PENETAPAN KADAR NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH OLEH HAKIM PADA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA (Studi Putusan Cerai Talak Tahun 2017) - Test Repository

  

PENETAPAN KADAR NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH

OLEH HAKIM PADA CERAI TALAK DI

PENGADILAN AGAMA SALATIGA

(Studi Putusan Cerai Talak Tahun 2017)

  

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

  

Oleh:

Muhlifa Nur Prahandika

NIM : 21113010

  

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2018

  

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

َرْيِسْيَّتلا ُبِلْجَت ُةَّقَشَمْلَا

  

“Kesulitan itu Mendatangkan adanya Kemudahan”

PERSEMBAHAN

  Skripsi ini penulis persembahkan kepada:  Kedua orang tua saya tercinta, Bapak Muji Setiyo dan Ibu Sri Nur Fuatun yang selalu memberi semangat, dukungan, doa, dan kasih sayang yang tak terbatas.

   Adik saya Hanifa Nur Prahandaffa, yang selalu mengingatkan untuk segera menyelesaikan karya ini.

KATA PENGANTAR

  Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah

  SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah dan taufiq-Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”Penetapan Kadar Nafkah Iddah dan Mut’ah oleh Hakim pada Cerai Talak di

  Pengadilan Agama Salatiga (Studi Putusan Cerai Talak Tahun 2017)

  ” tanpa halangan yang berarti.

  Shawalat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliau merupakan sosok pencerah kehidupan di dunia maupun di akhirat nanti dan semoga kita semua senantiasa mendapatkan Syafaatnya min hadza ila yaumil qiyamah, Aamiin Yaa Robbal’alamin.

  Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

  1. Dr Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga;

  2. Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakul tas Syari’ah;

3. Sukron Ma’mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam;

  4. Luthfiana Zahriani, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya sehingga skripsi ini terselesaikan;

  5. Seluruh dosen IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yag sangat bermanfaat;

  6. Drs. H. Umar Muchlis, selaku Ketua Pengadilan Agama Kota Salatiga, yang telah memberikan izin penelitian disana, serta kepada hakim Drs. H. Salim, S.H., M.H., Drs. M. Muslih, dan Drs. Moch Rusdi, M.H. yang telah memfasilitasi dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini;

  7. Kepada orang tua dan adik serta keluarga besar yang telah memberikan dan mencurahkan segala kemampuan dan dukungannya secara material dan immaterial hingga saat ini. Tanpa mereka mungkin karya ini tidak akan pernah ada;

  8. Sahabat-sahabat dan teman-teman khususnya sahabat dan teman seperjuangan di Ahwal Al-Syakhshiyyah ( Hukum Keluarga Islam) angkatan 2013 atas segala bantuan, semangat, dan hiburannya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini;

  9. Teman gamer saya, Zaid, Badrul, Mujib, dan Apid yang selalu memberikan hiburan disela-sela waktu mengerjakan karya ini, dan doaku kepada temanku semua semoga kita sukses di dunia dan akhirat, Aamiin.

  10. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

  Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta kepada pembaca pada umumnya. Aamiin.

  Salatiga, 16 Maret 2018 Penulis Muhlifa Nur Prahandika NIM: 21113010

  

ABSTRAK

Nur Prahandika, Muhlifa.

  “Penetapan Kadar Nafkah Iddah dan Mut’ah oleh Hakim pada Cerai Talak di Pengadilan Agama Salatiga (Studi Putusan Cerai Talak Tahun 2017)”. Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

  Pembimbing: Luthfiana Zahriani, S.H., M.H. Kata Kunci: Kadar, Nafkah Idda

h, Mut’ah, Cerai Talak

  Cerai talak sesuai dengan ketentuan pasal 149 KHI, bahwa suami berkewajiban memberikan biaya penghidupan bagi mantan isterinya berupa nafkah

  iddah maupun mut’ah. Dalam menentukan kadar biaya penghidupan tidak ada

  aturan yang jelas terhadap penetapan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah. Hal tersebut

  merupakan hak hakim untuk berijtihad dalam menetapkan kadar nafkah iddah dan

  

mut’ah. Oleh karena itu, peneliti berupaya menggali informasi terkait alasan yang

  menjadi pertimbangan putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menetapkan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah pada perkara cerai talak. Pernyataan

  utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana profil putusan perkara cerai talak dalam penetapan kadar nafkah iddah dan mu

  t’ah di

  Pengadilan Agama Salatiga tahun 2017, (2) Apakah alasan yang menjadi pertimbangan pengambilan putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menetapkan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah pada perkara cerai talak, dan (3)

  Bagaimana tinjauan Undang-undang Perkawinan dan hukum Islam atas putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap penetapan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah pada perkara cerai talak.

  Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan yang bertempat di Pengadilan Agama Kota Salatiga dengan subjek penelitiannya adalah hakim. Metode pendekatan yang digunakan adalah kualitatif deskriptif analisis dan yuridis normatif. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Dan untuk menguji hasil temuan data tersebut maka peneliti menganalisa data dengan menggunakan deskriptif analitis dengan pola deduktif.

  Temuan penelitian ini menujukkan bahwa pada tahun 2017 terdapat 26 putusan dari 263 putusan cerai talak yang terdapat penetapan kadar nafkah iddah dan atau

  mut’ah. Alasan hakim dalam penetapan kadarnya adalah

  mempertimbangkan kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan suami, kesanggupan suami, biaya hidup sebelum perceraian, tuntutan isteri, lamanya pernikahan, dan pendapat ahli Hukum Islam yang menyatakan pemberian

  mut’ah

  berupa nafkah selama satu tahun. Dalam pengambilan putusan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah di Pengadilan Agama Salatiga telah sesuai dengan hukum yang berlaku,

  ini dibuktikan dengan penerapan hak ex officio pada pasal 41 huruf (c) UU Perkawinan dan berpedoman pada pasal 149 KHI huruf (a) dan (b). Dan ada keterkaitan yang erat yaitu menitik beratkan pada kemampuan suami sebagai acuan utama hakim dalam menentukan kadarnya, hal tersebut sesuai dengan keterangan didalam KHI pasal 80 ayat (4) huruf (a) dan pasal 160 serta sesuai dalam keterangan al-Quran surat at-Talaq ayat 7 dan al-Baqarah ayat 236.

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i NOTA PEMBIMBING .................................................................................. ii PENGESAHAN ............................................................................................ iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................................... v KATA PENGANTAR .................................................................................... vi ABSTRAK ..................................................................................................... viii DAFTAR ISI .................................................................................................. ix

  BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1 A. Latar Belakang ............................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 5 D. Kegunaan Penelitian ................................................................... 6 E. Penegasan Istilah ......................................................................... 6 F. Kajian Pustaka ............................................................................ 8 G. Metode Penelitian ....................................................................... 12 H. Sistematika Penulisan .................................................................. 15 BAB II KAJIAN TEORI: NAFKAH IDDAH, MUT’AH DAN CERAI TALAK .................................................................................. 17 A. KONSEP NAFKAH IDDAH ..................................................... 17

  1. Pengertian Nafkah ................................................................ 17

  2. Dasar Hukum Nafkah ........................................................... 17

  3. Syarat-syarat Isteri Menerima Nafkah ................................... 20

  4. Kadar Nafkah ....................................................................... 22

  5. Nafkah Suami atas Isteri yang Beriddah ................................ 23

  a. Pengertian Iddah ............................................................. 23

  b. Dasar Hukum Iddah ........................................................ 24

  c. Macam-macam Iddah ...................................................... 27

  d. Hukum Mengenai Nafkah Suami atas Isteri yang Beriddah ......................................................................... 29 B. KONSEP MUT’AH ................................................................... 36 1.

  Pengertian Mut’ah ................................................................ 36

  2. Dasar Hukum Mut’ah ........................................................... 36 3.

  Perbedaan Pandangan Ulama Mengenai Hukum Mut’ah ....... 38 4. Kadar Mut’ah ....................................................................... 42

  C. KONSEP CERAI TALAK ......................................................... 44

  1. Pengertian Talak ................................................................... 44

  2. Macam-macam Talak ........................................................... 45

  3. Prosedur Cerai Talak ............................................................ 49

  4. Akibat Talak ......................................................................... 52

  BAB III HASIL PENELITIAN ...................................................................... 58 A. Profil Putusan Perkara Cerai Talak Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2017 ................................................................... 58

  B.

  Penetapan Kadar Nafkah Iddah dan Mut’ah ................................. 61

  1. Putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang Nafkah Iddah dan Mut’ah ............................................................................ 61 a. Putusan No. 122/Pdt.G/2017/PA.Sal ............................... 61

  b. Putusan No. 668/Pdt.G/2016/PA.Sal ............................... 63

  c. Putusan No. 608/Pdt.G/2017/PA.Sal ............................... 65

  d. Putusan No. 1258/Pdt.G/2016/PA.Sal ............................. 67

  2. Hasil Wawancara Hakim ...................................................... 69

  a. Wawancara dengan Hakim Drs. H. Salim, SH., MH ....... 69

  b. Wawancara dengan Hakim Drs. M. Muslih ..................... 71

  BAB IV PEMBAHASAN .............................................................................. 75 A. Alasan yang Menjadi Pertimbangan Pengambilan Putusan Hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam Menetapkan Kadar Nafkah Iddah dan Mut’ah pada Perkara Cerai Talak ......................................... 75 B. Tinjauan Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam atas Putusan

  Hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap Penetapan Kadar Nafkah Iddah dan Mut’ah pada Perkara Cerai Talak ............................... 81

  1. Putusan No. 122/Pdt.G/2017/PA.Sal ..................................... 81

  2. Putusan No. 668/Pdt.G/2016/PA.Sal ..................................... 83

  3. Putusan No. 608/Pdt.G/2017/PA.Sal ..................................... 88

  4. Putusan No. 1258/Pdt.G/2016/PA.Sal ................................... 91

  BAB V PENUTUP ........................................................................................ 97 A. Kesimpulan ................................................................................ 97

  B. Saran .......................................................................................... 98 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 100 LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan langkah awal bagi setiap pasangan untuk

  membangun sebuah keluarga. Dalam menjalani kehidupan bersama, setiap pasangan akan mengalami banyak halangan dan rintangan yang menjadi bagian dari kehidupan berkeluarga. Suatu halangan dan rintangan yang dialami setiap pasangan harus dilalui bersama agar tercapai sebuah keluarga yang bahagia.

  Kebahagiaan yang digapai merupakan tujuan awal dalam sebuah perkawinan.

  Sabagaimana firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21:

  ًةَّد َوَّم ْمُكَنْيَب َلَعَج َو اَهْيَل ِإ اوُنُكْسَتِ ل اًج َو ْزَأ ْمُكِسُفْنَأ ْنِ م مُكَل َقَلَخ ْنَأ ِهِتَياَء ْنِم َو .َن ْوُرَّكَفَتَي ٍم ْوَقِ ل ٍتَيَ َلَ َكِلَذ ىِف َّنِإ .ًةَمْح َر َو

  Artinya:

  “dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir”(Ar-Rum: 21).

  Selaras dengan Pasal 1 UU Perkawinan no 1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa:

  “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Serta dalam Pasal 3 KHI, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah ”. Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan orang Islam. Akad nikah diadakan adalah untuk selama-lamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia. Allah menyebutkan ikatan perjanjian dalam akad itu sebagai mitsaqon ghalidhan yang berarti perjanjian yang kokoh.

  Jika ikatan antara suami istri demikian kokoh kuatnya maka tidak sepatutnya dirusak dan disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekan merusak hubungan perkawinan itu adalah dibenci oleh Islam karena merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami istri (Sabiq, 1994: 9).

  Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, hambatan dan rintangan pasti selalu ada dalam setiap rumah tangga. Hambatan dan rintangan bukanlah alasan untuk mengakhiri sebuah ikatan. Islam mengajarkan kepada setiap pasangan untuk memperbaiki keretakan yang timbul didalamnya. Sementara itu, apabila keretakan yang telah timbul sudah tidak bisa utuh kembali, maka Islam tidak akan memaksakan untuk mempertahankan ikatan mereka. Karenanya Islam memberikan jalan keluar, yaitu dengan talak.

  Islam membolehkan talak (thalaq) ketika perbedaan di antara pasangan sudah menganga lebar dan tidak bisa lagi dijembatani. Namun, talak atau perceraian merupakan tindakan yang dibenci Allah Swt meskipun halal. Rasulullah Saw bersabda:

  )دواد وبأ هاور(

  ِق َلََّطلا ىَلاَعَت ِهللا ىَلِإ َضَغْبَأ ِل َلََحْل َنِم ٌءْيَش َسْيَل “Tidak ada sesuatu yang halal yang lebih dibenci Allah Swt daripada talak” (H.R. Abu Dawud) (Chudlori, 2012: 189). Perceraian akan menimbulkan hak dan kewajiaban bagi suami istri didalamnya. Dan untuk melindungi hak isteri atas talak yang dijatuhkan suami, dalam Peraturan Perundang-undangan telah diatur beberapa kewajiban suami akibat terjadinya perceraian. Yaitu sewaktu istri menjalani waktu iddah mantan suami berkewajiban memberikan nafkah iddah dan

  mut’ah sebagai pemberian

  bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya. Sesuai dalam KHI pasal 149 huruf (a) dan (b)

  “Bilamana perkawinan

putus karena talak, maka bekas suami wajib: (a). memberikan mut`ah yang

layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri

tersebut qobla al dukhul; (b). memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada

bekas isteri selama dalam iddah , kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil ”. Kewajiban suami terhadap istri

  yang ditalak dikuatkan dalam pasal 41 huruf (c) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

  “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajib an bagi bekas isteri”.

