4.1. Analisis Sosial 4.1.1 Pengarusutamaan Gender - DOCRPIJM_243e5edf9e_BAB IVBab IV Analisis Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan_fix.pdf

ANALISIS SOSIAL, EKONOMI,

  BAB Dan lingkungan

  IV

4.1. Analisis Sosial

4.1.1 Pengarusutamaan Gender

  Kesetaraan gender adalah kesetaraan porsi antara laki-laki dan perempuan dimana perempuan diangap telah mampu menduduki posisi penting dalam pembangunan sehingga tidak selalu kalah dari laki-laki. Dalam banyak hal, perempuan Indonesia telah mencapai kemajuan pesat, meskipun masih dianggap belum tercapai posisi yang setara dengan kaum laki-laki. Data tujuan ketiga MDGs menunjukkan hal tersebut dengan cukup jelas. Tujuan ini memiliki tiga target. Pertama, menyangkut pendidikan. Untuk hal ini, nampaknya cukup berhasil. Namun, terkait target kedua dan ketiga, yaitu lapangan pekerjaan dan keterwakilan dalam parlemen, kesempatan yang dimiliki perempuan Indonesia masih kurang. Kondisi saat ini semakin banyak banyak anak perempuan yang bersekolah bahkan dapat dikatakan seimbang dengan anak laki-laki. Perkembangan yang terjadi di lapangan saat ini, banyak anak laki-laki memilih untuk putus sekolah dan bekerja demi menyambung hidup keluarganya. Pada MDG’s 2015 disebutkan bahwa jumlah anak putus sekolah tingkat Sekolah Dasar hampir sama antara anak permpuan dan anak laki-laki, namun mulai tingkatan sekolah lanjutan, terlihat bahwa lebih sedikit jumlah anak perempuan yang putus sekolah. Hal ini dikarenakan olah lebih besarnya kesempatan kerja bagi anak laki-laki. Kesenjangan lainnya, anak perempuan sepertinya juga memilih bidang yang berbeda dari anak laki-laki. Hal ini tampak jelas pada murid yang mengambil sekolah kejuruan. Dari semua anak tersebut, anak perempuan jarang memilih sains (science) dan teknologi. Banyak yang memilih sekolah pariwisata. Namun situasinya lebih seimbang bagi mereka yang mengambil sekolah lanjutan umum. Terdapat jumlah yang sama antara anak laki-laki dan perempuan yang mempelajari sains.

  Selain melihat bidang studi yang diambil, anda juga dapat menelaah apa yang terjadi ketika anak perempuan putus sekolah untuk bekerja – dengan melihat berapa banyak yang bekerja di luar rumah atau di luar lahan pertanian. Target Pembangunan Milenium melihat hal ini dengan membandingkan jumlah laki-laki dan perempuan yang bekerja di “pekerjaan upahan non-pertanian”. Jika laki-laki dan perempuan dipekerjakan secara setara di jenis pekerjaan tersebut, perbandingannya haruslah 50%. Namun Proporsi Anak Perempuan dan Anak Laki-Laki di Sekolah-sekolah Lanjutan Kejuruan, 2002/03 dengan Sumber: UNESCO/LIPI, 2005 dan Sumbangan Perempuan dalam Kerja Berupah di Sektor Non-Pertanian Sumber: Sakernas (Berbagai Tahun) 17 anda dapat melihat bahwa angka untuk perempuan hanyalah sekitar 33,5%. Tahun 1998, ketika terjadi krisis ekonomi, banyak laki-laki yang kehilangan pekerjaannya. Jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan perempuan. Namun hal tersebut justru memperburuk kondisi perempuan dimana semakin banyak perempuan yang harus menyambung hidupnya (sembari menunggu suaminya bekerja kembali) dengan upah rendah. Banyaknya buruh pabrik/industri tekstil yang berjenis kelamin perempuan rela dibayar dengan upah sangat rendah. Hal tersebut juga terjadi di pemerintahan, dimana prosentase 30% dijadikan acuan bagi jumlah anggota dalam parlemen. Berdasar pada uraian di atas, pada target 3A MDG’s yaitu Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan, lebih baik pada 2005, dan di semua jenjang pendidikan paling lambat tahun 2015 memiliki 4 (empat) indikator, yaitu:

  Indikator utama adalah rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di pendidikan

