Buletin Edisi 3 Tahun 2012 – BSNP Indonesia

Pengantar Re daks i
Penanggungjawab
Moehammad Aman Wirakartakusumah
Pemimpin Redaksi
Edy Tri Baskoro
Redaksi Eksekutif
Richardus Eko Indrajit
Djemari Mardapi
Teuku Ramli Zakaria
Weinata Sairin

P

embaca yang budiman. Ujian Nasional atau UN untuk
SMA, MA, SMK, SMALB, SMP, MTs, SMPLB, SD dan MI
telah selesai dilaksanakan. Pelaksanaan UN ini kami sajikan
dalam bentuk gambar (Lensa BSNP). Mulai tanggal 9-12 Juli
2012 BSNP menyelenggarakan Ujian Nasional Pendidikan
Kesetaraan atau UNPK untuk Program Paket C. Sedangkan
UNPK Program Paket A dan Paket B dilaksanakan tanggal 1618 Juli 2012. Informasi lengkap tentang UNPK disajikan dalam
berita BSNP. Pada edisi ketiga ini kami juga menyajikan tiga

artikel utama yaitu Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI
(bagian kelima), “Empat Pilar” Menyatukan Kemajemukan
Indonesia, dan Upaya mengatasi Gangguan Psikologis Siswa
Dalam Pelaksanaan Ujian Nasional. Selamat membaca.

Redaksi Pelaksana
Bambang Suryadi
Penyunting/Editor
Mungin Eddy Wibowo
Zaki Baridwan
Djaali
Furqon
Johannes Gunawan
Jamaris Jamna
Kaharuddin Arafah
Desain Grais & Fotografer
Djuandi
Ibar Warsita

Daftar Is i

3-6
7-10

Gedung D Lantai 2,
Mandikdasmen
Jl. RS. Fatmawati, Cipete
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7668590
Fax. (021) 7668591
Email: info@bsnp-indonesia.org
Website: http://www.bsnp-indonesia.org

2

Upaya Mengatasi Gangguan Psikologis
Siswa dalam Pelaksanaan Ujian Nasional

11-12

“Empat Pilar”, Menyatukan Kemajemukan

Indonesia

13-17

Berita BSNP:
- UNPK Tetap Diadakan Dua Kali Setahun
- Uji Coba Instrumen Pemantauan Standar
- DPRD Kabupaten Sinjai Mengadukan
Masalah SKHUN SD ke BSNP
- IKAPI Berkomitmen Hasilkan Buku Teks
Pelajaran Bermutu
- Kunjungan Tamu dari Casio Jepang

18-20

Lensa BSNP

Sekretaris Redaksi
Ning Karningsih
Alamat:

BADAN STANDAR NASIONAL
PENDIDIKAN

Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI
(Bagian V)

Ke te r a ng a n Ga m b a r Co v e r
Anggota BSNP, tim ahli, dan reviewer instrumen pemantauan standar
sarana dan prasarana pendidikan dasar dan menengah berpose
bersama setelah menelaah draf instrumen pemantauan di BSNP
(atas). Dari kiri ke kanan, M. Aman Wirakartakusumah Ketua BSNP,
Hari Setiadi Kepala Puspendik, R. Eko Indrajit Sekretaris BSNP,dan
Jamaris Jamna Anggota BSNP dalam acara sosialisasi pelaksanaan
UNPK tahun 2012 di Jakarta (bawah).

Vol. VII/No. 3/September 2012

PARADIGMA PENDIDIKAN
NASIONAL ABAD XXI (Bagian V)
Tim BSNP


3 .9 . Glo balis as i dan Pe ndidikan
Pada mulanya globalisasi disulut
oleh niat negara-negara industri maju
untuk mengkonsentrasikan upaya
pada “Research & Development”
untuk menghasilkan produk-produk
yang memiliki nilai tambah tinggi
dengan muatan ilmu pengetahuan
mutakhir sehingga dengan demikian
mereka mendapatkan peluang untuk
memenangkan pasar beserta keunggulan
kompetitifnya. Kemudian mereka alihkan
teknologi industri yang kokoh yang
telah mereka kembangkan dengan infrastrukturnya yang padat investasi itu ke
negara-negara ‘berkembang’ melalui apa
yang disebut “transfer/alih teknologi”.
Maka globalisasi dalam konteks ini
memperoleh makna: kompetisi ekonomi
berbasis ilmu pengetahuan, yang

berimplikasi pada apa yang disebut
“ekonomi pengetahuan”, yaitu ekonomi
yang dasarnya dan atau produknya adalah
pengetahuan. Hal ini pada umumnya
melibatkan kegiatan penelitian yang
dilakukan di perguruan-perguruan tinggi
ataupun lembaga-lembaga penelitian

3 .1 0 . Buday a dan Karakte r Bangs a:
Tantangan Nas io nal
Tak dapat disangkal bahwa Indonesia
merupakan negara yang memiliki modal fisik
(physical capital) awal yang kaya. Dengan
luas laut terluas (5,8 juta km2) dan jumlah
pulau terbanyak (17.508) di dunia, Indonesia

memiliki potensi sumber daya alam luar biasa.
Bayangkan, Indonesia adalah tempat hidup
bagi 37% spesies dunia, 30% hutan bakau dunia, dan 18% terumbu karang dunia. Hutan
tropis Indonesia merupakan hutan terbesar

ketiga setelah Brazil dan Republik Demokrasi
Congo. Belum lagi hasil tambang, baik berupa
minyak dan gas bumi maupun sumber-sumber
mineral lainnya. Produksi minyak Indonesia
pernah mencapai rata-rata 1685 ribu barrel/
hari pada 1977 (Hertzmark, 2007).
Namun, kekayaan ini semakin hari semakin terbuang akibat penghancuran sistematis.
Paradigma pembangunan yang berorientasi
pada pertumbuhan sesaat yang bersifat sektoral, fragmentatif, dan tak mengindahkan
keberlanjutan menjadi penyebab kehancuran
yang sudah mulai kita rasakan. Kerusakan
sumber kekayaan alam terus terjadi akibat
eksploitasi alam terencana yang dilakukan negara ataupun akibat pembiaran perusakan alam
yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
besar dan kecil yang tengah mengejar keuntungan jangka pendek tanpa mempedulikan
dampak lingkungan jangka panjang.1
Dengan demikian, yang harus kita lakukan adalah perubahan sistemik menyeluruh, yang mampu menerobos kebuntuan
yang terjadi saat ini. Perubahan ini bukan sekadar berubahan tambal sulam seperti misalnya sekadar menambah anggaran atau
1 Produksi produksi minyak Indonesia yang menjadi
andalan pun kini hanya mencapai 1126 ribu barrel/

hari (2004). Angka ini sudah berada di bawah konsumsi BBM Indonesia yang jumlahnya sebesar 1150
ribu barrel/hari. Sementara itu, hutan kita yang pada
1985 diperkirakan mencapai luas 120 juta hektar,
pada 2001 diperkirakan tinggal 96 juta hektar saja,
dan inipun luasnya diperkirakan terus mengalami
penciutan hingga 1,7 juta hektar per hari (Lihat Bank
Dunia, 2001). Kekayaan alam yang harusnya menjadi
modal awal untuk membiayai pengembangan kualitas sumber daya manusia (human capital), ternyata
banyak yang tersia-siakan. Anugerah kekayaan alam
ternyata tidak berdampak besar pada peningkatan
mutu manusia Indonesia sebagai terlihat pada the
Indonesian Human Development Index tahun 2009
yang masih terus menempatkan kualitas manusia
Indonesia pada urutan rendah yakni urutan nomor
111, lebih rendah dari Palestina (urutan ke 110), sebuah negeri yang masih harus berjuang karena pendudukan Israel, dan juga jauh ketinggalan dari negara tetangga, seperti Malaysia (urutan ke-66) dan Thailand (urutan ke-87).