  Dalam Islam juga dijelaskan mengenai kewajiban nafkah iddah dan

  mut’ah

  sebagai kewajiban suami dan sebagai hak isteri untuk menerimanya. Semua mazhab sepakat mengenai hak nafkah bagi istri yang dithalaq

  raj’i dengan

  argumentasi bahwa thalaq

  raj’i belum memutuskan akad perkawinan dan

  karenanya istri yang beriddah

  raj’i statusnya sama dengan istri dalam

  perkawinan. Dalam thalaq

  raj’i masih memiliki hak ruju’, hak istimewa

  (bersenang-senang/ bercinta). Begitu juga halnya semua ulama mazhab sepakat tentang hak nafkah bagi istri beriddah

  ba’in yang sedang hamil baik itu karena

  dithalaq tiga,

  khulu’, ataupun karena fasakh. Namun istri yang ditalak ba’in

  dalam keadaan tidak hamil para ulama berbeda pendapat akan hal tersebut (Mardani, 2011: 76). Selain kewajiban nafkah iddah, suami juga berkewajiban memberikan

  mut’ah kepada istri yang diceraikan. Sesuai firman Allah SWT

  dalam surah al-Baqarah ayat 241 yaitu sebagai berikut:

  .َنْيِقَّتُمْلا َلَع اًّقَح ِفوُرْعَمْلاِب ٌعاَتَم ِتَقَّلَطُمْلِل َو “Dan bagi perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah diberi mut’ah menurut cara yang patut, sebagai suatu kewajiban orang yang bertakwa” (Al-Baqarah: 241).

  Dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan hukum Islam telah dijelaskan bahwa istri berhak mendapatkan nafkah iddah dan

  mut’ah dari suami

  yang menceraikannya. Namun tidak dijelaskan bahwa kadar atau besar kecilnya nafkah iddah dan

  mut’ah yang wajib diberikan kepada istri yang diceraikannya.

  Hal ini yang menjadi hak hakim atas jabatanya (ex officio) di Pengadilan Agama khususnya Pengadilan Agama Salatiga dalam menentukan besar kecilnya kadar nafkah iddah dan

  mut’ah yang akan diberikan suami kepada isteri pasca terjadinya perceraian.

  Berdasarkan keterangan diatas, maka penulis tertarik untuk menggali lebih jauh tentang apa saja yang menjadi penentuan besar kecilnya kadar nafkah

  iddah dan mut’ah dalam pengambilan keputusan oleh Hakim Pengadilan

  Agama Salatiga. Oleh karena itu penulis akan melakukan penelitian yang berjudul

  “Penetapan Kadar Nafkah Iddah dan Mut’ah oleh Hakim pada

  Cerai Talak di Pengadilan Agama Salatiga (Studi Putusan Cerai Talak Tahun 2017)

  B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana profil putusan perkara cerai talak dalam penetapan kadar nafkah

  iddah dan mut’ah di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2017?

  2. Apa alasan yang menjadi pertimbangan pengambilan putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menetapkan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah pada perkara cerai talak?

  3. Bagaimana tinjauan Undang-undang Perkawinan dan hukum Islam atas putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap penetapan kadar nafkah iddah dan

  

mut’ah pada perkara cerai talak?

  C. Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui profil putusan perkara cerai talak dalam penetapan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2017.

  2. Untuk mengatahui alasan yang menjadi pertimbangan pengambilan putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menetapkan kadar

  mut’ah dan nafkah iddah pada perkara cerai talak.

  3. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan UU Perkawinan dan hukum Islam atas putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap penetapan kadar

  mut’ah dan nafkah iddah pada perkara cerai talak.

  D. Kegunaan Penelitian

  1. Memperkaya wawasan ilmu dalam bidang hukum, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan penetapan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah pada perkara cerai talak.

  2. Diharapkan penelitian ini bisa dijadikan bahan untuk menyusun karya ilmiah selanjutnya yang berkaitan dengan nafkah iddah dan

  mut’ah.

  E. Penegasan Istilah

  Penegasan istilah dipergunakan untuk menghindari penafsiran ganda ataupun perbedaan pendapat bagi para pembaca. Oleh karena hal tersebut, penulis berkepentingan untuk menjelaskan arti dalam judul penelitian ini, agar istilah-istilah yang terkandung dalam judul penelitian memiliki arti yang tegas dan jelas. Istilah yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:

  1. Nafkah Iddah Nafkah iddah adalah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada isteri yang telah diceraikannya untuk memenuhi kebutuhan baik berupa pakaian, makanan maupun tempat tinggal. Bahwa nafkah tersebut diberikan selama isteri menjalani iddah dan isteri belum boleh melangsungkan pernikahan kepada orang lain selama masa iddah belum habis.

