Buletin Edisi 4 Tahun 2011 – BSNP Indonesia

Pengantar Re daks i
Penanggungjawab
Moehammad Aman Wirakartakusumah
Pemimpin Redaksi
Edy Tri Baskoro
Redaksi Eksekutif
Weinata Sairin
Richardus Eko Indrajit
Dewan Redaksi
Djaali
Djemari Mardapi
Farid Anfasa Moeloek
Furqon
Gunawan Indrayanto
Jamaris Jamna
Johannes Gunawan
Mungin Eddy Wibowo
Teuku Ramli Zakaria
Zaki Baridwan
Redaksi Pelaksana
Bambang Suryadi

Sekretaris Redaksi
Ning Karningsih
Reporter
Gaguk Margono
Kaharuddin Arafah
Keuangan
Neneng Tresnaningsih
Rosmalina

Pembaca yang budiman. Alhamdulillah, menjelang akhir
tahun 2011 ini, Buletin BSNP edisi keempat dapat terbit dan hadir
di tangan pembaca sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Pada edisi ini kami memaparkan tiga artikel utama, yaitu artikel
tentang Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI (bagian
kedua), Meneguhkan Ulang Peran Kementerian Agama Sebagai
Benteng Kerukunan dan Penjaga Keutuhan NKRI oleh Weinata
Sairin, dan laporan hasil benchmarking sistem penilaian di Inggris
oleh anggota BSNP. Selain itu edisi ini juga memuat peluncuran
penyelenggaraan UN tahun pelajaran 2011/2012 oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, perkembangan penyusunan

standar pendidikan nasional dan kegiatan BSNP lainnya. Edisi
keempat ini juga dilengkapi dengan kegiatan BSNP dalam bentuk
gambar/lensa kegiatan selama tiga bulan terakhir. Last but not
least, Selamat Tahun Baru 2012. Semoga tahun ini lebih baik dari
tahun-tahun sebelumnya. Selamat membaca.

Daftar Is i
3-7
8-11

Gedung D Lantai 2,
Mandikdasmen
Jl. RS. Fatmawati, Cipete
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7668590
Fax. (021) 7668591
Email: info@bsnp-indonesia.org
Website: http://www.bsnp-indonesia.org

2


Meneguhkan Ulang Peran Kementerian
Agama sebagai Benteng Kerukunan dan
Penjaga Keutuhan NKRI.

12-13

Benchmarking Sistem Penilaian
Pendidikan di Inggris

14-17

Berita BSNP:
- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Luncurkan UN Tahun 2012
- Konsil Kedokteran Indonesia Jalin Kerjasama
dengan BSNP
- Uji Publik Draf Standar Sarana dan Prasarana
Program Pascasarjana dan Profesi


Distribusi/Sirkulasi
Nurul Najmah
Djuandi
Reyman Aryo
Ibar Warsita
Alamat:
BADAN STANDAR NASIONAL
PENDIDIKAN

Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI
(Bagian II)

- BSNP Bahas 10 Instrumen Akreditasi BAN
PNF

18-20

Lensa BSNP

Ke te r a ng a n Ga m b a r Co v e r

Anggota BSNP, tim ahli, dan peserta uji publik draf standar sarana dan
prasarana pendidikan tinggi program pascasarjana dan profesi [atas].
Illah Sailah Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan DIKTI (kiri) dan
M. Aman Wirakartakusumah Ketua BSNP (kanan) dalam pembahasan
draf standar sarana prasarana pendidikan tinggi [bawah].

Vol. VI/No. 4/Desember 2011

PARADIGMA PENDIDIKAN
NASIONAL ABAD XXI (Bagian II)
BAB II: PENDIDIKAN NASIONAL
etelah pada bab terdahulu dijelaskan konsep-konsep dasar mengenai pengertian pendidikan, falsafah pendidikan, dan paradigma
pendidikan, dalam bab II ini akan diberikan
gambaran umum mengenai keadaan pendidikan
nasional di Indonesia. Bab ini akan dimulai dengan
suatu paparan ringkas mengenai “pendidikan di
Indonesia di masa lalu”, yang merupakan suatu latar mengenai bekal pengalaman bangsa
sebelum kemudian ‘membangun’ suatu sistem
pendidikan nasional. Setelah bagian “bekal dari
masa lalu” itu menyusul sub-sub bab tentang

keadaan dewasa ini, di mana bahasan dipusatkan
pada beberapa aspek penting dalam bangunan
pendidikan nasional itu, yang meliputi: (1) aspek
geo-demografi yang berkenaan dengan bentang
wilayah serta komposisi penduduk, yang keduanya
dipaparkan beserta varian-varian kondisi di
dalamnya, beserta kemungkinan pengaruhnya
terhadap upaya pendidikan; kemudian, (2) aspek
kategorisasi jenis dan penyelenggara pendidikan,
serta dalam sub-bab terakhir dipaparkan, subbab (3) mengenai sistem dan substansi perangkat
legal yang melandasi penyelenggaraan Pendidikan
Nasional itu.

S

2 .1 . Pe ndidikan di Indo ne s ia Mas a Lalu
Masa lalu sebelum abad XXI dalam
hal pendidikan untuk Indonesia dapat
dibagi secara urutan waktu kurang lebih
sebagai berikut: (a) zaman pra-kolonial

yang lebih rinci dapat dibagi ke dalam
masa prasejarah dan masa sejarah, (b)
zaman kolonial ketika sistem pendidikan
‘modern’ dari Eropa diperkenalkan, dan (c)
zaman kemerdekaan RI yang berlangsung
hingga sekarang, sebelum dan sesudah
abad XXI.
Di luar sistem persekolahan ‘modern’
seperti yang semula diperkenalkan oleh
kolonialis Belanda, terdapat berbagai ‘institusi’ pendidikan dalam lingkup masya-

rakat-masyarakat tradisional, baik dalam keterkaitannya dengan berbagai kebudayaan etnik maupun dengan berbagai
sistem pemerintahan tradisional yang
dalam banyak hal juga sedikit-banyak
terkait dengan etnisitas.1
Data etnografi dari berbagai suku
bangsa menyebutkan betapa tugas pendidikan itu dikenali, meski tidak selalu
diwadahi dalam suatu organisasi sosial
tertentu, namun tugas pelaksana pendidikan itu diamanatkan oleh kebudayaan
yang bersangkutan. Pada suatu suku

bangsa tertentu di Papua misalnya, adalah
tugas ibu untuk memberi pelajaran
pertama dalam hal berburu dan meramu
di hutan kepada anaknya.
Berbagai ritus peralihan (rites de
passage) dari suatu status ke status selanjutnya dalam rute kehidupan setiap
orang biasanya dilaksanakan oleh tokoh
tertentu yang bertugas memimpin ritus
peralihan itu. Tidak jarang ritus itu
didahului oleh suatu proses pendidikan
tertentu pula. Dalam hasil-hasil kajian
Antropologi dikenal adanya apa yang
disebut sebagai man’s house sebagai
tempat/rumah untuk mempersiapkan
pemuda-pemuda yang beranjak dewasa,
di mana dilakukan berbagai upaya
pendidikan dan pelatihan guna memenuhi
kebutuhan untuk peralihan status itu.
Pelaksanaan pendidikanpada masa
prasejarah tak mungkin dapat diketahui

dari data primer, karena sifat data prasejarah yang tak disertai data tertulis. Di
zaman yang berikutnya, yaitu zaman sejarah, yang untuk Indonesia diawali dengan
masa Hindu-Buddha dan kemudian masa
Islam, berkat adanya data tertulis dari
zaman itu sedikit banyak dapat diketahui
1 Bahwa penataan institusional tersebut bisa tidak sepenuhnya mewakili etnisitas dicontohkan oleh tata sosial di masa Majapahit, di
mana meski dapat dipastikan bahwa raja beserta keluarganya beserta sebagian terbesar
rakyatnya adalah penyandang etnisitas Jawa,
namun jelas-jelas dalam berbagai prasasti yang dikeluarkan di masa itu disebutkan
adanya golongan penduduk yang non-Jawa,
yang juga dilindungi oleh kerajaan.

