folin-Ciocalteu dan produknya tidak stabil pada kondisi basa. Selama reaksi belangsung, gugus fenolik-hidroksil bereaksi dengan pereaksi Folin-Ciocalteu, membentuk kompleks fosfotungstat-fosfomolibdat berwarna biru dengan struktur yang belum diketahui dan dapat dideteksi dengan spektrofotometer. Warna biru yang terbentuk akan semakin pekat setara dengan konsentrasi ion fenolat yang terbentuk, artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli sehingga warna biru yang dihasilkan semakin pekat (Singleton dan Rossi, 1965).

Gambar 4.5 Senyawa fenolik dalam suasana basa (Singleton dan Rossi, 1965)Gambar 4.6 Reaksi senyawa fenol dengan pereaksi Folin-ciocalteu (Singleton dan Rossi, 1965)

  Hasil kurva baku standar asam galat untuk fenol dapat dilihat pada gambar 4.6.

  y = 0,052x + 0,181 2 R = 0,99 i ns rba o Abs

  

Konsentrasi Asam Galat (ppm)

Gambar 4.7 Kurva baku asam galat fenol

  Untuk hasil pengukuran absorbansi standar asam galat dari seri konsentrasi yang telah diukur yaitu 2-10 ppm pada panjang gelombang 765 nm dapat diperoleh a = 0,1814; b = 0,052; c = 0,99 dengan persamaan regresi y = 0,052x+0,181 dan nilai r = 0,99. Perhitungan terdapat pada Lampiran 6. Berdasarkan hasil tersebut menyatakan bahwa hubungan yang linear antara absorbansi dengan konsentrasi. Untuk penetapan total senyawa fenol ekstrak daun salam ditentukan dengan cara absorbansi sampel pada suatu kurva yang dikalibrasi. Berikutnya absorbansi diukur dengan tiga kali replikasi pada sampel tersebut. Data absorbansi serta total senyawa fenol yang didapatkan pada ekstrak etanol daun salam dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Absorbansi total senyawa fenol

  Sampel Absorbansi Kadar Fenol (%) Replikasi I 0,758 0,1109% Replikasi II 0,729 0,1053% Replikasi III 0,697 0,0992%

  Berdasarkan hasil penetapan kadar total senyawa fenol ekstrak etanol daun salam menggunakan metode spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 765 nm. Karena hasil yang terlalu pekat sehingga tidak memenuhi absorbansi yang baik dan kemudian agar memperoleh absorbansi yang baik maka dilakukan pengenceran sama seperrti pada penetapan kadar tanin sebelumnya yaitu dengan cara ambil 1 ml larutan yang telah dibuat kemudian ad 10 ml menggunakan aquabidest kemudian diukur absorbansinya dengan panjang gelombang 765 nm sehingga diperoleh hasil yang memenuhi syarat absorbansi yang baik. Berdasarkan hasil ketiga replikasi mempunyai nilai absorbansi tidak ada perbedaan yang bermakna sehingga diperoleh nilai rata- rata kadar total senyawa fenol 0,1051%. Hasil perhitungan data dapat dilihat pada Lampiran 6.

F. Uji Antidiare pada Tikus

  Uji efek antidiare dilakukan dengan menggunakan hewan coba yaitu tikus. Pemilihan hewan coba tikus dikarenakan banyak keunggulan yang dimiliki oleh tikus sebagai hewan percobaan yaitu memiliki kesamaan fisiologi dengan manusia, siklus hidup relative pendek, jumlah anak perkelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganan (Moriwaki et al., 1994). Pengujian antidiare ini bertujuan untuk mengetahui adanya efek antidiare pada formulasi suspensi ekstrak etanol daun salam yang diinduksi dengan castor oil. Metode yang digunakan dalam pengujian efek antidiare terhadap tikus ini sudah ditelaah dan disetujui oleh panitia Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Jendral Soedirman. Pengujian efek antidiare ekstrak etanol daun salam menggunakan beberapa variasi regimen dosis yang diberikan secara oral yaitu dengan sediaan suspensi berupa dosis 200,400, dan 800mg/kgbb. Variasi regimen dosis yang diberikan bertujuan untuk mengetahui dosis pemberian yang efektif untuk menurunkan diare. Untuk menentukan efek antidiare dilakukan dengan cara mengamati saat mulai terjadinya diare, konsistensi feses dan berat feses yang tidak berbentuk dan berat feses yang tidak berbentuk. Data hasil yang didapatkan dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil aktivitas antidiare suspensi ekstrak etanol daun salam

  Bobot Feses(g) Perlakuan RI RII RIII RIV RV Rata-rata+SD Kelompok I 0,87 0,29 0,52 0,46 0,82 0,592+0,246

  Kelompok II 0,76 0,28 0,49 0,44 0,67 0,528+0,190 Kelompok III 0,44 0,06 0,35 0,35 0,54 0,348+0,179 Kelompok IV 0,88 0,30 0,75 0,60 0,92 0,690+0,251 Kelompok V 0,44 0,02 0,34 0,25 0,52 0,314+0,193

  Keterangan Kelompok I : Suspensi ekstrak etanol daun salam dosis 200 mg/kgbb Kelompok II : Suspensi ekstrak etanol daun salam dosis 400 mg/kgbb Kelompok III : Suspensi ekstrak etanol daun salam dosis 800 mg/kgbb Kelompok IV : Suspensi Na CMC 1% (b/v) Kelompok V : Suspensi Loperamide HCl

  Pada uji aktivitas antidiare dilaksanakan induksi dengan menggunakan castor oil sebagai penginduksi diare karena metabolit aktifnya yaitu asam risinoleat (Gaginella, et al., 1975) yang dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi pada dinding mukosa usus (Lullmann et al., 2005), sehingga dapat menstimulasi pelepasan autocoids dan prostaglandin (Cappasso, 1986). Trigliserida dari asam risinoleat yang terdapat dalam castor oil akan mengalami hidrolisis dalam usus halus oleh lipase pankreas menjadi gliserida dan asam risinoleat (Katzung, 2004). Asam risinoleat yang merupakan metabolit aktif dari castor oil memiliki kemampuan dalam menginduksi terjadinya diare dengan cara menstimulasi aktivitas peristaltik di mukosa intestinal, sehingga akan mengakibatkan perubahan permeabilitas sel mukosa intestinal terhadap cairan dan elektrolit, serta meningkatkan biosintesis prostaglandin (Ammon et al., 1974).