Vol. VII/No. 3/September 2012

3


mengganti kurikulum yang kini berlaku atau
sekadar meningkatkan kapasitas pelaksana
pendidikan orang per orang, tetapi lebih
jauh dari itu, yakni peningkatan modal sosial
bangsa yang ditandai dengan tumbuhnya
jejaring pelaksana pendidikan yang salingbekerjasama memanfaatkan segala potensi
yang tersedia untuk meningkatkan kualitas
pendidikan rakyat banyak.
Sejak awal kemerdekaan, para pendiri
negeri ini sebenarnya telah memiliki komitmen kuat dalam meningkatkan kualitas pendidikan bangsa. Dalam pembukaan UUD
1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan
dibentuknya pemerintah negara Indonesia
adalah untuk “memajukan kesejahteraan
umum, [dan] mencerdaskan kehidupan
bangsa.” Bahkan dalam perkembangannya,
amanat UUD 1945 dalam Perubahan ke
IV (10 Agustus 2002) dirinci menjadi: “Setiap warganegara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” (pasal 31 ayat 2), dan “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya 20% dari anggaran pendapatan
dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional” (pasal 31 ayat 4). Dalam
UU 20/2003, pemerintah merumuskan

bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
“mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warganegara yang demokratis serta
bertanggung-jawab.”
Tujuan pendidikan yang dirumuskan
dalam konsep-konsep abstrak tinggi harus dijabarkan ke dalam konsep yang lebih
membumi sehingga dapat dirumuskan cara
pencapaiannya secara terukur. Cara-cara
mencapai tujuan pendidikan itu juga harus
dirumuskan dan dijabarkan secara rinci ke
dalam kurikulum beserta metodologi yang
digunakan sehingga keterkaitan antara tujuan
dan cara pencapaiannya tergambar jelas.
Untuk mendukung proses pencapaian
tujuan agar dapat berjalan efektif, berbagai

perangkat pendukung diperlukan, baik berupa infrastruktur fisik (seperti gedung
perkuliahan, perpustakaan, laboratorium
dan lain-lain), juga infrastruktur sosial (seperti organisasi pelajar/mahasiswa, organisasi seni-budaya, kelompok studi, olahraga dan lain-lain). Semua komponen yang

4

terkait dalam proses pendidikan ini harus
terintegrasi dalam satu kesatuan sistem
manajemen pendidikan holistik yang status legalitasnya jelas, tertuang dalam perundangan-undangan maupun regulasi teknis untuk pelaksanaannya. Pembagian kewenangan antarkomponen dalam sistem yang
tergambar secara jelas.
Analisa sistemik tentang proses pendidikan
ini sangat diperlukan untuk memudahkan
pembuatan keputusan mengenai dari mana
dan bagaimana perbaikan-perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan. Bila saat ini masih dirasakan adanya
kesenjangan tajam antara tujuan ideal pendidikan yang dicita-citakan dengan hasil yang
dicapai, maka diperlukan panduan evaluasi
tentang bagaimana proses pendidikan yang
selama ini berlangsung, dan sekaligus menentukan perbaikan-perbaikan yang bagaimana diperlukan untuk merespons tantangan
di masa mendatang.
Uraian berikut akan paparan secara garis
besar dari beberapa komponen inti dalam
sistem pendidikan yang perlu mendapat
perhatian.
a. Pendidikan dalam Mengembangkan Kete­
rampilan dan Ilmu Pengetahuan
Untuk dapat mencapai fungsi penyalur
dan pengembang ilmu pengetahuan yang
efektif, guru/dosen harus menjalankan fungsi yang sentral. Guru/dosen tidak hanya
berfungsi sebagai sumber ilmu yang setiap
saat menjadi acuan murid, tetapi ia juga
harus berperan sebagai perangsang dalam
pengembangan minat peserta didik dalam
mencari ilmu pengetahuan secara mandiri.
Ilmu pengetahuan didapat selain dari hasil
interaksi dengan guru/dosen, melainkan juga
dari hasil penjelajahan peserta didik sendiri
(personal discovery) dengan membaca buku,
melakukan penelitian, mengikuti diskusi keilmuan, atau pun perenungan/refleksi. Kepiawaian guru/dosen dalam menumbuhkan minat
peserta didik untuk menggali ilmu secara
mandiri ini sangat penting dibanding transfer
ilmu yang diperoleh murid dari guru/dosen
secara langsung. Karena itu, bentuk-bentuk
pendidikan partisipatif dengan menerapkan
metode belajar aktif (active learning) dan
belajar bersama (cooperative learning) sangat
diperlukan.
Agar proses ini berjalan efektif, tentu
kelengkapan infrastrutuktur harus disediakan, baik berupa fasilitas fisik yang memadai seperti gedung sekolah/kampus, perpustakaan, laboratorium, alat-alat peraga dan
lain-lain, maupun kelengkapan organisasi
lembaga pendidikan.

Vol. VII/No. 3/September 2012

b.

Pendidikan sebagai Penyalur dan Pengem­
bang Karakter Luhur
Pendidikan tidaklah semata-mata berfungsi
sebagai alat penyalur ilmu pengetahuan, namun
juga sebagai pendorong berkembangnya nilainilai luhur yang menjadi dasar berkembangnya
watak yang baik. Watak yang baik itu antara
lain berupa sikap jujur, adil, demokratis,
disiplin, dan toleran. Watak adalah keunggulan
moral yang berperan sebagai penggerak utama
seseorang di saat ia akan melakukan tindakan.
Watak merupakan kekuatan moral yang dapat
berfungsi sebagai daya yang menentukan
pilihan bentuk-bentuk tindakan. Bertindak
dengan watak berarti melangkah atas dasar
nilai-nilai yang baik, luhur, patut, dan berdayaguna. Watak bukanlah sesuatu yang begitu
saja ada dan tumbuh dalam diri seseorang,
melainkan sesuatu yang dapat dipelajari
dan dibangun seseorang dalam menjalani
kehidupan.
Dalam konteks inilah, guru/dosen memiliki peran sentral dalam keikut-sertaannya
membentuk watak peserta didik. Karena itu,
guru/dosen dituntut tidak saja mumpuni dalam
pengetahuan dan pandai dalam menjalankan
tugas menyalurkan ilmu, tetapi juga menjadi
acuan dan teladan bagi anak didik. Integritas guru/dosen jelas memiliki kedudukan
penting karena pesan moral yang baik hanya
akan memiliki kredibilitas tinggi manakala
dibawakan oleh penyalur yang baik pula.
Namun, pengembangan watak luhur dalam
perilaku sehari-hari hanya bisa dilaksanakan
bila dalam lingkungan tempat anak dibesarkan
terbangun norma-norma pengendali perilaku
(baik tertulis ataupun tidak tertulis) yang
difahami secara jelas dan baik serta ditegakkan
secara konsisten. Karena pembangunan watak warga negara memiliki posisi sangat
penting dalam pembangunan bangsa, perlu
adanya fokus perhatian terhadap jenis-jenis
watak tertentu yang harus dikembangkan
sehingga menjadi bagian integral dari perilaku
masyarakat. Di banyak negara lain telah lama
dikembangkan beberapa pilihan watak luhur
yang dianggap strategis bagi pembangunan
bangsanya.
Bagaimana dengan Indonesia? Para pendiri
negeri ini sejak awal telah menyadari betapa
pentingnya pembangunan watak, namun hingga
hari ini belum ada konsensus kuat tentang
jenis-jenis watak luhur mana yang harus
diajarkan dan diterapkan secara sistematis.
Budi pekerti atau akhlaq mulia memang telah
diajarkan sejak taman kanak-kanak, namun
sifatnya masih sporadis dan kurang intensif
(belum terfokus dan ketat) sehingga hasilnya
dirasakan belum maksimal.
Bila kita sepakat, fokus perhatian pengem-