  • dasar, lanjutan dan tinggi. Disini Indonesia tampaknya sudah mencapai target, dengan rasio 100% di sekolah dasar, 99,4% di sekolah lanjutan pertama, 100,0% di sekolah lanjutan atas, dan 102,5% di pendidikan tinggi. Indikator kedua adalah rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki untuk usia
  • 15-24 tahun. Disini pun, tampaknya kita telah mencapai target dengan rasio 99,9%. Indikator ketiga adalah sumbangan perempuan dalam kerja berupah di sektor non-
  • pertanian. Disini kita masih jauh dari kesetaraan. Nilainya saat ini hanya 33%. Indikator keempat adalah proporsi perempuan di dalam parlemen, dimana
  • proporsinya saat ini hanya 11,3%

  Berdasarkan data Statistik Kabupaten Jepara Tahun 2015, pada tahun 2015 prosentase penduduk laki0-laki dan perempuan yang tidak sekolah cukup rendah, yaitu 1,95% bagi laki-laki dan 5,70% bagi perempuan. Sedangkan bagi penduduk yang hanya mengenyam pendidikan setara dengan Sekolah Dasar memiliki prosentase paling tinggi, yaitu 35,56% bag laki-laki dan 33,38% bagi perempuan. Hal ini menunjukkan masih sangat rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi hidupnya ke depan. Selain itu juga dikarenakan terbatasnya ekonomi keluarga dimana masih sangat banyak penduduk yang bekerja pada bidang pertanian dan industri terutama industri meubel dan industri tekstil yang mana pada masa sekarang banyak tumbuh di Kabupaten Jepara. Fakta lain ikut membenarkan hal tersebut yaitu prosentase penduduk yang menamatkan pendidikan tingkat perguruan tinggi yang sangat rendah, yaitu hanya 3,33% penduduk laki-laki dan 1,98% penduduk perempuan. Hal tersebut turut mempersulit kaum wanita yang ingin mendapatkan pekerjaan dengan upah yang tinggi mengingat tingkat pendidikan yang rendah. Berikut dapat dilihat prosentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan yang berhasil ditamatkan.

  

TABEL IV.1

Prosentase Penduduk Usia 10 Tahun ke atas menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Jepara Tahun 2014

  

Pendidikan Tertinggi Laki-Laki Perempuan

Tidak Pernah Sekolah 1,95 5,70 Tidak Tamat SD/MI 17,71 19,59 SD/SLB/MI 35,56 33,38 SMP/SMPLB/MTs 24,07 23,35 SMU/SMALB/MA/SMK 16,98 15,37 DI/DII/DIII 0,40 0,73 DIV/S1 dan S2/S3 3,33 1,98

  Sumber: Statistik Daerah Kabupaten Jepara, 2015

  Untuk mengatasi rendahnya tingkat pendidikan tersebut, Pemerintah Kabupaten Jepara berupaya untuk meningkatkan kualitas penduduk baik laki-laki maupun perempuan dari sisi pendidikan dan juga kesetaraan gender. Beberapa program telah tertuang dalam RPJMD Kabupaten Jepara Tahun 2012-2017, antara lain:

  • Program wajib belajar sembilan tahun, dengan indikator:
  • Program pendidikan menengah, dengan indikator:
  • Program pendidikan non formal, dengan indikator:
  • Program peningkatan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan, dengan indikator:
  • Program managemen pelayanan pendidikan
  • Program pelayanan bantuan terhadap pendidikan
  • Program pendidikan keagamaan
  • Program pembinaan seni dan budaya pelajar

  • Program Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender dan Anak • Program Peningkatan Peran Serta dan Kesetaraan Gender Dalam Pembangunan

4.2. Analisis Ekonomi

4.2.1 Kemiskinan

  Pembangunan ekonomi pada dasarnya dalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja, memeratakan distribusi pendapatan rakyat, meningkatkan hubungan ekonomi regional dan melalui pergeseran kegiatan ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Selama sepuluh tahun terakhir terjadi perubahan pada tatanan global dan lokal yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional, dimana krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008, penerapan perdagangan bebas antara China-ASEAN (CAFTA), perubahan sistem pencatatan perdagangan internasional dan meluasnya jasa layanan pasar modal adalah sebagai contoh perubahan yang perlu diadaptasi dalam mekanisme pencatatan statistik nasional. Struktur lapangan usaha di Kabupaten Jepara masih didominasi oleh sektor Industri Pengolahan dimana banyak masyarakat baik dari dalam maupun luar Kabupaten Jepara yang menggantungkan hidpnya dari berbagai macam jenis industri pengolahan yang berdiri di Kabupaten Jepara seperti industri mebel, tekstil, garmen, dan lain sebagainya. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Jepara sendiri pada tahun 2014 mengalami perlambatan dimana menjadi 4,64% sedangkan tahun 2013 sebesar 5,25%.