2. Mut’ah

  Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya (KHI pasal 1 huruf (j)).

  3. Cerai Talak Cerai talak yaitu cerai khusus bagi yang beragama Islam, di mana suami

  (pemohon) mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama untuk memperoleh izin menjatuhkan talak kepada isteri (Bahari, 2012 :17).

  Penjelasan menganai tata cara talak terdapat dalam KHI Pasal 117, yaitu “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131”.

  4. Hakim Pengadilan Agama Pengertian Hakim menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang mengadili perkara (dalam pengadilan atau mahkamah). Hakim merupakan pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Hakim Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung (Musthofa, 2005: 22).

  Kemudian pengertian pengadilan dalam istilah Inggris disebut court, sedangkan dalam istilah bahasa Belanda disebut rechtbank. Keduanya memiliki maksud sebagai ‘badan yang melakukan peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara’ (Mujahidin, 2014: 2).

  Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) adalah pengadilan tingkat pertama yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di Ibu kota kabupaten atau kota. Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden . Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama adalah pengadilan yang menerima, memeriksa, dan memutus, setiap perkara yang diajukan pencari keadilan (yustisiabel) pada tahap awal (Musthofa, 2005: 21).

  Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pengertian Peradilan Agama disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.

  Jadi Pengertian Hakim Pengadilan Agama adalah orang yang mengadili perkara di pengadilan tingkat pertama bagi orang-orang yang beragama Islam.

F. Kajian Pustaka

  Berikut adalah beberapa penelitian yang berkaitan dengan pemberian nafkah iddah dan

  mut’ah, diantaranya adalah:

  Pertama, skripsi yang disusun oleh Khurul Aini dengan judul “Kewajiban Nafkah Iddah

  Suami Kepada Isteri yang Telah Dicerai” (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 394/Pdt.G/2005/PA.SAL). Karya ilmiyah ini merupakan skripsi dari jurusan Syariah, program studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga tahun 2007. Rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: bagaimana konsep nafkah iddah menurut hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia, bagaimana cara penyelesaian nafkah iddah dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam mengabulkan permohonan nafkah iddah dan bagaimana kesesuaian putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga tentang nafkah iddah dengan hukum Islam. Setelah mengetahui rumusan masalah di atas maka hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: pertama, konsep iddah menurut hukum Islam berdasarkan Al-Quran surat At Thalaq ayat 7, dan menurut hukum perundang-undangan berdasarkan pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang hak kewajiban suami istri pasal 34. Kedua, hakim Pengadilan Agama dalam mengambil keputusan-keputusan atau penetapan nafkah iddah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila diucapkan pada sidang terbuka untuk umum. Akan tetapi dalam pengambilan putusan atau ketetapan Pengadilan Agama dalam penyelesaian nafkah iddah melalui sebuah pertimbangan- pertimbangan yang menyangkut kesepakatan antara suami istri yang mengajukan gugatan perceraian. Ketiga, dalam pengambilan putusan, seorang hakim Pengadilan Agama Kota Salatiga pada tahun 2005 dalam penyelesaian nafkah iddah sudah ada kesesuaian dengan hukum Islam. Akan tetapi ada beberapa kasus yang diputuskan tidak sesuai dengan hukum Islam hal ini dikarenakan berbagai pertimbangan-pertimbangan sehingga tidak merujuk kembali dengan hukum Islam bahwa nafkah iddah dalam Islam itu wajib dilaksanakan bagi suami yang bercerai dengan istrinya.

  Kedua, skripsi yang disusun oleh Risae Muhammad dengan judul “Peniadaan Nafkah Iddah dalam Perkara Cerai Gugat” (Studi Komparasi Putusan PA Salatiga No. 286/Pdt.G/1998/PA.SAL Dengan Putusan MA No.

  241 K/AG/2000). Karya ilmiyah ini merupakan skripsi dari jurusan Syariah, program studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga tahun 2008.

  Rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: bagaimana tinjauan nafkah iddah dalam fiqh dan perundang-undangan di

  Indonesia, apa dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam memutuskan masalah nafkah iddah dalam putusan gugat cerai No 286/Pdt.G/1998/PA.SAL dan No. 241 K/AG/2000 Dan mengapa ada perbedaan putusan PA dan MA dalam hal pemberian nafkah iddah dalam perkara gugat cerai. Setelah mengatahui rumusan masalah di atas maka hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: pertama, menurut fiqh dan perundang-undangan dijelaskan bahwa isteri yang telah dicerai berhak mendapatkan nafkah iddah, selama isteri tersebut tidak nusyuz. Namun dalam perkara talak

  ba’in para ulama’ berbeda pendapat.