bangan watak bangsa Indonesia terletak pada
enam watak itu, yakni tiga berdimensi personal
(jujur, akal sehat, dan pemberani), dan tiga
lainnya berdimensi sosial (adil, tanggungjawab, dan toleran).2 Bila keenam watak ini
benar-benar dikembangkan secara nasional,
tak mustahil akan terjadi peningkatan kualitas
manusia Indonesia dalam kurun waktu satu
generasi saja.
Penekanan jenis-jenis watak yang hendak
kita kembangkan di suatu lingkungan
tertentu dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan. Di lingkungan perguruan tinggi
misalnya terdapat kebutuhan mendesak
untuk mengembangkan watak “kejujuran
akademis” (academic honesty). Watak ini
harus dikembangkan agar mahasiswa dan
dosen memiliki kesadaran tinggi dan memiliki komitmen kuat untuk menjunjung
tinggi kejujuran akademis sehingga tak
mudah terjerumus pada praktek-praktek
ketidak-jujuran seperti antara lain plagiatisme (plagiarism) dalam berkarya. Ini
penting karena dengan berkembangnya
teknologi digital dan semakin terbukanya
akses informasi, berbagai kemudahan untuk
mengunduh (download) data, mengirim file,
dan melakukan duplikasi text dengan cara
“copy/cut and paste” di setiap komputer,
pragiarisme semakin mudah dilakukan.
Watak lain yang juga perlu dikembangkan
di lingkungan perguruan tinggi adalah watak
untuk ‘’produktif” dan “kreatif/inovatif”’
dalam berpikir dan berkarya. Bila watak
ini secara khusus dikembangkan, niscaya
perguruan tinggi akan menjadi lahan subur
bagi tumbuhnya pemikiran-pemikiran produktif, kreatif/inovatif, dengan didasarkan
pada sifat kejujuran yang kuat. Agar watak
semacam ini dapat kuat terbangun, pihak
kampus harus merancang infrastruktur yang
memadai, baik berupa kurikulum pengajaran
yang secara tegas mendukung tujuan ini,
2 Tentu saja, selain sikap-sikap yang disebutkan ini
sebagai watak luhur yang perlu dikembangkan, masih banyak lagi sikap luhur yang dapat digali sebagai
bagian dari kearifan lokal (local wisdom) bangsa Indonesia. Sebagai contoh, sikap ramah pada orang lain
dan kesediaan bergotong-royong adalah sikap yang
sering disebut sebagai watak bangsa Indonesia yang
harus dipertahankan. Lebih jauh, Ratna Megawangi
(2004), yang belakangan ini giat menyelenggarakan
pendidikan karakter di berbagai wilayah di Indonesia melalui Indonesia Heritage Foundation menyebut
sembilan sikap luhur yang harus ditanamkan sejak
dini pada anak-anak Indonesia. Sikap itu adalah:1)
cinta Tuhan dan kebenaran, 2) tanggung-jawab, kedisiplinan dan kemandirian, 3) amanah, 4) hormat dan
santun, 5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama,
6) percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati,
dan 9) toleransi dan cinta damai.

Vol. VII/No. 3/September 2012

5

merumuskan aturan-aturan tegas bagi pelanggar kejujuran, membangun pakta-integritas
untuk menjaganya, serta merancang database untuk pemantauan (monitoring) untuk
menumbuhkan suasana interaksi akademis
yang sehat dan berintegritas.
Apapun pilihan yang ditentukan, yang
paling penting dilakukan adalah mencanangkan pelaksanaan strategi pendidikan
yang tepat agar watak luhur itu dapat berkembang dan terinternalisasi efektif dalam
diri setiap peserta didik. Selain sekolah/
kampus, lingkungan keluarga menjadi tempat
penting bagi pembangunan watak luhur ini.
Peran orangtua di rumah tetap memiliki posisi
paling sentral. Tak dapat dipungkiri bahwa
lembaga keluarga adalah lembaga pendidikan
terpenting di banding lainnya. Karena itu,
pembangunan watak secara nasional mustahil dapat dilakukan tanpa upaya serius
mendorong keluarga untuk ikut menjalankan
misi character building ini.
Namun, kehidupan modern telah semakin
menggeser peran keluarga. Jam belajar dan
interaksi sosial anak di lingkungan sekolah/
kampus sering lebih panjang dibanding
interaksi dalam keluarga. Akibatnya, peran
sekolah/kampus dalam ikut membangun
watak peserta didik pada tempat dan waktu tertentu menjadi lebih penting. Karena
itu, sebagaimana dikatakan Thomas Lickona
(1993): „School must help children understand
core values, adopt or commit to them, and then
act upon them in their own lives“. Artinya,
dalam pendidikan karakter, sekolah/kampus
harus mendorong peserta didik untuk
mampu memahami nilai-nilai moral yang
baik (moral knowing), mampu merasakan
nilai-nilai luhur itu hingga ke lubuk hati yang
paling dalam (moral feeling), dan akhirnya
memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan
apa yang diketahui dan dirasakannya itu ke
dalam tindakan nyata (moral action) (Ratna
Megawangi, 2004: 111).
Apa yang harus diperhatikan agar hal ini
dapat terimplementasi? Shea (2003) menyebut
empat aspek yang harus dilakukan dalam
pembentukan watak, yakni:
1. Perhatian pada sisi emosi peserta didik
seperti menghargai diri sendiri (self­
respect), kemampuan ber-empathy, dapat
menahan diri (self­control), rendah hati
dan lain-lain.
2. Meningkatkan life­skills seperti kemampuan mendengarkan orang lain dan kemampuan berkomunikasi.