  Data dari BPS Kab. Jepara tahun 2015 menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan Kabupaten Jepara tahun 2013 mengalami penurunan baik secara prosentase maupun secara jumlah, yaitu 106.900 jiwa pada tahun 2013 dan 107.000 pada tahun 2012 (secara prosentase, tahun 2013 sebesar 9,23% dari seluruh penduduk Kabupaten Jepara). Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan, dimana pada tahun 2013 garis kemiskinan Kabupaten Jepara meningkat menjadi 285.287 rupiah/kapita/bulan dari sebelumnya yaitu sebesar 263.266 rupiah/kapita/bulan. Pada tahun 2013, nilai indeks kedalaman kemiskinan (P1) sebesar 1,12 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 0,94.

  Tingkat kemiskinan di Kabupaten Jepara turut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakat yang dapat dikatakan rendah sehingga akan sulit mendapatkan pekerjaan dengan upah yang tinggi. Meskipun demikian, tingkat kesempatan kerja di Kabupaten Jepara meningkat sebesar 1,09% dibandingkan tahun 2013. Namun ternyata tingkat pengangguran terbuka (TPT) meningkat menjadi 5,09% dari 4,20% di tahun 2013. Hal ini dimungkinkan karena kalahnya daya saing masyarakat Kabupaten Jepara dengan kabupaten lain dalam dunia kerja.

4.2.2 Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur

  Pelaksanaan pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya secara lokasi, besaran kegiatan, dan durasi berdampak terhadap masyarakat, baik dampak langsung maupun tidak langsung. Untuk meminimalisir terjadinya konflik dengan masyarakat penerima dampak maka perlu dilakukan beberapa langkah antisipasi, seperti konsultasi, pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan, serta permukiman kembali. Output kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat. Manfaat tersebut diharapkan minimal dapat terlihat secara kasat mata dan secara sederhana dapat terukur, seperti kemudahan mencapai lokasi pelayanan infrastruktur, waktu tempuh yang menjadi lebih singkat, hingga pengurangan biaya yang harus dikeluarkan oleh penduduk untuk mendapatkan akses pelayanan tersebut. Pembangunan infrastruktur bidang cipta karya bagi masyarakat Kabupaten Jepara sedikit banyak akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik, tentunya dengan pengelolaan dan pemeliharaan yang teratur dan bersih. Pembangunan sarana dan prasarana sanitasi misalnya, akan membawa dampak pada kesehatan masyarakat dan lingkungan. Melalui pembangunan sarana dan prasarana sanitasi ini, masyarakat akan memiliki sistem pembuangan air limbah mulai pembuangan tinja hingga tangki penampungan tinja baik secara pribadi maupun komunal. Hal tersebut juga akan berpengaruh pada kebersihan dan kesehatan lingkungan dimana jika sebelumnya masih ada kejadian BABs, maka diharapkan setelah ada pembangunan tersebut angka BABs akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Pembangunan tangki septik juga diharapkan mampu mengurangi bahkan menghindarkan tanah dan badan air dari pencemaran limbah rumah tangga. Pembangunan sarana dan prasarana air minum yang dikelola baik oleh PDAM ataupun swadaya oleh masyarakat akan berdampak pada bertambahnya ketersediaan air minum bagi masyarakat Kabupaten Jepara sehingga kesehatan air yang diminum akan benar- benar terjaga dari bakteri dan kuman penyebab penyakit. Namun juga harus ada penjagaan pada sumber air baku yang menjadi bahan baku pembuatan air minum tersebut seperti menjaga kelestarian mata air dan alam lingkungan di sekitarnya sehingga pasokan air tanah yang dapat dimanfaatkan tidak akan berkurang jumlahnya. Pembangunan saluran drainase pada lingkungan permukiman dan juga sistem persampahan diharapkan mampu mengatasi musibah-musibah seperti banjir dan berjangkitnya wabah penyakit. Kondisi saluran drainase permukiman yang masih kurang layak baik secara kualitas maupun kuantitas sudah sepatutnya menajdi perhatian instansi terkait dimana akan mengakibatkan genangan dan dapat menjadi banjir jika terjadi hujan dengan intensitas cukup tinggi. Selain itu, permasalahan sampah juga menjadi fokus yang tidak dapat dipandang sebelah mata dimana kondisi sarana dan prasarana serta pelayanan yang diberikan oleh pihak pemerintah dirasa masih belum mampu mengatasi permasalahan yang ada. Dengan adanya penambahan sarana dan prasarana persampahan mulai dari pengadaan tong-tong sampah, pembangunan TPS, penyuluhan terhadap masyarakat akan pentingnya pengurangan sampah yang dibuang diharapkan mampu menjadi pemecah masalah yang selama ini terjadi.