  Imam Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa tidak mempunyai hak atas nafkah iddah. Sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa isteri yang telah dicerai

  ba’in tetap berhak nafkah iddah. Kedua, bahwa

  dalam memutusakan masalah nafkah iddah, hakim mengacu pada dalil-dalil fiqh dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan menganalisa konteks suatu perkara dan mempertimbangkan sisi humanisme. Ketiga, Dalam perkara perceraian ini meskipun hukum perundang-undangan yang digunakan hakim PA dan MA relatif sama, namun yang membuat produk hukum jadi berbeda adalah metode pendekatan dan penafsiran dalam memeriksa perkara tersebut. Putusan hakim PA untuk tidak memberikan nafkah iddah kepada isteri yang telah dicerai sejalan dengan pendapat madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan putusan MA untuk memberikan hak nafkah iddah kepada isteri yang telah dicerai sejalan dengan madzhab Hanafi. Jadi pada intinya, dalam memutuskan suatu perkara hakim perlu melihat konteks perkara dan mempertimbangkan sisi humanisme serta harus mengakomodasi hak-hak perempuan, dengan tujuan agar putusan tersebut lebih sesuai dan lebih mendekati nilai keadilan.

  Ketiga, skripsi yang disusun oleh Faris Jundhi dengan judul “Pemberian

  Nafkah Iddah pada Cerai Gugat” (Studi Putusan Pengadilan Agama Pati No.1925/Pdt.G/2010/PA.Pt). Karya ilmiyah ini merupakan skripsi dari jurusan Syariah, program studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga tahun 2013. Rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: bagaimana hak nafkah iddah setelah mengajukan cerai gugat kepada suaminya menurut fiqh, bagaimana hak nafkah iddah setelah mengajukan cerai gugat kepada suaminya menurut hukum yang berlaku di Indonesia, dan apakah pertimbangan hakim memperbolehkan istri sebagai penggugat mendapatkan hak nafkah iddah dari suami setelah cerai gugat. Setelah mengatahui rumusan masalah diatas maka hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: pertama, bahwa hakim mempertimbangkan permberian nafkah iddah dan

  mut’ah pada talak

bai’in didasarkan pada pendapat Imam Hanafi. Ulama Hanafiyah berpendapat

  bahwa wanita tersebut berhak nafkah dan tempat tinggal secara bersama, kecuali jika wanita ber-iddah karena perpisahan disebabkan pelanggaran istri, seperti istri murtad setelah bercampur atau tindakan isteri menodai kehormatan mertua seperti orang tua suami atau saudara-saudaranya, istri hanya berhak tempat tinggal dan tidak berhak nafkah. Pendapat ulama Hanafiyah ini juga dikuatkan oleh Umar bin Khatab ra, Umar bin Abdul Aziz dan Sufyan Ats Tsauri. Mereka mengambil dalil kepada firman Allah surat At Thalaq ayat 6. Kedua, pemberian nafkah iddah oleh majelis hakim juga didasarkan dengan putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007. Pemberian nafkah iddah tersebut didasarkan pada pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI. Ketiga, terdapat 5 (lima) dasar pertimbangan hakim dalam pemberikan nafkah iddah kepada istri yang mengajukan gugatan cerai, yaitu: adanya rasa keadilan bagi kedua belah pihak, adanya ketertiban hukum, menempatkan harkat perempuan pada proporsinya, adanya kemampuan bekas suami untuk memberikan nafkah iddah dan

  mut’ah

  kepada bekas istri, dan adanya kelayakan bekas istri untuk menerima nafkah

  iddah dan mut’ah dari bekas suami.

  Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, yang membedakan antara penelitian sebelum-sebelumnya adalah penentuan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah. Yakni belum ada penelitian yang meneliti tentang bagaimana

  penentuan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah oleh hakim Pengadilan Agama

  Salatiga pada perkara cerai talak tahun 2017. Oleh karenanya penulis menyimpulkan bahwa penelitian yang diteliti bukan merupakan duplikasi ataupun pengulangan dari penelitian-penelitian yang ada.

G. Metode Penelitian

  1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan motode pendekatan kualitatif deskriptif analisis, yaitu umumnya menggunakan strategi multi

  metode yaitu, wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen yang ada satu dengan lain saling melengkapi, memperkuat, dan menyempurnakan.

  Penelitian ini juga menggunakan pendekatan metode yuridis normatif. Metode tersebut akan menjelaskan bagaimana hukum yang berlaku diterapkan oleh hakim Pengadilan Agama Salatiga.

  2. Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan merupakan hasil dari observasi langsung di Pengadilan Agama Salatiga yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.

  Data yang dikumpulkan meliputi:

  a. Data yang berkaitan dengan putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang nafkah iddah dan

  mut’ah dalam perkara cerai talak.

  b. Data tentang dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga pada perkara tersebut baik segi hukum positif maupun hukum Islam.

  3. Sumber Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sekunder, penjelasannya sebagai berikut: a. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan dari sumber utama yang berada di lapangan penelitian, yaitu hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Salatiga dan putusan- putusan cerai talak mengenai penetapan nafkah iddah dan

  mut’ah di Pengadilan Agama Salatiga.

  b. Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka terkait pembahasan tersebut.

  4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan Data adalah berbagai cara yang digunakan untuk mengumpulkan data, menghimpun, atau menjaring data penelitian.

  1. Observasi Observasi atau pengamatan dapat didefinisikan sabagai “perhatian yang terfokus terhadap kejadian, gejala, atau sesuatu”. Adapun observasi ilmiah adalah perhatian terfokus terhadap gejala, kejadian, atau sesuatu dengan maksud menafsirkannya, mengungkapkan faktor- faktor penyebabnya, dan menemukan kaidah-kaidah yang mengaturnya (Emzir, 2011: 38). Dimana observasi dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga.

  2. Wawancara Wawancara dapat didefinisikan sebagai interaksi bahasa yang berlangsung antara dua orang dalam situasi saling berhadapan salah seorang, yaitu yang melakukan wawancara meminta informasi atau ungkapan kepada orang yang diteliti yang berputar di sekitar pendapat dan keyakinannya (Emzir, 2011: 50). Adapun wawancara yang dilakukan ditujukan kepada Hakim di Pengadilan Agama Salatiga dan pihak-pihak terkait.

  3. Dokumentasi Dokumen adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau peristiwa pada suatu waktu yang lalu. Semua dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang bersangkutan perlu dicatat sebagai sumber informasi. Dokumentasi dapat diperoleh dari beberapa putusan yang menyangkut penetapan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah dalam perkara cerai talak.

  5. Teknik Analisa Data Metode yang digunakan untuk menganalisis data penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan pola deduktif. Dimana akan digambarkan terlebih dahulu mengenai data-data yang berkaitan dengan perkara tersebut secara umum dan pertimbangan hukum para hakim dalam menetapkan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kadarnya dalam perkara carai talak di Pengadilan Agama Salatiga.

  Kemudian diakhiri dengan kesimpulan yang bersifat khusus terhadap perkara putusan cerai talak di Pengadilan Agama Salatiga tentang penetapan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah tersebut. Apakah penetapan kadar tersebut

  sudah sesuai dengan UU Perkawinan dan hukum Islam yang ada. Sehingga mendapat gambaran yang jelas menganai masalah yang diteliti dalam penelitian ini.

H. Sistematika Pembahasan

  Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini, penulis memuat pembahasan penelitian dalam beberapa bab, yaitu sebagai berikut: Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

  Bab kedua berisikan tentang landasan teori tentang cerai talak dan akibat hukumnya, teori mengenai nafkah iddah dan

  mut’ah, serta dasar hukum nafkah iddah dan mut’ah. Yang nantinya akan dijadikan sebagai alat analisis dalam menjelaskan dan mendeskripsikan obyek penelitian.

  Bab ketiga berisikan hasil penelitian di Pengadilan Agama Salatiga, mengenai gambaran perkara dan hasil wawancara hakim mengenai alasan yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam penetapan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah pada cerai talak.

  Bab keempat berisikan pembahasan, dimana akan dijelaskan oleh penulis alasan yang menjadi pertimbangan pengambilan putusan dan tinjauan UU Perkawinan dan Hukum Islam oleh hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap penetapan kadar nafkah iddah dan

  mut’ah dalam perkara cerai talak tersebut.

  Bab kelima memuat penutup yang berisikan kesimpulan akhir dan saran- saran.

BAB II KAJIAN TEORI NAFKAH IDDAH, MUTAH DAN CERAI TALAK A. KONSEP NAFKAH IDDAH

  1. Pengertian Nafkah Nafkah secara etimologi berarti sesuatu yang bersirkulasi karena dibagi atau diberikan orang dan membuat kehidupan orang yang mendapatkannya tersebut berjalan lancar karena dibagi atau diberikan, maka nafkah tersebut secara fisik habis atau hilang dari pemiliknya. Secara tertimologi, nafkah itu adalah sesuatu yang wajib diberikan berupa harta untuk mematuhi agar dapat bertahan hidup (Mardani, 2011: 75). Disebutkan juga bahwa nafkah berarti "belanja". Maksudnya ialah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada isteri, kerabat, dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka.