6

3. Menumbuhkan kemauan (will), seperti
menguatkan niat dan menghimpun tenaga
untuk melaksanakan prinsip-prinsip luhur
dalam kehidupan nyata.
4. Pembiasaan (habit), yakni pengembangan sikap untuk merespon berbagai situasi dengan baik secara konsisten dan
berkelanjutan.
Beragam cara kreatif dapat dicoba untuk
dilakukan dalam pendidikan karakter. Namun yang perlu diingat, sebagaimana telah
disinggung sebelumnya, pengembangan karakter luhur hanya akan tumbuh sehat, bila
ada dukungan kuat dari komunitas tempat
seseorang hidup sehari-hari. Komunitas yang
sehat adalah komunitas yang di dalamnya
terjadi interaksi yang sejajar, yakni masingmasing anggota memiliki kesamaan derajat,
ada kesamaan tingkat keterlibatan, dan ada
sikap keterbukaan. Langkah membangun
interaksi sehat ini memerlukan pemahaman
dan latihan terus-menerus. Manakala komunitas semacam ini terbangun, maka setiap
anggota di dalamnya memiliki jalinan hubungan erat yang diikat oleh nilai-nilai moral
yang disepakati bersama. Sikap luhur seperti
kejujuran, keadilan, tanggung-jawab, rasional,
berani dan toleran sebagaimana disebutkan, bila telah menjadi bagian dari norma komunitas,
akan berkembang kuat. Setiap anggota dalam komunitas itu secara demokratis akan
menjaganya dari pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan.
Pola-pola interaksi sehat merupakan embrio tumbuhnya sebuah komunitas responsif.
Amitai Etzioni (1996) menggunakan terminologi “komunitas responsif” untuk menandai
sebuah komunitas yang bersifat non-represif,
yaitu sebuah komunitas yang di dalamnya, di
satu sisi, tidak ada upaya-upaya pemaksaan
penerapan nilai karena tidak ada lagi kekuatan sentripetal komunitas (centripetal
forces of community) yang memberangus
hak-hak individu, namun di sisi lain, tiaptiap individu tidak juga menganut kebebasan
yang mengabaikan tanggung jawab kolektif
(sebagaimana terjadi dalam iklim komunitas
libertarian free for all). Nilai-nilai moral bersama tumbuh atas kesadaran, bukan paksaan. Etzioni (1996: 92) menulis, “the term
‘responsive’ implies that the society is not merely
setting and fostering norms for its members,
but is also responding to the expressions of
their values, viewpoints and communications
in refashioning its culture and structure.” l
(bersambung)

Vol. VII/No. 3/September 2012

Upay a Mengatas i Gangguan Ps ikologis
Sis w a Dalam Pelaks anaan Ujian Nas ional
Te uku Ram li Zakaria (Anggota BSNP)

A. Latar Belakang Permasalahan

P

ada bulan April tahun 2006 Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
melaksanakan
Ujian
Nasional
pertama, sesuai dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005,
tentang Standar Nasional Pendidikan.
Ketika pengumuman hasil ujian, karena
adanya ketentuan lulus-tidak lulus,
timbul krontroversi di tengah-tengah
masyarakat. Sebelumnya, ketika berlaku
sistem Ujian Sekolah sepenuhnya, yang
dikenal dengan sebutan Evaluasi Belajar
Tahap Akhir (EBTA) dan ketika berlaku
sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir
Nasional (EBTANAS), semua sekolah
cenderung
meluluskan
siswanya
100%. Hal ini sesungguhnya sangat
berbahaya bagi dunia pendidikan kita,
karena lembaga pendidikan cenderung
memberikan pendidikan semu kepada
peserta didik. Lembaga pendidikan
cenderung membagi-bagikan ijazah saja
kepada peserta didik, tidak membekali
mereka dengan kompetensi yang
mencukupi, sesuai dengan jenjang dan/
atau jenis pendidikan yang ditempuh.
Akibat lebih lanjut, kinerja dunia
pendidikan kita tidak terukur lagi,
karena tidak ada suatu standar yang
jelas, yang dapat digunakan sebagai
tolok ukur secara nasional. Berbeda
dengan era sebelumnya, saat berlakunya
Ujian Negara, kita memiliki standar yang
sama, sebagai tolok ukur kinerja dunia
pendidikan yang berlaku untuk seluruh
wilayah tanah air.
Di tengah-tengah suasana kontroversi
tersebut, 58 orang warga masyarakat
mengajukan Surat Gugatan bertangal
27 Juli 2006 melalui Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, yang terdaftar dengan
register perkara No. 228/PDT.G/2006/
PN.JKT.PST, yang kemudian diperbaiki
dengan surat bertanggal 4 September
2006. Perkara ini diputuskan oleh
pengadilan pada hari Kamis, tanggal 3
Mei 2007, dengan Hakim Ketua: Andriani
Nurdin, SH., MH., dan Hakim Anggota;
Makkasau, SH., M.HUM., dan Heru

Pramono, SH., M.HUM. Salah satu amar
keputusan pengadilan tersebut adalah
mengambil langkah-langkah konkrit
untuk mengatasi gangguan psikologi
dan mental peserta didik dalam usia
anak akibat penyelenggaraan Ujian
Nasional. Upaya ini telah dilakukan,
dan akan terus diperbaiki secara
berkelanjutan.

B. Berbagai Upaya untuk Menga­
tasi Gangguan Psikologis dan
Mental Siswa
Dalam rangka membangun sistem
pendidikan nasional, kita perlu membangun sebuah sistem ujian yang
mapan, yang dapat mendorong upaya
peningkatan mutu pendidikan secara
berkelanjutan. Sudah lebih dari 60 tahun
Indonesia merdeka, kita belum memiliki
sebuah sistem ujian yang terbangun
dengan baik. Sistem ujian kita berubahubah. Sejak Indonesia merdeka, telah
pernah berlaku 4 macam sistem ujian
akhir untuk penentuan kelulusan:
Ujian Negara; Ujian Sekolah (Evaluasi
Belajar Tahap Akhir sering disingkat
EBTA) sepenuhnya; Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasuional (EBTANAS); dan
Ujian Nasional, yang masih berlaku
saat ini. Berdasarkan hasil kajian terhadap 4 macam sistem ujian akhir
tersebut, Ujian Nasional adalah lebih
baik untuk menunjang peningkatan
dan pemerataan mutu pendidikan. Na-

Vol. VII/No. 3/September 2012

7

mun demikian disadari bahwa dalam
pelaksanaannya saat ini masih terdapat
kelemahan-kelemahan yang perlu disempurnakan. Salah satu kelemahan
itu adalah berkaitan dengan dampak
psikologis dan mental bagi peserta
didik. Hal ini juga merupakan tuntutan
amar putusan pengadilan yang harus
dipenuhi.
Untuk mengatasi gangguan psikologi
dan mental peserta didik, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan telah melakukan upaya-upaya sebagai berikut.
1 . So s ialis as i
Sosialisasi dipandang merupakan
salah satu langkah penting, terutama
untuk pemerataan informasi. Sosialisasi
inipun dilakukan dalam beberapa bentuk. Pertama, sosialisasi pada semua
ibukota provinsi, dengan melibatkan:
Dinas Pendidikan Provinsi; seluruh Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota; Kantor
Wilayah Kementrian Agama Provinsi;
dan seluruh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota; Anggota DPRD
Provinsi; Wakil dari Perguruan Tinggi; dan wartawan. Sosialisasi ini dilakukan oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan bersama-sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemetrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Lebih lanjut diharapkan, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kantor
Kementrian Agama Kabupaten/Kota
dapat melakukan sosialisasi langsung
ke seluruh sekolah dan madrasah yang
ada dalam lingkungannya. Selain dari
itu, sosialisasi dalam bentuk ini juga
dilakukan oleh direktorat-direktorat
terkait tehadap sekolah/madarah dalam
lingkungan binaannya.
Kedua, sosialisasi melalui Media Center yang ada di Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan. Media Center ber­
peran dalam menyebarluaskan informasi tentang pendidikan, termasuk
Ujian Nasional melalui media cetak
dan media elektronik. Ketiga, informasi
tentang Ujian Nasional juga dapat
diakses melalui: www.kemdiknas.go.id;
www.bsnp-indonesia.org; dan www.
puspendik.com.
2 . Me ny e barluas kan Kis i- kis i So al
Kisi-kisi Ujian Nasional memuat
kompetensi dan indikator sebagai kemampuan spesifik yang akan diujikan.
Misalnya, dalam Bahasa Indonesia “siswa dapat menemukan tema dalam se-