Vol. VI/No. 4/Desember 2011

3

bagaimana pendidikan dilaksanakan atau
diatur di masa-masa itu.
Di masa Hindu-Buddha, dari data
prasasti maupun sastra, dapat diketahui

tentang adanya institusi pendidikan
keagamaan yang mandiri di luar istana
raja, yang letaknya sering di daerah pegunungan, disebut dengan nama-nama
seperti kadewagurwan dan patapãn. Dalam karya-karya sastra sezaman diceritakan bahwa tempat-tempat pendidikan
itu merangkap asrama, dan seringkali
disantuni dan dikunjungi juga oleh keluarga raja. Istilah kadewagurwan menyatakan bahwa tokoh utama yang menjadi sumber ilmu dalam institusi itu disebut dewaguru, yang menyiratkan makna “seorang guru yang mempunyai kualifikasi spiritual tinggi”. Adapun patapãn
berarti “tempat bertapa”, yaitu tempat
mengolah kemampuan spiritual melalui
pengendalian fisik dan mental, yang juga
mempunyai guru atau pelatih. Lingkungan
belajar dan pelatihan spiritual itu pulalah
yang sering disebut dengan istilah man­
dala, yang mempunyai arti harfiah “lingkaran (berstruktur)”, yang tentunya terpusat
kepada sang guru.
Dapat disimpulkan dari sejumlah data itu bahwa pada masa Hindu-Buddha
tersebut, di Jawa khususnya, terdapat
‘spesialisasi’ pendidikan keagamaan, yang
dilaksanakan dalam suatu institusi terpisah dari keraton, namun juga disantuni
oleh pemerintahan kerajaan. Ada kalanya
calon atau keluarga raja pun dididik di

dalam institusi seperti itu untuk jangka
waktu tertentu. Namun perlu pula diperhitungkan bahwa di samping institusi pendidikan spiritual-keagamaan itu istana
sendiri melakukan pelatihan-pelatihan
internal, artinya untuk warganya sendiri,
dalam bidang-bidang yang lebih bersifat
‘keduniawian’, misalnya dalam seni sastra
dan seni musik (Poerbatjaraka).
Karya-karya sastra masa Majapahit
akhir juga mengungkapkan betapa seorang
putra raja juga perlu melatih keunggulannya
untuk penguasaan pengungkapan seni
yang menyiratkan bahwa itu semua adalah
bagian dari pendidikan pribadi demi citra
keberadaban.
Hal lain yang patut diberi perhatian
adalah adanya kelompok-kelompok sosial dengan kemahiran-kemahiran khusus melalui pelembagaan pelatihan profesionalnya masing-masing (misalnya:
pande mãs, pande wesi, pande tambaga).
Ada kalanya suatu desa yang mempunyai

4

keistimewaan dalam penguasaan pembuatan benda-benda logam itu diberi semacam otonomi, seperti pada sîma ka­
juru­guśaly­an. Pada semua institusi
penguasaan teknologi tertentu itu terdapat
kegiatan pendidikan dan pelatihan di dalamnya. Dapat diperkirakan bahwa cara
pendidikan yang dilaksanakan adalah semacam proses pemagangan. Di antara
golongan profesi yang ada dan disebutkan
dalam sumber-sumber tertulis masa ini
adalah ahli bangunan (umum, rumah) yang
disebut undahagi, dan ahli pembuat kapal
yang disebut undahagi lañcang. Berbagai
macam profesi yang diakui berbeda-beda
di masa Hindu-Buddha itu membutuhkan
institusi pendidikannya tersendiri.
Suatu fakta yang perlu disebutkan
mengenai masa Hindu-Buddha ini adalah
adanya inisiatif di Indonesia untuk menyelenggarakan suatu pendidikan keagamaan yang berjangkauan antarbangsa dan
antarnegara. Pendidikan agama Buddha
diselenggarakan oleh kerajaan Sriwijaya
di pulau Sumatera yang dahulu disebut
Suwarnadwîpa atau Suwarnabhûmi. Fa
Hien (abad ke-5 M.) dan Hiuen Tsang
(abad ke-7 M.) adalah dua musafir Cina
yang memberikan catatan bahwa mereka
lebih dahulu belajar tentang Buddhisme di
Sriwijaya sebelum meneruskan perjalanan
untuk belajar lebih lanjut di pusat studi
agama Buddha di Nalanda di daerah
Bengal, India.
Tradisi mengenai institusi-institusi
seperti patapãn dan kadewagurwan dari
masa Hindu-Buddha tersebut di atas itulah yang kiranya berlanjut ke zaman Islam yang menyusul dan kemudian dikenal sebagai pêsantrèn.2 Secara struktur organisasi sosial keberadaannya berlanjut, namun isi ajarannya berubah, dari
substansi Hindu-Buddha ke Islam. Tak
jarang para kyai pemimpin pesantrenpesantren itu membina hubungan dengan
pusat-pusat pengetahuan Islam di luar
negeri, terutama negeri Arab, dan mungkin
juga Persia dan Turki.
Pada zaman berikutnya, yaitu zaman
penjajahan Belanda terdapat upaya-upaya
pendirian dan pelaksanaan lembaga-lem2 Istilah ini berarti “tempat santri”, dan kata
“santri” diperkirakan berasal dari šāstri, yaitu “(siswa) yang mempelajari šāstra”, yaitu
kitab-kitab yang berisi pengetahuan, yang
dapat dikhususkan pada bidang-bidang tertentu, seperti ilmu memahat, ilmu pemerintahan, ilmu pementasan tari dan teater, bahkan ilmu bercinta.