  Berdasarkan dari data yang dianalisis yaitu bobot feses dan perlakuan tiap kelompok. Untuk hasil uji aktivitas antidiare dianalisis normalitasnya menggunkan Kolmorgorov-Smirnov atau Shapiro-Wilk untuk menunjukkan terdistribusi normal atau tidak normal dengan nilai signifikan p>0,05 sehingga syarat dari uji ANOVA dapat dilakukan. Hasil normalitas tersebut diperoleh 0,200 atau nilai signifikan p>0,05 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan artinya normal. Kemudian untuk hasil uji homogenitas menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh yaitu 0,718 atau nilai signifikan p>0,05 artinya tidak ada perbedaan yang signifikan pada uji homogenitas dan dapat diketahui untuk hasil tersebut adalah homogen. Berikutnya dilanjutkan uji ANOVA (One Way Anova) untuk uji aktivitas antidiare menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yaitu 0,054 atau nilai signifikan p>0,05. Artinya tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan satu dengan kelompok perlakuan yang lain. Maka tidak ada pengaruh efek antidiare pada tikus putih. Hasil analisis data dapat dilihat pada Lampiran 11.

  Persentase efek antidiare dihitung dari perhitugan pada (Lampiran 10). Dapat diketahui bahwa untuk Loperamide diperoleh 54,49%; untuk dosis 200 mg/kgBB mempunyai presentasi efek antidiare sebesar 14,20%; untuk dosis 400 mg/kgBB diperoleh presentase efek antidiare sebesar 23,47%; dan untuk dosis 800 mg/kgBB diperoleh presentase efek antidiare sebesar 49,56%.

  Berdasarkan hasil persentase efek antidiare tersebut dapat diketahui bahwa kelompok pembanding menggunkana Loperamide HCl terbukti memiliki efek sebagai antidiare pada tikus putih yang diinduksi castor oil yang artinya paling besar karena mampu mengurangi feses cair yang tidak berbentuk paling besar. Hasil dari data uji aktivitas antidiare tersebut menunjukkan bahwa pada suspensi ekstrak etanol daun salam konsentrasi 15% dosis 800 mg/kgbb tidak berbeda bermakna dengan kelompok kontrol positif sebagai pembanding suspensi Loperamide HCl memiliki efek antagonis terhadap diare yang disebabkan oleh castor oil (Awouters, et al., 1975). Pada suspensi ekstrak daun salam konsentrasi 5% dengan dosis 200 mg/kgbb dan pada suspensi ekstrak daun salam konsentrasi 10% dengan dosis 400 mg/kgbb tidak berbeda bermakna. Untuk hasil uji pada kelompok negatif dengan menggunkan Na CMC 1% (b/v) memiliki feses yang tidak berbentuk (cair) paling banyak dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang lainnya. Hasil perlakuan kelompok dapat diketahui bahwa pada hewan coba kelompok perlakuan dengan suspensi ekstrak daun salam yang memiliki feses yang tidak berbentuk (cair) paling sedikit terdapat pada kelompok perlakuan dengan suspensi ekstrak etanol daun salam konsentrasi 15% dengan dosis 800 mg/kgbb. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi dan semakin besar dosis yang diberikan, maka semakin kecil efek yang dihasilkan karena terjadi suatu hambatan yang lebih lama. Berdasarkan hasil tersebut dapat dihitung prensentase efek antidiare suspensi ekstrak etanol daun salam yang diperoleh pada dosis 800 mg/kgbb adalah 49,56%.

  Hasil dari data uji aktivitas antidiare tersebut menunjukkan bahwa pada suspensi ekstrak etanol daun salam dosis 800 mg/kgBB tidak berbeda bermakna dengan kelompok kontrol positif sebagai pembanding menggunakan suspensi loperamide HCl memiliki efek antagonis terhadap diare yang disebabkan oleh castor oil (Awouters, et.al., 1975). Hal ini sesuai dengan penelitian Anas (2012) bahwa pada dosis 800 mg/kgBB memiliki efek antidiare, karena pada dosis tersebut mampu menghambat pembentukan feses cair dan tidak berbentuk pada tikus jantan yang diinduksi oleh 1,0 ml castro oil. Pada suspensi ekstrak daun salam konsentrasi 5% dosis 200 mg/kgBB dan pada suspensi ekstrak daun salam konsentrasi 10% dosis 400 mg/kgBB tidak berbeda makna. Untuk hasil uji pada kelompok negatif dengan menggunakan suspensi Na CMC memiliki feses yang tidak berbentuk (cair) paling banyak dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. Hasil perlakuan kelompok dapat diketahui bahwa suspensi ekstrak daun salam yang memiliki feses yang tidak berbentuk (cair) paling sedikit terdapat pada suspensi esktrak daun salam dengan dosis 800mg/kgBB. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi dan semakin besar dosis yang diberikan, maka semakin besar efek yang dihasilkan karena terjadi suatu penghambatan yang lebih lama.