8

buah paragraf”. Bila peserta didik memahami makna tema, diberi contoh,
dan diberikan beberapa latihan mencari
tema dalam paragraf oleh guru, niscaya
peserta didik akan dapat mengerjakan
butir soal tersebut dengan baik. Seluruh
butir soal yang ada dalam naskah soal
ujian mengacu pada indikator yang ada
dalam kisi-kisi. Kisi-kisi ini dapat diakses
oleh siapapun, tidak bersifat rahasia.
Pada masa berlaku sistem Ujian Negara sampai dengan awal tahun 1970an
dan pada masa berlaku EBTANAS pada era 1980an, kisi-kisi soal tidak disebarluaskan secara terbuka seperti saat
ini. Dengan demikian, Ujian Negara
dan EBTANAS seharusnya lebih menegangkan bagi peserta didik dibandingkan dengan Ujian Nasional saat ini.
Bila kita perhatikan dengan seksama,
ada 2 faktor utama yang menimbulkan
ketegangan dan memberi beban psikologis di sekolah, baik pada guru maupun pada peserta didik sbb.
- Pertama, ketika berlaku Evaluasi
Belajar Tahap Akhir (EBTA/ujian
sekolah sepenuhnya) telah berkembang budaya lulus 100%.
Dampak psikologisnya, saat ini
masyarakat juga mengharapkan
siswa lulus 100%. Ketidaklulusan
dari ujian dipandang sebagai hal
yang tidak wajar.
- Kedua, pengaruh faktor politis. Karena pendidikan merupakan bidang
yang diotonomikan, hasil Ujian
Nasional dijadikan indikator kinerja
pemerintah daerah. Oleh karena
itu, pemerintah daerah cenderung
menekan guru dan sekolah untuk
memperoleh hasil Ujian Nasinoal
yang baik.
Kisi-kisi Ujian Nasional dapat diakses oleh semua guru dan peserta
didik. Selain telah disosialisasikan dan
disebarluaskan ke seluruh Provinsi
dan Kabupaten/Kota, melalui Dinas
Pendidikan dan Instansi Vertikal Kemeterian Agama, juga dapat diakses
melalui www.kemdiknas.go.id; www.
bsnp-indonesia.org;
dan
www.
puspendik.com.
3 . Me nginte gras ikan nilai s e ko lah
dalam pe ne ntuan ke lulus an UN
Pada Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2010/2011 dan Tahun Pelajaran
2011/2012 telah dilakukan satu perbaikan yang sangat mendasar, yaitu
diintegrasikannya Nilai Sekolah (NS)

Vol. VII/No. 3/September 2012

dengan Nilai Ujian Nasinal untuk penentuan kulusan dalam Ujian Nasional.
Formula Nilai Sekolah sbb.: NS = 0,6 x
NUS + 0,4 x NR.
Keterangan :
NS = Nilai Sekolah;
NUS = Nilai Ujian Sekolah
NR = Nilai Rata-rata Rapor
Dalam hal ini, Nilai Rata-rata Rapor,
mewakili nilai dalam proses pembelajaran
yang diperoleh peserta didik dari guru
masing-masing mata pelajaran. Adapun
Nilai Ujian Sekolah/Madrasah adalah
nilai yang diperoleh peserta didik dalam
ujian akhir pada masing-masing mata
pelajaran, yang diselenggarakan oleh
sekolah/madrasah.
Kelulusan dalam UN ditentukan
berdasarkan Nilai Akhir (NA), dengan
k­t­ntuan: rata-rata NA ≥ 5,5, dan NA
untuk s­tiap mata p­lajaran ≥ 4,0. Adapun formulanya: NA = 0,6 x NUN + 04
x NS.
Keterangan:
NA = Nilai Akhir;
NUN = Nilai Ujian Nasional;
NS
= Nilai Sekolah
Adapun untuk penentuan kelulusan
dari satuan pendidikan (sekolah/madrasah), sesuai dengan kriteria yang tersurat
dalam Pasal 72 Ayat (1) Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005, tentang
Standar Nasional Pendidikan sebagai
berikut.
a. menyelesaikan program;
b. memperoleh nilai minimal baik
pada penilaian akhir untuk seluruh
kelompok mata pelajaran agama
dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata
pelajaran jasmani, olah raga, dan
kesehatan;
c. lulus ujian sekolah/madrasah;
d. lulus Ujian Nasional.
4 . Me ne tapkan batas lulus y ang
re ndah
Batas lulus Ujian Nasional yang ditetapkan adalah rendah, seperti telah dijelaskan dalam butir 3 di atas: Rata-rata
NA ≥ 5,5; dan NA untuk masing-masing
mata p­lajaran ≥ 4,0. Batas k­lulusan
ini lebih rendah dari batas kelulusan
Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional
(EBTANAS) di era tahun 1980an dan
Ujian Negara yang pernah berlaku sejak

Indonesia merdeka sampai dengan
awal tahun 1970an. Kriteria kelulusan
EBTANAS dan Ujian N­gara ≥ 6,0 untuk
masing-masing mata pelajaran.
Dengan perbaikan-perbaikan tersebut, gangguan psikologis dan mental
peserta didik secara sistemasis dapat
teratasi. Hal ini antara lain dapat diamati
dari suasana di sekolah yang semakin
baik dan kondusif. Hasil Ujian Nasional,
dilihat dari persentase kelulusan juga
semakin meningkat dari tahun ke
tahun.
Seperti telah dijelaskan di atas,
dalam penetuan kelulusan Ujian Nasional tahun pelajaran 2010/2011
dan tahun pelajaran 2011/2012 telah
diintegrasikan nilai sekolah, termasuk
nilai proses yang dicapai peserta didik, seperti tercantum dalam rapot.
Dengan diintegrasikannya nilai sekolah,
dalam Ujian Nasional Tahun Pelajaran
2010/2011
dan
Tahun
Pelajaran
2011/2012 yang lalu dapat dicapai
pesentase kelulusan yang tinggi dan
lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya,
walaupun tanpa Ujian Nasional Ulangan.
Tahun-tahun sebelum ada Ujian Nasional Ulangan, namun berdasarkan hasil kajian, Ujian Nasional Ulangan ini
memiliki satu kelemahan mendasar,
yakni menjadi ajang cuci gudang dan
merugikan bagi para siswa yang lulus
dalam Ujian Nasional Utama. Banyak
siswa yang lulus dalam ujian kedua
mencapai nilai yang lebih tinnggi dari
para siswa yang lebih baik dari mereka,
yang lulus dalam Ujian Nasional Utama.
Dalam suatu proses seleksi ke jenjang
pendidikan perikutnya, misalnya dari
SMP/MTs masuk ke SMA/MA, siswa
yang lulus dalam Ujian Nasional Utama
tersisih oleh pesaing yang lulus dalam
Ujian Nasional Ulangan. Oleh karena itu,
banyak pula masukan yang diterima dari
lapangan, yang mengharapkan supaya
Ujian Nasional Ulangan ditiadakan.