Vol. VI/No. 4/Desember 2011

baga pendidikan tertentu sebagai berikut.
Oleh pemerintahan kolonial pada waktu
itu masalah pendidikan dianggap penting
sehingga dimasukkan dalam UndangUndang Tahun 1848, dan dianggarkan
25.000 gulden untuk sektor pendidikan.
Pada tahun 1851 didirikan sekolah “dokter Jawa” untuk melatih tenaga kaum
pribumi menjadi “mantri cacar” guna
mengatasi penyakit cacar yang mewabah.
Pada tahun 1851 itu juga dibuka dua
kweekschool untuk melatih guru bantu
bagi sekolah-sekolah modern sistem barat. Pembukaan lembaga-lembaga pendidikan itu, sebagaimana dikatakan oleh
seorang tokoh Belanda, adalah untuk
“membentengi Belanda dari vulcano Islam”.
Pada tahun 1867 pemerintah kolonial
membentuk departemen sendiri untuk
masalah pendidikan, yaitu yang disebut
Departeman Pendidikan, Agama, dan
Industri. Dari pengaturan itu tumbuhlah
sekitar 300 sekolah pribumi di Jawa dan
sekitar 400 di luar Jawa.
Pada tahun 1902 di Batavia dibuka
sekolah kedokteran yang dinamakan
School tot Opleiding voor Indische Artsen
(STOVIA) dan pada tahun 1913 di Surabaya didirikan pula sekolah sejenis yang
dinamakan Nederlandsch Indische Artsen
School (NIAS). Pada tahun 1927 STOVIA
ditingkatkan menjadi pendidikan tinggi,
dengan nama Geneeskundige Hogeschool.
Ini menjadi cikal-bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kemudian
didirikan pula Rechtskundige Hogeschool
yang menjadi cikal-bakal Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, kemudian juga
Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte
yang menjadi cikal-bakal Fakultas Sastra
(kemudian Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya) Universitas Indonesia. Technische
Hogeschool yang didirikan pada tahun
1920 di Bandung merupakan cikal-bakal
Institut Teknologi Bandung, sedangkan
Landbouwkundige Fakulteit merupakan
cikal-bakal Institut Pertanian Bogor. Bes­
tuurs Academie yang didirikan tahun
1930-an kemudian menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri yang di kemudian hari diselenggarakan oleh Pemerintah
Republik Indonesia.
Sementara berlangsung pemerintahan
kolonial itu, ada dua tokoh pemuka Indonesia sendiri yang merintis suatu sistem
persekolahan tersendiri, yang secara teknis
bersifat modern seperti sekolah-sekolah
yang diperkenalkan oleh Belanda, namun
dalam semangat dan isi pelajaran sangat

berjiwa ketimuran dengan membawa citacita kemandirian bangsa. Tokoh pertama
adalah R.M. Soewardi Soerjaningrat, atau
lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara
(1889-1959), yang mendirikan perguruan
Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 di
Yogyakarta. Lengkapnya nama perguruan
itu adalah “Nationaal Onderwijs Instituut
Taman Siswa”. Sebagai tokoh pergerakan
nasional, Ki Hajar Dewantara tidak ragu
mencantumkan kata “nationaal” pada nama perguruannya, dan dengan itu yang
dimaksudkannya kenasionalan Indonesia
yang bersatu untuk mengupayakan kemerdekaan bangsa dari belenggu penjajahan. Falsafah pendidikan yang dikembangkannya bertolak dari penekanan
kepada pembentukan kemandirian dalam hubungan yang berkomunikasi hangat antara guru dan murid. Falsafah
pendidikannya yang terkenal yang diungkapkan dalam bahasa Jawa kuno berbunyi:
“ing ngarsa sung tuladha, ing madya ma­
ngun karsa, tut wuri handayani”, sebagai
pedoman perilaku bagi guru yang artinya:
“di depan memberi teladan, di tengah
menyemangati, dan mengiringkan dari
belakang sambil memberi kekuatan”.
Tokoh ini mendorong diberikannya juga bahan-bahan ajar yang digali dari kebudayaan setempat, sehingga dapat dikatakan bahwa kiprahnya dalam penyelenggaraan pendidikan itu adalah juga
merupakan suatu gerakan budaya. Tercatat
bahwa pada tahun 1942 terdapat 199
sekolah cabang Taman Siswa yang tersebar
di beberapa daerah, terutama di pulaupulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi, dan Maluku, yang pada waktu
itu mempunyai sekitar 650 orang guru.3
Empat tahun kemudian tokoh pendidikan terkemuka lain yang perlu disebut
adalah Engkoe Mohammad Sjafei yang pada
31 Oktober 1926 mendirikan “Perguruan
Ruang Pendidik INS Kayutanam” di suatu
desa kecil bernama Kayutanam di Sumatra Barat. Ada lima garapan utama
yang dikembangkan oleh perguruan tersebut, yaitu: (a) kemerdekaan berpikir
(dalam bentuk inovasi/kreativitas), (b)
pengembangan ilmu pengetahuan, talenta/bakat (sebagai rakhmat Tuhan),
dan potensi diri, (c) kemandirian dan
entrepreneurship, (d) etos kerja, serta (e)
3 Periksa entri “Taman Siswa” dalam Ensiklope­
di Umum untuk Pelajar, dengan pemimpin redaksi Prof.Dr. Fuad Hassan, penerbit Ichtiar
Baru van Hoeve, Jakarta 2005. Jilid 10, halaman 5.

Vol. VI/No. 4/Desember 2011

5

akhlak mulia (sebagai pengejawantahan
dari agama, etika, dan estetika).4 Beberapa
ungkapan yang bermuatan falsafah
pendidikan dari tokoh ini antara lain
adalah: “Jangan minta buah mangga kepada pohon rambutan, tapi jadikanlah
setiap pohon menghasilkan buah yang
manis”; “Salah satu alat besar yang bisa
mengubah keadaan kita dan menolong
mengejar ketinggalan-ketinggalan adalah
pendidikan yang bersifat aktif positif dan
belajar menurut bakat”; “Barang siapa yang
mengeluh, ia kalah”; “Bangsa Indonesia tak
dapat tidak akan mendapat manfaat yang
sangat besar apabila juga berpikir kritis dan
logis”; “Pelajaran pekerjaan tangan tidak
hanya mengenai ketrampilan saja, banyak
lagi sangkutannya dengan perkembangan
jiwa si pelajar”, “Jadilah engkau, menjadi
engkau”, dan lain-lain. Kutipan-kutipan
itu dapat menggambarkan pendekatannya
dalam melaksanakan upaya pendidikan.
Dapat dikatakan bahwa Engkoe Mohammad Sjafei telah lebih dahulu menerapkan
pendekatan pendidikan yang jauh di
kemudian hari dirumuskan orang sebagai
“student­centered learning” !



Jangan minta buah mangga
kepada pohon rambutan,
tapi jadikanlah setiap pohon
menghasilkan buah
yang manis



----Engkoe Mohammad Sjafei---Dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pendidikan di masa lalu di kawasan
Indonesia utamanya terpusat pada jangkauan pusat-pusat tertentu yang ada
dari zaman ke zaman, yang sudah tentu
tidak dirancang semerata seperti sekarang
ketika Pemerintah Republik Indonesia
dari waktu ke waktu mengusahakan agar
penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan
semerata mungkin untuk semua daerah.
2 .2 Pe ndidikan Nas io nal De w as a Ini
Paradigma pendidikan nasional sampai
2010 yang masih berdasarkan pada UU 20/
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
adalah pengejawantahan tuntutan refor4 Periksa bahan tercetak berjudul Institut Ta­
lenta Indonesia 2020: INS Kayutanam 1926,
terbit 2006.

6

masi untuk memburu ketertinggalan bangsa dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan
perkembangan global. Dari ’Paradigma
Pendidikan Nasional dalam UU Nomor
20’5 dapat dicatat beberapa butir sebagai
berikut ini:
a. Desentralisasi menggantikan paradigma sentralisasi, sehingga pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama
pemerintah
pusat,
daerah
dan
masyarakat.
b. Dengan desentralisasi ini, tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan
nasional tetap berada di tangan menteri pendidikan nasional, dan dalam
hal ini pemerintah pusat menentukan
kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu
pendidikan nasional.
c. Pengelolaan pendidikan dasar dan menengah sebagai satuan pendidikan
yang berbasis keunggulan lokal, dikehendaki di setiap kabupaten dan kota.
d. Sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di setiap jenjang pendidikan
harus dikembangkan menjadi satuan
pendidikan bertaraf internasional,
untuk
menghadapi
tantangan
globalisasi.
e. Mengakomodasikan pendidikan jarak
jauh dalam sisdiknas di semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan, yang
berfungsi untuk memberi layanan
pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti
pendidikan secara tatap muka atau
reguler.
f. Keseimbangan antara peningkatan
iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, tergambar dalam fungsi
dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan YME, serta
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
g. Pendidikan tinggi merupakan jenjang
5 Ketua panitia kerja DPR RI tahun 1999-2004,
Anwar Arifin.