  Keperluan pokok, seperti makanan pakaian dan tempat tinggal (Departeman Agama RI, 1985: 184). Dan disebutkann pula oleh (Sabiq, 1981: 77) dalam kitab Fikih Sunnah Jilid 7, bahwa yang dimaksud dengan belanja (nafkah) di sini yaitu memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, pengobatan isteri, jika ia seorang kaya. Memberi belanja hukumnya wajib menurut Al-Quran, Sunnah dan Ijma’.

  2. Dasar Hukum Nafkah "Nafkah" merupakan hak isteri terhadap suami sebagai akibat telah terjadinya akad nikah yang syah. Dasar hukumnya, ialah: firman Allah

  SWT:

  ،َةَعاَض َّرلا َّمِتُّي ْنَأ َداَرَأ ْنَمِل ِنْيَلِماَك ِنْيَل ْوَح َّنُهَدَلا ْوَأ َنْع ِض ْرُي ُتاَدِلا َوْلا َو اَهَعْسُو َّلاِإ ٌسْفَن ُفَّلَكُتَلا ،ِف ْوُرْعَمْلاِب َّنُهُت َوْسِكَو َّنُهُق ْز ِر ُهَلِد ْوُل ْوَمْلا ىَلَع َو ...َكِلَذ ُلْثِم ِث ِرا َوْلا ىَلَع َو ِهِدَلَوِب ُهَل ٌد ْوُل ْوَمَلا َو اَهِدَلَوِب ُةَدِلا َو َّراَضُتَلا

  “Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh,

yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban

memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang patut.

Tidak diberati seorang diri, kecuali menurut usahanya. Janganlah seorang

ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena

anaknya dan warispun berkewajiban demikian...” (Q.S Al-Baqarah: 233).

  “Rizki” yang dimaksud dalam ayat ini ialah makanan secukupnya.

  “Pakaian” ialah baju atau penutup badan dan “Ma’ruf” yaitu kebaikan sesuai dengan ketentuan agama, tidak berlebihan dan tidak pula berkekurangan (Sabiq, 1981: 77).

  ،َّنِهْيَلَع ا ْوُقِ يَضُتِل َّنُه ْوُّراَضُت َلا َو ْمُكِدْج ُّو ْنِ م ْمُتْنَكَس ُثْيَح ْنِم َّنُه ْوُنِكْسَا

ْمُكَل َنْهَض ْرَا ْنِاَف ،َّنُهَلْمَح َنْعَضَي ىَّتَح َّنِهْيَلَع ا ْوُقِفْنَاَف ٍلْمَح ِتَلاوُا َّنُك ْنِا َو

َاَف

ُهَل ُع ِض ْرُتَسَف ْمُت ْرَساَعَت ْنِا َو ،ٍف ْوُرْعَمِب ْمُكَنْيَب ا ْوُرِمَتْا َو ،َّنُهَر ْوُجُا َّنُه ْوُت

  .

  ى َرْخُا “Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal

menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk

menyempitkan hati mereka...” (Al-Thalaaq : 6).

  ْقِفْنُيِل

،ُهَّللا ُهَتَا اَّمِم ْقِفْنُيْلَف ُهُق ْز ِر ِهْيَلَع َرِدُق ْنِم َو ،ِهِتـَعَس ْنِ م ٍةَعَس ْوُذ

.ا ًرْسُّي ٍرْسُع َدْعَب ُهَّللا ُلَعْجَيَس ،اَهَتَا اَم َّلاِا اًسْفَن ُهَّللا ُفِ لَكُيَلا

  “Orang yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut

kemampuannya dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi

nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya, Allah tidak akan

memikulkan beban kepada seorang melainkan (sekedar) apa yang telah

diberikan Allah kepadanya. Allah memberikan kelapangan sesudah

kesempitan” (Al-Thalaaq: 7).

  ْمُكْيَلَع َّنُهَل َو ِعاَدَوْلا ِةَّجُح ىِف َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ىَّلَص ِهَّللا ُل ْوُسَر َلَق )ملسم هاور(. ِفوُرْعَمْلاِب َّنُهُت َوْسِكَو َّنُهُق ْز ِر “Berkata Rasulullah saw pada (waktu beliau menunaikan ibadah) haji

yang penghabisan: “... kewajiban suami ialah memberi makan dan pakaian

isterinya menurut yang patut” (HR. Muslim).