C. Penutup
Dalam proses pendidikan selalu ada
ujian. Berdasarkan berbagai literatur
dan pengamalan berbagai Negara, secara
garis besar ada 2 macam ujian, yakni:
ujian internal (yang diselenggarakan
oleh lembaga penyelenggara pendidikan
sendiri) dan ujian eksternal (yang diselenggarakan oleh lembaga luar).
Ujian Nasional merupakan ujian eksternal bila dilihat dari perspektif seko-

Vol. VII/No. 3/September 2012

9

kah madrasah penyelenggara, yang
tujuannya adalah untuk menilai pencapaian Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) secara nasional. SKL adalah kompetensi minimal (bukan kompetensi
maksimal) yang harus dikuasai oleh
peserta didik untuk lulus dari suatu
jenjang dan/atau jenis pendidikan. Kompetensi maksimal pada masing-masing
mata pelajaran dikembangkan dan diuji
oleh masing-masing sekolah/madrasah
sesuai dengan kekhasan dan kebutuhan
peserta didik pada masing-masing
sekolah/madrasah.
Pengujian penguasan komptensi minimal yang harus dikuasai oleh peserta
didik pada mata pelajaran kelompok
ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu
sangat penting dilakukan, karena 2 alasan utama sebagai berikut. Pertama, supaya lembaga pendidikan dapat menyelenggarakan pendidikan yang bertanggung jawab, tidak memberikan
pendidikan semu kepada masyarakat
dengan cara hanya membagi-bagi ijazah, tidak membekali peserta didik
dengan kompetensi yang mencukupi,
sesuai dengan jenjang/jenis pendidikan
yang ditempuh. Kedua, kita perlu
meningkatkan mutu pendidikan secara
sistematis dan terarah, dalam rangka
meningkatkan mutu sember manusia
daya bangsa ini, untuk mampu bersaing
dengan bangsa-bangsa lain di eraglobal
saat ini.
Berdasarkan hasil kajian tentang
sistem ujian yang pernah berlaku sejak Indonesia merdeka, sistem Ujian
Nasional, seperti juga Ujian Negara
yang pernah berlaku sejak Indonesia
merdeka, adalah lebih baik dibandingkan
dengan sistem Ujian Sekolah (EBTA),
yang diberlakukan sepenuhnya pada
era tahun 1970an dan EBTANAS yang
berlangsung pada era tahun 1980an.
Justru awal lahirnya gagasan Ujian
Nasional adalah untuk memperbaiki
kelemahan mendasar pada sistem Ujian
Sekolah (EBTA) dan EBTANAS. Pada
sistem Ujian Sekolah dan EBTANAS,

10

semua sekolah/madrasah cenderung
meluluskan siswanya 100%, walaupun
mereka belum memiliki kompetensi
minimal yang seharusnya mereka miliki, sesuai dengan jenis dan jenjang
pendidikannya. Kelemahan lain yang
sangat menyolok ketika berlaku sistem
Ujian Sekolah (EBTA) dan EBTANAS
adalah nilai rapot dan nilai dalam
Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) pada
sekolah/madrasah yang kurang baik
pada umumnya lebih tinggi dibadingkan
dengan sekolah/madrasah yang baik
dan bermutu. Dengan demikian, nilai
rapot dan nilai STTB dapat menyesatkan
bila digunakan sebagai tolok ukur dalam
proses seleksi dan penempatan oleh
pengguna lulusan. Namun demikian,
kita menyadari sepenuhnya, bahwa
penyelenggaraan Ujian Nasional perlu
terus diperbaiki secara berkelanjutan
dan terarah, dalam rangka membangun
sebuah sistem ujian yang mapan dan
dapat menopang pembangunan serta
upaya pemerataan dan peningkatan
mutu pendidikan secara berkelanjutan
pula.

DAFTAR PUSTAKA
Djemari Mardapi. 2004. Studi Dampak
Ujian Nasional. Yogyakarta: Program Pascasarjana UNY.
Furqon. 2005. Ujian Nasional dan Alter­
natif Solusi. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Ki Supriyoko, 2005. Studi Aspirasi Masya­
rakat Tentang Pelaksanaan Ujian
Nasional. Yogyakarta: Lembaga
Studi Pembangunan Indonesia.
Pemerintah RI. Undang­undang No.
20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
_______________, Peraturan Pemerintah
No. 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan. l

Vol. VII/No. 3/September 2012

“Empat Pilar”, Menyatukan
Kemajemukan Indonesia
Oleh Weinata Sairin
Spesiik

B

erbicara tentang nilai yang unik dan
spesifik, yang menjadi ciri khas dari
kedirian Indonesia tak bisa tidak harus disebut adalah kemajemukannya, pluralitasnya. Kemajemukan multi dimensional
yang meliputi suku, etnik, budaya, dan agama
adalah sesuatu yang tidak terbantahkan, jika kita berbicara tentang Indonesia. Kemajemukan seperti ini sebagai rahmat dan
anugerah Allah adalah kekayaan, aset yang
amat berharga, yang harus dikelola dalam
tanggung jawab dan ketaatan kepada Allah.
Kemajemukan sebagai suatu realitas
empiric yang tak terbantahkan, harus disadari, dihargai, dan diberi ruang sehingga
ke semua unsur memiliki keterjalinan
satu sama lain yang pada gilirannya dapat
memberi kontribusi bagi penguatan sebuah
Indonesia yang solid di masa depan. Disadari, artinya bahwa kemajemukan itu
benar-benar direfleksikan oleh setiap warga bangsa pada aras apa pun, dalam berinteraksi, dalam membuat kebijakan, dan
dalam proses pengambilan keputusan. Dihargai, artinya diapresiasi, tidak dilecehkan,
tidak didiskriminasi, ada hak dan kewajiban yang sama. Diberi ruang, artinya
mendapat tempat, didengar aspirasinya,
dan diperhitungkan keberadaanya. Konflik-konflik yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat kita dalam beberapa tahun
terakhir ini, dalam batas-batas tertentu,
harus diakui oleh karena kemajemukan
dan pluralitas bukan saja tidak disadari,
tetapi terlebih karena tidak dihargai dan
tidak diberi ruang. Kondisi-kondisi seperti
itu dimanfaatkan secara politis, diboncengi
faktor-faktor ekonomis sehingga konflik
terus membara dan hampir tak pernah
berakhir.
Kita patut berbangga pada the founding
fathers, yang benar-benar menyadari realitas
kemajemukan sebagai bagian integral dari
kedirian Indonesia. Adanya kesadaran tentang

Penulis adalah teolog, menulis tesis S2 Tentang Gerakan
Pembaruan Muhammadiyah, anggota BSNP

realitas kemajemukan itulah yang pada akhirnya
membulatkan sikap mereka untuk menetapkan
Pancasila
sebagai
dasar
Negara
Republik
Indonesia.

Pluralisme Keagamaan
Di Indonesia hidup dan
berkembang agama-agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan berbagai agama lainnya.
Sebenarnya realitas kemajemukan agama
bagi masyarakat Indoneisia bukanlah hal
yang baru. Dalam keseharian mereka, warga
masyarakat bergaul dan bekerja sama dengan
umat dari berbagai latar belakang agama,
tanpa mesti menghadapi persoalan yang
signifikan. Dalam dokumen perundangan,
acapkali muncul nama-nama agama: Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha sehingga
seolah mengesankan hanya kelima agama itu
yang diakui secara resmi oleh pemerintah.
Kesalahan tafsir ini agaknya diinspirasi
oleh Penetapan Presiden RI nomor I/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/
atau Penodaan Agama tanggal 27 Januari
1965. Pada Penjelasan Pasal I Penpres
tersebut disebutkan bahwa “agama-agama
yang dipeluk oleh penduduk Indonesia:
Islam,Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan
Khong Hu Cu (Conficius). Itu tidak berarti
bahwa agama-agama lain, misalnya Yahudi,
Zarazutrian, Sinto, dan Taoisme dilarang di
Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh
seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2,
dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak
melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam peraturan ini atau perundangan
lain”. Penyebutan tentang nama-nama agama tersebut tidak harus difahami dalam
konteks legitimasi, tapi suatu pernyataan/
informatoris tentang agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia. Oleh karena
itu, pandangan seolah-olah hanya ada 5
agama yang resmi diakui oleh pemerintah,
tidak benar, apalagi pemerintah tidak dalam
kapasitas mengakui keabsahan eksistensi
sesuatu agama.