Vol. VI/No. 4/Desember 2011

pendidikan setelah pendidikan menengah, dan mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, dan
doktor, yang diselenggarakan dengan
sistem terbuka. Perguruan tinggi
dapat berbentuk akademi, politeknik,
sekolah tinggi, institut atau universitas,
yang berkewajiban menyelenggarakan
pendidikan, penelitian dan pengabdian
pada masyarakat, dan dapat menyelenggarakan
program
akademik,
profesi dan/atau vokasi. Perguruan
tinggi juga dapat memberikan gelar
akademik, profesi atau vokasi sesuai
dengan program pendidikan yang
diselenggarakan.



Salah satu alat besar yang bisa
mengubah keadaan kita dan menolong
mengejar ketinggalan-ketinggalan
adalah pendidikan yang bersifat
aktif positif dan belajar
menurut bakat



----Engkoe Mohammad Sjafei---Sementara itu, dalam Renstra Kemendiknas
2010-2014
dikemukakan
empat paradigma universal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
a.

Pe m be rday aan m anus ia s e utuhny a,
merupakan fondasi pendidikan yang
menyiapkan keberhasilan peserta
didik sebagai pribadi yang mandiri
(makhluk individu), elemen sistem
sosial yang saling berinteraksi dan
saling mendukung (makhluk sosial) dan sebagai pemimpin bagi
terwujudnya kehidupan yang lebih
baik di muka bumi (makhluk Tuhan).
b. Pe m be lajaran s e panjang hay at be rpus at pada pe s e rta didik. Pembelajaran
merupakan proses yang berlangsung
seumur hidup, semenjak lahir sampai
akhir hayat, yang diselenggarakan
secara terbuka melalui jalur formal,
nonformal, dan informal yang dapat
diakses oleh peserta didik setiap
saat, tidak dibatasi oleh usia, tempat
dan waktu. Pembelajaran dengan sistem terbuka diselenggarakan dengan
fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian program lintas satuan dan
jalur pendidikan (multi entry­multi exit
system)

Pe ndidikan untuk s e m ua. Pendidikan,
minimal pada tingkat pendidikan
dasar adalah bagian hak asasi manusia
dan hak setiap warga negara. Usaha
pemenuhannya harus direncanakan
dan dijalankan sebaik mungkin. Pemenuhan hak untuk mendapatkan
pendidikan dasar yang bermutu merupakan ukuran keadilan dan pemerataan atas hasil pembangunan
dan sekaligus menjadi investasi sumber daya manusia yang diperlukan
untuk mendukung keberlangsungan
pembangunan bangsa. Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar sebagai
pemenuhan hak asasi manusia telah
menjadi komitmen global. Oleh karena
itu, program pendidikan untuk semua
yang inklusif diselenggarakan pada
jalur pendidikan formal, nonformal,
dan informal dengan sistem pendidikan terbuka dan demokratis serta
berkesetaraan gender agar dapat menjangkau mereka yang berdomisili di
tempat terpencil, serta mereka yang
mempunyai kendala ekonomi dan
sosial.
d. Pe ndidikan untuk Pe rke m bangan, Pe nge m bangan, dan/ atau Pe m bangunan
Be rke lanjutan (PuP3 B). Pendidikan
menghasilkan manusia berakhlak mulia
yang menjadi rahmat bagi semesta
alam. Manusia seperti itu memenuhi
kebutuhannya dengan memperhatikan
kebutuhan generasi saat ini dan generasi-generasi yang akan datang (keberlanjutan intergenerasional). Paradigma ini mengajak manusia untuk
berpikir tentang keberlanjutan planet
bumi dan keberlanjutan keseluruhan
alam semesta. Pendidikan harus menumbuhkan pemahaman tentang pentingnya keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem, yaitu pemahaman
bahwa manusia adalah bagian dari
ekosistem. Pendidikan harus memberikan pemahaman tentang nilainilai tanggungjawab sosial dan natural
untuk memberikan gambaran pada
peserta didik, bahwa mereka adalah
bagian dari sistem sosial yang harus
bersinergi dengan manusia lain, dan
bagian dari sistem alam yang harus
bersinergi dengan alam beserta seluruh isinya. Dengan nilai-nilai itu
maka akan muncul pemahaman kritis
tentang lingkungan. l (be rs am bung)

c.

Vol. VI/No. 4/Desember 2011

7

Meneguhkan Ulang Peran Kem enterian Agam a
Se bagai Be nte ng Ke rukunan dan
Pe njaga Ke utuhan NKRI
Weinata Sairin

Catatan Awal
alah satu keunikan dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) adalah bahwa bukan
saja ia memiliki Pancasila yang
memberi ruang, serta menghargai
kemajemukan, tetapi juga bahwa
dalam
struktur
pemerintahan
negara ada suatu kementerian
yang secara khusus bertanggung
jawab dalam mengurus soal-soal
keagamaan, yaitu Kementerian
Agama. Kondisi seperti ini, adalah
kondisi yang spesifik di Indonesia,
yang tidak ditemui di negara lain.

S

Hal ini menyiratkan tekad dan kemauan pemerintah untuk memberikan perhatian serius terhadap pengembangan kehidupan keagamaan
di Indonesia, sejalan dengan nilai-nilai
Pancasila, khususnya sila pertama, dan
seiring dengan jiwa serta semangat yang
terkandung dalam UUD Negara RI tahun
1945. Kementerian Agama secara formal
lahir tanggal 3 Januari 1946 melalui Penetapan Pemerintah No. 1/S.D. atas
usul Perdana Menteri (Kabinet Syahrir
II) dan Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat.
Pada awalnya adalah K.H. Abu Dardiri, utusan Komite Nasional Indonesia Keresidenan Banyumas dalam
sidang BP-KNIP di Jakarta tanggal 24-28
November 1945 yang mengusulkan agar
dalam negara RI, urusan agama diurus
secara khusus, dan tidak disatukan dengan Kementerian Pendidikan, dan
Kebudayaan. Bertolak dari usul Abu
Dardiri itulah kemudian lahir Kementerian Agama yang memiliki arti yang
sangat penting dan strategis.
Selama kurun waktu lebih setengah
abad sejak lahirnya, Kementerian Agama
telah memainkan peran yang amat besar
dalam kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara, sesuai dengan tugas pokok

8

dan fungsi yang diembannya. Hal yang
amat penting dalam rangka peranan
Kementerian Agama adalah upaya
untuk terus menerus mewujudkan kerukunan antar umat beragama, serta
pengembangan relasi antar lembagalembaga keagamaan, yang kemudian
secara konkret mewujud antara lain
melalui pembentukan Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama (WMAUB)
tanggal 30 Juli 1980.
Sayang sekali sesudah era Reformasi
aktivitas WMAUB tidak lagi nampak,
padahal ada banyak agenda yang berkaitan dengan isu keagamaan yang bisa
dilakukan oleh WMAUB.