  Permukiman kumuh yang terdapat di Kabupaten Jepara secepatnya harus dibenahi dimana terdapat beberapa aspek yang dirasa dapat menjadi pemecahan permasalahan yang ada, mulai dari pembenahan secara sosial, ekonomi, ataupun secara lingkungan. Kondisi masyarakat dengan tingkat ekonomi yang kurang membuat suatu lingkungan cenderung menjadi kumuh dan tidak terawat sehingga dikhawatirkan menjadi masalah baru bagi pemerintah. Adanya upaya pembenahan lingkungan kawasan kumuh menjadi tolak ukur pokok yang harus dicapai oleh pemerintah dimana kondisi jalan lingkungan, saluran drainase, sarana dan prasarana sanitasi, serta tata kelola persampahan harus dibenahkan satu persatu. Selain itu pemberian lapangan pekerjaan bagi masyarakat juga diharapkan dapat mendongkrak meningkatnya kondisi sosial ekonomi masyarakat sehingga diharapkan akan mampu menimbulkan kepedulian masyarakat terhadap kondisi lingkungan tempat tinggalnya.

4.3. Analisis Lingkungan

  Kajian lingkungan dibutuhkan untuk memastikan bahwa dalam penyusunan RPIJM bidang Cipta Karya oleh pemerintah Kabupaten Jepara telah mengakomodasi prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam aspek lingkungan terkait bidang Cipta Karya mengacu pada UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat tugas dan wewenang pemerintah kabupaten/kota yaitu : a. Menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota.

  b. Menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota.

  c. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal danUKL-UPL.

  d. Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup.

  e. Melaksanakan standar pelayanan minimal Semua kegiatan investasi di bidang ke-ciptakarya-an yang diperkirakan menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup memerlukan kajian lingkungan berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Rencana kegiatan yang wajib AMDAL tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL, maka pihak pemilik kegiatan (pemrakarsa) wajib melaksanakan studi AMDAL. Studi AMDAL akan mengidentifikasi kemungkinan terjadinya dampak penting terhadap lingkungan hidup, baik lingkungan alam maupun sosial di sekitar lokasi kegiatan.

  Sedangkan kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia tetap menyusun kajian lingkungan berupa Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) sebagai upaya dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh pemilik kegiatan (pemrakarsa). Pedoman pelaksanaan UKL-UPL tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup.

  Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL. Sedangkan kegiatan yang telah berjalan dan belum memiliki dokumen pengelolaan lingkungan hidup sehingga dalam operasionalnya menyalahi peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, maka kegiatan tersebut tidak bisa dikenakan kewajiban AMDAL. Untuk kasus seperti ini, kegiatan tersebut dikenakan Audit Lingkungan Hidup Wajib sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 30 tahun

  2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan yang Diwajibkan. Audit Lingkungan Wajib merupakan dokumen lingkungan yang sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali terdapat kondisi-kondisi khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.

  Seluruh program investasi infrastruktur bidang PU/Cipta Karya yang diusulkan oleh Kabupaten/Kota harus sesuai dan memenuhi prinsip-prinsip berikut:

  1. Penilaian lingkungan (environtment assessment) dan rencana mitigasi dampak sub proyek, dirumuskan dalam bentuk :

  • Analisis Mengenai Dampak lingkungan atau AMDAL;
  • Upaya pengelolaan lingkungan –UKL dan upaya pemantauan lingkungan-UPL; atau
  • Standar Operasi Baku-SOP • Tergantung pada kategori dampak sub proyek yang dimaksud.