Vol. VII/No. 3/September 2012

11

Di lingkungan kekristenan, pluralitas agama
telah cukup lama disadari, sebab itu para teolog
mendorong pengembangan sikap dan wawasan
inklusif agar umat/warga gereja mampu memberi apresiasi terhadap pluralisme agama.
Wawasan inklusif adalah suatu pola pikir nondiskriminatif, yang memberikan kerangka di
mana semua golongan dapat hidup bersama,
bekerja bersama untuk membangun masa depan
bersama yang lebih baik, dengan tetap berpijak
pada visi teologis yang diyakini setiap orang.
Dengan demikian, pemikiran inklusif adalah
pemikiran yang mengakomodasi, memberi
tempat, menghargai kelompok lain, dan sebab
itu jauh dari sikap yang menafikan kelompok
lain atau sikap membenarkan pandangan sendiri
secara fanatic, sambil berupaya menghabisi
kelompok lain.
Dalam berhadapan dengan pluralitas agama, pola pikir inklusif ini telah lama dikembangkan para teolog. Raimundo Pannikar misalnya menyatakan bahwa dalam konteks
dunia sekarang ini orang dapat menemukan
nilai-nilai yang positif dan benar bahkan menyangkut tatanan yang paling tinggi, di luar
tradisi agamanya sendiri. Pannikar yang
amat meberi tekanan pada makna dialog menyatakan bahwa melalui dialog pengalamanpengalaman pertikular mengenai kebenaran
dapat diperluas dan diperdalam sehingga menyingkap pengalaman-pengalaman baru mengenai kebenaran. Dalam dialog, hubungan antaragama bukanlah hubungan asimilasi atau
substitusi melainkan hubungan yang saling
menyuburkan. Alan Race menunjuk pada beberapa ayat dalam Alkitab yang memberi dasar sikap inklusif antara lain: Setiap orang dari
bangsa manapun yang takut akan Dia dan
yang mengamalkan kebenaran berkenan ke­
pada­Nya (Kis. 10:35). Sementara itu Dr. D.C.
Mulder mendorong gereja-gereja untuk belajar
dari orang lain, karena Tuhan Allah bukan ti­
dak menyatakan diri kepada semua bangsa
(Kis: 14:7); Tuhan bergumul dengan semua
manusia, maka semua bangsa mencari Tuhan
(Kis. 17:27).
Pengembangan sikap inklusif sama sekali
tidak berarti dan tidak boleh memperlemah
iman dan atau mengingkari nilai ekslusif dan
spesifik yang ada dalam setiap agama, tetapi
justru harus memperteguh keyakinan dan iman
seseorang terhadap agama yang dianutnya.
Pengembangan sikap inklusif di kalangan umat
Kristen dilakukan secara terarah, terancam,
berkesinambungan, dan mencakup seluruh
lapisan umat. Dalam konteks ini problem
dan kendala yang dihadapi adalah keragaman
denominasi,
keragaman
latar
belakang
pendidikan, persepsi teologis yang tidak sama,
pola pembinaan warga gereja yang belum

12

merata. Faktor-faktor eksternal acapkali juga
tidak mendukung pengembangan pola pikir
inklusif, antara lain kerukunan antarumat
beragama yang belum matang di berbagai
daerah, pemberitaan/penayangan di media
cetak/elektronik yang isinya secara tidak
langsung cenderung mendiskreditkan sesuatu
agama, publikasi serta khotbah-khotbah yang
dalam keterbatasan persepsi dapat menyulut
sentimen antarumat beragama. Problematika
ini perlu diatasi dengan terus-menerus memberikan pemahaman tentang wawasan inklusif
di kalangan pimpinan gereja dan warga gereja
dari berbagai latar belakang profesi/pendidikan
termasuk program pengadaan publikasi,
ceramah, dan pendidikan keagamaan bagi
warga gereja. Selain itu, iklim yang kondusif di
masyarakat perlu terus-menerus diupayakan,
dengan secara sungguh-sungguh menjadikan
Pancasila sebagai referensi dan basis utama
dalam membangun rumah besar Indonesia.
Agama-agama di Indonesia memiliki dasar
teologis masing-masing sebagai rujukan
utama dalam mengembangkan pluralitas.
Pengembangan sikap tersebut pada gilirannya
memberikan kontribusi signifikan dalam
memelihara soliditas NKRI.

Empat Pilar
Upaya untuk memperteguh NKRI terus
dilakukan dari waktu ke waktu oleh berbagai
pihak karena menyadari betapa pentingnya
sebuah Indonesia yang utuh, satu, solid dalam
kemajemukannya.
Adalah Taufik Kiemas - Ketua MPR yang
sejak tahun 2010 mengintroduksi gagasan
“Empat Pilar” untuk menjadi dasar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat
Pilar itu adalah: Pancasila, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan Bhineka Tunggal Ika. Menurut Taufik
Kiemas, Empat Pilar ini akan mampu menjawab persoalan-persoalan multidimensi yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia ditengah
peraturan global.
Empat Pilar dengan demikian harus menjadi roh dan nafas dalam hidup kita membangsa
dan menegara. Empat Pilar tidak boleh jatuh
menjadi mitos, jargon, slogan tetapi mesti
diinternalisasi melalui bidang pendidikan,
hukum, politik serta bidang-bidang lainnya
sehingga spirit Empat Pilar itu benar-benar
menjadi benang merah dalam kehidupan setiap warga bangsa.
Dengan cara itu kita berharap akan tetap
eksis di pentas sejarah sebuah Indonesia
majemuk yang teguh, solid, berkeadaban,
menghargai HAM, yang memiliki kontribusi
bagi dunia internasional. l

Vol. VII/No. 3/September 2012

Berita BSNP*

UNPK TETAP DIADAKAN DUA KALI SETAHUN

U

jian Nasional Pendidikan Kesetaraan
atau UNPK tahun 2012 tahap pertama
dilaksanakan tanggal 9-12 Juli 2012 untuk
program Paket C dan tanggal 16-18 Juli 2012
untuk program Paket A/Ula dan Paket B/Wustha.
Sedangkan UNPK tahap kedua dilaksanakan
pada tanggal 8-11 Oktober 2012 untuk Paket
C dan tanggal 15-17 Oktober 2012 untuk Paket
A/Ula dan paket B/Wustha. Penyelenggaraan
UNPK ditetapkan melalui Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 35 Tahun
2012 dan Peraturan Badan Standar Nasional
Pendidikan Nomor 0018/P/BSNP/VI/2012 tentang Prosedur Operasi Standar Ujian Nasional
Pendidikan Kesetaraan.
Untuk menyiapkan pelaksanaan UNPK,
BSNP bersama Badan Penelitian dan Pengem-