Hal-hal Penting dan Mendasar
Dalam konteks masyarakat Indonesia
yang majemuk, khususnya dari segi
agama, maka peran Kementerian Agama
menjadi amat penting diwujudkan secara
kontinu, konsisten dengan berbasis pada
Undang-Undang Dasar Negara RI tahun
1945 dan Pancasila. Tanpa bermaksud
melebih-lebihkan, Kementerian Agama
mestilah menjadi sebuah kementerian
yang memahami benar pluralitas keIndonesia-an, yang terus menerus mengembangkan kerukunan antarumat beragama, bahkan mampu menjadi penjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Daya sensitifitas agama, pluralitas
agama, kebhinekaan warga masyarakat

Vol. VI/No. 4/Desember 2011

Penulis adalah
teolog, menulis
tesis S2 Tentang
Gerakan
Pembaruan
Muhammadiyah,
anggota BSNP

pada sisi tertentu bisa menjadi potensi
kuat untuk mecabik-cabik dan menceraiberaikan keutuhan bangsa dan negara.
Kementerian Agama seharusnya memposisikan diri sebagai kementerian
agama-agama yang berpihak pada kepentingan semua agama yang ada
di Indonesia yang bertindak nondiskriminatif dengan mengayomi seluruh
umat bergama di Indonesia.
Dalam upaya mengaktualisasi peran
Kementerian Agama yang signifikan
itu, beberapa hal penting dan mendasar
harus menjadi agenda Kementerian
Agama.
Pe r ta m a , k e r uk una n d a n k e b e b a sa n
b e r a g a m a . Bangsa kita dalam era global menghadapi tantangan semakin
besar dan kompleks, yang hanya bisa
dihadapi dalam semangat persatuan
dan kebersamaan yang mantap. Sebab
itu kerukunan antarumat beragama
menjadi suatu yang sangat penting
diwujudkan.
Namun yang perlu digaris bawahi
adalah bahwa kerukunan yang kita
kembangkan di masa depan bukanlah
kerukunan artifisial, yang sekedar dibuat-buat atau kerukunan yang bersifat
verbalistik-semantik (hanya terucap
dalam pidato-pidato) tetapi kerukunan
yang benar-benar otentik dan dinamis,
yang bertolak serta merupakan refleksi
dari ajaran agama yang kita anut. Kerukunan yang seperti ini dilandasi kesadaran bahwa walaupun kita berbeda
dari segi agama, tapi mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mengupayakan kesejahteraan bagi semua
orang.
Di negara kita yang memiliki Pancasila sebagai dasar negara, kerukunan
antarumat beragama itu harus diupayakan dan diperkembangkan dalam
konteks konsensus-konsensus nasional
yang dimiliki bangsa kita, yaitu Pancasila, UUD Negara RI 1945, sebagai
dokumen konstitusional negara, yang
mengikat kita secara nasional. Dengan
demikian kerukunan yang harus diupayakan adalah kerukunan yang tidak
mengurangi atau membatasi melainkan
justru memperkembangkan kebebasan
beragama di Tanah Air kita. Kerukunan
harus diwujudkan dalam keseimbangan
yang dinamis, yaitu kebebasan yang tidak
merusak kerukunan, dan kerukunan
yang tidak mematikan kebebasan.

Kerukunan dalam konteks Indonesia
juga berarti, bahwa di dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia, tidak dikenal wilayah yang terkotak-kotak, berdasarkan suku, agama, ras, golongan, dll,
seolah-olah ada wilayah dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang
hanya bisa dihuni oleh satu kelompok
agama dan atau satu kelompok suku
saja. Kerukunan yang otentik dan dinamis harus ditegaskan tidak perlu
dan tidak akan pernah bias diatur oleh
sebuah ketentuan perundangan yang
bersifat legalistik dan formalistik.
Menyadari bahwa dimensi misioner/
dakwah dari agama-agama adalah unsur
substansial dari setiap agama, maka
kerukunan juga tidak boleh dimengerti
sebagai sesuatu yang membatasi aspek
misioner dari setiap agama. Pembatasan
aspek misioner dari agama justru bisa
diartikan sebagai penghilang/pengebirian dakwah/penyebaran agama itu
harus dijaga agar benar-benar mencerminkan keluhuran ajaran agama itu
sendiri dan tidak dilakukan dengan
pola-pola negatif (pemaksaan, bujukan,
rayuan, dan lain-lain) yang justru bertentangan dengan ajaran agama.
Ke d ua , p e m b a n g un a n r um a h ib a d a h d a n p e la k sa n a a n p e r ib a d a h a n .
Pengembangan kehidupan beragama di
Indonesia tak dapat tidak harus mengacu
pada Pancasila dan UUD Negara RI 1945
serta konsensus nasional yang dimiliki
negara kita. Sebagai implementasi dari
rumusan di atas, maka sudah selayaknya
warga negara yang menganut berbagai
agama di Indonesia tidak mengalami
hambatan dalam mengekspresikan kebebasan beragama mereka, tidak mengalami kesulitan dalam membangun rumah-rumah ibadah serta memiliki jaminan hukum untuk memeluk agama
yang mereka yakini.
Adanya rumah ibadah dalam suatu
wilayah pemukiman yang sebelumnya
tidak pernah ada merupakan konsekuensi
logis dari pesatnya pembangunan yang
mengakibatkan terjadinya mobilitas penduduk. Kehadiran rumah ibadah serta
fasilitas peribadahan di suatu wilayah
harus dimengerti sebagai bagian padu
dari komponen pembinaan mental-spiritual, sebab itu pembangunannya harus
didukung pemerintah dan masyarakat.
Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No.

Vol. VI/No. 4/Desember 2011

9

8 Tahun 2006 ternyata belum memadai
sebagai acuan dalam rangka mengatur
perizinan pembangunan rumah ibadah.
Kegiatan peribadahan seorang warga
negara kepada Tuhan sebagai bagian
dari hak asasinya, tentunya tak bisa dihentikan dan atau dilarang, hanya karena
tempat yang khusus untuk kegiatan ini
belum ada. Pembangunan mesjid, gereja,
pura, wihara sesuai dengan Pancasila
semestinya tidak boleh mengalami
kesulitan, di wilayah manapun di Indonesia, sebab pembangunan tersebut
dipahami sebagai sarana pembinaan
mental-spiritual umat.
Ke tig a , sik a p k e ne g a r a w a na n p a r a
p e n y e le ng g a r a ne g a r a . Sikap arif para
penyelenggara negara, khususnya dalam
menangani hal-hal yang berhubungan
dengan kehidupan beragama harus lebih mewujud justru karena masalahmasalah agama adalah masalah yang
sangat peka. Sikap arif dan bijaksana itu
diwujudkan melalui tindakan dan sikap
yang adil, netral, respek dan pengayom
terhadap seluruh warga negara tanpa
mempertimbangkan
latar
belakang
agama mereka.
Para penyelenggara negara harus
memberi teladan, misalnya dalam
melaksanakan doa di depan publik. Dan
pada waktu acara hari raya nasional,
kegiatan kenegaraan, doa pada acaraacara yang bersifat umum, sebaiknya
mempertimbangkan dan mengapresiasi
umat atau masyarakat yang hadir, yang
terdiri dari berbagai latar belakang
agama. Pemimpin doa dapat memulai
doa dengan kata-kata sebagai berikut:
“Sebagai umat beragama kita patut
bersyukur kepada Tuhan karena karyakaryaNya yang besar dalam sejarah
kehidupan kita, baik sebagai pribadi
maupun sebagai bangsa. Silakan saudara-saudara berdoa sesuai dengan agama
saudara, saya akan berdoa secara agama
saya.”
Ke e m p a t, p ub lik a si/ p e ne r b ita n. Selain materi keagamaan dalam bentuk
kaset atau video kaset, yang sangat
besar pengaruhnya dalam mengarahkan
pola pikir umat, maka bahan-bahan
bacaan serta berbagai jenis publikasi
selain besar pengaruhnya, juga memiliki
daya jangkau yang sangat luas ke setiap
daerah dan ke setiap orang. Menyadari
daya jangkau serta pengaruh besar
yang dimiliki oleh bahan-bahan becaan,