  2. AMDAL harus dilihat sebagai alat peningkatan kualitas lingkungan Format AMDAL atau UKL/UPL merupakan bagian tidak terpisahkan dari analisis teknis, ekonomi, sosial, kelembagaan dan keuangan sub proyek;

  3. Sejauh mungkin, sub proyek harus menghindari atau meminimalkan dampak negative terhadap lingkungan. Selaras dengan hal tersebut, sub proyek harus dirancang untuk dapat memberikan dampak positif semaksimal mungkin. Sub proyek yang diperkirakan dapat mengakibatkan dampak negative yang besar terhadap lingkungan, dan dampak tersebut tidak dapat ditanggulangi melalui rancangan dan konstruksi sedemikian rupa, harus dilengkapi dengan AMDAL;

  4. Usulan program investasi infrastruktur bidang PU/Cipta karya tidak dapat dipergunakan mendukung kegiatan yang dapat mengakibatkan dampak negative terhadap habitat alamiah, warga terasing dan rentan, wilayah yang dilindungi, alur laut internasional atau kawasan sengketa. Di samping itu dari usulan RPIJM juga tidak membiayai pembelian, produksi atau pengunaan:

  • Bahan-bahan yang merusak ozon, tembakau atau produk-produk tembakau;
  • Asbes. Bahan-bahan yang mengandung unsure asbes;
  • Bahan/material yang termasuk dalam kategori B3 (bahan beracun dan berbahaya). Rencana investasi tidak membiayai kegiatan yang menggunakan, menghasilkan, menyimpan atau mengangkut bahan/material beracun, korosif
atau eksplosif atau bahan/material yang termasuk dalam kategori B3 menurut hukum yang berlaku di Indonesia;

  • Pestisida, herbisida dan insektisida. RPIJM tidak diperuntukan mambiayai kegiatan yang melakukan pengadaan pestisida, herbisida dan insektisida.
  • Pembangunan bendungan. RPIJM bidang infrastruktur PU/Cipta Karya tidak membiayai pembangunan atau rehabilitasi bendungan atau investasi yang mempunyai ketergantungan pada kinerja bendungan yang telah ada ataupun yang sedang dibangun.
  • Kekayaan budaya RPIJM bidang infrastruktur PU/Cipta Karya tidak membiayai kegiatan yang dapat merusak atau menghancurkan kekayaan budaya baik berupa benda dan budaya maupun lokasi yang dianggap sakral atau memiliki nilai spiritual, dan
  • Penebangan kayu. RPIJM bidang infrastruktur PU/Cipta Karya tidak membiayai kegiatan yang terkait dengan kegiatan penebangan kayu atau pengadaan peralatan penebangan kayu.

  Panduan kerangka perlindungan lingkungan dan sosial dalam USDRP dirumuskan berdasarkan sejumlah regulasi terkait yang berlaku antara lain:

  1. Undang-undang (UU) No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan, pasal 5 (1) mengenairencana kegiatan atau pekerjaan yang memungkinkan dapat menimbulkan dampak lingkungan besar dan signifikan harus dilengkapi dengan AMDAL.

  2. Peraturan Pemerintah (PP) No.27/1997 tentang Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pasal 5 (1), AMDAL diperlukan jika proyek tersebut : (i) mempengaruhi sejumlah besar orang, wilayah dan komponen lingkungan; (ii) menimbulkan dampak yang berlangsung kuat, lama, komulatif dan tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible);

  3. Peraturan Pemerintah (PP) No. 27/1999 Pasal 5 (1) criteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup antara lain: jumlah manusia yang terkena dampak, luas wilayah persebaran dampak, intensitas dan lamanya dampak berlangsung, banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak, sifat kumulatif dampak, dan berbalik (revesible) atau tidak berbaliknya dampak. Pasal 11 (1) tentang AMDAL menyatakan bahwa Komisi AMDAL Pusat berwenang menilai hasil AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi unsure-unsur strategis nasional dan/atau berkaitan dengan ketahanan nasional dengan dampak mencakup lebih dari propinsi, terletak di wilayah konflik dengan negara lain, terletak di perairan laut, dan/atau lokasinya mencakup wilayah hokum Negara lain. Pasal 11 (2) menyatakan Komisi AMDAL daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) berwenang menilai AMDAL bagi jenis-jenis usaha dan/atau kegiatan yang berada di luar kriteria di atas;