fungsi dan tugas masing-masing penyelenggara
Pusat, Penyelenggara Provinsi, Penyelenggara
Kabupaten/Kota, dan satuan pendidikan dalam
pelaksanaaan UNPK. Hal ini dimaksudkan
supaya masing-masing penyelenggara lebih
fokus dan tidak saling melepaskan tanggung
jawab dalam pelaksanaan UNPK.
Akurasi pendataan peserta UNPK perlu
diperhatikan karena hal ini memiliki implikasi
penganggaran dan administrasi. Selain itu,
juga perlu diantisipasi jika terjadi emergency di
lapangan, seperti soal kurang, LJUN rusak atau
kurang dan lainnya. Oleh sebab itu diperlukan
koordinasi yang lebih baik untuk hal-hal yang
memerlukan penanganan segera.
Secara umum tidak banyak perubahan
pelaksanaan UNPK tahun 2012 dibanding

bangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengadakan rapat koordinasi pada
tanggal 15-16 Juni 2012 di Jakarta. Rapat tersebut dihadiri oleh ketua penyelenggara dan
bendahara UNPK tingkat provinsi, kepala kantor Kementerian Agama, anggota BSNP dan
Puspendik.
M. Aman Wirakartakusumah Ketua BSNP,
dalam sambutannya mengatakan bahwa
tujuan rapat koordinasi adalah untuk menyamakan persepsi dan langkah dalam pelaksanaan UNPK. “Tujuan rapat koordinasi ini
adalah untuk menyamakan persepsi dan
langkah semua pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan UNPK tahun 2012. Dengan
demikian diharapkan pelaksanaan UNPK
tahun ini akan semakin baik dibanding tahun
sebelumnya”, ucap Aman.
Melalui rapat koordinasi ini juga, tambah
Aman, perlu dirumuskan secara jelas peran,

dengan tahun 2011. Salah satu perubahan
adalah prosedur pendaftaran bagi peserta
UNPK di luar negeri. Sesuai dengan POS
UNPK, penyelenggara Program Paket A, Paket
B, dan Paket C, mendaftarkan peserta UNPK
ke Atase Pendidikan atau Konsulat Jenderal
pada Kantor Perwakilan RI setempat. Jika tidak
ada Atase Pendidikan atau Konsulat Jenderal,
maka pendaftaran dilakukan langsung ke
Penyelenggara Pusat dalam hal ini Puspendik
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di
Jakarta.

Kartono (berdiri,
memegang
mikropon) Ketua
Penyelenggara
UNPK Provinsi
Jawa Tengah
menyampaikan
pertanyaan
kepada Ketua
BSNP terkait
dengan waktu
pelaksanaan
UNPK 2012.

Jadwal Ujian
Sesuai dengan POS UNPK, ujian dilaksanakan tanggal 9-12 Juli 2012 untuk program
paket C dan tanggal 16-18 Juli 2012 untuk
program paket A/Ula dan paket B/Wustha.
Namun, untuk provinsi tertentu, karena sebab
dan alasan yang valid, ujian program paket C

Vol. VII/No. 3/September 2012

13

* Bambang
Suryadi

Berita BSNP
dilaksanakan bersamaan dengan waktu ujian
program paket A/Ula dan paket B/Wustha.
“Ada tiga provinsi yang waktu pelaksanaan
ujian program paket C disamakan dengan
program paket A/Ula dan paket B/Wustha,yaitu
provinsi Papua, Sulawesi Tenggara, dan
DKI”, ucap Candra dalam rapat pleno BSNP
(26/6/2012).
Adapun jadwal pelaksanaan UNPK secara
lengkap adalah sebagai berikut.
Program

Paket C
IPS

Paket C
IPA

Paket C
Kejuruan

Paket B/
Wustha

Paket A/
Ula

Sementara itu, hasil rapat koordinasi
antara BSNP, Balitbang, Dirjen DIKTI, dan Dirjen
Pendidikan Dasar pada tanggal 22 Juni 2012
menetapkan pengumuman hasil UNPK yang
semula ditetapkan tanggal 4 Agustus 2012
dimajukan ke tanggal 28 Agustus 2012.
”Pengajuan tanggal pengumuman ini
untuk memberi kesempatan kepada lulusan
program Paket C untuk mengikuti ujian
masuk perguruan tinggi”, ucap M. Aman

Hari

Tanggal
Periode I
Periode II

Senin

9 Juli 2012

8 Oktober 2012

Selasa

10 Juli 2012

9 Oktober 2012

Rabu

11 Juli 2012

10 Okober 2012

Kamis

12 Juli 2012

11 Okober 2012

Senin

9 Juli 2012

8 Oktober 2012

Selasa

10 Juli 2012

9 Oktober 2012

Rabu

11 Juli 2012

10 Okober 2012

Kamis

12 Juli 2012

11 Okober 2012

Senin

9 Juli 2012

8 Oktober 2012

Selasa

10 Juli 2012

9 Oktober 2012

Senin

16 Juli 2012

15 Oktober 2012

Selasa

17 Juli 2012

16 Oktober 2012

Rabu

18 Juli 2012

Senin

Jam

Mata Ujian

13.00
15.30
13.00
15.30
13.00
15.30
13.00
13.00
15.30
13.00
15.30
13.00
15.30
13.00
13.00
15.30
13.00
15.30
13.00
15.30






















15.00
17.30
15.00
17.30
15.00
17.30
15.00
15.00
17.30
15.00
17.30
15.00
17.30
15.00
15.00
17.30
15.00
17.30
15.00
17.30

Pendidikan Kewarganegaraan
Bahasa Indonesia
Sosiologi
Geografi
Bahasa Inggris
Ekonomi
Matematika
Pendidikan Kewarganegaraan
Bahasa Indonesia
Biologi
Kimia
Bahasa Inggris
Fisika
Matematika
Pendidikan Kewarganegaraan
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
Matematika
Pendidikan Kewarganegaraan
Bahasa Indonesia

17 Oktober 2012

13.00
15.30
13.00
15.30






15.00
17.30
15.00
17.30

Ilmu Pengetahuan Sosial
Matematika
Bahasa Inggris
Ilmu Pengetahuan Alam

16 Juli 2012

15 Oktober 2012

13.00 – 15.00
15.30 – 17.30

Selasa

17 Juli 2012

16 Oktober 2012

Rabu

18 Juli 2012

13.00 – 15.00
15.30 – 17.30
17 Oktober 2012
13.00 – 15.00

Waktu pelaksanaan UNPK di luar negeri
ditentukan oleh penyelenggara UNPK setempat dan ditetapkan oleh Penyelenggara
Pusat.

Pendidikan Kewarganegaraan
Bahasa Indonesia
Ilmu Pengetahuan Sosial
Ilmu Pengetahuan Alam
Matematika

Wirakartakusumah seraya menambahkan
BSNP akan mengirim surat edaran ke Kepala
Dinas Pendidikan Provinsi mengenai perubahan tanggal pengumuman ini. l

UJI COBA INSTRUMEN PEMANTAUAN
STANDAR BUKU TEKS PELAJARAN

F

okus kegiatan BSNP tahun 2012 adalah
pemantauan implementasi/pelaksanaan
Standar Nasional Pendidikan pada jenjang
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Ada delapan standar yang dipantau, yaitu
standar penilaian, proses, biaya, sarana dan

14

prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan,
pengelolaan, buku teks pelajaran, dan pendidikan nonformal. Sampai akhir Juni 2012,
tim ahli dari masing-masing standar telah
melakukan uji coba instrumen pemantauan.
Kegiatan uji coba dilaksanakan di delapan

Vol. VII/No. 3/September 2012

Berita BSNP
provinsi untuk setiap standar dan di setiap
provinsi melibatkan 40 responden yang
berasal dari berbagai unsur, diantaranya dinas
pendidikan provinsi, kant