10

maka harus diupayakan agar publikasi
keagamaan memacu umat memiliki
wawasan keagamaan yang makin luas
dan mendalam, sekaligus wawasan kebangsaan yang kukuh.
Dalam konteks masyarakat Indonesia
yang majemuk, maka publikasi-publikasi
yang sifatnya mendiskreditkan sesuatu
agama atau yang bernada menghasut,
memperuncing hubungan antara umat
beragama seharusnya tidak layak untuk
diterbitkan.
Ke lim a , k ontr ib usi a g a m a - a g a m a d a la m p e m b a ng una n b a ng sa . Perlu peningkatan upaya untuk mengefektifkan wujud nyata sumbangan agama-agama dalam pelaksanaan pembangunan bangsa antara lain:
a. Kajian-kajian etis pada isu-isu perencanaan pembangunan, antara lain
arah pembangunan yang manusiawi
dalam industrialisasi, termasuk
pengembangan
kawasan-kawasan
pemukiman, mobilitas penduduk
dan pariwisata, perkembangan teknologi komunikasi.
b. Kajian-kajian etis pada isu-isu kritis dalam proses pembangunan: kesenjangan sosial, kolusi , korupsi,
kemajuan teknologi kedokteran, pelanggaran HAM dan sebagainya.
c. Pembentukan satuan tugas antar
kementerian mengenai isu-isu aktual antara lain: kemerosotan harkat kemanusiaan sebagi akibat kendornya moralitas, demoralisasi warga bangsa, menanggulangi penyebaran HIV/AIDS, tingginya mobilitas
penduduk, konflik-konflik dalam
masyarakat, bahaya narkoba, KB/
kesehatan reproduksi pengalaman
Pancasila
dalam
mehidupan
sehari-hari.
Ke e na m , r e for m a si inte r na l. Dalam
rangka perlibatan semua unsur agamaagama dalam Kementerian Agama sehingga peran serta agama-agama dalam pembangunan lebih produktif,
maka perlu dipikirkan pembaharuan
struktur Kementerian Agama, dengan
mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. Terbukanya fungsi-fungsi yang bersifat umum dalam Kementerian Agama, bagi semua ahli dari berbagai
agama (misal, untuk staf ahli, Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Biro Hukum dan lain-lain)
b. Pengadaan tenaga-tenaga pembimas

Vol. VI/No. 4/Desember 2011

agama-agama untuk semua provinsi
sangat diperlukan juga pengembangan Direktorat Jenderal Agama.
Ke tuj uh , Wa d a h Musy a w a r a h Anta r Um a t Be r a g a m a (WMAUB). Wadah
ini perlu dihidupkan lagi dan dibentuk
di setiap provinsi, sehingga pemikiranpemikiran positif konstruktif yang dihasilkan lembaga tersebut di tingkat
pusat bisa dapat segera mengalir ke
daerah-daerah. Kementerian Agama melalui WMAUB bisa lebih efektif dalam
mengembangkan kerukunan. Peran
WMAUB tidak bisa digantikan oleh FKUB
yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 Tahun
2006.
Ke d e la p a n, k e sa tua n p e m a ha m a n
te nta n g ha k ik a t Ne g a r a Pa nca sila .
Negara Republik Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama.
Rumusan yang bersifat negasi ini memiliki makna yang amat dalam, tentang
filosofi kehidupan bernegara dalam
konteks Pancasila sebagai dasar negara.
Pemahaman tentang konsepsi kehidupan
bernegara sebagaimana disebut di atas,
mengandung dua aspek mendasar,
yaitu bahwa tidak ada pemisahan yang
mutlak antara negara dan agama, dan
bahwa negara tidak mengatur dan atau
campur tangan terhadap bidang-bidang
yang menjadi bagian dari tanggung
jawab agama.



Pembangunan agama diarahkan
untuk meningkatkan kerukunan hidup
umat beragama dengan meningkatkan
rasa saling percaya dan harmonisasi antar
kelompok masyarakat sehingga tercipta
suasana kehidupan masyarakat yang
penuh toleransi, tenggang
rasa dan harmonis



----Weinata Sairin---Aktualisasi dari pernyataan bahwa
negara kita bukan negara sekuler adalah
bahwa pemerintah bersama-sama rakyat
berjuang terus untuk melawan segala
bentuk pengerdilan serta penggeseran
kehidupan spiritrual yang diakibatkan
oleh pengaruh modernisasi dan globalisasi. Wujud nyata dari ungkapan bahwa
negara kita bukan negara agama adalah

bahwa negara melindungi, mengayomi,
member dukungan dan kesempatan
serta bertindak adil terhadap semua
agama sehingga semua agama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa mampu secara terus-menerus
dan bersama-sama memberikan landasan spiritual, moral dan etik bagi
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
Konsekuensi logis bahwa negara kita bukan negara agama, maka dengan
sendirinya negara sebagai institusi tidak berteologi, pelaksanaan upacara
agama, dilakukan oleh penganut agama,
sesuai dengan ajaran agama masingmasing. Negara tidak bisa menetapkan
dan atau mengubah hari raya agama,
negara bersikap netral terhadap agama.
Negara tidak memposisikan diri sebagai
institusi yang memberi “pengesahan”
terhadap eksistensi suatu agama.

Catatan Akhir
Undang-Undang RI No. 17 Tahun
2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional tahun 20052025 memberi penegasan bahwa arah
pembangunan 20 tahun mendatang di
bidang agama adalah “memantapkan
fungsi dan peran agama sebagai landasan
moral dan etika dalam pembangunan,
membina akhlak mulia, memupuk etos
kerja, menghargai prestasi dan menjadi
kekuatan pendorong guna mencapai
kemajuan dalam pembangunan.
Disamping itu pembangunan agama
diarahkan pula untuk meningkatkan
kerukunan hidup umat beragama dengan
meningkatkan rasa saling percaya dan
harmonisasi antar kelompok masyarakat
sehingga tercipta suasana kehidupan
masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa dan harmonis.”
Arah pembangunan agama sebagaimana dirumuskan diatas menjadi
amat penting dan strategis untuk terus menerus menjadi nafas dan benang merah program dan kegiatan Kementerian Agama. Kementerian Agama harus mampu menjadi benteng kerukunan dan penjaga keutuhan NKRI.
Kerjasama sinergis Kementerian Agama
dengan berbagai Kementerian Lain di
Indonesia, termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan berbagai
elemen dalam masyarakat menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar lagi. l