  4. Sesuai PP 27/1999 tentang AMDAL pasal 33 (3), dalam waktu 30 hari setelah pengumuman proyek, pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk warga yang terkena dampak, LSM setempat, dan pihak lainnya, dapat menyampaikan tanggapan, saran dan keluhan kepada Pemrakarsa kegiatan;

  5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17/2001, tanggal 22 Mei 2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

  6. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 09 tahun 2000 tentang pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);

  7. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.17/KPTS/2003, tanggal 3 Februari 2003, tentang penetapan jenis Usaha dan/atau kegiatan bidang permukiman dan Prasarana Wilayah yang wajib dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL); dan

  8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.86/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan UKL/UPL.

4.3.1 KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS)

  Berdasar pada UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. KLHS perlu diterapkan di dalam RPIJM antara lain karena: 1) RPIJM membutuhkan kajian aspek lingkungan dalam perencanaan pembangunan infrastruktur.

  2) KLHS dijadikan sebagai alat kajian lingkungan dalam RPIJM adalah karena RPIJM bidang Cipta Karya berada pada tataran Kebijakan/Rencana/Program. Dalam hal ini, KLHS menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian, dimana kebijakan, rencana dan/atau program menjadi garda depan dalam menyaring kegiatan pembangunan yang berpotensi mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup Tahap ke-2 setelah penapisan terdapat dua kegiatan. Jika melalui proses penapisan di atas tidak teridentifikasi bahwa rencana/program dalam RPIJM tidak berpengaruh terhadap kriteria penapisan di atas maka berdasarkan Permen Lingkungan Hidup No. 9/2011 tentang Pedoman Umum KLHS, Tim Satgas RPIJM Kabupaten/Kota dapat menyertakan Surat Pernyataan bahwa KLHS tidak perlu dilaksanakan, dengan ditandatangani oleh Ketua Satgas RPIJM dengan persetujuan Kepala BLH, dan dijadikan lampiran dalam dokumen RPIJM.

  Namun, jika teridentifikasi bahwa rencana/program dalam RPI2-JM berpengaruh terhadap kriteria penapisan di atas maka Satgas RPI2-JMdidukung dinas lingkungan hidup (BPLHD) dapat menyusun KLHS dengan tahapan sebagai berikut:

  1. Pengkajian Pengaruh KRP terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Wilayah Perencanaan, dilaksanakan melalui 4 (empat) tahapan sebagai berikut:

  a) Identifikasi Masyarakat dan Pemangku Kepentingan Lainnya Tujuan identifikasi masyarakat dan pemangku kepentingan adalah: 1) Menentukan secara tepat pihak-pihak yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan KLHS; 2) Menjamin diterapkannya azas partisipasi yang diamanatkan UU No. 32

  Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 3) Menjamin bahwa hasil perencanaan dan evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program memperoleh legitimasi atau penerimaan oleh publik; 4) Agar masyarakat dan pemangku kepentingan mendapatkan akses untuk menyampaikan informasi, saran, pendapat, dan pertimbangan tentang pembangunan berkelanjutan melalui proses penyelenggaraan KLHS

  b) Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan Tujuan identifikasi isu pembangunan berkelanjutan: 1) Penetapan isu-isu pembangunan berkelanjutan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup atau keterkaitan antar ketiga aspek tersebut;

  2) Pembahasan fokus terhadap isu signifikan; dan 3) Membantu penentuan capaian tujuan pembangunan berkelanjutan

  

TABEL IV.2

Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan Bidang Cipta Karya Kabupaten Jepara Pengelompokan Isu-Isu NO Pembangunan Berkelanjutan Bidang Penjelasan Singkat Cipta Karya (1) (2) (3)

  4.1 Sosial

  

1. Pencemaran lingkungan dapat Lingkungan yang memiliki kondisi kurang sehat dapat

mengakibatkan berkembangnya menyebabkan timbulnya wabah penyakit seperti diare wabah penyakit dan typus. Hal ini banyak terjadi pada lingkungan permukiman kumuh

  4.2 Ekonomi

  

1. Rendahnya tingkat pendapatan Tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi membuat

mengakibatkan kerusakan kondisi permukiman di beberapa titik menjadi cukup lingkungan kumuh. Hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan kebersihan lingkungan sekaligus ketidaktahuan mengenai bahaya lingkungan yang tidak bersih

  2.