Vol. VI/No. 4/Desember 2011

11

Be nchm arking Sis te m
Pe nilaian Pe ndidikan
di Inggris

Djemari
Mardapi
menyampaikan
cendera mata
dari BSNP
kepada Ceri
Morgan di
Office for
Standard in
Education
(OFSTED).
SNP selalu berusaha meningkatkan
tingkat kualitas penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). Salah satu caranya
adalah dengan melakukan benchmarking
penyelenggaraan ujian di luar negeri. Untuk kepentingan ini empat anggota BSNP
melakukan kunjungan ke London Inggris
dari tanggal 23 sampai dengan 27 Oktober
2011. Mereka adalah Djemari Mardapi, Zaki
Baridwan, Mungin Eddy Wibowo, dan Djaali.
Bagaimana penyelenggaraan ujian di London,
apa peran lembaga pengujian, sekolah,
dan pemerintah, serta bagaimana menjaga
kerahasiaan serta kejujuran ujian, berikut ini
pengalaman mereka sebagaimana dituturkan
kepada Bambang Suryadi dari Buletin BSNP.
Menurut Djemari Mardapi ada tiga lembaga pengujian yang dikunjungi di London,
yaitu Cambridge International Examination
(CIE), Institute of Education (IOE), dan Office
for Standard in Education (OFSTED). “Tiga
lembaga ini sengaja kita pilih karena memiliki
kredibilitas dan pengalaman yang lama dalam
penyelenggaraan ujian”, ungkap Djemari
mengawali kisah perjalanannya.
Hari pertama (24/10/2011), tim BSNP
mengunjugi CIE dan IOE. CIE merupakan badan
independen di bawah University of Cambridge
yang melakukan pengujian pada level internasional, khususnya di negara-negara per-

B

12

semakmuran. Hingga saat ini sudah ada 160
negara yang pengujiannya ditangani oleh
CIE. Sebagai badan independen, CIE memiliki
misi memberikan layanan pendidikan yang
bermutu. CIE juga menghasilkan sejumlah tes
untuk pengujian.
Lebih lanjut, Djemari mengatakan, diantara jenis tes yang dikembangkan CIE
adalah tes untuk seleksi masuk perguruan
tinggi dan tes untuk sertifikat level sekolah
dasar dan sekolah menengah. Selain itu, CIE
juga memberikan perhatian terhadap proses
belajar mengajar (teaching and learning)
dengan melihat hasil tes. “Hasil tes CIE
merupakan informasi kuantitatif tentang
deskripsi learning dengan melihat kurikulum
di sekolah”, ungkap Djemari seraya menambahkan bahwa tes yang digunakan dalam
bentuk pilihan ganda dan uraian pada level
aplikasi.
Siapa yang menyusun soal? Soal disusun
oleh guru yang terlatih dan berpengalaman.
Dalam hal ini, CIE juga memiliki program
pelatihan penyusunan soal bagi guru-guru.
Program ini disusun mulai dari sekolah dasar,
sekolah menengah, sampai ke pra-universitas,
termasuk O level dan A level. “Dengan
adanya pelatihan seperti ini ditambah dengan
pengalaman dalam penyusunan soal, maka
kualitas tes yang disusun CIE termasuk

Vol. VI/No. 4/Desember 2011

tinggi”, ucap Djemari sambil menambahkan
soal CIE menguji tingkat berpikir tinggi dan
pemecahan masalah.
Selain itu CIE telah mendapat pengakuan internasional melalui program yang
disebut In te r n a tio n a l Ge n e r a l Ce r tifica te
Se co nd a r y Ed uca tio n (IGCSE). IGCSE adalah sebuah kualifikasi yang diakui secara
internasional untuk siswa sekolah, biasanya
dalam kelompok usia 14-16 tahun. “Jadi siswa yang memiliki sertificat ini (IGCSE) diakui
secara internasional dan dapat meneruskan
ke perguruan tinggi di Inggris, Amerika
Serikat, Kanada, Uni Eropa, Timur Tengah,
Asia Barat, Selandia Baru, Pakistan, Sri Lanka
dan di seluruh dunia”, ungkap Djemari.
Dalam kunjungannya ke IOE, tim BSNP
diterima oleh Prof. David Scott. Ada enam
jenis standar yang dikembangkan oleh IOE.
Keenam standar tersebut adalah standar
kurikulum, standar strategi dan pendekatan
pedagogi, standar asesmen dan evaluasi,
standar individu, standar sekolah, dan sistem
pendidikan. “Standar merupakan kualitas
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
dinyatakan dalam bentuk pernyataan. Standar
ini harus jelas dan disampaikan ke siswa”,
ungkap Djemari menirukan penjelasan David
Scott.

Pendidikan yang baik ditandai
dengan penilaian yang baik

Dalam pelaksanaan standar tersebut,
tambah Djemari, ada empat elemen kunci
yang sangat berpengaruh, yaitu siswa, guru,
kepala sekolah, dan orang tua. “Oleh sebab
itu, pemahaman mereka (siswa, guru, kepala
sekolah, dan orang tua) tentang standar sangat
penting sehingga standar tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik”, tegas Djemari.
Pendidikan yang baik ditandai dengan
penilaian yang baik. Pendidikan pada sekolah
dasar menekankan pada masalah bermain,
berkomunikasi, dan mengenal diri, bukan
pada pelajaran. Sedangkan standar penilaian
di sekolah dasar mencakup pengetahuan
dan keterampilan. Level standar yang diukur
adalah analisis, sintesis, dan penyelesaian
masalah. “Standar menentukan apa yang
harus diketahui dan mampu dilakukan oleh
anak”, ungkap Djemari.
Secara terpisah Mungin Eddy Wibowo
anggota rombongan menuturkan pada hari

kedua, tim BSNP mengunjungi OFSTED
(25/10/2011). OFSTED merupakan lembaga
yang besar di bawah Yang Mulia Ratu Inggris
(Her Majesty) dalam melaksanakan tugas
untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
“Tugas utama lembaga ini (OFSTED)
adalah memberik masukan kepada sekolahsekolah untuk meningkatkan kualitas sekolah,
terutama
pada
sekolah-sekolah
yang kategori rendah. Pegawai lembaga ini
diangkat langsung oleh Ratu dan dilindungi
dengan baik secara politik”, ungkap Mungin
seraya menambahkan anggaran berasal dari
pemerintah namun tetap melalui persetujuan
parlemen.
Tugas lembaga ini, lanjut Mungin, adalah
melakukan inspeksi pada sekolah-sekolah
untuk menilai kinerja sekolah. Setiap inspektor dilengkapi dengan instrumen dan
melakukan observasi di kelas untuk mengetahui kualitass pembelajaran. Inspektor mengunjungi sekolah selama lima hari.
Inspektor dipilih oleh guru-guru senior yang
berpengalaman dan yang sukses termasuk
kepala sekolah.
Zaki Baridwan anggota rombongan
menuturkan kurikulum nasional dikembangkan oleh pemerintah melalui pembentukan tim penyusun kurikulum. “Setiap
sekolah menggunakan kurikulum nasional,
atau bisa juga mengembangkan kurikulum
sendiri dengan mengacu kepada kurikulum
nasional”, ungkap Zaki di sela-sela rapat
pleno BSNP.
Terkait dengan penilaian, tambah Zaki
Baridwan, setiap sekolah dinilai melalui penilaian terhadap kinerja guru, kepala sekolah,
dan pelaksanaan proses belajar mengajar di
kelas, laboratorium, dan prestasi yang dicapai
siswa.
Menurut Zaki Baridwan, hasil penilaian
dikatagorikan menjadi tiga, yaitu sekolah
sangat baik, sekolah baik, dan sekolah kurang baik. Fokus penilaian terutama pada sekolah-sekolah yang rendah. Pada sekolah-sekolah katagori baik, penilaian lebih
jarang dilakukan. Penilaian dilakukan pada
komponen-komponen yang ditengarai rendah. Misi lembaga ini adalah untuk menjaga
agar sekolah yang baik tetap baik dan sekolah
yang kurang baik menjadi baik.
Sebagai implikasi yang bisa diterapkan
di Indonesia adalah melalui tim akreditasi
dan pengawas sekolah. Hal yang perlu diperhatikan adalah kemampuan pengawas,
komitmen, dan kejujuran pengawas sekolah.
Selain itu perlu kerja dinergis antara tim BANSM dan pengawas sekolah. l

Vol. VI/No. 4/Desember 2011

13

Berita BSNP*

MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
LUNCURKAN UN TAHUN 2012
jian Nasional atau UN tahun 2012 tetap akan
diselenggarakan untuk jenjang pendidikan
dasar dan menengah dengan kriteria kelulusan yang
sama pada tahun 2011. Yaitu kriteria kelulusan yang
menggabungkan antara nilai sekolah/madrasah dengan nilai UN dengan bobot 40% dan 60%. Sekarang
UN tidak perlu diperdebatkan. Sebaliknya, sekarang
saatnya untuk bersatu dan bekerja keras, mulai dari
jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
sampai ke sekolah/madrasah, demi mensukseskan
penyelenggaraan UN tahun 2012.
Demikian arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) ketika meluncurkan penyelenggaraan UN tahun 2012 di Jakarta, Rabu
(30/11/2011). Hadir dalam acara ini anggota Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP), para Kepala
Dinas Pendidikan Provinsi, Rektor Perguruan Tinggi
Negeri, Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan
(LPMP), dan para undangan lainnya.
Lebih lanjut Mendikbud mengungkapkan, ada
beberapa indikator untuk mengukur kesuksesan
penyelenggaraan UN. Pertama, keterjaminan dari
sisi keamanan tentang kerahasiaan soal Un. “Harus
dipastikan soal UN itu aman dan rahasia dengan
merinci titik-titik rawan yang mengarah kepada
kelemahan kerahasiaan dan keamanan soal UN. Percuma UN dilaksanakan dengan biaya tinggi kalau
soalnya bocor”, ungkap Mendikbud sambil menambahkan kerahasiaan dan keamanan itu ibarat setali
mata uang.
Kedua, distribusi soal yang harus tepat dari sisi
waktu dan tetap dari sisi jumlah. “Jangan sampai terjadi, ujian dilaksanakan hari ini tetapi soal baru datang besuk. Atau soal datang tepat waktu tetapi
jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah peserta UN”,
pesan Mendikbud yang menekankan kelancaran distribusi soal.
Ketiga, saat pelaksanaan UN. Pada saat pelak-

14

sanaan UN energi dan pikiran kita akan banyak terserap. “Pada saat pelaksanaan supaya mengacu kepada rambu-rambu penyelenggaraan UN yang telah
kita susun baik dalam bentuk Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan maupun Prosedur Operasional Standar (POS) UN”, ungkap Muhammad Nuh.



Harus dipastikan soal UN itu aman
dan rahasia dengan merinci titik-titik
rawan yang mengarah kepada kelemahan
kerahasiaan dan keamanan soal UN.
Percuma UN dilaksanakan dengan
biaya tinggi kalau soalnya bocor



U

Menteri Pendidikan
danKebudayaan
Mohammad Nuh
dan Djemari
Mardapi Anggota
BSNP memberikan
penjelasan kepada
wartawan seusai
peluncuran
penyelenggaraan
Ujian Nasional
2012 di Jakarta
(30/11/2011)

----Mendikbud Mohammad Nuh---Terkait dengan penggandaan naskah soal UN,
Muhammad Nuh mengatakan bahwa mulai tahun 2012
penggandaan naskah soal UN akan dilakukan secara
sentralisasi. “Tahun yang lalu penggandaan naskah
soal diserakan ke masing-masing penyelenggara UN
tingkat provinsi, tetapi pada tahun 2012 pencetakan
naskah soal UN akan disentralisasikan”, ungkap Mendikbud dengan memberikan alasan semakin banyak
jumlah percetakan, semakin susah melakukan pengawasannya.
Sementara itu, Djemari Mardapi Ketua Penyelenggara UN Tingkat Pusat dalam laporannya mengatakan
BSNP telah melakukan persiapan-persiapan untuk
penyelenggaraan UN.“BSNP telah menyiapkan konsep
Permendikbud tentang kriteria kelulusan dari satuan
pendidikan dan penyelenggaraan UN, POS UN, kisikisi soal UN, dan buku saku tanya jawab tentang UN
sebagai bahan sosialisasi ke daerah-daerah”, ungkap
Djemari Mardapi.
Dalam hal penjadwalan, tambah Djemari

Vol. VI/No. 4/Desember 2011

* Bambang
Suryadi

Berita BSNP
Mardapi, BSNP telah berkoordinasi dengan pihak Kementerian Agama terkait dengan hari libur nasional
dan keagamaan. “Jadwal pelaksanaan UN disusun
dengan menyesuaikan hari libur nasional dan libur
keagamaan sehingga peserta didik bisa mengikuti UN
dengan tenang, aman, dan nyaman”, ungkap Djemari
sambil menyebutkan untuk UN SMA/MA, SMALB dan
SMK dimulai dari tanggal 16 sampai dengan 19 April
2012 dan UN SMP/MTs, SMPLB dimulai dari tanggal
23 sampai dengan 26 April 2012, dan UN SD/MI dan
SDLB dimulai dari tanggal 7 sampai dengan 9 Mei
2012.
Pengumuman kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dilakukan oleh masing-masing sekolah/madrasah. “Untuk SMA/MA, SMALB, dan SMK
pengumuman paling lambat tanggal 26 Juni 2012

dan untuk SMP/MTs dan SMPLB pengumuman paling
lambat tanggal 2 Juni 2012”, tambah Djemari Mardapi.
Penyelenggaraan UN merupakan kepentingan
bersama, oleh karena itu diperlukan kerjasama dari
semua pihak. Dalam hal ini, BSNP memberikan sebagian wewenangnya kepada perguruan tinggi negeri untuk melakukan pengawasan pelaksanaan UN
dan pemindaian lembar jawaban UN untuk SMA/MA,
dan SMK.
Secara terpisah, Weinata Sairin anggota BSNP
menjelaskan pentingnya memegang prinsip-prinsip
kejujuran, kerahasiaan, keamanan, dan kelancaran
dalam penyelenggaraan UN. “Kita perlu mengedepankan prinsip JURAHMANCAR yaitu JUJUR,
RAHASIA, AMAN, dan LANCAR”, ungkap Weinata
Sairin dalam rapat pleno BSNP. l

KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA
JALIN KERJASAMA DENGAN BSNP

B

ertempat di ruang sidang BSNP, pada hari
Selasa (8/11/2011) telah berlangsung penandatangan Nota Kesepahaman atau Memorandum of
Understanding (MoU) antara Kon