  4.3 Lingkungan

  

1. Kecukupan air baku untuk air minum Musim kemarau panjang yang terjadi masih sering

menjadi musuh bagi penduduk Kabupaten Jepara, baik bagi petani atau bagi masyarakat yang memanfaatkan air sebagai sumber baku air minum. PDAM Kab. Jepara belum mampu melayani 100% penduduk di wilayah Kab. Jepara karena berbagai keterbatasan baik distribusi maupun sumber air baku. Selain itu, tingginya pembangunan industri juga menjadi masalah penggunaan air baku bagi masyarakat umum.

  

2. Pencemaran lingkungan oleh Masih terbatasnya wilayah pelayanan mobil tinja milik

infrastruktur yang tidak berfungsi Dinas Ciptaru dan Kebersihan menjadi salah satu maksimal hambatan bagi penyehatan lingkungan, karena masih sangat banyak penduduk yang belum memiliki septictank dan juga ada yang BABs di sungai maupun tanah kosong. Selain itu, limbah yang dihasilkan juga dapat mencemari lingkungan baik darat yang selanjutnya akan mencemari kondisi air tanah maupun badan sungai yang dapat berimbas pada ekosistem sungai.

  

3. Dampak kumuh terhadap kualitas Pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga yang

lingkungan tidak baik pada kawasan permukiman kumuh berdampak pada kerusakan lingkungan

  2. Perumusan Afternatif Penyempurnaan KRP Tujuan perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program untuk mengembangkan berbagai alternatif perbaikan muatan KRP dan menjamin pembangunan berkelanjutan. Setelah dilakukan kajian, dan disepakati bahwa kebijakan, rencana dan/atau program yang dikaji potensial memberikan dampak negatif pada pembangunan berkelanjutan, maka dikembangkan beberapa alternatif untuk menyempurnakan rancangan atau merubah kebijakan, rencana dan/atau program yang ada. Beberapa alternatif untuk menyempurnakan dan atau mengubah rancangan KRPmempertimbangkan antara lain: a) Memberikan arahan atau rambu-rambu mitigasi terkait dengan kebijakan, rencana, dan/atau program yang diperkirakan akan menimbulkan dampak lingkungan atau bertentangan dengan kaidah pembangunan berkelanjutan.

  b) Menyesuaikan ukuran, skala, dan lokasi usulan kebijakan, rencana, dan/atau program.

  c) Menunda, memperbaiki urutan, atau mengubah prioritas pelaksanaan kebijakan, rencana, dan/atau program.

  d) Mengubah kebijakan, rencana, dan/atau program Untuk Kabupaten/Kota yang telah menyusun dan memiliki dokumen KLHS RTRW Kabupaten/Kota, maka hasil olahan di dalam KLHS tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi kajian perlindungan lingkungan dalam RPIJM. KLHS merupakan instrumen lingkungan yang diterapkan pada tataran rencana-program. Sedangkan pada tataran kegiatan atau keproyekan, instrumen yang lebih tepat diterapkan adalah AMDAL, UKL-UPL. Dan SPPLH.

4.3.2 AMDAL, UKL-UPL DAN SPPLH

  Pengelompokan atau kategorisasi proyek mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 tahun 2012 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan Wajib AMDAL dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 10 Tahun 2008 Tentang Penetapan Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Bidang Pekerjaan Umum yang Wajib Dilengkapi dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, yaitu:

  1. Proyek wajib AMDAL

  2. Proyek tidak wajib AMDAL tapi wajib UKL-UPL

  3. Proyek tidak wajib UKL-UPL tapi SPPLH Jenis Kegiatan Bidang Cipta Karya yang kapasitasnya masih di bawah batas wajib dilengkapi dokumen UKL-UPL menjadikannya tidak wajib dilengkapi dokumen UKL-UPL tetapi wajib dilengkapi dengan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPLH).